Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA POISK (Поиск) - By : BKU

Wah cerita baru nih, menarikk.

Jadi 'cari' apa nih hu? Kalau berdasarkan judulnya
 
PART 5





POV 3rd



Hiruk-pikuk keramaian di lantai 1 salah satu Rumah Sakit Umum di Sukabumi yang diperuntukan untuk Unit Gawat Darurat (UGD) dan Unit Rawat jalan begitu sesak oleh banyaknya pasien yang menunggu diperiksa. Namun keramaian tidak terlihat di salah satu lorong lantai 3 yang merupakan deretan kamar rawat inap. Hanya terlihat yang berlalu lalang dokter dibantu perawat yang melakukan visit pagi serta para penunggu pasien yang setia menjaga keluarga atau kerabatnya yang dirawat di RS tersebut.

Dua orang wanita dengan pakaian kontras berjalan menyusuri deretan ruangan di blok flamboyan. Satu di antara mereka berpakaian rapih dengan gamis yang cukup mahal dan memakai kacamata besar layaknya ibu atau istri dari pejabat. Dia adalah ibunda Astrid. Sedangkan wanita yang satunya memakai pakaian sederhana, kaos lengan panjang yang longgar serta rok lebar selutut, tak lain adalah ibunda Yusuf. Sekilas mereka seperti majikan dan asisten rumah tangga. Raut wajah mereka terlihat cemas seperti mengkhawatirkan sesuatu.

“Yang sabar ya, bu. Setidaknya kita mendapat kabar Yusuf sudah siuman” Ibunda Astrid mencoba menabahkan hati perempuan di sampingnya. “Banyak berdoa saja supaya Yusuf lekas pulang dari Rumah Sakit ini”.

“Iya, bu. Tapi kata Astrid, Yusuf hilang ingatan. Bagaimana kalau dia lupa dengan saya, ibunya”

“Yang penting Yusuf masih hidup, kita harus bersyukur. Tinggal nanti bagaimana pemulihan Yusuf” balas ibu Astrid, yang masih berupaya memberikan semangat bagi ibunda Yusuf.

Sambil berjalan menuju ke kamar inap yang di tuju, mereka masih mengobrol mengenai kondisi Yusuf yang pada intinya ia sudah sadar. Meski semalam ia mendapatkan kabar dari Astrid sendiri, setelah Yusuf sadar rupanya dia tidak mengingat siapa-siapa. Bahkan Astrid sendiri dia tidak mengingatnya.

Langkah mereka akhirnya berhenti di depan kamar Flamboyan III. Dengan tergesa-gesa, ibunda Yusuf membuka pintu dan memasuki ruangan disusul ibunda Astrid. Di dalam kamar, tampak Astrid yang beberapa hari belakangan setia menemani Arjun yang terbaring di ranjang perawatan yang masih mengira pria itu adalah Yusuf, tunangannya.

“Bagaimana kondisi Yusuf, Nak Astrid?” Tanya Ibu Yusuf.

Astrid menoleh ke arah dua wanita yang baru memasuki kamar. Sebelum menjawab, dia berdiri mempersilahkan ibu Yusuf duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati.

“Kata dokter hari ini akan dilakukan pemeriksaan lebih mendalam, Ma, bu” Jawab Astrid bergantian menatap kedua wanita tersebut.

Ekspresi sedih langsung di tunjukkan oleh kedua wanita itu. Apalagi ibunda Yusuf, dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan yang menderanya, ia duduk di kursi yang sebelumnya Astrid tempati.

Ibu yusuf langsung menggenggam jemari Arjun yang dia sangka Yusuf, anaknya. Tangan lainnya mengelus kepala Arjun. “Mungkin setelah kamu sadar nanti, kamu tidak ingat ibu. Tapi tak apa-apa, setidaknya kamu selamat, Nak, tidak seperti dugaan ibu sebelumnya kamu tewas tenggelam di laut”.

Setelah berucap, kepedihan dan kegundahan hai wanita itu tak dapat tertahan lagi. Ia akhirnya meneteskan air mata melihat keadaan anaknya. Walau bersyukur menganggap Yusuf masih hidup, namun hatinya teriris melihat kondisi pemuda yang disangka anaknya dengan beberapa perban menutupi bagian-bagian yang terluka ditubuhnya serta beberapa bekas tembakan.





---000---





POV Arjun



Suara beberapa wanita yang sedang berbincang disertai lirihan tangis mengusik tidur saya. Sedikit melirik dengan masih berpura-pura tertidur, saya memperhatikan ketiga wanita di kamar perawatan ini. Satu yang pasti gadis bernama Astrid yang mengaku tunangan Yusuf serta dua wanita lain yang saya tebak adalah ibu dari Yusuf dan ibunya Astrid. Saya belum tahu pasti keadaan di sini, siapa sebenarnya mereka, mengapa saya berada di sini, serta beberapa pikiran lain yang berkecamuk di kepala membuat saya memilih tetap waspada sambil mempelajari keadaan.

Seperti yang sejak kemarin saya pikirkan, jangan sampai ini hanyalah sebuah sandiwara saja. Siapa yang tahu, bukan? secara saya belum bisa mendapatkan satu informasi yang pasti mengenai keberadaan saya, dan saya berniat hari ini memastikan semuanya.

Terima kasih, Tuhan! Keadaan dramatis memuakan ini tak berlangsung lama. Dokter yang kemarin memeriksa di ikuti dua perawat membawa kursi roda masuk ke kamar ini.

“Selamat pagi” suara dokter menyapa orang-orang di ruangan ini.

“Selamat pagi, dok” wanita yang saya tebak ibu Yusuf berdiri membalas sapa dokter dan menanyakan kondisi saya yang dianggap anaknya.

“Bagaimana keadaan anak saya, dok? Benarkah anak saya lupa ingatan?”

Saya putuskan membuka mata seolah baru saja terbangun dari tidur. Semua mata, khususnya ketiga wanita selain perawat memandang saya penuh harap. Tatapan yang menginginkan saya mengenali siapa saja mereka. Jika ini sandiwara, acting mereka layak mendapatkan reward Piala Citra atau setidaknya masuk nominasi.

“Ibu yang tenang. Hari ini kami akan melakukan pemeriksaan intensif kepada Yusuf untuk memastikan apakah Yusuf mengalami amnesia atau tidak serta memastikan kondisi keseluruhan Yusuf” Terang dokter dengan name tag di dada tertulis ‘dr. Ferdy Irawan, Sp.S.’ menenangkan semua orang di kamar ini.

“Relax, Arjun! Jangan terbawa suasana yang bikin kamu iba pada mereka” batin saya menguatkan. Saya tetap waspada, tetap mengikuti alur seolah saya benar-benar amnesia. Cara yang saya anggap langkah terbaik di situasi seperti saat ini.

“Dok... Yusuf sudah bangun” gumam Astrid yang lebih dulu membuka suara.

Semua orang meski tersenyum, namun tampak raut wajah mereka masih khawatir. Entahlah apa yang sebetulnya mereka khawatirkan. Apa memang betul, ini bukan lah sandiwara? Ataukah memang pria bernama Yusuf bukanlah nama rekayasa yang di buat-buat oleh mereka?

Berbagai pertanyaan dalam kepala saya, sepertinya harus mendapatkan jawaban secepatnya. Karena jika tidak, maka akan berdampak tak baik, mungkin saja saya akan mendapatkan rasa sakit kepala yang berkepanjangan.

“Sudah bangun rupanya. Bagaimana tidurnya, Yusuf? Nyenyak?” Dokter bertanya sembari melalukan pemeriksaan dasar, memeriksa dada dengan stetoskop, mengukur tekanan darah, serta menyorot kedua mata saya dengan senter.

Sejauh ini saya masih memilih diam. Masih mempelajari ekspresi setiap orang yang ada di ruangan ini. termasuk Dokter yang tengah memeriksakan kondisi saya. Dan satu hal yang akhirnya saya simpulkan, sepertinya keraguan saya atas apa yang terjadi sejak kemarin hanyalah sebuah sandiwara dan rekayasa dari pihak musuh, agak sedikit berkurang. Kondisi yang terjadi memang bagai sesuatu yang nyata terjadi.

Cuma saja, ada satu hal yang sangat mengganggu saya. Saya muak dengan panggilan orang yang bukan saya. Tapi apa boleh buat, saya masih tetap harus mengikuti alur keadaan ini. Saya memilih tetap bungkam. Menatap tajam dokter tersebut. Sepertinya dia bukan musuh, mungkin bisa saya ajak dia bekerja sama.

“Baiklah Yusuf, kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan di ruangan saya.” Ujar Dokter itu setelah melakukan pemeriksaan awal.

“Mau di bawa kemana, dok?” tanya wanita yang mungkin adalah ibunda Yusuf.

“Oh mau di bawa ke ruangan pemeriksaan ibu, hanya sebentar saja... ibu semua mohon di tunggu di ruangan ini saja”

“Baik dok”

“Semoga hasilnya baik-baik saja dok” satu persatu menjawab keterangan dari dokter itu.

Setelah itu, saya dipapah kedua perawat pindah dari ranjang ke kursi roda. Sempat saya melirik ke arah tiga wanita tadi. Kontras pemandangan penampilan mereka. Mungkin keluarga Astrid kalangan berada di daerah ini dan Keluarga Yusuf berasal dari kalangan bawah.

Tatapan ketiganya sama, haru dan penuh harap. Seakan mencemaskan kondisi saya. Jika bukan orang terlatih, tentu saja saya akan iba melihatnya. Kemudian orang yang mungkin ibunda Yusuf mendekat, mengelus kepala saya, dan berkata semoga semua pemeriksaan yang akan saya jalani lancar serta berharap saya cepat pulih, keluar dari rumah sakit ini.

Saya tetap diam, memandang acuh wanita itu. Membiarkan perawat mendorong kursi roda yang saya duduki keluar dari ruangan penuh drama ini. Cepatlah, sus! Jangan berlama-lama di ruangan ini. Saya tak sabar ada kesempatan berdua dengan dokter Ferdy. Sedikti Treatment akan saya lakukan padanya agar mau bekerja sama. Ahaha.

Setelah keluar dari ruang perawatan, saya dibawa melewati beberapa lorong rumah sakit hingga sampai di ruang MRI. Salah satu perawat yang mengiringi membuka pintu ruangan, lalu kursi roda saya didorong memasuki ruangan diikuti dokter di belakang. Di ruangan ini terdapat meja yang sepertinya di gunakan untuk konsultasi, ranjang dengan tabung besar di belakangnya, serta ada ruangan lain di sisi kiri yang mungkin digunakan oleh operator dalam pemeriksaan MRI.

Saya dibawa ke meja konsultasi, dokter mendekat lalu duduk di kursi seberang saya. Kami terpisah oleh meja dengan beberapa dokumen dan sebuah monitor PC di atasnya.



Baiklah, dok, kita mulai acaranya. Jangan harap anda yang mengintrogasi saya dengan beberapa pertanyaan ala tes kognitif pemeriksaan amnesia pada umumnya. Justru saya yang akan mengintimidasi anda agar mau bekerja sama. Senyum licik terkembang di bibir saya.

Belum sempat satu kata terlontar dari mulut dokter, saya menatapnya tajam. Tatapan yang biasa saya gunakan untuk mengintrogasi musuh atau lawan saya. Satu awalan yang umum digunakan untuk mengintimidasi lawan bicara.

Sesuai harapan, dokter pun terlihat mulai gugup. Mungkin merasa aneh dengan cara saya memandangnya. Dia mengalihkan pandangan dari mata saya, mencoba menguasai keadaan. Tapi maaf, dok, cara itu tak akan berhasil.



Saya kembali menatap tajam setelah pandangannya menuju mata saya lagi. Mungkin kini dia sedang bertanya-tanya ada apa dengan saya, dan mengapa saya masih saja menatapnya tajam bagai sedang mengintimidasi lawan bicara. Apalagi dari jangkauan mata saya, yang masih saja lurus pada matanya, saya menangkap gerakan kecil dari jari-jarinya serta gesture tubuhnya yang terlihat mulai tak tenang. Bergerak kecil yang menunjukkan jika seseorang tengah gugup dengan perasaan yang was-was.

Hoho... ok dok, sepertinya sudah saatnya saya memulai permainan ini. Saya kembali membatin, senyum seringaian tipis saya lalu tunjukkan kepadanya. Sempat keningnya mengernyit, menandakan jika dalam pikiran dokter itu tentu masih tengah bertanya-tanya. Ada apa, dan kenapa saya bersikap seperti ini.

Selanjutnya. Saya mulai menjalankan rencana saya untuk memulai proses introgasi terhadap dokter ini. Namun sebelumnya, saya harus melakukan satu hal untuk dapat membuat kami tinggal berdua saja di ruangan ini.

Kemudian tangan saya ulurkan ke meja, mengetuk beberapa kali. Selang beberapa saat, saya arahkan pandangan saya ke kedua perawat tadi, memberi kode kepada dokter meminta agar kedua perawat tersebut meninggalkan kami berdua di ruangan ini .

“Suster, bisa tinggalkan kami dulu? Setelah saya memeriksa pasien, saya akan meminta suster kembali masuk, oke?” bagus dok, sepertinya kamu orang yang cukup cepat menangkap situasi saat ini, dan dapat memahami apa yang menjadi keinginan saya.

“Baik, dok. Kami tunggu di luar. Permisi” salah satu perawat menjawab dokter itu.

“Terima kasih, sus” balas dokter Ferdy.

Kemudian setelah mengangguk hormat, mereka berdua beriringan melangkah meninggalkan ruangan ini.

Cerdas! dr. Ferdy sepertinya saya bisa mengandalkanmu. Baiklah, kita mulai, dok!.

“Ehem! dr. Ferdy, betul nama anda?” Dengan nada tegas saya memulai pembicaraan.

“Betul, kamu ingat nama saya, Suf?” Balasnya dengan pandangan heran. Mungkin menganalisa keadaan. Bagaimana mungkin orang yang dianggap amnesia, lupa akan keluarga dan tunangannya tapi ingat nama orang lain yang bukan orang dekatnya.

“Tentu saja dari name tag di dada anda, dok” Sedikit kikuk, dia melihat ke dadanya.

“Benar juga, nggak nyangka kamu cerdas juga, Suf” ujar dr. Ferdy lagi, sambil mencoba mencairkan suasana.

“Anda masih menganggap saya Yusuf? Harusnya anda tau, dok. Saya tidak amnesia dan saya bukan Yusuf” Sedikit intonasi tinggi saya balas ucapannya. Maaf, dok, belum saatnya suasana ini mencair.

“Maksud kamu gimana, Suf?” tanyanya dengan raut wajah penuh tanya.

“Saya katakan sekali lagi saya bukan Yusuf. Jangan panggil saya dengan nama itu lagi! Oke?” cetus saya kemudian, dengan menurunkan intonasi suara dari sebelumnya.

Dr. Ferdy tampak terdiam. Saya sengaja membiarkan dia untuk menetralkan pikirannya terlebih dahulu, terutama dengan penegasan dari saya yang mengatakan saya bukan Yusuf, itulah langsung terlihat jelas bagaimana raut wajah yang terkejut dan juga khawatir yang ia tunjukkan di hadapan saya.

Dia lalu melepaskan kaca matanya sesaat, meletakkannya di atas meja. Kemudian ia mulai membalas menatap saya.

“Baiklah, jelaskan siapa kamu dan apa maksudmu!” dr. Ferdy mencoba melakukan diplomasi. Terlihat mencari tahu jawaban dari beberapa pertanyaan di kepalanya.

“Kenalkan, saya Arjun. Salah satu anggota pasukan khusus, DTF.” Saya mengulurkan tangan, dengan ragu dia membalas jabatan tangan saya. “Seharusnya anda tahu dari tattoo di tubuh saya. Anda yang memeriksa saya, bukan?”

“Betul, saya melihat tattoo di tubuh kamu serta menemukan kalung identitas anggota pasukan khusus” terang dr. Ferdy masih dengan sikap waspada. “Awalnya saya kira Yusuf hanya gaya-gayaan dengan tattoo dan kalung itu”

“Tidak sembarangan orang mengetahui tattoo ini, dok” saya lalu menunjukan tattoo identitas anggota DTF pada dr. Ferdy. “Kami tidak pernah menunjukan tattoo ini ke publik, hanya kalangan internal kami yang mengetahuinya”

“Lalu untuk kalung, mungkin beberapa pihak bisa menduplikasinya, membuat kalung serupa. Namun, kalung ini terbuat dari logam khusus tidak ada di pasaran” terang saya selanjutnya, menambahkan keterangan pada kalung yang menunjukkan identitas kami sebagai pasukan elite khusus yang sangat di sembunyikan informasinya itu oleh negara.

Dr. Ferdy lalu menghela nafas panjang, sambil mengangguk pelan, dia sedikit menyentuh mata kirinya. Yang menandakan jika orang itu mulai kembali tegang.

“Baiklah, apa yang kamu inginkan, Arjun?” Tanya dr. Ferdy setelah meyakini saya bukan Yusuf.

“Saya dalam misi rahasia. Semua anggota saya tewas ketika kami dikepung di pelabuhan. Saya melompat ke laut agar tidak tertangkap musuh. Lalu, sampailah saya di tempat ini. Boleh saya tahu saya berada dimana?” tukas saya dengan cukup singkat dan saya yakin orang seperti dr. Ferdy ini langsung dapat menangkap keseluruhan dari alur cerita itu. Lalu saya akhiri dengan pertanyaan, untuk menanyakan saya tengah berada di daerah atau kota mana.

“Sukabumi” dr Ferdy terdiam sejenak, lalu melanjutkan kalimatnya. “Mengapa kalian bisa terkepung? Apa ada penghianat?” bagus Dok. Sesuai dengan yang saya harapkan, kamu tentu orang yang cerdas yang dapat dengan mudah mengerti maksud dari cerita saya.

“Betul, ada penghianat di tim kami. Saya sudah menembak mati anggota yang berhianat itu. Tapi saya yakin dia hanya pion, bukan dalangnya” Terang saya pada dr. Ferdy. “Bisa saya meminta bantuan dokter?”

“Apa yang bisa saya bantu?” balasnya.

“Sebelumnya, saya ingin tahu siapa Yusuf, bagaimana background-nya, lalu siapa Astrid?” karena penasaran, tentu saja yang pertama harus saya ketahui adalah siapa orang yang bernama Yusuf dan siapa juga gadis yang dari awal saya lihat yang juga berada di dalam kamar inap terus menerus.

Setelah menarik nafas dalam, dr. Ferdy akhirnya memulai memberikan jawaban atas pertanyaan saya. “Yusuf adalah pemuda di kampung nelayan dekat rumah sakit ini. Dia pemuda polos, dan lugu, bekerja sebagai nelayan. Beberapa waktu yang lalu, dia ikut rombongan nelayan mencari ikan di laut.” Dr. Ferdy menghentikan ceritanya sesaat, ia mengambil nafas. “Namun, saat rombongan kembali, mereka menyampaikan Yusuf tenggelam di laut dan tidak ditemukan jasadnya” Dr. Ferdy melanjutkan penjelasan detail tentang Yusuf.

“Mengenai Astrid, gadis itu tunangan Yusuf” lanjutnya kemudian.

“Pantas saja gadis itu sangat khawatir kondisi saya yang dia anggap tunangannya. Jujur, saya sangat risih melihat gadis melankolis seperti dia” Saya berguman kecil. Sikap melankolis gadis itu membuat saya tidak nyaman.

“Saya tidak terlalu dekat dengannya tapi seluruh warga di sekitar sini tahu Astrid sangat mencintai Yusuf. Walau Yusuf dari kalangan bawah, tapi ketulusan hati Yusuf serta kepolosannya mampu membuat Astrid tak bisa menolak saat dia mengutarakan perasaannya” Jelas dr. Ferdy seakan mengetahui banyak hal tentang kisah cinta mereka berdua.

“Ckk...jaman seperti ini masih ada juga ya gadis seperti itu” balas saya cukup pelan, dengan menununjukkan senyum sinis. Bagaimana tidak, di jaman sekarang ini masih ada aja orang yang menjadi korban Bucin. Ckckck! Sungguh menyesatkan.

“Jadi, apa yang kamu inginkan?” dr Ferdy menanyakan kembali tujuan saya berbicara dengannya.

“Seperti yang anda tahu, saya dalam misi berbahaya. Di misi ini saya dikhianati anggota tim sendiri. Saya yakin dalang dari rencana ini masih berusaha mencari saya dimanapun saya berada” Saya diam sesaat melihat responnya.

“Lalu?” Tanya dr. Ferdy tak sabar menunggu saya melanjutkan penjelasan tentang rencana saya.

“Jika musuh mengetahui saya berada di daerah ini akan berbahaya bagi warga sekitar, dok. Bisa saja mencelakai keluarga Yusuf, tunangan Yusuf, atau bisa jadi anda dan keluarga”

“Maksudmu, mereka akan memanfaatkan orang di sekitarmu agar kamu menyerah?” balas dr. Ferdy mencoba menyimpulkan.

“Betul, dok. Dengan menyamar sebagai Yusuf, saya harap saya bisa mengelabuhi mereka. Menutupi keberadaan saya di kampung ini” cetus saya.

“Jika kamu tak mau musuhmu tahu keberadaanmu di sini, mengapa kamu membocorkan identitas aslimu ke saya?” tanyanya dengan mimik wajah yang tersirat rasa penasarannya terhadap maksud saya tadi.

“Anda dokter, tentunya anda menguasai bidang anda bukan? Setelah melakukan pemeriksaan, anda pasti tahu saya tidak mengidap amnesia. Lebih baik saya memberitahu anda dan mengajak anda bekerjasama menutupi identitas asli saya”

“Sampai kapan kamu akan bersandiwara menjadi Yusuf yang amnesia? Bukankah lebih baik setelah kondisimu pulih, kamu meninggalkan tempat ini? Dengan begitu warga sekitar akan aman dari ancaman musuhmu” balasnya lagi. Namun kini ekspresi dari dr. Ferdy dengan mudah saya tebak, jika ia seakan tidak menyetujui rencana saya ini.

“Sampai saya bertemu rekan sekaligus sahabat saya, dia orang yang saya percaya. Saat ini dia sedang dalam misi lain. Sekembalinya dia dari misi dan menemukan saya di sini, saya akan pergi”

“Mengapa tidak segera setelah kamu sembuh? Akan lebih aman untuk warga sekitar” dr. Ferdy masih saja mendesak saya. Tapi saya tidak perduli. Saya tetap pada rencana saya ini.

“Saya tidak tahu kondisi di luar seperti apa, siapa lawan saya sebenarnya, dan lainnya. Saat ini tempat paling aman untuk saya adalah berada di daerah ini” kata saya membalasnya.

“Bagaimana kamu bisa menjamin warga sekitar termasuk saya aman?” Sialan juga ini dokter, banyak juga pertanyaan yang seolah-olah ingin mendesak dan memberikan keputusan pada saya agar saya cepat angkat kaki dari kampung ini. hoho! Tapi tidak semudah itu dokter.

“Selama tidak ada yang mengetahui identitas asli saya, saya yakin daerah ini akan aman. Keberadaan saya tidak terendus musuh. Namun, jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi, saya akan bertanggungjawab melindungi warga dengan mengorbankan nyawa saya sekalipun!”

“Seorang diri kamu yakin bisa melindungi kami semua dari musuhmu?”

Wah! Kayaknya dia meragukan kemampuan saya. Saya lalu menyeringai di depannya. “Dok, saya anggota pasukan khusus. Saya terbiasa dalam misi sendiri sekalipun. Termasuk menyelinap ke markas musuh dengan puluhan penjaga”

“Berapa lama kamu akan berpura-pura menjadi Yusuf?”

“3 bulan lagi, rekan sekaligus sahabat saya selesai dari misi. Setelah itu, saya akan tinggalkan kampung ini segera”

“Terus terang, saya tidak yakin kamu bisa melindungi warga sekitar jika keberadaanmu diketahui musuhmu. Lebih baik setelah kamu pulih, segera pergi dari sini!”

Suasana yang tadinya saya pikir dibawah kendali saya ternyata salah. dr. Ferdy orang yang kuat pendiriannya walau diawal pembicaraan dia tampak gugup. Kami terus berdebat, saya bersikukuh menyamar sebagai Yusuf yang terkena amnesia, dr. Ferdy tetap pada pendiriannya menginginkan saya pergi dari daerah ini setelah kondisi tubuh saya pulih.

Tiba-tiba di tengah perdebatan kami, telepon genggam dr. Ferdy berdering. Tertera nama pemanggil di layar handphone, "Hana Irawan". Saya yakin istri atau anaknya yang menelepon. Dok, satu kuncian untuk meluluhkan anda sudah saya dapatkan.

Dokter Ferdy pun menerima panggilan tersebut.

“Halo, papa.....” mungkin dia lupa mengecilkan volume suara smartphonenya, makanya samar-samar saya dapat mendengar suara dari seorang wanita di telfonnya.



Suara wanita muda, saya yakin itu anak dr. Ferdy.

Dokter Ferdy meladeni celotehan manja lawan bicaranya di telepon. Tidak lama, dia menyudahi obrolannya dengan alasan sedang memeriksa pasien.

“Maaf...”

Belum sempat dr. Ferdy melanjutkan kata-katanya, saya menyela.

“Putri anda, dok?”

“Benar, telepon dari putri saya”

“Dok, seorang ayah tentunya tidak mengharapkan terjadi hal yang tidak diinginkan pada putrinya, betul?” Sedikit senyum licik, saya mulai mengintimidasinya lagi.

“Jangan macam-macam dengan putri saya atau....”

“Atau apa, dok? Mau mengancam saya yang notabene anggota pasukan elite? Teroris pun bisa saya lumpuhkan, dok”

Dokter Ferdy terdiam memikirkan sesuatu. Saya terus memandang dia tajam disertai senyum jahat yang makin menyudutkannya.

“Baiklah, saya akan membantumu. Tapi ada satu orang lagi yang kemungkinan mengetahui siapa kamu”

“Siapa, dok?”

“Pak Kapolsek! Dan mungkin satu atau dua orang anggota polisi lainnya. Karena setelah kamu ditemukan, warga melaporkan ke polisi. Setelah melakukan pemeriksaan, Pak Kapolsek mengambil kalungmu untuk dikonfirmasikan ke atasannya” DEGH!!!



Sialan!





Still Continued...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd