Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

RoroLilith

Semprot Holic
Daftar
18 Aug 2018
Post
368
Like diterima
1.513
Lokasi
Tartarus
Bimabet



I see a flash
Is this sleep?
Am I in a dream?
The past sees me and it won't let go
Greeted by those I've killed along the way, because
I am the destruction The past sees me and it won't let go


Suara gahar dan membahana dari sebuah ringtone alunan musik Omega milik band Periphery dari ponselku terdengar nyaring, memekik hingga membangunkan tidur siangku. Sambil tiduran telentang, aku mengucek-ngucek kedua mata dengan jemari tangan kiri, sedangkan tangan kananku segera menggapai ponsel yang tergeletak di atas kasur. Aku masih ngantuk. Kesadaranku belum seluruhnya pulih. Sepasang retina belum fokus sehingga nama kontak yang menelponku terlihat buram. Lama kelamaan fokus lensa kedua mataku mulai normal. Aku dapat melihat huruf demi huruf yang tampil di layar ponsel. Laras, yaelah...ngapain sih nelpon disaat aku lagi enak-enak bermimpi indah. Gagal deh nyium pangeran ganteng di dalam mimpiku. Aaaaaah, jadi kesal!!!

“Assalamualaikum. Sarah, aku dah di depan asramamu. Tuuut….tuuut...tuuut”. Iiih, langsung ditutup. Dasar kamu ya. Uuuuhhhhh...

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 1 siang. Kubangkit dari tempat tidur berjalan menuju jendela. Kugeser sedikit gorden jendela untuk mengintip. Benar juga, Laras lagi berdiri di depan asrama sambil menatap ke arah jendela kamarku. Sepertinya aku ketahuan lagi ngintip dia. Hihihi

Oh iya, aku tinggal di Asrama khusus cewek. Untuk Asrama cowok, gedungnya berada tepat didepan gedung asramaku. Ada jalan paving yang cukup lebar diantara asrama cowok dan cewek. Masing-masing asrama dijaga 2 orang satpam. Kalau mau masuk, selain penghuni asrama diwajibkan mengisi buku tamu. Aku tidak memilih ngekost karena aku merupakan mahasiswa bidik misi yang dapat beasiswa. Tentu saja rutinitasnya banyak banget. Banyak kegiatan yang diberikan kampus. Selain itu, asramaku ini dekat dengan kampus. Cukup berjalan 14 menit, aku sudah sampai fakultas. Ada 6 lantai dan kamarku berada di lantai 2. Letak kamarku berada di ujung depan gedung. Jendela kamar cukup lebar dan menghadap ke arah depan asrama cowok. Aku bersyukur dapat kamar ini. Kelebihannya, selain bisa mengawasi sepeda gayungku yang terparkir di depan asrama, aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang melintas di jalanan depan asrama ini. Apalagi, setiap hari banyak pedagang kaki lima membawa gerobak yang selalu lewat di depan asrama.

Di ruanganku ini, sekamar dihuni oleh 2 orang. Nah, karena sedang libur panjang tahun ajaran baru, teman sekamarku sudah pulang duluan. Beda dengan aku. Biasanya aku pulang 9 sampai 11 hari kemudian. Kesibukan sebagai anggota BEM membuat jatah liburku jadi berkurang, tapi tidak apa-apa. Aku sangat menikmatinya. Apalagi sebentar lagi akan ada OSPEK. Bisa dapat kenalan mahasiswa baru. Apalagi aku masih belum punya pacar. Bisa dong cari jodoh. Hihihi

Hari ini, kebanyakan penghuni di asramaku sedang pulang kampung, hanya tersisa 7 orang dan kesemuanya itu anggota BEM. 5 orang ada di lantai 1, dan seorang lagi di lantai 6.

Siang ini aku ada janji sama Laras, sahabat baikku sejak SMP. Aku sama dia sekelas 4 kali, kelas 7, kelas 9, kelas 11 IPA 3 dan kelas 12 IPA 1. Selain cantik dan pandai, Laras berasal dari keluarga berkecukupan. Orangnya tidak sombong dan sederhana. Dia mau berteman denganku yang wajahnya pas-pasan dan dari keluarga yatim piatu.

Dulu, ayahku berdinas di Malang, kemudian dimutasi ke Jember, tempat kelahiranku. Aku mondok dari SMP di pinggir kota Malang, dan mengenyam pendidikan SMP sampai sekarang kuliah di Malang. Tapi kini sudah berbeda. Ketika kelas 9, kedua orang tuaku meninggal karena bencana tsunami. Saat itu, ortuku sedang berada di bagan apung paman. Sejak itulah, aku menjadi hak asuh pamanku yang ada di Jember. Paman selalu rutin menjengukku di pondok.

Ayahku moksa. Saat dikubur dan di adzani, ternyata yang dikubur hanyalah kain kafannya saja. Liang pusaranya harum. Menurut om Pon yang mengasuhku, ayahku golongan paham makrifat. Pemahaman tingkat tertinggi dalam agama. Menurut om Pon, ada 4 golongan. Pertama syariat, yaitu jika dimakamkan mayatnya membusuk. Kedua tarekat, yaitu jika mati, mayatnya juga membusuk. Ketiga hakikat, jika mati mayatnya mengeras dan membatu tidak hancur. Keempat makrifat. Jika meninggal, mayatnya moksa dan sirna menyatu bersama sang pencipta. Semasa hidup, aku sempat menegur mengapa tidak sholat lima waktu. Lantas beliau berujar, bahwa sholatnya berbeda. Sholatnya setiap detik dan setiap waktu. Menurutnya, saat ini walaupun sedang berbicara denganku, dia sedang ibadah komunikasi dengan Tuhan. Cara bersucinya tidak menggunakan air seperti golongan syariat dan tarekat, tapi yang lain. Karena air hanya mensucikan kulit ari terluar manusia, tapi tidak dalamnya. Daging, darah, tulang, tidak ikut disucikan. Kalau sudah masuk golongan makrifat, walaupun tidak mandi, seluruh badan itu suci. Aku kadang bingung dengan laku ortuku. Tapi anehnya, ucapan yang beliau katakan selalu benar. Contoh, aku akan lulus dengan nilai memuaskan. Angka-angka nilainya yang disebutkan benar. Bahkan sebelum meninggal, ayahku sudah tahu jalan takdirnya dan menulis nama dan tanggal kematiannya pada batu nisan. Walaupun demikian, beliau mengaku manusia yang paling bodoh di dunia. Beliau melanjutkan, anggap Tuhan itu punya rumah, nah golongan syariat itu masih belum bertemu Tuhan. Ia mengetahui alamat rumah Tuhan, jalan-jalan menuju Tuhan dan siap-siap berangkat. Untuk golongan tarekat, ia sudah berjalan dan dalam perjalanan. Entah naik motor atau jalan kaki menuju rumah Tuhan. Golongan Hakikat, ia sudah sampai tujuan, sudah sampai depan rumah Tuhan, sudah di depan pintu, tapi belum bertemu Tuhan. Golongan makrifat, ia sudah bertemu bertatap muka, duduk bareng dan ngobrol berkomunikasi dengan Tuhan. Karena itu, golongan makrifat biasanya paham tentang manunggaling kawula gusti. Yaitu bersatu dengan Tuhan. Karena, kemana-mana dalam keadaan apapun ia berkomunikasi kepada Tuhan. Tidak perlu betapa ke hutan atau ke goa untuk berkomunikasi. Aku dulu bertanya, apakah saat buang air tetap berkomunikasi? Beliau menjawab iya, karena…...

Oh iya Laras. Haduh aku sampai mengingat ortuku. Hmmm.. Aku itu tidak sepandai Laras yang selalu menyabet juara 1 di kelas, tapi selalu masuk 10 besar dari 45 siswa. Kadang juara 7, kadang pula juara 9. Mentok aku meraih juara 4. Aku bisa kuliah di Malang tidak lain karena jasa Laras. Karena kepandaiannya itu, aku tidak heran jika dia sekarang kuliah kedokteran di perguruan tinggi di kota Malang. Kalau aku kuliah keperawatan. Cita-citaku ingin menjadi tenaga kesehatan yang berguna, terutama saat bencana alam. Kampusku dengan kampusnya jaraknya tidak begitu jauh, apalagi kota Malang tidak sebesar Jakarta yang padat dan sering macet. Umurku dan Laras sama-sama berusia 18 tahun dan sedang kuliah semester 4. Di kelas, aku termasuk yang paling muda, karena sewaktu SMP aku dan Laras bisa menyelesaikan dalam 2 tahun. Itu berkat belajar bersama Laras yang selalu belajar bersama membantu mengajari pelajaran yang belum aku pahami.

Sejak SMA, kami membuat grup band yang beraliran djent, yaitu jenis musik metal progressive. Aku bisa menyukai musik itu karena pengaruh Laras. Aku sebagai basis dan Laras sebagai gitaris merangkap vokalis. Untuk drummer, kami baru memilikinya sewaktu 4 bulan kuliah di Malang. Sebelumnya, kami sering pinjam drummer dari band lain. Kami sering latihan di rumah Laras, minimal seminggu 2 kali. Karena kemampuan finansial keluarga Laras, ia bisa membuat studio musik di rumahnya. Studionya termasuk besar. Bukan hanya luasnya, tapi perlengkapannya sangat mendukung kebutuhan bermusik kami. Letaknya berdampingan dengan kamar Laras. Instrumennya terdiri dari gitar custom Ibanez prestige S series 7 string HR Giger yang dipesan langsung ke Ibanez yang ada di Jepang, bass elektrik Music Man stingray 5 HH, dan custom Mapex yang terdiri dari snare, bass drum 24", sebuah tom, dan 2 buah floor tom, cymbal, crash, splash, ride, dan juga disertai mic untuk rekaman yang terpasang lengkap. Alat perekamnya berupa satu unit CPU yang ditenagai oleh prosesor Ryzen Threadripper 2990 wx dan menggunakan aplikasi FL Studio 20 All Plugin Version. Soundcard menggunakan Roland Studio Capture 12 channel. Untuk Keyboard Synthesizer menggunakan Behringer Motor 49. Speaker Monitor menggunakan 2 unit Neumann KH 120 A. Amplifier dan efek menggunakan amplitube 4 deluxe. Tetapi, saat live kami menggunakan amplifier Randall Satan untuk gitar dan Ampeg untuk bass. Efeknya cukup menggunakan 2 buah iRig Stomp I/O dengan masing-masing laptop, satu untuk gitar dan satunya untuk bass. Semua perlengkapan itu original. Laras sangat menghargai si pembuat, karena idealisme Laras yang kukuh untuk tidak menggunakan barang haram dan aplikasi bajakan untuk berkarya membuat musik.

Sampai saat ini, kami baru memiliki 3 album yang masing-masing album terdiri dari 5 sampai 7 lagu. Untuk Album yang terbaru, musik djent kami hanya berupa instrumental. Itu karena 2 tahun lalu vokalis kami meninggal dalam kecelakaan tabrak lari saat berjalan di pinggir jalan yang sepi pada dini hari. Kepala sampai dadanya hancur kelindas, otaknya berhamburan sampai tidak ada yang mengenali. Bahkan, warga mengira korban adalah cowok. Padahal cewek. Beruntung, di dompetnya ada KTP dan SIM. Karena itu, laraslah yang menggantikan Vokal.

Setelah ngintip Laras di jendela, aku segera berganti pakaian. Sambil memikirkan pakaian apa yang akan kukenakan, aku buka almari dan melihat-lihat koleksi pakaianku. Akhirnya kupilih jilbab berwarna coklat muda dipadukan sweater tebal lengan panjang dan celana jeans dengan warna serasi. Sweater yang kukenakan agak besar dan longgar. Dulu sewaktu beli di toko ada obral diskon, yang tersisa hanya ukuran ini, toh yang penting lebih masuk ke badanku dan dipakainya pas. Lebih dari cukup untuk sekedar jalan-jalan. Setelah berpakaian rapi, aku berdandan sekedarnya. Tidak memakan waktu lama, dandan cukup 5 menit. Ngapain juga dandan berlama-lama. Toh cuma menemin Laras ke mall. Hihihi

Sebelum meninggalkan kamar, aku kenakan sandal yang biasa dipakai untuk jalan-jalan santai. Kemudian aku kunci kamar dan melangkahkan kaki menemui sahabatku.

“Raaas!!!” aku memanggil dari kejauhan di pintu utama asrama. Sebelum kupanggil, dia lagi mainin ponselnya. Laras segera mendongak ke arahku.

“lagi main game ya?” tanyaku

“kok tau?” tanyanya balik.

“wajahmu serius gitu seperti ujian skripsi” kami pun tertawa.

“yuk cabut sekarang” ajak Laras.

Aku membuka pintu depan mobil Fortuner Laras. Setelah aku masuk, Laras menyusul di pintu kemudi. Kamipun berangkat menuju Matos. Dalam perjalanan, kami bercerita tentang game yang dia mainkan tadi. Katanya dia tadi habis bunuh banyak dan tidak pernah mati di game Vainglory. Emang sih dibandingkan ML, game Vainglory pemainnya tidak sebanyak ML. Untuk sekelas Laras, game MOBA seperti itu cukup sepadan lah. Ditambah game Vainglory memakan banyak energi dan pikiran untuk menang sempurna.

Suasana jalanan kota Malang sore ini tidak macet, sehingga durasi perjalanan kami dari asramaku sampai di Matos tidak sampai 50 menit. Kami memarkirkan mobil di parkiran lantai bawah. Setelah mobil berhenti, ku lepaskan sabuk pengaman lalu keluar untuk memasuki mall.

“Sar, kita belanja ke Hypermart dulu yuk?” ajaknya

“Ayuk. Aku nurut aja sama yang punya duit” celetukku.

“aaah jangan bilang gitu, aku jadi malu tauu” wajah Laras senyum manja ke arahku.

"Ngapain malu, emang kamu berduit" ucapku.

"Bukan aku Sar yang berduit, tapi ortuku" Sanggahnya.

"Eh bener bener hihihi" ucapku

Tiap langkah kaki, kami menjadi sasaran tatapan para kaum Adam. Tentunya fokus mata mereka tertuju pada Laras. Busana gamis dan berjilbab modis Laras bagaikan seorang model. Tas hermes yang ia jinjing ditangan kiri. Udah wajahnya cantik, berduit pula. Hahahaha. Sesampai di depan Hypermart, di pintu masuk kami di cegat oleh security. Dia bilang untuk menitipkan jaket hoodie sweater yang aku kenakan di tempat penitipan barang.

“eh Ras, dibalik sweaterku ini aku cuma pakai pakain dalam doang” ku berbisik ke Laras.

“beneran?”

“iya, masak aku titipin terus topless gitu?”

“hahahaha, bagus dong. Hitung hitung pamer dan beramal sar”

“pamer sih pamer, tapi gak segitunya kali”

“Tapi kamu pakai cd kan sar?”

“Pakai dong”

“Tunggu disini. Aku bilang dulu ke security nya” Laras langsung nyamperin security yang jaraknya sekitar 4 meter dari tempatku berdiri.

Aku lihat Laras sedang berdiskusi ke security. 3 menit kemudian, security tersebut memanggil security perempuan. Mungkin buat memeriksa bohong atau beneran aku gak pakai pakaian rangkap di balik sweaterku. Laras bersama dengan security perempuan menghampiriku.

“Sar, kamu harus body check dulu” ucap Laras.

“siap” ucapku

Aku bersama security perempuan yang di dada kirinya tertempel papan nama yang tertulis Lina menuju ke toilet wanita. Kebetulan toiletnya sepi. Bu Lina segera memeriksa badanku. Tangannya memeriksa dibalik sweaterku ini, tapi tidak sampai menyentuh buah dadaku. Dia memeriksa dengan wajar dan profesional. Aku salut, memang untuk keamanan harus diperiksa secara ketat. Tampang cewek secantik aku bisa saja nyolong barang-barang dagangan. Eh, ngomong cantik tentu wajahku cantik. Bukannya sombong, tapi kenyataannya memang wajahku cantik. Teman-temanku yang mengatakannya, termasuk sahabatku sendiri, Laras. Kalau dibandingkan dengan Laras, ya aku kalah cantik. Aku cukup tahu diri dan bisa menilai diriku sendiri.

5 menit berselang, aku keluar dari toilet bersama bu Lina. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas pemeriksaannya. Jadi kami pun masuk ke Hypermart untuk berbelanja tanpa menitipkan sweater yang kukenakan. Dompetku juga tak kutitipkan, soalnya isinya ada barang berharga, yaitu kartu ATM, KTP, dan Kartu Mahasiswa. Padahal didalam dompetku banyak lembaran struk dan beberapa lembar uang saja. Hihihi. Untuk tasnya Laras tidak dititipkan juga. Tasnya saja harganya mahal, tentu karyawan menyarankan untuk membawa tas Laras tersebut. Walaupun aku diperbolehkan mengenakan sweater dan membawa tas, tapi aku tetap berlaku jujur. Karena dalam agama yang kuyakini, Tuhan maha mengetahui. Aku mengingat ucapan mendiang romo yang pernah berkata “nduk, kamu harus ingat bahwa sang pencipta itu ada di sini. Itulah mengapa dia disebut Maha tahu. Karena keberadaannya yang besar yang meliputi alam semesta, wujudnya juga berbeda dari makhluk yang lain. Dia terbuat dari cahaya yang tidak bisa dilihat oleh bola mata, tapi bisa dilihat oleh mata hati. Dia tidak memakan ruang dan waktu. Jika cahaya terdapat bayangan, tetapi Dia tidak. Cahaya tidak bisa menembus tubuhmu, tapi Dia bisa. Anggap Tuhan itu air di lautan, kita adalah ikan. Kemana-mana pasti bertemu air, tetapi berbeda dengan dia. Cahaya meliputi alam semesta dan merasuk di dalam tubuh semua makhluk, karena itu dia bisa tahu isi hatimu, niatmu, dan apa yang kamu pikirkan. Nduuk… pernahkah kamu mendengar bahwa tuhan lebih dekat dari urat leher kita sendiri?..... ada milyaran manusia dan milyaran urat leher, bukan berarti Tuhan ada milyaran. Dia itu Esa.” Karena itu menurut beliau saat buang air besarpun, Tuhan ada disana. Tidak melulu ada di tempat yang indah. Wujudnya yang besar meliputi tempat bersih dan kotor.

Itulah beberapa ucapan dari romo. Nasihatnya sangat menyentuh kalbuku. Dulu waktu SD aku gengsi ketika diantar ke sekolah, aku memanggil ayahku dengan sebutan romo. Setelah mendengar penjelasannya, aku menjadi paham, bahwa ayahku ada darah biru dari raja di tanah jawa. Tapi hal itu tidak berlaku untuk anak-anakku kelak. Ketika aku melahirkan anak laki-laki, kemudian besar menikah dan memiliki anak, ia tidak berhak memanggilnya romo. Hanya dari laki-laki lah yang berhak, kecuali aku menikahi laki-laki berdarah biru.

“Sar, kamu mau beli apa? Sini aku belikan” ucap Laras.

“Apa ya.. Sabun dan shampo saja deh” ucapku

“Beneran? Gak nambah ingin beli yang lain?” Laras menawarkan lagi.

“Makasih ras.. Cukup itu saja”

“Ya sudah, silahkan kamu ambil taruh keranjang”

Aku membalas dengan senyuman. Kemudian aku mengambil 2 buah sabun cair dan sebotol shampo. Aku meletakkannya di keranjang dorong yang sudah dipenuhi belanjaan Laras. Banyak banget yang dia beli, mulai dari makanan ringan, coklat, pembalut, pewangi ruangan, obat nyamuk semprot, dan perlengkapan sehari-hari lainnya. Laras berjalan di depan dan aku di belakangnya mendorong keranjang.

“Sini sar biar aku aja yang dorong” Ucap Laras mendekatiku

“Aku saja, anggap saja bayaran karena dibayarin beli shampo dan sabun hihihi” Ucapku

“Udah aku aja, sekalian kita cabut” Ucap Laras yang memegang pegangan keranjang lalu mendorongnya menuju kasir. Aku mengekor dibelakangnya.

Kebetulan, ada kasir yang kosong, jadi kami menuju ke kasir tersebut. Sesampainya, barang-barang belanjaan kami dikeluarkan untuk scan barcode yang tertempel di tiap-tiap barang. Tertera jumlah total yang harus kami bayar lebih dari 2 jutaan. Laras mengeluarkan kartu kredit platinum dari dompetnya dan menggeseknya. Setelah membayar, kasir tersebut mengucapkan terimakasih dan tersenyum ramah kepada kami. Aku membantu membawa kantong plastik barang belanjaan.

“Sudah jam 3 sore, kita ke food court yuk? Tenang aku traktir deh” tanyanya.

“Iya iya. Hihihi” ucapku.

Kami kemudian berjalan menuju lantai atas melalui eskalator. Aku melihat sekeliling sudah mulai ramai, tapi sesampainya di food court beberapa tempat sudah penuh.

“Ah sial, nggak ada tempat Sar” gerutu Laras.

“Eh itu Ras.. Di sebelah sana ada yang udahan” ucapku dengan menunjukkan tempat duduk yang kumaksud.

“Iya, yuk kita ke sana” ucap Laras yang segera melangkahkan kaki jenjangnya ke meja yang baru saja kosong. Aku menyusul dibelakangnya. Terlihat mejanya kotor, banyak tumpahan makanan dan minuman.

“Gini ini nih yang gak patut dicontoh. Sudah mangkok dan piringnya tidak ditata, kotor pula” ucap Laras.

“Iya, jorok. Eh, sepertinya cewek dan cowok yang tadi makan di sini sekampus denganku Ras” ucapku

“Kok kamu tau Sar?” tanyanya

“Sewaktu ujian kemarin aku pernah berpapasan di ruang dekan”

“Oh gitu” ucap Laras singkat.

Aku meletakkan kantong plastik belanjaan. Laras kemudian mendekat, membuka kantong plastik dan mengeluarkan tisu yang baru ia beli. Dengan beberapa lembar tisu, ia membersihkan meja. Sedangkan aku menata mangkok, piring, dan gelas. Beberapa saat kemudian seorang pria muda datang mengambil piring, mangkok, dan gelas. Ia mengelap permukaan meja yang tadi sudah dibersihkan Laras. Tidak lupa, dengan senyum ia mengucapkan terima kasih lalu pergi.

"Nah, sekarang sudah bersih dan enak dipandang. Kamu mau pesan apa Sar?" Tanyanya dengan berdiri.

"Idem dengan kamu aja deh" ucapku.

"Okay, please wait Sar. I will be back" ucapnya sambil senyum meninggalkanku.

"Jangan lama-lama ya Ras" ucapku.

"Gak kok Sar, paling antrenya yang lama. Emang kenapa?"

"Hihihi nggak kok gak ada apa-apa" celetukku. Entah, aku merasa aku bakal pisah sama Laras. Mudah-mudahan aja perasaanku salah.

Aku melihat wajah Laras merespon dengan menoleh menjulurkan lidah di antara bibir mungilnya ke arah aku. Imut banget kamu Ras saat meletin aku. Oh iya, selagi Laras memesan makanan, aku bersihkan kursi untuk kami berdua. Aku mengambil tisu lalu mengelap permukaan dua kursi dengan tangan kananku. Mumpung belum kami dudukin. Setelah kurasa bersih, aku duduk di kursi tersebut. Sambil menunggu Laras, aku membuka ponsel dan membaca pesan WhatsApp yang belum kubaca. Ada sebanyak 137 pesan. Kebanyakan pesan dari grup BEM kampusku. Isinya mengenai rancangan kegiatan OSPEK yang membangun dan mendidik tanpa adanya perpeloncoan atau semi militer. Cukup generasiku saja yang mengalami itu, tapi tidak untuk generasi selanjutnya. Itu tidak lain karena presiden BEM yang terpilih orangnya baik. Dia tahu ada yang harus dirubah dalam kehidupan berorganisasi. Walaupun ada pro dan kontra tentang hal itu, tapi presiden BEM kami tegas. Bagi siapapun yang melakukan tindakan diluar kesepakatan, akan diberi peringatan dan bisa dikeluarkan dari keanggotaan.

Setelah membaca semua pesan tersebut, aku meletakkan ponsel di atas meja. Aku melihat Laras kembali dengan membawa papan nomor untuk di letakkan di atas meja.

"Kamu pesan apa Ras?" Tanyaku.

"Nanti kamu bakal tau Sar. Penasaran yaa?" Ucapnya kemudian duduk di kursi yang ada di hadapanku.

"Setengah aja" ucapku.

"Yeeee itu sih sama aja penasaran" selorohnya.

"Iya iya aku penasaran. Hihihi" ucapku.

"Eh Sar, menurutmu gimana lagu kita yang baru?" Tanya Laras.

"Seperti biasa, lagu bikinanmu itu bagus banget. Padahal aku cuma ngasih nada sederhana, tapi kamu bisa mengaransemen menjadi musik djent" ucapku.

"Tapi serasa ada yang kurang, coba deh kamu dengar pada bagian ini" Laras memutar musik di ponselnya.

"Sepertinya bagus, emang kurang apa Ras?" Tanyaku.

"Coba perhatikan setelah bridge" ucap Laras sembari mengulang lagu pada bagian yang a maksud.

"Eh iya ras, drumnya serasa ada yang kurang. Kurang crash" ucapku.

"Iya kan, crash cymbal lupa gak dipukul bersamaan dengan drum kick" ucapnya.

"Hihihi iya. Kamu gimana sih nulisnya kok sampai kelupaan gitu" ucapku.

"Waktu nulis di piano roll FL studio, aku lupa kalau tuts cymbal crash ada di tuts yang lain. Karena waktu convert ke FLAC, aku pakai plug in superior drummer 3 yang baru kubeli. Tahunya pas setelah jadi FLAC. Aku lupa gak aku play dulu di FL."

"Oh pantes karakter drumnya serasa beda. Kamu belinya berapa ras?" Tanyaku.

"Murah, cuma 6 jutaan kok hihihi" ucapnya.

"Murah murah, bagiku itu mahal ras. Boros banget kamu sampai beli plug in itu. Minggu lalu kamu beli spectrasonic omnisphere 2.6, padahal versi FL Studio sudah lengkap, ada FPC untuk drum, terus ada Morphine, Harmless, Harmor, PoiZone, Toxic Biohazard, Sakura, Sytrus dan FLEX untuk menggantikan spectrasonic omnisphere" ucapku

"Ya kamu tahu sendiri, walaupun versi FL Studio yang kubeli sudah yang paling lengkap, tapi tetap saja ada yang kurang Sar. Aku ingin musik djent kita ada sedikit nuansa EDM seperti lagunya C Four Harapan Terakhir. Aku juga sudah beli plug in efek baru" ucapnya.

"Hihihi iya iya aku nurut aja. Aku ingin tahu efek barunya itu seperti apa. Eh di toko daring ada yang jual tuh superior drummer 3. Ada yang 150 ribu sampai 1 setengah juta"

"Sorry sar, kalau itu pasti bajakan. Aku ingin apa yang kubeli halal tanpa curian. Kalaupun aku beli perangkat lunak bajakan di toko itu, uang yang kubeli tidak masuk ke pembuat aplikasi. Dengan kata lain, secara tidak langsung tidak menghargai hasil jerih payah pembuat" jelas Laras.

"Mbaak, ini pesanannya" tiba-tiba pelayan wanita datang menaruh 2 piring spageti, 2 gelas jus alpukat, dan 2 botol air mineral.

"Selamat menikmati" ucap pelayan sambil tersenyum.

"Makasih ya.." ucapku. Kemudian ia pergi meninggalkan kami.

"Eh Sar, tau nggak ada 2 tipe manusia di bumi ini" ucap Laras.

"Apa itu Ras?" Tanyaku.

"Manusia miskin dan manusia yang tidak menghargai orang lain" ucapnya.

"Oh maksudnya bajakan tadi?" Ucapku.

"Iya, kalau dia suka aplikasinya, beli dong. Masak terus-terusan pakai aplikasi bajakan terus" ucapku.

"Hihihi, untung androidku bukan bajakan" ucapku.

"Ah kamu ini" ucap Laras yang disambut tawa bersama.

Kami kemudian makan spaghetti pedas yang tersedia di atas meja. Saat makan, kami tidak mengucapkan sepatah katapun, karena kata orang tua dulu, makan sambil ngomong itu ora ilok atau pamali. Walaupun tempat tinggal kami beda daerah, tetapi pandanganku dan Laras sama soal ini. Rasa pedas spaghettinya lumayan membakar mulutku, rasanya ingin segera cepat-cepat dihabiskan. Wajahku lumayan berkeringat. Entah, Laras membelikanku spaghetti pedas level berapa. Apakah makananku sepedas milik Laras ya? Tapi aku lihat ekspresi raut wajah Laras tidak menampilkan dia kepedasan. Dia enjoy aja.

10 menit kemudian spaghetti di piringku habis, hanya menyisakan saus dan bumbu yang menempel di permukaan piring. Tangan kananku meraih botol air mineral dan membukanya. Aku minum beberapa teguk untuk menghilangkan kapsaisin di mulutku. Tapi rasa pedasnya masih ada. Aku melihat Laras melihat ke arahku sambil tersenyum. Iihhh ini pasti dia sengaja!! Saat sisa sedikit, aku coba mengambil seutas spaghetti di piringnya dengan sumpit, lalu kumakan. Uhukk..uhukk…. Rasanya pedas banget. Lebih pedas dari punyaku!!!

"Hahahahah, kenapa kamu Sar?" Ucap Laras setelah menghabiskan spaghettinya.

"Kamu gak liat apa? Aku kepedasan gini.. gila pedasnya… ssss haaa sssss haaaa" ucapku sambil meneguk air mineral sampai habis. Tapi, masih tetap pedas. Aku langsung minum jus alpukat.

"Menurutku pedasnya biasa saja sih Sar. Malah lebih pedas masakannya mama" ucapnya.

"Widiiih… kamu manusia apaan Ras. Gak sekalian aja kamu ikut lomba makan cabai" ucapku.

"Aku manusia biasa kok Sar. Eh, Ini kan bulan Agustus. Kalau ada lomba makan cabai, kira-kira aku bakal menang nggak ya?"

"Menurutku kamu bakal menang Ras. Apalagi kontestannya cewek cakep hihihi" ucapku.

"Bisa bisa aja, kamu juga cantik kok Sar. Kalau yang ngomong cowok, mungkin aku bisa luluh" ucapnya.

"Tapi kamu harus hati-hati lho jangan keseringan makan pedas. Kasian perut dan ususmu"

"Iya iya. Makasih ya udah ngingatkan. Aku pesanin susu ya biar ngurangi rasa pedas di mulutmu" ucapnya.

"Udah Ras. Ini jauh lebih berkurang daripada yang tadi" ucapku.

"Sip deh, yuk pulang" ucap Laras.

"Tunggu ya, aku habisin jusnya dulu" ucapku sembari tangan kanan meraih gelas berisi seperempat jus alpukat. Aku menyedot sedotan jus hijau kecoklatan karena endapan susu coklat yang berada di bawah tidak kuaduk. Jus alpukat dan air mineral Laras sudah habis. Cepat juga dia ngabisinnya.

SLUUUUURRPPPPPP

Suara ujung sedotan di dasar gelas akibat jus alpukat yang habis menyisakan beberapa gumpalan di dasarnya. Ahhh puas dan kenyang. Porsi spaghetti ditambah jus dan air mineral bikin perutku penuh, tapi gak kepenuhan. Karena, selain bisa bikin ngantuk, juga tidak baik bagi tubuh.

Laras mengetahui minumanku habis, ia kemudian merapikan piring-piring dengan menumpuknya dan gelas-gelas berjajar rapi. Ia menyingkirkan ponsel yang ada di atas meja lalu menyerahkan kepadaku. Dengan beberapa lembar tisu, aku membantu dengan membersihkan permukaan meja akibat embun es dari 2 gelas jus alpukat dan 2 gelas air mineral dingin.

Setelah bersih dan rapi, kamipun beranjak meninggalkan food court dengan membawa belanjaan di samping kursi. Kami menyusuri lantai bawah dengan elevator, kemudian lanjut berjalan menuju parkiran tempat mobil Laras terparkir.

"Ras, aku mampir ke Gramedia dulu ya. Cuma bentar kok. Aku mau beli pulpen dan spidol buat keperluan OSPEK" ucapku saat baru keluar dari elevator.

"Okay, I will wait here" ucapnya.

"Okay" jawabku singkat.

Aku menitipkan barang belanjaan ke Laras yang menunggu di luar, lalu segera masuk dan mengambil 3 pulpen dan 3 spidol yang masing-masing beda warna, hitam, biru, dan merah. Aku ke kasir lalu membayar belanjaanku. Lalu keluar menemui Laras.

"Cepat kan hihihi" ucapku.

"Iya cepet. Yuk cabut" ucap Laras.

Aku mengambil kantong plastik belanjaan dari Hypermart yang terletak di samping Laras, lalu melanjutkan perjalanan menuju parkiran.

"Sudah kamu dengerin lagu yang akan kita garap untuk latihan?"

"Sudah, lumayan sulit lagunya Ras. Tapi, bukannya itu pakai 2 gitaris, satunya siapa Ras?"

"Iya Sar. Gitaris satunya sudah dalam perjalanan naik motor bareng Paul. Sewaktu kamu beli pulpen, aku telfon mereka"

"Sip deh, jari-jariku sudah gak sabar pingin memetik dawai bass ras"

"Sama, aku juga gatal nih.."

Sesampainya di parkiran, aku segera menuju ke mobil Laras yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar mall. Laras membuka pintu kemudi, disusul aku masuk di pintu penumpang dekat kemudi. Barang belanjaan aku letakkan di belakang kursi. Kami menutup pintu mobil, diikuti dengan memasang sabuk pengaman, lalu Laras mengemudikan mobil.

Dalam perjalanan menuju ke rumah Laras, aku memutar lagu musik dari album kami. Band kami tidak terkenal di Indonesia, tapi cukup mempunyai nama di kota kami. Ya walaupun sering dapat panggilan tampil di acara HUT Arema atau manggung dari mall ke mall, dari kampus ke kampus, diundang di sebuah radio, tapi kami menikmatinya. Laras lah yang cukup andil dalam memanajemen band. Uang bukanlah yang utama, karena kami sekedar berekspresi dalam sebuah seni dalam tangga nada. Malam ini kita menuju ke rumah Laras tidak lain untuk latihan mengikuti rutinitas dan kongkow. Dalam perjalanan ini, kami sudah memutar lagu ke 6. Belum sampai reff, kami sudah tiba di depan rumah Laras di daerah Dieng. Laras turun membuka pintu gerbang lalu kembali ke mobil untuk memasukkannya. Aku mengambil barang-barang belanjaan, membuka pintu lalu turun dari mobil.

"Mana Paul Ras kok belum datang" ucapku.

"Tau tuh, palingan lagi mampir. Kebiasaan dia gitu. Yuk masuk Sar, nanti dia kalau dah sampai dia WA aku" ucapnya.

"Mudah-mudahan gitu. Jarang banget Malang macet, kecuali dia lewat Dinoyo. Macet banget tuh sore-sore gini"

"Emang posisi dia tadi ada di mana Ras?" Tanyaku lagi

"Tadi sih dari jemput gitaris yang bakal duet bareng aku di daerah SoeHat. Ya udah langsung bawa masuk aja Sar. Aku mau nyiapin cemilan dan minumannya, kamu langsung aja ke studio" ucapnya.

"Sip deh. Aku bantuin ya?"

"Gak perlu Sar"

Aku kemudian masuk ke rumah Laras sambil menenteng kantong plastik belanjaan kami.

"Taruh mana Ras?"

"Taruh situ aja, entar aku beresin" ucapnya.

"Sip, aku ke atas dulu ya" ucapku

"Okay" singkat Laras.

Ia mengambil belanjaan sedangkan aku langsung berjalan menuju lantai atas. Setelah menaiki anak tangga, aku belok ke arah kanan dan membuka pintu tempat studio Laras berada. Setelah pintu ditutup, aku menekan saklar untuk menghidupkan lampu di dalam studio. Ruangan studio bersih dan alat musiknya tertata rapi. Sebuah PC untuk merekam berada di samping dinding ruangan. Sebuah gitar listrik milik Laras dan bass yang dipakai untuk manggung dan latihan, pada necknya tergantung di hanger yang menempel di dinding. Semua dawainya tampak baru, pasti sudah di ganti sama Laras.

Sambil menunggu, aku kemudian duduk di kursi lalu mengeluarkan ponselku. Baru saja membuka kode gembok layar, Laras datang. Dia datang bersama Paul dan seorang pria.

"Silahkan masuk" Laras mempersilahkan sambil mengayunkan tangan kanannya untuk masuk.

"Terima Kasih. Waahh…megah ya studiomu" ucap pria di samping Paul.

"Biasa aja kok sam. Tunggu bentar ya, aku mau ganti pakaian dulu" ucap Laras langsung menutup pintu meninggalkan kami bertiga.

"Sar, kenalin. Namanya Yayan. Dia yang bakal duet bareng Laras" ucap Paul

"Sarah" ucapku dengan menjulurkan tangan

"Yayan" ucapnya.

Kami berjabat tangan. Kami saling bertanya satu sama lain. Dia dari Maluku, dekat dengan Paul yang berasal dari Papua. Walaupun aku dan Laras dari Jawa, tapi aku tetap menghargai dan memanusiakan manusia. Tidak melakukan rasisme. Teringat nasihat mendiang romo. Beliau berujar, bahwa tiap manusia mempunyai sunnatullah-nya sendiri. Sebagai muslim, aku wajib beriman tentang itu. Kalau ada orang mengejek dan menghamuni orang lain. Muslim yang demikian, berarti itu adalah seburuk-buruknya iman mereka. Yang terpenting saran romo aku berperangai baik.

Aku berasal dari Jember, sedangkan Laras asli Arema alias arek Malang. Menurutku saat ini aku, Paul, dan Yayan juga arema, yaitu anak yang tinggal di Malang. Bukan anak asli Malang. Hihihi.

Aku cukup mengetahui karakter Paul. Dia baik, tapi kalau disalahi dia keras. Tidak hanya ke wanita seperti aku dan Laras, ke semuanya juga. Dulu pernah sewaktu ikut festival di Surabaya, aku dan Laras mengalami aksi pencabulan. Pantat Laras dicolek, sedangkan payudaraku diremas dua kali. Saat itu aku langsung nangis, mengetahui itu, Paul langsung menghajar pelaku pencabulan. Untunglah, kami dapat juara 1. Jadi terasa terobati. Waktu itu Paul meraih drummer terbaik. Hihihi

"Ini hidangannya" ucap Laras yang sudah tiba di studio dengan membawa nampan minuman dan snack.

"Nanti aja ngemilnya, sekarang latihan dulu" ucap Paul.

"Okay" jawab Laras.

"Paul, Sarah, kalian sudah mempelajari lagu yang kukirimkan kemarin lusa kan?" Tanya Laras.

"Sudah. Tapi beberapa progresi chordnya yang bikin jariku agak rancu" ucapku.

"Tidak apa-apa, malam ini kita latihan sampai bisa" ucapnya.

Kami sudah membagi bagian masing-masing, aku sebagai basis, Paul sebagai drummer, Yayan sebagai rhythm dan Laras sebagai lead guitar.

Aku mengambil bas lalu memasang strap, Paul sudah diposisi drum, Yayan juga sudah mengeluarkan gitar listriknya. Aku cukup kaget, gitarnya lumayan juga. Dean MAB1. Laras langsung berceloteh tentang Michael Angelo Batio, Yayan langsung tertawa. Ternyata Yayan fansnya om Batio. Hihihi

Laras langsung menyediakan efek untuk Yayan. Oh ternyata efeknya pakai Guitar Rig 5 beserta stomp dari native instrument. Efek baru itu yang dikatakan di food court. Boros banget emang. Udah beli Amplitube, beli Guitar Rig. Kata Laras sih dua-duanya bagus. Mereka memiliki karakter sound yang berbeda-beda. Laras membuka FL Studio, dan membuka file untuk latihan kita. Dia ingin langsung merekamnya. Yayan berujar, mengapa tidak pakai Cubase. Laras menjawab, Laras lebih menyukai FL Studio, karena ada fitur-fitur yang tidak dimiliki Cubase.

Aplikasi Fl Studio sudah dibuka. Masing-masing kabel yang terpasang pada soundcard Roland Studio Capture sudah siap.

"Siap?" Tanya Laras.

"Yuk" ucap Paul dan Yayan.




Pada pembukaan, Laras tampil ciamik dengan lick dan gayanya yang low profile. Saat double drum, itu bagian yang menguras energi. Terutama tangan kananku yang memetik dawai bass. Saat di tengah lagu, Yayan menjadi lead gitar dan Laras jadi rhythm. Wow permainan Yayan bagus. Cukup mengimbangi Laras. Saking bagusnya, seolah-olah mereka sedang berkelahi. Aku dan Paul sebagai pengiring seperti terbawa suasana perkelahian mereka.

Tanpa terasa, kami sudah latihan 7 kali. Tanganku udah pegal. Lalu kami duduk saling diskusi dan mendengar rekaman untuk intropeksi. Sebelum pulang, kami latihan sekali.

"Sip, besok kita siap tampil. Jaga kesehatan ya teman-teman" Ucap Laras ke Paul dan Yayan. Mereka saling berboncengan naik motor.

"Sar, nginep sini aja temani aku" ucapnya.

Aku tidak enak menolaknya. Ya akhirnya aku nginap. Kami masuk ke kamar Laras dan dia berganti piyama. Aku memuji keindahan tubuhnya. Badannya memang sudah tinggi sewaktu kenal di SMA. Tinggiku 164 centimeter, sedangkan Laras 170 centimeter. Bukan hanya badannya yang tumbuh, payudaranya juga. Selain kulitnya putih, ukuran payudaranya lebih besar dari punyaku. Laras merendahkan diri. Dia berujar, bahwa punyaku juga lumayan. Katanya kulitku bersih. Hihihi.

Kami sekarang tiduran di ranjang.

"Sar, kamu mau nggak nemani aku kuliah. Besok malam aku ada kuliahnya otopsi, kalau mau kamu bisa ikut kok Sar"

"Kamu belum libur ya Ras? Aku aja sudah libur. Kalau bukan anggota BEM dan panitia OSPEK, aku sudah pulang kampung"

"Nggak Sar, kata dosenku, kampus sudah dapat cadaver. Besok mau di kirim ke kampus."

"Oh gitu. Tapi beneran Ras aku boleh ikut kuliahmu? Aku kan jurusan keperawatan, bukan kedokteran"

"Iya gak masalah. Lagian jumlah mahasiswa angkatan di jurusanku banyak. Dosen gak mungkin hafal mahasiswanya deh"

"Ok deh kalau gitu"

"Aku punya dua almamater, kamu bisa pakai satu. Jangan lupa pakai masker ya biar teman-teman dan dosenku gak curiga. Toh karena besok kita manggungnya Sore, jadi ada waktu istirahat sejenak lalu ke kampus"

"Sip".

Kamipun tidur.


~~~

~~~


Keesokan harinya, kami bangun jam 4 pagi. Kami segera bersuci, mengenakan mukena untuk sholat berjamaah di surau terdekat. Dengan berjalan kaki, kami menghirup udara segar yang datang dari arah Barat, yaitu pegunungan dari daerah Batu. Rasanya nyaman sekali. Aku tanya gimana semalam performaku. Laras memujiku, katanya hampir tidak terdengar miss atau false. Sarah merasa berdebar-debar, sama sepertiku. Karena besok adalah ultah Arema, tentu pengunjungnya ramai.

Setibanya di surau, kami sholat berjamaah. Kemudian pulang. Kami mempersiapkan diri untuk persiapan konser. Ada banyak band yang akan tampil untuk menghibur.

Pukul 9 pagi, Paul, Yayan, sudah berkumpul di rumah Laras. Kami mempersiapkan instrumen dan efek yang akan dibawa ke dalam mobil Fortuner Laras. Untuk Paul, dia hanya membawa stik aja. Gak mungkin sih bawa drum segede itu. Hihihi. Setelah siap, kami pun berangkat. Kali ini acaranya di jalan sebelah Timur daerah bundaran Tugu dan panggung menghadap ke Timur. Panggungnya lumayan megah. Itu karena ultah kali ini sponsornya banyak.

Sambil menunggu giliran, kami kongkow di sebuah stand makanan dan minuman. Kami juga senam pemanasan jari untuk persiapan. Paul memegang stik untuk latihan single sampai triple paradiddle. Laras histeris dan langsung berdiri bersorak ketika gitaris idolanya tampil.

"Mas Norman….!! Mas Norman…!!!"

Begitulah Laras menggaungkan nama idolanya. Setelah band idolanya selesai, giliran kami tampil. Latihan semalam harus sukses dan tidak akan aku sia-siakan. Aku manggung dengan pakaian sederhana. Menggunakan jilbab, kemeja, dan celaan jean. Kalau Laras pakaiannya rocker banget. Kaos hitam dan ada tulisan Periphery di depannya. Rambutnya tergerai panjang. Emang saat konser, Laras tidak berjilbab. Tidak cuma itu sih, semalam saat Latihan dia tidak berjilbab. Hihihi

Kami sudah di atas panggung dengan instrumen masing-masing. Dalam ketukan ke 3 dari stik Paul, kami pun memainkan lagu milik Andy James dari latihan semalam.

Riuh penonton membuatku semakin bersemangat menghibur mereka. Tanpa terasa, kami selesai memainkan satu lagu. Penonton memberikan tepuk tangan. Aku merasa lega sudah memainkan lagu itu. Lagu selanjutnya adalah lagu yang sering kita mainkan disela-sela waktu latihan. Lagu milik Neil Zaza. Dimulai dari Laras memainkan opening, lalu disusul Paul, Aku dan Yayan.


Selesainya, saat aku melepaskan strap gitar yang panggul, mas Norman menghampiri kami. Dia tampak berjalan ke arah Laras dan berbincang-bincang. Laras terus bilang ke Aku, Paul, dan Yayan. Katanya kita dapat tantangan mainkan lagu jadulnya Periphery. Duh, ini gimana ya. Walaupun kami sering memainkan lagunya Periphery, tapi pada bagian polyrhythm aku lupa jumlah ketukan ganjilnya berapa. Karena saat bass drum dipukul, aku sebagai bassis dan Laras sebagai gitaris mengikuti temponya. Paul terus memanggil namaku terus memberi kode tentang ketukan polyrhythm dengan stiknya. Oh iya, aku ingat. Akupun mengacungkan ibu jari ke Paul. Vokalisnya dari kenalannya mas Norman.

Saatnya kami libas lagu kesukaan Laras dan tantangan dari mas Norman.


Akhirnya, setelah manggung kami menyalami ke mas Norman lalu turun panggung. Laras sempat bercerita momen-momen saat manggung bareng idolanya. Dia tampak sumringah saking senangnya. Terus dibalik gitar Ibanez HR Giger custom miliknya terdapat tanda tangannya. Kami akhirnya pulang. Sesampainya dirumah, Paul dan Yayan mengambil motor yang diparkir di rumah Laras lalu pulang.

Hari sudah mulai petang. Aku kemudian siap-siap mandi terus ke kampus bersama Laras. Tidak lupa aku mengenakan jilbab dan masker. Hihihi

"Yuk Sar buruan, soalnya jam segini jalan yang kita lalui pasti macet." Ucap Laras.

Akupun segera naik mobil menuju kampus Laras. Sesuai dugaan, di laboratorium sudah kumpul teman-teman Laras yang juga mengikuti kuliah otopsi. Aku dan Laras duduk di tengah. Kemudian seorang pria paruh baya masuk. Laras bilang, nama dosennya itu dr Fadil. Dia calon profesor muda yang tinggal menunggu SK dari menristekdikti.

“Selamat Malam. Hari ini kita akan praktek patologi anatomi dilanjutkan otopsi”

“Sebelum dimulai, kita berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing. Berdoa mulai!!” kata seorang mahasiswi di sebelah kananku.

Suasana di ruangan itu begitu hening. Beberapa diantara mereka ada yang memejamkan mata, ada pula yang menengadahkan tangan lalu mengusapkan kedua tangannya ke wajah.

“selesai”

Setelah berdoa, Laras tiba-tiba menyolekku.

"Ada apa ras?" Tanyaku.

"Kamu jangan jauh-jauh dari aku biar kamu gak dicurigai mahasiswa ilegal" ucapnya.

"Iya iya. Duduk kita sudah berdekatan gini mana bisa kabur." ucapku.

Aneh, aku melihat di meja otopsi tidak ada cadaver, atau cadavernya masih belum diambil untuk dibawa kesini ya. Aku jadi penasaran. Jantungku berdebar-debar. Bukan karena takut ketahuan aku mahasiswa ilegal, tapi untuk pertama kalinya aku mengikuti kuliah ini.

"Sar, ini kita kuliah tapi cadavernya kemana ya?" Tanyanya lirih padaku.

"Paling bentar lagi datang Ras. Mikir positif saja Ras" jawabku.

Laras memberikan sebuah buku kuliah kedokteran tentang anatomi dasar tubuh manusia kepadaku. Layaknya seorang mahasiswi di kampus ini, aku membuka buku tebal dari Laras untuk kubaca.

“kita bersyukur hari ini bisa mendapatkan kadaver yang masih segar. Selama 7 tahun terakhir kampus kita kesulitan mendapatkan kadaver segar. Terakhir kita dapat kadaver dari rumah sakit sekitar 1 setengah tahun lalu, itupun dengan kondisi membusuk dan umur kadaver sudah tua. Ini memang rezeki kalian bisa belajar dengan objek seumuran dengan kalian" ucap dr Fadil.

Sepertinya ini memang rezeki Laras dan aku. >,<

"Sebelum dimulai, apakah ada diantara kalian yang sudah pernah ikut praktikum otopsi saya?” lanjutnya.

Seisi ruangan tidak ada yang mengangkat tangan.

"Bagus, mari kita mulai." Ucap dr Fadil.

Beberapa detik kemudian, muncul seorang wanita yang masuk ke ruang laboratorium berpakaian handuk kimono putih dan memakai sandal, berambut hitam model blow pendek sebahu dan rapi. Sepasang mata belok dan bulu mata lentik menambah kesan cantik seorang dara. Mungkin ia pantas dibandingkan dengan Laras, sama-sama cantik. Ia berdiri di dekat pintu. Siapa sih dia? Bukankah dalam perkuliahan maupun praktikum tidak diperbolehkan menggunakan pakaian dan sandal seperti itu?

"Kenalkan, namanya Linda. Dia adalah mahasiswi semester 6 yang akan menemani kita dalam perkuliahan" ucap dr Fadil.

Tiba-tiba Linda melepaskan pakaian handuk kimono yang dikenakannya. Dia sepertinya santai sekali, tidak gugup atau canggung. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya di depan umum. Jangan-jangan dia pengidap exhibitionism. Apakah dia mau telanjang di hadapan kami ya? Uughhh kok badanku jadi panas dingin gini sih. Sepasang pahaku saling bergesekan.

"Sar..sar..kamu gak apa-apa kan Sar?" Tanya Laras sambil menepuk pundakku.

"Eh… nggak kok ras" ucapku. Uuhhgg jadi malu deh.

Ketika tali handuk di pinggang pakaian itu dilepas, dibaliknya terdapat kain yang menutupi tubuhnya. Wujudnya mirip apron chef berupa selembar kain berwarna putih polos tanpa motif yang hanya menutupi bagian depan tubuhnya dari atas sepasang payudara dan di bawah leher sampai di bawah selangkangan Linda. Kira-kira jarak bagian bawah ujung pakaian itu dari kemaluan Linda cuma 8 cm. Ada 2 pasang tali pita di kain itu, sepasang berada di ujung sudut bagian atas yang mengikat melingkar ke leher Linda. Fungsinya agar kain tidak jatuh. Sepasang lagi berada di pinggang, diikat melingkar dari pinggang ke belakang tubuh Linda. Linda yang menghadap ke kami, tubuhnya terlihat sangat seksi. Berbeda saat tadi ia mengenakan handuk kimono. Sebagian kecil bongkahan payudara Linda nampak mengintip dari sisi samping bawah di dekat ketiak. Mungkin karena kainnya tebal, putingnya tidak terlihat nyetak. Atau ia tutup putingnya dengan plester atau sejenisnya. Hihihi ada-ada aja pikiran ngeresku.

Linda berbalik memunggungi kami. Ia meletakkan handuk kimononya pada meja berbahan alumunium dan kaca yang ada di dekat papan tulis. Jika dilihat dari arah belakang, Linda tampak sepenuhnya bugil. Hanya dua tali pita saja yang menutupinya. Sepasang pantatnya sekal bersih terawat. Aku dapat melihat beberapa stretch mark yang nyaris samar di paha atas di bawah pantatnya. Mungkin dia sedang menggunakan lotion penghilang stretch mark. Sedangkan jika dilihat dari samping, sebagian pinggang sisi punggung kelihatan dan sedikit bongkahan payudaranya terlihat menantang. Walaupun tidak tampak seluruhnya, tetap saja membuat semua pasang mata tertuju padanya. Aku bisa mengira-ngira besaran bongkahan daging kenyalnya melebihi punyaku.

Aku melihat kekiri dan kekanan. Seluruh mahasiswa menatap tajam ke arah cewek itu. Seketika dia di ruangan ini menjadi artis dan menjadi pusat perhatian. Linda sambil tetap memasang wajah senyum ramah tersungging menatap ke arah seluruh insan yang ada dihadapannya.

Ditatap banyaknya sepasang mata insan di ruangan ini, Linda bersikap biasa saja. Mungkin dia seorang model yang sudah terbiasa memamerkan tubuhnya di hadapan orang asing. Kalau aku di posisinya, pasti dinding rongga kelaminku dipenuhi cairan yang berasal dari kelenjar di sekitar vagina, serta otakku dipenuhi hormon dopamin dan oksitosin.

“Linda, kemari” ucap dr Fadil memanggil.

Dengan santai Linda berjalan melangkahkan kaki mendekati dr Fadil. Apakah ini fantasiku saja? Rasanya sungguh aneh praktikum ditemani seorang wanita muda dan cantik sepertinya. Alih-alih berpikir positif, aku malah berfantasi liar tentang Linda yang secara sukarela mau dijadikan objek pembelajaran sambil telanjang. Semoga aja itu tidak benar. Gadis mana yang mau tubuh indahnya dipertontonkan kepada seluruh insan yang ada di ruangan ini?

Langkah kaki Linda berhenti tepat di samping dr Fadil.

“sekarang perkenalkan kepada mahasiswaku” ucap dr Fadil ke Linda.

“Perkenalkan, namaku Linda. Hari ini aku akan menjadi objek belajar dan penelitian buat kalian. Mulai dari anatomi sampai otopsi. Jadi anggap saja aku ini kadaver yang boleh kalian apa-apakan” ucap Linda dengan suara lembut manja dan bibir tersenyum manis.

DEGGG!!! Jantungku serasa berhenti berdetak. Seolah-olah aku dapat mengendalikan penuh saraf otonom. Tekanan darahku melemah. Badanku terasa berkeringat tapi suhu badan dingin.

“tapi ada syaratnya.” lanjut Linda.

“apa kak syaratnya?” seloroh salah satu mahasiswa yang kudengar dari arah di belakang Laras.

“kalian harus rajin belajar dan tambah pinter. Kakak gak mau pengorbanan kakak jadi sia-sia. Setuju?”

“setuju kak” seluruh mahasiswa dan mahasiswi kompak.

Aku tidak menyangka. Kenapa dia mau melakukan itu? Apakah dia sadar dengan apa yang ia katakan? Dia akan telanjang memamerkan tiap milimeter tubuhnya kepada kami semua. Bukan cuma itu, nantinya setiap organ dalam dan tulangnya diperlihatkan juga kepada kami. Pikiran-pikiran aneh tersebut membuat jiwaku bergejolak. Disisi lain, mengapa aku merasakan dinding vaginaku terasa geli?

Astagfirullahaladzim….. Cairan dari kelenjar vagina sedikit demi sedikit mulai membasahi lorong vaginaku. Uughhh apa sih yang terjadi padaku. Kenapa dalam posisi ini aku horny. >,<

Linda pasti tahu, sedari tadi dia melangkahkan kaki, itu menandakan bahwa ia semakin mendekati kematian. Mungkin dia sudah menyiapkan diri untuk ini. Kalau dia siap, aku juga harus siap. Aku juga penasaran pelajaran otopsi itu seperti apa.

Perlahan, aku mulai membaik. Suhu dan tekanan normal kembali. Tadi aku shock. Untunglah tidak sampai pingsan.

“ada yang kalian tanyakan ke Linda?” tanya dr Fadil kepada mahasiswanya.

Seisi ruangan ini sunyi diam membisu.

"Kok pada diam sih?" Ucap Linda.

“A.. Apa alasan kakak mau menjadi kadaver hidup?” tanyaku dengan terbata-bata memberanikan diri untuk bertanya.

“Aku cinta ilmu pengetahuan, terutama ilmu kedokteran. Karena itu aku menyumbangkan seluruh tubuh sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan” jawab Linda.

"Tapi kak, kita disini tidak mau masuk penjara karena membunuh kakak" ujar salah satu mahasiswi di samping kananku.

"Hmmm… apa aku ceritakan juga dokter?" Tanyanya ke dr Fadil.

"Silahkan" ucap dr Fadil seraya menghampiri Linda dan memberikan secarik kertas.

"Baca baik-baik ya. Kalian tidak akan dipenjara kok" ucapnya sambil menunjukkan selembar kertas putih dengan guratan tinta hitam yang telah ditandatangani dan bermaterai. Disitu disebutkan, bahwa Linda secara sukarela mempersembahkan tubuhnya untuk dijadikan objek pembelajaran dan menyumbangkan tiap organ untuk mahasiswa dan mahasiswi kampus Laras.

"Bukankah itu namanya bunuh diri?" Tanya Laras.

"Betul, kakak bunuh diri secara elegan. Hihihi" jawabnya.

Iihhh… cewek aneh. Mati kok bangga. Sambil senyum pula!! Kalau aku sih gak mau mati sia-sia sepertinya. Tapi, kenapa memekku cenut-cenut. Ughhh >,<

Aku yakin, dibalik itu semua ada alasan terbesar mengapa Linda ingin melakukan hal itu. Ia sadar, bahwa dengan melakukan itu sama saja dengan membunuh karakternya sendiri sebagai wanita yang bermatabat. Setiap milimeter bagian luar dan bagian dalam tubuhnya, serta aurat kewanitaannya yang ia tutup akan ditatap para lelaki dan perempuan di ruangan ini.

“Ukuran bra toketnya berapa tuh” seloroh salah satu mahasiswa jauh di sebelah kiriku.

“36 E” jawab Linda.

“I..i..iitu Asli ya kak?” tanya seseorang jauh di sebelah kananku

“Nanti kamu akan tau sendiri kok dik. Dokter, nanti tolong tunjukin ke adik itu keaslian payudaraku ya hihihi” ucap Linda ke dr Fadil sambil senyum.

Dr Fadil melangkahkan kaki mendekati meja otopsi.

"Bisa dimulai sekarang Linda?" Tanyanya.

"Bisa dok" balasnya.

Linda berjalan menuju meja otopsi berbahan baja stainless yang jaraknya sekitar 3 meter di depan kami. Linda berdiri tegak di samping meja otopsi. Disisi meja otopsi seberang Linda, dr Fadil sedang memeriksa dan menyiapkan peralatan-peralatan untuk praktek.

“Silahkan duduk sini” ucap dr Fadil mempersilahkan Linda untuk duduk di kursi kaki 3 tanpa sandaran yang sudah disediakan di dekat meja otopsi.

“iya dokter” jawab Linda dengan ramah.

Linda langsung duduk di kursi yang disediakan, kursinya menghadap pada seluruh mahasiswa dan mahasiswi. Gaya duduknya seperti seorang tamu negara. Duduknya tegak, kedua kaki dirapatkan, kedua pahanya memangku kedua tangannya. Aku melihat tatapan mata semua pria tertuju pada sepasang payudara yang membusung seolah-olah payudara itu ingin Linda serahkan kepada mereka.

“kalian siap untuk melihat organ dalam kakak?” tanya Linda ke mahasiswa.

“Siap dong, apalagi kak Linda cantik hehehe” jawab salah satu mahasiswa, lalu disambut tawa mahasiswa lainnya.

“Ingin lihat organ dalam kakak apa yang ini?” tanya Linda sambil menunjuk payudaranya dari samping.

“Dua-duanya” jawab mahasiswa.

dr Fadil memanggil mahasiswa. Kata Laras dia adalah Roby, salah satu mahasiswa dr Fadil yang juga merupakan asisten dosen untuk membantu dirinya.

“Kamu bungkuk sebentar ya lin” perintah dr Fadil.

Linda kemudian membungkuk sampai dadanya menyentuh sepasang paha bawah diatas lutut dan wajahnya menghadap ke lantai. Kulit putih pada punggung lehernya beserta tonjolan sepasang tulang belikatnya terlihat.

Linda yang dalam keadaan membungkuk. Dibantu Roby, di arah punggung Linda, dr Fadil menyuntikkan cairan di 5 titik ke sumsum tulang belakangnya. Kata dr Fadil nama cairan itu adalah Laytonix, yaitu cairan yang membuat saraf motorik tidak berfungsi atau kelumpuhan secara permanen.

5 menit berselang, Linda menjadi lemas. Yang tadinya duduknya tegak, kini tubuhnya terkulai bersandar di kursi. Linda mencoba untuk menggerakkan jemari tangannya, tapi tidak merespon. Begitu pula pada kakinya. Yang bisa Linda lakukan ialah menggerakkan mulut untuk berbicara, menggerakkan bola mata, berkedip, dan terakhir mengendalikan diafragma untuk bernafas dan tetap bertahan hidup. Keinginan untuk memamerkan keindahan tubuh dan merasakan setiap detik organ dan anggota tubuhnya dipotong-potong dan diambil untuk pelajaran bagi mahasiswa kedokteran membuatku merinding sekaligus horny. Setiap milimeter tubuhnya, baik bagian luar hingga dalam ia donorkan untuk ilmu pengetahuan.

“sekarang apa yang kamu rasakan ras?” tanya dr Fadil.

“seluruh badanku terasa lebih hangat” jawab Linda.

dr Fadil memeriksa denyut jantung Linda dengan stetoskop yang ditempelkan di dada Linda.

“hmmm…...kondisinya normal“ ucap dr Fadil.

“Rudi.. Tono...Roni..tolong bantu angkat ke situ” perintah dr Fadil ke 3 mahasiswa yang ditunjuknya untuk mengangkat tubuh Linda ke tengah ruangan.

Dengan bantuan mahasiswanya, mereka bertiga mengangkat tubuh lemas Linda ke tengah ruangan. Masing-masing mengangkat bagian tubuh Linda. Tono mengangkat dibagian kaki, Roni bagian punggung, dan Rudi bagian bahu.

“wuiih bro, kulitnya lembut” ucap Roni lirih kepada Rudi dan Tono.

“bener, liat tuh toketnya nyembul” kata Tono

Setelah sampai ditengah ruangan, oleh dr Fadil kedua pergelangan tangan Linda diikat oleh leather wrist restraint berwarna kuning gading yang berbahan lembut dan kuat. Kedua restraint tersebut terhubung oleh rantai baja stainless yang pendek.

“jangan kalian lepas” perintah dr Fadil ke Rudi, Tono, dan Roni.

“siap!” tegas mereka bertiga.

dr Fadil mengambil kail baja diameternya sebesar jari kelingking, kurang lebih 0,7 cm. kail itu dikaitkan pada rantai leather wrist restraint diantara kedua tangan Linda. Kail itu terhubung oleh rantai baja stainless ke katrol kerekan dilangit-langit beton ruangan, lalu berlanjut ke katrol kerekan kedua di ujung sudut atas ruangan dan menjulur kebawah yang ujungnya tertanam ditembok beton.

dr Fadil berjalan kesudut ruangan. Dengan perlahan, ia menarik rantai sehingga kedua tangan Linda tertarik ke atas diikuti tubuh Linda terangkat hingga hanya ujung ibu jarinya saja yang menyentuh lantai. Agar ketinggian tubuh Linda tetap pada posisinya, oleh dr Fadil kerekan dikunci dengan tuas..

Tatapan Linda hanya tertunduk lemas menatap lantai, itu karena efek cairan laytonix.

“kalian susun kursi disini secara melingkar, dibuat 3 baris” dr Fadil memerintahkan ke mahasiswanya untuk menata kursi belajar melingkar berbentuk huruf O, dan dibuat 3 baris.

Mereka segera berlari mengambil kursi belajar dan cepat cepat menyusun kursi duduk dibarisan paling depan. Kebanyakan cowok yang dapat duduk barisan depan, sedangkan mahasiswi dapat barisan tengah dan belakang. Ditengah, tubuh Linda tergantung dan menunduk lemas.

“angkat tangan dan jawab dengan jujur, siapakah diantara kalian yang belum pernah liat wanita telanjang?” tanya dr Fadil yang berdiri disamping Linda yang menggantung.

1 mahasiswa mengangkat tangan, diikuti 6 mahasiswa lainnya.

“cuma segini nih yang matanya masih perjaka, yang lain sudah pernah liat punya siapa?” canda dr Fadil diikuti tawa semua seisi ruangan.

“tidak masalag, yang 7 orang siap-siap jangan sampai basah ya” lanjut dr Fadil yang juga di ikuti tawa mahasiswa.

“gimana? Seksi gak nih kadaver kita ini?” Fadil memutar tubuh Linda 360 derajat.

“top banget pak”

“yahuut pak”

“seksi pak”

dr Fadil melepaskan tali yang mengikat di pinggang Linda. Pelan-pelan, ia geser ujung sudut bawah kain penutup Linda sehingga bagian kemaluan Linda nampak mengintip.

“liat nih” ucap dr Fadil.

“woooooooow” suara takjub mahasiswa.

Segera dr Fadil melepaskan kain penutup itu sehingga kemaluan Linda tertutupi lagi. Terdengar suara bernada kecewa dari mahasiswa-mahasiswa itu.

Dr Fadil beranjak berdiri dibelakang tubuh Linda. Kedua tangan dr Fadil melepaskan tali pengikat di leher yang merupakan tali terakhir kain penutup tubuh Linda. Jika dilepas, maka seluruh tubuh Linda akan nampak pada seluruh manusia diruangan ini.

Dengan cepat dr Fadil melepaskan tali pakaian yang mengikat dileher Linda, tapi tali itu masih ia genggam.

“1...2...3” dr Fadil melepaskan tali yang ia genggam.

Satu-satunya kain pelindung aurat tubuh Linda jatuh ke lantai. Kini, kondisi tubuh Linda yang kedua tangan terikat terbentang ke atas mengangkat berat tubuhnya yang telanjang dam menggantung terlihat seluruhnya. Lekuk tubuh Linda yang mirip gitar spanyol sangat seksi, pantat yang berisi, payudaranya padat bulat dan kencang, puting dan areola berwarna coklat muda serta kemaluan Linda yang bersih tanpa ditumbuhi sehelai rambut membuat seluruh tatapan pasang mata di sekeliling Linda tertuju pada titik-titik vital Linda. Kulit ketiaknya yang terpampang tampak bersih terawat dan tidak ditumbuhi bulu. Tak heran jika beberapa penis mahasiswa disini menjadi ereksi. Selain itu, sebagian mahasiswi yang melihatpun menganggap hina perbuatan Linda. Mau-maunya auratnya dipertontonkan secara gratis menjadi objek ilmu pengetahuan.

“buseet, bodynya mantep”

“susunya bulat”

“liat tuh memeknya, bersih bro”

Aku yakin Linda mendengar jelas bisikan-bisikan lirih nakal yang terucap di sekelilingnya. Melihat sikap Linda dan mendengar ucapan tak senonoh, cairan kewanitaanku seperti meluber membanjiri sela lipatan-lipatan dinding didalam vaginaku.

Oleh dr Fadil, kepala Linda yang menunduk dibuat mendongak. Wajahnya menghadap ke langit-langit. Memperlihatkan leher jenjang yang bersih. Rambutnya digerai kebelakang hingga bagian depan, dari leher, dada sampai ujung kaki terlihat tanpa terhalangi apapun. Pelajaran anatomi luar dimulai. Dengan tongkat stainless dr Fadil menjelaskan bagian satu persatu bagian luar tubuh Linda dari tangan, lengan, ketiak, kepala, mata, mulut, telinga, hidung, leher, dada, payudara, puting, areola, perut, vagina, paha, lutut, kaki, jari-jarinya, dan bagian belakang, dari tengkuk, sampai pantat. Karena mahasiswa duduk mengelilinya, dr Fadil menjelaskan sambil memutar badan Linda.

Momen-momen dr Fadil menjelaskan payudara. Cowok-cowok pada heboh. Tongkat sebagai penunjuk yang menekan puting Linda bikin cowok-cowok histeris. Kemudian, saat dr Fadil mengangkat paha kanan Linda untuk menjelaskan bagian selangkangan. Beberapa cowok ada yang sampai menunduk dan mendekat. Bahkan, ada juga yang mengeluarkan ponsel memotretnya. Tangan-tangan mereka terlihat menekan selangkangan mereka. Mungkin lagi tegang ya sampai ditekan gitu. Hihihi.

Cukup lama sih menjelaskannya. Selain sambil memutar, dr Fadil juga menjelaskan letak jantung, paru-paru, juga termasuk organ didalam abdominal cavity, meliputi hati, perut, ginjal, usus, rahim, rektum, kandung kemih, dan sebagainya. Dia menjelaskan, payudara kiri wanita cenderung lebih besar dari sebelah kanan. Itu dikarenakan letak jantung yang lebih dekat dengan payudara kiri. Ia menunjuk letak jantungnya yang dekat dengan payudara ranum sebelah kiri Linda.

Selesai menjelaskan anatomi bagian tubuh luar, dr Fadil menurunkan tubuh Linda. Dengan dibantu 2 mahasiswa dan satu mahasiswi. Tubuh telanjang Linda digotong ke meja otopsi. Dr Fadil yang berdiri di samping meja otopsi sudah meletakkan balok kayu. Kemudian tubuh Linda direbahkan berbaring tidur telentang dengan balok kayu berada di punggung dibawah tulang belikat, sehingga bagian dada Linda lebih tinggi dari pinggang, pinggul, paha, sampai kaki. Kepala Linda mendongak. Perutnya mengembang dan mengempis menghirup udara.

Pada bagian dadanya, sepasang payudara terlihat padat, kokoh dan kencang tetap pada posisinya, sedikit bergeser ke samping kanan dan ke kiri tertarik gravitasi, seperti sepasang bukit yang tinggi dan kuat tak goyah diterpa badai. Dipuncaknya, sepasang puting Linda yang tegang dan keras mengacung berwarna coklat muda. Kedua tangan Linda di letakkan di atas kepalanya. Kulit ketiak yang bersih tanpa sehelai bulu menyuguhkan keindahannya. Sungguh, pemandangan seksi ini membuat penis para mahasiswa menjadi tegang. Ini menjadi pengalaman pertama bagi kami melihat proses otopsi di depan mata kepala sendiri. Objek otopsi bukanlah cadaver, melainkan wanita muda cantik yang masih bernyawa.

“buka buku procedural autopsy kalian, lihat pada halaman 13” kata dr Fadil.

Ia menjelaskan prosedur otopsi yang sedikit aku pahami.

“Sudah siap lin?” Tanya dr Fadil.

“Siap” tegas Linda.

Posisi dr Fadil berdiri disisi kiri Linda. Ia mengenakan handscoon lalu mengambil rib cutter dengan tangan kiri yang berada di sisi kirinya. Rib cutter tersebut baru ia beli dengan pesanan khusus, karena itu bentuknya lebih berbeda.

“Pertama tama, kita akan memotong objek dengan teknik baru. Namanya O-shape” kata dr Fadil kepada mahasiswanya.

Dengan rib cutter di tangan kanannya, dr Fadil mulai menekan ujung rib cutter yang sangat tajam di sebelah samping kiri bawah payudara Linda, tepatnya pada tulang rusuk bawah di atas pinggang sebelah kiri Linda.

“klak” suara ruas tulang rusuk melayang Linda yang terpotong oleh Rib Cutter.

“aaaaah” jeritan lirih Linda pun terdengar lagi.
3 ruas tulang rusuk palsu putus.

“cklak...cklak..cklakk” suara rib cutter yang dipegang pada kedua tangan dr Fadil mulai bergerak dan memotong tulang rusuk sejati Linda. Tangan dr Fadil yang sudah ahli dibidangnya tentu tidak kesulitan memotong cangkang tulang rusuk Linda. Itu terlihat dengan kecepatan potong 2 Cm per detik dan hasil potongannya yang teratur dan rapi.

Dari tulang rusuk sebelah kiri Linda, rib cutter kini memotong dan berbelok 45 derajat memutari payudara kiri Linda ke arah sebelah atas tulang hulu. Tidak sampai 1 menit, rib cutter sudah sampai diatas Payudara kiri Linda melanjutkan perjalanannya memotong satu ruas tulang rawan atas, tepat di bagian tengah, yaitu di bawah tulang selangka. Dilanjutkan lurus memotong kulit di sebelah atas tulang hulu lalu berlanjut memotong satu ruas tulang rawan atas sebelah kanan, melewati bagian atas payudara kanan Linda dan berbelok 45 derajat arah ke pinggang kanan atas memotong 7 ruas tulang sejati diikuti oleh tulang rusuk palsu Linda.

dr Fadil mengambil scalpel. Dari pinggang kanan atas Linda, yaitu dari potongan rib cutter terakhir tulang rusuk palsu Linda, dr Fadil menekan bilah tajam scalpel sedalam 4mm dan memotong jaringan kulit pinggang kanan menuju hingga ke tulang pinggul kanan. Dari tulang pinggul kanan, dr Fadil membelokkan scalpel memotong jaringan kulit pada bagian depan dekat tulang pinggul mengikuti garis dekat selangkangan sampai di atas kemaluan Linda, yaitu 2,5 cm diatas klistoris. Mungkin diatas tulang pubis. Scalpel terus menyayat dan mengiris kulit pubis mulus Linda mengikuti garis selangkangan ke arah tulang pinggul sebelah kiri naik, lalu lanjut ke pinggang kiri atas tepat pada potongan rib cutter pertama, tulang rusuk sebelah kiri. Dilihat secara keseluruhan, bentuk potongan dr Fadil dengan menggunakan rib cutter dan scalpel berbentuk lonjong seperti angka 0.

Kedua tangan dr Fadil memegang dada atas, memasukkan jari jari ke rongga dada atas Linda tepat di bekas potongan rib cutter. Dengan scalpel, ia mengangkat dada Linda sambil memotong dan memisahkan jaringan bagian dalam antara tulang rusuk dan organ dalam di balik tulang rusuknya.

“Aaaaaaahh” jerit Linda. Pasti dalam hatinya ia tahu akan jadi seperti ini. Sebentar lagi dada dan kulit perut Linda, termasuk sepasang payudara indah yang dibangga-banggakan beserta tulang dada dan sebagian ruas tulang rusuknya tak lama lagi akan lepas dari tubuhnya.

Tidak butuh waktu lama, bagian dada atas sampai bagian perut Linda terpisah dari tubuhnya.

“Robi, ini kamu taruh di sebelah whiteboard” perintah dr Fadil kepada seorang mahasiswa.

“siap dokter” jawab Robi. Robi mengambil bagian dada atas Linda dengan kedua tangannya, dipegang disisi kiri dan kanan dada samping dekat payudara Linda.

“kok sepertinya berat rob, gimana kalau dibantu?” tanya seorang mahasiswa.

“gak perlu, aku bisa sendiri” jawabnya.

Oleh Robi dada Linda digantung di samping whiteboard yang lokasinya tidak jauh dari tubuh Linda. Robi menggantungnya dengan menggunakan 2 buah rantai kuat yang masing-masing ujung rantainya terdapat kail berukuran besar, panjang kailnya 5 cm dan berdiameter 2,5 mm dikaitkan diantara rongga tulang rusuk sebelah atas payudara kiri dan kanan Linda.

Nampak dihadapanku paru-paru, hati, usus kecil, usus besar, dan organ jeroan Linda yang begitu menakjubkan. Paru-parunya masih berfungsi kembang-kempis menyerap oksigen. Oleh dr Fadil, kami membagi menjadi beberapa kelompok berisi 2-3 orang. Tujuannya, masing-masing kelompok akan mendapatkan bagian tubuh Linda untuk diteliti dan dipelajari. Tentu Aku berkelompok dengan Laras. >,<

Setelah itu, dr Fadil mengambil 2 buah gunting klem, ia jepitkan pada usus dekat lambung, lalu mengambil lagi 2 gunting klem untuk menjepit usus. Mungkin usus besar dekat rektum. Ia potong usus tersebut lalu mengambil scalpel mengeluarkan usus kecil serta usus besar. Ia serahkan kelompok didepanku. Linda tidak meronta. Mungkin efek cairan yang disuntikkan tadi. Dr Fadil lanjut memotong ginjal, ia serahkan ke kelompok lain. Saat organ Hati dipotong dan diserahkan ke kelompok lain, jantungnya masih berdetak, tapi lemah. Wow hebat banget. Tangan kiri dr Fadil menggenggam Jantung yang masih berdetak, lalu memotongnya. Ia serahkan ke kelompok lain. Aku yakin, Linda kini sudah mati. Paru-parunya sudah tidak mengembang lagi.

Dr Fadil bergeser ke pinggul. Tangan kirinya dimasukkan abdominal cavity, disusul tangan kanan yang memegang scalpel. Ia memotong sesuatu. Ketika diangkat, ia menyerahkan ke Laras. Oh ternyata ini adalah rahim Linda. Bentuk dan besarnya seperti ini. Laras menarik tanganku ke meja di pojok ruangan. Laras meletakkan uterus Linda di atas meja stainless. Potongan dr Fadil rapi, ada sekitar 2 centimeter selaput dinding vagina Linda yang berbentuk cincin mengelilingi servik. Sedikit darah segar keluar dari potongan vaginanya.

"Sar, kira-kira bentuk rahim kita seperti ini" ucap Laras.

"Iya ras. Mungkin punyamu lebih besar" celetukku.

"Iihhh tau dari mana kamu Sar?" Tanyanya.

"Kamu lebih tinggi dari aku dan Linda, pasti punyamu sedikit lebih jumbo hihihi" ucapku

"Iya ya. Mungkin selisihnya sekitar 1 centimeter" ucap Laras.

Kami pun tertawa. Di seberangku pada heboh. Ada kelompok laki-laki yang mendapatkan salah satu potongan payudara Linda beserta dengan cangkang tulang rusuknya. Eh, bukannya salah satu laki-laki itu yang tanya tentang keaslian payudara Linda ya. Laras membenarkan. Hoki tuh anak. Kulihat beberapa kelompok ada yang mendapatkan otak, sepasang mata, mulut serta lidah dan kerongkongan. Ada pula yang mendapatkan memek dan lorong vagina, ada yang mendapat anus dan rektum, ada yang mendapat salah satu tangan, paha, betis tulang punggung, tulang pinggul, dan sebagainya sampai bagian-bagian tubuh Linda habis dibagi-bagikan ke kelompok mahasiswa. Seperti yang dikatakan Linda, kami harus rajin belajar.

“Liat bro susunya, besar dan kencang” terdengar celoteh salah satu dari mahasiswa menempelkan cangkang tulang rusuk sebelah kiri serta payudara kiri ke dadanya yang berkelompok di sampingku.

“Hahaha kamu kayak cewek bro. Bener, toketnya mantul abis. Tanganku gatal ingin meremasnya” ucap temannya.

"Ya udah nih remas aja" ucap mahasiswa yang menempelkan payudara Linda ke dadanya.

"Gede mana sama pacarmu?"

"Wuiihh jauh lebih gede ini"

“Hei kalian. Harap tenang. Saya tinggal dulu, karena ada panggilan operasi dari rumah sakit. Silahkan kalian pelajari sendiri. Oh iya, pesan Linda, kalian boleh membawa pulang bagian tubuh yang sudah dibagikan.”

"Siap dokter" teriak lantang para mahasiswa.

Aku dan Laras segera meneliti rahim beserta ovariumnya. Laras mengambil pisau, dia akan memotong rahim Linda untuk melihat bagian dalamnya. Bilah pisau belum menyentuh rahim, salah satu mahasiswa menyarankan kita untuk membawa pulang dan dipelajari dirumah. Lagian, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Akhirnya kami sepakat untuk membawa pulang. Laras mengantarkanku untuk pulang ke asrama. Aku kembalikan almamaternya. Aku juga mengucapkan terima kasih. Malam ini aku harus istirahat, karena besok sebagai panitia OSPEK, aku harus datang ke kampus lebih awal.




~~○●●»»Setelah OSPEK««●●○~~​





Ponselku berdering.

"Halo Sar, kamu sudah free kan?" Tanyanya.

"Sudah" ucapku singkat.

"Boleh nggak aku main ke Jember?" Tanyanya

"Boleh kok. Ini aku lagi berkemas mau pulang ras" jawabku.

"Oh, rencana pulang naik apa Sar?" Tanyanya.

"Biasa sih, naik kereta" tanyaku.

"Ada ya kereta dari Malang ke Jember?" tanyanya

"Ada lah, malah keretanya sampai Banyuwangi. Kamu bisa langsung turun stasiun terakhir, jalan kaki sebentar sudah sampai pelabuhan penyebrangan ke Bali" jelasku.

"Sudah beli tiket?"

"Belum. Bentar aku cek dulu"

Aku kemudian buka aplikasi. Setelah aku cek, kereta Tawang Alun untuk hari ini penuh.

"Ras, waduh udah kehabisan"

"Hihihi, kamu sih gak pesan lebih awal. Gini aja Sar, bareng aku aja. Aku juga kangen sama Om Pon dan tante Nur"

"Iya deh Ras"

"Aku jemput bentar lagi ya jam 9 pagi"

"Sip"

Aku pun sudah mengemasi pakaian dalam tas. Beberapa jam kemudian, Laras tiba. Dia mengklakson memanggilku SARAH seperti kode morse. Huh, bikin malu aja. Rame tauuu!!! Dasar Laras…. >,<

Aku turun, menyapanya lalu masuk ke mobil.

"Hi Sarah" ucap Paul.

"Boleh kan aku ikut?" Tanya Paul.

"Boleh dong. Kita ini kan sudah seperti sahabat" ucapku.

"Eh, kamu kuat kan nyetir jauh Ras?" Tanyaku ke Laras.

"Huh, kamu kayak gak tau aku aja Sar. Tenang, semalam aku sudah tidur kok. Hihihi"

"Alhamdulillah. Yuk cabut" ucapku.

Kami pun berangkat menuju ke kampung halamanku. Lumayan jauh, sekitar 5 jam perjalanan. Dalam perjalanan aku ngobrol banyak kenangan masa lalu. Laras sudah 3 kali ke rumah. Ini yang ke 4 kalinya. Sedangkan Paul, ini untuk pertama kalinya ke rumahku.

Jam 2 siang, kami tiba di rumah. Rumahku cukup dekat dengan pantai. Sejak ortuku meninggal, aku tinggal bersama om Pon dan keluarganya.

"Lho kok sepi?" Tanya Laras.

Aku turun untuk mengecek. Oh ternyata tante Nur lagi di kebun belakang. Setelah sungkem ke tante, aku menanyakan keberadaan om Pon. Katanya, om Pon lagi ada di bagan apung. Aku kemudian kembali menemui Laras dan Paul, bahwa di rumah ada tante. Mereka pun turun. Aku mengajaknya untuk makan siang, lalu mengajak Laras untuk sholat dzuhur berjamaah. Selepas Sholat, aku mengajak mereka berdua untuk ke bagan apung menemui om Pon. Mereka setuju. Akhirnya kami berangkat ke sana menaiki perahu motor milik om Pon. Kali ini, aku yang mengemudikan perahu sampai perahu kami sampai di bagan apung. Om Pon yang menyadari kehadiranku segera menolong membantu menambatkan perahu.

"Om" ucap Laras sambil salaman, diikuti oleh Paul.

Om sudah kenal Laras. Karena pembiayaan saat tahlil ortuku ialah Laras. Kami ngobrol tentang kabar masing-masing, terutama kuliahku. Aku menjelaskan, bahwa kuliahku baik-baik saja. Aku tentu tidak mau mengecewakan ortuku dong. Hihihi

Tiba-tiba ponselku, ponsel Paul, dan ponsel Laras muncul notifikasi gempa dari BMKG. Diinformasikan bahwa gempa berkekuatan 8,6 SR di arah Selatan dapat menyebabkan tsunami. Kami langsung bergegas naik perahu untuk pulang. Kami semua terkejut. Baru 10 menit meninggalkan bagan apung, dari arah Selatan muncul tsunami. Om Pon berusaha mensejajarkan perahu dengan arah datangnya tsunami. Semakin cepat tsunami itu mengejar kami. Hingga akhirnya perahu kami terangkat, lalu tergulung tsunami. Sesak. Gelap. Hampa. Aku tidak sadarkan diri.
 
Terakhir diubah:
…….

…….

…….

Suara desiran angin yang bergesekan dengan dedaunan dan suara deburan ombak dingin yang menjilat-jilat sepasang kakiku membuatku sadar bahwa aku belum mati. Aku coba membuka sepasang kelopak mata untuk melihat suasana sekitar sambil merasakan indra pada kulit dan menyadari posisi badanku yang miring ke kiri.

Uhuk...uhuk..uhuk.. tiba-tiba air laut dalam tenggorokanku keluar. Ini sebuah mukjizat, aku bisa selamat dari terjangan tsunami.

Aawww… lengan kiriku terasa sakit. Sepertinya terluka. Entah berapa lama aku pingsan sampai berada ditempat ini. Dihadapanku, terlihat bias jingga cahaya mentari yang tampak buram. Mungkin retinaku belum fokus untuk menangkap cahaya. Apakah itu matahari pagi ataukah sore, aku tidak tahu. Telinga sebelah kiriku sepertinya kemasukan air laut. Perlahan, aku kemudian telentang lalu miring ke kanan. Dengan bantuan tangan kanan, aku dorong badanku hingga duduk.

Alhamdulillah, sambil menatap hamparan lautan di hadapanku, aku bersyukur dengan yang terjadi pada diriku sekarang. Apakah ini kebesaranMu? Walaupun tangan kiriku sakit dan badanku lemah, aku bisa selamat. Kalau Dia menghendaki, tiada satu makhluk pun yang bisa menghalangi.

Aku menoleh kekiri, kulihat pakaian kemeja lengan panjang yang membungkus tangan kiriku sobek-sobek, memperlihatkan hampir seluruh ruas tangan kiriku. Luka 3 garis memanjang dari lengan atas sampai siku kiri terasa nyeri. Darah keluar dari luka tersebut. Kira-kira berapa mililiter darah yang dimuntahkannya ya? Aku serasa lemas sekali, nafasku lemah. Aku menoleh ke sisi kiri dan kananku terdapat puing-puing kayu. Mungkin itu adalah puing perahu motor yang kunaiki. Aku menoleh kebelakang yang menampakkan panorama hutan hujan tropis alami yang penuh dengan rerimbunan tumbuhan. Dimanakah aku?

Laras…Paul….om Pon..dimana mereka semua?

Aaaww...aww.. jeritku kesakitan saat bangkit untuk berdiri. Aku membalik badan. Rasanya seperti pusing. Cerebellum-ku tidak bisa mengendalikan kontrol keseimbangan tubuhku. Baru selangkah kaki, aku ambruk telentang di pasir pantai. Beberapa detik kemudian pandangan menjadi gelap….

……

……

……

……

Ndhuk…. Ingat pesan romo. Jika di dunia kamu buta kepada Tuhan, maka di akhirat kamu juga buta kepadanya.

Lalu… jika aku tak bisa melihat, siapa yang harus saya ikuti saat sakaratul maut romo?

Dirimu sendiri. Lihatlah dirimu sendiri. Ikuti dia, apapun yang menjelma dalam pandanganmu selain dirimu, adalah nafsu yang melekat pada jiwa. Jiwa yang akan disiksa, tapi roh tetap suci. Roh kudus yang kembali kepada sang pencipta. Tapi…….

Tiba-tiba dalam gelap, muncul titik cahaya putih. Makin lama makin besar hingga meliputi dan menerangi sekitarku. Dimana ini? Apakah ini dimensi transisi? Namun, selang sepersekian detik aku mendengar suara lumpang di telinga kananku. Cahaya putih kemudian memudar lembut menampakkan seorang wanita yang terlihat buram. Lama-kelamaan, dengan memejamkan mata lalu membukanya kembali, aku dapat melihat jelas wanita tersebut. Kira-kira umurnya sekitar 50 tahun. Ia kemudian melihat ke wajahku.

"Ndhuk…. Syukurlah sudah sadar" ia segera menghampiriku meninggalkan menumbu pada lumpang.

"Aa...a..aku ada di mana nek?" Tanyaku dengan sendu.

"Gendhuk ada di desa Moroji" balasnya. Ia kemudian mengambil minuman dari kendil dan batok kelapa sebagai gelas.

"Silahkan minum dulu nduk" ucapnya

Dengan dibantu mendudukkanku, batok kelapa tersebut didekatkan ke mulutku. Kemudian aku meminumnya. Air putihnya terasa segar. Berbeda sekali dengan air minum kemasan. Terasa sekali kealamian airnya. Aku kini celingak-celinguk melihat sekelilingku. Aku berada di sebuah bangsal sederhana beralaskan tanah dan tidur di ranjang kayu. Pakaianku berubah. Aku mengenakan jarik batik coklat yang dililitkan di tubuh menutupi payudara sampai lutut. Serta sebuah sarung menyelimutiku.

"Makasih ya nek sudah menolong saya" ucapku lirih.

"Sama-sama ndhuk. Ndhuk istirahat saja dulu"

Nenek tersebut kemudian membantuku untuk merebahkan badanku dan menaikkan selimut di tubuhku. Nenek tersebut juga mengenakan pakaian sederhana sepertiku.

TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu diketuk.

"Masuk" ucap nenek.

Setelah pintu dibuka, muncul seorang pria tua bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam tanpa alas kaki.

"Eh, sudah sadar" ucapnya

"Iya kek" balasku.

"Suami saya menemukan gendhuk pingsan di pantai, jadi ia membawanya kemari" ucap nenek.

"Iya, alih-alih mau mengunduh kelapa, saya menemukan gendhuk. Untung saja nyawa gendhuk masih terselamatkan" ucapnya.

"Makasih ya kek" ucapku.

"Oh iya, nama gendhuk siapa? Saya Wargito sedangkan istri saya namanya Sulastri. Panggil saja mbah war atau mbah sul" ucapnya.

"Saya Sarah mbah"

"Nama yang bagus" balasnya.

"Oh iya. Apa mbah war melihat 3 rekan saya? Perempuan berambut lurus kulit putih, satunya laki-laki berbadan kekar berambut keriting kulit hitam, sedangkan sisanya laki-laki kurus berambut ikal" tanyaku.

"Tidak ndhuk, kalau saya menemukannya, pasti Sarah saya kabari" balasnya singkat.

"Iya makasih mbah"

"Sepertinya Sarah bukan orang sini" ucap mbah War.

"Iya mbah, saya dari Jember dan 2 teman-teman saya dari Malang. Kami dari bagan apung paman saya, tiba-tiba ada gempa dan tergulung tsunami" ucapku.

"Iya, kami juga merasakan gempa itu"

"Sudah...sudah cukup. Jangan diajak bicara dulu, Sarah masih payah" ucap mbah Sul ke mbah War.

"Silahkan Sarah istirahat" ucapnya.

"Makasih mbah Sul, sepertinya saya sudah baikan" ucapku.

"Jangan bilang begitu, saya tau Sarah masih payah" ucapnya. Ia kemudian menuangkan ramuan dari lumpang ke batok kelapa dan mencampurkan dengan air. Setelah diaduk, ia menyerahkannya padaku.

"Diminum dik, itu obat biar Sarah cepat sehat" ucap mbah Sul.

"Iya" balasku singkat.

Aku kemudian setengah duduk dan meminum cairan kental berwarna hijau pekat. Aromanya tidak mengenakkan, tapi aku segera meminumnya. Dengan menahan nafas, aku menghabiskan obat tersebut. Uuhggg rasanya getir. Tenggorokanku serasa hangat.

"Ndhuk, silahkan istirahat agar obatnya segera bereaksi" ucap mbah War.

"Hihihi iya" aku kemudian tidur telentang. Nenek kembali menyelimutiku kemudian pergi meninggalkan ruangan ini.

Sambil menatap langit-langit dari anyaman bambu, aku bersyukur masih hidup di tempat antah-berantah seperti ini. Aku juga mengkhawatirkan rekan-rekanku. Laras, Paul, om Pon, dimana kalian. Mudah-mudahan kalian selamat. Aku kemudian memejamkan mata.

…..

…..

…..

Aku membuka kelopak mataku. Rasanya aku sudah cukup beristirahat dan tubuhku sudah baikan. Aku kemudian menurunkan selimut lalu bangkit menginjakkan tanah tanpa alas kaki. Aku lihat lengan kiriku yang terluka sudah sembuh. Syukurlah ramuan obat mbah Sul mujarab. Kulipat selimut dan merapikan tempat tidurku. Itu seperti menjadi kebiasaan layaknya tinggal di asrama kampus. Setelah rapi, aku melihat ada patung bentuknya aneh. Seperti alat kelamin laki-laki yang berdiri tegak berwarna hitam dan belum disunat. Terlihat ujung kepala penisnya mengintip disela-sela kulup. Ukurannya lumayan. Ini buat apa ya? Disampingnya terdapat ubi bakar yang tersedia diatas meja dan ceret berisi air putih. Aku makan 2 ubi yang masih hangat lalu diakhiri dengan minum air putih.

Alhamdulillah.. Perutku sudah lumayan terisi makanan. Aku kemudian membuka pintu kamar. Sepertinya hanya aku sendiri di bangsal ini. Aku hanya melihat 3 pintu, pintu kamar yang kutempati, pintu menuju ke dapur, lalu sisanya pintu depan. Aku kemudian menuju ke pintu depan. Setelah kubuka, aku disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Aku serasa hidup di hutan. Jalan-jalan setapak menyusuri pepohonan yang menjulang tinggi. Cahaya mentari dari atas menyinari di sela-sela dedaunan dan membuat bias berwarna cerah. Dari sini aku dapat melihat pantai yang ada dibawahku. Rumah ini berada di bukit. Tapi anehnya, aku tidak menemukan rumah-rumah lain.

"Eh gendhuk sudah bangun. Habis jalan-jalan ya?" Tanya mbah Sul dari arah samping kanan.

"Tidak mbah. Saya hanya menghirup udara segar saja"

"Kalau Sarah mau jalan-jalan, ikuti saja menuruni jalan setapak ini ke arah Timur. Di depan sana ada persimpangan, belok ke kiri atau ke Utara. Disana terdapat kampung ndhuk" ucapnya. Oh, dengan penjelasannya, aku mengetahui bahwa rumah mbah War menghadap ke Timur, pantai yang kulihat tadi ada di sebelah Selatan. Di sebelah Barat sebuah bukit yang tidak begitu tinggi.

"Oh gitu ya. Mbah membawa keranjang mau ke mana" tanyaku melihat ia memanggul keranjang anyaman bambu di punggungnya dengan diikat dengan seutas selendang.

"Saya mau jual bahan makanan ke pasar"

"Saya boleh ikut?" Tanyanya.

"Boleh boleh ndhuk" ucapnya.

Aku kemudian menutup pintu, lalu pergi bersama mbah Sul. Dalam perjalanan kami berbincang banyak hal. Mbah Sul dan mbah War pasangan suami istri yang tidak dikaruniai anak. Umur mbah Sul 56 tahun, sedangkan mbah War 61 tahun. Mereka seorang petani. Ia tinggal berdua di rumah itu. Di desa Moroji ini hanya ditempati ratusan orang dan hidup dari berkebun, bertani dan nelayan. Desa ini hidup tanpa aliran listrik dan mengandalkan pelita sebagai penerangan. Aku tidak menyangka, masih ada desa yang belum teraliri listrik.

Setelah melewati persimpangan, kini kami berjalan di jalanan tanah yang cukup besar ke arah Utara. Mungkin lebarnya sekitar 3 meter. Di sebelah kanan dan kiri masih hutan. Mbah Sul terlihat berhenti membetulkan selendangnya. Kemudian kami berpapasan dengan pemuda.

"Nuwun sewu nderek langkung mbah" ucapnya.

"Nggih" jawab mbah Sul

Setelah pemuda tadi lewat, aku sempat tanya nderek langkung itu artinya apa. Walaupun aku lahir di jawa, tapi aku tidak sepenuhnya menguasai perbendaharaan kata. Hihihi dasar aku ini >,<

"Itu artinya permisi numpang lewat ndhuk" ucap mbah Sul.

Kami melanjutkan perjalanan sampai melewati gapura yang dindingnya bertuliskan desa Moroji dalam aksara jawa. Walaupun aku gak mahir bahasa jawa, tapi aku cukup bisa baca tulis aksara Jawa.

Beberapa meter setelah melewati gapura, tampak rumah-rumah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Antar rumah tidaklah rapat, terdapat sela kira-kira 10 sampai 15 meter yang ditanami tumbuhan. Baik pohon tinggi hingga bunga dan buah-buahan. Orang yang berlalu lalang mulai banyak, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa kambing, ada juga yang seperti mbah Sul membawa keranjang. Terlihat anak-anak sedang bermain dari batang bambu di salah satu rumah di sisi kiri jalan. Mereka terlihat bahagia. Senyum merekah terpancar dari wajahnya. Kami sampai di sebuah tempat lapang. Kata mbah Sul alun-alun ini dibuat acara perkumpulan dan sembahyang berjamaah sedesa. Ditengahnya terdapat totem yang cukup besar dengan tinggi berkisar 15 meter dan di puncaknya terdapat pahatan patung elang. Rumah-rumah disekitarnya menghadap ke tempat lapang ini. Terdapat banyak persimpangan. Dari sini, kami kemudian belok kanan. Aku melihat bangunan yang berbeda, bukan dari ukurannya, tapi bentuknya. Rumah itu menghadap ke totem. Setelah bertanya, mbah Sul menjelaskan bahwa rumah itu tempat tinggal pemimpin desa. Tanpa terasa aku sampai di pasar. Hiruk pikuk khas yang terdengar dari pasar, pembicaraan antar perorangan dan kelompok yang saling menjajakan dagangan dengan balutan harmoni.

"Waaaaaw.. ramai juga ya mbah sul" ucapku.

"Iya ndhuk. Pasar disini tempat yang paling ramai di desa Moroji dan buka dari pagi sampai sore" ucapnya.

Aku mengikuti mbah Sul mengekor di belakangnya. Disini masyarakatnya banyak yang tak beralaskan kaki. Perempuannya hanya memakai jarik sepertiku. Kembenan saja. Berbeda dengan di desaku, pasarnya sudah modern. Sedangkan di sini masih alami. Atapnya dari pepohonan yang menjulang tinggi. Mereka semua menatap pandang ke arahku. Apa karena warna kulitku yang beda ya? Menurutku kulitku biasa saja. Bila dibandingkan Laras, jauh lah pokoknya. Tapi setidaknya kulitku disini paling cerah. Bahu, tulang selangka, leher, dan betisku terlihat oleh mereka.

"Mbah sul, siapa gendhuk itu?" Tanya pedagang wanita

"Tamu" jawab mbah Sul.

"Wah, tamu jauh ya?" Tanya pedagang lain.

"Mboten kok mbah" jawabku dengan sopan.

Mbah Sul terlihat sedang menawarkan dagangannya ke pedagang. Dengan menurunkan keranjang di punggungnya, aku membantunya dengan menopang bagian bawahnya. Kemudian penutup kain pada keranjang dibuka. Oh, mbah sul menjual 3 buah kelapa yang sudah dikupas sabutnya dan 8 batang ubi jalar. Aku lihat kelapa dan ubi tersebut sebagian terdapat bercak hitam. Tidak hanya punya mbah Sul, ternyata setelah aku amati semua barang dagangan disini, dari buah sampai sayuran terdapat bercak-bercak hitam. Aku tidak sadar karena fokus melihat keramaian. Aku lihat mbah Sul sudah menjual dagangannya. Ia kemudian membeli beras dengan hasil penjualannya. Kemudian kami meninggalkan pasar kembali ke rumah.

"Mbah, tadi kenapa ya buah dan sayuran ada bercak hitam?" Tanyaku dalam perjalanan melewati gapura.

"Itu wabah ndhuk"

"Wabah?"

"Iya, desa kami sepertinya sudah dikutuk"

"Dikutuk kenapa mbah Sul?"

"7 tahun lalu kami melakukan dosa besar"

"Dosa besar?"

"Iya ndhuk" ucap mbah Sul datar sambil tertunduk. Aku tidak mengira desa seindah ini menyimpan misteri.

Kamipun sampai di persimpangan, kemudian belok ke kanan. Menurut mbah Sul, jalan lurus ke Selatan itu menuju pantai, tempat aku ditemukan terdampar dan ditolong mbah War. Aku membuka pintu rumah, disusul mbah Sul. Ia langsung menuju dapur. Dapurnya sederhana, perapiannya menggunakan pawon dari tumpukan batu bata yang berbahan bakar kayu, sabut kelapa, dan dedaunan kering. Beras yang tadi didapat kemudian dimasak. Sambil menunggu masak, mbah Sul membakar ikan hasil tangkapan mbah War.

Setelah semuanya matang, kami akhirnya makan siang dengan piring. Paginya tadi aku sarapan sama ubi, siangnya makan sama nasi. Selepas makan, aku sholat. Aku kemudian bertanya tempat berwudhu, tapi karena tidak paham jadi aku bertanya tempat air mengalir. Mbah Sul menunjukkan tempatnya. Yaitu di Selatan rumah ada undak-undakan menuju ke sumber tempat mereka biasa mandi. Dengan meminjam sandal dari bakiak, akupun berbegas menuju kesana. Wahh.. tempatnya bagus. Sumber air dari pancuran bambu mengguyur dari atas. Tingginya sebahuku.

Brrrrrr… dingin. Itulah kata yang terbesit di mulutku saat air menyentuh telapak tanganku. Dengan khidmat aku membaca doa lalu berwudhu. Kemudian aku kembali ke rumah, masuk ke kamar. Tapi karena tidak ada mukena, aku menutup auratku pakai beberapa kain jarik. Toh tidak ada syariat harus pakai mukena, yang penting aurat tertutupi sesuai tuntunan syariat. Aku menggunakan kasur sebagai tempatku beribadah.

Menjelang sore, angin berhembus disusul kilatan petir menjilat diantara awan. Fortissimo. Suara gemuruh di langit terdengar nyaring. Awan kumulonimbus dari sebelah Utara berwarna gelap, menandakan beberapa saat lagi akan turun hujan.

SSSSSSSSSSSSS……..

Air hujan jatuh membentur dedaunan, batu, atap rumah, tumpukan bambu, ranting, dan tanah terdengar seperti sebuah musik orkestra dengan surround sound nya. Nyanyian alam terdengar merdu ditambah cahaya kilat di langit seperti lampu blitz dalam panggung konser. Terdengar derap langkah disusul suara pintu depan yang dibuka.

"Ndhukk…..ndhuukkk….ndhukk...Sarah Hhh..hhhh" Panggil mbah War sambil ngos-ngosan dan badan basah terguyur hujan.

"Iya mbah, ada apa mbah?" Tanyaku.

"Te.. Teman dhuk Sarah sekarang ada di balai desa" ucapnya.

Mendengar apa yang diucapkan mbah War, aku kemudian segera menuju ke balai desa. Aku berlari tanpa alas kaki dibawah guyuran hujan deras. Aku tidak peduli walaupun kakiku kotor dan badanku basah kedinginan, aku ingin cepat menemui sahabat-sahabat dan pamanku. Aku berlari sekencang yang kubisa, sampai aku bisa melihat gapura di hadapanku. Baru dua meter melewati gapura, aku terpeleset dan terjatuh telungkup. Syujurlah kepalaku tidak sampai membentur tanah.

Uhggh… sakit, dada terasa sesak. Dadaku membentur keras ke tanah, walaupun tidak secara langsung merusak organ dalam, tetap saja payudaraku yang menjadi bantalan dan menopang tubuh terasa sakit. Air yang keruh bercampur tanah masuk di antara payudaraku di sela kemben kain jarik ini. Aku harus kuat!!! Aku kemudian mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Lututku cenat-cenut, aku nengok ke bawah terdapat luka baret. Sambil tertatih-tatih, aku tetap melangkahkan kaki dan menatap wajahku kedepan. Tidak ada banyak orang lewat, mungkin karena hujan. Kemudian dari arah belakang terdengar derap langkah mendekatiku.

"Mbah War" ucapku Lirih.

"Kenapa ndhuk kok terburu-buru, mari saya antar ke balai desa" ucapnya sambil memayungiku dengan daun pisang.

Tangan kananku dipegangi oleh mbah War, melanjutkan perjalanan sampai kami berada di alun-alun. Kami kemudian belok ke arah kiri dan beberapa meter kemudian sampai di balai desa. Aku tahu karena di depannya tertulis tulisan aksara Jawa. Bangunan itu menghadap ke arah Selatan.

"Sa… Sarah" panggil Laras saat aku masuk ke balai desa. Tidak hanya Laras, tapi juga Paul. Pakaian mereka masih sama saat kami berada di bagan apung. Hanya saja pakaian yang mereka kenakan sudah lusuh dan robek-robek. Kedua pergelangan tangan mereka terikat di punggung. Apa yang terjadi pada mereka?

"Laras… Paul… syukurlah kalian selamat. Ada apa dengan kalian?" Tanyaku sambil berlari mendekati mereka.

"Dimana om Pon?" Tanyaku. Mereka berdua tertunduk. Kemudian derai air mata Laras bercucuran.

"Maaf Sar.. maaf. Om Pon…. Om Pon sudah meninggal. Ia tidak selamat" ucapnya.

"Iya Sar, aku sudah melakukan CPR ke om Pon, tapi nyawanya tidak dapat terselamatkan" timpa Paul.

Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca, diikuti dengan meneteskan air mata. Mbah War mendekatiku dan berusaha menenangkanku. Mbah War juga mengucapkan bela sungkawa. Tanpa terasa lututku lemas, hingga aku jatuh tersungkur. Mbah War duduk disampingku, ia memelukku dan kepalaku bersandar di pundaknya. Rasanya sedih kehilangan paman yang merawat dan membesarkanku. Selepas romo dan ibu meninggal, aku diasuh dan diberi kasih sayang layaknya anaknya.

"Bawa mereka ke penjara" tiba tiba muncul pria umur 40 tahunan. Seketika 2 orang pria tegap menyeret Laras dan Paul meninggalkan balai desa.

"Tunggu…. Tunggu" larangku.

"Tolong beri kami waktu untuk berbicara" lanjutku.

"Baiklah"

Aku kemudian berdiri mendekati mereka.

"Laras, Paul. Apa yang terjadi pada kalian. Mengapa kalian seperti ini?" Tanyaku.

"Sar, aku benar-benar tidak tahu. Aku cuma memburu hewan yang akan kami makan…" ucap Paul.

"Cuma katamu?!!! Itu adalah hewan sakral yang kami lindungi. Kalian malah membunuh serta memakannya!!!"

"Tapi.. tapi…." Bantah Laras.

"Tidak ada tapi-tapian. Bawa mereka ke penjara!!"

Kedua pengawal membawa mereka. Tapi belum sempat keluar, Paul menendang pengawal. Ia memberontak sambil berkata lantang bahwa dia tidak tahu menahu tentang hewan yang mereka bunuh. Dia juga mengajak kompromi dan berdikusi, tapi ditolak. Aku tahu watak Paul. Dia tidak akan berani berkelahi jika dia salah. Tapi sepertinya sudah terlambat, Paul akhirnya bertarung melawan 2 pengawal. Dengan kondisi tangan terikat, dia mampu bertarung. Gerakan dari jurus-jurus yang dikuasainya, dia mampu menaklukkan 2 pengawal hingga pingsan.

Belasan pengawal datang dan mengepung Laras dan Paul. Mereka bertarung mati-matian. Sampai pada akhirnya Paulpun kalah.

"Pak...pak saya mohon lepaskan teman-teman saya. Biarkan mereka pergi dari desa ini. Sebagai gantinya.. sebagai gantinya…… saya… saya bersedia menerima semua hukumannya" ucapku sambil bersimpuh.

"Tidak bisa, hukuman seseorang tidak bisa di alihkan ke orang lain" ucapnya tegas.

"Lepaskan mereka!!!!" Ucap lantang seseorang dari arah belakangku.

"Ta...tapi eyang Simo"

"Lepaskan mereka, gadis ini sudah mengatakan bahwa ia bersedia menerima hukumannya. Benar begitu?" Tanya seorang pria yang berjalan mendekatiku.

"Iya" ucapku.

"Bagus, gadis ini adalah penyelamat desa kita. Kita jadikan dia persembahan"

"Siap" ucapnya tegas. Ia kemudian ia pergi melepaskan tali yang mengikat tangan Laras dan Paul.

Persembahan? Apa maksudnya ya? Aku bertanya-tanya dalam lubuk hati. Mbah War mendekat dan duduk di samping kiriku. Ia mengelus-elus punggungku.

"Gendhuk namanya siapa?" Tanyanya dengan duduk berjongkok di depanku.

"Sarah pak" ucapku lirih.

"Saya Simo, warga sini memanggil eyang Simo. Aku pemimpin sementara" ucapnya.

"Jawab dengan jujur, gendhuk lahir jam 6 sore malam Jum'at Wage dan sekarang umurnya menginjak 18 tahun 8 bulan"

"Betul" jawabku. Lho kok dia bisa nebak sih? Dalam hatiku terheran-heran.

"Tadi gendhuk mengatakan akan mengganti hukuman mereka. Hukuman mereka berat, karena membunuh hewan sakral dan gadis itu kencing di hutan terlarang, tempat arwah leluhur kami bersemayam" ucap eyang Simo.

"Di desa kami bertahun-tahun dilanda wabah. Itu karena kami melakukan dosa besar. Menumbalkan seorang perempuan yang sudah tidak perawan. Lalu, aku bertapa dan mendapatkan petunjuk dari dewa Moro, bahwa akan datang seorang gadis yang lahir pada pukul 6 sore di hari Jumat Wage. Dia yang akan membawa kemaslahatan bagi desa Moroji, menghilangkan kutukan. Dari rahimnya akan lahir seorang putra yang akan jadi pemimpin bijaksana dan mampu mengayomi rakyat. Dia akan menggantikan posisiku" jelasnya panjang lebar.

Apa? Anakku jadi pemimpin?

"Tidak usah gundah ndhuk, kami hanya ingin gendhuk melahirkan anak bagi desa kami" lanjutnya.

Seperti yang pernah kudengar dari romo, kelak anak pertamaku yang lahir adalah laki-laki. Ia akan menjadi pemimpin yang baik, adil, dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Karena dalam tubuhku ada titisan pewaris darah biru dari raja-raja di tanah jawa yang diwariskan melalui almarhumah ibuku, Ken Arok.

"Beneran kamu yakin mau berkurban untuk kami ndhuk?" Tanya mbah War.

"Iya mbah, aku yakin. Asalkan teman-temanku bisa keluar dari desa ini" ucapku lirih.

Mbah War tiba-tiba mengelus kepalaku sambil terisak pilu. Aku merasakan ubun-ubun tertetesi derai air mata duka.

"Sejak kehadiranmu, mbah merasa senang. Mbah sudah menganggap gendhuk sebagai anak sendiri" ucapnya sumbang.

"Terimakasih mbah, ini untuk kebaikan tanah kelahiran mbah juga" balasku.

Mbah War membantuku untuk berdiri. Aku bilang ke eyang Simo untuk menjamin keselamatan sahabat-sahabatku keluar dari desa ini dan menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Eyang Simo menyanggupinya. Ia menyarankan untuk pergi hari ini sebelum matahari terbenam, karena malam ini akan ada angin yang akan berhembus mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Eyang Simo memerintahkan 3 orang bawahannya untuk menyiapkan perahu dan perbekalannya.

Beberapa menit kemudian, salah seorang pembantu datang memberikan 2 pakaian. Ia serahkan kepada Laras dan Paul. Eyang Simo mempersilahkan Laras dan Paul untuk mandi di belakang balai desa dan berganti pakaian. Diawali oleh Laras, kemudian Paul. Mereka kini sudah tampak lebih bersih. Pakaian yang mereka gunakan ialah pakaian khas desa Moroji.

"Persiapan makan sudah siap eyang" ucap salah satu pembantu perempuan yang datang mendekat sambil membungkukkan badan.

"Mari-mari makan dulu" ucap eyang Simo mempersilahkan dengan ibu jari ke arah ruang dalam.

Kami akhirnya dituntun menuju ruang dalam. Kami makan ditemani Laras, Paul, dan mbah War dalam suasana hujan deras.

"Jangan sungkan-sungkan, silahkan di kenyangkan" ucap eyang Simo.

"Eyang Simo juga sini makan bareng kita" ucapku.

Eyang Simo menolak dengan halus. Ia kemudian pergi meninggalkan kami. Hidangan yang kami makan sederhana, ada tangkapan hasil laut juga sayur mayur. Saat aku bertanya tentang sayur dan ikan yang tidak terkena wabah, mbah War menjelaskan bahwa bagian sayur dan ikan yang terkena wabah dipotong dan dibuang. Tidak semua ikan terkena wabah. Ada yang segar, tapi implikasinya ikan tersebut jumlahnya sedikit dan harganya mahal. Paul dan Laras juga bertanya ke mbah War, apa yang terjadi jika aku batal jadi tumbal. Karena sahabat-sahabatku juga menginginkan aku untuk bisa keluar dari desa ini hidup-hidup. Mbah War menjelaskan, bahwa sejak ritual pertama gagal, dewa Moro marah. Lalu wabah menjalari desa. Dulu desa ini ramai, tapi sejak peristiwa itu, separuh dari kami mati karena wabah. Bukan hanya manusia, hasil sumber daya alam yang melimpah menjadi menurun. Itu karena sama seperti yang Paul dan Laras katakan, yaitu ingin menyelamatkanku. Gadis yang ditumbalkan akhirnya gundah, akhirnya ia sengaja merusak keperawanan dengan tangannya sendiri. Mengetahui itu, dewa Moro marah. Akupun menjelaskan ke sahabatku untuk tenang, jangan membuat keputusan yang kubuat menjadi ragu. Aku sudah mempersiapkan dengan matang. Seperti yang dilakukan Linda yang rela di otopsi hidup-hidup untuk belajar, aku juga ingin mempersembahkan tubuhku untuk bisa menyelamatkan Paul dan Laras. Bukan hanya itu, tapi juga seluruh penduduk desa ini. Setelah aku dan mbah War menjelaskan, mereka akhirnya paham. Mati satu tumbuh Seribu. kamipun makan.

Eyang Simo kembali. Ia mengatakan bahwa perbekalan dan perahu telah siap. Kami akhirnya keluar diantar oleh eyang Simo dan 7 pengawal. Kami melewati gapura, lurus ke arah Selatan. Di persimpangan, aku sempat menoleh ke arah kanan. Rumah mbah War dan mbah Sul tinggal. Kami menuruni jalan yang berkelok-kelok sampai menuju pantai. Kulihat di arah kanan sang mentari yang bersinar tingginya sejengkal diatas cakrawala. Suara desiran angin berpadu dengan deru ombak saling bersahut-sahutan seperti mengucapkan selamat datang atas kehadiran kami. Sebuah perahu dan bahan makanan seperti buah-buahan sudah tersedia.

"Eyang, boleh kan mereka datang kesini lagi?" Tanyaku.

"Boleh, silahkan datang lagi. Desa kami akan menyambut kalian dengan kehangatan" ucapnya.

"Laras, Paul. I love you. Jangan lupa laguku segera digarap ya" ucapku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

Layar telah dibentangkan, perahu melaju meninggalkan pantai. Menjauh. Menuju arah terbenamnya sang Surya. Bersama eyang Simo, mbah War, dan para pengawal aku kembali ke desa, diantar ke sebuah rumah di Utara desa. Disana ada sebuah rumah khusus untuk tumbal. Mereka menyebutnya sebagai rumah pengantin bagi dewa mereka. Di rumah itulah selama ritual aku dipingit. Jauh dari kehidupan masyarakat. Cukup jauh perjalanannya. Kira-kira sekitar 6 kilometer.

Kami sampai saat petang, hujan telah reda, rembulan bersinar menerangi malam. Sebuah rumah pengantin cukup sederhana berbahan kayu berdiri kokoh. Di rumah itu hanya ada satu ruangan, dan satu tempat tidur dari kayu tanpa busa atau kapuk di tengah ruangan. Cukup panjang sih, sekitar 2 meter, tapi lebarnya cuma setengah meter. Pas sih, tapi cukup lah. Pelita dinyalakan. Eyang Simo berpesan aku jangan lari. Akupun membalas dan meyakinkan bahwa aku tidak akan lari, akan kuserahkan semuanya asal desa ini bisa makmur kembali. Eyang Simo tersenyum. Acara dimulai esok pagi. Mereka menutup pintu lalu pergi. Meninggalkan aku sendiri disini.

Aku sudah menguap beberapa kali. Lelah. Itu yang kurasakan. Aku longgarkan kain jarik yang melekat pada tubuhku, lalu tidur.

…..

…..

…..

Subuh, keesokan harinya aku sudah bangun. Aku lupa semalam aku tidak sembahyang. Aduh gimana aku sih. Akhirnya aku ke belakang rumah mencoba mencari air. Ada sebuah batang-batang bambu panjang yang dibelah dua dan berjajar mengairi air, jauh dari arah Utara ke arah Selatan, ke kampung Moroji. Aku gunakan air itu berwudhu, kemudian kembali ke rumah. Sebelum melakukan ibadah, aku sudah kedatangan 2 perempuan. Ia menyerahkan pakaian ganti dengan selembar kain jarik putih dengan motif berbeda. Ia lalu berjalan mundur dengan sembah sungkem lalu menutup pintu. Aku lanjutkan ibadah. Selesainya, aku kemudian mengambil jarik putih itu, kubawa ke belakang rumah untuk mandi. Aku lepas jarik pemberian mbah Sul. Telanjang bulat di tengah hutan. Entah, selangkanganku terasa gatal bercampur geli. Uughhh perasaan apa ini? Melihat tubuh telanjangku, aku ingat Linda yang telanjang memamerkan tubuhnya dan rela mati untuk ilmu pengetahuan. Apakah aku bisa sepertinya? Apakah aku siap mati? Apa yang akan mereka perbuat pada tubuhku ini? Aku melamun sambil mandi. >,<

Setelah mandi, aku mengenakan jarik putih. Ukurannya lebih besar. Seluruh payudara sampai lututku tertutupi. Aku kemudian menuju ke depan rumah.

8 orang laki-laki memikul sebuah pelangkin. Dan dua wanita yang tadi menyerahkan jarik menyambutku. Ia menuntunku untuk menaiki pelangkin. Kemudian membawaku ke arah Selatan, menuruni lereng gunung sampai pada area lapang di tengah desa yang di tengahnya terdapat totem. Banyak masyarakat yang berkumpul dari berbagai kalangan. 2 wanita menjemputku untuk turun lalu naik ke atas panggung bersama eyang Simo.

"Wahai penduduk desa Moroji. Kita akan melakukan ritual Mareboh. Yaitu ritual penebusan untuk kesejahteraan kita. Menyelamatkan seluruh desa dari wabah dan kutukan. Mari kita sambut pengantin untuk dewa Moro kita, Saraaaaaaaah" ucap eyang Simo.

Terdengar dari segala sudut riuh masyarakat. Mereka menyebut-nyebut namaku. Aku melihat kebawah di arah jam 2, mbah War dan mbah Sul menyaksikan dari kejauhan. Dua orang wanita datang menjemput naik keatas panggung.

"Segera persiapkan pengantin kita" ucap eyang Simo ke dua wanita itu.

"Inggih eyang" ucap mereka.

Mereka menuntunku kembali naik pelangkin menuju ke rumah pengantin, tempat tinggalku. Sesampainya, aku dituntun ke dalam rumah. Dia melepaskan jarik hingga aku telanjang bulat.

"Silahkan diminum ndoro" ucap salah satu perempuan menyerahkan semangkuk cairan berwarna ungu pekat.

"Ini apa?" Tanyaku.

"Ini untuk menghilangkan rasa sakit dan relaksasi ndoro" balasnya.

Aku tidak tahu apa maksudnya. Lagian aku sudah ikhlas menjadi seperti ini, jadi aku ikuti saja dengan meminumnya. Beberapa detik kemudian badanku lemas. Dengan sigap mereka membopongku, lalu
menidurkan telentang di ranjang kayu. Aku melihat mereka mengambil sesuatu di bawahnya. Sebuah pisau!!! Apa? Buat apa benda itu? Tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan suara.

Mereka membentangkan kedua kakiku, menempatkan mata pisau di selangkanganku. Mengirisnya. Tapi yang kurasakan bukan nyeri, tapi geli. Mungkinkah efek dari ramuan tadi?

SREGGG….SREEGGG…..SREEGGG….SREEGG

Suara derit gesekan pisau dengan selangkanganku terdengar jelas. Saat membentur tulang neck of femur, mereka mengganti dengan gergaji. Tanpa terasa mereka sudah memotong pahaku. Mereka menyingkirkan sepasang kakiku, dari paha atas dekat selangkangan sampai ujung kaki. Tapi anehnya, darahku tidak mengalir deras. Mereka kemudian mengambil jarum dan benang. Masing-masing menjahit selangkangan kiri dan kananku. Mereka cukup cepat menjahitnya. Hingga mereka beranjak ke samping dadaku, membentangkan kedua tanganku lalu memotong pada ketiak. Memisahkan sepasang lengan dan tanganku. Mereka menjahitnya juga. Sepasang lenganku dikumpulkan dengan sepasang kakiku. Salah satu mereka kemudian mengambil wadah cairan kental. Ia oleskan ke rambut pubisku. Yang kurasakan hanyalah hangat. Lama-kelamaan cairan kental itu mengering.

KRAAAAGGGG…

Ia menarik cairan yang telah mengering di rambut pubisku dengan kencang. Rasanya geli. Tidak cuma sekali, ia lakukan 4 kali sampai selangkanganku bersih tanpa sehelai rambut. Kedua mataku terasa berat. Ngantuk sekali. Aku sempat merasakan memekku di buka lebar, lalu pandanganku gelap dan ringan.




……

……

……

Dalam gelap, aku merasakan tubuhku dimandikan. Wajahku diseka dan tubuhku digosok. Sepasang payudaraku juga digosok dan diremas-remas. Aku mulai membuka kedua mata. Sepertinya ini pagi hari. Aku melihat mbah Sul di samping kiriku, dan seorang wanita tua yang tidak kukenal. Mereka mengenakan jarik memandikan tubuhku telentang di pangkuan mereka di sebuah sendang dangkal.

"Sudah sadar ndhuk?"

"I..iya mbah Sul. Apa aku sudah menjalani ritual mbah?"

"Belum ndhuk. Kami mensucikan gendhuk yang telah menstruasi. Saat ritual, pengantin dewa Moro harus dalam keadaan subur" jelasnya.

Oh gitu. Jadi semenjak aku pingsan sampai sadar, cukup lama ya. Sepertinya baru kemarin aku diamputasi, tapi setelah kupikir-pikir dan menghitung terakhir menstruasi, kira-kira aku pingsan selama 20 hari. Aku menoleh ke kiri dan kekanan jahitan lenganku sudah tidak membekas. Bisa jadi karena efek ramuan ungu tadi. Perempuan di samping kananku berseloroh tentang memekku yang perawan dan bersih sambil menggosok-gosoknya. Uhggg… jadi malu dipuji seperti itu. >,<

Mbah Sul menggendongku berjalan menuju ke rumah pengantin. Di dalam, aku disuapin makanan dan minum. Katanya ritualnya akan memakan waktu sehari. Selanjutnya aku didandani. Rambutku disanggul, dihiasi bunga melati putih di kepala dan 2 gantungan hiasan melati dengan bunga kantil pada masing-masing ujungnya, tergerai di sebelah kiri dan kanan kepalaku. Leherku dikalungi kalung melati dan tersemat ukiran kayu berbentuk elang yang mengepakkan sayap. Kulit wajahku juga dipoles cantik. Tapi, pakaianku hanyalah 3 utas selendang. Satu selendang dililitkan menggulung di pinggang, dari sebelah atas tulang pinggul sampai dibawah payudara. Sisanya, dua buah selendang diikat pada pinggang yang menutupi selendang pertama hingga untaian selendang itu tergerai jadi 4 bagian yang cukup panjang. Pinggangku jadi ramping banget ditekan selendang putih ini, tapi aku tidak kesulitan untuk bernafas.

Eyang Simo kemudian masuk menanyakan perkembanganku. Aku kaget banget. Eyang Simo menatap tajam ke tubuhku. Lalu, mbah Sul dengan sembah sungkem menjawab bahwa pengantin telah siap. Dia memuji tubuhku. Ia berujar, dewa Moro pasti terpuaskan atas tumbal yang akan dipersembahkan, sesuai wangsit yang dia terima. Eyang Simo kemudian keluar dan kembali dengan 4 orang laki-laki berpakaian putih lengkap khusus ritual, mengenakan jarik, celana pendek, bertelanjang dada, dan mengenakan pernak-pernik. Mereka memegang selendang di sebelah kiri, kanan, depan, dan belakangku. Secara bersamaan mereka menarik selendang hingga tubuhku terangkat dari kasur. Mereka berjalan keluar, lalu berhenti didepan rumah pengantin. Didepan sudah dijemput barisan pria dan wanita berjajar seperti karnaval yang mengawalku. Untuk pertama kalinya aku menunjukkan aurat-auratku kepada orang-orang yang bukan muhrimku secara beramai-ramai. Tidak banyak, sekitar 20an orang. Tapi pandangan mereka bukan mesum melihat ke payudara atau selangkangan, tapi ke wajahku.

Bibir eyang Simo komat kamit membaca mantra, lalu memercikkan air ke tubuhku. Kemudian, rombongan kami berjalan ke arah Utara. Walaupun pinggangku tertutupi sekitar sejengkal, tapi bagian sensitif tubuh, payudara dan memekku terpampang jelas. Apalagi, jalan menuju ke Utara tidak ada jalan setapak, rapi melewati pada rumput yang tinggi sepinggang 4 orang yang mengangkatku, tapi tidak untukku. Bagiku tinggi rumputku setinggi dadaku. Helai demi helai rumput bergesekan dengan payudara dan tentu saja selangkanganku. Sensasi gesekan memekku dengan rumput liar ini memberikan rangsangan. Sepertinya alam membelai kemaluanku. >,<

Cukup lama berjalan di bawah terik mentari, kamipun sampai di sebuah kuil. Didalamnya terdapat totem dari batu yang tingginya sekitar 3 meter. Di puncaknya terdapat kepala elang. Ke 20an orang itu berjajar rapi. Dua orang pria maju mengangkat tubuhku didepan totem. Disusul eyang Simo.

"Sarah, apakah kamu bersedia menyerahkan jiwa ragamu untuk menjadi pengantin dewa Moro?" Tanyanya.

"Siap"

"Apakah kamu siap melahirkan anak bagi desa Moro?"

"Siap"

"Bagus" ucap eyang Moro.

"Dewa Moro… terimalah persembahan kami. Pengantin kami" sambungnya.

Seorang pria kemudian melepaskan kain putih yang membungkus bagian bawah totem. Aku terbelalak dengan apa yang kulihat. Sebuah batu mirip penis mengacung dari bawah kaki totem. Panjangnya kira-kira 21 centimeter, diameternya sekitar 5,5 centimeter. Apakah benda itu yang akan membuka segel perawanku? Dengan panjang seperti itu, kira-kira muat nggak ya?>,<

Eyang Simo mengoleskan minyak ke penis batu tersebut. Katanya, minyak itu terbuat dari lemak dari potongan paha dan tanganku. Dua orang pria mengangkat lalu membalikkan tubuhku. Aku bisa melihat puluhan pengawal duduk bersila membaca doa-doa. Aku menundukkan kepala, melihat ujung penis batu itu dibawah memekku. Aku seperti boneka hidup yang siap untuk dipersembahkan ke dewa mereka, dewa Moro.

Selendang diturunkan, hingga permukaan memekku membentur penis batu. Pelan tapi pasti, ujung batu membelah labia minora, disusul labia mayora.

"Aaaaaww…sakit aaaaw" ucapku sambil meringis. Tapi orang-orang di hadapanku tetap memanjatkan doa.

"Dewa Moro, aku rela berkurban untuk kesejahteraan rakyat Moroji, karena itu.. mohon terimalah hamba" ucapku lirih dengan mendongakkan kepala menghadap puncak totem berkepala burung elang.

SLEEEEBBB

Badanku diturunkan. Seketika aku menjerit memekik, rasanya sakit sekali. Sampai-sampai aku merasakan ujung penis ini menyundul servik. Penis totem dewa Moro telah merenggut keperawananku.

Oohh… Seperti inikah rasanya jadi pengantin?

Aku lemas, kepalaku langsung tertunduk. Kulihat bercak-bercak darah yang menempel di pangkal penis arca. Pandanganku langsung buram, kemudian gelap….

……

……

Memekku terasa dientotin. Siapa? Siapa yang ngentotin aku? Aku membuka mata. Sepasang payudaraku diterkam tangan keriput dan besar dari belakang.

GRRRRRHH…..GGRRRRRHHH

Suara nafas di belakangku.

Tiba-tiba aku merasa penisnya berkedut. Dia akan muncrat!!! Seketika perutku menggembung. Uuughhhh sepertinya perutku akan meledak.

AAAAAAAARGG

Aku menjerit.

…….

…….

Apa? Apa yang terjadi? Saat membuka mata, hari sudah gelap. Oh ternyata itu hanya bunga tidur. Aku menghela nafas.

Aku sendirian di kuil yang diterangi oleh cahaya pelita dari sudut-sudut ruangan. Walaupun tidak terang, tapi cukup untuk menerangi pandanganku. Aku masih dalam posisi yang sama. Tubuh terduduk menancap pada penis arca. Selendang di pinggangku mengikat ke arah belakang, melingkari totem. Membuatku tidak bisa bergerak dan tetap bersandar padanya. Di selangkanganku terdapat selang bening kecil yang menancap di lubang kencingku, mengalir ke bawah di sebelah kiriku dengan ujung menuju wadah aluminium yang telah terisi cairan kencingku. Lubang anusku juga seperti dimasukin selang dengan ukuran lebih besar mengarah ke samping kanan. Mungkin pemuja dewa Moro tidak ingin aku sampai mengotori dewa mereka.

Didepan bawahku, terdapat piring yang terdapat potongan daging yang masak. Warnanya coklat kehitaman. Aku terperanjat, ternyata itu adalah potongan paha!! Mungkin itu adalah pahaku, karena dari ukurannya seperti ukuran pahaku!! Mereka membuatkan sesajen untuk dewa Moro!!!

Sambil mengamati sesajen itu, terdengar denging suara di sekitarku. Oh, aku mendapat kunjungan hewan penghisap darah. Ia terbang dan mendarat di bongkahan payudara di atas areola kanan. Tak berselang lama, 3 nyamuk hinggap di perut, pundak, dan pantat kiri.

"Iiihh kalian ini…jangan hisap darah aku dong. Hisap binatang aja sana"

Mereka tidak menghiraukan ucapanku.

"Ya sudah. Mumpung aku lagi baik. Hisaplah sepuasmu ya nyamuk, ini adalah rejekimu. Jika aku punya tangan, pasti kamu akan mampus. Hihihi"

Nyamuk yang di payudara kananku terlihat menggembung besar, lalu ia pergi disusul rekan-rekannya.

Pintu depan terbuka. Ternyata eyang Simo bersama 20 orang datang. Mereka melakukan sembah sujud, lalu dua pria mendekat dan dan melepaskan ikatan yang mengikat dan mempersatukanku ke totem. Selanjutnya melepas kateter dan selang feses di anusku.

"Aah...aaaahh..sa...sakit…" aku meringis saat dua pria mengangkat tubuhku, melepaskan penis arca yang tertanam di memekku. Walaupun mereka mengangkatnya dengan hati-hati dan pelan, tetap saja terasa nyeri.

Lambat tapi pasti, akhirnya aku lepas dari penis itu. 2 orang pria menyusul, memegang 4 ujung selendang mengangkatku pergi dari kuil ini. Aku diarak menuju selatan. Lagi-lagi dalam perjalanan selangkanganku membentur dan bergesekan dengan rerumputan. Sampai akhirnya memasuki kawasan rumah, orang-orang berjajar di pinggir jalan sambil melempari beras kuning ke arahku. Entah perasaan apa yang ada didalam diriku, aku memasang wajah senyum diarak telanjang ke arah mereka. Banyak yang menatap tajam ke bagian tubuh sensitifku, tapi aku tak menghiraukannya. Aku diarak ke sebelah Barat. Disana terdapat ruang terbuka dan totem batu yang berlumut dan dipuncaknya berbentuk kepala angsa. Dibawahnya juga terdapat penis. Berbeda dari totem dewa Moro yang merupakan dewa segala dewa. Kata eyang Simo totem ini adalah dewa penjaga Barat. Ukuran penisnya kecil, tapi berlumut dan sudah mengering. Di sampingnya ada sesajen dari potongan talapak kaki kananku yang sudah dimasak.

Seperti sebelumnya, eyang Simo mengoleskan minyak dari lemakku ke penis itu. Mereka meletakkan tubuhku bersandar pada totem lalu diturunkan hingga penis dewa ini masuk tertanam dalam liang vaginaku. Ke 20 orang yang dipimpin eyang Simo, ia berkomat-kamit memanjatkan doa. Tidak lama, mungkin sekitar 10 menit. Lalu tubuhku diangkat dan diarak menuju Timur. Kami juga disambut warga dengan melempar beras kuning ke tubuhku.

Totem dewa penjaga Timur dengan puncak berkepala ular yang di sampingnya terdapat sesajen dari telapak kaki kiriku yang sudah dimasak. Totem ini berbeda dengan sebelumnya. Arca di bagian bawa bukan berbentuk penis, tapi kerucut. Selain berlumut, tetap saja mengerikan. Diameter bagian bawahnya lebar!!

Eyang Simo mengoleskan minyak lemak terus mendudukkan tubuhku ke kerucut itu. Aku menjerit kencang. Walaupun tidak panjang, tapi bagian labiaku melar dan sudah mencapai batas maksimal elastisitas. Ujung batu kerucut sampai menyundul lubang servikku. Kalau lebih besar dari ini, sepertinya bakalan robek. Apalagi kalau lebih panjang, bisa-bisa lubang servikku rusak. Uuggh >,<

Setelah memanjatkan doa, aku diangkat diarak menuju ke totem terakhir, dewa penjaga Selatan. Kami disambut oleh warga dengan melempar beras kuning lagi. Kami melewati persimpangan ke arah rumah mbah War dan mbah Sul, kami berjalan lurus sedikit lalu belok kiri. Disana berdiri totem dewa penjaga Selatan dengan sesajen berupa separuh dari potongan betisku yang sudah dimasak. Puncak totem berkepala kambing. Menyeramkan!!! Bukan karena bentuk totemnya, melainkan bentuk tongkat untuk masuk ke liang vaginaku. Ujungnya tumpul seperti bola dipotong menjadi dua bagian, tapi di sisi-sisi batang arca itu terdapat bentol-bentol seperti kulit buah ihau. Tidak sepanjang dan sebesar totem Moroji, tapi warna arcanya hitam dan berlumut lebat.

Eyang Simo mengoleskan minyak dari lemakku, lalu memposisikan selangkanganku di atasnya hingga ujungnya menyentuh permukaan memekku.

"Dewa Selatan paling aneh. Mungkin gak pernah dibersihkan ya sampai berlumut gitu. Sini-sini aku bersihkan pakai memekku. Aku kan pengantinmu. Hihihihihi" ucapku dalam hati sambil mendongakkan kepala melihat ujung atas totem.

"Aaaaaaaaaaaawwww...sa..sakit...uuhhh" teriakku tiba-tiba mereka melepaskan pegangan pada tubuhku hingga benda itu menyeruak masuk ke memekku. Uuhgg >,<

Setelah mereka berdoa, mereka langsung mengangkat tubuhku. Aku melihat di penis arca itu sebagian besar lumut rontok. Pasti lumut-lumut itu berserakan di dalam memekku. Ugghh >,<

Kami melanjutkan perjalanan ke arah Utara. Tubuhku diarak lagi. Mbah War didepan dan mbah Sul berdiri disamping jalan. Mereka berdua bukan melempar beras kuning, tapi mereka menyambutku dengan meletakkan suatu benda. Agak samar, tapi setelah dekat. Benda itu adalah benda aneh berbentuk penis berwarna hitam yang kutemukan di samping tempat tidurku, dekat dengan ubi jalar yang disediakan untukku. Menurut eyang Simo, penis itu adalah penis galih asem dari pasangan suami istri dari garis leluhur laki-laki. Penis itu diawetkan kering hingga menjadi fosil.

4 pengawal yang memegang selendang menempatkan tubuhku di atas fosil penis yang tegak berdiri diletakkan di tengah jalan. Perlahan selendang diturunkan ulur, otomatis tubuh turun hingga seluruh penis fosil itu masuk ke memekku. Saat di angkat, fosil itu lengket ikut terangkat bersama memekku. Eyang Simo mencabutnya lalu menyerahkannya ke mbah War. Terlihat cairan minyak lemak dan lumut di fosil itu. Hihihi

Setelah melewati gapura, banyak warga yang meletakkan fosil penis. Kukira cuma mbah War. Ternyata seluruh penduduk meletakkan penis fosil dari berbagai ukuran di tengah jalan. Awalnya jarak penis itu sekitar 10 meter, lama-lama semakin ke tengah aula, penis berjajar hampir tiap 1 meter. Entah, sudah berapa fosil penis yang masuk ke memekku hingga aku sampai di tengah alun-alun. Aku di letakkan di depan totem yang terbuat dari kayu. Pertama kali lihat totem ini waktu ke pasar bersama mbah Sul. Tidak ada penis atau benda aneh.

Duh, mereka meletakkan tubuhku begitu saja sambil dalam keadaan tegak. 4 pengawal cuma memegangi selendang agar tubuhku tetap tegak. Karena area ini hanyalah tanah, selangkanganku menumpu pada tanah. Apalagi, memekku bersentuhan dengan tanah. Uughhh mereka ini. Memekku kan jadi kotor. >,<

Seluruh warga dari berbagai kalangan hadir dihadapanku. Eyang Simo berorasi, sesuai wangsit yang diterima, masa ovulasiku bertepatan dengan bulan purnama. Jadi, mulai pagi ini sampai 7 hari kedepan mereka akan melakukan penanaman benih untuk calon pemimpin desa Moroji, dilanjutkan inseminasi. Mereka bersorak gembira. Aku kemudian diangkat, diarak kembali menuju rumah pengantin. Disana, segala perhiasan ditubuhku dilepas, rambut kepalaku dicukur habis tanpa tersisa sehelai rambut. Lalu di sendang belakang, tubuhku dimandikan oleh 2 nenek. Aku direndam sambil digosok. Memek bagian luar dan dalam juga dibersihkan. Jemari keriput mereka bergantian membersihkan memek, payudara, wajah, serta seluruh permukaan kulit dan rambutku.

Aku mentas, kemudian ditidurkan telentang disebuah peti dari kayu. Ukuran panjang peti kira-kira 80 centimeter, dari tulang pinggul sampai ujung kepala. Aku merasa agak sesak, karena pas banget lebar peti dari pinggul kiri ke pinggul kanan. Pinggulku serasa terkunci di peti ini. Lalu salah satu nenek memasang bantal tipis di kepala.

Beberapa menit kemudian dua orang perempuan lain mendekatiku, ia membawa sebuah selang kecil. Salah seorang memposisikan tubuhku dengan Semi Flower, yaitu posisi kepala diangkat 30 sampai 40 derajat. Diletakkan handuk kecil di dadaku. Aku lihat salah satu perempuan yang memegang selang sedang mengukur panjang selang dan mengolesi gel bening. Sepertinya selang itu akan digunakan sesuatu pada tubuhku.

"Rileks ya dik. Atur nafas pelan-pelan" ucapnya.

Akupun mengikuti apa yang diperintahkan. Beberapa saat kemudian, ujung selang tersebut dimasukkan ke lubang hidung.

"Aaaa…" jeritku pelan.

"Tahan Tahan" ucap salah satu perempuan yang memegang selang.

Ujung selang ini dimasukkan terus, hingga kurasakan ujung selang lentur ini berbelok ke tenggorokanku. Ia dorong dan menekan sambil salah satu dari mereka menempelkan stetoskop di dadaku. Ia juga memerintahkanku untuk menelan.

Aku merasakan ujung selang ini masuk dalam sampai tenggorokanku, hingga beberapa detik kemudian aku merasa ujung selang ini masuk ke lambungku.

"Cukup..cukup" ucapnya. Mereka kemudian melepaskan kepalaku dan aku kembali tidur telentang di peti, kemudian memasang sekat dari papan kayu dengan lubang di sisinya bawah berbentuk ∩ dipasang di leherku, memisahkan kepala dan bahu.

Ujung selang dari hidungku ia masukkan ke lubang kecil di peti dekat kepala kiriku, tembus hingga ujungnya disambungkan ke sebuah wadah berbentuk silinder berwarna bening dengan diameter sekitar 18 centimeter dan tinggi 40 centimeter yang tergantung di sebelah kiriku dengan posisi lebih tinggi dari tubuhku.

Seorang pria paruh baya menghampiriku. Ia membawa sebotol air. Kemudian ia menuangkan isi botol itu ke wadah di samping atasku. Cairan itu kemudian turun melalui selang, masuk ke hidung sebelah kiri. Lalu perutku terasa dingin. Cairan itu kini masuk ke perutku. Sekarang aku paham. Selang itu mirip selang Nasogastrik yang digunakan kepada pasien yang sulit menelan makanan. Mereka menggunakan selang itu untuk memasukkan makanan dan minuman langsung ke perutku.

"Sekarang adik tidak perlu khawatir tentang asupan makanan yang masuk ke perut adik. Kami semua yang akan bertanggung jawab atas kondisi dik Sarah sampai ritual selesai" ucap pria tersebut lalu pergi.

"Pemasangan sudah selesai" ucap 2 perempuan tersebut kepada eyang Simo, lalu mendekatiku.

"Sekarang sudah masuk ke ritual selanjutnya ndhuk. Seluruh pria dari desa ini akan menanam bibit selama 7 hari tanpa berhenti, dilanjutkan proses inseminasi pada hari ke 8. Tepat saat bulan purnama bersinar di atas desa ini." ujar eyang Simo.

"Iya eyang, silahkan dilanjutkan. Aku siap diperlakukan apa saja demi kemaslahatan penduduk desa Moroji" ucapku tersenyum. Eyang Simo membalas dengan tersenyum juga.

"Apa semua pria itu termasuk anak kecil sampai tua ya eyang?" Tanyaku penasaran.

"Tidak ndhuk, lelaki matang dari usia 18 tahun keatas yang boleh ikut" jawabnya.

"Kenapa gak langsung dimulai eyang? Hihihi"

"Nunggu fajar pagi muncul, sekitar 1 jam 23 menit lagi ndhuk" ucapnya.

Oh gitu. Di samping kiri, seorang wanita memasukkan cairan hijau pekat di wadah nasogastrik. Cairan itu kemudian masuk ke selang nasogastrik melalui hidung sampai terasa hangat di lambungku. Selang ini seperti irigasi khusus untuk lambung tanpa bisa merasakan pahit, masam, manis, dan asin.

1 jam 23 menit kemudian, proses pelaksanaan penanaman benih yang ditunggu-tunggu dimulai. Mereka sepertinya sedang antri ingin mencicipi memekku. Eyang Simo pergi keluar ruangan ini. Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang membuka pintu. Aku tidak bisa menunduk untuk melihat, karena terhalangi peti dan sekat di leher. Jadi, aku hanya mengandalkan suara dari derap langkahnya yang mendekat dari arah Barat. Ia kemudian mendekat di samping kananku, terlihat dia ternyata seorang kakek-kakek.

"Ndhuk, saya pak Marto yang akan menanam benih ke rahim gendhuk" ucapnya sopan.

"Iya mbah, silahkan" ucapku

"Ngomong-ngomong mbah umur berapa?" Lanjutku.

"Usia saya 112 Tahun" ucapnya.

Wooow, usianya tua banget. Kuperhatikan dia melepaskan pakaiannya. Menunjukkan penis keriput yang sudah tegang dan tidak disunat. Ketika kulupnya ditarik ke pangkal, smegmanya banyak banget dan bau busuk. Hiiiiiiy… seperti apa memekku ntar kalau dimasukin itu, bakal infeksi nggak ya. Hiiiiy…

"Saya mulai ya ndhuk" ucapnya sopan sudah di selangkanganku.

"Iya mbah Marto, silahkan" ucapku.

"Ndhuk, saya malu kalau ekspresi wajah saya keliatan. Saya tutup ya ndhuk?"

"Iya nggak apa-apa mbah, silahkan ditutup" ucapku.

Kemudian peti bagian kepala ditutup rapat. Hanya ada tiga lubang ventilasi di kiri, kanan, dan ubun-ubun. Untuk pertama kalinya, aku dientot. Tapi, bukan pria seumuranku, melainkan pria tua.

"Aaaahh" desahku merasakan penisnya menyeruak masuk membelah labiaku.

"Aaaawww.." jeritku saat ia menyodok kencang.

Uuhgg kasar banget. Untunglah memekku sedari tadi sudah basah. Tangan kasar kakek ini meremas-remas sepasang payudaraku. Lalu memilin putingku. Aku tidak bisa miring atau telungkup, yang ku bisa hanyalah perutku yang kugerakkan melengkung. Aku kini menjadi pengantin sekaligus boneka sek bagi penduduk ini.

Tak terasa pompaan sodokannya semakin kencang. Aku mendengar lenguhan suara kakek ini, kemudian dinding vaginaku terasa hangat sampai meluber merambat di anusku lalu jatuh menetes. Sepertinya sudah selesai. Kurasakan penisnya dicabut.

"Terimakasih ya ndhuk" ucapnya dengan membuka penutup peti kepalaku.

"Sama-sama kek, semoga peju kakek berhasil membuahi sel telurku" ucapku manja sambil tersenyum. Kakek itu tersenyum lalu meninggalkanku keluar.

Selanjutnya datang orang kedua. Ia mengenalkan diri padaku, dari nama dan umur. Seperti sebelumnya, aku mempersilahkan untuk membuahi sel telurku, lalu langsung ngentotin aku. Selepasnya ia pamit dan aku mendoakan agar pejunya berhasil membuahiku.

Tak terasa hari sudah petang, dari rata-rata pria yang ngentotin aku, sebagian besar penis tidak disunat, usianya dari 112 tahun sampai 90 tahun, rata-rata ngentotnya berkisar 15 menit. Dengan demikian, sampai sekarang aku dientotin 48 orang dan orgasme sudah 36 kali. Cara ngentotnya relatif, ada yang kasar, ada juga yang lembut. Jika memekku kering, disediakan minyak nabati untuk dioleskan ke penis mereka. Saking banyaknya, aku lupa nama-nama mereka. Kecuali mbah Marto tadi. >,<

Sebelum lanjut, seorang wanita datang untuk membuang fesesku dengan memasukkan pipa di anusku lalu menyedotnya. Ia juga mengosongkan kandung kemihku dengan kateter. Aku baru sadar, ternyata dibawah selangkanganku terdapat wadah baskom. Jadi saat peju yang meluber dari memekku jatuh ke baskom itu. Uggh banyak banget dan ada smegma yanh mengambang pula. Wadah baskom berisi mani tersebut dicampur cairan kental dari sari beras, lalu ia masukkan ke wadah nasogastrik. Uuhggg kok gini sih, aku sama saja dengan minum sperma mereka. Setelah itu, dia pergi. Beberapa menit kemudian, datang antrian berikutnya yang akan menanam benih di rahimku.

Entah pada antrian ke berapa, saking capeknya aku tertidur. Aku sampai tidak kuat membuka mata saat orang yang akan ngentotin aku memperkenalkan diri mereka. Aku juga tidak tahu berapa jam aku tertidur. Entah, saat aku tertidur, berapa orang yang ngentotin aku. Aku bangun saat seseorang yang ngentotin aku memperlakukanku secara kasar. Klistorisku dicubit dan ditarik. Sampai hari telah berganti, dan fajar pagi muncul.

Paginya, eyang Simo datang. Ia menjelaskan, bahwa antrian ngentotin aku di mulai dari yang paling tua. Ia datang untuk melihat kondisiku. Aku sempat bertanya kapan giliran eyang Simo. Dia menjawab, bahwa besok adalah gilirannya. Aku diberi istirahat tidak dientot selama 15 menit pada pukul 6 pagi dan 6 petang. Selama itu ada petugas yang menyuplai perutku dengan sperma yang dicampur sari makanan. Juga menyedot feses dan urin dalam kandung kemihku.

Keesokan harinya, Saatnya giliran eyang Simo ngentotin aku. Berbeda dari kakek-kakek sebelumnya, eyang Simo bisa ngentotin aku selama 45 menit dan bisa bikin aku orgasms 3 kali. Aku sampai ngos-ngosan meladeninya.

Lusanya, datang giliran orang selanjutnya. Mungkin orang ke 280-an. Dari jauh samar-samar orang itu seumuran dengan sebelumnya. Makin lama makin dekat.

"Mm...mbah War?" Ucapku

"Iya ndhuk…" ucapnya lirih. Ia sudah bertelanjang bulat. Siap untuk menggagahiku.

"Ayo mbah, silahkan entotin aku mbah. Aku siap menampung benih dari mbah War" ucapku

"Maafkan aku ndhuk…"

SLEEBB…..

"Aaah…." Desahku saat penis mbah War menerobos masuk bergesekan dengan jaringan lipatan-lipatan dinding vaginaku yang sudah basah. Ia langsung menggoyangkan pinggul memompa memekku.

"Sshhh… Tidak perlu.. ahh.. minta maaf mbah.. aah"

"Uuooh… tempik gendhuk enak.. oohh sempit banget" lenguhnya.

"Aaah ahh.. iya mbah.. nikmati tempik aku yang dipersembahkan ini mbah.. aahh"

Gerakan pinggulnya semakin kencang mengaduk-aduk memekku. Belum genap 6 menit aku merasa penisnya berkedut dan akan muncrat.

"Ndhuuukkk...oohhh… mbah mau muncrat ndhuukk" rancaunya.

"Aaahh..Iya mbah.. muncrat aja mbah.. aahh… tempik aku siap menampung peju mbah War.. Aaaaahh"

CROOT...CROOTT...CROOTT

Aku merasakan benih-benih mbah War meluber di dalam rongga peranakanku. Lalu ia mencabut dan balik badan melangkahkan kaki meninggalkanku.

"Jangan sedih mbah War. Semoga peju mbah War bisa membuahi sel telur aku. Makasih ya mbah..Hihihi" ucapku setelah beberapa langkah meninggalkanku. Ia menoleh dan tersenyum.

Setelah keluar, datang orang selanjutnya, petani yang akan menanam benih di rahimku. Akupun menyambutnya dengan senyum.

Tak terasa sudah memasuki hari ke 5. Pria yang akan ngentotin aku umurnya kisaran 30 tahunan kebawah. Kali ini durasi rata-rata mereka ngentot sekitar 25 menit. Mereka tidak sunat semua dan penisnya panjang. Uhggg memekku seperti wadah smegma mereka. Smega yang bercampur sperma yang meluber dari memekku tertampung di baskom lalu dimasukkan ke perutku melalui selang nasogastrik. >,<

Hari demi hari, jam demi jam, tak terasa belum genap 7 hari, acara ngentotin memekku sudah selesai. Aku diperbolehkan istirahat selama sehari. Aku pikir ini benar-benar berakhir, ternyata masih ada acara ritual selanjutnya. Yaitu inseminasi yang bertepatan dengan ovulasiku dan bulan purnama.

Setelah beristirahat selama sehari penuh, mereka melepaskanku dari peti untuk dimandikan. Smegma, sperma kering, kotoran dan keringat dibersihkan. Kemudian kembali ke rumah pengantin. Di situ, tubuhku dibalut selendang. Hampir seluruh tubuhku tertutupi, kecuali selangkangan, kepala, dan sepasang payudara. Salah satu dari mereka memasukkan kateter yang panjang pada uretraku. Uuhhh sakit banget sampai aku merasa dinding kandung kemihku terbentur oleh ujung kateter ini, lalu mereka memutar tubuhku secara terbalik. Kepalaku berada di bawah sedangkan selangkanganku berada diatas. Tubuhku diikat selendang di bagian pinggang, agar posisi tetap terbalik vertikal seperti ini. Selang nasogastrik juga masih terpasang di hidungku.

"Sssshh….aaahhh"

Tiba-tiba memekku dimasuki corong besar yang digantung di langit-langit. Corong itu terbuat dari tanah liat. Dalam sekali sampai ujungnya membentur serviks, mungkin panjangnya 19 centimeter. Lalu eyang Simo menumpahkan cairan putih kental ke corong itu. Aku menundukkan kepala melihat berliter-liter cairan masuk ke corong. Aku rasakan cairan itu menggenangi dan menekan servikku.

Aku terperangah saat eyang Simo mengatakan bahwa cairan itu adalah sperma seluruh pejantan yang ada di wilayah desa moroji. Tidak hanya manusia, tapi hewan darat maupun hewan laut. Karena itulah mereka menyebut inseminasi. Padahal, jumlah kromosom manusia dan hewan kan berbeda, tentu sperma hewan itu tidak bisa menghamiliku. Tapi, kalau bisa gimana? >,<

Selanjutnya, mereka memasang selang pipa pada anusku. Saluran kateter dan selang feses yang panjang menuju ke luar. Sedangkan selang nasogastrik berada di dalam ruangan ini. Terakhir, mereka melilitkan kain pada seluruh kepalaku, memberikan saluran kecil di hidung untuk bernafas dan selang nasogastrik. Seperti mumi.

Diminuendo. Derap langkah mereka meninggalkanku. Mengapa mereka tidak menutup sepasang payudara dan selangkanganku? Sendiri. Sepi. Hanya nyanyian alam yang menemaniku. Desir gesekan dedaunan dan sebagainya. Kepalaku mulai pening. Hukum fisika. Darah tertarik gravitasi menekan kepalaku. Aku tidak bisa melihat, tidak mengenal siang maupun malam. Aku mengetahuinya hanya dari gigitan nyamuk di sepasang payudara dan selangkanganku. Selama 3 hari penuh aku di inseminasi.

…….

…….

Aku sudah tidur lebih dari 5 kali. Entah, aku tidak ingat aku kencing dan buang air besar berapa kali. Kateter dan selang di anus masih menancap. Terdengar suara pintu dibuka. Tidak terdengar langkah kaki. Tiba-tiba putingku ditarik.

"Hmmmmmmmmmhhh.." teriakku.

Ujung puting kiriku ditusuk sangat kencang dan dalam sampai ujungnya membentur ruas tulang rusukku. Begitu juga dengan puting satunya. Lalu terdengar suara pintu ditutup. Sambil meronta-ronta, aku merintih kesakitan sampai akhirnya aku lelah dan tidak sadarkan diri.

"Ingat ndhuk. Bangsa Jin dan Setan bisa meniru manusia. Mereka bisa meniru orang-orang terdekatmu, romo, ibu, bahkan dirimu sendiri. Suaranyapun mirip. Tapi ada hal yang harus kamu tahu. Mereka tidak bisa meniru bau keringat"

Aku membuka mata. Aaaaw. Iluminasi dari benda-benda yang tersinari sang surya yang masuk dari jendela menyilaukan mata. Buram, seperti mengenakan kacamata dari kaca es. Lambat laun, mataku bisa beradaptasi. Aku bisa melihat sekelilingku. Aku masih sendiri dengan tidur telentang di sebuah ranjang ukuran kecil sambil telanjang bulat. Ketika menunduk, benda yang menusuk payudara sudah tidak ada, tapi ukuran payudaraku lebih besar, dan…. Perutku membuncit!!!!!

A..Apakah aku hamil? Sudah berapa bulan? Aku merasakan sesuatu dalam perutku yang bergerak-gerak.

KREEEK…..

Pintu dibuka.

"Syukurlah sudah sadar" ucap eyang Simo. Dari belakang 4 orang wanita mendekat. 2 di sisi kiri, 2 di sisi kanan.

"Usia kehamilan gendhuk sudah 41 minggu. Kami khawatir bayi penerus desa ini terkontaminasi oleh air ketuban. Karena itu, kami akan mengambil bayi gendhuk" ucapnya.

4 wanita melepaskan selang nasogastrik, kateter, serta selang di anusku. Kemudian, mereka mengeluarkan alat dari kotak yang dibawanya. Seperangkat peralatan operasi. Seorang dari mereka menyuntik leherku. Beberapa detik kemudian aku lemas. Kulihat mereka mengenakan handscoon, dan masker. Sebuah scalpel menyayat perutku secara vertikal. Dari tulang pedang-pedangan sampai tulang pubis. Tidak terasa sakit, tapi terasa geli. Ia lakukan berulang kali. Lalu terlihat usus dan rahimku. 2 orang mengangkat rahim, kemudian salah satu dari mereka memasukkan tangan di atas sayatan kulit pada tulang pubis, lalu tangan satunya memegang scalpel. Memotong sesuatu.

SREEGG…

Terdengar suara gesekan dan geli di pangkal lorong vaginaku. Dua orang kemudian mengangkat rahimku yang utuh meninggalkan ruangan ini. Membiarkan perutku menganga dengan usus berhamburan di sisi pinggang kiri dan kanan. Eyang Simo mengucapkan mantra sambil menyipratkan air memutari tubuhku searah jarum jam selama 5 kali.

Pandanganku buram, lalu gelap……...

……

……

……

Aku… dimanakah aku? Langit berwarna putih, lantai pijakan berwarna putih, tidak ada garis horizon, tidak ada arah. Seperti ruangan yang tak terhingga tanpa bayangan diriku sendiri yang memantul dan terpantul. Seolah semua titik-titik sudut beriluminasi. Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian itu?

Dunia yang serba putih, seketika berubah penuh warna. Seperti pelangi yang bercampur aduk. Warna merah mendominasi. Apakah ini yang dikatakan romo? Percampuran warna yang melambangkan hawa nafsu. Tiba-tiba warna merah menguasai sekitarku. Oh ini nafsu amarah. Aku ingat pesan romo, apapun yang keluar jangan kau ikuti. Ikuti dua, Tuhan atau diriku sendiri. Tapi……lanjutannya aku tidak ingat. Sudah 17 ragam warna muncul bergantian. Kemudian semua menjadi gelap. Hitam pekat. Di arah kiriku ada sebuah pohon yang dipenuhi buah-buahan segar dan rindang. Lalu, tenggorokanku terasa haus dan perut keroncongan.

"Jangan ikuti ndhukk…"

Kalimat terngiang di kepalaku. Lama-lama pohon itu hilang. Lalu dari arah kanan muncul romo. Apakah itu romo? Ia melambaikan tangan memanggilku.

"Jangan ikuti ndhukk…"

Selanjutnya ibuku. Di sampingnya romo. Tetap aku tidak mengikutinya. Kemudian…di hadapanku muncul sosok diriku. Ia berdiri tegak dengan pakaian kelahirannya. Telanjang bulat. Utuh. Ada tangan, kaki, mata, telinga.

Tanpa harus berpikir lagi, aku pun mengikutinya. Aku melangkahkan kaki mendekatinya, menggapai tangannya. Aku diajak berjalan ke sebuah arah. Melangkah bersama sampai dunia gelap menjadi terang. A..aku…ada di Surga? Banyak pepohonan rindang dan bunga-bunga. Suara kicauan burung bersahut-sahutan.

Bak tirai dalam teater drama, dalam sekejap pemandangan berubah menjadi padang bebatuan, gersang dan diselimuti kabut.

"Ah...ah..aaah..oohh..oohh" desah seorang wanita di ujung kiriku.

Aku melihat wanita seumuranku sedang dientot dengan posisi berdiri oleh sesosok bertubuh kekar berkepala elang. Saking besarnya kaki gadis itu tidak menginjak tanah. Mereka menghadap ke arahku. Penis besarnya menghujam dari bawah ke atas, ke memeknya. Sodokan demi sodokan membuat sepasang payudaranya memantul mengikuti irama gaya dorong penis makhluk tinggi tersebut. Saat seluruh penisnya masuk, perut wanita itu menggembung. Lalu kedua tangannya di bentangkan, ditarik bersamaan hingga pada ketiaknya putus. Begitu juga kedua kakinya, ditarik hingga selangkangannya putus. Tangan makhluk itu memegang pinggangnya.

"AAAAAAARRRRRRGHHH" jeritan memilukan dari sang gadis.

DUAAAARRR

Perut gadis itu meledak bersamaan muncrat cairan kental dan penis yang menembus perutnya. Isi perutnya berhamburan. Makhluk itu melepas gadis itu dan melemparnya di tanah.

"Selamat datang" ucap lirih dari kananku.

Saat aku menoleh ke arah kanan, sosok kembaran diriku berubah menjadi cahaya dan bersatu bersama makhluk itu.

Aku berlari, tapi langkahku terhenti. Seperti membeku.


"Ndhukk, jika kamu buta kepada Tuhan, ingatlah dirimu sendiri. Perhatikan baik-baik cerminan dirimu. Itu adalah roh kudus. Roh suci yang membawamu kembali bersatu bersama Tuhan. Tempatmu diciptakan. Ketenangan. Itulah Surga"


Aku ingat!!! Ternyata kembaran diriku tadi mirip denganku, tapi ruas jari kelingking kirinya putus. Sial!!!! Aku tersesat dan terjebak!!!

"Wahai budakku. Sini, kemarilah. Giliranmu memuaskanku" ucapnya.

Tidak ada jalan lain, inilah kehidupanku. Sebagai pemuas nafsu.

"Baik tuan" ucapku menghampirinya.

Saat mendekat, muncul sebuah tubuh wanita tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa lengan yang berwarna coklat gelap dengan uap panas muncul di sekujur tubuhnya. Perutnya besar. Makhluk itu mengambil hidangan yang ada dihadapannya, dan menyantap dari pinggul kebawah.

"Dagingmu sangat lezat hahaha" ucapnya.

"Sini coba cicipi" lanjutnya dengan mencongkel salah payudara kiri didepan wajahku. Aku membuka mulutku lalu memakannya.

"Ini adalah persembahan terbaik dari desa Moroji. Muda dan empuk. Hahahaha"

Aku tak menyangka bahwa itu adalah tubuhku sendiri. Dimasak dan dijadikan persembahan. Setelah melahap habis daging payudara di mulutku, lalu pinggangku diangkat dan langsung memekku dihujam oleh penis yang mengacung tegang.

"Aaaaah….ahh...ahh" desahku saat penisnya mengaduk memekku.

Benar apa yang dikatakan makhluk ini. Tubuh gadis yang hancur itu sedikit demi sedikit pulih. Paha, tangan, jeroannya seperti bergerak sendiri kembali ke tubuhnya.

"AAWWWWW...SAKITT"

Kedua tangan dan kakiku lepas, perutku menggembung lalu meledak. Beberapa detik kemudian aku dilempar begitu saja di tanah berbatu dan panas. Aku tidak bisa bicara, pandanganku tidak bisa menutup. Rasa nyeri di tubuhku terasa menyakitkan. Perih. Panas. Inilah kehidupanku, tersesat dan kekal sebagai budak makhluk sampai sangkakala malaikat Israfil ditiup.

DIA MILIKKUUUUUU!!!!!

Teriak pekik nyaring sekali membuat dia terhempas jungkir balik, lalu melarikan diri diantara kabut. Makhluk yang sama dengan tubuh yang lebih besar bermahkota muncul di hadapan kami.

"Tenang cantik, sekarang kamu dalam kuasaku. HUAHAHAHAHAHAHA"

Tangan kiriku ditarik. Dengan sekejap aku berada di tempat lain. Disebuah tempat didekat danau yang ditumbuhi kiambang yang tumbuh di pinggir danau.

"Wanita tadi siapa tuan Moro?"

Dia itu tumbal yang gagal dalam melakukan ritual. Aku diajak jalan-jalan sambil telanjang bulat. Disebuah ruangan indah, diatas ranjang tertidur seorang bayi laki-laki tampan dibedong. Lalu, tak terasa aku berada disebuah tempat. Bukankah ini alun-alun desa Moroji? Ramai sekali disini. Aku mendekat.

Aku melihat seonggok daging yang sudah dimasak. Diatas totem di tengah alun-alun, terpasung kepalaku.

"Itu adalah jasadmu" ucap dewa Moro.

Aku nangis, aku berlari. Sampai di gapura Selatan, aku membentur dinding yang transparan.

"Kamu tidak bisa lari. HAHAHAHAHA" ucap dewa Moro.

SRIIING…..

Tiba-tiba pandanganku terlempar diudara lalu jatuh didekat dinding gapura menghadap ke Utara. Tidaak!!! Kepalaku dipenggal. Beberapa detik kemudian, barulah leherku terasa sakit. Sakit sekali. Aku bisa melihat tubuh telanjangku terhuyung mau jatuh. Sebelum jatuh, dewa Moro memegang pinggangku, mengangkatnya lalu ngentotin memekku dari belakang sambil berdiri menghadap ke arahku. Walaupun kepalaku lepas dari badan, aku bisa merasakan penisnya yang mengobok-ngobok liang vaginaku. Aku mendesah karena dientot dan kesakitan karena leherku terpenggal.

Aku dilangkahi oleh seorang wanita berjilbab modis. Sepertinya bukan warga sini. Dia melangkah ke Utara menembus tubuhku dan dewa Moro yang sedang ngentotin aku. Dompetnya jatuh. Ia berbalik badan mengambil dompet. Aku mengamati raut wajahnya.



La..Laras..??






○●●»»TAMAT««●●○
 
Terakhir diubah:
Anjirrr, ane skip pas Linda di otopsi, ngilu master. Btw, congrats yee udh rilis. Overall keren, ide cerita okelah, apalagi pas otopsi & mutilasi hidup2, sex scene ga dapet ngacengnya, hehehe, penjelasan latar belakang Sarah kurang jelas , ortu meninggal pas dinas di jember itu Sarah berumur 10, berarti masih SD, trs gmn bs sekolah bareng Laras di malang dgn ortu asuh di jember? Soal musik ane salut, dibuat sangat detil buat ane yg kurang paham intrumen mereka. Ada video juga, ini salah satu gaya penulis kekinian di SF Cerpan. Kurangnya buat ane sih di tanda baca titik (.) di akhir kalimat langsung, banyak yg ga dikasih. Juga ada typo di keterangan subyek pas dialog,,, aduh lupa kan tuhh, oh iya, pas ngomongin manusia miskin dan manusia tidak menghargai, hehehe. Semoga dapet penilaian yang bagus dari para juri.

Rating 9/10.
 
Terakhir diubah:
Woaaa... suhu inspirasi nubie... keren suhu... tapi bener, untuk adegan sx scenenya kok kaya kurang ya, apa karena susah ngebayangin sama cewe yang dibuntungin ya, mgkn buat nubie lebih ok kalo gak ada adegan tangan kaki dimutilasinya, tapi tetep keren suhu, salut
 
Apaan sih cerita ngga jelas,imajinasinya kejauhan. Bikin konten ngga bisa dinikmatin gini
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd