Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Episode 12
Etil Alkohol



Yoshi


Gina


Yuli


Tidak ada kegiatan yang semudah makan. Makan, memasukan sesuatu ke dalam rongga mulut, dilumat hingga halus memakai deretan gigi, lalu ditelan dalam bentuk bolus ke dalam kerongkongan. Kerongkongan bukan tenggorokan, karena kalau ke tenggorokan, maka cheeseburger yang sudah jadi gumpalan justru jadi masuk ke paru-paru.

Kegiatan makan dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28A tentang hak asasi manusia. Karena, makan merupakan tindakan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Jadi, makan termasuk minum menjadi hak dasar makhluk hidup dengan caranya masing-masing.

Berbeda lagi jika apa yang dimakan tidak seharusnya dimakan. Plastik misalnya, atau tanah, atau obat nyamuk, atau bensin, atau manusia bakar saos asam manis. Maksudnya, yang menyalahi kodrat tetap tidak boleh dilakukan.

“Tapi babi kan daging juga, Do.” Kata Yuli.
“Agama elo apa?” Potong Yoshi.
“Agama, agama. Lo sih enak gak dilarang makan babi.” Yuli menegas.

Perdebatan ini kusir. Yuli yang memulai.

“Bunglon juga punya daging, ular juga, kura-kura juga...” Aku berusaha berbahasa standar.
“Maksudnya gimana.” Yuli memotong.
“Dengerin dulu sih.” Yoshi memotong lagi.

Aku tertangkap basah terbuka mulutnya melihat kerusuhan kecil ciptaan mereka berdua. Yang satu mengklaim dirinya sekuler di atas label agama mayoritas di Indonesia. Yang satu lagi berusaha mempertahankan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Inilah yang Niken wejang bahwa tipe manusia bermacam-macam kalau di tempat yang hererogen kumpulannya. Empat bulan lalu, kata-kata dari Niken itu masih serupa nasihat orang tua kepada anak usia 14 tahun. Selalu diabaikan. Sekarang, ya begini lah.

“Apa aja bisa dimakan, memang. Tapi ada aturan-aturan yang kalau dianalisis sebentar pakai logika gak akan masuk. Budaya dan agama misalnya.” Kataku, ingat kata Bapak.
“Betul!” Yoshi berpihak.

Atau aku yang berpihak?

“Bawel deh. Gue udah punya KTP. Tau mana yang bener, mana yang salah.” Itu Yuli meninggi.

Bicara kedewasaan, harusnya kalau sudah dewasa pasti tahu tidak baik makan plastik. Tidak baik makan babi kalau agama melarang. Tidak penting apa logisnya, tapi bapak pernah bilang memang yang masih ghaib itu bisa dinikmati dalam porsinya sendiri.

Klise kalau kubilang sekarang. Tapi sepertinya itu yang kupahami dari kawan-kawan yang selalu berkumpul di pojok kanan kelas itu. Mereka menemukan apa yang mereka cari.

“Kalau diadu sama HAM, selalu bisa didebat sih.” Kataku.

Sebenarnya, aku berusaha menyudahi pembicaraan yang makin berat beban pikirannya ini. Tugas akhir semester masih belum selesai dikerjakan. Ini lebih penting.

Debat dimulai kala Gina menawarkan alkohol akibat telat pulang. Informasinya, dia minta maaf karena sibuk berpacaran di jumat malam, ulah si pacar yang sudah menjemput tanpa konfirmasi. Ada peluang, Yuli sekalian meminta dibelikan menu makanan berdaging babi sekalian.

Kami bisa masuk kamar Gina karena kunci kamar apartemen sudah dititipkan kepada Yoshi saat siang hari tadi.

“Jadi gue bagi dikit, gapapa kan. Kan pilihan gue sendiri.” Yuli masih tidak mau kalah.
“Udah dong. Kerjain lagi nih, belum selesai.” Aku memperjelas.

Ujung perdebatan tidak ditemukan. Untungnya, inilah yang terbaik. Yoshi dan aku jadi kembali menatap ke layar yang menampilkan power point. Sudah 30 halaman tayang, tapi sekarang masih bab pembahasan. Sedangkan, masih ada yang mengganjal buat Yuli sampai dia jadi uring-uringan di atas tempat tidurnya Gina.

Tempat tidur itu jadi perhatian buatku saat sejak pertama datang. Dilihat dari sisi Gina, dia sangat feminin dalam bergaya, banyak make up merekah melekat di wajahnya setiap hari. Tapi, justru dia suka punya corak netral hitam dan putih untuk setiap barang yang dia punya, termasuk sprei dan selimut.

“Gina lama banget...” Yuli dengan gadgetnya dijulang di atas muka.

Sementara, jarum jam terus berputar.

Sampai lewat jam setengah sebelas malam...

“Yuhuu. Kelar!” Yoshi lega.

Aku meregangkan punggungku ke atas, ke kiri, dan ke kanan. Sedikit bunyi menambah rasa lega dari kekakuan otot punggung bersandar di kursi plastik.

“Gue langsung balik deh ya. Nanti pagar kost keburu digembok.” Kataku.

Kemudian, aku berkemas. Beberapa carik kertas fotokopian hasil kuliah dan buku tulis kumasukkan lagi ke tas. Dua batang pulpen kukembalikan ke tempat alat tulis milik empunya, Gina. Hingga akhirnya jaket abu-abu tebal tanpa motif sudah selesai kukenakan lagi.

Tepat saat Yuli berkumandang.

“Woit! Tunggu, tunggu. Gina ngasih tau dia gak balik, gimana dong?”
“Kunci aja kamar. Ntar dibawa siapa kek.” Saran Yoshi.
“Atau nginep sini. Besok Gina balik pintunya gak bisa dibuka gimana.” Yuli melempar masalah.

Aku tak bisa ambil pusing. Ini kamar perempuan. Biar dua perempuan itu yang mencari solusi.

“Yaudah lo nginep sini.” Yoshi menyuruh Yuli.
“Yaudah temenin.” Yuli menyuruh balik.
“Gak bisa lah, gue udah ditunggu sopir.” Yoshi menang.

Kemudian mereka berdua menatapku. Kutahu maksudnya mereka pasti begitu. Lalu, maksudku, aku tidak bisa. Ini kamar perempuan makanya tidak baik aku tinggal di sini semalaman.

“Nggak mau. Lo sendiri aja sih.” Kataku.
“Serem gue.” Yuli kelepasan begitu, pasti.

Nah, kalimat tadi jadi bahan bully yang untuk Yoshi lontarkan sepanjang dua semester ke depan. Yuli pun sudah tidak berkutik dan tak bisa juga menarik kata-katanya yang memberi identitas memalukan itu.

“Yaah gayanya mau makan yang haram-haram, tapi ditinggal sendirian aja takut.”

Tidak ada relevansinya Yoshi membandingkan antara pilihan makanan dan ketakutan. Tapi untuk jadi bahan ledekan tentang keberanian, Yoshi benar. Berani menentang aturan agama termasuk hal yang besar, tapi masih terkotakkan dengan pilihan-pilihan ringan yang harusnya juga berani dilakukan.

Yuli sempat membela diri kalau dia takut ada maling, ada orang tak dikenal, ada laba-laba, sampai ada kuntilanak yang terbang di atas langit-langit. Segala macam jurus bela dirinya dikeluarkan, namun terlambat. Yoshi dengan senang hati membuang waktunya untuk meledek Yuli.

Sampai lupa ada masalah yang tadi belum selesai.

“Nginep sini sih, Yosh, temenin gue.” Yuli jadi merengek.
“Kalo gak mau nginep, yaudah pulang.” Kata Yoshi
“Rumah gue jauh. Kalo Gina pulang pagi, ribet di gue.”

Dan hasil rembukan adalah, justru aku yang direlakan menginap di sini. Dalih aku tidak dicari siapa-siapa, dalih kostku pasti sudah digembok, dalih macam-macam sampai yang tidak masuk akal pun mereka berdua sepakati supaya aku kalah.

Jadilah, aku menginap di kamar ini sampai Gina pulang besok. Jadi, jangan salahkan aku kalau sprei hitam-putih beraroma pewangi wanita akan menjadi berbau keringat laki-laki besok.

“Fix ya, udah gue kabarin Gina. Bye, Nando.” Salam perpisahan Yuli.

Itu menjengkelkan harusnya kalau mereka bukan kawanku. Seenaknya wanita bisa berbelok keputusan di akhir waktu. Syukur pula ini gedung apartemen, bukan kost perempuan.

Tapi, lihat sisi baiknya. Yuli tidak jadi mabuk dan makan babi.

---

Bolus adalah bola-bola. Bukan bala-bala, tapi bola-bola. Disebut begitu karena bentuknya seperti bola, atau gumpalan. Itulah yang bentuk makanan yang memasuki lambung untuk dicerna lagi dengan dua cara.

Melalui mekanis, bolus tadi dihancurkan lagi supaya lebih halus. Makanya lambung terasa naik dan turun sibuk sekali setiap saat. Melalui kimiawi, ada banyak sekali enzim dan asam yang dipergunakan. Makanya, susu yang diminum jadi menggumpal kalau dimuntahkan, protein rusak secukupnya akibat paparan asam klorida, sisanya menjadi intisari yang mampu menembus dinding usus melalui konsep permeabilitas.

Kalau alkohol, tubuh saja tau itu tidak baik. Itulah alasan lambung menggembung, karena menolak sejak detik pertama cairan itu mengalir di dindingnya. Sama seperti obat nyamuk cair, harus dikeluarkan lagi lewat saluran masuk tadi.

“Do, Nando.” Gina memanggilku dari belakang.
“Gin..”
“Jangan kikuk begitu, nanti Yuli sama Yoshi curiga.” Pesan dia.

Aku memperbaiki bentuk dari lekukan-lekukan di kening. Kata Gina harus santai, jadi harusnya aku bersikap santai. Tapi sedikit-sedikit masih terbayang kenapa Gina bisa seperti itu, malam itu.

Muntahannya di atas jaketku sabtu lalu luar biasa. Tidak bisa terlupa bagaimana isi perut Gina yang terisi sejak berjam-jam lalu keluar semuanya sampai melapisi putihnya lantai kamar.

Kemudian, perkuliahan terjadi seperti sewajarnya. Dosen mengajar, beberapa mahasiswa mencatat dengan buku, lainnya dengan laptop, dan lainnya lagi tidak mencatat. Aku termasuk di bagian mencatat sebagai pembalasan budi atas beasiswa yang aku terima.

Senin ini aku kembali memulai jadwal konsultasi dengan dokter Syarief sehabis beliau pulang dari Frankfurt tiga hari lalu. Jadi, sesuatu istimewa yang membuatku bahagia berasal dari jadwal malam nanti. Bukan tutur cerita dosen atau presentasi tugas akhir yang sudah selesai dikerjakan akhir pekan lalu.

Di tengah kuliah, aku dengar bisikan-bisikan dari arah kiri agak belakang.

“Nando sekarang gengnya cakep-cakep.” Bisik seorang cowok.
“Sirik aje. Emang kita-kita gak cakep?” Itu suara perempuan yang menolakku masuk kelompok.

Aku bahkan tidak sadar kawan-kawan sudah melabeli diriku masuk dalam kawan-kawan sepermainan Yoshi, Yuli, dan Gina. Kawan-kawan mengusikku itu adalah mereka. Perkumpulan perempuan dan laki-laki yang awal semester lalu mementahkanku untuk masuk kelompok tugas mereka. Padahal, asal mereka tahu, aku juga sering bermain musik dengan Anwar dan kawan-kawannya, diajak kepanitiaan yang kecil-kecil oleh Beni, dan masih asik sendiri berkelana melihat flora fauna di pinggir jalan.

Dari situ, Yuli juga sempat mencuri dengar obrolan mereka. Lalu, jadilah bahan candaan dia saat kami makan siang.

“Guys, kita cantik, guys~” Yuli sumringah.
“Norak deh lo.” Yoshi melawan.
“Yang penting kita cantik~”

Aku tidak bisa ikut bersuara di sini. Topik perempuan cukup didengarkan saja, bukan ditimpali. Nanti aku semakin dikira melambai, karena itulah yang jadi anggapan manusia sekarang. Termasuk anggapan mereka, pasti.

“Lagian yang jadi highlight mereka itu Nandonya, bukan kita.” Yoshi lagi.

Ayam bakar datang pas ke meja kami, disusul es teh manis. Keduanya makanan dan minuman sejuta umat. Sempat aku terpikir, malah berkali-kali, seperti apa kisah ayam-ayam yang nyawanya hanya menumpang lewat di dunia.

Pejantannya hanya berguna ketika sudah mati. Betinanya tanpa henti ditunggu untuk mendorong telur keluar dari dubur setiap hari. Lalu, sudah berapa banyak total nyawa ayam yang sekedar melintas bumi dari masing-masing peternakan, dari setiap negara, dari setiap benua. Sebermanfaat itu atau tidak.

“Do, ngelamun aja.” Yoshi memanggil.
"Makan tuh, ntar ayamnya hidup lagi.” Yuli berkomentar.

Aku tertawa, karena Yuli selalu sumringah dan mengomentari apa saja yang bisa dia komentari. Anehnya, dia tidak mau berkomentar tentang politik. Logikanya, topik yang paling bisa dikomentari justru politik, karena banyak sekali celah di situ. Undang-undang sana-sini, pernyataan sana-sini, opini sana-sini, lapor sana-sini. Tapi Yuli tidak mau begitu soal sana-sini.

Topik seketika beralih ke Gina karena dia tampak lesu. Kedua wanita di depanku meminta keterangan karena kabar Gina pulang tengah malam sampai ke telinga mereka. Informasinya berasal dari SMSku sendiri tepat di malam itu.

“Katanya lo balik pagi. Kok, jadi malem itu juga sih Gin?” Yoshi bertanya pertama.
“Nmmm.. Iya tuh.. Untung ada Nando.” Yuli, lagi-lagi berkomentar.

Aku melihat geli ke arah Yuli. Beberapa butir nasi kunyahannya jatuh ke piring lagi.

“Kunyah dulu.” Kataku.
“Iya, bawel.”

Gina tidak langsung bicara. Dia menyesap es teh manisnya dulu sebelum mengumpulkan niat. Aku tahu situasi ini tidak ringan bagi Gina, tapi dia tidak sepatutnya berkata bohong dengan teman-temannya. Dia harus bicara, kalau siap, karena saranku begitu.

“Gak apa-apa. Berubah pikiran aja.” Jawab Gina.
“Tapi lo gak apa-apa kan?” Tanya Yoshi.
“Sehat wal afiat gue.”

Gina tidak mau cerita. Dia, tak kupahami, justru rapuh dibalik kuat fisik dan mental yang tadinya sehat. Pengalamannya berat, tapi dia mengambil keputusan yang tepat dikala tak bisa berpikir, malam itu. Aku bahkan takjub saat melihat sendiri.

“Terus daging babinya gimana?” Yuli bertanya.
“Yul, ah.” Aku jadi kesal.

Aku tahu betul apa yang dilalui Gina. Tidak hanya soal muntahannya malam itu. Tapi segalanya, karena supaya Gina bisa tidur malam itu kutenangkan dia dengan cara menutupi pikiran yang macam-macam. Terlihatnya kisahnya.

Pengalaman baru lagi buatku menutup isi kepala orang yang sedang rusak akibat zat toksin. Terhambatnya otak akibat senyawa etil alkohol adalah sifat rusak kimiawi. Reseptor yang tadinya harus berkenaan dengan asam-asam amino jadi terhambat. Makanya manusia yang sedang mabuk selalu tidak jelas kelakuannya.

Dahulu di dusun, orang-orang yang menjadi pasienku datang dalam keadaan segar bugar. Pikiran mereka yang berkecamuk terjadi hanya secara batin. Kadang juga karena kondisi fisiknya yang menurun. Disitu hormonlah yang berperan, dan itu tidak apa-apa karena diproduksi oleh tubuh sendiri. Apalagi lebih mudah ketika yang dibutuhkan mereka adalah hanya mencari barang yang terlupa.

Kemarin, kepalaku terasa ikut berputar saat berada di dalam kepala Gina.

“Gak apa-apa, gue sehat, gue masuk kuliah. Lihat, kan, wujud gue utuh nih.” Gina masih menutupi kejadian.

Yoshi tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu, dia memalingkan mukanya kepadaku.

“Do, Lo gak ngapa-ngapain Gina, kan?”
“Nando justru bantuin gue sampe gue sehat hari ini.” Gina yang menjawab.

Kulirik kepada Yuli, dia memampangkan gelagat yang terlalu ekspresif, lalu ketahuan. Bicaralah dia.

“Eciee, ada yang cinlok nih.” Yuli meledek lagi.
“Yul, bisa diem kagak.” Yoshi kesal juga akhirnya.

Siang itu Gina berhasil menutupi kejadian sebenarnya. Termasuk muntahan yang aku bersihkan sendiri setelah dia tertidur pulas. Paginya, aku juga yang belikan dia bubur ayam dan seduhkan teh panas.

Pupil mata Gina masih bergetar waktu dia bangun. Mukanya masih agak merah. Dia masih juga mual. Tapi, hal bagusnya adalah ketika tidak ada bubur ayam yang keluar lagi dari perut Gina setelah habis disantap.

Aku bisa ikhlas pulang dari tempat Gina pada Sabtu sore. Itu setelah Gina bisa tertawa menonton acara TV yang tidak begitu berbobot. Begitulah yang dibutuhkan orang-orang dikala butuh hiburan ringan, dikala lelah. Hanya butuh tertawa akibat hal-hal konyol.

Melihat segila itu Gina bereaksi sebab alkohol. Maka, Yuli juga tidak akan boleh kubiarkan mencoba.

---

Sepah memang harus dibuang. Kalau tidak, bisa menjadi penyakit dalam tubuh. Maka, feses harus dikeluarkan melalui saluran lain yang berbeda dari arah masuk. Tidak boleh bercampur dengan jalur makanan yang baru.

Manusia, butuh bantuan untuk melepas sepah. Bakteri bentuknya. Eschericia coli nama spesiesnya. Itu bakteri umum yang membentuk baru sepah makanan menjadi gumpalan berwarna kuning atau coklat, tergantung serat dan apa-apanya. Eschericia coli adalah pahlawan supaya sepah terasa nyaman keluar dari saluran manusia tanpa kerusakan usus.

Kelak, kalau manusia sudah mati. Spesies itu juga membusukkan manusia dari arah dalam. Makanya bagian perut dahulu yang akan menggembung dan pecah akibat gas yang diproduksi masal oleh bakteri itu.

Saat sudah tidak berguna, atau malah menjadi racun untuk tubuh. Itulah waktunya dibuang. Selayaknya hubungan antar manusia yang membuat rugi.

“Kamu punya banyak pikiran ya hari ini?” Dokter Syarief bertanya.

Beliau dokter tahu segala.

Maka, kuceritakan kegelisahan yang temanku hadapi. Kegelisahan yang tidak biasa karena belum pernah aku hadapi dulu-dulu.

Gina, seorang dari kawanku, dijemput laki-lakinya sore itu untuk berpacaran. Gina tidak menolak karena tidak sering mereka bertemu. Makan malam itu lezat jika bisa kurasakan, karena daging-daging itu beraroma. Restoran itu mewah.

Lepas dari sana, Gina tidak langsung diantar pulang meski sudah mengatakan punya tugas kelompok. Dia dibawa ke bar bertemu kawan-kawan dari laki-laki Gina. Karena Gina tidak haram meminum minuman alkohol, minumlah mereka sampai larut malam.

Yang Gina tidak sadari, laki-laki Gina terlampau sering mencekoki sampai kelebihan muatan. Disitulah bahaya mulai datang merayap. Dia diboyong ke kamar hotel beramai-ramai hendak digilir. Handphonenya dibajak si laki-laki supaya mengabarkan kepada Yuli akan tidak pulang malam ini.

Beruntung, Gina masih sadar walau dalam dosis alkohol yang begitu besar. Dia sempat teriak sebelum pintu ditutup sampai satpam merasa ada yang janggal. Dalam kondisi sempoyongan, Gina pun bisa pulang dengan taksi pangkalan depan hotel sampai ke apartemen dia sendiri.

“Kamu mau saya berpendapat?”
“Perlu, Dok.” Kataku.
“Kamu jaga temanmu baik-baik.”

Lain halnya dengan Novia saat kukabari kejadian ini lewat telepon. Dia lama sekali tidak bersuara sebelum akhirnya malah menyindir jumlah teman perempuanku yang banyak sekali di sini. Novia tidak memberikan solusi malam-malam begini.

Itulah yang kubaca sebagai sebuah kecemburuan. Tidak ada solusi yang bisa diciptakan di detik wanita mengalami sikap begitu. Mereka, Novia salah satunya, hanya ingin dituruti atau setidaknya dimengerti bahwa dia harus menjadi satu-satunya.

Butuh penjelasan bahwa aku punya peran sebagai seorang kawan di sini. Itu sebagai bentuk adaptasiku di negeri orang. Supaya jaya, supaya aku pulang dengan membawa kebanggaan. Novia tidak boleh lupa bahwa aku hanya sayang dengan dia satu orang itu.

Lain halnya dengan Niken. Seperti biasa, aku dikatakannya tidak baik untuk sampai jauh-jauh berurusan dalam ranah pribadi manusia. Urusan kawanku itu sangat pribadi dan hanya bisa diselesaikan secara pribadi. Porsiku, katanya, cukup berupaya memberi nasihat, pilihan, dan hadir sebagai teman pendengar.

Cukup berat beban pikiran yang tidak harusnya aku pikirkan malam ini. Sampai jam satu dini hari, aku tidak bisa tidur karena perkara Gina. Wajibkah Gina membuang laki-lakinya selayak sepah. Atau dibasmi seperti parasit. Atau diselesaikan seperti apa.

Lalu handphoneku bergetar...

Gina menelepon. Jam seperti ini.

“Do, bantuin gue! Alvin mau ke sini!” Dalam suaranya yang terduga menggigil ketakutan.

BERSAMBUNG
 
Nando seperti nya
Bakal menjadi tumpuan harapan
Nih bagi cewek cewek.....

Ati ati saja ada yang baper..
 
Thx updatenya om
Nando akan berperan sebagai apa di depan cowo Gina? Cowo barunya Gina atau saudara jauh yang berkunjung...? :D
 
Ini tread berat tapi santai gak bikin puyeng
Lanjutkan suhu semoga lancar
 
kx brasa kentang y huu??
hehe


apa emg di update ini cmn bahas cara berteman Nando??
jd makin penasaran nih sama terapinya nando :D
 
Penasaran cerita lanjutannya keq mana...menarik dan edukatif soalnya..
Masang patok dimari ya hu..
 
Setuju ane juga jadi hobi baca yg minim ss tp kuat di alur cerita yang genre drama atau fantasi semenjak inhuman 1, jadi banyak ngubek cerita yang kuat dikarakter atau alur ceritanya.
Semangat terus suhu @Robbie Reyes dan jangan puas memberi ilmu baru kepada warga semprot :semangat:
 
Minim SS maupun banyak SS kalo digarap dengan baik pasti menarik... cuman emang di cerita karya suhu yang 1 ini bobotnya 80% ga ngaceng 20% ngaceng.... lebih berat dr jamannya inhuman 1 yang masih 60% ga ngaceng 40% ngaceng....

Buat suhu Reyes... lanjuuuuuuut huuu...!!!!
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd