Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Bimabet
Potensi Nando bakalan keluar gak ya ....

:semangat::semangat::semangat:
Apalagi di Genk tugasnya kan cewek semua tuh , bisa di buat praktek kayak di kampung ...
 
Episode 11
Seratus Lima Puluh Dua


Ada satu macam perilaku makhluk hidup yang bisa diamati dengan mudah, itu adalah interaksi sesamanya. Bagi makhluk-makhluk yang dikodratkan menyendiri, menjadi beramai-ramai bagaikan ancaman. Mereka yang seperti itu memiliki insting bahwa sumber daya terbatas, sehingga tidak boleh dibagi-bagi.

Bagi makhluk-makhluk yang dikodratkan bersosial, kala tersendiri serasa terasingkan. Bagai kehilangan kesempatan hidup. Makanya banteng perlu kawanan untuk bertahan hidup karena dia makhluk sosial. Makanya banteng djadikan simbol sila keempat pancasila.

Lucunya, yang punya sifat sosial itu tidak terpola berdasarkan evolusi. Karena, bersosial bukan hanya hak yang empunya sistem saraf pusat semisal rayap, cakalang, sampai bonobo. Tapi mereka yang renik-renik seperti Nostoc, Diatom, dan Tardigrada juga punya naluri semacam begitu.

Padahal, yang renik tidak bisa berpikir.

Lucunya juga, perilaku seperti ini juga teramati pada makhluk-makhluk yang tidak bergerak. Fungi dan tumbuhan, maksudnya. Alih-alih berpindah, mereka lebih suka disebut dorman atau mati sekaligus. Individu yang suka hidup berkomunitas akan senang hidup kalau tumbuh ramai-ramai. Individu yang suka hidup sendiri biasanya punya alelopati dan yang mirip-mirip fungsinya untuk mencegah individu lain tumbuh di sekeliling.

Siapa yang suka berkomunitas? Mereka rumput, anggrek, jahe, sampai Rizhobium,

Siapa yang suka sendiri? Mereka pinus, cemara laut, lamtoro, eukaliptus, sampai Penicillium.

Manusia pun begitu. Sang Homo sapiens dinobatkan sebagai makhluk bersosial terbesar, termegah, dan terhebat. Manusia bisa berkalimat sebagai alat komunikasi paling sederhana, bersurat 2000 tahun sebelum masehi, berwikipedia sejak 1837, bertelepon sejak 1871, dan berinternet sejak 1969.

“Bisa, Do?” Tanya Anwar.
“Begini?” Tanyaku balik.

Aku kemudian memperbaiki nada yang tersumbar sebelum ini. Mendentingkan lagi bunyi-bunyian melodi hanya pada senar satu dan dua. Sedikit-sedikit menjentikkan jari jempol di senar enam untuk variasi bass.

Di samping kiri, Anwar menyimak sambil kesenangan mencari-ncari celah supaya menemukan hal yang bisa dikoreksi. Aku keringat dingin. Tidak pernah sebelumnya aku main gitar dikoreksi orang lain.

Ting...

Kupetik kunci melodi terakhir yang suaranya naik satu dari sebelumnya.

“Gak pas, coba ulang.” Koreksi Anwar.

Harus kuberitahu kepada Anwar kalau manusia juga bisa tertekan karena bersosial. Bunuh diri konsekuensi terburuknya asal dia tau. Atau dia yang kubunuh jika sekarang berani.

Tapi tidak jadi, karena aku tidak tertekan.

Ini cuma main gitar. Lagipula Anwar bisa jadi benar. Kalau, kepemilikan gitar dan alat-alat musik lain jadi standar kemahiran seorang jago menghasilkan bunyi indah, Anwar mungkin nomor satu sekampus.

Itu kutahu karena kemarin dia cerita. Waktu itu sore, latihan pertama kami di sekretariat. Setelah itu Anwar ikhlas memboyong orang-orang untuk latihan musik di rumahnya. Di rumahnya, ada kamar yang dirombaknya jadi satu studio sendiri.

“Halo halo~” Suara perempuan masuk studio.

Mereka ada bertiga, ramai-ramai, keroyokan.

“Halo.” Sahut Anwar.

Aku cukup mengangkat alisku naik dengan turun.

“Gimana?” Tanya perempuan yang tidak berkerudung dan pendek.
“Apanya?” Tanya balik Anwar.
“Latihannya.”
“Udah mau kelar ini.”

Apanya yang mau selesai. Aku baru menyanyi satu bait dari tadi, lagu daerah, juga populer di daerah itu, yang diaransemen menjadi akustik. Anwar terlalu sibuk menawarkan nada-nada baru sampai lupa menyelesaikan target. Sekarang dia mengaku sudah hampir selesai.

Kalau kulirik air keringatnya yang meleleh di bawah AC studio ini, maka ada yang lucu terjadi dalam dirinya. Mungkin kapan-kapan kuintip sedikit. Sore ini kuselesaikan sebaiknya, karena mereka sudah mau latihan untuk porsi band.

“Eh, kalian main berempat jadi?” Tanyaku.
“Engga, gue nonton doang.” Kata yang berkerudung.

Ah, teman sepermainan, kataku buat sendiri. Hanya menemani pun rasanya sudah senang pasti. Karena hanya nyaman bermain dengan yang dekat-dekat.

“Siapa namanya? Sorry lupa lagi.” Tanyaku lagi.
“Duh, Do. Erna gue. Tuh yang main gitar Jennifer, yang vokalis Tika. Inget-inget kek.”

Lalu, aku duduk sebentar di sofa di pojok untuk membereskan perlengkapanku. Erna agak jauh di sebelahku mulai membuka minum-minum soda dan chiki. Lalu dia menikmati alunan nada-nada bising dari hadapannya. Sementara aku kurang menikmati yang begitu.

Akhirnya, sudah waktunya aku pergi.


Erna


Jennifer


Tika

---

“Selamat malam.”

Dua kata ajaib itu disampaikan orang-orang kalau sudah malam. Kalau sudah pagi, menjadi selamat pagi. Kalau siang, menjadi selamat siang. Itu namanya etika yang coba ditunjukkan manusia di masa bertemu, termasuk berpisah karena sudah lelah bertemu.

Kalau tidak bersalam, tidak sopan. Kalau tidak menyapa balik, tidak sopan. Kalau tidak menggunakan tangan kanan, tidak sopan. Kalau melangkahi orang duduk, tidak sopan. Kalau kalau, tidak sopan.

“Selamat malam, Nando.” Sapa Pak Dokter kembali padaku.

Malam ini malam senin. Aku melewati jadwal konsultasi kamis kemarin karena harus mulai latihan sambil kenal kawan-kawan. Untuk Senin sekarang, konsultasi tidak boleh terlewat lagi.

Sekarang tepat sebulan aku berkonsultasi dengan bapak dokter spesialis syaraf dan gangguan tidur. Namanya Dokter Syarief, kepercayaannya Niken karena beliau kenal dengan Om Berewok. Sekarang juga jadi kenal denganku.

“Kamis kemarin sibuk ya?” Basa-basi pak Syarif.

Dokter Syarief malam ini santai. Kaosnya polo dilapisi sweater, celananya jeans, dan keduanya tampak cukup sehat untuk menghalau dingin AC ruangan kerja di sini, di rumah beliau sendiri, di Jakarta Selatan. Pakaiannya menjadi kontradiktif karena sanggup melawan kulit loyo berkeriput dan kepala botak mengkilap akibat degenerasi. Sederhananya, penuaan.

“Iya, Pak.. Dok, maksudnya.” Kataku.
“Kuliah pasti memang lama-lama sibuk.” Pak Syarif bijak.

Ada salah satu praktek dalam hubungan dan komunikasi tentang tata cara saling menghargai. Maka, aku harusnya memanggil orang-orang seperti beliau dengan panggilan Dok, supaya menghargai gelar yang didapat susah susah. Tetap saja, kadang aku juga masih kelepasan memanggil menggunakan kata sapaan Pak. Susah menyesuaikan begitu.

Kami duduk dulu sebentar. Aku ditawarinya makanan ringan dan teh panas sebagai bentuk perilaku sosial yang baik. Balasannya, aku juga menolak sedikit, tapi kemudian menerima juga sebagai bentuk perilaku sosial yang baik.

“Saya senang kamu sudah punya teman.” Dokter Syarief basa-basi.
“Iya, Dok. Terima kasih.”

Senyum tipis kuberikan.

“Ngomong-ngomong, saya bukan basa-basi lho ya. Saya ikut senang karena ngerasa bulan-bulan awal kamu di sini struggle sekali.” Dokter Syarief mengoreksi gerak-gerikku yang tidak enak di bantalan sofa.

Siapa yang tau kalau Dokter Syarief selain sebagai dokter, merangkap juga sebagai psikiater. Tingkah laku sekecil apapun dan sesingkat apapun bisa dia baca dengan baik, setidaknya pada kasusku. Padahal, psikater dan dokter adalah profesi dengan jalur pendidikan yang berbeda jauh.

Atau Dokter Syarief memang punya hobi membaca buku-buku psikologi. Ditambah tingginya frekuensi interaksi dengan pasien, ditambah jam terbang profesinya yang sudah lama, pasti pengalamannya membaca kepribadian manusia sudah banyak. Apalagi sekarang cuma bertemu denganku yang anak kemarin sore.

Seteguk teh kusesap lagi supaya mengalihkan isi kepalaku yang mulai ke mana-mana. Pertanda lelah mungkin. Bisa juga pertanda otakku sedang girang karena hari ini akan berekreasi ke mana lagi.

“Mulai sekarang kali ya, Dok.” Kataku.
“Mari, mari.”

Aku kemudian berubah posisi dari duduk menjadi berbaring di sofa yang sama. Sebuah bantal jadi penyangga untuk kepalaku. Kulihat Dokter Syarief memperbaiki posisi pantatnya yang menempel di posisinya sendiri.

Pak Dokter itu mengambil catatan. Membacanya di bagian yang sudah dicoret-coret. Dan itu pasti perihal evaluasi yang kemarin-kemarin

“Saya lihat sebentar..”

Aku sendiri berkonsentrasi terhadap otak sendiri. Agak berat menjelajahi mimpi tanpa punya tujuan. Biasanya, sebelum ini, aku hanya mengikuti apa yang diinginkan mimpi. Seperti pada saat main catur, itu ruangan semula terbentuk sendiri. Aku hanya menikmati supaya tidak sampai kalah.

“Nando.. progress kamu bagus. Tidak ada epilepsi. Tidak ada gejala kejut dan kejang. Detak jantung memang di ambang batas atas. Dan.. sedikit catatan-catatan spesifik soal itu.”

Aku diam, mendengarkan rangkuman catatan yang dibacakan Dokter sejak sebulan lalu. Bagiku, ini hanya ocehan berulang yang dibacakan setiap pertemuan. Tapi, bagi beliau, itu pasti prosedur standar operasional. Catatan itu umpama hard disk eksternal untuknya.

“Tapi kamu masih jauh dari standar Niken, kalau mau dibandingkan. Umpama saya bilang kamu sekarang ada di level lima, jadi Niken sudah level enam puluh.” Jelas dokter.

Oke. Itu fakta. Aku harus terima. Ranah ini masih evaluasi.

“Konkritnya, Niken sudah menempuh yang dia bilang dunia mimpi berlapis, cerita menembus waktu, rekonstruksi tempat di masa lampau, dan masuk ke kepala seseorang jauh ke ingatan di tempat sampah orang itu sendiri.” Jelas dokter.

Oke. Ini bukan bahasa dokter. Ini bahasa fiksi.

“Itu wajar, Niken sudah lebih dari sepuluh tahun sama saya. Kamu kan masih satu bulan hahaha. Gak apa-apa.” Jelas dokter.

Iya.

“Sekarang kita ulang yang minggu lalu dan evaluasi. Tapi kita cek dulu.”

Siap lah. Aku berbaring di tempat tidur pasien. Stetoskop dipapar-ditekan ke kulit, rongga dada diketuk-ketuk, perut diketuk-ketuk, lidah dijulur, mata disenter, dan tekanan darah diukur.

Selanjutnya, aku kembali ke sofa menuju aktifitas pengukuran yang lain. Jadi kupejamkan mata dan membuat otot-ototku rileks seluruhnya. Jantungku kucoba atur supaya iramanya reguler. Nafas kutarik dalam-dalam, kutahan lama, dan kulepas panjang-panjang. Kuulangi itu sekitar enam kali sampai apa yang terdengar di telinga hanya detik jam dinding. Di mana, satu detikkan selanjutnya aku sudah lepas dari ragaku sendiri.

Siapa bilang aku mati. Mati dan hidup hanya punya Tuhan. Bahkan kalau aku mencoba bunuh diri sekali pun, nyawa hanya terangkat atas izin Tuhan.

Lalu apa ini kalau bukan nyawa. Aku tidak tahu. Tapi Dokter Syarief punya teori kalau yang sedang aku alami adalah kondisi di mana bentuk fisik dan bentuk halus terpisah satu sama lain. Ini merupakan salah satu bentuk dari mimpi sadar katanya, tapi proyeksi yang seperti ini hanya bisa terjadi pada orang-orang tertentu.

Kuamati dari posisi yang lebih tinggi, kini, Dokter Syarief menghembus nafas panjang. Beliau memulai penghitung detiknya. Kemudian, dia menatap ragaku yang sedang berbaring.

“Nando, kamu bisa lihat saya? Kalau kamu bisa, coba kamu pergi ke mobil, di garasi, yang warna putih. Coba lihat apa saja yang ada di sana. Nanti kasih tau saya.” Kata Pak Dokter.

Aku tahu aku pernah melakukan ini sewaktu dulu. Ketika datang rombongan mahasiswa bimbingan Om Berewok ke dusunku, tapi terhambat di tengah jalan wilayah lembah Anai. Waktu itu, waktuku hanya bertahan kira-kira lima sampai sepuluh menit.

Minggu lalu, justru lebih sedikit lagi. Hanya tiga menit.

Aku tidak bisa memberi aba-aba kepada Dokter Syarief. Jadi aku langsung pergi ke garasi. Atau, terbang lebih harfiahnya.

Terbang menembus benda fisik itu menegangkan di awal. Lama-lama rasa khawatir makin terkikis meski masih ada. Takutnya sewaktu-waktu pinggangku bisa tersangkut di antara dua ruangan dan tidak bisa lepas. Padahal, itu kemungkinannya sangat kecil.

Mobil putih yang dicari ada di sebelah belakang mobil hitam, diapit di antara kedua motor matic yang bermerek berbeda. Aku langsung tembus ke dalam karena sudah tidak penting mengamati sekitar.

“Wah berantakan ya.” Kataku.

Di kursi tengah, ada kotak tissue tergeletak kosong. Sepatu hak tinggi posisinya tidak rapi di bawah kursi. Beberapa noda saus keju, kecap, sampai saus kacang batagor masih berbekas di jok. Dan apa itu bisa ada potongan kentang goreng yang sudah lembek di sela-sela antar kursi.

Bagian belakang mobil lebih parah lagi. Baju-baju kotor layak cuci tesebar di mana-mana dan kusut. Celana dalam laki-laki pun bercampur dengan celana dalam perempuan. Dan mobil siapa ini tadi?

“Kayanya.. ada bungkus apa gitu tadi..”

Aku kembali ke deret tengah. Di bawah kursi, ada bungkus plastik yang telah tersobek hampir jadi dua. Bungkus luarnya hitam dan di dalamnya putih timah seperti kemasan umumnya.

“Uh, kond... Udah lah ya.”

Sudah cukup aku menjelejahi isi mobil ini. Isi dalam artian ruangan kabin yang harus kujelajahi. Tidak perlu aku telusuri sampai ke isi mesin dan ruang pertamax yang ada di bagian sana sini. Tidak penting itu.

Jadi, aku kembali ke ruang kerja dokter. Lokasi di mana tubuh fisik milikku sedang terbaring sekarang. Sebagai catatan, badanku juga mulai terasa berat seperti tanda-tanda kelelahan astral.

Sekejap.. tubuhku tertarik lagi ke dalam badan. Mataku terbuka cepat.

“Nah, minum dulu.” Dokter Syarief berujar datar.

Aku pelan-pelan mengatur nafas kembali. Kala seperti ini, dokter Syarief pasti memintaku menghitung detak jantung dalam waktu enam detik. Nanti, hasil hitung dalam enam detik itu bisa dikali sepuluh supaya bulat dalam hitungan satu menit.

Sebenarnya bisa aku mengukur dalam waktu hitungan sepuluh detik, kemudian dikalikan angka enam. Tapi terlalu panjang rasanya untuk berpikir dulu dalam pilihan-pilihan. Pentingnya adalah hasil yang tepat sasaran dari tujuan yang diinginkan di awal.

“Seratus lima puluh dua.” Kataku.
“Apa?” Dokter Syarief menoleh.
“Detak jantung saya. Seratus lima puluh dua per menit.”

Dokter Syarief mengerutkan dagunya. Dengan begitu, bibir bawahnya juga ikut terkerut. Sebagai catatan, Dokter Syarief biasanya melakukan gerakan itu kalau pasien-pasiennya sudah tahu harus melakukan apa sebelum diberitahu.

Kemudian, biasanya lagi, Dokter Syarief akan bilang...

“Hebat.”

Lalu, khusus buatku, ada tambahan...

“Kamu gak masuk ke kepala saya, kan?”

Aku jelas membantah. Aku sudah berkali-kali dipahamkan untuk tidak mengusik urusan pribadi orang lain. Mengusik aib. Mengusik yang tidak seharusnya orang lain tahu. Kecuali dengan catatan-catatan terkecuali.

Lagipula, aku belum bisa masuk ke kepala orang lain tanpa menyentuh orang lain itu dulu. Selanjutnya, aku akan jatuh tersungkur atau tidur saat masuk ke kepala orang lain saat. Tidak bisa aku segar bugar sementara pikiranku mengawang-awang ke alam keliaran.

Setelah beberapa langkah waktu dan nafas. Dokter Syarief memeriksa kondisi fisikku setelah eksplorasi. Kembali stetoskop yang dingin itu menggerayangi kulitku.

Evaluasi dari dokter Syarief bagus. Fisik tubuhku lebih bugar dari biasanya saat berada dalam kondisi astral, juga setelahnya. Artinya, aku lahir dan batin, kata beliau, sudah bisa melakukan jelajah melalui astral tanpa pantauan serius.

“Tadi di mobil kamu lihat apa aja?” Tanya dokter, pindah topik.
“Banyak.” Jawabku padat.
“Banyak apa?”
“Banyak. Maksud saya, banyak tergeletak dan gak rapi. Ada bekas kecap juga berantakan di kursi. Ada baju-baju kotor.”

Aku mendeskripsikan mobil itu seperti kapal pecah. Tapi kenapa ada terminologi kapal pecah. Kapal pecah pasti tenggelam. Mobil itu tidak tenggelam, justru terparkir rapi di tempatnya.

“Ada yang aneh kah?” Dokter tanya lagi.
“Aneh yang bagaimana, Dok?”
“Aneh. Sebut apapun yang kamu lihat aneh.”
“Buat saya semuanya aneh, Dok. Kotak tisu kosong harusnya dibuang. Baju-baju kotor harusnya dicuci, nanti jadi sarang nyamuk, iya kan, Dok.”

Dokter Syarief mengangguk sambil tertawa lumayan lepas.

“Hahaha. Habis itu apa lagi?”
“Sampah.” Kataku
“Sampah apa?”
“Bungkus plastik, bekas kontrasepsi.”

Dokter Syarief menghentikan gerakannya yang detik itu sedang mengukur denyut nadiku. Stetoskopnya dilepas dari dua lubang kupingnya, padahal harusnya tadi bagian membran putih di situ masih menempel di lengan atas tangan kananku. Beliau juga sudah melewatkan bagian tekanan diastol. Harus diulang lagi jadinya.

“Bujang itu makin nakal aja. Harusnya jangan saya kasih mobil dulu.”

Tiga puluh menit kemudian Dokter Syarief akhirnya menyelesaikan kalimat terakhir dari cerita anak laki-laki bontot beliau yang masih kelas 3 SMA. Aku bisa paham dia nakal, tapi memang belum umurnya sampai di batas itu. Luar biasa anak kota memang. Untung laki-laki.

Jam sembilan malam, aku hendak pamit. Tapi ada pesan penting dari Dokter Syarief mengenai jadwal pertemuan kami.

“Sampai bulan depan kita off dulu ya. Saya harus workshop ke Frankfurt dan macam-macam. Gak apa-apa, kan? Lagipula kayanya kuliah kamu juga makin sibuk. Kamu kumpul-kumpul lah dulu sama teman baru. Jangan jadi kaya anak hilang.”

Aku mengiyakan. Mengiyakan semuanya, dari bagian off sampai memberi waktu untuk kumpul-kumpul dengan kawan di kampus. Memang harus kulakukan berkumpul itu supaya bisa menikmati menjadi mahasiswa rantau.

“Atau kalau kamu butuh dokter lain, saya bisa buat rekomendasi ke dokter Mira. Tapi beliau hanya bisa praktek hari Senin malam.”
“Gak usah, Dok. Off dulu kayanya bagus.” Aku mengelak.

Selain kata off memang bagus, aku belum kenal reputasi sosok yang namanya Dokter Mira. Niken juga tidak pernah bercerita atau merekomendasikan ke dokter yang punya nama Mira. Salah salah, resikonya pasti besar.

Jadi, sampai jumpa bulan November lagi dengan Dokter Syarief. Aku bisa mendoakan keberkahan untuknya di Frankfurt dan macam-macam. Hal baik, kan, harus didoakan oleh banyak orang.

“Nah, kita ke tes baru lagi setelah saya pulang dari Jerman.” Dokter Syarief memberi penghiburan yang tidak perlu.

Tapi aku senang.

---


Yoshi


Gina


Yuli

“Do, presentasinya oke banget ya tadi.” Bisik Yoshi.

Aku akhirnya bisa duduk dengan kawan yang ramai, di antara kawan-kawan yang lain. Bukannya aku duduk di pojok belakang kanan seperti kemarin-kemarin.

Lalu, setelah akhirnya sesi tanya jawab dari jatah presentasi kelompok Anwar, kelas dan tugas akhirnya tepat selesai. Materi kuis keempat dideklarasikan bapak dosen berdasarkan presentasi kami tadi. Dan deklarasi lainnya.

“Ada tugas kelompok lagi ya. Buat dua minggu nanti.” Titah bapak dosen belum berhenti.
“Bukannya dua minggu lagi UTS, pak?” Anwar bertanya.
“UTS-nya setelah kalian presentasi.”

Kawan-kawan bergemuruh. Artinya akan ada materi ekstra yang tidak mereka hendaki ada dalam bahan UTS. Mereka maksudnya bukan termasuk aku. Aku pribadi tidak ada masalah dengan materi apapun.

Bukan berarti juga aku sudah menguasai materi. Tapi, memang aku tidak peduli karena sukses UTS sudah tugasnya mahasiswa apapun hambatannya. Meski ada materi studi populasi yang harusnya masuk di akhir semester pun, harus aku belajar juga.

“Kelompoknya sama, Pak?” Sekarang yang bertanya itu perempuan di sebelah Anwar.
“Samain aja sampai akhir semester.”

Gemuruh pecah lagi di kelas. Ada yang kudengar senang, ada yang kudengar saling tos, ada yang kudengar saling ledek. Tapi semua masih dalam konteks yang positif sebagai manusia terpelajar. Hanya itu bagian dari komunikasi tidak formal.

“Kelompok kita kayanya ketiban rejeki nih ada Nando.” Yoshi meledek.
“Wooo iya dong.” Tabrak Yuli.
“Nanti gue traktir booze paling enak se-Jakarta, mau ya, mau ya.” Gina ikut-ikut.

Terserah. Asal aku punya kelompok.

Booze?

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya hu.
Jarang2 dapat bacaan kayak gini. Tiap episode ada ilmu pengetahuan yang disandingkan secara luar biasa dengan alur cerita dan pemeran yang didalam biologi sebagai sesama makhluk hidup.
Salut...
:beer:
 
Makin penasaran nih sama ilmu ttg lucid dream:huh:
Tp jd makin suka ttg semua yg berbau lucid dream:klove:


Keep writing huuuu
Kami selalu menanti dikau untuk update selanjutnya:taimacan:
 
Singkarak...
Ombilin...
Padangpanjang....

Sangat familiar sekali tempat tempat itu...
Ikan bilih ada...? Ataw sate mak datuak di Padangpanjang...?

Hmm si bigau...
Coba angkat/sisipkan juga cerita tentang...
Sijundai...
Gasing Tengkorak...
Cindaku. .
Urang bunian...
Bahkan ada yang memelihara 'inyiak'...

Juga lokasi kuburan para datuak yang hanya
berjumlah 9 pusara...
Dan bergilir untuk diisi

@Robbie Reyes ...
 
"Anta gadih iko" artinya y antar gadis ini...
Sibigau pengen Nando mengantarkan Novia kepadanya...
Begitylah kira2 maksud om TS
 
penuturan ceritanya lain dari pada cerita yang lain hu, unik tapi asik.....

serasa baca roman dari pujangga lama :jempol:
 
Selamat tengah pekan, selamat berbahagia..


Singkarak...
Ombilin...
Padangpanjang....

Sangat familiar sekali tempat tempat itu...
Ikan bilih ada...? Ataw sate mak datuak di Padangpanjang...?

Hmm si bigau...
Coba angkat/sisipkan juga cerita tentang...
Sijundai...
Gasing Tengkorak...
Cindaku. .
Urang bunian...
Bahkan ada yang memelihara 'inyiak'...

Juga lokasi kuburan para datuak yang hanya
berjumlah 9 pusara...
Dan bergilir untuk diisi

@Robbie Reyes ...

Waduh ada orang Sumbar. Ampun, saya hanya pengunjung. Setannya banyak ya ternyata di sana, serem ah hehehe.


"Anta gadih iko" artinya y antar gadis ini...
Sibigau pengen Nando mengantarkan Novia kepadanya...
Begitylah kira2 maksud om TS

Duh ketahuan hehe.


penuturan ceritanya lain dari pada cerita yang lain hu, unik tapi asik.....

serasa baca roman dari pujangga lama :jempol:

Sekarang tahun 2018, ayo bikin angkatan Pujangga Milenial atau Pujangga Micin.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd