Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPN

Ikuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom

Hiburan
Cerita

CERPEN RUMAH ITU

joseph12 · 2017-02-07T06:22:06+00:00

Sejak dahulu aku menatap rumah tengah desaku, yang paling tinggi. Berbeda dengan rumah lain, yang rata-rata hanya terbuat bahan sederhana dan memiliki halaman tak sampai 2 meter. Rumah yang saya tempati adalah peninggalan eyang kangkung didaerah Jawa Tengah. Ayah mempertahankan kondisi rumah yang katanya memiliki “sejarahnya”. Walaupun sudah berganti bahan dari kayu hutan menjadi bahan batu, namun sudah aturan wajib bahwa rumah haruslah tingginya tidak melebih rumah itu. Menurut kepala desa kami, dahulu kampung kami adalah wilayah perkebunan kopi. Seorang pengusaha asal Belanda yang kaya raya, mencoba peruntungan membuat perkebunan dengan membabat didaerah yang cukup tinggi. Eyang adalah salah satu pekerja perkebunan generasi kedua sebelumnya ayahnya sudah menjadi pekerja perkebunan. Dengan membuka hutan dilereng Gunung Sindoro lalu mulai membuka perkampungan perkerja, perkebunan, lalu rumah tinggal. Pernyataan dari kepala desa yang setidaknya menyangkut dengan alasan apa kami dan keluarga ada disni agaknya sejalan dengan kata teman kuliahku. Ketika duduk dibangku kuliah dengan tabungan bambu milik ayah,aku kuliah di Yogyakarta mengambil studi arsitek. Perkuliahan ini mempertemukan aku dengan banyak hal serta banyak orang. Termasuk sosok Mas Burhan dan Ridwan, yang membuat pandanganku tentang Rumah itu berbeda. Rumah tengah desa, memang terlihat berbeda lebih luas halaman, dengan belukar menjalar. Apabila sudah tiga bulan berlalu, warga dengan jumlah 8-10 orang membersihkannya. Bahkan doa Ayah tentang pendidikan ku tidak jauh soal rumah. “Insya Allah, semoga Wisnu dapat berkuliah dengan baik. Anakku raihlah Sarjana sebaik-baiknya lalu memperbaiki rumah kebanggaan kampung,” ujar ayah sambil menatapku. Bagiku rumah itu, adalah bangunan biasa dengan keistimewaan berbahan batu bata dan tampak mewah sekaligus menyeramkan. Jika bisa menceritakan, banyak anak sebaya pernah melihat perempuan ditengah malam menangis. Tetapi orang tua memang selalu menghardik kami, dengan mengatakan tiada yang salah dengan rumah itu. Bahkan ibuku berkata, “Eyang, Ayah bahkan seluruh kampung tiada bisa membalas kebaikan tuan. Selain menjaga harta tuan selain menjaganya,”. Bahkan sebelum membersihkan rumah itu, kepala kelompok selalu membaca doa kemudian berkata “Permisi tuan, kami ingin bersihkan perkarangan dulu.”Kemudian mereka mulai membersihkan rumah itu walaupun hanya perkarangan, lalu mengakhirinya dengan ritual kopi. Dengan meminum kopi dalam satu cerek besar lalu satu cangkir kopi yang cukup tua ditaruh depan pintu. “Ini kopinya tuan,” ujar ketua kelompok. Situasi yang lumrah terjadi, bahkan Ayah saat mendapat giliran bersikap antusias. Aku sendiri bingung. Aku bukan yang pertama yang kuliah di sebuah kota yang besar, bahkan anak kepala dusun pernah berkuliah dijurusan yang sama. Setelah lulus, Burhan demikian namanya malah pergi ke Jakarta. Ia memilih bekerja sebagai tenaga ahli sebuah perusahaan kontraktor bangunan. Sebuah pekerjaan yang memancing air liur dalam otak tentang pekerjaan yang sebaik-baiknya. Sebuah pekerjaan yang jauh lebih enak daripada kamu harus memperbaiki rumah yang tidak kamu tahu siapa yang memilikinya dan hanya ada kata “tuan” dalam memanggil rumah. Sekali sempat didaerah Jalan Malioboro, Mas Burhan datang mengajak bertemu. Didekat stasiun besar Tugu dengan duduk atas tikar dipinggir jalan kami ngobrol. Sekadar makan diangkringan dan minum secangkir kopi hangat. Aku bercerita bagimana perkuliahanku yang menurutku lebih memenuhi keinginan Ayah. Dengan tenang mas Burhan mendengarkan keluh kesalku, sambil sesekali meminum kopi didepan kami. “Bagimana Mas, aku wes malas ikuti keinginan ayahku. Dia malah memikirkan rumah itu. Padahal zaman sudah berubah bahkan rumah itu sebetulnya sudah layak dipugar atau diratakan. Aku memang tidak tahu apa istimewa rumah itu dengan kata ‘tuan’ saat orangtua kita berbagai giliran membersihakan halaman rumah.” ujar aku. “Itu bukan masalah rumah, Wisnu kamu pernah tahu cerita kampung kita ada? ” tanya Burhan. “Kita anak turunan pekerja dari sebuah perkebunan kopi, dari jaman Belanda. Lalu menjadi kebiasaan untuk menjual dan menanam kopi”jawabku enteng. “Lalu pernah membawa kopi desa kita, lalu menjualnya seperti aku dan beberapa teman lain?” tanya Burhan. “Belum, mas. Emang kenapa apa hubungan perkebunan kopi dan rumah itu?” tanya aku balik. “Kopi adalah identitas kampung, dan rumah adalah pusatnya. Kita adalah generasi ketiga dari pekerja perkebunan dari orang Belanda yang baik. Dia menanggap pekerja adalah temannya, sehingga akhirnya mesti pulang ke Belanda karena kemerdekaan dan menyerahkan semua pada pekerjanya” terang Burhan. “Lho, kalau mas mengetahui alasan bagimana kampung ada dan alasan rumah itu dipuja. Mas llu kabur dari membangun desa padahal bisa memperbaiki rumah itu?” tanya aku menyelidik. “Tidak, aku bukan kabur. Ada alasan yang cukup kuat dalam meninggalkan rumah itu. Sekarang dengarkan bisa dikatakan rumah itu sudah harusnya diratakan, benarkan?” ujar Burhan. “Iya, Mas. Dari strukur bangunan, rumah itu memiliki pondasi yang kuat. Entah karena sudah lapuk dimakan umur atau masyarakat kampung belum mengerti merawat bangunan,” jawabku dengan mantap. “Karena itu aku pergi, Wisnu. Memperbaiki rumah itu bukan berbicara ilmu kita sebagai anak yang paham ilmu pasti dalam yang menyangkut tentang bagaimana merancang, membangun, merenovasi tidak hanya gedung dan infrastruktur, tetapi juga mencakup lingkungan untuk kemaslahatan hidup manusia. Perlu dipikirkan hal-hal lain, aku pergi mencari pengalaman untuk menyelesaikan bagimana mengurusi bangunan yang memiliki yang hampir sama,” timpal Burhan. “Ada yang sama, yang mas temui? Semisalnya pondasi yang meryupai atau strukur bangunan,” tanya aku mulai menyelidik. “Pasti, lihat foto ini bangunan adalah gedung polisi militer di Lawang, Malang. Lalu ini yang Gedung peninggalan perkebunan di langkat Sumatera Utara sekarang digunakan PTPN XI,” terang Burhan sambil menunjukan foto. “Memperbaiki rumah bukan bicara memaksimalknya, ini juga berbicara kenangan. Jika berbicara memperbaiki maka bisa kita menimpali semuanya didalam rumah itu suah lapuk bagimana membangun luang semuanya. Lalu, kita kuburkan semuanya dalam memori mereka,” sambung Burhan. “Jadi mas, mau ikut memperbaiki rumah itu? Bukannya akan memerlukan biaya cukup besar?” tanya aku. “Ya, pastinya. Jika kamu sudah selesai pendidikan ini. Melamarlah dikantorku, sekalian kita bisa mengumpulkan data yang banyak,” Jelas Wisnu. Setelah obrolan ini, mas Wisnu pamit pulang ke Jakarta. Obrolan dengan mas Burhan masih mengambang dikepala. Seperti rebusan Baso yang mengambang dalam kuali kuah penjualnya. Pernyataan dia membuatku mengambang, bagiku keluar desa berarti harus diluar berhasil. Walaupun desaku adalah bagian daerah Gunung Sindoro yang lebih berbicara hasil kebun yaitu Kopi. Menilik pendidikanku sebelum kuliah cukup membanggakan, dengan menempati 3 besar di SMA dalam Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Aku memang ingin keluar bebas dari semua yang menahan aku. Karena sedari kecil, aku hanya melihat kebun,rumah-rumah kecil, dan Rumah itu. Rumah yang ingin warga kampung perbaiki dengan mengempalkan harapan padaku. Mereka memikirkan harapan pada mas Burhan telah pupus, karena memilih keluar dari desa setelah sarjana. Percakapan dengan mas Burhan, mengisyaratkan bahwa Janji dan harapan mesti dipenuhi. Dia keluar untuk mencoba mengali pengalaman yang cukup demi rumah kosong simbol kampung kami. Rumah yang dari penuturuan adalah pemilik perkebunan yang sangat menyayangi pekerjanya. Hingga pada “keperginya “ warga tetap memanggapnya ada hingga sekarang. Boleh jadi cerita kepala desa dan mas Burhan benar, sehingga nilai kebaikan tuan yang orang Belanda itu tertanam pada pekerjanya. Mungkin bagimana kopi adalah pekerjaan satu-satu pekerja yang dilakukan untuk bertahan hidup. Berbagai kemungkinan menyerang pikiranku, dan mulai menyerang keinginan untuk beristirahat. Aku pulang ke kost, mencoba untuk tidur sebisanyaa karena besok akan kuliah. Pagi hari, kuputuskan untuk melepon ibuku, dan menceritakan pembicaraan dengan mas Burhan kemarin. Sekalian meminta mengirimkan bijih kopi untuk kupakai sendiri. Aku berusaha fokus dalam pelajaran dikampus, dan segala kegiataan yang bisa menyita perhataian agar tidak memikirkan kembali pembicaraan yang belum dapat kucerna seutuhnya. Kopi kiriman dari Ibuku datang berberapa hari sejak aku memintanya. Teman kostku menerima pada pagi hari, karena aku sedang berangkat kuliah. Melihat kopi ini, aku memperhatian butiran kopi, bahkan memainkan seperti anak kecil. Dalam kamar, aku mencoba merenungi kata mas burhan kembali, tentang kopi dan kampung. Aku memutus pergi ke pasar untuk membeli tungku kecil, arang, dan wajan ukuran kecil. Setelah itu, aku mulai menimbang apa membeli gilingan manual atau membawanya ke tukang giling kopi. Aku memutuskan membeli gilingan kopi manual, dengan sedikit menawar disebuah toko peralatan masak aku dapat menawarnya setengah dari harga aslinya. Aku mulai menjemur bijih kopi diatas genteng kamar kostku, teman-teman mulai memperhatikan aksi. Ridwan sedikit paling lebih serius, bahkan lewat depan kamar kostnya yang berada bagunan seberang kostku dia mendongkak untuk memperjelas pengamatan. Entah karena apa, malamnya dia datang kamar kostku. “Permisi, Wisnu kamu mau bikin apa sih? Akhir-akhir ini kamu kebiasaan lebih beda?” tanya Ridwan. “Aku mau membuat kopi Rid, makanya aku tadi jemur biji kopi tadi, berhubung tadi cuaca panas. Kemarin juga membeli pengiling kopi dengan tangan sama tungku,” jawabku. “Apa tidak sayang, besok kamu jemur sekalian berangkat nanti dicuri teman kost?” selidik Ridwan. “Ya, berpikir baik aja. Teman-teman baik kok, mungkin kamu nanti yang jaga,” sahutku. Ridwan tersenyum, lalu memilih duduk diduduk dilantai sambil bersadar ditembok. “Kamu dapat kopi itu dari mana?” tanya Ridwan. “Dari kampung, aku anak petani kopi” jawab singkat. “Daerah mana, Jember atau mana?” “Temagung, kata orangtua didesa kampung saya memang didirikan dari perkebunan kopi kepunyaan orang Belanda. Jujur saya bukan pencinta kopi yang fanatik, saya hanya mencoba dulu siapa tau bisa untung nambah uang makan,” Jawabku enteng. “Kalau beneran mau mencoba aku punya kenalan pemilik warung kopi. Tapi cukup aneh, jika kamu yang mengaku bukan pencinta kopi tapi beli tungku sampai alat pengiling untuk bikin kopi. Seandainya kamu mau minum kopi kan cukup minta dikirim bubuk kopi atau beli,” kata Ridwan lalu kami tertawa. “Jujur aku malas menceritakan masalah aku pendam, aku ingin setelah menyelesaikan perkuliahan nanti bisa kerja baik. Maksud aku adalah kerja sesuai kemampuan dan pendidikanku, tetapi sebagai anak petani kopi, aku diminta ayah untuk ambil kuliah arsitek. Aku memang suka, tetapi setidaknya ayahku bisa pula minta aku kuliah jurusan pertanian atau argobisnis” jawabku sambil menatapnya. Aku menghela nafas, lalu menutup mata. Cukup lama, hingga kembali membuka mata dan melihat Ridwan sudah merokok sambil menunggu aku bercerita. “Ada sebuah rumah didesa begitu besar, namun sudah banyak kerusakan diberbagai bagian. Penduduk desa, menghormati rumah itu bahkan berbicara dengan kata “tuan”. Ayahku berusaha menguliahkan aku ke jogja, untuk bisa memperbaiki rumah itu. Padahal jika boleh jujur aku hanya menatap rumah itu sebagai bangunan biasa, terlepas bagimana warga kampung memandangnya.” “Jadi kamu, berharap untuk sukses dalam perkerjaan tanpa dibebani tangung jawab rumah yang ingin diperbaiki bapak ibumu.” Ridwan tersenyum, lalu keluar dari pintu dan meraih berberapa biji kopi diatas genteng kamar kostku. Lalu kembali, dan menaruh pada meja kecil depan aku duduk. “Kopi dalam masyarakat Indonesia memilih kenangan cukup kuat. Didesa atau mungkin biasa kamu katakan perkampungan bisa dikatakan Kopi sebagai perekat. Kampung aku di Jetun Silangit di Sumatera Utara, Kopi adalah mata pencaharian papa dan mama. Sedikit cerita, aku sama denganmu walaupun berbeda berberapa hal seperti suku atau lainnya. Bahkan kami menjual kopi pada pihak yang menjual kopi kami dengan duduk di Sofa di Mall.” Jelas Ridwan. “Kopi menjadi komoditas yang sangat baik, bahkan sebelum kita bisa dikatakan Indonesia. Seperti halnya pala, cengkeh, lada, garam, bahkan Tembakau dan Karet; Kopi adalah sumber keuangan yang mampu memperkaya kantong kolonial.” Karena merupakan komoditas yang berharga, Koffie is Gulden demikian pepatah Belanda dalam memuji kopi yang menjadi tulang pungung Kerajaan Belanda dari Hindia Belanda.” Kata Ridwan seperti khotbah yang yang selalu ku ikuti. Ridwan bukan seperti orang yang berkuliah jurusan Sejarah yang kubayangkan, jujur saya dahulu saat menempati daerah Kost. Berkenalan dengan dia saya membayangkan sebagai orang kaku seperti guru Sejarah di SMA. Dia lebih sosok yang cukup perhatian dengan teman-teman kostnya, bahkan karena lebih senior dia sering diminta bantuan berberapa hal. Memasuki kamar Kostnya seperti memasuki perpustakaan, kamarnya hampir didominasi rak buku dari berbagai ilmu. Jika kita kekuarngan sumber dalam mengerjakan tugas, maka dengan meminjam dari bukunya adalah keuntungan. Ridwan langsung mengajakku ke kamar kostnya untuk minum kopi. Sesampai kost dia mempersilakan untuk bersantai. “Ayo duduk, jika mau memabaca buku tinggal ambil. Buku tentang bangunan ada rak sebelah kiri, bagian dua dari atas.” Jelasnya sambil mencari bubuk kopi, aku duduk dan memilih tidak membaca.Pada akhirnya, aku mulai membuka diri tentang permasalahanku tentang kopi, desa dan rumah itu. Aku juga menceritakan obrolan ku dengan mas Burhan tempo hari. Karena berberberpa alasan, kami pindah ke kamar kost Ridwan. Sejak pindah tempat ngobrol, aku masih memikirkan apa hubungan komoditas kopi dengan ceritaku. Sementara Ridwan sibuk memasukan bubuk kopi kedalam gelas, lalu menjalakan dispenser untuk memasak air.Jujur setiap kali ke kamar kost aku merasa iri, bahkan terlihat mewah dengan barang-barang yang cukup banyak seperti Dispenser rak buku dan lainnya. Selesai membuat kopi, dia kembali mengajak ngobrol tapi sambil membawa majalah. “Kamu tahu dari mana kopi berasal? Kenapa kita menjadi salah satu sumber kopi terbaik? tanya Ridwan terhadapku. Aku mengeleng, lalu menengak kopi buatannya sedikit. “Konon kopi berasal dari Ethopia, dahulu terkenal dengan nama Abessynia. Dari seorang gembala bernama Khaldi,dia merasa heran ketika kambing-kambing terlihat bersemangat kala memakan buah dari tanaman dipadang rumput. Karena penasaran dengan dengan kelakuan kambingnya, dia memetikberberapa buah lalu mencobanya” ujar Ridwan menanggap gelengan kepalaku. “Khadi merasa tersentak dan bersemangat asat mencobanya, walaupun rasanya pahit namun bisa menghilangkan kantuknya saat mengembalakan kambing dipadang rumput. Memakan buah dari tanaman itu menjadi kebiasaan. Suatu hari, Aucuba seorang pelajar mencobanya dan merasakan hal yang sama. Tidak lupa dia membawanya, untuk bekal perjalanan.” sambung Ridwan. Aku memikirkan apakah akhir pembicaraan ini, Ridwan memang terkenal menginspirasi bahkan kala sedang menjelang menyelesaikan skripsinya, dia masih suka membantu adik tingkatnya yang kesulitan menyelesaikan tugas. “kelak tanaman itu akan disukai oleh peduduk di Asia Barat dan Afrika Utara, dari inilah Kopi berasal yang menjadi salah satu Jenis tersohor dari 4 jenis kopi lainya. Namun pesebaranyan tidak langsung, bangsa Arab membuatnya tanaman ini menjadi esklusif dengan melakukan Infertilisasi sehingga tidak bisa ditanam ditempat lain selain di Arab. Pedagang asal India yang berhasil membawa kopi keluar dari wilayah Arab untuk ditanam dan dijual kembali. Perlahan secara pasti Kopi mulai merbak di Eropa, awalnya Paus menolak Kopi yang dianggap budaya Arab serta memiliki efek yang ketergatungan. Setalah mencoba Kopi dan melihat efek Kopi yang memiliki efek ekonomi maka eropa ikut dalam dalam perdagangan kopi” penjelasan Ridwan diakhiri dengan mengengak kopi. “Lalu, semua hubungan rumah dan kampungku memang terlalu sedkit untuk diambil. Ayolah Rid, kamu jelaskan pendeknya saja” ujarku. Aku terpacing kembali, penasaran menyingkap atas rasa aingin tahu yang jelas tentang rasa kagum warga desa atau kampung terhadap rumah dan kopi. “Hubungan yang dalam, seperti di Jember. Ada tuan tanah pemilik perkebunan baik Coklat dan Kopi, Berni namanya. Dia pemilik perkebunan yang baik, jika hasil bumi sudah siap panen. Dikumpulkan perkerja untuk dibagi hasil bumi untuk konsumsi pekerjanya. Maka, jika ayahmu melakukan begitu maksimal usaha untuk sekolahmu. Untuk memperbaiki Gedung yang memiliki kenangan yang pertahankan. Apakah itu salah?” tanya Ridwan dengan santai. “Tidak sepenuhnya salah. Tapi apakah ada yang benar-benar tuan tanah yang begitu baik, aku takut itu adalah cerita yang dibuat Bapak dan warga kampung.” jawabku. Mendengar jawaban aku, tertawa lepas lalu meminum kopi sampai habis. “masalah Gedung adalah ikatan seberapa kuat dan penting. Kamu pikirkan bagimana gedung-gedung lama dipugar atau diremajakan. Padahal seberapa penting alasan itu memang. Bagi warga kampung Gedung kamu ceritakan adalah sebuah pusat dari cerita, dimana bagaimana semua terhidupi dan saling bersaudara. “ terang Ridwan menjawab permasalahanku. Sampai dini hari, aku berbincang tentang Ridwan. Setelah berberapa hari kopi yang aku jemur mulai mongering. Biji kopi dipanaskan pada wajan dengan tungku tanah liat, lalu matang. Menumpuk menjadi bubuk, aku menyeduh kopi sebagai peringatan atas kisahku.

Thread starter joseph12
Start date 7 Feb 2017
Tags

kampung kopi mahasiswa petani kopi

Status: Please reply by conversation.

joseph12

Semprot Kecil

Banned

7 Feb 2017

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.

User is banned, content is deleted automatically.

Status: Please reply by conversation.

Similar threads

Sore Hari Di Warung Kopi Depan Terminal [LCPI 2016]

brokencoffee
19 Mar 2016
Cerita

Balasan: 25

Dilihat: 10.839

19 Nov 2023

Tggo

Kopi Kucing

mbah_darmo
20 Feb 2013
Cerita Lucu

Balasan: 8

Dilihat: 1.888

21 Jun 2014

KutaMilk

CERPEN Alice

Hurem
27 Mar 2021
Cerita

Balasan: 2

Dilihat: 2.646

22 Nov 2023

Rvus

Link

Pasang iklan hanya lewat CONTACT US

Hiburan
Cerita

Back

Top

We are now part of LS Media Ltd