lisasartika86
Semprot Baru
- Daftar
- 3 Nov 2018
- Post
- 35
- Like diterima
- 241
Kisah ini menceritakan tentang seorang menantu perempuan yang doyan menggoda mertuanya.
Berdiri di depan pintu rumahku, Winda mendekatkan kepalaku ke arahnya dan berbisik di telingaku, “Ayah boleh mendapatkanku jika ingin.“
Dia memberiku sebuah kecupan di pipi lalu berbalik berjalan menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Andi menempatkan bayinya pada dudukan bayi dan terlalu jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan oleh istrinya terhadap ayah mertuanya. Winda melenggang dengan riangnya seperti seorang gadis remaja. Andi tak pernah mengetahui hal ini, winda hanya melakukan ini hanya untukku. Mungkin kalian mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi nyatanya apa yang Winda lakukan itu tidak hanya sekali saja. Sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku jauh dari rasa bosan soal itu. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan pikiran yang tidak wajar berputar-berputar di benakku.
Winda adalah seorang wanita yang mungil, tapi ukuran fisiknya itu tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat sebahu, yang dengan alasan tertentu dia biasanya mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Cantiklah kalau ingin mendeskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terburu-buru tapi selalu kelihatan manis. Dia masuk dalam kehidupan kami sejak dua tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami sekian lamanya.
Andi bertemu dengannya saat dia masih di tahun pertamanya kuliah. Winda baru saja lulus SMU, mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan penataran mahasiswa baru. Kebetulan Andi yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya Winda. Seperti mereka bilang, cinta mereka adalah cinta pada pandangan pertama. Mereka menikah di usia yang terbilang muda, Andi 23 tahun dan Winda 19 tahun. Setahun kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana waktu itu semakin mendekatkan kami semua. Winda sangat jenaka, selalu tersenyum riang, dan juga menyukai bola. Dia sering menggoda Andi, mereka benar-benar pasangan serasi. Dia selalu menyemangatinya. Andi memerlukan itu.
Andi dan Winda sering berkunjung kemari, membawa serta anak mereka. Mereka telah mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka merasa aku membutuhkan seorang teman, karena aku seorang tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung. Di samping itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada di sini, dibandingkan rumah kontrakannya yang sempit.
Ibu Andi telah meninggal karena kanker sebelum Winda masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan, hobi olahragaku serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita dalam hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan, Andi melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Winda bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta. Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikit pun, cuma bedanya sekarang mereka sering membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, di samping itu juga perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.
Berdiri di depan pintu rumahku, Winda mendekatkan kepalaku ke arahnya dan berbisik di telingaku, “Ayah boleh mendapatkanku jika ingin.“
Dia memberiku sebuah kecupan di pipi lalu berbalik berjalan menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Andi menempatkan bayinya pada dudukan bayi dan terlalu jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan oleh istrinya terhadap ayah mertuanya. Winda melenggang dengan riangnya seperti seorang gadis remaja. Andi tak pernah mengetahui hal ini, winda hanya melakukan ini hanya untukku. Mungkin kalian mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi nyatanya apa yang Winda lakukan itu tidak hanya sekali saja. Sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku jauh dari rasa bosan soal itu. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan pikiran yang tidak wajar berputar-berputar di benakku.
Winda adalah seorang wanita yang mungil, tapi ukuran fisiknya itu tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat sebahu, yang dengan alasan tertentu dia biasanya mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Cantiklah kalau ingin mendeskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terburu-buru tapi selalu kelihatan manis. Dia masuk dalam kehidupan kami sejak dua tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami sekian lamanya.
Andi bertemu dengannya saat dia masih di tahun pertamanya kuliah. Winda baru saja lulus SMU, mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan penataran mahasiswa baru. Kebetulan Andi yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya Winda. Seperti mereka bilang, cinta mereka adalah cinta pada pandangan pertama. Mereka menikah di usia yang terbilang muda, Andi 23 tahun dan Winda 19 tahun. Setahun kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana waktu itu semakin mendekatkan kami semua. Winda sangat jenaka, selalu tersenyum riang, dan juga menyukai bola. Dia sering menggoda Andi, mereka benar-benar pasangan serasi. Dia selalu menyemangatinya. Andi memerlukan itu.
Andi dan Winda sering berkunjung kemari, membawa serta anak mereka. Mereka telah mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka merasa aku membutuhkan seorang teman, karena aku seorang tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung. Di samping itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada di sini, dibandingkan rumah kontrakannya yang sempit.
Ibu Andi telah meninggal karena kanker sebelum Winda masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan, hobi olahragaku serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita dalam hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan, Andi melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Winda bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta. Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikit pun, cuma bedanya sekarang mereka sering membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, di samping itu juga perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.
Terakhir diubah: