Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Parade Terakhir Reog Ponorogo [LCPI 2016]

Shibuya

Guru Semprot
Daftar
2 Oct 2014
Post
645
Like diterima
297
Lokasi
Ichinomiya Tres Spades Hotel & Casino
Bimabet
10402549_1568279106816221_609678480022536358_n.jpg


Ponorogo, 11 Agustus 1997


“Gus larinya cepetan!”


“Iya-iya udah cepet ini.”


“Lelet ah kamu Gus!”


“Alaaah... ndak-ndak kalo sampe sana habis.”

Bersama kedua sahabatku Veri dan Deni, aku berlari sesaat setelah mendengar suara slompret berirama slendro, dan kempul yang berirama pelog dibunyikan bersamaan dengan angklung serta gong menggema di langit Ponorogo. Suara yang terkesan magis membakar semangat, mengundang semua orang yang mendengar untuk berduyun-duyun mendatanginya.


Itu suara tabuhan, musik pengiring sendra tari Reog yang hari ini dipentaskan di alun-alun, salah satu acara dari upacara pembukaan Festival Reog Nasional yang sudah berjalan dari empat tahun yang lalu. Festival akbar menghadirkan puluhan kelompok Reog dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan piala Presiden dalam rangka ulang tahun kota Ponorogo.


Kami menembus lautan manusia, membaur dengan mereka yang sudah lebih dulu datang dan memenuhi tepi alun-alun utama. Dengan sikap egois bocah 8tahun, kami mendorong dan menabrak beberapa orang dewasa, mengabaikan umpatan kesal bahkan sikut yang secara tak sengaja menyenggol kepala kami. Semua demi berdiri paling depan.


Perjuangan berat terbayar ketika kami berhasil berdiri pada barisan pertama di antara lautan manusia yang memenuhi alun-alun. Berjajar bertiga dengan kostum favorit. Bukan kostum Batman, Superman, melainkan kaos bercorak khas dengan garis-garis merah horizontal, celana genbyong hitam dihias rumbai-rumbai merah dan kuning di masing-masing sisi, sama persis dengan para pemain Reog.


Kami bersorak kagum saat melihat wajah garang berbentuk kepala Harimau dengan tatanan bulu merak mengembang lebar di atas kepala, seperti sebuah mahkota berbentuk kipas raksasa indah berkilauan lalu dikibaskan dengan gagah menerbangkan milyaran debu ke udara. Selalu aksi ini membuatku tak mau sekalipun berkedip, perasaanku bercampur aduk antara kagum, heran, dan senang saat melihat sang bintang utama Reog beraksi.


Perasaan itu semakin meluap ketika pemain lain mulai bermunculan, pria bertopeng seram berwajah merah dengan mata melotot serta rambut gimbal, menari-nari dengan jenaka dan lincah bak pemain sirkus. Dia patih Bujang Anom.


Tidak lama setelah kemunculannya, sekelompok gemblak— satria berwajah rupawan penunggang kuda kepang— muncul diikuti prabu gagah dan tampan bernama Kelono Sewandono membawa cemeti saktinya.


Sendra tari Reog tidak lengkap tanpa Warok, pria dewasa bertubuh kekar dengan kumis dan jenggot lebat berbelangkon, berwajah merah dengan celana hitam dibalut jarik batik. Yang paling khas tali kolor berupa tambang berwarna putih besar menjuntai di depan pinggang.


Veri dan Deni tak berhenti bersorak, suaranya seolah mau menyangi tabuhan. Rasanya wajar mereka bersemangat sekali, kami memang sangat menggilai seni Reog. Tiada hari tanpa bermain Reog-reogan dengan penggemar garis keras lainnya, menonton video pertunjukan dari berbagai padepokan, lalu mengoleksi perlengkapan tiruannya.


“Suangar Reognya! Nanti kalau aku sunat aku mau minta sama Bapakku ditanggapne Reog kayak gini.” Tiba-tiba Veri nyeletuk dengan suara lantang yang sayangnya tertelan riuh suasana.


Aku menoleh padanya seraya tersenyum, “Aku juga Ver, mau minta Bapakku ditanggapne Reog juga yang dadak meraknya besar gini.”


“Wah cocok! Kalau kamu nanggap apa Den?” Tanya Veri pada Deni yang masih asik memperhatikan Reog yang kini sedang menari-nari dengan salah satu gemblak di atas kepalanya.


“Aku?” Liriknya, “Aku juga mau nanggap Reog, kalau perlu dua. Hehehe...” Jawabnya dengan pipi yang tembam.


“Hooo... ikut-ikutan kamu Den,” protesku bercanda.


“Yeee... ndak apa-apa to biar kita kembaran, katanya teman?” Kilahnya tidak mau kalah.


“Iya-iya Den... iyaaa...” tanganku merangkul Deni menepuk pundaknya, “Gitu aja teriak.”


Sampai rumah aku langsung mengutarakan keinginanku pada Bapak. Tentu saja Bapak menolak dengan halus, kehidupan kami yang bisa dikatakan pas-pasan dengan beliau yang hanya menjadi pengerajin miniatur Reog tidak sanggup ‘nanggap’ Reog yang harga sewanya ratusan ribu.


“Bapak, kata Ibu guru kita harus mencintai budaya Indonesia. Cinta ya nanggap Reog Pak.” Kataku, mencoba peruntungan dengan menggunakan nasehat guruku.


Tapi nyatanya Bapak cuma senyum sambil menyapukan kuas kering di topeng Reog mainan yang baru selesai diamplas, “Banyak jalan menunjukkan rasa cintamu pada budaya le, Bapak jadi pengerajin Reog karena Bapak juga cinta budaya ini.”


Alisku menaut tidak suka jawaban Bapak, memasang wajah marah yang biasanya malah bikin Ibu mencubit pipiku gemas. “Tapi aku ndak mau jadi pengerajin Reog Pak! Aku maunya nanggap Reog!”


Bapak menghela napas mendengar rengekanku, menatapku yang mulai berkaca-kaca, tapi Bapak tetap senyum. “Le... bukannya Bapak ndak mau, tapi untuk saat ini kita belum bisa menyewa Reog. Tapi kalau kamu mau belajar jadi pemain Reog besok Bapak anterin ke padepokan Mbah Sugeng. Siapa tau kamu malah mahir main Reog, nanti bisa punya padepokan sendiri, ngajarin anak-anak lain biar bisa main Barongan. Itu malah hebat, biar budaya Reog terus ada sampai kamu tua nanti, lestari sampai anak cucumu.”


Aku terdiam mendengar perkataan Bapak, tidak tahu pasti apa maksudnya. Kadang aku merasa kesulitan memahami perkataan orang dewasa, aku hanya bisa menangkap ‘Lebih hebat ngajarin, biar budaya Reog terus ada,lestari sampai anak cucu.’ Iya aku rasa tidak ada yang lebih membahagiakan jika apa yang kita cintai terus ada sampai kapan pun.

PARADE TERAKHIR
TARI REOG PONOROGO




Author : Shibuya
Genre : Drama, Family, Friendship
Rate : K+
***

Ponorogo, 2007


Sambil rebahan di atas rumput dan memandang langit sore bersama Veri dan Deni, di tempat yang sama seperti 10 tahun yang lalu saat aku menceritakan penolakan Bapakku pada mereka. Nyatanya sama denganku mereka juga tidak mendapat pementasan Reog sebagai hiburan waktu sunat.


Karena saat itu mengalami penolakan yang sama obrolan kami semakin jauh ke sana-ke mari, lalu berandai-andai bisa ‘nanggap’ Reog tanpa biaya.


“Dulu yang paling bego itu kamu Ver, masa tiap ada pesawat lewat kamu teriak-teriak minta duit buat nanggap Reog.” Kenang Deni si gembul yang tumbuh menjadi pemuda tampan dan tinggi.


“Kamu sendiri fantasinya uedan, mosok berharap ada Jin yang ngabulin permintaanmu. Yang ada ya Jin yang menyesatkanmu to, sampe si Sari hamil.” Balas Veri yang dari dulu kurus, menyindir mantan kekasih Deni yang hamil di luar nikah.


“Wooo enak aja, aku ndak pernah nyentuh sari!”


“Tai!” reflek Veri menimpali. Aku hanya tertawa mendengar mereka yang kadang heboh sendiri.


“Mas Bagus... mas Bagus...”


Aku berhenti tertawa dan menoleh mendengar suara lembut yang tidak asing, suara milik gadis cantik yang sedang melambai-lambai ke arahku dari jarak sekitar sepuluh meter.


“Ciiee... di cari sampek sini,” Veri menyikut perutku dengan sikutnya yang kurus.


“Asem sakit Jon sikutmu lancip!” Aku protes kemudian duduk demi melihat jelas gadis yang mulai berjalan mendekat. Deni sempat berkomentar entah apa, yang jelas dia juga menggodaku.


“Ada apa dek?” Tanyaku setelah ia mendekat.


“Dipanggil Bapak, disuruh latihan lagi.”


Namanya Putri, gadis manis bermata bulat anak Mbah Sugeng pemilik padepokan tempat kami latihan mbarong. Menurut gosip yang beredar katanya Putri naksir aku, iya dari wajahnya yang selalu memerah bak buah persik saat kami berhadapan aku bisa menyimpulkan. Tidak hanya dia, aku juga menaruh hati padanya tapi belum punya nyali untuk mendekatinya karena Mbah Sugeng yang over protective. Lagian aku masih mau fokus sekolah dan latihan mbarong.


Ya, sejak obrolanku dengan Bapak waktu itu aku memutuskan menerima tawarannya untuk belajar jadi penari Reog, diikuti Deni dan Veri. Bertahun-tahun sejak saat itu kini kami telah tumbuh menjadi pemain Reog yang profesional di usia kami yang masih muda. Aku dan Deni pemain dadak merak, sedangkan Veri yang kurus tapi petakilan lebih suka jadi Bujang Anom, katanya lebih bebas gerak dan gak berat.


Kami tim terbaik dan sudah tiga kali berturut-turut memenangkan piala presiden di Festival Reog Nasional. Banyak undangan yang mengingikan kami mengisi acara spesial, apalagi beberapa bulan yang lalu Reog diakui Malaysia dan membuat banyak orang Indonesia marah kemudian bersatu mengklaim Reog adalah budaya asli Indonesia .


Demi menjaga dan melestarikan Reog, sekarang mereka sering mengundang kelompok Reog di acara-acara spesial seperti: pernikahan, sunat, ulang tahun, atau ulang tahun daerah.


“Cieee Bagus aja yang disuruh latihan?” Veri nyeletuk setengah menggoda, ditambah Deni yang ngomporin. Sedangkan Putri cuma senyum malu-malu, lalu meralat kalimatnya menjadi semuanya disuruh kembali latihan.


***



Ponorogo, 2010

“Apa Mbah?” Mbah Sugeng hanya mengangguk mendapatiku yang melongo tak percaya, sosok berbadan kekar dengan jenggot tebal itu baru saja mengatakan padaku bahwa aku terpilih menjadi pemimpin penari pada pagelaran parade Reog yang akan di adakan satu bulan lagi.


Dalam kurun waktu 10tahun ini popularitas Reog memang terus meningkat, hal itu juga yang membuat Bupati akhirnya memberikan hadiah pada masyarakat berupa parade yang yang melibatkan seluruh grup Reog asal Ponorogo sekaligus menandai hari ulang tahun kota.


Satu bulan di hari yang telah ditentukan, kelompok kami sudah siap dengan kostum lengkap. Kami berkumpul di alun-alun yang dipenuhi ratusan dadak merak yang diletakan berjejer di lapangan dengan gapura bertuliskan ‘Manunggale Cipto, Roso, Karso Agawe Rahayuning Bumi Reog’ yang artinya menyatunya semangat rasa, dan keinginan yang membuat bumi Reog lestari. Dadak merak itu nantinya akan berjalan dan menari di belakangku. Penonton sudah tampak memenuhi alun-alun, dari wajahnya aku tau mereka tak sabar ingin segera melihat parade ini.


“Ayok Jon siap-siap!” Deni memanggilku, dia juga sudah siap dengan kostumnya dan akan bergabung dengan pasukan dadak merak yang lain.


Akupun berdiri dan berjalan menuju di mana topeng dadak merak kami diletakan. Dadak merakku jelas saja ditempatkan paling depan. Saat Pak Bupati menyelesaikan pidato pembukaannya dan menginstruksikan agar acara segera dimulai akupun bergegas memakai topeng seberat 60kg itu dengan menggigit bagian dalamnya. Berat? Tentu saja, apalagi ditambah perasaan yang sedikit grogi. Tapi dengan latihan yang rutin selama bertahun-tahun aku bisa mengangkatnya dengan mudah.


“Santai Jon! Buktiin kamu bisa!” aku mendengar suara Veri dari balik topengku, aku mengangkat kedua ibu jariku mengisyaratkan aku baik-baik saja.


Suara slompret dibunyikan diikuti suara pengiring lain, aku segera menggerakkan kedua tanganku lalu mulai menari sambil menghentak-hentakan kaki mengikuti irama tabuhan. Saat aku berputar-putar memamerkan dadak merakku, di belakang sana aku melihat sekitar 300 lebih dadak merak telah mengembang mengagumkan, menari bersamaan mengikutiku. Sorakan riuh penonton seketika menggaung di langit Ponorogo pagi itu.


Jika tahun-tahun lalu aku hanya berada di belakang sana bersama Deni kini aku patut berbangga diri diberi kesempatan menjadi pemimpin kawanan. Sambil terus menari mengepakan dadak merak dengan gagah akupun melangkah mantap, membawa ratusan Reog berkeliling kota bersamaan dengan gemblak yang melompat-lompat, Bujang Anom yang menari dengan petakilan.


Ribuan warga menyoraki kami sepanjang jalan, ratusan mata lensa terus membidik dengan tangkas, bahkan beberapa anak kecil menangis ketakutan. Tapi semua tampak bersuka cita. Aku berharap kemeriahan ini akan terus ada sampai nanti.


***


Ponorogo, 2020


Waktu memang cepat berlalu, tapi kejayaan Reog masih bertahan, bahkan kemajuan tekhnologi yang semakin maju tak lantas membuat Reog tersingkirkan. Tapi sepertinya semua akan berubah sejak hari itu.


Pagi-pagi sekali aku dibangunkan Istriku, Putri. Ya, gadis yang aku sukai itu telah resmi menikah denganku 3 tahun yang lalu dan sekarang telah menjadi Ibu dari Putriku Dewi Sanggalangit. Putri menunjukanku sebuah postingan di salah satu portal berita yang membuat hatiku panas dan kecewa, dimana berita itu tertulis dengan huruf tebal yang berbunyi, ‘Dianggap berhala, Reog dan hiasan naga dibakar.’ di sana disertai gambar dadak merak yang terbakar api.


Akupun bergegas bangun lalu menghubungi Veri dan Deni, memintanya berkumpul di rumah mertuaku Mbah Sugeng.


Sampai di sana ternyata mereka sudah tau berita itu, bahkan Mbah Sugeng dan para seniman lain siap turun tangan mengecam perbuatan yang sangat menghina kami sebagai seniman Reog. Kami siap membuktikan tidak ada praktik berhala dalam pementasan dan perawatan Reog yang kami pelajari.


Puncaknya setelah bertemu dan berdiskusi dengan perwakilan seniman Reog dari berbagai kecamatan di Ponorogo, kami memutuskan menggelar demo di depan Kabupaten menuntut pemerintah agar mengusut oknum yang membakar Reog. Aku dan Puluhan kelompok Reog berorasi bersama di bawah teriknya matahari, membentangkan spanduk berisi pengecaman dan meminta agar pelaku segera meminta maaf.


“Reog bukan sampah!”


“Elek yo ben! Penting tak uri-uri!” teriak kami bersahut-sahutan.


Beberapa hari berlalu, kami kecewa tak kunjung mendapatkan penjelasan dari pelaku yang melukai harga diri kami. Di rentang waktu itu mulai muncul asumsi-asumsi yang mulai menyudutkan kami beredar di dunia maya. Menilai dari segi kebenaran beberapa agama yang berujung kami lah pihak yang patut dikecam, aku sampai rela berjam-jam di depan laptopku hanya untuk menjelaskan pada mereka tentang apa itu Reog yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemujaan.


Tapi sepertinya di era internet yang maju seperti ini tidak diimbangi dengan kecerdasan penggunanya, mereka percaya begitu saja dengan teori-teori yang selalu dikaitkan dengan agama. Ketakutan manusia akan dosa sedikit demi sedikit mulai membuat Reog diragukan pecintanya, jika dahulu mereka dengan lantang rela berperang saat Reog direbut Malaysia kini mereka berbalik mendukung Reog dimusnahkan.


Kami marah, kami kecewa mengetahui respon masyarakat. Terlebih pemerintahan yang baru, yang diisi pemuda-pemuda modern cenderung membiarkan masalah ini mengambang. Aku curiga mereka mulai termakan isu adanya praktik pemujaan di dalam pertunjukan Reog.


Penyerangan pada seniman Reog tak berhenti sampai di situ. Tiga bulan setelahnya muncul seseorang aktivis yang mengaku dari komunitas penyayang binatang membuat pernyataan bahwa komunitasnya mengecam kesenian Reog yang katanya berasal dari budaya kekejian. Membunuh harimau dan mencabut bulu merak.


“Maaf teman-teman, kami seniman Reog menyatakan sejak berpuluh tahun yang lalu kami tidak lagi menggunakan kulit harimau maupun bulu merak asli.”


“Kami menggantinya dengan kulit sapi dan bulu sintesis.”


Aku melihat akun Veri dan Deni yang mencoba menjelaskan, tapi aku lihat mereka tetap diserang dengan pernyataan yang membuat hatiku semakin memanas, ‘Sekarang memang memakai bulu sintetis, tapi percayalah kalian memakai bulu sintesis bukan karna melindungi merak, tapi karena merak sudah punah!’


“Aaaarggh!” aku membanting ponselku di meja dan meremas rambutku, Putri dengan wajah panik datang. Tidak perlu bertanya ada apa, dia mengusap-usap pundakku menenangkan, karena dialah orang yang paling tahu aku sedang berada di titik tersulit.


***

Ponorogo, 2025


Kami para seniman paguyupan Reog tidak dapat berbuat banyak untuk mengembalikan kejayaan Reog. Kami sudah berusaha dengan membuat video untuk dipasarkan namun tidak laku, lalu mengadakan pertunjukan gratis, tapi yang datang tidak sebanyak dulu.


Sedikit demi sedikit undangan tampil berkurang sampai benar-benar tidak ada. Banyak padepokan tutup karena tidak ada yang mau berlatih. Rasanya kehidupan kami sebagai seniman Reog telah benar-benar berakhir.


Jaman berubah, Ponorogo bukan lagi kota kecil yang menjadikan Reog sebagai daya tarik. Tanah kelahiranku memang tak kalah melegenda dari yang lalu, tapi kini yang menjadi daya tarik adalah kemajuan tekhnologi yang sangat modern. Ponorogo melahirkan putra-putri penerus bangsa yang cerdas, tata kota lebih indah, transportasi lebih modern, menjadikannya acuan keberhasilan kota lain.


Kesedihanku terus berlanjut ketika kota merayakan ulang tahunnya, sejak tiga tahun yang lalu Reog sudah tidak lagi menjadi salah satu acara pengisi lalu tahun ini tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa akan ada pertunjukan Barongsai dan sirkus.


Aku bersama Deni dan Veri berencana mengajak teman-teman seniman lain untuk protes dengan menari di pinggir alun-alun, tapi mereka menolak. Mereka menyerah dengan keadaan ini, karena menurut mereka apa yang akan kita lakukan tidak akan mengubah apapun.


Mengabaikan, aku bersama Deni dan Veri tetap bersikeras mengadakan pertunjukan Reog di pinggir alun-alun, padahal tidak ada yang memainkan tabuhan tapi kami memakai kaset dvd yang disetel di speaker.


Kami mulai menari di bawah terik matahari dengan dadak merak peninggalan Mbah Sugeng mertuaku, Deni dengan lincah bergulung-gulung di aspal kemudian bangun dan mengibaskan dadak merak begitupun juga denganku. Sedangkan Veri menari lucu sesekali salto.


Kami terus menari seperti kesurupan, bahkan aku telah memamerkan semua tekhnik tari andalanku tapi mereka tidak mau melihat kami. Peluh menetes, bahkan mataku mulai basah, usaha kami sia-sia. Yang lebih mengejutkan, Deni tiba-tiba tumbang kelelahan bersama dengan dadak merak yang dipakainya.


Aku dan Veri melepas topeng dengan wajah khawatir, lalu bergegas menolong Deni.


“Den! Kenopo awakmu Den?!” Deni tidak bergerak, badannya dingin. Veri kemudian berlari dengan panik mencari pertolongan.Tapi ketika sampai di rumah sakit, beberapa jam kemudian nyawanya tak tertolong. Dia divonis kanker, sudah beberapa tahun yang lalu tapi tidak pernah bercerita. Deni meninggalkan kami semua, membiarkan kami berjuang sendiri meski sekarang rasanya perjuangan kami telah sia-sia.


***


Ponorogo, 2065[/i]



Puluhan tahun berlalu sejak kematian Deni, aku dan Veri mungkin pantas disebut pecundang karena setelah itu kami berhenti berjuang mempertahankan Reog. Dan sampai hari ini kami yang sudah dipanggil kakek menjadi saksi betapa jaman berubah begitu pesat tanpa menyisakan secuil kisah si Barong.


Tapi aku masih di sini sendirian, di rumah kecilku yang dipenuhi miniatur Reog. Di pinggiran alun-alun dan terhimpit mewahnya ruko-ruko penjual robot dan macam-macam barang elektronik. Ya, sejak pensiun dan Istriku meninggal aku memutuskan untuk meneruskan usaha Bapakku sebagai pengrajin Reog mini, memang peminatnya sangat jarang bahkan dalam satu bulan mungkin hanya laku 2.


Putriku Dewi Sanggalangit juga sudah menikah dengan seorang pengusaha asal thailand dan menetap di sana bersama cucuku. Ah rasanya aku sangat merindukan mereka, ingin menerima ajakan Dewi untuk tinggal bersamanya tapi aku terlalu mencintai tanah kelahiranku ini.


“Mbah... mbah Bagus...”


“Ada apa to Ver,” kataku saat melihat sesosok yang dulu jangkung kini telah berubah dengan keriput dan memutih rambutnya.


“Siapin Reognya satu, orang itu pesen lagi.”


“Loh, datang lagi to? Kenapa ndak ke sini sendiri?” tanyaku penasaran.


“Ndak sempat, nanti malam diambil di tokoku,”


Iya, aku mempunyai pelanggan yang selalu membeli daganganku melalui Veri, orang ini satu-satunya yang masih rutin membeli daganganku, katanya dia berasal dari Jakarta, tertarik kebudayaan Reog.


Awalnya dia hanya membeli Dvd yang Veri jual, tapi ketika tau ada versi mini dari Reog dia beli. Tapi sayangnya aku tidak pernah sekalipun bertemu dengan malaikat yang masih mencintai budaya asli Negeri ini, kadang aku berharap segelintir orang ini masih mau menghidupkan apa yang kini telah mati suri.


Veri sendiri kini punya toko DVD yang menjual ribuan koleksi kaset Reognya, tapi sama denganku tidak ada yang berminat membeli. Reog memang sudah tidak terkenal, terlebih DVD player sudah bukan jamannya lagi, langka sama seperti piringan musik saat usiaku remaja dulu.


Ruko kami bersebelahan, hanya berjarak 10 meter, ruko sekaligus rumah bagi kami. Veri juga ditinggal Istrinya dua tahun yang lalu, Putranya telah menikah dan pindah ke Jakarta karena pekerjaannya mengharuskan dia tinggal.


“Ver, aku juga pesen kasetnya satu. Parade terakhir kita waktu itu, temennya si Dewi mau beli.” Kataku, sambil memilhkan Reog untuknya.


“Dewi minta dikirimi lagi yo? Yang beli orang yang sama juga?” tanya Veri.


“Ndak tau, Dewi pokoknya pesen.”


“Iya nanti aku carikan.”


Aku masih sangat bersyukur dengan hidupku, aku bersyukur masih bisa mengobrol dengan Veri setiap malam saat semua sudah terlelap. Duduk di depan tokoku atau tokonya minum kopi sambil makan biskuit, mengingat masa kecil kami. Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan, dengan Veri kami saling membunuh kerinduan kami pada masa kecil.


Suatu pagi toko Veri tidak buka, biasanya dia buka lebih pagi dariku. Akupun menunggunya sampai siang, tapi tetap tidak buka. Aku mendatanginya, mengetuk pintu dan memanggil-manggil namanya tapi tidak ada yang menyahut.


Satu hari, dua hari, tiga hari. Toko Veri tetap tidak buka, aku mencoba telepon berkali-kali tidak di jawab, perasaanku buruk tentangya. Tapi aku berharap dia dibawa Ageng ke Jakarta dan lupa mengabariku.


Malam harinya aku merasa kedinginan, tubuh rentaku ini terasa begitu lelah. Aku membungkusnya dengan sweater dan selimut tebal, udara di luar sangat dingin dan itu membuat tulangku ngilu dan sakit.


Perasaan nyaman dan hangat seketika merambat ke seluruh tubuhku yang telah aku olesi dengan balsam panas. Hingga rasa kantuk yang teramat sangat menggelayut, aku tidak pernah merasa semengantuk ini. Akupun merebahkan tubuhku ke tempat tidur.


Dan rasanya saat menutup mata aku tidak mau terbangun lagi, ini terlalu nyaman meski aku tahu itu artinya semua mimpiku akan terhenti. Mungkin tidak apa-apa, tidak semua mimpi bisa terwujud, setidaknya aku pernah berjuang.


Perlahan mataku mulai tertutup, bias cahaya bulan yang menyelinap dari balik jendela terasa meredup, tubuhku mulai kaku tidak bisa digerakan. Inilah akhirku, akhir perjalananku. Tapi percayalah harapanku akan tetap terang di atas sana sampai suatu saat seseorang kembali menemukan lalu mewujudkannya.


***
Tiga hari kemudian...


Dua mobil terparkir berlawanan arah di depan dua ruko bercat kusam kontras dengan bangunan sekitar. Beberapa saat yang lalu dua keluarga memasuki toko Dvd dan toko cinderamata Reog mini yang telah kosong itu.


Satu minggu yang lalu kakek Bagus meninggal seorang diri di kamarnya, dan kini Dewi berencana membereskan semua barang-barang Ayahnya bersama Putri kecil dan suami tercintanya. Veri ternyata juga meninggal tiga hari sebelum kematian Bagus. Ageng anak laki-lakinya datang mempunyai rencana yang sama dengan Dewi.


Di dalam kamar Bagus gadis kecil tampak penasaran dengan satu almari berdebu yang berdiri di dekat ranjang usang. Saat gadis kecil itu membukanya ia dikejutkan dengan ratusan tumpukan DVD bergambar menyeramkan, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.


Di kamar lain seorang lelaki kecil secara tidak sengaja juga membuka almari milik kakeknya, dia terkejut ketika ratusan topeng seram tiba-tiba keluar dari almari Veri yang sudah tidak cukup menampungnya.


Iya, ternyata selama ini Bagus danVeri lah masing-masing pelanggan toko itu, tidak ada yang lain, tidak ada yang sudi membeli kecuali mereka sendiri.


Di tempat berbeda kedua bocah itu mengambil benda yang mereka temukan. Mengamati sekilas lalu mengganti raut ketakutannya menjadi sebuah senyuman yang tidak dapat di artikan.

END


Dan saat aku membuka mataku kembali aku berada disebuah tempat yang sangat lapang di penuhi orang-orang banyak persis seperti berpuluh tahun yang lalu. Dilatari sebuah tugu bertuliskan ‘Manunggale Cipto, Roso, Karso Agawe Rahayuning Bumi Reog’, mereka semua melambai seperti telah lama menunggu kedatanganku.


Aku melihat Deni memasang wajah kesal, dan Veri yang nyengir dengan topeng Bujang Anom di tangannya.


“Ayok Gus cepet kelamaan kamu! Aku dah nunggu lama buanget lho!” ucap Deni.


“Agus lelet!” tambah Veri.


Dan seketika aku seperti tersadar, aku tersenyum, aku telah pulang ke Ponorogoku yang dahulu. Bersama Deni dan Veri beserta orang-orang yang mencintai Reog Ponorogo.


Aku berlari menghambur dan memeluk Deni dan Veri, saat Slompret yang lama tidak aku dengar mulai menggema kembali kami berlari membaur dan menari bersama ratusan dadak merak yang gagah, disertai sorakan semua orang yang telah menunggu-nungguku.



*Cerita ini hanya fiktif.*
 
Menyentuh sekali... ceritanya sederhana tapi mengena..
Seperti sindirn kepada pendatang di negara ini, memusnahkan kesenian asli dan memperjual belijan kesenian mereka.. visi yang di tanamkan kuat sekali... mungkin bisa saja terjadi kalau kita selalu berbaik hati...thanks atas ceritanya..

Semoga sukses
 
Sebenarnya aku bikin tiga cerpen buat LCPI, awalnya Reog. Trus stuck, akhirnya aku bikin Kethek Ogleng. Trus stuck lagi. Akhirnya nulis tentang PKI karena sumbernya jelas dan bisa dipercaya.

Tapi tulisan Kiyoe bagus koq. Aku vote deh nanti. :kangen:
 
Kekuatan cerita ini adalah pada twist yang heart-warming..

Ada pesan heroik yg disampaikan dalam fiksi yg satir, bahwa (kebanyakan) kita baru kebakaran jenggot ketika milik kita sudah kadung diakuisisi bangsa lain.

Nice one, senpai..
:)
 
lho cukup dalem koq crita menjaga kelestarian budaya lokal n ironisnya ditabrak dogma agama yg jelas2 bukan produk asli nusantara...kefanatikan tolol sih kalo saya lihat.....
 
:siul:teloleeeet....
loleloleloleeeet...
:siul:
:jogets::jogets::jogets:
ketika slompret berbunyi nyaring,
suaranya bikin merinding...
:aduh:

suasana cerita bermula seperti di ajak naik ke tebing yang tinggiiiii sekali untuk melihat kemegahan dan keindahan nya. setelah itu meluncur dan terbentur-bentur hingga babak belur lalu kecebur kedalam sumur penuh lumpur...
:((:((:((aiiyaaa...
sungguh malangnya..

Jangan dikomentarin serius2... wkwwkwk
Proyek gagal :v
ummmm:bingung: Putri itu kamu ya, Non!? :huh:
:p
:D
:ngacir:-------------:mindik:
*sebelumdijitak:malu:
 
Kiyoe Hime :kangen:

:p
 
Gak tau musti ngomen apa suhu..

Menyentuh sekali ..
Malahan mulai dari pertengahan cerita sampai endingnya Ane makin larut dan mewek... :((

Dedikasi tingkat tinggi.. sampai akhir.. sampai mati.. benar benar bikin... :hua:
 
@Om Troy bukan aku ituh...
@LilCR, Marikitakemana : Makasih bamyak sudah mampir. Semoga ga kapok ya baca tulisanku >.<
lho cukup dalem koq crita menjaga kelestarian budaya lokal n ironisnya ditabrak dogma agama yg jelas2 bukan produk asli nusantara...kefanatikan tolol sih kalo saya lihat.....

Iyaaah saya liatnya gitu bang, sedikit2 dikaitkan dgn agama. Sdikit2 dibilang sesat, sdikit2 dosa, kek yang paling bersih aja.
Kiyoe Hime :kangen:

:p

Genits...
Gak tau musti ngomen apa suhu..

Menyentuh sekali ..
Malahan mulai dari pertengahan cerita sampai endingnya Ane makin larut dan mewek... :((

Dedikasi tingkat tinggi.. sampai akhir.. sampai mati.. benar benar bikin... :hua:

Iya konsep bagus. Bamyak yg bilang. Tapi ya itu... wkwkwkwwk... makasih yaa
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Serasa ngebaca biografi.

Walau di awal terasa datar, tapi twist dan ending yang bikin miris benar-benar :jempol:

Ditambah lagi pesan yg disampaikan bikin ini cerita makin :jempol: :jempol:
 
Kekuatan cerita ini di tengah sampai akhir. Twist-nya bikin perasaan campur aduk, bangga, miris, sedih.

Gak banyak komentar untuk cerita ini, :cendol: sent sebagai apresiasi

:beer:
 
budaya berasal dari budi dan daya. smoga tidak luntur d makan jaman dan peradaban.
 
Cerita yang bagus. Setilannya kerasa banget. Miris jadinya kalau budaya kita tergerus oleh kemajuan jaman.

Ayo kita bikin gerakan mendukung pementasan reog ponorogo!

Piye penak jamanku to? #AkuRapopo
 
Kyaaaaaaaaaaa ayang beb rilis ternyata :kangen:

*Pras..... Prass maen nyebut ayang aja :marah:

Kamu siapa?? Saya gak kenal #BHHAAAY!
wkwkwwkw...
Serasa ngebaca biografi.

Walau di awal terasa datar, tapi twist dan ending yang bikin miris benar-benar :jempol:

Ditambah lagi pesan yg disampaikan bikin ini cerita makin :jempol: :jempol:

Kekuatan cerita ini di tengah sampai akhir. Twist-nya bikin perasaan campur aduk, bangga, miris, sedih.

Gak banyak komentar untuk cerita ini, :cendol: sent sebagai apresiasi

:beer:

Yep saya bikinnya pas tengah malem, sambil mewek pas nulis bagian akhir hehe...
Bayangin bgt perjuangan bagus beserta kesedihannya, dan ga bisa bayangin Reog kesayangan saya punah.
Ini yg kedua kalinya saya nulis sambil mewek sebelumnya mengejar Shinkansen saya juga mewek. #Plak #ceweklemah
budaya berasal dari budi dan daya. smoga tidak luntur d makan jaman dan peradaban.

Amiiin... jangan sampe kayak cerita ini yah. Cerita ini juga ga serta merta Reog ilang, klo sampe pesannya sih itu kedua cucu mereka yg nantinya bakal menghidupkan Reog yg mati suri^^
Cerita yang bagus. Setilannya kerasa banget. Miris jadinya kalau budaya kita tergerus oleh kemajuan jaman.

Ayo kita bikin gerakan mendukung pementasan reog ponorogo!

Piye penak jamanku to? #AkuRapopo
Hihi... itu kayaknya gak akan terjadi di Ponorogo *amiin
Kan sekolah2 di sana wajib ada ekskul Reog, tiap taun ada festival, gerhana juga ada reog. Pokoknya serba reog dan masyarakat gada bosennya. Di tempat saya juga masih banyak yg kegilaan Reog, termasuk saya. hahaha.
Dvd banyak, Nikah juga maunya hiburannya Reog :v kayak Bagus banget pokoknya.
 
Bimabet
:semangat: nice story..
budaya identitas bangsa :cendol:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd