Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    495
***

"APA?!"

Aku memukul kursi panjang sekuat tenaga. Menerbangkan debu-debu menempel di atasnya. Tak percaya dengan penjelasan yang disampaikan Bu Rini.

Saking jelasnya, poin yang wanita paruh baya itu beberkan jadi terasa gamang. Seolah menyimpan banyak misteri meski telah mengungkap sedikit rahasia yang kata Bu Rini, ia sudah diwanti-wanti oleh Kakek agar tak boleh disampaikan kepadaku apa pun yang terjadi.

Tapi siang ini, semua itu terbuka di hadapanku. Informasi demi informasi aku cerna perlahan sambil mengatur emosi jiwa. Aku bakar rokok terlebih dahulu. Untung masih ada dua batang.

"Huhhhh ...." Hembusan panjang nafas serta asap rokok dari bibirku melaju kencang ke atas. Hidungku turut meramaikan sambil mengeluarkan asap putih samar.

Seperti yang sudah Bu Rini paparkan padaku satu jam yang lalu. Bahwasanya aku bukan anak kandung ibuku, Siti Aminah. Sementara Nenekku, Nurul Fauziah, bisa jadi statusnya sebagai seorang nenek, pun bisa jadi bukan. Lalu Bu Rini, yang mengukuhkan diri sebagai ibu susuku.

Hal ini jelas membuat pertanyaan semakin bercabang. Tak menutup kemungkinan jika ayahku, Karim Wijaya, bukan ayah biologisku. Atau mungkin aku anak Kakek, Dewo Suryopranoto?

Pusing. Mumet. Apa maksud semua ini? Apa semua orang sedang mempermainkanku? Apa mereka sengaja menyajikan pertunjukan menjijikkan serta fakta demi fakta memuakkan yang selama ini aku alami hanya sebuah kedok untuk menutupi kebenaran yang tak boleh aku ketahui?

Persetan!

Lebih lanjut, Bu Rini menegaskan jika dulu sewaktu aku lahir, seluruh badanku berwarna merah kehitaman seperti luka bakar. Bahkan sempat mengalami mati suri sebelum akhirnya Kakek menyarankan agar aku dijauhkan terlebih dahulu dari wanita yang melahirkanku di dunia selama 40 hari. Selanjutnya, diriku yang masih bayi diasuh dan disusui oleh Bu Rini sampai usiaku 40 minggu atau 10 bulan.

Kenapa harus identik dengan angka 40? Kenapa pula aku bisa mati suri? Dan yang paling membuatku gelisah ... siapa wanita yang melahirkanku sampai aku mengalami tragedi mengerikan seperti itu?

"Yang ini Adam. Dan ini kamu, Kobe." Bu Rini yang sudah mengambil alih pigura foto menunjukkan dua bayi mungil dengan telunjuk. Lalu, telunjuknya beralih pada bocah lelaki yang masih balita. "Kalau ini mendiang anak pertama Emak ... Ruslan." Sambil bercucuran air mata, Bu Rini berkata dengan bibir bergetar.

Aku diam menyimak. Masih menerka inti dari apa yang disampaikan wanita di sebelahku ini.

Beberapa saat terjadi kebekuan. Bu Rini yang sibuk menuntaskan tangisannya. Aku yang tetap bungkam sambil menghisap rokok.

"Waktu itu Emak putus asa karena Kobe masih belum menunjukkan tanda kehidupan. Emak ndak bisa berpikir. Semuanya buntu. Sampai akhirnya, Emak bersumpah kepada Sang Pencipta." Bu Rini kembali bercerita, "Emak ... Emak bersumpah kalau Kobe membuka mata, Emak akan menjadi pengantin Kobe di masa depan. Emak akan menjaga Kobe. Menyayangi Kobe. Mencintai Kobe."

DUAR!

Bagai disambar petir di siang bolong melompong penuh omong kosong. Aku terhenyak akan pengakuan paling membagongkan yang pernah kudengar.

Yang sebekumnya banyak rahasia yang belum terungkap di otak, kini bertambah lagi rahasia lama yang perlahan menyeruak ke permukaan.

"Kobe ... percaya ndak percaya, kamu punya kutukan bawaan lahir," imbuh Bu Rini, seraya memegang tanganku erat.

Aku menatap Bu Rini nanar. "Kutukan?" ulangku.

"Ya. Buah dari hubungan haram. Kamu memiliki kutukan yang entah sampai kapan berakhir."

"Tolong jangan buat aku tambah pusing. Aku udah capek, tambah capek." Aku menggeram menahan amarah. Entah kepada siapa emosiku ini aku tujukan, yang jelas aku butuh pelampiasan saat ini juga. Darahku sudah kelewat mendidih. Mau tidak mau harus aku tuntaskan detik ini juga.

"Hubungan sedarah. Di mana rahim tempat kamu berasal, di situlah kamu kembali. Bilang sama Emak kalau kamu masih perjaka, Kobe."

"Sayangnya, aku udah melepas perjakaku," jawabku, gusar.

"Bu Zia?"

Aku mengangguk mantap.

Ekspresi di wajah Bu Rini seketika berubah. Dan secara tiba-tiba, ia melepaskan pegangan tangannya, lalu mendongak ke atas. Tertawa keras seperti orang sinting. Tawa penuh kesedihan mendalam diiringi lelehan air mata yang terus membasahi pipinya yang chubby.

Hingga akhirnya, redanya tawa Bu Rini menjadi tanda jika ia sudah baik-baik saja. Hanya kepalanya yang kini menunduk. Entah air muka seperti apa Yang Bu Rini pasang, aku hanya bisa menunggu dan menunggu sembari mengumpulkan pecahan puzzle demi puzzle membentuk gambar utuh.

"Harusnya Emak tau tanpa perlu bertanya," ujar Bu Rini, dengan suara serak. Ia mendongak. Menghapus air mata, juga ingusnya. Setelah itu, tersenyum tipis ke arahku. "Harusnya memang begitu."

"Maaf. Aku masih nggak tau ke mana arah pembicaraan kita ini."

"Cukup, ya, Kobe. Hanya itu yang bisa Emak sampaikan ke kamu. Selanjutnya kamu cari tau sendiri."

Ya, benar. Sudah cukup. Aku tak ingin berlarut-larut mengikuti panggung drama yang belum menunjukkan klimaksnya. Sekarang, lebih baik aku menenangkan emosiku terlebih dahulu, lalu ...

"Baiklah. Aku terima kasih sama Emak udah mau cerita soal ini. Maaf kalau aku bikin Emak sedih. Maaf juga udah membuka cerita lama yang nggak semestinya aku tau."

Senyum Bu Rini masih ada. Ia mengulurkan tangan merangkulku. Aku pun menyambutnya, yang kemudian Bu Rini memelukku penuh kasih sayang seraya mengelus rambut gondrongku.

"Anak Emak udah dewasa ternyata. Rasa-rasanya baru kemarin Emak netekin Kobe bareng Adam. Kadang kalian suka rebutan ingin menang sendiri." Bu Rini berucap lembut, "Emak ndak nyangka kalau kalian yang dulunya cengeng, sekarang udah jadi sebesar ini."

Aku membalas pelukan Bu Rini. Sangat menenangkan ketika aku bersamanya. Seolah aku kembali menjadi Kobe becil yang apa-apa tidak bisa sendiri.

Untuk beberapa saat, posisi kami belum berubah. Masih berpelukan dan saling mengelus satu sama lain. Nostalgia kenangan masa kecil perlahan membangkitkan sesuatu yang sudah lama aku lupakan. Lama sekali.

Tanpa sadar, dengan bangsatnya air mataku meleleh. Aku tahan sekuat tenaga sambil mengigit bibir agar suaraku tak keluar. Tapi apa daya, semakin lembut usapan Bu Rini di kepalaku, semakin keras pula dadaku bergemuruh.

Dan sedetik, pecahlah tangisku. Menangis tanpa tahu alasan aku meneteskan air mata dalam rengkuhan penuh cinta dan kasih sayang seorang wanita yang mengaku ibu susuku.

Seketika badanku gemetar. Tangisku kian keras. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku tumpahkan segala macam emosiku lewat air mata.

Perpaduan elusan menentramkan jiwa dan bisikan lembut Bu Rini mengantarkanku larut dalam gema pikiran akan bayang-bayang masa depan. Entah cerah, entah suram. Entahlah. Aku tidak tahu. Saat ini, aku hanya ingin dipeluk. Dan yang memelukku tanpa diucap pun seolah mengerti kegelisahanku.

Beberapa saat telah berlalu. Angin berhembus kencang membawa serta aroma matahari menusuk hidung. Ada pula aroma terbakar yang sepertinya berasal dari rumah tetangga Bu Rini yang tengah bakar-bakar dedaunan kering.

Perlahan aku mulai tenang. Sedikit. Aku melepaskan pelukan. Mendongak sedikit menatap Bu Rini yang tak kusangka ikut menangis. Itu terlihat dari matanya yang sembab.

"Emak ojok nangis. Ayune ilang engkok." (Emak jangan nangis. Cantiknya hilang nanti.) Aku nyeletuk. Mencoba membangun suasana positif.

Bu Rini tersenyum jengkel. "Duh, kowe seng nggarai nangis malah Emak seng dikudang." (Duh, kamu yang membuah nangis malah Emak yang dihibur.)

"Nek gak gelem dikudang, terus njaluk dikapakno, Mak? Disampluk?" (Kalau tidak mau dihibur, terus minta diapakan, Mak? Disambar?)

"Wes yok opo enake ae, Be. Emak manut." (Sudah gimana enaknya saja, Be. Emak nurut.)

"Yo wes, ndang mudo maneh. Cek tak lebokno manukku nang kurungane." (Ya sudah, buruan telanjang lagi. Biar aku masukkan burungku ke sangkarnya.)

Pipi Bu Rini memerah tomat. Ia mencubit pinggangku agak keras. "Lagi sedih gini kok malah mesum sih pikirannya, Be?"

"Nggak boleh?" aku mendekat. Mengecup singkat bibir Bu Rini yang basah, lalu menangkp kedua pipinya sambil mengelus-elus kulit halusnya menggunakan kedua jempol. "Boleh nggak?" tanyaku, sekali lagi.

Bu Rini semakin tersipu. Ia melingkarkan kedua tangannya di perutku. "Bo-boleh. Tapi kurungannya Emak masih belum bisa dimasuki kalau sekarang."

Aku berdecak. "Katanya boleh, tapi kok belum bisa dimasuki gimana tho maksudnya?"

"Ya kan lagi rusak sangkarnya, Be. Habis burungnya yang masuk sekelas burung garuda. Mana sangkarnya kecil kayak pipa. Jelas jebol."

"Ujung-ujungnya tetep bisa masuk, lho."

"Ya udah deh kalau kamu maksa." Ada kecemasan pada ucapan Bu Rini. Ditambah wajahnya yang mengisyaratkan ingin melanjutkan ronde dua, tapi di sisi lain ia sadar kalau memeknya masih terasa sakit untuk dimasuki lagi.

"Enggak, Mak. Gini-gini aku bukan orang egois yang pengen enak sendiri," jawabku, sambil menahan nafsu.

Aku mengesampingkan sebentar obrolan berat kami. Saat ini, nafsuku lebih dominan menguasai ketimbang memaksakan otakku berpikir. Bisa-bisa meledak ini, bajingan.

"Mak, kocokin aja kontolku sambil aku mentil ke susu Emak," pintaku, sembari menurunkan celana pendek sekaligus celana dalam. Kontan saja si Palu Gatot yang masih nyenyak tidur menyembul keluar berayun-ayun.

Mata Bu Rini yang semula pasrah langsung berubah sumringah. "Maaf, ya, Sayang. Nanti kalau udah enakan kamu boleh kok ngenthu Emak."

"Iya, Mak."

"Sini, Sayang. Baring di paha Emak." Bu Rini menepuk-nepuk pahanya.

Aku pun dengan segera rebah sembari meloloskan celanaku sampai kontolku terpampang lebih jelas. Lantas, aku mulai mengeluarkan kedua payudara Bu Rini dari keras daster yang memang tak berkancing.

Boing! Boing!

Saking besarnya itu gunung, mukaku sampai tertampar lembutnya daging kenyal syarat akan keindahan areola dan putingnya yang indah sekali di mata.

Slurp! Slurp! Slurp!

Karena sudah tak sabar, aku sedikit mengangkat kepalaku untuk menjangkau puting susu Bu Rini sebelah kanan. Aku hisap, jilat, dan gigit-gigit ringan sampai terdengar desisan Bu Rini. Tak selesai di situ, kedua tanganku terangkat dengan sendirinya meremas-remas semangkanya.

Saking asyiknya aku menetek, telingaku sampai melewatan satu momen di mana Bu Rini mengumpulkan ludah dari dalam mulutnya, lalu dikeluarkan ke telapak tangan. Sejurus, tangan berlumuran liur beraroma harum itu dijadikan pelumas untuk membalur kontolku sampai merata. Mungkin biar licin.

Adegan super mesum yang kami lakukan tak lepas akan suara desah dan lenguhan yang keluar dari bibir kami berdua.

Clek! Clek! Clek!

Sambil terus menetek kiri dan kanan puting Bu Rini yang mulai mengeras di bibirku, sensasi luar biasa aku dapatkan kala tangan wanita cantik ini mulai mengocok-ngocok batang coklatku yang perlahan mulai menegang maksimal. Kocokan penuh perasaan hingga menimbulkan perasaan melayang ke awang-awang.

Ah, nikmat mana lagi yang ingin aku dustakan?

Tak terasa beberapa menit telah berlalu.

Baik aku mau pun Bu Rini masih disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Aku yang tengah menetek sambil meremas susu dan memberikan cupangan di dagingnya besar, juga Bu Rini yang semakin cepat menaik-turunkan tangannya memanjakan kontolku penuh cinta.

Hembusan nafas berat Bu Rini terasa hangat menyapu pipiku. Aku mendongak. Mengintip dari tengah-tengah belahan susu montoknya untuk sekadar memastikan Bu Rini baik-baik saja.

Oh, tentu tidak. Dari ekspresinya yang merem-melek sambil mendesis-desis itu aku bisa tahu kalau Bu Rini tengah menahan gejolak birahi. Belum lagi aroma alami tubuhnya, berikut panas area kemaluannya memancar mengundang permainan untuk lebih jauh.

Cup!

Satu gigitan disambung tarikan bibirku pada puting susu kanan Bu Rini aku lakukan saking gemasnya. Baik gemas menatap wajah sange Bu Rini, juga gemas akan putingnya yang menonjol tegak menantang.

"Awww! Sssshhh!" Bu Rini kesakitan, tapi mendesis. Antara kaget, tapi juga nikmat.

Sedetik, terasa nafas Bu Rini memburu. Bibir bawah ia gigit sendiri agar tak mengeluarkan suara apa pun yang bisa mengundang orang datang. Bersamaan pula dengan badannya bergetar-getar tak karuan. Detik berikutnya, tangan Bu Rini yang semula mengocok kontolku cepat seketika berhentibdan berubah menjadi cengkraman kuat.

Melihat hal itu, aku semakin bernafsu untuk menambah rangsangan dengan menghisap kuat puting kanan, sementara tanganku yang bebas bergerak menekan dan memelintir putingnya yang lain.

Dan ya ... serrrrrrr!

Sebelah tangan Bu Rini menjabat rambut kepalaku yang masih anteng mengemut putingnya. Tubuhnya kelojotan. Pahanya merapat. Dan tercium aroma cairan orgasme dari daerah kewanitaan Bu Rini.

Mata Bu Rini masih terpejam. Bibir bawahnya ia gigit kuat saat gelombang klimaks menerpa bertubi-tubi.

Dalam sekejap, nafas Bu Rini yang ngos-ngosan perlahan teratur. Debaran jantungnya berangsur normal.

Dengan tangan masih memegang batang si Palu Gatot, Bu Rini membuka mata. Ia melanjutkan kocokan pada kontolku, lalu berkata lirih, "Kobe nakal bikin Emak ngecrit lagi."

Plup!

Aku lepaskan puting yang mendekam di bibir. Kemudian, aku bangkit duduk dengan posisi miring menghadap Bu Rini. Tak perlu izin, segera aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, lalu memagut bibir merahnya.

Cup! Cup! Cup!

Bu Rini menyambut. Ia buka mulutnya lebar-lebar. Sudah jelas pagutan dan lumatan dibumbui silat lidah penuh nafsu kami gencarkan.

Kepala kami sama-sama miring ke kanan. Ciuman semakin panas dan dalam. Tanganku bergerilya meremas dan memilin puting Bu Rini. Pun Bu Rini yang tak mau kalah segera menyambar kontolku, lalu ia kocok cepat.

Dan tepat saat aku mulai merasakan dorongan sperma yang perlahan menambah tebal daging kontolku, aku hentikan ciuman kami.

"Ssshhh ... turun, Mak, aku mau pinjem susu Emak," pintaku, dengan nafas tersengal-sengal.

Entah paham atau tidak maksud perkataanku, Bu Rini turun dari atas kursi. Kami berdiri. Lalu, aku pegang kedua pundaknya sampai lututnya tertekuk 60 derajat hingga susunya yang membusung besar tepat di depan kontolku.

Tanpa membuang waktu lagi, segera kukumpulkan air liurku sampai banyak sembari memegangi kedua susu Bu Rini. Setelah terkumpul, cepat kuludahkan air liurku di belahan dadanya. Kemudian, kuposisikan kontolku di tengah-tengah susunya, lantas kusuruh tangan Bu Rini menggantikan tanganku menjepit kontolku dengan payudaranya.

"Hm, mau crot, ya, Sayang?" tanya Bu Rini, sambil menatap sayu ke arahku.

"Errrr ... iya, Sayang." Aku menggeram seperti harimau.

"Ayo, Sayang, keluarin pejuhmu ... keluarin semua, Sayang ...." Bu Rini berkata dengan suara mendesah. Secara insting, kedua tangannya mengapit kuat susunya agar kontolku tak terlepas.

Aku semakin tak tahan. Aku menunduk. Kedua tanganku memegangi kedua lengannya.

Sleb! Sleb! Sleb!

Aku maju-mundurkan pinggangku. Praktis saja kontol dan belahan dada Bu Rini yang licin akibat ludahku memudahkan kontolku tenggelam dan timbul tergencet gunung kembarnya.

"Ohhhh ... nikmatnyaaaaa ...." Aku mengerang panjang. Kepalaku mendongak ke atas sembari memejamkan mata. Menikmati sensasi kenyal jepitan susu kenyal nan brutal.

"Enak, ya, Sayang? Ahhh ... ahhhh ... terus, Sayang ... ahhhh ...." Bu Rini ikut mendesah. Semakin menambah erotis suasana panas di antara kami.

Suara manjanya susu besarnya, wajah sangenya, membuatku belingsatan tak karuan. Aku percepat gerakanku sampai badanku merinding sendiri.

Dan sedetik sebelum aku muncrat, aku lepaskan kontolku dari dadanya. Aku refleks menjambak rambut Bu Rini, lalu memasukkan kontolku ke dalam mulutnya.

Siap tidak siap, Bu Rini hanya bisa pasrah saat mulutnya kemasukkan kontol. Matanya sampai melotot. Pun pipinya penuh terjejali batangku yang baru masuk setengah. Kemudian, dengan sendirinya Bu Rini melebarkan rahangnya. Membuat mulutnya sedikit melebar.

Detik itu juga, aku lesatkan kontolku sepenuhnya.

Hap!

Amblas sudah kontolku di rongga mulut Bu Rini. Mentok sampai ke pangkal hingga terasa menyentuh kerongkongannya.

Aku yang sudah tak tahan lagi melakukan gerakan maju-mundur secara perlahan. Sedang. Lalu cepat. Sampai-sampai mata Bu Rini hanya tinggal putihnya saja menerima pompaan kontolku pada mulutnya.

Sedikit demi sedikit saliva-nya menetes keluar. Pun gumaman dan erangan tak jelas yang Bu Rini ucapkan kian keras meski tengah tersumpal si Palu Gatot.

Jambakan tanganku pada rambut Bu Rini semakin kuat seiring ledakan lahar panas yang sebentar lagi akan meletus. Sampai di sodokan terakhir, aku benamkan seluruh kontolku, lalu berhenti.

Crot! Crot! Crot! Crot!

"AHHHHH! RINIIIIII!" aku melolong keras kala tembakan spermaku mengisi penuh mulut Bu Rini. Badanku kelojotan, menggelinjang. Kakiku gemetar.

Hingga pada tetes terakhir spermaku, barulah badanku ringan. Lemas. Tapi di saat yang bersamaan juga puas.

Sejenak, aku diamkan kontolku yang perlahan mulai melemah, sebelum akhirnya aku mencabut kontolku dari mulut wanita kedua yang aku mesumi.

Aku terduduk kembali di kursi. Sementara Bu Rini masih tetap di tempat. Dari gerakan bibirnya, aku tahu jika ia sedang mencoba menelan spermaku. Namun, mungkin saking banyaknya semburan air maniku, sebagian ada yang menetes di sudut bibirnya hingga terjatuh ke payudara.

Rokok yang masih sisa satu batang segera kubakar. Duduk bersandar ke tembok sembari menikmati pemandangan indah di depan mata. Seorang wanita paruh baya yang baru saja menelan spermaku bulat-bulat. Dan yang lebih mencengangkan, ia mengelap sisa-sisa spermaku di bibir dan susunya, lalu ia jilati seperti menjilati es krim.

Shit! Aku semakin dibuat jatuh cinta dengan wanita ini. Apalagi wajahnya yang cantik keibuannya itu berekspresi nakal.

Sambil berjalan ke arahku, bibir Bu Rini masih sibuk mengunyah. Dua susunya gundal-gandul saat ia berjalan. Sesampainya di dekatku, Bu Rini malah jongkok. Ia kembali mengulum dan mengocok kontolku penuh nafsu. Menyedot sisa-sisa spermaku yang kiranya masih ada beberapa tetes.

Ah, bajingan. Betapa nikmat dan beruntungnya diriku mendapat perlakuan istimewa dari Bu Rini. Aku hanya bisa mendesis sambil menghisap rokok. Mencoba mengalihkan rasa ngilu bercampur geli ketika kontolku yang sudah lemas ini dan baru saja mengeluarkan sperma dihisapnya kuat.

Fuah!

Plop!


Suara desah Bu Rini bersamaan dengan suara terlepasnya kontolku dari mulutnya. Kemudian, ia merangkak naik dan duduk di sampingku.

Aku alihkan rokok ke tangan kananku terlebih dahulu agar tak mengenai Bu Rini. Lalu, kami berpandangan.

Tanpa kata, tanpa drama, Bu Rini memajukan wajahnya ke wajahku.

Cup!

Kembali kami berciuman. Kuhiraukan bekas serta bau spermaku sendiri di mulut Bu Rini. Kami berciuman ganas. Buas. Lalu, aku hentikan ciuman. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menatap wajah Bu Rini yang tahu-tahu sudah menangis lagi.

"Emak kenapa?" tanyaku, sambil membelai pipi Bu Rini.

"Hiks ... hiks ... hiks ... Emak ndak apa-apa, kok, Nak," jawab Bu Rini lirih, sambil memegangi tanganku yang berada di pipinya.

"Nggak apa-apa kok nangis?" tanyaku lagi. Aku pun sadar akan kesalahanku barusan. Segera aku menyambung, "Maafin aku, ya, Mak, udah kasar sama Emak."

Kepala Bu Rini menggeleng kuat, lantas menyenderkan kepala di pundakku sambil mengalungkan sebelah tangan di leherku. "Jangan minta maaf, Nak. Emak cuma bahagia."

"Bahagia yang gimana maksud Emak?" tanyaku, sambil mengusap pucuk kepala Bu Rini.

"Banyak, Nak. Salah satunya kehadiranmu hari ini, di sini. Kamu datang-datang ngasih Emak kepuasan yang belum pernah Emak dapatkan. Ndak tau ... setiap dekat sama kamu, bawaannya basah terus tempenya Emak."

"Oh, kirain kenapa, Mak. Aku agak kaget ngerti Emak nangis lagi. Nggak bisa aku lihat wanita cantik meneteskan air mata gara-gara aku." Aku tersenyum lega. Mengecup kening Bu Rini, lalu bergantian pipi kanan dan kiri.

Merona merah pipi Bu Rini. Ia salah tingkah brutal. Ucapanku barusan sepertinya telah menikam dadanya. Sampai di mana, wanita bersusu brutal itu menengadah, lalu berucap pelan, "Jangan ngerayu Emak terus, ah."

"Habis yang dirayu cantiknya kayak bidadari." Aku berkata mesra, "udah cantik, susunya besar lagi."

"Nak, udah, dong!"

Bu Rini tidak kuat. Setelah mengantakan itu, langsung saja tanpa babibu ia menerimaku. Mencium bibirku penuh nafsu. Satu tangannya mengusap-usap punggungku, tangan yang lain menekan belakang kepalaku. Perlahan tapi pasti, nafasnya kembali memburu.

Gelagapan aku mencoba mengimbangi meski kali ini aku sedikit bertindak pasif. Efek lemas baru saja ejakulasi dan masih mengumpulkan kekuatan.

Yang kemudian, tangan Bu Rini menuntun kedua tanganku untuk meremasi susunya lagi. Kami semakin panas. Lepas. Alamat, nih. Bisa-bisa si Palu Gatot kerja rodi lagi.

"Halo, Tot, gimana kabarmu di bawah sana?" aku memanggil si Palu Gatot kala batangnya sedang diurut tangan halus Bu Rini.

"Remuk, Kapten. Kasih aku nafas lima menit."

"Lama amat. Gitu ngakunya gagah. Gagah dari Hongkong?"

"Jangan kurang ajar, ya. Bentar lagi kamu bakal tau kehebatanku yang sesungguhnya, Kapten Celeng."

"Alah. Skip aja kalau gini. Malu aku punya peliharaan lemah kayak kamu, Tot."

"Cok, matane katarak! Aku iki mek butuh istirahat diluk tok, su. Maringunu sikat maneh."
(Cok, matanya katarak! Aku ini cuma butuh istirahat sebentar saja, njing. Setelah itu sikat lagi.)

"Ndogmu kene tak sikat karo kertas amplas." (Bijimu sini aku sikat sama kertas amplas.)

"BANGSAT!"

Kembali ke pergulatan panas antara aku dan Bu Rini yang kian lama semakin menggebu saling rangsang satu sama lain. Sampai di mana aku lepaskan pagutanku. Menggantinya dengan jari yang kumasukkan ke mulutnya.

Baru saja ingin melahap buah dada besar Bu Rini, tiba-tiba tangannya menepis tanganku agar keluar dari mulutnya yang sedikit berlumuran liur.

Sontak aku hentikan aktifitasku. Memandang Bu Rini yang wajahnya merah sekali bak kepiting tebus.

"Emak masih marah ya aku masukkin mulut Emak pakai kontol tadi?" aku bertanya, resah.

Bu Rini menggeleng. Menarik nafas sebentar, lalu menghembuskannya ringan, kemudian tangannya menuntun tanganku untuk hinggap di susunya. "Hm. Mana ada Emak marah, Nak. Emak cuma heran lihat kamu yang mesum banget ini. Tapi anehnya Emak malah suka dimesumin sama kamu. Apalagi pas kamu ngecrot di mulut Meka, pejuhmu manis rasanya."

"Ya udah. Nanti kalau lagi ngenthu terus aku mau crot, aku keluarin aja di mulut Emak."

"Emang masih bisa?" goda Bu Rini, sambil mengusap-usap kontolku yang sudah sepenuhnya tidur nyenyak.

Aku yang asyik memilin-milin kedua puting Bu Rini kontan terkekeh dengan ucapannya yang menantang. "Biasanya sih langsung ngaceng lagi kalau dipegang gini, Mak. Tapi kayaknya udah kecapekan."

"Gimana ndak capek, lah wong kontolmu udah ngecrot dua kali."

"Wooo! Jangan ngeremehin kontolku ini, Mak. Ini kontol namanya Gatot. Gagah dan berotot. Dia ini sehari bisa sampai lima kali kalau udah ngamuk."

"Oh, si imut ini namanya Gatot, ya?" Bu Rini tertawa lucu. San dengan sengaja, ia meremas kontolku yang mulai tegang dengan gemasnya. "Aduh! Emak jadi lemes bayanginnya dikenthu sama Gatot-mu, Be." Bu Rini kembali menggelendot manja di lenganku. Sementara satu tangannya masih setia mengelus kontolku. Entah apa mau wanita ini. Nanti kalau si Palu Gatot mendadak bangun dibilang sulapan.

"Nggak usah dibayangin, lah, Mak. Tinggal dirasain kan gampang."

"Gompang-gampang gundulmu."

"Hehehe." Aku nyengir kuda. "Mak, serius, nih."

"Kenapa?" Bu Rini mendongak. Menatap wajahku.

"Ini kita daritadi aman-aman aja emangnya pada ke mana Pak No sama Adam?"

"Yo nang tegalan wong loro iku, Be," (Ya ke kebun orang dua itu, Be,) sahut Bu Rini, terdengar malas menjawab.

"Ya, ya, Mak. Santai aja kali. Kan aku cuma nanya."

"Lebih penting manja-manjaan sama anak Emak ini daripada ngurusin mereka." Bu Rini mengambil sikap duduk di atas tubuhku.

Posisi ini jelas saja menjadikan kontolku menempel ketat di celah memeknya. Andai tidak ada celana dalamnya yang mulai basah itu, niscaya si Palu Gatot dengan sendirinya mencari jalan masuk tanpa bantuan.

"Nak, kamu tau ndak yang Emak pikirin dari tadi?" tanya Bu Rini, dengan tatapan sendu.

Aku merapatkan tubuh Bu Rini sambil meremasi bokong semoknya, lalu menyahut, "Nggak tau, Mak."

"Hihihi, Emak malu ngomongnya," ujar Bu Rini, sambil membuang muka. Tapi ekor matanya tetap melirikku.

"Ya tinggal ngomong aja, Sayang." Aku mencaplok satu putingnya, lalu menariknya sampai Bu Rini mendesah.

Sejurus, Bu Rini kembali cekikikan. Pandangannya tepat mengarah di kedua bola mataku. "Kobe denger sendiri kan soal sumpah Emak yang Emak katakan tadi?" Sebelum mulai bercerita, ia bertanya terlebih dahulu.

"Pengantin?"

"Ya ..." Bu Rini mengangguk kecil, "setelah mendengar Kobe cerita soal kelakuan dua orang bajingan yang bermain gila di belakangku bersama Bu Zia, Emak semakin yakin untuk cerai. Emak ndak punya alasan lagi untuk mempertahankan rumah tangga cacat seperti ini. Selain itu ..." Bu Rini menjeda, "Emak mau hidup sama Kobe. Hanya saja ...."

Aku menaikkan sebelah alisku. Menunggu dengan dada berdebar kencang ungkapan isi hati Bu Rini yang semakin ke sini, semakin membuatku penasaran akan dirinya. Sosok wanita yang mencoba menyusup masuk ke dalam hatiku.

Ada kilatan kesedihan dan rendah diri di mata Bu Rini, yang kemudian ia melanjutkan, "Emak ... Emak sadar udah ndak muda lagi. Emak juga ndak secantik gadis-gadis desa lainnya. Tapi, kalau Kobe menerima cinta Emak, Emak siap lahir batin memberikan segalanya buat Kobe seorang. Ndak seperti Bu Zia yang lubangnya udah kemasukkan banyak burung, lubang Emak baru kemasukan punya suami Emak. Bahkan Emak rela kalau Kobe pingin masuk ke lubang belakang yang belum pernah disentuh sedikit pun."

"Setelah aku memasukkan punyaku ke punya Emak yang sempit ini, apa setega itu aku mengabaikan perasaan Emak?" aku mengatur intonasiku yang mulai berat.

"Kobe ...." Mata Bu Rini berkaca-kaca. Ia menguatkan pelukan.

"Aku menerima cintamu, Rini," jawabku, sambil menahan luapan perasaan bahagia di dalam dada. "Setelah kamu memberikan tubuhmu ke aku, bercerita tentang siapa aku, juga siapa kamu, bodoh kalau aku menyia-nyiakan wanita secantik kamu, Rini."

"Kobe nakal manggil aku langsung lama," cicit Bu Rini. Ia rebah ke pelukanku sembari merangkak naik menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.

Tanganku ikut naik. Dari yang semula
hinggap di bokong, kini berlabuh di kepala Bu Rini yang berambut hitam panjang nan lembut. "Kamu nggak suka, Rin?"

"Ah, Kobe!" pekik Bu Rini. Terasa basah leherku. Sejurus, aku tahu jika itu air mata. Itu karena Bu Rini menangis tanpa suara. Hanya badannya yang bergetar, berikut pelukannya kian erat.

"Tapi!" tegasku. Yang membuat Bu Rini langsung bangkit dari rebahannya, lalu duduk agak menunduk menatapku tegang. Aku ulurkan tanganku menyentuh pipinya. Mengelusnya sebentar, lalu kembali berkata, "Aku akan selesaikan masalah keluargaku sampai tuntas. Setelah itu, kita ngobrol lagi. Kamu keberatan, Rini?"

Bu Rini menggeleng cepat. Wajahnya sudah tak setegang tadi. Kali ini ada senyum tipis di bibir tebalnya terukir indah. "Endak. Apapun yang ingin Kobe lakukan, aku hanya bisa mendukung. Aku akan menunggu Kobe di sini. Berjanjilah sama aku kalau kamu akan datang lagi. Bukan sebagai orang lain, tapi sebagai seorang laki-laki yang akan menjemput wanitanya."

Aku mengulurkan kelingkingku. "Janji."

Jari kelingking Bu Rini ikut maju. Mengikat kelingkingku. Sambil tersenyum penuh kebahagiaan, ia berkata, "Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama, Sayang. Sebelum aku pulang, boleh nggak kamu ngangkang terus aku masukkin tempekmu sama kontolku?" aku menggoda, seraya menaik-turunkan alisku.

Jawaban Bu Rini? Sudah tak perlu aku katakan lah, ya. Ronde dua dengan perasaan yang lebih kuat antara aku dan Bu Rini dimulai, dan berakhir dengan skor empat-satu.

Hail to the king, si Palu Gatot!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd