Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Paranada [Nada ke-6]

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Haloo, hehe. Maaf ya belum update. Masih ada beberapa tugas yang numpuk pas liburan dan juga kepikiran ide cerita lain jadi ya nyicil dikit-dikit >< Hari Jumat/Sabtu ya update, hehe. Maafkeun :ampun:
 
Haloo, hehe. Maaf ya belum update. Masih ada beberapa tugas yang numpuk pas liburan dan juga kepikiran ide cerita lain jadi ya nyicil dikit-dikit >< Hari Jumat/Sabtu ya update, hehe. Maafkeun :ampun:
Wah akhirnya :o

itu ide cerita barunya boleh dibocorin dikit juga ga hu? wkwkwk
 
Sama kalo bisa masukin member yg blm pernah atau jarang dijadiin cerita ya hu wkwk
 
Nada ke-3 : Semitone


“Duo? Kalian bikin grup gitu?” Tanyaku penasaran.

“Hhh... enggak, enggak kak. Buat apa aku cerita,” Aurel menggeleng cepat, lalu melempar brosur itu ke dadaku dengan kasar dan kemudian menjinjing tas gitarnya, melangkah pergi.

“Rel! Dengerin dulu, ini kesempatan bagus buat lo,” Aku mengekorinya sampai keluar cafe. “Kalau kita bisa menangin kompetisi ini, enggak cuma uang, label bakal ngasih jatah rekaman buat kita.”

Dan Aurel akhirnya menghentikan langkahnya.

“Gue butuh lo di grup ini, Rel. Lo punya bakat. Grup akustik cewek ini bakal bi-“

“Dan Nadila bakal ketemu lagi sama aku, kak?” Aurel berbalik, dan menatapku dalam. “Itu enggak mungkin kak. Nadila enggak akan pernah maafin aku...”

“Y-ya, emang lo berdua kenapa sih?”

“Hhh... enggak usah ikut campur, kak,” Aurel melengos.

“Rel. Gimana kalau gue bilang... Gue bisa nyatuin kalian lagi?” Aku berjalan mendekatinya yang masih sedikit menundukkan kepala.

“Enggak, kak. Udah cukup. Jangan ikut campur urusan pribadi kita lagi.” Aurel menatapku sambil mengangkat satu lengannya dengan telapak tangan terbuka.

“Tapi, kompetisi in-“

“Aku enggak tertarik. Makasih kak buat penawarannya,” Aurel berlalu, berjalan kearah satu sepeda motor.

“Rel, lo pasti pengen kan baikan sama Nadila?” Tanyaku yakin.

Aurel yang sudah memasukkan kunci motornya itu tidak menjawab.

“Rel?” Tanyaku sekali lagi.

Namun Aurel tidak menjawab, hanya gelengan kecil sebelum ia memacu sepeda motornya menjauh dari cafe ini, meninggalkanku yang diam mematung.

“Hhh...”

Aku menghela nafas panjang lalu berjalan tanpa gairah kearah sepeda motorku yang terparkir tak jauh dari tempatku saat ini. Otakku mulai berpikir, mencari solusi yang paling baik. Jadi, aku masih belum bisa memastikan kalau Nadila dan Aurel benar-benar pernah membuat duo, setidaknya aku harus dengar dulu dari Nadila soal ini. Namun yang jelas, dari respon Nadila saat melihat Aurel tadi, dan Aurel saat mendengar tentang Nadila, memang kedua gadis ini pernah dan masih bertikai.

Baiklah, jujur aku bingung saat ini. Diantara menyatukan lagi dua gadis ini, yang aku tidak tahu pasti kapan bisa menyelesaikannya. Bisa saja waktu yang seharusnya dipakai untuk latihan malah terbuang untuk mereka, atau memang aku harus melepas salah satu dari mereka dan mencari anggota lain...

“Hhh...”

Saat aku meraih helmku, aku menyadari kalau helm Nadila masih ada di spion motor ini. Tentu saja, dia pasti tidak sempat mengambilnya tadi. Baiklah, saat aku kembalikan helm ini, akan aku tanyakan sekali lagi soal Aurel. Semoga dia mau cerita...

***
“Halo?”

“Kenapa, mas?”

“Helm lo ketinggalan nih. Gue di depan kosan lo.”

“O-oh, iya. Bentar.”

Panggilan itu pun berhenti, aku meletakkan dagu diatas kedua tanganku yang terlipat diatas kepala motor ini. Menunggu gadis mungil itu sambil berharap akan respon positif darinya nanti.

Krieet

Dan gerbang besi bercat hitam itu pun bergeser. Nadila yang masih mengenakan pakaian yang sama itu muncul dari baliknya. Tidak ada raut wajah ceria atau semacamnya disana. Tatapannya datar.

“Mana helmku?” Tanyanya saat mendekatiku.

“Nad. Masalah lo sama Aurel itu apa? Cerita do-”

“Mas. Mana helmku...” Nadila semakin mendekat, dan mencari keberadaan helmnya itu.

“Nad...”

Nadila kini ada disamping kiriku, dan dia melihat helmnya yang aku kaitkan di dasbor. Langsung saja, tangan kanannya menerobos dan meraih helmnya disana tanpa aku menghalangi. Sampai dia melangkah kembali ke gerbang, tak ada jawaban darinya soal pertanyaanku.

“Nad. Aurel pengen baikan sama lo.”

Langkahnya terhenti tepat didepan gerbang.

“Gue udah ketemu dia, dan... gue tau dia pengen baikan lagi sama lo, Nad.”

Aku turun dari motor, dan perlahan menghampirinya.

“Hhh... cukup, mas,” jawabnya ketus. Lalu masuk kedalam kosnya itu sambil agak membanting gerbang itu, hingga terdengar suara besi yang saling menghantam.

Aku menghela nafas kasar. Telapak tangan kiri ini menahan kepala yang aku tundukkan dan menggeleng. Sepertinya aku terlalu terburu-buru. Ambisiku untuk mendapatkan mereka berdua sepertinya harus aku pendam dulu. Baiklah, apa selanjutnya?

Lebih baik, aku segera pulang ke studio. Bertemu mas Rangga dan menenangkan diri. Oh iya, sepertinya aku juga akan membicarakan soal ini. Mas Rangga selalu punya saran-saran yang membantu.

***
“Rel, pas disini enaknya dibikin gimana, ya?”

“Emm... aku kasih melody aja apa, ya?”

“Oohh, iya iya, terus ntar balik ke reff lagi kan?”

“Betcul sekali.”

“Oke oke, coba ya. Pake kunci...”

“Itu aja, Nad. Mainin chord reffnya. Em Am D G, ulang dua kali.”

“Ah iya. Oke, siap, Rel? Satu, dua, tiga!”


Seketika, kedua mata ini terbuka. Aku menghela nafas sambil mengucek mata. Tidak kusangka memimpikan visual itu. Kenangan yang seharusnya tidak pernah aku ingat. Aku menggeleng.

Perlahan, aku memposisikan diri duduk di kasur. Jam dinding bergambar kucing milikku menunjukkan pukul setengah dua belas. Sembari merapikan rambut panjangku, smartphone yang tergeletak disebelah kananku aku ambil.

7 missed voice call : Mas Reza

Satu notifikasi yang langsung menjadi perhatian kedua mataku.

“Ck...”

Aku menghela nafas kasar sembari menutup kembali layar smartphoneku. Moodku sedang tidak bagus untuk berhubungan dengan orang itu, entah sampai kapan.

“Hhh...”

Perlahan, aku turun dari kasur, mengenakan celana panjang dan jaket. Perutku yang mulai manja ini sepertinya harus segera diisi. Melewati depan kamar Viny, aku melihat semua alas kakinya ada di rak sepatu itu. Sepertinya dia sudah pulang dari kerja kelompok di kampus.

Tok. Tok. Tok.

“Vin...?”

Tok. Tok. Tok.

“Masih bangun...?”

“Hmm... kenapa?” Jawabnya dari dalam sana.

Kreek

Aku membuka pintu.

“Bur...jo, yuk?”

Sebenarnya aku sudah familiar dengan lantai kamarnya yang nyaris penuh dengan lembaran kertas dan perlatan cat air seperti saat ini. Pasti dia sedang banyak tugas dan malas untuk berberes sebelum semua tugasnya rampung. Namun tetap saja aku heran dengan kebiasaannya ini. Dan sekarang, aku bingung bagaimana caranya aku menghampirinya yang sedang berkutat dengan laptopnya di meja belajar di ujung kamarnya ini. Berakhir dengan aku yang hanya berdiri diambang pintunya.

“Lah. Tumben. Enggak masak aja?”

“Pengen mie dok dok...”

“Oh... yaudah deh. Aku juga laper sih,” Viny menutup laptopnya, kemudian berdiri dari kursi tempatnya duduk. “Burjo mana?” Dia melewati semua kertas dan peralatannya yang berserakan itu melalui kasurnya, dasar.

“Deket kosan aja. Enak disitu mie dok doknya.”

“Okedeh, yuk,” Viny mengenakan jaket angkatannya yang tadinya tergantung di dinding dekat pintu.

“Celana pendekan...? Dingin lho.”

“Ah, santai.”

Dan begitulah keputusannya, mengenakan celana pendek yang membuat setengah paha putih mulusnya yang ‘tebal’ itu terlihat.

“Yaudah deh,” aku berjalan terlebih dulu keluar.

Dan kami pun berjalan sampai tiba di burjo dekat kos. Hanya berjarak dua rumah dari kos kami.

Langsung saja aku memesan mie dok dok dan teh manis, sementara Viny memesan nasi telur orak-arik dan air putih. Walau sudah larut, tetap saja warung ini ramai dan nyaris penuh. Beruntung aku dan Viny masih bisa duduk di salah satu meja di pojok kanan burjo ini.

“Gimana Nad tadi sama kak Reza? Dapet tuh anggotanya?”

Sial. Kenapa dia malah menyebut nama itu...

“Emm... ehehe, enggak. Kita enggak dapet. Kurang cocok.” Jawabku asal. Tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Oohh... terus, tadi kamu kenapa?”

“Tadi?”

“Ya... tadi kamu banting gerbang kan?”

Berbarengan dengan itu, minuman yang kami pesan datang. Dan Viny masih menunggu jawabanku sambil mengangkat satu alisnya.

“Enggak-“

“Oh ya? terus yang tadi keluar gerbang nemuin mas Reza siapa?”

“Kok kamu ta-”

“Aku tadi liat dari atas, waktu ngembaliin buku ke kamarnya kak Yona.”

“Emm...”

“Ehehe, kalau ada masalah cerita dong, Nad. Lagi kenapa sama mas Reza?”

Aku tidak memandangnya, sambil mengaduk-aduk gula yang masih berdiam di dasar gelasku. Sebenarnya, aku masih tidak mau membicarakan tentang mas Reza, ataupun Aurel. Tapi...

“Habis putus ya?”

“Ngawur!” Aku langsung menampiknya. Dan Viny lantas tertawa sambil menutupi mulut dengan telapak tangannya.

“Hahaha, ya terus kenapa? Santai aja kali. Udah biasa kan cerita kalau ada masalah?”

Aku menghela nafas. Menyerah. Sahabatku ini memang selalu begini. Berbagi cerita dengannya akan selalu menyenangkan. Dan, aku berharap saran yang terbaik darinya.

“Oke... oke aku cerita. Tapi yang pertama... aku sama mas Reza enggak pacaran ya!”

“Dih dih, merah tuh mukamu. Hahaha!”

***
“Yaelah. Padahal itu mereka bisa jadi personil ya.” Jawab mas Rangga setelah mendengar ceritaku mengenai kejadian tadi.

“Ya iya. Tapi masalahnya gue enggak tau mereka itu kenapa. Jadi ya gue bingung mau gimana lagi. Mana si Nadila sekarang jadi kayak gitu.”

“Ahaha! Yaudah sih, kalau emang enggak mau yaudah enggak usah dipaksa kali. Lagian itu kalau memang mereka engga mau cerita, mungkin emang mereka enggak mau lo masuk ke masalah mereka.”

“Hhh... jadi, gue harus relain Nadila sama Aurel? Ya enggak mau lah.”

“Lo mau tau caranya biar si Nadila mau balik lagi?”

“Gimana?”

Mas Rangga mematikan rokok yang sebenarnya masih tersisa satu hisapan itu di asbak, lalu menghampiriku. Dia membisikkan jawaban yang cukup ngawur.

“Heh! Sembarangan!” Aku langsung menampik sarannya itu.

Dia lantas tertawa dan berjalan keluar.

“Hahaha! Canda, Za. Jangan lah. Cewek tuh dibaik-baikin. Oke?”

Aku lantas tersenyum tipis. Sepertinya dia sedang mengejekku. Sialan.

“Anjir lah, hahaha. Iya, tau.”

“Hahaha. Yaudah, Za. Cari aja dulu yang lain. Kayaknya biarin Nadila sama Aurel itu sendiri dulu.”

“Okedeh, mas.”

Setelahnya, mas Rangga menutup pintu. Kemudian pulang menaiki motor tua kesayangannya. Aku lantas mengunci gerbang dan pintu, kemudian naik ke kamarku setelah mematikan semua lampu. Semuanya telah diurus oleh mas Rangga, dari merapikan dan mematikan semua peralatan didalam studio, sampai merekap semua pemasukan hari ini.

Langsung aku rebahkan tubuhku di kasur empuk itu. Sebelum aku putuskan untuk mengikuti rasa kantukku dan menutup mata, aku sempatkan memeriksa smartphoneku. Namun pesan dari seseorang yang aku harapkan tidak aku temukan disana. Ya, Nadila masih tidak menghubungiku. Semua panggilan dan pesan yang sudah aku kirimkan itu tidak ia gubris. Dan mulai dari sini, aku mulai paham. Sepertinya mas Rangga ada benarnya, aku mungikn terlalu memaksakan kehendakku.

Aku helakan nafas panjang sambil meletakkan smartphone itu di meja kecil disamping kasurku. Dan perlahan, aku menutup mata. Membiarkan rasa kantuk menuntunku untuk terlelap dan mengistirahatkan diri.

***
Hari berganti, dan sekarang masih jam setengah sembilan pagi. Aku duduk di tempatku menjaga, sambil menggulung layar membaca cuitan-cuitan di twit**ter. Mas Rangga tiba-tiba mengabariku kalau akan pergi ke Jogja pagi ini untuk bertemu temannya. Sebenarnya aku diajaknya ikut, sekalian refreshing katanya. Tapi tidak. Aku memilih tetap disini saja. Memikirkan tentang project akustikku yang bisa dibilang sekarang nyaris tidak ada anggotanya. Aku tidak bisa tenang jika masih ada beban pikiran ini.

Yah, walau mas Rangga sudah mengijinkanku untuk menutup studio hari ini, tapi aku putuskan untuk membukanya setengah hari saja. Baru aku lanjut untuk fokus pada persiapan kompetisi itu. Entah itu mencari anggota, atau mempersiapkan materi lagu.

Krieet

Ditengah fokusku membaca berita dari link yang kutemukan di timeline, pintu depan dibuka. Dan entah apa yang aku rasakan saat ini; heran, senang, khawatir... Ketika melihat sosok gadis yang kini berdiri di ambang pintu itu.

“Nad...” Panggilku padanya yang mengenakan rok pendek hitam dan kaos bewarna putih di balik jaket yang terbuka itu. Mataku terbuka lebar.

Tangan kanannya melipat dan memegangi siku kirinya, sambil matanya menolak untuk memandangku. Lalu aku pun berdiri menghampirinya. Ia sempat menggulung bibirnya sesaat tadi.

“H-halo, duduk dulu,” aku mempersilahkannya. Namun gadis itu bergeming. Malah terlihat cemas, kurasa.

“Nad? Lo kenap-“

Ditengah perkataanku itu, tiba-tiba saja Nadila merangkul dan menarik leherku, lalu melumat bibirku. Aku terdiam, mematung. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Waktu terasa berhenti sesaat.

“Mmm... Nad-mhh...”

Bahkan saat aku menjauhkan bibirku, Nadila langsung menarik lagi kepalaku dan melanjutkan cumbuannya yang penuh nafsu. Jantungku semakin berdegup cepat. Jujur, aku malah agak takut dengan tingkah liarnya ini.

Namun gerakan bibir yang memanjakan dan juga desahan tipis dari gadis mungil ini malah semakin membuat birahiku naik juga. Aku memejamkan mata. Semakin lama aku tahan, semakin aku kewalahan menghadapi cumbuannya. Hawa nafsu ini pun tak terbendung. Pada akhirnya, bibirku bergerak membalas lumatannya.

“Mmhh... Mmphh..”

Kedua tanganku menahan belakang kepalanya. Kami berdua seperti tidak ingin terlepas satu sama lain. Lidahku mulai mengait lidahnya. Saling bertukar liur, dan terus terbuai dalam panasnya birahi. Dagu kami pun semakin basah karena banyaknya liur yang keluar. Tak lama, kuberanikan tanganku bergerak menuju dadanya. Dan tanpa ragu, aku remas dua gundukan itu pelan. Namun sesaat itu juga, Nadila menarik tubuhnya menjauh dariku.

“Hhh... mmhh...”

Dengan nafas yang masih terengah, Nadila menatapku ragu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Namun aku yang sudah terlanjur berkeinginan untuk menikmati tubuhnya ini langsung memeluknya dan menciumi leher Nadila.

“A...hh... m-mass...”

Desahan Nadila itu pun terdengar merdu bagiku.

Perlahan, aku membimbingnya untuk duduk di kursi. Nadila yang memilih mengikutiku lantas duduk di tempat yang aku maksud. Tanpa pikir panjang, aku menarik kedua tangannya keatas lalu menahannya dengan tangan kiriku. Jaketnya yang terbuka itu semakin memperlihatkan kaosnya yang ternyata merupakan sebuah sleeveless. Sebelum memberinya ruang untuk melawan, aku langsung bergerak menjilati ketiak putihnya yang bersih tercukur itu sambil tangan kananku meremas kasar payudaranya.

“Aaaahh! Y-yaampunhh.. Maass... Mmmhh...”

Nadila menggeliat. Merasakan geli dan aku yakin, juga rasa nikmat secara bersamaan. Ditengah jilatan dan remasanku itu terdengar desahan Nadila berulang kali. Lidahku ini menikmati kulit ketiaknya yang halus, bersamaan dengan tanganku yang meremas-remas secara bergantian payudara empuk yang pas digenggam itu. Kedua kakinya semakin bergerak liar namun tertahan oleh badanku yang menindihnya. Tubuh mungilnya ini bukan tandingan badanku yang lebih kuat.

Tanganku yang belum puas menikmati payudaranya yang masih terbungkus kaos itu lantas membuatku menghentikan jilatanku. Dengan cepat tanpa membiarkannya mencoba melawan, aku mengangkat jaketnya hingga terlepas lalu menyusul menarik kaosnya juga hingga sekarang membuat dadanya itu hanya tertutup bra saja.

Nadila yang kurasa sudah pasrah itu membiarkan tanganku sekalian melepas pembungkus payudaranya itu. Dan itulah dia, kedua mata ini membulat ketika melihat dua bongkahan yang telanjang di hadapannya. Payudaranya terlihat semakin membulat, bahkan puting kemerahmudaannya itu juga terlihat tegang. Aku masih tidak percaya bisa mendapatkan pemandangan yang indah sampai sejauh ini. Memang sejak pertama bertemu, payudara Nadila jadi salah satu perhatian mataku. Dan sekarang, aku bisa melihatnya tanpa terhalang sehelai benangpun. Kenikmatan yang tidak akan aku sia-siakan.

“A-aahh...! mmhh...!”

Perlahan, aku mainkan kedua putingnya dengan jari-jariku. Kedua ujung yang mengeras itu aku cubit-cubit pelan, dan perlahan semakin kuat. Nadila terlihat menggigit bibir bawahnya sambil memperhatikan putingnya itu bersentuhan dengan jariku. Tak lama, kini tanganku meremas kasar kedua payudaranya. Desahan kerasnya yang tiba-tiba itu langsung aku bungkam dengan bibirku. Perlahan aku melumat bibir lembutnya itu seiring dengan kedua tanganku yang menikmati payudaranya. Kedua tangannya kini memegangi tanganku, tanpa memberi perlawanan.

Berpindah lagi menuju putingnya setelah aku sudah membuat kedua payudaranya membesar dan padat. Dengan masing-masing dua jariku, aku kembali mencubit puting menggemaskan itu. Dan perlahan, aku pelintirkan. Nadila tersentak, dan terdengar agak merintih. Kedua tangannya semakin mencengkram erat tanganku serta tubuhnya mengejan berbarengan dengan jari-jariku yang semakin kuat memelintir putingnya. Aku tahan posisi putingnya yang terpelintir ini untuk beberapa saat. Membiarkan Nadila merasakan sensasi kenikmatannya. Dan sampai kurasa cukup, aku menarik putingnya perlahan. Rintihan Nadila semakin menjadi. Namun itu tidak menghentikan tarikanku. Hingga sampai batasnya, aku membebaskan putingnya.

Tak berhenti disana, aku lanjutkan dengan menjilati puting kirinya perlahan tanpa memberinya jeda istirahat. Lidahku membalut daerah yang sudah keras itu dengan air liur, ditambah dengan lumatan dari bibirku yang membuat Nadila kembali menggelinjang. Isapanku menjadi semakin cepat dan intens. Bahkan sampai decakan terdengar dari sana. Ditengah isapan dan remasanku di dadanya, kepalaku memikirkan sesuatu yang lebih. Ada satu bagian lagi dari tubuh Nadila yang ingin aku cicipi. Ya, aku ingin menjamah selangkangannya.

Sementara bibirku masih menikmati payudaranya, perlahan tangan kananku meraba pinggangnya, kemudian turun menyusuri roknya. Hingga akhirnya, masuk kedalamnya. Dua paha mulusnya juga sempat menjepit tanganku, namun aku tetap berhasil sampai pada bagian yang aku tuju. Jariku merasakan basah di celana dalamnya. Kenikmatan dari rangsangan-rangsangan yang aku berikan tadi ternyata sudah membuatnya becek. Aku yang semakin tidak sabar itu lantas menarik celana dalamnya.

Aku tidak menyangka Nadila berlaku kooperatif, atau mungkin dia benar-benar sudah pasrah sepenuhnya. Celana dalam itu sukses aku tarik hingga mata kakinya, baru kemudian Nadila sendiri yang menggerakkan kakinya hingga celana dalam itu benar-benar meninggalkan badannya.

Masih dengan nafsu yang penuh, aku beralih ke tubuh bagian bawahnya. Dengan sekali gerakan, aku membuka lebar selangkangannya. Terlihatlah satu pemandangan indah lainnya yang tidak pernah aku sangka. Vagina Nadila yang indah. Bersih tercukur tanpa bulu. Aku semakin bergairah untuk menjamah lubang kewanitaannya yang berwarna kemerahmudaan itu. Sekilas aku melirik wajahnya. Nadila memberiku tatapan sayu sambil menggigit bibir bawahnya. Ditambah dengan keringat yang membasahi tubuhnya, tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak melanjutkannya.

Setelah aku menyibak roknya keatas, aku benamkan wajahku ke vaginanya. Aku hirup dalam-dalam aroma liang itu. Nadila jelas menjaga benar kebersihan lubang kewanitaannya ini. Sesaat kemudian, sembari kedua tanganku meraba-raba paha mulusnya, lidahku perlahan menjilati bibir vaginanya. Kususuri tiap incinya. Terdengar desahan-desahan halus dari mulut Nadila juga. Sesaat kemudian, Nadila melenguh. Lidahku sampai di klitorisnya. Mengetahui respon itu, aku lantas menjilati bagian sensitif itu dengan cepat.

“Aaakkhh... mas Reza! Mmhh..!”

Tubuh Nadila kembali menggelinjang. Kedua pahanya tegang, ingin menjepit namun tertahan oleh kedua tanganku. Aku yang semakin bersemangat itu terus menjilati klitorisnya hingga Nadila agak mengangkat pinggangnya. Ia mengejan.

“Mmmhh...! A-aakkhh....”

Dan tak lama setelahnya, Nadila orgasme. Cairan cinta itu sedikit mengenai wajahku, dan dengan jariku, aku usap cairan itu lalu menjilatnya, sembari menoleh kearah wajah Nadila. Tampak berantakan, ekspresi sayu itu masih ada disana. Nafasnya yang terengah itu membuat payudaranya naik turun. Dan kemudian, muncul satu lagi keinginan nafsuku. Aku berdiri, kemudian celanaku yang sudah sempit sejak ciuman awal tadi akhirnya aku turunkan. Mengacunglah penisku yang sudah sangat keras selepasnya dari sarang. Perlahan aku usap-usap batang itu. Nadila yang menyaksikannya membulatkan mata, seolah takjub dengan sesuatu yang ada dihadapannya ini.

Namun tak lama, tatapannya berubah cemas. Lalu ia menutup rapat selangkangannya yang ia tambah dengan dua tangan yang menyilang didepannya. Sebuah respon yang sudah aku duga. Tapi memang aku tidak ingin menghujam vagina itu saat ini. Masih terlalu awal, kurasa.

“M-mas... j-jangan...”

“Hhh... tenang... ”

Aku lantas duduk disebelahnya.

“Duduk. Isep. Masak lo doang yang enak.” Perintahku yang kemudian ia turuti.

Dengan canggung, ia membuka mulutnya perlahan. Kemudian, ia julurkan lidahnya, pelan-pelan menjilati ujung penisku. Ia sempat berhenti, lalu memandangku malu. Sebelum akhirnya membuka lebar mulutnya lalu mulai mengulum penisku. Kelembutan bibirnya memijit batang penisku itu perlahan. Ia hisap hingga kehangatan liurnya memanjakan penisku. Ia lanjutkan dengan menggerakkan kepalanya naik turun. Sesekali ia berhenti dan menjiat memutarinya, atau menjilati lubang kencingku yang membuatku terasa geli. Tangannya yang sedari tadi berada di pahaku lantas mulai memijit buah zakarku. Sesekali juga ia mengocok penisku yang sudah basah itu perlahan, sambil lidahnya terus menjilati kepala penisku. Entah bagaimana, namun service yang diberikan Nadila ini lumayan juga. Aku benar-benar dibuatnya keenakan, sampai-sampai aku mendongak dan memejamkan mata.

Gerakan itu terus ia lakukan hingga beberapa menit. Dan selama itu, aku tidak menanyakan apapun mengenai ciumannya yang tiba-tiba tadi, bahkan mulutku ini hanya mengeluarkan desahan penuh kenikmatan. Sebenarnya aku ingin. Tapi sepertinya akan aku tahan sampai ini berakhir.

Aku yang sudah merasakan nikmat ini terpaksa harus mengakhiri ini karena aliran sperma yang mulai terasa akan menyembur. Nadila yang masih dalam posisi mengulum langsung aku tahan. Dia yang terkejut itu tidak sempat menarik kepalanya, dan sesaat kemudian,

Crot!

Crot!

Crot!

Aku semburkan semuanya didalam mulutnya. Nadila memandangku cemas dengan mata berair. Aku yang melihatnya merasa puas. Ekspresi yang menggemaskan bagiku. Namun begitu aku melepaskan tanganku di kepalanya, Nadila berpaling ke samping.

“Hoek...”

Nadila memuntahkan semua spermaku, bersama dengan isi perutnya...

Baiklah... aku rasa lebih baik menutup studio ini lebih awal...



Bersambung...
 
Jaketnya yang terbuka itu semakin memperlihatkan kaosnya yang ternyata merupakan sebuah sleeveless
Jujur gw paling gak tahan sama ini, eniway nice apdet gan, udh lama gak lihat nadila digituin ewkwkwk
 
Jadi penasaran apa yang dibisikkan mas Rangga ya?
Setia menunggu nada berikut.
 
Walah kentang, kalo diliat dari alur ceritanya diawal kirain masih di part2 berikutnya ena2nya wkwkw
 
Jujur gw paling gak tahan sama ini, eniway nice apdet gan, udh lama gak lihat nadila digituin ewkwkwk
Terimakasihh. Ehe.

Jadi penasaran apa yang dibisikkan mas Rangga ya?
Setia menunggu nada berikut.
Apa ya kira"?

Walah kentang, kalo diliat dari alur ceritanya diawal kirain masih di part2 berikutnya ena2nya wkwkw
Ehehehe, mau lanjut sama Nadila?

Kentang goreng enak dijual dadakan
Lezat dan bergizi kak

Wah mantap betul updatenya
Terimakasihh

Ini dia yang ditunggu-tunggu, eksekusi Nadila!
Semoga terhibur suhu :ampun:

Ehe paw paw ehe
Ehe

Lanjjjjuuuuttt
Hehe sabar ya

Mohon maaf lahir dan batin ya :o
E-eh, Mohon maaf lahir batin juga, Nad 🙂🙂🙂

Jjk dulu dibaca nanti malam biar enak crotnya awkowkowk
Silahkan
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd