Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

killertomato

Guru Semprot
Daftar
5 Dec 2017
Post
632
Like diterima
39.773
Bimabet
Salam sejahtera dan sehat selalu! Mohon ijin Momod, Mimin, Para Subes, Para Newbies seperti saya, dan Para SR untuk memuat cerita baru (tapi lama) saya di forum yang luar biasa ini.

Cerita ini pertama kali dimuat di milis dan forum yang sudah almarhum.

Ranjang Yang Ternoda berkutat seputar pengalaman tragis kakak beradik yang harus berhadapan dengan pria-pria tua haus seks yang mengincar kemolekan tubuh mereka, sementara mereka sendiri sudah memiliki status sebagai istri dan ibu muda. Dina si anak pertama yang harus berhadapan dengan pimpinan suaminya di kantor, Alya si anak tengah yang harus berhadapan dengan preman kampung tetangganya, dan Lidya si bungsu yang harus berhadapan dengan mertuanya sendiri. Selain ketiga wanita jelita tersebut, ada pula Anissa calon adik ipar Alya yang juga menghadapi masalah yang sama.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter, tempat, dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh, lokasi, dan kejadian nyata. Kemiripan akan penamaan, perilaku, penggambaran ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan belaka. Saya tidak menganjurkan dan atau mendukung seandainya terdapat aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.



PROLOG
BAGIAN 1 PARA ISTRI DAN PRIA TUA
BAGIAN 2 SERANGAN PARA PRIA TUA
BAGIAN 3 PRIA TUA BERAKSI KEMBALI
BAGIAN 4 DALAM CENGKRAMAN PRIA TUA
BAGIAN 5 KEJUTAN PRIA TUA
BAGIAN 6 PERAWAN DAN PRIA TUA
BAGIAN 7-A DALAM PELUKAN PRIA TUA
BAGIAN 7-B DALAM PELUKAN PRIA TUA
BAGIAN 8 PERNIKAHAN DINA
BAGIAN 9-A KEMELUT CINTA ALYA
BAGIAN 9-B KEMELUT CINTA ALYA
BAGIAN 10-A NAMANYA LIDYA
BAGIAN 10-B NAMANYA LIDYA
BAGIAN 11-A ANISSA TERANIAYA
BAGIAN 11-B ANISSA TERANIAYA
BAGIAN 11-C ANISSA TERANIAYA
BAGIAN 11-D ANISSA TERANIAYA
BAGIAN 12-A AKHIR KISAH MEREKA
BAGIAN 12-B AKHIR KISAH MEREKA




Diawali curhat dulu ya, Hu.

Saya (dulu sering pake id lain) dan teman-teman menyusun dan menulis cerita ini sekitar tahun 2007 dan di-share melalui forum dan milis yang ada pada saat itu. Baik forum maupun mailing list-nya sendiri sudah tidak aktif lagi sekarang. Awalnya cukup semangat nulis sampai seri 11, namun setelah banyak yang harus diurus di real life dan hilangnya mood untuk menulis karena banyak alasan – termasuk terlalu seringnya berpindah forum dan blog, part terakhir cerita ini tidak pernah dirilis – alasannya ya karena memang belum selesai ditulis. Sudah sangat sering saya mencoba untuk menyelesaikan part 12 namun selalu hilang mood dan mentok idenya – seperti kutukan aja ya. Jadi mohon maaf buat yang sudah menunggu SANGAT lama.

Beruntung di forum ini saya menemukan banyak cerita bagus dan keren baik dari segi penceritaan dan ide sehingga saya memberanikan diri untuk belajar menulis kembali dari para sesepuh di sini – terutama untuk cerita baru saya. Saya juga berterima kasih ke beberapa suhu yang berkenan melanjutkan RYT dengan cara dan versi mereka masing-masing sehingga menjadi lebih baik lagi. Sangat berterima kasih karena suhu-suhu telah memberikan nyawa baru ke cerita tersebut.

Dengan semangat orang iseng itu bahagia, maka saya mencoba sekali lagi untuk merilis ulang cerita ini dengan santuy. Apalagi sepertinya belum pernah ada yang memposting keseluruhan cerita aslinya di forum ini, CMIIW. Mengenai tamat tidaknya... mari kita lihat saja ke depannya, sama seperti halnya pembaca lama, saya juga berharap dapat menamatkan cerita ini, mudah-mudahan upaya yang kali ini berhasil. Rilis ini bukan remake (atau repost?) dan makeover secara keseluruhan, namun hanya pembenahan dari segi pembagian bab (karena menurut saya beberapa part sangat-sangat panjang sehingga harus dipotong-potong), melakukan perbaikan penulisan (termasuk modernisasi situasi jika dimungkinkan – maklum saja, ini cerita 10+ tahun yang lalu), dan tutur kata per kalimat (jika menurut saya sudah tidak nyaman dibaca) – tapi selebihnya masih tetap kisah yang sama.

Beberapa suhu di sini sudah menggunakan istilah reborn, remake, dan repost untuk RYT. Saya menggunakan istilah lain sekedar supaya menjadi pembeda yaitu remastered. Mohon maaf jika kemudian cerita ini dianggap usang, basi, kadaluwarsa, bau tanah, sudah terlalu sering di-share, dan terlalu sering di-remake. Wajar karena banyak karya di sini yang jauh lebih bagus dan lebih kreatif. Rilis ini digarap di sela-sela penulisan cerita baru saya yang judulnya XYZ – silahkan dibaca jika berkenan, Hu. Hehehe.

Saat menulis sebuah cerita - supaya semangat, tidak bosan, makin koplo, makin ambyar, dan makin ngebul otaknya, saya terkadang menyempatkan untuk menulis cerita lain. Salah satunya ya pembenahan cerita ini. Rilis ini akan ditulis di waktu yang senyaman saya dan tidak akan serutin XYZ tapi jelas di bawah 30 hari supaya tidak digembok sama momod, hehehe. Namanya juga rilis santuy, hu, toh bahannya sudah ada sampe seri 11, tinggal benerin typo dan kalimat sana sini – meskipun itu juga butuh waktu.




PROLOG



“Dasar tua bangka bejat!” maki Lidya Safitri saat Bejo Suharso melangkah keluar dari gerbang rumah.

Alya Arumsari terkejut dan melotot ke arah adiknya dengan pandangan marah, sesekali ia melirik ke arah depan dan berharap orang tua itu tidak mendengar makian yang baru saja dilontarkan sang adik. Untung saja Pak Bejo sudah melangkah jauh sehingga ia bisa menghela nafas lega.

“Heh! Ngawur! Jangan keras-keras! Ngatain orang kok seenaknya sendiri! Pas ada orangnya lagi! Kalau dia denger gimana coba?” hardik Alya.

Di mata Alya, Pak Bejo dan istrinya adalah tetangga yang baik, mereka gemar membantu orang lain dan sangat ramah walaupun hidup mereka bisa dibilang agak kekurangan. Ia dan istrinya, Entin atau biasa dipanggil Bu Bejo, adalah tetangga dekat keluarga Alya – barangkali bahkan yang paling dekat. Sejak Alya, suami, dan anaknya pindah ke kawasan pemukiman ini Pak Bejo dan istrinya yang merupakan penduduk asli tidak pernah jera memberikan bantuan. Bahkan ketika Alya atau suaminya sedang disibukkan dengan pekerjaan, Pak Bejo dan istrinya membantu menjaga Opi putri mungil mereka dengan lapang hati.

Lidya adalah adik Alya yang kebetulan semalam menginap di rumah Alya. Berbeda dengan Alya yang menaruh simpati pada Pak Bejo, Lidya sudah tidak suka dengan pria tua itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kali ini pun ia menyuarakan ketidaksukaannya dengan jujur.

“Halah, orang seperti itu, Mbak. Biarin aja kalau dia denger. Habis dia nggak tau diri sih,” tukas Lidya memberikan alasan. Bibirnya mencibir, walaupun maksud hati ingin meledek tapi gestur itu justru membuat wajahnya terlihat sangat manis. “Tahu nggak, sewaktu Mbak Alya tadi membungkuk mau mengambil mainannya Opi yang jatuh? Matanya jelalatan, Mbak! Berani-beraninya dia ngeliatin ke belahan dada Mbak Alya. Nggak sopan banget! Dia sadar aku liatin, jadi aku pelototin aja! Eh, udah gitu bukannya malu atau memalingkan wajah, dia malah menjilat bibirnya sendiri, pura-pura nggak ngelihat aku! Mesum banget! Itu kan nggak sopan namanya!”

Lidya berhenti sebentar, menatap kakaknya yang molek dengan pandangan serius. “Serius, aku jadi takut, Mbak. Jangan-jangan Pak Bejo naksir Mbak Alya? Pengen ngelonin?”

Alya hampir tersedak mendengar kalimat yang keluar dari bibir mungil sang adik. Si cantik itu diam sebentar, menatap Lidya tak percaya karena adiknya itu baru saja meracau seperti senapan mesin. ia menatap adiknya dengan pandangan serius, lalu tertawa terpingkal-pingkal.

Lidya yang awalnya memasang wajah serius akhirnya juga ikut tertawa ketika sadar tuduhannya mungkin sudah terlalu berlebihan. Alya bukannya ingin membela Pak Bejo atau berpihak kepada adiknya sendiri, tapi si cantik berjanji dalam hati di lain kesempatan akan lebih hati-hati berpakaian saat tetangganya itu datang berkunjung. Kalau sudah mengurus Opi, dia memang sering teledor memperhatikan pakaiannya sendiri, seringkali lupa kalau ada lawan jenis di ruangan.

“Hush! Kamu itu… jangan ngawur ah. Kalau yang seperti tadi kan jelas-jelas kesalahan Mbak, bukan Pak Bejo. Mbak tadi lupa bagian atas baju yang dipakai agak longgar, jadi kalau membungkuk bisa kelihatan…” kata Alya mencoba meredamkan emosi Lidya sambil membenahi baju yang ia kenakan.

“Iya juga sih, Mbak. Tapi kalau orangnya sopan kan sudah memalingkan wajah, bukannya malah menikmati! Dasar dia otaknya kotor! Tapi, ya sudahlah…” Lidya mengangkat bahu tanda ia tidak akan mempermasalahkan lagi perkara tadi, tapi sejenak kemudian si manis itu memukul pundak kakaknya pelan. “Makanya lain kali kalau pakai baju yang bener. Udah tahu itu gendolan seksi banget pake dipamerin.”

Alya tertawa.

Dalam hati Lidya sadar dia juga tidak bisa menyalahkan Pak Bejo begitu saja. Jangankan pria tua itu, semua laki-laki normal pasti tidak akan menolak disodori tubuh molek milik Mbak Alya! Kakak Lidya itu memiliki tubuh yang seksi bak gitar spanyol dan memiliki kecantikan luar dalam bagaikan bidadari. Ditambah perilaku yang sangat lembut dan ramah, makin lengkaplah kesempurnaan Alya yang bagaikan dewi khayangan turun ke bumi.

Rambut panjang indah, tubuh ramping yang jauh lebih indah lekukannya dibandingkan Sirkuit Sentul, kulit putih mulus, mata indah, bibir mengundang, pantat membulat kencang dan buah dada yang luar biasa ranum menggiurkan meskipun sudah memiliki satu orang anak.

Ya, dengan kemolekannya itu, semua orang berpikiran kotor pasti punya pandangan mesum pada sang kakak. Pak Bejo hanyalah satu dari segelintir orang yang beruntung bisa menikmati keindahan Alya dari jarak dekat, yang hanya bisa memandang dari jarak jauh lebih banyak.

Lidya sendiri sebenarnya juga sangat cantik. Tubuhnya tidak kalah indah, walaupun kalau dibanding Alya yang memiliki ukuran dada besar, Lidya berukuran lebih kecil meski tetap seksi dan aduhai. Kecantikan keluarga mereka memang sudah terkenal. Kadang banyak laki-laki di kampung sekitar berkumpul hanya untuk mengobrol tanpa arah di depan rumah keluarga Alya kalau ketiga kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah berkumpul. Alasannya? Demi bisa menikmati keindahan dan kecantikan mereka bertiga.

Tapi... kisah ini bukanlah kisah yang akan berlangsung dengan indah.

Kisah ini adalah awal cerita tentang kejatuhan ketiga kakak beradik itu ke dalam lembah yang kelam. Yang akan mengubah kehidupan mereka selama-lamanya. Inilah awal kejatuhan mereka ke dalam lingkaran nista ranjang yang ternoda.



PROLOG SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 1.
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 01
PARA ISTRI DAN PRIA TUA




Sudah beberapa jam ini Dina Febrianti resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas meja makannya. Wanita cantik berusia 30-an tahun yang terlihat sepuluh tahun lebih muda itu berulang kali mengusap rambutnya yang tidak gatal.

Ia membolak-balik belasan kertas berisi deretan angka. Tagihan listrik, telepon, air, televisi kabel, pulsa, internet, kartu kredit, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat. Bunga berbunga yang seperti tiada akhir, derita para pengguna kredit.

“Huff...”

Dina menarik napas panjang, mencoba melerai stress dari dalam pikirannya. Ia menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina memang tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus.

Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun saat ini menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka, bukannya tidak suka, ia hanya merasa dengan kondisi keuangan saat ini mereka belum siap membangun rumah sebesar itu, terlebih dengan kredit di tempat lain yang belum lunas terbayarkan. Terlalu gegabah membayar kredit begitu besar sementara kebutuhan lain belum terlunasi.

Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar karena mereka kemungkinan mengambil kredit tanpa jalur KPR.

Anton selalu saja hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Namun saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina tahu kekhawatirannya beralasan, ini yang dinamakan besar pasak daripada tiang, pemasukan mereka minim sementara hutang terus membengkak. Saat memeriksa catatan pemasukan Dina bisa menarik napas lega, untungnya jumlah anggaran yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan. Paling tidak cukup untuk bisa bertahan hidup hingga beberapa bulan kedepan.

Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk kartu kredit dan kembali ke pembayaran tunai. Bunga yang ditarik oleh bank untuk kartu kredit sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit akibat terlalu mudah belanja. Entah bagaimana caranya mereka harus bisa menutup kartu kredit yang dimiliki.

Sebelumnya tiap kali hendak memotong kartu kredit permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton. Suami Dina itu selalu mengulang-ulang kata-kata andalannya, kalimat yang sama yang sekarang bagaikan di-loop berulang di benak Dina.

Jangan khawatirkan masa depan, karena semuanya belum terjadi. Jangan pula khawatirkan masa lalu, karena apa yang terjadi sudah tidak bisa diulangi. Lebih baik kita nikmati apa yang ada pada saat ini dengan berpikiran positif. Percayalah, semua akan baik-baik saja.

Seandainya mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Menikah saat berusia muda setelah lulus kuliah, dia memiliki suami tampan dan berpenghasilan mapan, dua anak yang hebat dan pintar, keluarga yang mandiri yang tidak bergantung pada orang tua.

Nikmat mana lagi yang didustakan? Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi satu keluarga sederhana. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.

Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar baru saja naik kelas 2 SD, sedangkan adiknya Dion sebentar lagi akan masuk ke TK B. Keduanya anak cerdas dan membanggakan, namun mengingat kebutuhan mereka yang makin hari makin banyak, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam semakin mahal. Belum lagi Dani sudah dekat waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.

Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini.

Kok aneh…? Tumpukannya terasa lebih tipis, jangan-jangan…

Dina menghitung jumlah uang yang ada di sana. Keningnya berkerut. Dina menghitungnya lagi. Ibu muda yang cantik itu meneguk ludah. Kok… cuma segini?

Takut salah, sekali lagi Dina menghitung ulang.

Tidak! Dia tidak salah hitung! Memang cuma segini.

Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton! Mana suaminya itu juga tidak bilang diambil untuk keperluan apa!

Dina menarik napas panjang, tangannya menjulur mengambil smartphone, jemari lentiknya lincah menyusuri layar sentuh. Anton belum juga membaca pesan WhatsApp darinya sejak siang tadi. Kemana saja dia? Dina tidak suka mencampuri pekerjaan Anton, tapi karena sudah hampir jam pulang, ia beranikan diri memencet nomor sang suami.

Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan.

Dina mencoba telepon kantor.

“Selamat sore. Ini dengan istri Pak Anton Hartono, apa bisa disambungkan dengan beliau?” Dina menunggu sebentar, “oh sudah pulang sejak tadi ya? Baik terima kasih, Mbak. Iya tidak apa-apa, saya hubungi ponselnya saja. Iya, terima kasih…”

Dina meletakkan gawainya dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?!”

Saat itu juga terdengar pintu depan terbuka, langkah kaki yang sangat dihapal Dina masuk ke ruang tamu. Panjang umur. Lega sekali Dina suaminya sudah pulang.

“Maaa, aku pulaaang. Masakin air, ya. Aku mau mandi air panas. Cuuaapek sekali. Hari ini pekerjaanku gila-gilaan.”

Belum sempat Dina berdiri dan menyambut suaminya, Anton sudah masuk kamar dan ambruk di tempat tidur. Dina hanya menghela napas panjang dan menyiapkan ceret untuk memasak air.

Sayangnya Dina tidak tahu, Anton sebenarnya menyimpan rahasia.

Tanpa sepengetahuan Dina, Anton sebenarnya memiliki hobi lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton berjudi tanpa sepengetahuan Dina. Bahkan dia adalah seorang pemain judi yang sudah akut. Sebelum pulang hari ini pun dia menyambangi arena taruhan dan di luar rumah tadi dia menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi salah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit. Itulah sebabnya kenapa kali ini dia pulang ke rumah dengan sangat lesu.

“Pa, kenapa bulan ini isi amplop coklat Mama berkurang banyak, ya? Kan tidak cukup untuk bayar macam-macam sebulan?” Dina mencoba berhati-hati menanyakan perihal jumlah uang belanja sembari merapikan sepatu dan tas kerja Anton, ketika ia memasuki kamar dan menemui suaminya tergeletak lemas di ranjang. “Mama sih cuma butuh untuk membayar tagihan dan belanja saja, tidak perlu lebih. Tapi kayaknya yang bulan ini tidak cukup untuk membayar semuanya.”

Masih berbaring di ranjang, Anton menjawab dengan kepala masih terbenam di bantal, “santai saja, Ma. Ada kok. Aku cuma pinjam sebentar untuk membeli keperluan kantor sama beberapa koleksi. Besok pasti aku ganti. Tenang saja.”

Suara lembut Anton membuat hati Dina luluh. Si cantik itu sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Yah, memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda dan kasih sayang berlimpah.

Tiba-tiba saja tangan Anton menarik Dina hingga rebah di ranjang. Dina tertawa kecil sembari meronta dan mencoba bangkit.

“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan aneh-aneh ah,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’. Sekali dua kali Dina melirik ke arah pintu kamar dan berharap kedua anaknya tidak tiba-tiba muncul.

“Lah, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”

“Pa! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”

“Hm, kalau dulu aku tahu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang pintar dan cantik jelita tapi naif luar biasa.”

“Tidak lucu. Memang kenapa kalau aku anak kemarin sore yang naif atau lugu? Salah sendiri kamu mau menikah sama aku.”

Anton mengamati istrinya: rambut panjang indah menggelora, bulat mata indah dengan bulu mata yang lentik, pipi halus tanpa bercak ataupun jerawat, kulit mulus seputih susu, buah dadanya masih membusung kencang, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan.

Saking mempesonanya, dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya karena ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga biasa. Sejak menikahinya hingga kini, Anton selalu mengagumi kemolekan istrinya yang hampir sempurna, anugerah terindah yang pernah ia miliki. Kemanapun Dina pergi, mata para kaum Adam selalu mengikuti alunan anggun gerak tubuhnya. Sungguh Anton seorang lelaki yang beruntung.

Tangan-tangannya dengan nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, padahal kenyataannya sudah melahirkan dua orang anak.

“Bukan naif dan lugu ya? Hmm... kalau begitu kamu ini wanita konservatif.”

“Maksudnya?”

Anton mulai menyesal memulai percakapan ini.

Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang amatir dan monoton. Berciuman, saling raba lalu bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu, tidak ada inovasi posisi, tidak ada perubahan, konvensional.

Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan kemaluan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun, anal sex adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau istilah doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.

Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada bibir kewanitaan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia menghardik Anton dan menandaskan kalau kemaluan mereka kotor dan tak layak dicium atau dijilat.

Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Sejak saat itu Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi. Asal bisa menyentuh istrinya, posisi missionary pun jadilah.

“Jadi? Kok malah bengong? Ayo jelasin! Kenapa konservatif?” lanjut Dina. “Apa karena aku ini kolot dan konvensional? Bukan wanita murahan? Bukan cewek yang kamu suruh apa-apa aja mau? Digulingkan kesana kesini terus buka paha?”

“Duh, kejauhan nih. Kok jadi begini ya? Sudahlah. Lupakan saja.”

“Ga mau ah. Kan kamu yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya. Kenapa aku ini wanita konservatif?”

“Yah, Mama kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku, jadi...”

“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku sudah berusaha menjadi seorang istri yang baik, setia, selalu melakukan apa yang kamu minta dan telah memberimu dua orang anak yang cerdas! Masih kurang?”

“Iya… iya… Maafkan Papa, ya? Kamu benar, Mama sayang, aku minta maaf.” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam. Tangannya kembali bergerak menggerayang.

“Males.” tolak Dina sambil menepis tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina bangkit dari ranjang. “Itu airnya sebentar lagi siap.”

Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Anton bagaikan mengecup sebatang es batu. Dingin, dan tanpa membuka mulut. Setelah mencium bibir Anton tanpa ekspresi, Dina melangkah keluar kamar. Anton ikut bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa, setelah duabelas tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. Kalau sekarang malas, nanti malam pasti juga ditolak kalau minta jatah. Suami Dina itu terpaksa bermasturbasi di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya.

Bukannya bisa ngentotin Dina, malah harus ngocok sendiri di kamar mandi.
Apes bener dah, dasar sial.


.::..::..::..::.

Bejo Suharso adalah pensiunan PNS berusia 62 tahun dengan tubuh tambun dengan kulit hitam kecoklatan akibat terlalu sering berjemur di bawah sinar matahari. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kuning kemerahan dan rambut keritingnya mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang simpatik, bahkan cenderung buruk rupa.

Walaupun bukan orang berada dan hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di kampungnya. Sayang di balik kehidupannya yang bersahaja, terutama di depan keluarga Alya dan Hendra, Pak Bejo sebenarnya bukanlah orang baik-baik.

Bahkan dia jauh dari kata baik.

Pak Bejo adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan anak-anak muda kampung, dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Bagi yang sudah sangat mengenalnya, Pak Bejo dikenal sangat bejat. Bahkan di kalangan preman, ia dikenal dengan julukan Bejo Subejat. Istri Pak Bejo tahu tentang kelakuan suaminya, tapi dia tidak peduli. Yang penting ada duit, semua damai.

Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan semanis Opi, tapi Pak Bejo jauh lebih suka melirik mamah muda Opi yang luar biasa cantik dan seksi.

Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan waktu sedetikpun untuk mengamati ibu muda yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang hitam panjang, buah dada yang montok berisi, pantat yang bulat kencang, semua yang ada pada Alya – semuanya; Pak Bejo demen.

Sejak Bu Bejo dipercaya dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa memuaskan dahaga nafsunya untuk mencuri-curi pandang ke arah semua titik lekuk keindahan tubuh Alya di kala sang bidadari itu lengah.

Si Alya memang dahsyat. Coba lihat saja bibirnya yang penuh itu. Kalo dipake buat nyepong, baru nempel aja paling kontolku udah meler. Tubuh seindah itu memang diciptakan hanya untuk dientotin. Ahahaha, pasti sedep banget.

Batin Pak Bejo berkelana setiap kali menyaksikan kemolekan sang nyonya rumah. Hari ini pria tua berpikiran mesum itu lebih beruntung lagi, karena tadi pagi dia sempat mencuri celana dalam Alya yang belum dicuci dari kotak laundry. Dia sempat mencium bau harum belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya.

Tebak mau apa?

Mau apa lagi selain masturbasi? Ia segera menggoyang penisnya sendiri dengan membayangkan wajah Alya dan bermimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu sementara tangannya bekerja.

Kampret. Kalau cuma begini terus, bisa rusak kontol ini aku betot. Gimana yah caranya supaya benar-benar bisa ngentotin istrinya Hendra yang toketnya seukuran duren itu? Mesti cari cara buat masukin kontol ini ke memeknya!

Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak Bejo kembali ke teras rumah dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur berbagai macam strategi untuk melaksanakan pikiran kotornya. Saat melamun, teringatlah Pak Bejo pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.

Jingan. Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus memberi dia pelajaran di tempat tidur! Yang mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling gede, siapa itu namanya… Dina? Wah… toketnya juga oke banget… ah ah… Dina, Alya atau Lidya?

Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di hape murahannya. Di dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan bukit kembarnya, gambar belahan dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk sehingga memperlihatkan celah buah dada yang sangat sempurna dan gambar paha mulus Lidya yang seputih pualam.

Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari komplek rumah Alya, berbeda perumahan tapi masih dalam satu kawasan. Bersama suaminya, Anton, Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah. Sedangkan Lidya adalah pengantin baru yang tinggal di sebuah rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka Andi suami Lidya kerap menitipkan istrinya ke rumah Alya.

Kalau dari cerita mereka, kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Beruntung mereka semua sudah menikah dengan orang-orang berpenghasilan mapan.

Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang makin gatal.

.::..::..::..::.

Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan. Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya.

Ia memang mengerjakan semuanya sendiri sejak asisten rumahtangganya yang lama menolak ikut pindah ke rumah baru dan memilih pulang ke kampung. Walhasil, hari ini si cantik itu lelah sekali, apalagi Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang dan dimintai bantuan. Setidaknya setelah bekerja keras sepanjang hari tanpa henti, akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.

Setelah mandi menggunakan shower, keramas dan mengenakan piyama yang nyaman, Alya merebahkan diri di tempat tidur. Ia hanya ingin beristirahat. Sayang, Hendra sang suami punya pikiran lain dan mulai bergerak mendekati istrinya yang rebah membelakanginya. Hendra memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang putih mulus.

“Masih ingat rencana kita memberikan adik untuk Opi?”

“Jangan sekarang, Mas.” tolak Alya dengan halus. “Aku capek banget.”

Hendra tidak menjawab, ia suka suara istrinya kalau sedang manja. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat sampai akhirnya Hendra bisa menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya yang montok.

“Mas… jangan sekarang...” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh, ini protesnya yang kedua kali.

Tidak enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai puas. Namun sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat meminta jatah. Contohnya ya sekarang ini, jelas bukanlah waktu yang tepat, Alya terlalu lelah.

“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing piyama yang dikenakan Alya. “Aku kangen.”

“Mas... aku capek.” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang payudaranya, Alya akhirnya luluh juga. Ia mendesah keenakan. Mau tak mau si cantik itu mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah dan pasrah pada kemauan sang suami.

Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan semua kancing piyama yang dikenakannya. Setelah istrinya telanjang dari perut ke atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah dengan ukuran yang bisa membuat iri setiap wanita berdada rata. Hendra memijat bukit kembar Alya dengan kedua belah telapak tangannya. Suami Alya itu mengelus-elus bukit cinta sang istri dan menciumi sisi-sisinya yang membulat. Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya, tidak cukup lama untuk membuatnya mengeras, lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya turun. Alya dengan desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah ditarik.

Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan suaminya. Keindahan tubuh Alya bersinar terang bagai memancarkan aura. Keindahan tubuh molek seorang wanita matang yang menggiurkan bagi mata lelaki normal.

“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi bentuk tubuhmu masih indah. Masih seksi, masih mulus dan ehmmmm…” Hendra berhenti sambil mengamati istrinya, lalu melanjutkan lagi, “Tidak... tidak. Aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, jauh lebih mulus dan jauh lebih aduhai dari siapapun kapanpun dimanapun.” Kata Hendra memuji keindahan tubuh istrinya.

“Gombal ah,” Alya tersenyum, yah paling tidak dia masih mendapatkan pujian dari suaminya, perawatan sederhana dan olahraga untuk menjaga kesegaran tubuh ternyata ada manfaatnya. “Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata si cantik itu mesra, tangannya diangkat untuk menarik leher Hendra.

Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh bibir kewanitaannya.

Wanita cantik jelita itu menarik napas panjang. Hendra memang bukan orang paling romantis di dunia dan seringkali ia bermain cinta tanpa memikirkan sang istri. Penis suami Alya itu lumayan besar dan kadang ia menyodokkan kemaluannya dengan asal, mengagetkan Alya.

Alya menahan napas dan memejamkan mata sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, barulah Alya melepas napas.

Hendra mulai menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta yang diberikan suaminya.

Meskipun jujur Alya letih sekali.

…ataukah ini karena Alya tidak puas?

Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula singkat, Alya dapat terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Entah apa yang kurang ia sendiri juga tidak tahu. Selalu saja ada yang berasa kurang, tidak mencapai titik yang pernah ia bayangkan dalam hati. Bukan karena ia sering melakukan ini, Hendra adalah lelaki pertama yang merenggut mahkotanya. Mungkin karena Alya lelah atau ekspektasinya terlampau tinggi.

Alya mencoba mengimbangi gerakan memilin sang suami dengan gerakan pinggulnya, mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan Hendra, tapi kali ini ternyata lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama kemudian Hendra sudah orgasme.

Alya tersenyum dan mencium suaminya lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri. Alya tidak pernah takut hamil, ia rajin minum pil KB, dia tahu Opi belum membutuhkan adik. Jika Opi sudah lebih besar nanti, ia ingin melengkapi keluarga mereka dengan anak kedua. Tapi itu jelas bukan sekarang.

Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya, mengecup bahu sang istri dan memejamkan matanya dengan lega.

Alya bangkit dari ranjang, membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa puas.

Si cantik itu menarik napas panjang, entah kecewa atau lega.

Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Ia sedari tadi bersembunyi di luar jendela kamar pasangan suami istri itu. Entah bagaimana, sosok itu bisa menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam adegan seks mereka dengan kamera smartphone murahannya. Ia beruntung kamar cukup terang sehingga rekamannya bisa terlihat, hasilnya pasti berbintik-bintik dan sama sekali tidak nyaman dilihat.

Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah.

Sosok Pak Bejo Suharso.

.::..::..::..::.

.: BEBERAPA HARI KEMUDIAN :.


Siang itu matahari tidak seterik biasanya. Awan gelap bernaung di langit untuk menahan sebaran sinar sang surya. Hawa panas yang biasa menghunjam sedikit luruh oleh selimut mega. Seperti biasa, langit mendung tidak berarti hujan.

Usai melirik cuaca dari jendela, Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi, tapi ibu muda yang cantik itu tidak bisa menikmati tayangan yang sedang diputar. Ia justru terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, pimpinan di tempat kerja Anton.

Pak Pramono menelponnya tadi pagi dan menanyakan apakah beliau boleh datang berkunjung ke rumah karena ada hal penting yang harus ia sampaikan pada Dina. Aneh banget gak sih? Anton yang bekerja buat dia aja baru keluar kota, kok malah mau datang ke sini? Memangnya apa ya yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Kenapa tadi dia bilang ini berkaitan dengan masa depan Anton di perusahaan?

Walaupun tidak bisa dibilang tidak suka, Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono. Orang itu sering memandanginya dengan canggung saat bertemu. Meskipun sudah tergolong berumur, tapi pria yang rambutnya sudah beruban itu bertubuh besar dan cukup gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah angker penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT.

Jantung Dina yang terus gelisah seakan meledak saat bel pintu berbunyi.

Ini dia.

Hal apa gerangan yang mau dibicarakan Pak Pramono ya?

Dina buru-buru mematikan televisi, membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton itu berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.

“Selamat siang, Bu Anton. Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan. Dia sopan, tenang dan cukup berkharisma. Sebaliknya Dina yang gugup sedang mencoba menenangkan diri.

Sebenarnya Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah.

Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia mengatur napas dan duduk dengan tenang. Bagaimanapun juga dia tuan rumah. “Kabar baik, Pak. Terima kasih. Bagaimana kabar Bapak sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina mencoba bersikap ramah.

“Baik, semua baik. Istri saya juga baik-baik saja. Semua sehat.”

Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Sebaiknya saya langsung saja. Karena saya yakin Bu Anton pasti bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui Ibu siang ini?”

“Betul Pak, jujur saya terkejut ketika mendapatkan telepon dari Bapak… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan rasanya agak…”

“Justru karena Pak Anton tidak berada di rumah sehingga saya berani mengambil kesempatan ini. Akan lebih baik kalau Pak Anton tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang mengenai persoalan serius pada Bu Anton perihal Bapak. Karena sifatnya cukup penting dan rahasia, saya beranikan diri untuk menghubungi ibu. Ini semua tentang Pak Anton.”

“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?”

“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”

Dina terkejut dan hampir pingsan ketika mendengarnya, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”

Pak Pramono membuka tas kerja dan mengambil satu amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalam tas. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Kali ini pandangannya berkunang-kunang, dia benar-benar hampir pingsan.

Tidak mungkin… ini tidak mungkin…

“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.

Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar yang terlihat di foto-foto sebelumnya.

“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan. Mukanya menjadi pucat pasi, ini sisi lain dari Anton yang benar-benar tidak dikenal oleh Dina dan dia sangat terkejut.

“Sebenarnya tidak penting informasi darimana kami mendapatkan foto-foto ini, yang mungkin penting diketahui oleh Ibu adalah bahwa kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Terlebih lagi karena dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”

“Mencurigai! Kenapa?”

“Saya baru saja hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm..... mematai-matainya.”

“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.

“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya tersebut.”

Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap.

Dina akhirnya benar-benar pingsan.

.::..::..::..::.

“Alya sayang.”

“Iya Mas?”

“Dasiku yang biru kamu simpan dimana sih? Sudah aku cari dari tadi tidak ketemu?”

“Ah, pasti belum dicari. Ada kok, di dalam lemari.”

Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi, memandikan Opi, menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja, Opi sendiri diasuh Bu Bejo ketika Alya harus berangkat bekerja.

Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas jasa.

Alya sebenarnya mendapat gosip dari tetangga-tetangga yang mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso. Bahkan berdasarkan kabar burung yang bisa dipercayai kebenarannya, Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo dengan kasar. Hanya gara-gara kalah judi, Pak Bejo tega menghajar Bu Bejo sampai bengkak-bengkak membiru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra selama beberapa hari.

Alya menaruh iba pada Bu Bejo, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri orang yang kasar seperti itu? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.

Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung.

Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan Hendra adalah orang paling lembut yang pernah ia kenal. Kalaupun ada sifat Hendra yang paling mengesalkan adalah dia kadang cuek dan sangat keras kepala. Hendra tidak pernah mau menerima suatu hal dengan mudahnya, dia selalu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu dan menerimanya hanya jika dia merasa berhak memilikinya.

Kekerasan dalam rumah tangga bukan hal yang nyaman untuk dibicarakan terlebih jika yang melakukannya orang-orang dekat. Tapi pada suatu ketika Alya pernah nekat menanyakan alasan Bu Bejo bertahan, dia hanya tertawa penuh kesabaran. “Sampeyan niku dereng ngertos nopo-nopo, Mbak. Mbak Alya belum mengerti apa-apa.” Jawab Bu Bejo sambil lanjut meneruskan pekerjaan rumahnya kala itu.

Tapi, Alya sudah membuat Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dia hanya takut hal-hal buruk menimpa tetangganya yang baik itu.

“Opi, ayo habiskan makannya, kita berangkat” Kata Alya memperingatkan putrinya.

Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang bocah. Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.

“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan Bos Gede.” Kata Hendra sambil mencium pipi sang istri.

Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja makan setelah dia menyelesaikan sarapannya. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke sekolah. Setelah itu, biasanya Opi dititipkan pada sang nenek yang kebetulan tinggal di dekat sekolahnya dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya akan menjemput Opi sore hari sepulang kerja.

Alya merasa tidak enak badan hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna, beranak satu tapi masih bagaikan gadis muda. Alya merapikan rambut panjangnya yang agak kusut.

“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggoda.” Kata Hendra. Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi. Dia hanya menjulurkan lidah dengan manis pada suaminya.

“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.

“Iya. Hati-hati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi. “Nanti Papa jemput kamu di rumah nenek.”

“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.

Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.

Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca blog santai atau menonton Youtube mengunakan tabletnya.

Alya masih bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.

.::..::..::.

Saat kemudian terbangun, Dina menemukan dirinya sedang terbaring di atas sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya. Kepalanya begitu berdenyut sampai-sampai membuatnya hilang keseimbangan sesaat sebelum kesadaran benar-benar datang.

“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.

“Apa yang terjadi?” Dina mengejapkan matanya yang pedas dan menyentakkan memori, gelombang ingatan yang datang bagaikan ombak berderu menghantam dan membuatnya pening, “Ya Tuhan, saya ingat! Tidak mungkin!! Mas Anton tidak akan melakukan itu semua!?” susah payah Dina mencoba menarik napas, ia tidak tahu apakah harus menangis atau marah, “A-apa… apa yang akan anda lakukan? Saya mohon pertimbangkan lagi ini... laporan ini akan menghancurkan keluarga kami. Saya mohon.”

“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan untuk datang kemari dan menemui Ibu Dina. Saya punya penawaran seandainya Ibu Dina berkenan dan tertarik.” Kata Pak Pramono. Pandangan matanya yang tajam menatap Dina membuat ibu dua anak itu bergidik ketakutan. Apa yang dia maksudkan?

“Pe... Penawaran? Untuk saya? A... Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Ibu Dina, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”

Dina mengangguk. Muda dan cantik?

“Baiklah, Mbak Dina, begini... sebenarnya, anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina jika setuju dengan syarat yang akan saya ajukan. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”

Dina sudah siap memprotes karena merasa penyelidikan itu terlampau jauh dan mengusik kehidupan pribadi keluarganya, tapi ia kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.

“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya menyampaikan info ini kepada anda, karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”

“Berfoya-foya? Kami tidak pernah minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan tanpa pernah kami memintanya!” teriak Dina panik.

“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”

“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”

“Benar sekali. Itu sebabnya saya ada disini. Saya ini bukan pendendam, saya hanya bekerja sesuai posisi yang saya pegang. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”

“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”

“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”

“Tentu saja.”

“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”

“Apa saja.”

Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya. Apapun akan dia lakukan untuk mengembalikan hutang Anton itu.

Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono mengutarakan niatnya.

“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona. Saya kagum sekaligus iri pada Pak Anton yang memiliki istri seperti anda.”

Wajah Dina memerah, bukankah ini waktu yang tidak tepat untuk memuji? “Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”

“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya tidak sombong, tapi saya memiliki sedikit kebebasan finansial, jadi saya bisa mengganti semua uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”

“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”

“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”

“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”

“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau anda ingin saya melupakan kelakuan suami anda dan kerugian yang diderita perusahaan, saya ingin Mbak Dina melayani saya. Tidur dengan saya. Saya ingin menggauli tubuh indah Mbak Dina.”

Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”

Pak Pramono memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja dengan santai. Lalu dengan sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan membalikkan wajah ke belakang menatap sang ibu muda jelita yang tengah kalap itu.

“Tidak akan ada penawaran kedua, kita sama-sama tahu diri dan tahu posisi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat saya melangkah keluar dari rumah ini dan anda tidak bersedia menerima persyaratan yang saya minta, maka pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera dihubungi. Segera artinya segera.”

Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon tunggu, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Keputusan apa yang harus dia ambil? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Setelah melalui lautan gejolak batin, Dina akhirnya mengangguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”

Tidak ada jalan lain lagi.

“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?” Pak Pramono berubah menjadi lebih ketus. Tidak ada lagi anda – saya, sekarang sudah menjadi kamu – aku.

Dina ragu-ragu sesaat, matanya jatuh menatap lantai dengan hampa, ia tahu ia tidak punya pilihan lain selain mengaku kalah dan pasrah. Akhirnya dengan suara lemah si cantik itu menjawab. “Ya.”

“Bagus. Kita buktikan kesungguhanmu.” Pak Pramono kembali duduk di kursi tamu dan menunggu dengan santai bagaikan dialah sang tuan rumah. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas, wajahnya yang culas mulai menyeringai.

“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.

.::..::..::..::.

Hari mulai siang dan Alya masih terus membolak-balik lembar halaman blog tentang bagaimana merawat anak menggunakan tablet-nya sembari bersantai di sofa malas. Ibu muda yang cantik itu masih menunda pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau memasak karena sepertinya darah rendahnya sedang kumat. Hari ini begitu lelah sedikit, ia langsung pusing kepala. Penyakit bawaan yang sering menyiksanya.

Untungnya Alya termasuk wanita yang sering berolahraga dan senang makan buah-buahan sehingga kesehatannya terawat, ia yakin tidak butuh waktu lama untuk lepas dari sakit kepala yang mengganggu ini. Setelah kepalanya terasa lebih ringan, barulah Alya bangkit dari bermalas-malasan lalu melangkah menuju dapur.

Saat itulah terdengar pintu pagar dibuka. Dari ruang tengah memang bisa terdengar jika pintu pagar terbuka, terlebih kalau suasananya sepi seperti saat ini.

Siapa ya? Apa ojek online yang mengantarkan paket?

Suami Alya memang sering sekali memesan barang yang dikirimkan menggunakan ojek online. Sehingga tidak heran jika yang kali ini datang pun pesanan seperti itu. Ibu muda yang cantik itu segera menuju ruangan depan dan membuka pintu.

Saat membuka pintu, Alya justru mendapati Pak Bejo sedang membawa tas kresek hitam besar berdiri di hadapannya. Pria tua bertubuh tambun dan berwajah buruk itu tersenyum lebar. Matanya menatap tubuh Alya yang kalau di rumah memang berpakaian seadanya dengan pandangan yang sedikit kurang ajar. Matanya tertumbuk terutama pada buah dada Alya yang sentosa.

“Eh, Bapak. Saya kira siapa tadi. Ada perlu apa ya, Pak Bejo?” tanya Alya, dengan jengah ia menyilangkan tangan di depan dada, tidak enak juga rasanya berduaan dengan pria tua ini, terlebih kalau teringat candaan Lidya.

“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”

“Oh, nggak, Pak. Hari ini badan saya agak kurang sehat, kepala juga rasanya pusing sekali. Makanya tadi saya minta ijin istirahat ke kantor.” Sebetulnya ia tidak perlu juga menjelaskan hal tersebut panjang lebar ke Pak Bejo. Siapa dia gitu.

“Oh gitu, wah semoga cepat sembuh ya, Mbak. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya kan istri saya yang ngambil sampah di keranjang halaman belakang. Tapi hari ini istri saya juga tidak enak badan jadi saya yang ngambilin. Kalau besok-besok takut numpuk dan bau.”

Meskipun sedang malas berbasa-basi, Alya tidak mau tidak sopan terhadap tetangganya yang sudah sering membantu ini, apalagi dia hendak membantu membuang sampah. “Oh terima kasih sekali, Pak. Sampahnya ditaruh depan rumah aja kali ya, Pak. Biar nanti diambil sama tukang sampah yang keliling.”

“Iya, Mbak,” jawab Pak Bejo. “Kalau diletakkan di keranjang depan, pasti diambil tukang sampah komplek.”

Alya mengangguk dan mempersilahkan Pak Bejo masuk.

Baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah, pria tua di hadapan Alya berhenti lalu berbalik dan bertanya, “emmm..., maaf Mbak. Tapi mau ngrepotin dikit nih. Boleh ga ya saya minta segelas air putih? Haus banget rasanya, udaranya panas sekali.”

“Ya ampun, tentu saja boleh, Pak. Kan sudah biasa? Anggap saja di rumah sendiri. Sini, biar saya saja yang mengambilkan minum. Bapak duduk dulu.” Kata Alya, ia berusaha sopan dan bergegas ke dalam.

Ketika kembali dengan segelas air putih, Pak Bejo sudah duduk di ruang tengah. Alya meletakkan gelas berisikan air putih dan nampannya di depan Pak Bejo.

Dengan cepat Pak Bejo meneguk air putih yang diambilkan dan mengembalikan gelasnya ke atas nampan. Ibu muda yang cantik itu mengulurkan tangan untuk mengambil nampan, tapi sebelum sempat memegangnya, tangan Alya sudah ditarik oleh Pak Bejo!

Tubuh Alya tertarik ke depan ke arah pelukan Pak Bejo! Kaget dengan sikap Pak Bejo yang tiba-tiba menyergapnya, dengan sigap Alya memutar tubuh dan mencoba lari, tapi Pak Bejo terus memegang tangan dan memeluk tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak bebas. Saat mereka bergumul, nampan di atas meja tersenggol dan gelasnya pun terlempar hingga pecah berkeping-keping!

Merasa di atas angin karena lebih kuat, tangan Pak Bejo mulai nakal meraba-raba dada kenyal Alya dan meremasnya dengan sangat kencang hingga terasa sakit bagi si cantik itu! Alya menjerit namun Pak Bejo tak menghentikan serangannya. Dengan mengerahkan semua upaya sembari menahan pedih, Alya membungkukkan badan ke depan dan meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan erat Pak Bejo.

Sayang semua usaha Alya sia-sia. Untuk bisa mempertahankan keseimbangan diri, Alya justru harus mundur ke belakang. Tanpa perlu dikomando, Pak Bejo segera beraksi. Pria tua itu menyelipkan selangkangannya yang sudah membusung besar ke lipatan pantat Alya. Tangannya juga masih terus meremas buah dada Alya dengan sangat kasar, membuat si cantik itu kini mengernyit kesakitan.

“Pa-Pak Bejo!! Apa-apaan ini!! He-hentikan, Pak!! A......atau saya akan teriak minta tolong!” kata Alya dengan kalimat terbata-bata. Istri Hendra itu jelas sangat ketakutan karena diserang oleh lelaki brutal seperti Pak Bejo.

“Aku tahu Mbak Alya tidak akan melakukan itu, tidak perlu teriak-teriak, nanti tambah stress, pusingnya nambah. Apa yang dibutuhkan Mbak Alya biar sembuh adalah tidur dengan laki-laki sejati. Setelah aku entotin nanti, Mbak Alya akan menjadi seorang wanita yang mendambakan kontol besar setiap hari setiap waktu dan semua pusingnya akan sembuh.” Kata Pak Bejo sambil terengah-engah menahan nafsu yang menggelegak. Tinggal sedikit lagi... tinggal sedikit lagi dia bisa menikmati keindahan tubuh wanita idamannya ini.

Tahu nasibnya sedang terancam, Alya berusaha mengatur napas dan berusaha mengatasi rasa panik. Ia bukan wanita yang lemah! Ia harus melawan! Alya menggeliat mencoba mengumpulkan tenaga, setelah dirasa cukup, Alya berbalik dan mencoba melawan! Tangan Alya meraih rambut Pak Bejo, menjambaknya dan memaksa pria tua itu menunduk. Dengan posisi yang menguntungkan, sekuat tenaga Alya menyepak kemaluan Pak Bejo.

“Aduooh! Lonthe!!”

Pria tua yang mesum itu pantas menerimanya!

Dengan nekat Alya mencoba kabur ke pintu depan sambil melewati Pak Bejo yang sedang kesakitan. Salah langkah. Tangan Pak Bejo dengan cepat menarik rambut Alya dan membanting tubuh si cantik itu ke lantai. Alya yang jauh lebih ringan terbanting dengan keras sambil menjerit kesakitan.

Pak Bejo melepaskan rambut Alya. Sembari mengernyit kesakitan karena kantung kemaluannya ditendang oleh Alya.

Si cantik itu mencoba berdiri dengan sempoyongan, ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Dengan satu tamparan keras di pipi, tubuh Alya terlempar lagi ke lantai. Air mata mulai menetes di pipi mulus Alya. Ia mulai sadar bagaimana besarnya kekuatan Pak Bejo.

Tamparan kedua menyusul tak lama kemudian, membanting tubuh Alya ke arah yang berlawanan. Tamparan Pak Bejo seakan tak berhenti menghajar tubuh Alya, meski tidak sampai membuat wajah dan tubuh Alya lebam, tapi rasa sakit yang ia rasakan begitu menyiksa.

Sampai akhinya Pak Bejo mengunci tubuh sang ibu muda, bagaimanapun kerasnya Alya berusaha melawan, semua tidak ada gunanya. Tak perlu waktu lama sebelum akhirnya perlawanan Alya mengendur dan tubuhnya mulai lemas. Kuncian dan tamparan Pak Bejo menjadi hukuman yang tak tertahankan. Pipinya memerah, rasanya perih sekali seluruh tubuhnya!

“Pak! Saya mohon! Hentikan! Hentikaaaan!” ratap Alya sambil menangis. Wanita jelita itu kini sudah benar-benar berada di bawah kekuasaan sang pria tua yang sudah kehilangan akal sehat.

Akhirnya Pak Bejo berhenti menghajar Alya. Wanita jelita itu mulai meraung-raung dan menangis sejadi-jadinya karena sakit terasa di seluruh tubuhnya, ia juga menangis karena takut akan nasib yang akan ia alami.

“Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh.” Pak Bejo menyeringai menjijikkan melihat Alya kesakitan di sekujur tubuhnya. Melihat Alya sudah tak berdaya, tangan Pak Bejo mulai bekerja dengan cepat melucuti pakaian yang dikenakan wanita jelita itu. Pak Bejo melepas rok yang dipakai Alya dengan cekatan, tak butuh waktu lama sebelum akhirnya si cantik itu pun harus merasakan tangan kuat sang pria tua menarik turun celana dalamnya.

Alya tidak percaya ini semua terjadi padanya. Ia hanya bisa membatin dalam hatinya.

Mimpi buruk! Ini pasti mimpi buruk. Kalau aku bangun nanti, ini semua pasti cuma mimpi!

Pak Bejo menatap tak percaya melihat kemolekan tubuh Alya. Kaki yang jenjang, paha yang mulus dan rambut tipis tercukur rapi menutup gundukan memek yang bersih. Sungguh keindahan yang tidak ada duanya, inikah yang disebut surga di dunia? Keindahan tubuh Alya persis seperti apa yang selalu diidam-idamkan oleh Pak Bejo ketika masturbasi sendirian di kamar mandi dan tubuh yang indah itu kini tergolek pasrah di atas lantai.

Pak Bejo tak perlu waktu lama untuk menyerang tubuh Alya. Dia membenamkan kepala di antara paha Alya dan mulai menghirup aroma wangi liang kewanitaannya. Pria tua sableng itu mulai menjilati bibir kemaluan Alya.

“Ya Tuhan!”

Alya menggigil tak berdaya sambil mencengkeram kepala Pak Bejo dengan kedua tangannya dan mencoba mendorongnya menjauh. Bahkan Hendra tak berani melakukan itu padanya! Lidah Pak Bejo makin lama makin meningkat kecepatan geraknya dan Alya pun perlahan kehilangan kendali pada tubuhnya. Dengan malu ibu muda jelita itu mulai menyadari kalau tubuhnya perlahan menikmati apa yang dilakukan oleh Pak Bejo sementara batinnya mencoba mengingkari.

“Aaah!!” lenguh Alya keras sambil terus mencoba mendorong kepala Pak Bejo.

Lenguhan Alya makin lama makin keras dan tubuhnya menggigil penuh nafsu birahi di bawah rangsangan luar biasa dari Pak Bejo. Alya sudah tidak ingat lagi akan semua hal yang ia junjung tinggi, pekerjaan, pendidikan, latar belakang, keluarga, suami, anak… semua hilang ditelan nafsu. Tidak ada jalan keluar dari semua terpaan gelombang birahi ini, dia harus menyerah. Dia harus mau ditiduri oleh laki-laki ini, dia harus mau diperkosa oleh seorang pria tua yang ternyata memiliki hati busuk.

Aku mau diperkosa. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Aku mau diperkosa! Aku mau diperkosa! Jangan!!! Jangaaaaan!!!

Dengan kecepatan tinggi, Pak Bejo mulai meloloskan baju dan celana yang ia kenakan. Saking nafsunya, ia bahkan merobek kaos oblongnya. Alya yang terbaring di lantai sekilas melihat batang zakar Pak Bejo sebelum dia akhirnya memeluk Alya. Kontol Pak Bejo sangat besar, bahkan lebih besar dari milik Hendra. Kaki Alya yang jenjang diangkat ke atas oleh pria tua yang sudah nafsu itu, keduanya ditautkan di pundak Pak Bejo dan dengan secepat kilat, batang kemaluan Pak Bejo sudah sampai di selangkangan Alya.

Pak Bejo tak mau menunggu waktu terlalu lama, langsung dilesakkan kontolnya ke dalam memek Alya! Tanpa pemanasan, tanpa persiapan! Pokoknya langsung tusuk! Liang cinta Alya yang belum sepenuhnya dibanjiri cairan pelumas menjadi sangat sakit karena dimasuki paksa oleh batang sang penyerang.

“Haeeeghhhh!” lenguh Alya ketika penis Pak Bejo masuk ke dalam liang kemaluannya.

Si cantik itu bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar tidak berteriak kesakitan saat batang kejantanan Pak Bejo dipompa dalam rahimnya berulang-ulang kali. Semuanya tidak pernah enak, selalu sakit.

Tangisan berderai dari pelupuk mata sang ibu muda yang kini tengah diperkosa itu. Tubuhnya menggigil karena menolak, batinnya pun berontak. Tubuh Alya bergerak tanpa henti, menerima serangan birahi dari Pak Bejo. Pinggul ramping Alya menjadi pegangan utama sang pemerkosa, digunakan untuk menggerakkan tubuh bagian bawahnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Pak Bejo melenguh dengan keras sembari menggemeretakkan giginya karena nafsunya yang menghebat.

Tapi Pak Bejo tetaplah seorang pria tua. Nafsu besar, tenaga kurang. Begitu bernafsunya ia menyetubuhi si cantik Alya, tidak sampai lima menit, Pak Bejo sudah melepaskan cairan pejuhnya di dalam rahim istri Hendra itu. Erangan kecewa keluar dari mulut pria tua itu, ia hanya bisa mengaum tanpa daya melihat kemaluannya perlahan mengempis.

Alya menatap wajah Pak Bejo dengan perasaan campur aduk, di satu sisi dia bersyukur Pak Bejo tidak tahan lama, tapi di sisi lain dia lemas karena biar bagaimanapun juga pria ini telah berhasil memperkosanya! Alya sangat membencinya, sangat sangat membenci pria gemuk berwajah buruk ini!!

“Sudah kubilang kalau kamu akan menikmati semua ini, Mbak Alya sayang. Lenguhanmu terdengar merdu dan merangsang.” Kata Pak Bejo sambil meringis penuh kemenangan, ia berusaha mengelus pipi mulus sang bidadari.

Wajah Alya memerah, ia memalingkan wajah.

Saat Alya berusaha bangun, Pak Bejo menarik tubuh Alya dan memeluknya. “Mau kemana, sayang? Kita kan belum selesai. Kamu nggak pengen dientotin lagi?”

“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya ketus sembari berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.

Mau apa lagi bajingan tua ini?

“Tapi kamu kan nggak bisa ke kamar mandi seperti itu.”

Pak Bejo berdiri dan membantu Alya ikut berdiri. Satu persatu dilepaskannya semua pakaian yang melilit tubuh indah Alya. Mulai dari baju, BH sampai celana dalam yang masih tersangkut di kaki Alya. Setelah selesai, dibaliknya tubuh Alya.

“Sekarang baru boleh pergi.” Kata Pak Bejo terkekeh sambil menampar kecil pantat Alya yang bulat dan mulus.

Sambil menahan air mata, Alya pun pergi ke kamar kecil. Cukup lama Alya bertahan di kamar mandi. Ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin ia membiarkan tubuhnya dikuasai pria selain suaminya? Alya jatuh terduduk di sudut. Memeluk tubuhnya, memeluk dirinya yang kini sangat terasa kotor.

“JANGAN LAMA-LAMA!! AKU PENGEN NGEWE! CEPETAN!! ATAU AKU DOBRAK PINTUNYA!!”

Terdengar teriakan dari luar. Dia tak ingin Pak Bejo bertambah parah perangainya, pintu kamar mandi juga terlalu rapuh, dalam sekali tendang pasti sudah bisa terbuka. Mau tak mau Alya bangkit, membersihkan wajahnya yang sembab oleh tamparan dan tangis.

Alya kembali ke kamar tengah, tetangga yang baru saja memperkosanya itu sedang menonton acara TV. Ia menatap keindahan tubuh Alya yang baru saja dibasuh air untuk sesaat. Betapa indahnya makhluk cantik yang satu ini. Bahkan setelah memiliki seorang anak, tubuhnya masih sedemikian ranumnya. Si tua bejat itu menjilat ludah dan menghardik Alya dengan galak sambil menepuk kakinya sendiri.

“Duduk di pangkuanku!”.

Alya sempat ragu-ragu, dia sangat sadar bahwa dirinya saat ini sedang telanjang tanpa sehelai benangpun di depan seorang pria yang bukan suaminya sendiri. Orang itu kini menghendaki tubuh indah Alya duduk di pangkuannya. Alya hanya bisa mendesah penuh kepasrahan, ia berusaha menahan air matanya yang menetes tanpa kendali. Alya menurunkan tubuh untuk duduk di salah satu kaki Pak Bejo. Si tua bejat terkekeh ketika Alya akhirnya menuruti kemauannya tanpa paksaan.

Tak berapa lama setelah Alya duduk di pangkuan Pak Bejo, tangan jahil pria tua itu mulai meraba-raba tubuh indahnya, menyelami paha mulus Alya, menikmati pinggang ramping yang indah lekuknya, tak melewatkan buah dada kencang menggiurkan, dan leher panjang tanpa cela. Lama kelamaan, api yang tadinya padam mulai menyala lagi. Pak Bejo menurunkan wajah cantik Alya, memandanginya cukup lama, mengaguminya. Bibir mungilnya… bagaimana mungkin seorang wanita memiliki bibir yang begitu indahnya?

Pak Bejo mencium bibir Alya cukup lama mengulumnya lembut, awalnya pelan... kemudian semakin menuntut, tanpa ampun. Lidahnya bekerja untuk membuat Alya kian lemas. Tapi dia tidak puas. Dia sama sekali tidak puas. Bibir ini terlampau indah untuk dilewatkan.

“Sepong kontolku.”

Istri Hendra itu memang sangat jarang melakukan oral seks atau fellatio pada suaminya sendiri karena terlalu alim. Sekali dua kali dilakukannya dengan terpaksa. Alya selalu menganggap hal itu kotor dan menjijikkan, menurutnya hanya pemain film porno yang pernah melakukannya.

“Aku tidak mau.” Kata Alya bersikukuh menolak kemauan sang laki-laki tua bejat.

Tanpa banyak bicara Pak Bejo meraih kepala Alya dan akhirnya istri Hendra itu hanya bisa pasrah. Alya mulai meng-oral kontol Pak Bejo. Rasa asin, pahit dan jijik bercampur menggumpal memenuhi kerongkongan Alya. Ingin muntah ia rasanya.

Remasan tangan Pak Bejo di kepala Alya mengeras seiring gerakan kepala sang bidadari. Si cantik itu bisa merasakan denyutan di kontol yang diemutnya kalau Pak Bejo hampir mencapai orgasme. Kontolnya sangat besar dan keras di dalam mulut Alya sehingga dia mulai batuk-batuk dan kehabisan napas tapi Pak Bejo tidak peduli. Alya berusaha mundur untuk menarik napas, tapi tangan Pak Bejo meraih rambut belakang Alya dan mendorongnya maju sampai tertelan seluruh batang kemaluan sang pria tua. Karena kuatnya dorongan Pak Bejo, tubuh Alya menggelepar karena tercekik seperti mau kehabisan napas.

Alya berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi Pak Bejo terlalu kuat untuknya. Lalu perlahan pria tua itu berhenti sesaat, memberikan kesempatan bagi Alya untuk bernapas sejenak. Sayang hanya sebentar, karena kemudian tiba-tiba saja kepala Alya didorong maju dan dipaksa menelan seluruh batang kontolnya. Tepat ketika ujung kepala kontol Pak Bejo menyentuh tenggorokan Alya, air mani pun meledak di dalam mulutnya.

Tidak ada jalan lain kecuali menelan seluruh pejuh yang dikeluarkan oleh Pak Bejo untuk menahan diri agar tidak tercekik. Ketika akhirnya ia dilepas oleh pria tua bejat itu, Alya rubuh ke belakang dan menarik napas lega. Seluruh pipi dan dagunya belepotan air mani Pak Bejo yang keluar dari bibirnya yang merekah.

Sadar apa yang baru saja diminumnya, langsung saja Alya merasa mual. Istri Hendra itu segera lari ke kamar mandi dan mencoba memuntahkannya di sana. Setelah berhasil, barulah Alya merasa lebih baik dan tidak lagi merasa mual. Sesaat setelah muntah, tiba-tiba saja Pak Bejo sudah berdiri di sampingnya. Alya tidak melakukan perlawanan apapun saat pria yang dari segi usia lebih pantas menjadi ayahnya itu memeluk tubuh indahnya yang telanjang dan mengelus rambutnya yang indah untuk menenangkan si cantik yang masih shock.

“Sudah enakan sekarang?” bisik Pak Bejo.

Mau tak mau Alya mengangguk. Ia pasrah, apapun yang akan terjadi sudah diluar kuasanya. Melawan tak ada gunanya, semoga saja semuanya segera berakhir. Pak Bejo membantu Alya membersihkan wajah dan tubuhnya sebelum membawa ibu rumah tangga yang cantik itu kembali ke ruang keluarga.

Pak Bejo menyuruh Alya duduk di salah satu sofa sementara dia sendiri duduk tepat di hadapan Alya.

“Santai saja. Jangan dianggap yang tadi itu masalah berat. Aku menikmatinya, kamu menikmatinya, semua senang, semua tenang.” Kata Pak Bejo sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya. Wajahnya dingin tanpa merasa bersalah, kepuasan telah menyetubuhi Alya membuatnya seperti di atas awan. Ia kini menjadi seorang majikan, seorang tuan, seorang pemilik atas tubuh istri orang yang luar biasa jelita ini. Dengan wajah tanpa ekspresi, Pak Bejo melanjutkan perintahnya, “pindah channel tvnya.”

Bagaikan budak yang penurut, Alya mau-maunya meraih remote TV dan memencet tombol on. Entah acara apa yang ingin ditonton Pak Bejo, Alya tidak peduli. Ia hanya ingin semua mimpi buruk ini berakhir secepatnya.

“Cari berita perkosaan.” Kata Pak Bejo sambil terkekeh pelan.




BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 01
PARA ISTRI DAN PRIA TUA




Sudah beberapa jam ini Dina Febrianti resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas meja makannya. Wanita cantik berusia 30-an tahun yang terlihat sepuluh tahun lebih muda itu berulang kali mengusap rambutnya yang tidak gatal.

Ia membolak-balik belasan kertas berisi deretan angka. Tagihan listrik, telepon, air, televisi kabel, pulsa, internet, kartu kredit, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat. Bunga berbunga yang seperti tiada akhir, derita para pengguna kredit.

“Huff...”

Dina menarik napas panjang, mencoba melerai stress dari dalam pikirannya. Ia menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina memang tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus.

Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun saat ini menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka, bukannya tidak suka, ia hanya merasa dengan kondisi keuangan saat ini mereka belum siap membangun rumah sebesar itu, terlebih dengan kredit di tempat lain yang belum lunas terbayarkan. Terlalu gegabah membayar kredit begitu besar sementara kebutuhan lain belum terlunasi.

Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar karena mereka kemungkinan mengambil kredit tanpa jalur KPR.

Anton selalu saja hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Namun saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina tahu kekhawatirannya beralasan, ini yang dinamakan besar pasak daripada tiang, pemasukan mereka minim sementara hutang terus membengkak. Saat memeriksa catatan pemasukan Dina bisa menarik napas lega, untungnya jumlah anggaran yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan. Paling tidak cukup untuk bisa bertahan hidup hingga beberapa bulan kedepan.

Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk kartu kredit dan kembali ke pembayaran tunai. Bunga yang ditarik oleh bank untuk kartu kredit sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit akibat terlalu mudah belanja. Entah bagaimana caranya mereka harus bisa menutup kartu kredit yang dimiliki.

Sebelumnya tiap kali hendak memotong kartu kredit permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton. Suami Dina itu selalu mengulang-ulang kata-kata andalannya, kalimat yang sama yang sekarang bagaikan di-loop berulang di benak Dina.

Jangan khawatirkan masa depan, karena semuanya belum terjadi. Jangan pula khawatirkan masa lalu, karena apa yang terjadi sudah tidak bisa diulangi. Lebih baik kita nikmati apa yang ada pada saat ini dengan berpikiran positif. Percayalah, semua akan baik-baik saja.

Seandainya mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Menikah saat berusia muda setelah lulus kuliah, dia memiliki suami tampan dan berpenghasilan mapan, dua anak yang hebat dan pintar, keluarga yang mandiri yang tidak bergantung pada orang tua.

Nikmat mana lagi yang didustakan? Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi satu keluarga sederhana. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.

Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar baru saja naik kelas 2 SD, sedangkan adiknya Dion sebentar lagi akan masuk ke TK B. Keduanya anak cerdas dan membanggakan, namun mengingat kebutuhan mereka yang makin hari makin banyak, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam semakin mahal. Belum lagi Dani sudah dekat waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.

Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini.

Kok aneh…? Tumpukannya terasa lebih tipis, jangan-jangan…

Dina menghitung jumlah uang yang ada di sana. Keningnya berkerut. Dina menghitungnya lagi. Ibu muda yang cantik itu meneguk ludah. Kok… cuma segini?

Takut salah, sekali lagi Dina menghitung ulang.

Tidak! Dia tidak salah hitung! Memang cuma segini.

Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton! Mana suaminya itu juga tidak bilang diambil untuk keperluan apa!

Dina menarik napas panjang, tangannya menjulur mengambil smartphone, jemari lentiknya lincah menyusuri layar sentuh. Anton belum juga membaca pesan WhatsApp darinya sejak siang tadi. Kemana saja dia? Dina tidak suka mencampuri pekerjaan Anton, tapi karena sudah hampir jam pulang, ia beranikan diri memencet nomor sang suami.

Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan.

Dina mencoba telepon kantor.

“Selamat sore. Ini dengan istri Pak Anton Hartono, apa bisa disambungkan dengan beliau?” Dina menunggu sebentar, “oh sudah pulang sejak tadi ya? Baik terima kasih, Mbak. Iya tidak apa-apa, saya hubungi ponselnya saja. Iya, terima kasih…”

Dina meletakkan gawainya dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?!”

Saat itu juga terdengar pintu depan terbuka, langkah kaki yang sangat dihapal Dina masuk ke ruang tamu. Panjang umur. Lega sekali Dina suaminya sudah pulang.

“Maaa, aku pulaaang. Masakin air, ya. Aku mau mandi air panas. Cuuaapek sekali. Hari ini pekerjaanku gila-gilaan.”

Belum sempat Dina berdiri dan menyambut suaminya, Anton sudah masuk kamar dan ambruk di tempat tidur. Dina hanya menghela napas panjang dan menyiapkan ceret untuk memasak air.

Sayangnya Dina tidak tahu, Anton sebenarnya menyimpan rahasia.

Tanpa sepengetahuan Dina, Anton sebenarnya memiliki hobi lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton berjudi tanpa sepengetahuan Dina. Bahkan dia adalah seorang pemain judi yang sudah akut. Sebelum pulang hari ini pun dia menyambangi arena taruhan dan di luar rumah tadi dia menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi salah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit. Itulah sebabnya kenapa kali ini dia pulang ke rumah dengan sangat lesu.

“Pa, kenapa bulan ini isi amplop coklat Mama berkurang banyak, ya? Kan tidak cukup untuk bayar macam-macam sebulan?” Dina mencoba berhati-hati menanyakan perihal jumlah uang belanja sembari merapikan sepatu dan tas kerja Anton, ketika ia memasuki kamar dan menemui suaminya tergeletak lemas di ranjang. “Mama sih cuma butuh untuk membayar tagihan dan belanja saja, tidak perlu lebih. Tapi kayaknya yang bulan ini tidak cukup untuk membayar semuanya.”

Masih berbaring di ranjang, Anton menjawab dengan kepala masih terbenam di bantal, “santai saja, Ma. Ada kok. Aku cuma pinjam sebentar untuk membeli keperluan kantor sama beberapa koleksi. Besok pasti aku ganti. Tenang saja.”

Suara lembut Anton membuat hati Dina luluh. Si cantik itu sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Yah, memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda dan kasih sayang berlimpah.

Tiba-tiba saja tangan Anton menarik Dina hingga rebah di ranjang. Dina tertawa kecil sembari meronta dan mencoba bangkit.

“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan aneh-aneh ah,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’. Sekali dua kali Dina melirik ke arah pintu kamar dan berharap kedua anaknya tidak tiba-tiba muncul.

“Lah, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”

“Pa! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”

“Hm, kalau dulu aku tahu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang pintar dan cantik jelita tapi naif luar biasa.”

“Tidak lucu. Memang kenapa kalau aku anak kemarin sore yang naif atau lugu? Salah sendiri kamu mau menikah sama aku.”

Anton mengamati istrinya: rambut panjang indah menggelora, bulat mata indah dengan bulu mata yang lentik, pipi halus tanpa bercak ataupun jerawat, kulit mulus seputih susu, buah dadanya masih membusung kencang, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan.

Saking mempesonanya, dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya karena ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga biasa. Sejak menikahinya hingga kini, Anton selalu mengagumi kemolekan istrinya yang hampir sempurna, anugerah terindah yang pernah ia miliki. Kemanapun Dina pergi, mata para kaum Adam selalu mengikuti alunan anggun gerak tubuhnya. Sungguh Anton seorang lelaki yang beruntung.

Tangan-tangannya dengan nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, padahal kenyataannya sudah melahirkan dua orang anak.

“Bukan naif dan lugu ya? Hmm... kalau begitu kamu ini wanita konservatif.”

“Maksudnya?”

Anton mulai menyesal memulai percakapan ini.

Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang amatir dan monoton. Berciuman, saling raba lalu bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu, tidak ada inovasi posisi, tidak ada perubahan, konvensional.

Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan kemaluan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun, anal sex adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau istilah doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.

Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada bibir kewanitaan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia menghardik Anton dan menandaskan kalau kemaluan mereka kotor dan tak layak dicium atau dijilat.

Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Sejak saat itu Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi. Asal bisa menyentuh istrinya, posisi missionary pun jadilah.

“Jadi? Kok malah bengong? Ayo jelasin! Kenapa konservatif?” lanjut Dina. “Apa karena aku ini kolot dan konvensional? Bukan wanita murahan? Bukan cewek yang kamu suruh apa-apa aja mau? Digulingkan kesana kesini terus buka paha?”

“Duh, kejauhan nih. Kok jadi begini ya? Sudahlah. Lupakan saja.”

“Ga mau ah. Kan kamu yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya. Kenapa aku ini wanita konservatif?”

“Yah, Mama kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku, jadi...”

“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku sudah berusaha menjadi seorang istri yang baik, setia, selalu melakukan apa yang kamu minta dan telah memberimu dua orang anak yang cerdas! Masih kurang?”

“Iya… iya… Maafkan Papa, ya? Kamu benar, Mama sayang, aku minta maaf.” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam. Tangannya kembali bergerak menggerayang.

“Males.” tolak Dina sambil menepis tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina bangkit dari ranjang. “Itu airnya sebentar lagi siap.”

Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Anton bagaikan mengecup sebatang es batu. Dingin, dan tanpa membuka mulut. Setelah mencium bibir Anton tanpa ekspresi, Dina melangkah keluar kamar. Anton ikut bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa, setelah duabelas tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. Kalau sekarang malas, nanti malam pasti juga ditolak kalau minta jatah. Suami Dina itu terpaksa bermasturbasi di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya.

Bukannya bisa ngentotin Dina, malah harus ngocok sendiri di kamar mandi.
Apes bener dah, dasar sial.


.::..::..::..::.

Bejo Suharso adalah pensiunan PNS berusia 62 tahun dengan tubuh tambun dengan kulit hitam kecoklatan akibat terlalu sering berjemur di bawah sinar matahari. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kuning kemerahan dan rambut keritingnya mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang simpatik, bahkan cenderung buruk rupa.

Walaupun bukan orang berada dan hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di kampungnya. Sayang di balik kehidupannya yang bersahaja, terutama di depan keluarga Alya dan Hendra, Pak Bejo sebenarnya bukanlah orang baik-baik.

Bahkan dia jauh dari kata baik.

Pak Bejo adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan anak-anak muda kampung, dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Bagi yang sudah sangat mengenalnya, Pak Bejo dikenal sangat bejat. Bahkan di kalangan preman, ia dikenal dengan julukan Bejo Subejat. Istri Pak Bejo tahu tentang kelakuan suaminya, tapi dia tidak peduli. Yang penting ada duit, semua damai.

Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan semanis Opi, tapi Pak Bejo jauh lebih suka melirik mamah muda Opi yang luar biasa cantik dan seksi.

Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan waktu sedetikpun untuk mengamati ibu muda yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang hitam panjang, buah dada yang montok berisi, pantat yang bulat kencang, semua yang ada pada Alya – semuanya; Pak Bejo demen.

Sejak Bu Bejo dipercaya dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa memuaskan dahaga nafsunya untuk mencuri-curi pandang ke arah semua titik lekuk keindahan tubuh Alya di kala sang bidadari itu lengah.

Si Alya memang dahsyat. Coba lihat saja bibirnya yang penuh itu. Kalo dipake buat nyepong, baru nempel aja paling kontolku udah meler. Tubuh seindah itu memang diciptakan hanya untuk dientotin. Ahahaha, pasti sedep banget.

Batin Pak Bejo berkelana setiap kali menyaksikan kemolekan sang nyonya rumah. Hari ini pria tua berpikiran mesum itu lebih beruntung lagi, karena tadi pagi dia sempat mencuri celana dalam Alya yang belum dicuci dari kotak laundry. Dia sempat mencium bau harum belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya.

Tebak mau apa?

Mau apa lagi selain masturbasi? Ia segera menggoyang penisnya sendiri dengan membayangkan wajah Alya dan bermimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu sementara tangannya bekerja.

Kampret. Kalau cuma begini terus, bisa rusak kontol ini aku betot. Gimana yah caranya supaya benar-benar bisa ngentotin istrinya Hendra yang semlohay itu? Mesti cari cara buat masukin kontol ini ke memeknya!

Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak Bejo kembali ke teras rumah dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur berbagai macam strategi untuk melaksanakan pikiran kotornya. Saat melamun, teringatlah Pak Bejo pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.

Jingan. Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus memberi dia pelajaran di tempat tidur! Yang mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling gede, siapa itu namanya… Dina? Wah… toketnya juga oke banget… ah ah… Dina, Alya atau Lidya?

Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di hape murahannya. Di dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan bukit kembarnya, gambar belahan dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk sehingga memperlihatkan celah buah dada yang sangat sempurna dan gambar paha mulus Lidya yang seputih pualam.

Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari komplek rumah Alya, berbeda perumahan tapi masih dalam satu kawasan. Bersama suaminya, Anton, Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah. Sedangkan Lidya adalah pengantin baru yang tinggal di sebuah rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka Andi suami Lidya kerap menitipkan istrinya ke rumah Alya.

Kalau dari cerita mereka, kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Beruntung mereka semua sudah menikah dengan orang-orang berpenghasilan mapan.

Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang makin gatal.

.::..::..::..::.

Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan. Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya.

Ia memang mengerjakan semuanya sendiri sejak asisten rumahtangganya yang lama menolak ikut pindah ke rumah baru dan memilih pulang ke kampung. Walhasil, hari ini si cantik itu lelah sekali, apalagi Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang dan dimintai bantuan. Setidaknya setelah bekerja keras sepanjang hari tanpa henti, akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.

Setelah mandi menggunakan shower, keramas dan mengenakan piyama yang nyaman, Alya merebahkan diri di tempat tidur. Ia hanya ingin beristirahat. Sayang, Hendra sang suami punya pikiran lain dan mulai bergerak mendekati istrinya yang rebah membelakanginya. Hendra memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang putih mulus.

“Masih ingat rencana kita memberikan adik untuk Opi?”

“Jangan sekarang, Mas.” tolak Alya dengan halus. “Aku capek banget.”

Hendra tidak menjawab, ia suka suara istrinya kalau sedang manja. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat sampai akhirnya Hendra bisa menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya yang montok.

“Mas… jangan sekarang...” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh, ini protesnya yang kedua kali.

Tidak enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai puas. Namun sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat meminta jatah. Contohnya ya sekarang ini, jelas bukanlah waktu yang tepat, Alya terlalu lelah.

“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing piyama yang dikenakan Alya. “Aku kangen.”

“Mas... aku capek.” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang payudaranya, Alya akhirnya luluh juga. Ia mendesah keenakan. Mau tak mau si cantik itu mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah dan pasrah pada kemauan sang suami.

Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan semua kancing piyama yang dikenakannya. Setelah istrinya telanjang dari perut ke atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah dengan ukuran yang bisa membuat iri setiap wanita berdada rata. Hendra memijat bukit kembar Alya dengan kedua belah telapak tangannya. Suami Alya itu mengelus-elus bukit cinta sang istri dan menciumi sisi-sisinya yang membulat. Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya, tidak cukup lama untuk membuatnya mengeras, lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya turun. Alya dengan desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah ditarik.

Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan suaminya. Keindahan tubuh Alya bersinar terang bagai memancarkan aura. Keindahan tubuh molek seorang wanita matang yang menggiurkan bagi mata lelaki normal.

“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi bentuk tubuhmu masih indah. Masih seksi, masih mulus dan ehmmmm…” Hendra berhenti sambil mengamati istrinya, lalu melanjutkan lagi, “Tidak... tidak. Aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, jauh lebih mulus dan jauh lebih aduhai dari siapapun kapanpun dimanapun.” Kata Hendra memuji keindahan tubuh istrinya.

“Gombal ah,” Alya tersenyum, yah paling tidak dia masih mendapatkan pujian dari suaminya, perawatan sederhana dan olahraga untuk menjaga kesegaran tubuh ternyata ada manfaatnya. “Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata si cantik itu mesra, tangannya diangkat untuk menarik leher Hendra.

Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh bibir kewanitaannya.

Wanita cantik jelita itu menarik napas panjang. Hendra memang bukan orang paling romantis di dunia dan seringkali ia bermain cinta tanpa memikirkan sang istri. Penis suami Alya itu lumayan besar dan kadang ia menyodokkan kemaluannya dengan asal, mengagetkan Alya.

Alya menahan napas dan memejamkan mata sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, barulah Alya melepas napas.

Hendra mulai menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta yang diberikan suaminya.

Meskipun jujur Alya letih sekali.

…ataukah ini karena Alya tidak puas?

Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula singkat, Alya dapat terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Entah apa yang kurang ia sendiri juga tidak tahu. Selalu saja ada yang berasa kurang, tidak mencapai titik yang pernah ia bayangkan dalam hati. Bukan karena ia sering melakukan ini, Hendra adalah lelaki pertama yang merenggut mahkotanya. Mungkin karena Alya lelah atau ekspektasinya terlampau tinggi.

Alya mencoba mengimbangi gerakan memilin sang suami dengan gerakan pinggulnya, mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan Hendra, tapi kali ini ternyata lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama kemudian Hendra sudah orgasme.

Alya tersenyum dan mencium suaminya lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri. Alya tidak pernah takut hamil, ia rajin minum pil KB, dia tahu Opi belum membutuhkan adik. Jika Opi sudah lebih besar nanti, ia ingin melengkapi keluarga mereka dengan anak kedua. Tapi itu jelas bukan sekarang.

Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya, mengecup bahu sang istri dan memejamkan matanya dengan lega.

Alya bangkit dari ranjang, membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa puas.

Si cantik itu menarik napas panjang, entah kecewa atau lega.

Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Ia sedari tadi bersembunyi di luar jendela kamar pasangan suami istri itu. Entah bagaimana, sosok itu bisa menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam adegan seks mereka dengan kamera smartphone murahannya. Ia beruntung kamar cukup terang sehingga rekamannya bisa terlihat, hasilnya pasti berbintik-bintik dan sama sekali tidak nyaman dilihat.

Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah.

Sosok Pak Bejo Suharso.

.::..::..::..::.

.: BEBERAPA HARI KEMUDIAN :.

Siang itu matahari tidak seterik biasanya. Awan gelap bernaung di langit untuk menahan sebaran sinar sang surya. Hawa panas yang biasa menghunjam sedikit luruh oleh selimut mega. Seperti biasa, langit mendung tidak berarti hujan.

Usai melirik cuaca dari jendela, Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi, tapi ibu muda yang cantik itu tidak bisa menikmati tayangan yang sedang diputar. Ia justru terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, pimpinan di tempat kerja Anton.

Pak Pramono menelponnya tadi pagi dan menanyakan apakah beliau boleh datang berkunjung ke rumah karena ada hal penting yang harus ia sampaikan pada Dina. Aneh banget gak sih? Anton yang bekerja buat dia aja baru keluar kota, kok malah mau datang ke sini? Memangnya apa ya yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Kenapa tadi dia bilang ini berkaitan dengan masa depan Anton di perusahaan?

Walaupun tidak bisa dibilang tidak suka, Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono. Orang itu sering memandanginya dengan canggung saat bertemu. Meskipun sudah tergolong berumur, tapi pria yang rambutnya sudah beruban itu bertubuh besar dan cukup gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah angker penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT.

Jantung Dina yang terus gelisah seakan meledak saat bel pintu berbunyi.

Ini dia.

Hal apa gerangan yang mau dibicarakan Pak Pramono ya?

Dina buru-buru mematikan televisi, membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton itu berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.

“Selamat siang, Bu Anton. Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan. Dia sopan, tenang dan cukup berkharisma. Sebaliknya Dina yang gugup sedang mencoba menenangkan diri.

Sebenarnya Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah.

Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia mengatur napas dan duduk dengan tenang. Bagaimanapun juga dia tuan rumah. “Kabar baik, Pak. Terima kasih. Bagaimana kabar Bapak sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina mencoba bersikap ramah.

“Baik, semua baik. Istri saya juga baik-baik saja. Semua sehat.”

Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Sebaiknya saya langsung saja. Karena saya yakin Bu Anton pasti bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui Ibu siang ini?”

“Betul Pak, jujur saya terkejut ketika mendapatkan telepon dari Bapak… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan rasanya agak…”

“Justru karena Pak Anton tidak berada di rumah sehingga saya berani mengambil kesempatan ini. Akan lebih baik kalau Pak Anton tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang mengenai persoalan serius pada Bu Anton perihal Bapak. Karena sifatnya cukup penting dan rahasia, saya beranikan diri untuk menghubungi ibu. Ini semua tentang Pak Anton.”

“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?”

“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”

Dina terkejut dan hampir pingsan ketika mendengarnya, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”

Pak Pramono membuka tas kerja dan mengambil satu amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalam tas. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Kali ini pandangannya berkunang-kunang, dia benar-benar hampir pingsan.

Tidak mungkin… ini tidak mungkin…

“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.

Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar yang terlihat di foto-foto sebelumnya.

“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan. Mukanya menjadi pucat pasi, ini sisi lain dari Anton yang benar-benar tidak dikenal oleh Dina dan dia sangat terkejut.

“Sebenarnya tidak penting informasi darimana kami mendapatkan foto-foto ini, yang mungkin penting diketahui oleh Ibu adalah bahwa kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Terlebih lagi karena dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”

“Mencurigai! Kenapa?”

“Saya baru saja hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm..... mematai-matainya.”

“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.

“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya tersebut.”

Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap.

Dina akhirnya benar-benar pingsan.

.::..::..::..::.

“Alya sayang.”

“Iya Mas?”

“Dasiku yang biru kamu simpan dimana sih? Sudah aku cari dari tadi tidak ketemu?”

“Ah, pasti belum dicari. Ada kok, di dalam lemari.”

Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi, memandikan Opi, menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja, Opi sendiri diasuh Bu Bejo ketika Alya harus berangkat bekerja.

Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas jasa.

Alya sebenarnya mendapat gosip dari tetangga-tetangga yang mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso. Bahkan berdasarkan kabar burung yang bisa dipercayai kebenarannya, Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo dengan kasar. Hanya gara-gara kalah judi, Pak Bejo tega menghajar Bu Bejo sampai bengkak-bengkak membiru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra selama beberapa hari.

Alya menaruh iba pada Bu Bejo, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri orang yang kasar seperti itu? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.

Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung.

Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan Hendra adalah orang paling lembut yang pernah ia kenal. Kalaupun ada sifat Hendra yang paling mengesalkan adalah dia kadang cuek dan sangat keras kepala. Hendra tidak pernah mau menerima suatu hal dengan mudahnya, dia selalu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu dan menerimanya hanya jika dia merasa berhak memilikinya.

Kekerasan dalam rumah tangga bukan hal yang nyaman untuk dibicarakan terlebih jika yang melakukannya orang-orang dekat. Tapi pada suatu ketika Alya pernah nekat menanyakan alasan Bu Bejo bertahan, dia hanya tertawa penuh kesabaran. “Sampeyan niku dereng ngertos nopo-nopo, Mbak. Mbak Alya belum mengerti apa-apa.” Jawab Bu Bejo sambil lanjut meneruskan pekerjaan rumahnya kala itu.

Tapi, Alya sudah membuat Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dia hanya takut hal-hal buruk menimpa tetangganya yang baik itu.

“Opi, ayo habiskan makannya, kita berangkat” Kata Alya memperingatkan putrinya.

Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang bocah. Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.

“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan Bos Gede.” Kata Hendra sambil mencium pipi sang istri.

Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja makan setelah dia menyelesaikan sarapannya. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke sekolah. Setelah itu, biasanya Opi dititipkan pada sang nenek yang kebetulan tinggal di dekat sekolahnya dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya akan menjemput Opi sore hari sepulang kerja.

Alya merasa tidak enak badan hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna, beranak satu tapi masih bagaikan gadis muda. Alya merapikan rambut panjangnya yang agak kusut.

“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggoda.” Kata Hendra. Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi. Dia hanya menjulurkan lidah dengan manis pada suaminya.

“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.

“Iya. Hati-hati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi. “Nanti Papa jemput kamu di rumah nenek.”

“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.

Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.

Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca blog santai atau menonton Youtube mengunakan tabletnya.

Alya masih bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.

.::..::..::.

Saat kemudian terbangun, Dina menemukan dirinya sedang terbaring di atas sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya. Kepalanya begitu berdenyut sampai-sampai membuatnya hilang keseimbangan sesaat sebelum kesadaran benar-benar datang.

“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.

“Apa yang terjadi?” Dina mengejapkan matanya yang pedas dan menyentakkan memori, gelombang ingatan yang datang bagaikan ombak berderu menghantam dan membuatnya pening, “Ya Tuhan, saya ingat! Tidak mungkin!! Mas Anton tidak akan melakukan itu semua!?” susah payah Dina mencoba menarik napas, ia tidak tahu apakah harus menangis atau marah, “A-apa… apa yang akan anda lakukan? Saya mohon pertimbangkan lagi ini... laporan ini akan menghancurkan keluarga kami. Saya mohon.”

“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan untuk datang kemari dan menemui Ibu Dina. Saya punya penawaran seandainya Ibu Dina berkenan dan tertarik.” Kata Pak Pramono. Pandangan matanya yang tajam menatap Dina membuat ibu dua anak itu bergidik ketakutan. Apa yang dia maksudkan?

“Pe... Penawaran? Untuk saya? A... Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Ibu Dina, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”

Dina mengangguk. Muda dan cantik?

“Baiklah, Mbak Dina, begini... sebenarnya, anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina jika setuju dengan syarat yang akan saya ajukan. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”

Dina sudah siap memprotes karena merasa penyelidikan itu terlampau jauh dan mengusik kehidupan pribadi keluarganya, tapi ia kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.

“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya menyampaikan info ini kepada anda, karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”

“Berfoya-foya? Kami tidak pernah minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan tanpa pernah kami memintanya!” teriak Dina panik.

“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”

“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”

“Benar sekali. Itu sebabnya saya ada disini. Saya ini bukan pendendam, saya hanya bekerja sesuai posisi yang saya pegang. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”

“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”

“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”

“Tentu saja.”

“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”

“Apa saja.”

Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya. Apapun akan dia lakukan untuk mengembalikan hutang Anton itu.

Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono mengutarakan niatnya.

“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona. Saya kagum sekaligus iri pada Pak Anton yang memiliki istri seperti anda.”

Wajah Dina memerah, bukankah ini waktu yang tidak tepat untuk memuji? “Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”

“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya tidak sombong, tapi saya memiliki sedikit kebebasan finansial, jadi saya bisa mengganti semua uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”

“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”

“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”

“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”

“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau anda ingin saya melupakan kelakuan suami anda dan kerugian yang diderita perusahaan, saya ingin Mbak Dina melayani saya. Tidur dengan saya. Saya ingin menggauli tubuh indah Mbak Dina.”

Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”

Pak Pramono memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja dengan santai. Lalu dengan sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan membalikkan wajah ke belakang menatap sang ibu muda jelita yang tengah kalap itu.

“Tidak akan ada penawaran kedua, kita sama-sama tahu diri dan tahu posisi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat saya melangkah keluar dari rumah ini dan anda tidak bersedia menerima persyaratan yang saya minta, maka pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera dihubungi. Segera artinya segera.”

Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon tunggu, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Keputusan apa yang harus dia ambil? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Setelah melalui lautan gejolak batin, Dina akhirnya mengangguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”

Tidak ada jalan lain lagi.

“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?” Pak Pramono berubah menjadi lebih ketus. Tidak ada lagi anda – saya, sekarang sudah menjadi kamu – aku.

Dina ragu-ragu sesaat, matanya jatuh menatap lantai dengan hampa, ia tahu ia tidak punya pilihan lain selain mengaku kalah dan pasrah. Akhirnya dengan suara lemah si cantik itu menjawab. “Ya.”

“Bagus. Kita buktikan kesungguhanmu.” Pak Pramono kembali duduk di kursi tamu dan menunggu dengan santai bagaikan dialah sang tuan rumah. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas, wajahnya yang culas mulai menyeringai.

“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.

.::..::..::..::.

Hari mulai siang dan Alya masih terus membolak-balik lembar halaman blog tentang bagaimana merawat anak menggunakan tablet-nya sembari bersantai di sofa malas. Ibu muda yang cantik itu masih menunda pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau memasak karena sepertinya darah rendahnya sedang kumat. Hari ini begitu lelah sedikit, ia langsung pusing kepala. Penyakit bawaan yang sering menyiksanya.

Untungnya Alya termasuk wanita yang sering berolahraga dan senang makan buah-buahan sehingga kesehatannya terawat, ia yakin tidak butuh waktu lama untuk lepas dari sakit kepala yang mengganggu ini. Setelah kepalanya terasa lebih ringan, barulah Alya bangkit dari bermalas-malasan lalu melangkah menuju dapur.

Saat itulah terdengar pintu pagar dibuka. Dari ruang tengah memang bisa terdengar jika pintu pagar terbuka, terlebih kalau suasananya sepi seperti saat ini.

Siapa ya? Apa ojek online yang mengantarkan paket?

Suami Alya memang sering sekali memesan barang yang dikirimkan menggunakan ojek online. Sehingga tidak heran jika yang kali ini datang pun pesanan seperti itu. Ibu muda yang cantik itu segera menuju ruangan depan dan membuka pintu.

Saat membuka pintu, Alya justru mendapati Pak Bejo sedang membawa tas kresek hitam besar berdiri di hadapannya. Pria tua bertubuh tambun dan berwajah buruk itu tersenyum lebar. Matanya menatap tubuh Alya yang kalau di rumah memang berpakaian seadanya dengan pandangan yang sedikit kurang ajar. Matanya tertumbuk terutama pada buah dada Alya yang sentosa.

“Eh, Bapak. Saya kira siapa tadi. Ada perlu apa ya, Pak Bejo?” tanya Alya, dengan jengah ia menyilangkan tangan di depan dada, tidak enak juga rasanya berduaan dengan pria tua ini, terlebih kalau teringat candaan Lidya.

“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”

“Oh, nggak, Pak. Hari ini badan saya agak kurang sehat, kepala juga rasanya pusing sekali. Makanya tadi saya minta ijin istirahat ke kantor.” Sebetulnya ia tidak perlu juga menjelaskan hal tersebut panjang lebar ke Pak Bejo. Siapa dia gitu.

“Oh gitu, wah semoga cepat sembuh ya, Mbak. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya kan istri saya yang ngambil sampah di keranjang halaman belakang. Tapi hari ini istri saya juga tidak enak badan jadi saya yang ngambilin. Kalau besok-besok takut numpuk dan bau.”

Meskipun sedang malas berbasa-basi, Alya tidak mau tidak sopan terhadap tetangganya yang sudah sering membantu ini, apalagi dia hendak membantu membuang sampah. “Oh terima kasih sekali, Pak. Sampahnya ditaruh depan rumah aja kali ya, Pak. Biar nanti diambil sama tukang sampah yang keliling.”

“Iya, Mbak,” jawab Pak Bejo. “Kalau diletakkan di keranjang depan, pasti diambil tukang sampah komplek.”

Alya mengangguk dan mempersilahkan Pak Bejo masuk.

Baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah, pria tua di hadapan Alya berhenti lalu berbalik dan bertanya, “emmm..., maaf Mbak. Tapi mau ngrepotin dikit nih. Boleh ga ya saya minta segelas air putih? Haus banget rasanya, udaranya panas sekali.”

“Ya ampun, tentu saja boleh, Pak. Kan sudah biasa? Anggap saja di rumah sendiri. Sini, biar saya saja yang mengambilkan minum. Bapak duduk dulu.” Kata Alya, ia berusaha sopan dan bergegas ke dalam.

Ketika kembali dengan segelas air putih, Pak Bejo sudah duduk di ruang tengah. Alya meletakkan gelas berisikan air putih dan nampannya di depan Pak Bejo.

Dengan cepat Pak Bejo meneguk air putih yang diambilkan dan mengembalikan gelasnya ke atas nampan. Ibu muda yang cantik itu mengulurkan tangan untuk mengambil nampan, tapi sebelum sempat memegangnya, tangan Alya sudah ditarik oleh Pak Bejo!

Tubuh Alya tertarik ke depan ke arah pelukan Pak Bejo! Kaget dengan sikap Pak Bejo yang tiba-tiba menyergapnya, dengan sigap Alya memutar tubuh dan mencoba lari, tapi Pak Bejo terus memegang tangan dan memeluk tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak bebas. Saat mereka bergumul, nampan di atas meja tersenggol dan gelasnya pun terlempar hingga pecah berkeping-keping!

Merasa di atas angin karena lebih kuat, tangan Pak Bejo mulai nakal meraba-raba dada kenyal Alya dan meremasnya dengan sangat kencang hingga terasa sakit bagi si cantik itu! Alya menjerit namun Pak Bejo tak menghentikan serangannya. Dengan mengerahkan semua upaya sembari menahan pedih, Alya membungkukkan badan ke depan dan meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan erat Pak Bejo.

Sayang semua usaha Alya sia-sia. Untuk bisa mempertahankan keseimbangan diri, Alya justru harus mundur ke belakang. Tanpa perlu dikomando, Pak Bejo segera beraksi. Pria tua itu menyelipkan selangkangannya yang sudah membusung besar ke lipatan pantat Alya. Tangannya juga masih terus meremas buah dada Alya dengan sangat kasar, membuat si cantik itu kini mengernyit kesakitan.

“Pa-Pak Bejo!! Apa-apaan ini!! He-hentikan, Pak!! A......atau saya akan teriak minta tolong!” kata Alya dengan kalimat terbata-bata. Istri Hendra itu jelas sangat ketakutan karena diserang oleh lelaki brutal seperti Pak Bejo.

“Aku tahu Mbak Alya tidak akan melakukan itu, tidak perlu teriak-teriak, nanti tambah stress, pusingnya nambah. Apa yang dibutuhkan Mbak Alya biar sembuh adalah tidur dengan laki-laki sejati. Setelah aku entotin nanti, Mbak Alya akan menjadi seorang wanita yang mendambakan kontol besar setiap hari setiap waktu dan semua pusingnya akan sembuh.” Kata Pak Bejo sambil terengah-engah menahan nafsu yang menggelegak. Tinggal sedikit lagi... tinggal sedikit lagi dia bisa menikmati keindahan tubuh wanita idamannya ini.

Tahu nasibnya sedang terancam, Alya berusaha mengatur napas dan berusaha mengatasi rasa panik. Ia bukan wanita yang lemah! Ia harus melawan! Alya menggeliat mencoba mengumpulkan tenaga, setelah dirasa cukup, Alya berbalik dan mencoba melawan! Tangan Alya meraih rambut Pak Bejo, menjambaknya dan memaksa pria tua itu menunduk. Dengan posisi yang menguntungkan, sekuat tenaga Alya menyepak kemaluan Pak Bejo.

“Aduooh! Lonthe!!”

Pria tua yang mesum itu pantas menerimanya!

Dengan nekat Alya mencoba kabur ke pintu depan sambil melewati Pak Bejo yang sedang kesakitan. Salah langkah. Tangan Pak Bejo dengan cepat menarik rambut Alya dan membanting tubuh si cantik itu ke lantai. Alya yang jauh lebih ringan terbanting dengan keras sambil menjerit kesakitan.

Pak Bejo melepaskan rambut Alya. Sembari mengernyit kesakitan karena kantung kemaluannya ditendang oleh Alya.

Si cantik itu mencoba berdiri dengan sempoyongan, ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Dengan satu tamparan keras di pipi, tubuh Alya terlempar lagi ke lantai. Air mata mulai menetes di pipi mulus Alya. Ia mulai sadar bagaimana besarnya kekuatan Pak Bejo.

Tamparan kedua menyusul tak lama kemudian, membanting tubuh Alya ke arah yang berlawanan. Tamparan Pak Bejo seakan tak berhenti menghajar tubuh Alya, meski tidak sampai membuat wajah dan tubuh Alya lebam, tapi rasa sakit yang ia rasakan begitu menyiksa.

Sampai akhinya Pak Bejo mengunci tubuh sang ibu muda, bagaimanapun kerasnya Alya berusaha melawan, semua tidak ada gunanya. Tak perlu waktu lama sebelum akhirnya perlawanan Alya mengendur dan tubuhnya mulai lemas. Kuncian dan tamparan Pak Bejo menjadi hukuman yang tak tertahankan. Pipinya memerah, rasanya perih sekali seluruh tubuhnya!

“Pak! Saya mohon! Hentikan! Hentikaaaan!” ratap Alya sambil menangis. Wanita jelita itu kini sudah benar-benar berada di bawah kekuasaan sang pria tua yang sudah kehilangan akal sehat.

Akhirnya Pak Bejo berhenti menghajar Alya. Wanita jelita itu mulai meraung-raung dan menangis sejadi-jadinya karena sakit terasa di seluruh tubuhnya, ia juga menangis karena takut akan nasib yang akan ia alami.

“Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh.” Pak Bejo menyeringai menjijikkan melihat Alya kesakitan di sekujur tubuhnya. Melihat Alya sudah tak berdaya, tangan Pak Bejo mulai bekerja dengan cepat melucuti pakaian yang dikenakan wanita jelita itu. Pak Bejo melepas rok yang dipakai Alya dengan cekatan, tak butuh waktu lama sebelum akhirnya si cantik itu pun harus merasakan tangan kuat sang pria tua menarik turun celana dalamnya.

Alya tidak percaya ini semua terjadi padanya. Ia hanya bisa membatin dalam hatinya.

Mimpi buruk! Ini pasti mimpi buruk. Kalau aku bangun nanti, ini semua pasti cuma mimpi!

Pak Bejo menatap tak percaya melihat kemolekan tubuh Alya. Kaki yang jenjang, paha yang mulus dan rambut tipis tercukur rapi menutup gundukan memek yang bersih. Sungguh keindahan yang tidak ada duanya, inikah yang disebut surga di dunia? Keindahan tubuh Alya persis seperti apa yang selalu diidam-idamkan oleh Pak Bejo ketika masturbasi sendirian di kamar mandi dan tubuh yang indah itu kini tergolek pasrah di atas lantai.

Pak Bejo tak perlu waktu lama untuk menyerang tubuh Alya. Dia membenamkan kepala di antara paha Alya dan mulai menghirup aroma wangi liang kewanitaannya. Pria tua sableng itu mulai menjilati bibir kemaluan Alya.

“Ya Tuhan!”

Alya menggigil tak berdaya sambil mencengkeram kepala Pak Bejo dengan kedua tangannya dan mencoba mendorongnya menjauh. Bahkan Hendra tak berani melakukan itu padanya! Lidah Pak Bejo makin lama makin meningkat kecepatan geraknya dan Alya pun perlahan kehilangan kendali pada tubuhnya. Dengan malu ibu muda jelita itu mulai menyadari kalau tubuhnya perlahan menikmati apa yang dilakukan oleh Pak Bejo sementara batinnya mencoba mengingkari.

“Aaah!!” lenguh Alya keras sambil terus mencoba mendorong kepala Pak Bejo.

Lenguhan Alya makin lama makin keras dan tubuhnya menggigil penuh nafsu birahi di bawah rangsangan luar biasa dari Pak Bejo. Alya sudah tidak ingat lagi akan semua hal yang ia junjung tinggi, pekerjaan, pendidikan, latar belakang, keluarga, suami, anak… semua hilang ditelan nafsu. Tidak ada jalan keluar dari semua terpaan gelombang birahi ini, dia harus menyerah. Dia harus mau ditiduri oleh laki-laki ini, dia harus mau diperkosa oleh seorang pria tua yang ternyata memiliki hati busuk.

Dia akan diperkosa. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Dia akan diperkosa! Dia akan diperkosa! Jangan!!! Jangaaaaan!!!

Dengan kecepatan tinggi, Pak Bejo mulai meloloskan baju dan celana yang ia kenakan. Saking nafsunya, ia bahkan merobek kaos oblongnya. Alya yang terbaring di lantai sekilas melihat batang zakar Pak Bejo sebelum dia akhirnya memeluk Alya. Kontol Pak Bejo sangat besar, bahkan lebih besar dari milik Hendra. Kaki Alya yang jenjang diangkat ke atas oleh pria tua yang sudah nafsu itu, keduanya ditautkan di pundak Pak Bejo dan dengan secepat kilat, batang kemaluan Pak Bejo sudah sampai di selangkangan Alya.

Pak Bejo tak mau menunggu waktu terlalu lama, langsung dilesakkan kontolnya ke dalam memek Alya! Tanpa pemanasan, tanpa persiapan! Pokoknya langsung tusuk! Liang cinta Alya yang belum sepenuhnya dibanjiri cairan pelumas menjadi sangat sakit karena dimasuki paksa oleh batang sang penyerang.

“Haeeeghhhh!” lenguh Alya ketika penis Pak Bejo masuk ke dalam liang kemaluannya.

Si cantik itu bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar tidak berteriak kesakitan saat batang kejantanan Pak Bejo dipompa dalam rahimnya berulang-ulang kali. Semuanya tidak pernah enak, selalu sakit.

Tangisan berderai dari pelupuk mata sang ibu muda yang kini tengah diperkosa itu. Tubuhnya menggigil karena menolak, batinnya pun berontak. Tubuh Alya bergerak tanpa henti, menerima serangan birahi dari Pak Bejo. Pinggul ramping Alya menjadi pegangan utama sang pemerkosa, digunakan untuk menggerakkan tubuh bagian bawahnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Pak Bejo melenguh dengan keras sembari menggemeretakkan giginya karena nafsunya yang menghebat.

Tapi Pak Bejo tetaplah seorang pria tua. Nafsu besar, tenaga kurang. Begitu bernafsunya ia menyetubuhi si cantik Alya, tidak sampai lima menit, Pak Bejo sudah melepaskan cairan pejuhnya di dalam rahim istri Hendra itu. Erangan kecewa keluar dari mulut pria tua itu, ia hanya bisa mengaum tanpa daya melihat kemaluannya perlahan mengempis.

Alya menatap wajah Pak Bejo dengan perasaan campur aduk, di satu sisi dia bersyukur Pak Bejo tidak tahan lama, tapi di sisi lain dia lemas karena biar bagaimanapun juga pria ini telah berhasil memperkosanya! Alya sangat membencinya, sangat sangat membenci pria gemuk berwajah buruk ini!!

“Sudah kubilang kalau kamu akan menikmati semua ini, Mbak Alya sayang. Lenguhanmu terdengar merdu dan merangsang.” Kata Pak Bejo sambil meringis penuh kemenangan, ia berusaha mengelus pipi mulus sang bidadari.

Wajah Alya memerah, ia memalingkan wajah.

Saat Alya berusaha bangun, Pak Bejo menarik tubuh Alya dan memeluknya. “Mau kemana, sayang? Kita kan belum selesai. Kamu nggak pengen dientotin lagi?”

“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya ketus sembari berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.

Mau apa lagi bajingan tua ini?

“Tapi kamu kan nggak bisa ke kamar mandi seperti itu.”

Pak Bejo berdiri dan membantu Alya ikut berdiri. Satu persatu dilepaskannya semua pakaian yang melilit tubuh indah Alya. Mulai dari baju, BH sampai celana dalam yang masih tersangkut di kaki Alya. Setelah selesai, dibaliknya tubuh Alya.

“Sekarang baru boleh pergi.” Kata Pak Bejo terkekeh sambil menampar kecil pantat Alya yang bulat dan mulus.

Sambil menahan air mata, Alya pun pergi ke kamar kecil. Cukup lama Alya bertahan di kamar mandi. Ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin ia membiarkan tubuhnya dikuasai pria selain suaminya? Alya jatuh terduduk di sudut. Memeluk tubuhnya, memeluk dirinya yang kini sangat terasa kotor.

“JANGAN LAMA-LAMA!! AKU PENGEN NGEWE! CEPETAN!! ATAU AKU DOBRAK PINTUNYA!!”

Terdengar teriakan dari luar. Dia tak ingin Pak Bejo bertambah parah perangainya, pintu kamar mandi juga terlalu rapuh, dalam sekali tendang pasti sudah bisa terbuka. Mau tak mau Alya bangkit, membersihkan wajahnya yang sembab oleh tamparan dan tangis.

Alya kembali ke kamar tengah, tetangga yang baru saja memperkosanya itu sedang menonton acara TV. Ia menatap keindahan tubuh Alya yang baru saja dibasuh air untuk sesaat. Betapa indahnya makhluk cantik yang satu ini. Bahkan setelah memiliki seorang anak, tubuhnya masih sedemikian ranumnya. Si tua bejat itu menjilat ludah dan menghardik Alya dengan galak sambil menepuk kakinya sendiri.

“Duduk di pangkuanku!”.

Alya sempat ragu-ragu, dia sangat sadar bahwa dirinya saat ini sedang telanjang tanpa sehelai benangpun di depan seorang pria yang bukan suaminya sendiri. Orang itu kini menghendaki tubuh indah Alya duduk di pangkuannya. Alya hanya bisa mendesah penuh kepasrahan, ia berusaha menahan air matanya yang menetes tanpa kendali. Alya menurunkan tubuh untuk duduk di salah satu kaki Pak Bejo. Si tua bejat terkekeh ketika Alya akhirnya menuruti kemauannya tanpa paksaan.

Tak berapa lama setelah Alya duduk di pangkuan Pak Bejo, tangan jahil pria tua itu mulai meraba-raba tubuh indahnya, menyelami paha mulus Alya, menikmati pinggang ramping yang indah lekuknya, tak melewatkan buah dada kencang menggiurkan, dan leher panjang tanpa cela. Lama kelamaan, api yang tadinya padam mulai menyala lagi. Pak Bejo menurunkan wajah cantik Alya, memandanginya cukup lama, mengaguminya. Bibir mungilnya… bagaimana mungkin seorang wanita memiliki bibir yang begitu indahnya?

Pak Bejo mencium bibir Alya cukup lama mengulumnya lembut, awalnya pelan... kemudian semakin menuntut, tanpa ampun. Lidahnya bekerja untuk membuat Alya kian lemas. Tapi dia tidak puas. Dia sama sekali tidak puas. Bibir ini terlampau indah untuk dilewatkan.

“Sepong kontolku.”

Istri Hendra itu memang sangat jarang melakukan oral seks atau fellatio pada suaminya sendiri karena terlalu alim. Sekali dua kali dilakukannya dengan terpaksa. Alya selalu menganggap hal itu kotor dan menjijikkan, menurutnya hanya pemain film porno yang pernah melakukannya.

“Aku tidak mau.” Kata Alya bersikukuh menolak kemauan sang laki-laki tua bejat.

Tanpa banyak bicara Pak Bejo meraih kepala Alya dan akhirnya istri Hendra itu hanya bisa pasrah. Alya mulai meng-oral kontol Pak Bejo. Rasa asin, pahit dan jijik bercampur menggumpal memenuhi kerongkongan Alya. Ingin muntah ia rasanya.

Remasan tangan Pak Bejo di kepala Alya mengeras seiring gerakan kepala sang bidadari. Si cantik itu bisa merasakan denyutan di kontol yang diemutnya kalau Pak Bejo hampir mencapai orgasme. Kontolnya sangat besar dan keras di dalam mulut Alya sehingga dia mulai batuk-batuk dan kehabisan napas tapi Pak Bejo tidak peduli. Alya berusaha mundur untuk menarik napas, tapi tangan Pak Bejo meraih rambut belakang Alya dan mendorongnya maju sampai tertelan seluruh batang kemaluan sang pria tua. Karena kuatnya dorongan Pak Bejo, tubuh Alya menggelepar karena tercekik seperti mau kehabisan napas.

Alya berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi Pak Bejo terlalu kuat untuknya. Lalu perlahan pria tua itu berhenti sesaat, memberikan kesempatan bagi Alya untuk bernapas sejenak. Sayang hanya sebentar, karena kemudian tiba-tiba saja kepala Alya didorong maju dan dipaksa menelan seluruh batang kontolnya. Tepat ketika ujung kepala kontol Pak Bejo menyentuh tenggorokan Alya, air mani pun meledak di dalam mulutnya.

Tidak ada jalan lain kecuali menelan seluruh pejuh yang dikeluarkan oleh Pak Bejo untuk menahan diri agar tidak tercekik. Ketika akhirnya ia dilepas oleh pria tua bejat itu, Alya rubuh ke belakang dan menarik napas lega. Seluruh pipi dan dagunya belepotan air mani Pak Bejo yang keluar dari bibirnya yang merekah.

Sadar apa yang baru saja diminumnya, langsung saja Alya merasa mual. Istri Hendra itu segera lari ke kamar mandi dan mencoba memuntahkannya di sana. Setelah berhasil, barulah Alya merasa lebih baik dan tidak lagi merasa mual. Sesaat setelah muntah, tiba-tiba saja Pak Bejo sudah berdiri di sampingnya. Alya tidak melakukan perlawanan apapun saat pria yang dari segi usia lebih pantas menjadi ayahnya itu memeluk tubuh indahnya yang telanjang dan mengelus rambutnya yang indah untuk menenangkan si cantik yang masih shock.

“Sudah enakan sekarang?” bisik Pak Bejo.

Mau tak mau Alya mengangguk. Ia pasrah, apapun yang akan terjadi sudah diluar kuasanya. Melawan tak ada gunanya, semoga saja semuanya segera berakhir. Pak Bejo membantu Alya membersihkan wajah dan tubuhnya sebelum membawa ibu rumah tangga yang cantik itu kembali ke ruang keluarga.

Pak Bejo menyuruh Alya duduk di salah satu sofa sementara dia sendiri duduk tepat di hadapan Alya.

“Santai saja. Jangan dianggap yang tadi itu masalah berat. Aku menikmatinya, kamu menikmatinya, semua senang, semua tenang.” Kata Pak Bejo sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya. Wajahnya dingin tanpa merasa bersalah, kepuasan telah menyetubuhi Alya membuatnya seperti di atas awan. Ia kini menjadi seorang majikan, seorang tuan, seorang pemilik atas tubuh istri orang yang luar biasa jelita ini. Dengan wajah tanpa ekspresi, Pak Bejo melanjutkan perintahnya, “pindah channel tvnya.”

Bagaikan budak yang penurut, Alya mau-maunya meraih remote TV dan memencet tombol on. Entah acara apa yang ingin ditonton Pak Bejo, Alya tidak peduli. Ia hanya ingin semua mimpi buruk ini berakhir secepatnya.

“Cari berita perkosaan.” Kata Pak Bejo sambil terkekeh pelan.




BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
Uuwww hu mantap
 
akhirnya di rilis ulang lagi..
sama yg empunya cerita aslinya..
kerenn.. scane di pos ronda paling saya ingat hu... Bejo sialan emang . hahahaha
 
Wuihhh...akhirnya sang empunya cerita berkenan hadir lagi. Semoga kali ini bisa tamat ya Hu :semangat:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd