Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Suatu Siang II

murbaut

Tukang Semprot
Daftar
15 Feb 2011
Post
1.495
Like diterima
474
Lokasi
sby
Bimabet
lanjutan suatu siang I


Suatu Siang2

Suatu nada sms terdengar dari hp – ku, “Mas..saya mau pesen 20 gelas dan 10 botol kecil. Dikirim ke jalan Bukit Mas..Totalnya berapa Mas?”. “Dari siapa ya ini..”, aku bertanya – tanya, lalu kubalas “Maaf..dari siapa ya ini?”. “Wah.***k disimpen nih nomer saya..Fani, temennya Lis”, balasnya. “Oo..Tante Fani tho”, kubalas lagi “Maaf Tante..nomernya kehapus. Saya itung bentar ya Tante”. “Gitu ya..kalo nomernya Lis pasti gak kehapus”, sms datang lagi dengan ditambahi emoticon di akhir kalimat. “Waduh..apa maksudnya nih..bales gak ya..”, aku mengerutkan dahi. “Totalnya 150ribu Tante. 1jam lagi saya kirim, terima kasih banyak. Tapi, yang tadi maksudnya gimana Tante?”, aku sms Tante Fani. “Segitu ya, nanti tak siapin. Gak ada maksud apa2 sih..cuma..sebagai sesama wanita aku bisa ngrasain ada yang lain..Maaf lho ya kalo salah”, Tante Fani membalas lagi. Deennggg..suara genta memenuhi kepalaku. “Wah.***wat..ketauan kayaknya. Tapi..kan udah kita usahain sewajarnya. Pusing aku..”, aku takut dan bingung jadinya. “Coba sms lagi, Ah.***k ada apa2 kok Tan. Emang ada apa sih?”. “Dee..pura2 nih..Sorry ya tak goda..pandangan orang yang sayang sama biasa aja kan beda. Nah..yang tak liat tu gitu..he3x”, balas Tante Fani. Lama aku tidak membalasnya, ”Tante jangan bilang siapa2 ya..pliss. Aku..salah..kita memang sayang dan tau posisi masing2. Kalo sampe ada yang tau lagi..kasihan Mbak Lis. Plis ya Tan..”, pintaku dengan sangat. ”Tu kan..Iya..aku gak kan bilang siapa2. Tenang aja..aku bisa memahami dan ngertiin kok”, Tante Fani membalas. ”Makasih banyak ya Tan..moga gak ada apa2”, balasku. ”Amin..eh..hi3x. Tak tunggu ya nanti”, sms lagi Tante Fani. ”Iya Tan..sekali lagi..makasih banyak sekali..”, sms penutup dariku. Aku agak termenung, ”mungkin frekuensi aku datang ke acara2 kayak arisan harus kukurangi. Aku gak mau Mbak Lis jadi kenapa2..bisa ke mana2 nanti dampaknya. Nanti aku jelasin Mbak Lis pelan2..moga bisa ngerti..hhuufff” dan nafas pun terhembus pasrah.

Siang itu aku kirimkan pesanan juice Tante Fani. Daerah situ termasuk kawasan lumayan elit. Pagar – pagar rumah ada yang tinggi ada yang tidak memakainya. Sepeda motor aku standard tengah, kemudian mencari tombol bel pintu, ”ting tong..ting tong”. Sesosok perempuan setengah baya keluar dari garasi, “cari siapa Mas?”. “Ee Tante Fani ada? Dari Iwan..anter pesanan juice”, jelasku. “Oo..iya sudah ditunggu Ibu..silakan masuk”. “Makasih Mbok..”. “Sepedanya dimasukkan saja Mas”. “Cuma sebentar kok..”. “Disuruh Ibu gitu..”. “Oo..ya udah”, sambil kustarter sepeda lagi karena halaman masuknya agak tinggi dari jalan depan rumah. Kemudian aku turunkan 2 cooler dari sepeda motor, lumayan berat karena masing – masing penuh isinya. “Ditaruh mana Mbok ini?”, saat si Mbok masih menunggu aku. “Lewat pintu samping saja Mas..nanti saya bukakan”, jawabnya dan kembali masuk ke garasi.

Sambil menunggu dibukakan pintu samping, aku mengamati rumah Tante Fani. “Hmm..luas juga dan terawat. Kapan ya punya kayak gini..”, aku menghayal.
Terdengar pintu dibuka, kutengok ternyata si Mbok “Masuk Mas..saya bawakan”. “Berat Mbok..satu aja. Satunya aku”. Si Mbok masuk dulu baru aku. “Cocok sama depan tadi. Dalemnya juga bagus..kinclong..he3x”, aku berkata sendiri saat mengamati ruang tamu dan sebagian ruang lainnya. Si Mbok membawa 1 cooler ke dalam, mungkin ruang makan, lalu kembali membawa satunya. “Sebentar saya panggilkan Ibu Mas..duduk dulu”, kata Mbok. “Oh ya..makasih Mbok”. Mbok berjalan ke ruang dalam lalu naik dan terdengar ketukan di pintu, tak kudengar apa yang ia bicarakan pada Tante Fani. Sambil menunggu, aku membaca majalah yang teratur di bawah meja tamu. Karena asyik membaca, suara langkah kaki Tante Fani tak kudengar. “Lama nunggu saya Mas Iwan?”. Aku menengok, “oh..Tante..maaf. Nggak kok..”. Tante Fani memang pantas untuk selalu dilirik lelaki normal. Walau aku tamu biasa, ia mengenakan pakaian yang menurutku termasuk bagus. Bajunya model terusan; berbelahan dada sedikit rendah dan lebar; lengannya agak pendek; berwarna biru telur asin; panjangnya sedikit di atas lutut; bagian bawah berlipit tidak banyak dan bersabuk putih. Kakinya cukup jenjang; putih dengan rambut – rambut halus di kaki dan lengannya ( my fave ); bibir tersaput lipstik merah muda tipis; dada terlihat penuh; pinggang yang masih ramping; pantat belum terlihat.

Tante Fani lalu mengulurkan tangan kanannya dan kami bersalaman. “Gimana kabarnya Mas..“, dengan senyum saat telah duduk di depanku. “Baik Tante. Juicenya sudah dibawa Mboknya tadi ke dalam“. “Oh ya..terima kasih ya mau nganterin. Lho..gimana Mbok belum nyuguhkan minum..Minum apa Mas?“, Tante Fani bertanya ketika akan ke dalam menyuruh Mbok membuatkan minum untukku. “Terserah Tante..asal jangan air hujan..“, sambil nyengir. “Ah bisa guyon juga Mas Iwan..tunggu ya“. Terdengar suaranya, “Mbookkk..“. Tak lama kemudian Tante Fani kembali menemuiku, “maaf ya Mas..Mboknya kadang lupa buatin minum“. “Gak pa2 Tante.“. “Oh ya..jangan panggil Tante ya..masak udah keliatan tua sih. Mbak aja ya..biar deket rasanya“. “Emm..nggak enak Tante..nanti didengar orang..“, belum sempat aku lanjutkan Tante Fani menyela, “kalo pas sama Mbak aja..kalo ada orang Tante..ya..awas kalo nggak“; ancam Tante Fani sambil tersenyum. “Eee..terserah deh..Tan..eh..Mbak“, kataku sambil garuk – garuk kepala walau tidak gatal. “Nah..gitu..kan enak dengernya“.

Suara sandal terdengar dari balik tembok di belakang Mbak Fani, rupanya Mbok membawakan 2 gelas es sirup. “Ayo diminum Mas..“. “Iya Tante..“, aku memanggilnya begitu karena masih ada Mboknya. “Nggak kesusu pulang kan Mas Iwan?“. “Yaa nggak tau Mbak..ada perlu lain lagi sama aku?“. “Nggak sih..di luar agak mendung. Biasanya sih mau hujan“. Aku lalu memandang ke langit dari jendela ruang tamu yang besar, memang terlihat agak mendung. “Kalo gitu aku cepet pulang aja Mbak..kalo kehujanan nggak enak“. “Kok jadi kesusu beneran..Ya udah deh..tak ambil duitnya juice dulu ya“, Mbak Fani terlihat sedikit kecewa lalu kembali naik. Ia mendekatiku yang masih duduk membaca majalah lagi saat akan menyerahkan uang. “Glek..dadanya memang masih montok..kencang juga dan putih..“, aku sempat memandangnya dari samping, sebab belahan dan lebar bajunya yang sedikit lebar walau masih tertutup BH warna putih berenda. Mbak Fani mungkin tahu mungkin tidak, “ini Mas..150 ya..“. “Iya Mbak..makasih banyak“.

Tiba – tiba “duer..“, suara petir terdengar dekat rasanya. Lengan kananku dicengekeram dan Mbak Fani agak kaget, ”ya ampun..kencengnya..Eh..maaf Mas..habis kaget”. Mbak Fani melepas tangannya dan tersenyum malu, ”nggak pa2 Mbak..biasa cewek..”, kataku sambil tersenyum. Dan lampu pun padam, ”lhoo..kan..aduhhh..gimana nih”, Mbak Fani terdengar khawatir dan memandangku. ”Lama nggak Mbak biasanya mati lampu gini ?”. ”Yaa gak tentu..Mana pada keluar lagi. Temenin dulu ya Mas..moga2 sih sebentar matinya..ya”, Mbak Fani agaknya tipe penakut jika tidak ada orang di rumah saat listrik mati. ”Emm..ya mau gimana lagi.***k pa2 deh”. ”Kok nggak ikhlas gitu kayaknya..ya udah gak pa2 aku sendiri”, Mbak Fani sedikit kecewa dan kesal. ”He3x..lha iya Mbak.***k pa2. Ikhlas aku..bener..”. Matanya masih memandang antara tidak percaya dan memohon, tangannya diletakkan di pangkuan dan diremas – remas. Aku lalu mendekatinya, ”bener Mbak..suer..Udah.***k usah khawatir”, lalu kupegang dua tangannya yang di pangkuan. ”Makasih ya Mas..aku memang panik kalo mati lampu gak ada orang di rumah”.

Aku lepas tangannya, ”nggak ada lilin ta Mbak..atau lampu emergency ?”. ”Si Mbok yang hapal..aku lupa di mana taruhnya. Mbookk..Mbookkk..duh..di mana lagi dia”. Seberkas cahaya lilin datang dari belakang Mbak Fani. Mbok ternyata sudah membawa 1 batang lilin besar dengan tempatnya, ”ini Bu lilinnya” dan diletakkan di meja tamu. ”Mbok..ambil lilin lagi ya. Taruh di sebelah sana..terus di atas. Lainnya Mbok taruh di belakang”. ”Iya Bu..”. ”Minumnya Mas..sampe lupa”. ”Iya Mbak..santai aja”, sirupnya rasa melon. ”Pembantu cuma Mbok aja tho Mbak ?”. ”Tiga sih..1 keluar sama anak2, satunya ada perlu di desa”. ”Ya iya sih.***mah kayak gini gak mungkin cuma 1 pembantu”, pikirku. ”Kalo sore atau sampe malem gimana Mbak ?”. ”Yaa..kayaknya sih nggak. Pokoknya Mas nunggu aku..nanti tak telponnya anak2..jam berapa balik”. ”Yaahh..gimana ya. Anak2 ditelpon dulu aja Mbak”. ”Tak telponnya dulu..ayo temenin”, sambil menggandeng tangan kananku. Telpon rumah ternyata ada di pojok dekat tangga, jadi sedikit gelap suasananya. ”Ndri..jam berapa balik. Mama sendirian..lampu mati juga”. ”Oo..nama anaknya Andri”, batinku. ”Kok gitu..ya udah..cepet selesaiin terus pulang”. Setelah meletakkan gagang telpon, Mbak Fani berkata, ”Mas..anak2 balik abis Maghrib..masih asyik main..liburan sih”. Kepala kugaruk – garuk lagi, ”yaa..gimana lagi.***k pa2 Mbak..jadi sebelum Maghrib aku udah pulang..nggak enak sama anak2”. ”Makasih banyak ya Mas..ngrepotin”. ”Nggak Mbak..menolong tu kan wajib selagi bisa”.

Kami lalu kembali ke ruang tamu. Sebelum duduk, aku bertanya, ”Mbak..kamar mandi di mana..mo pipis”. ”Itu Mas..sebelah telpon tadi..deket tangga”. Aku lalu menuju kamar mandi. Selesai pipis, aku keluar kamar mandi dan sedikit kaget. Ternyata Mbak Fani menungguku di dekat telpon. ”Lho..ngapain Mbak nunggu aku”, sambil menepuk – nepuk air yang menempel di bagian retsleting celana kainku. Mbak Fani tak segera menjawabku, ”ee..aku kan takut di ruang tamu sendiri”. ”Oalah..”, jawabku. Air yang sedikit menempel itu membentuk gundukan penisku sedikit tercetak, karena celana kain. ”Mas kalo mau istirahat di ruang tamu ya..kan masih lama nunggu yang lain pulang”. ”Ah..nggak Mbak.***k enak. Aku kan tamu..bukan sodara. Nanti kalo Mbok mikir gimana kan gak enak semua”, aku menolaknya. ”Ah si Mbok..dia kan apa yang aku bilang iya aja..”. ”Yaa tetep aja Mbak..”. ”Udah..pokoknya gitu..”, Mbak cepat menyela dan bergegas ke dapur menemui Mbok sambil membawa lilin. Aku cuma garuk – garuk kepala dan melongo, ”duh..gimana nih..Ya udah..yang punya rumah yang nyuruh”.

Mbak Fani kembali ke ruang tamu, ”Ayo Mas..ke kamar tamu”. Aku diam saja lalu mengikuti langkahnya. Kamar tamunya cukup luas, dengan single spring bed; lemari dan meja rias. Lilin diletakkan di meja rias. Ketika aku masih di balik pintu, Mbak Fani cepat menutup dan menguncinya. ”Lho Mbak..”, belum sempat kusambung kata – kataku, bibirku sudah diciumnya. ”Ehmmpff..Mbak..nanti si Mbok tau dan lapor..bisa dibunuh aku..”. ”Mas diem aja..si Mbok kalo gak aku panggil ya gak dateng..”, sambil kembali menciumku ganas. Aku yang semula diam dan menolaknya, lama – lama bangkit birahiku. Aku memeluk pinggangnya, sedang Mbak Fani memegang kepalaku kiri dan kanan. Lalu tangan kirinya turun ke bagian celanaku dan mengusap – usapnya. ”Hmm..”, aku mulai mendesah. Usapan Mbak Fani berubah menjadi meremas. Aku digandeng menuju meja rias. Celana kainku dibuka cepat – cepat, dan menurunkan cd – ku.

Bibirnya langsung menyergap penis yang telah 70% mengembang. ”Ooughh..Mmbbaakk”. Rambutnya aku belai – belai. Cium, hisap dan emut jadi satu; saling berkejaran. ”Kenapa ya Mbak Fani ini..apa lama gak main..atau..aahh..biarin. Kapan lagi bisa gini”, masih sempat aku berpikir. Bunyi kecipak bibir terdengar di seluruh kamar tamu. Bola – bolaku pun tak luput dari serbuan bibir dan mulutnya. Sesekali ia memandangku, yang kubalas dengan senyum. Kemudian Mbak Fani berdiri dan membuka sabuk dan kancing – kancing bajunya. Terpampanglah tubuh indah idaman tiap laki – laki normal. Walaupun masih terbungkus BH dan cd yang 1 stel, warna putih berenda tipis di bagian pentil dan garis vaginanya, tapi sudah cukup menggambarkan nilai 8 baginya. Kembali aku dicium, lalu kuremas – remas pelan susunya. ”Oougghh..Mmaass..yaa..terruuss..”, ia memintaku untuk terus meremas susunya. Terasa masih kenyal dan kencang. Tangan kiriku beralih meremas pantatnya, yang juga sama kondisinya. Bibirnya turun ke pentilku, bergantian kiri dan kanan di hisap dan emut.

Kucari kait BH dan ”tess..”, lepas sudah. Aku belum dapat melihat susunya karena Mbak Fani masih asyik memainkan pentil – pentilku, sedang tangan kanannya meremas dan mengocok penisku. Lalu kutarik pundaknya dan kulepas bajunya. Kutarik tali BH bergantian dan pelan – pelan, agar aku bisa menikmati pemandangan indah berikutnya. ”Bener kan..susunya masih bagus..Beruntungnya aku”, pikirku. Bentuk susunya masih bagus, mungkin 34B, sedikit turun. Putingnya telah tegak dan mengeras, warna sedikit hitam. Lingkaran di putingnya juga sama warnanya, tidak lebar. Lalu kupeluk pingganggnya dengan tangan kiri. Aku cium ; jilat ; emut pucuk – pucuk gunungnya. Mbak Fani kepalanya menengadah, membuat rambutnya tergerai di punggung, ”eemm..Mmmasss..”. Tangan kananku memainkan pucuk sebelah kirinya. Sedikit bergetar tubuh Mbak Fani. Tangan kanannya tetap di penis sedang yang kiri memegang erat lengan kiriku.

Karet cd – nya aku turunkan pelan – pelan. Belum sempat turun semua, aku didorongnya ke tempat tidur. Penisku kembali dijamah bibir dan mulutnya. Mbak Fani lalu menegakkan tubuh dan melepas sendiri cd – nya. Dengan bantuan cahaya lilin, aku dapat melihat bentuk vaginanya. Sedikit rambut di atas dan dinding luarnya ; labia majora – nya agak keluar. Kami bertatapan dan saling tersenyum. ”Tubuh Mbak bagus..jarang kayak Mbak..”, pujiku. ”Ahh..gombal..biasa cowok”. ”Aku bilang apa adanya..kalo nggak..aku kan gak ngaceng..hi3x”. ”Sama Lis..gimana.. ?”. ”Kalo Mbak Lis sama bagusnya..cuma susunya gede Mbak Fani..”. ”Gitu yaa..”, sambil membungkukkan tubuh dan menciumku. Tangan kirinya memegang penis, sepertinya akan dimasukkan, WOT. Ya benar, dengan tangan kiri dipegangny penisku lalu tubuhnya diturunkan pelan – pelan. Hampir bersamaan kami mengerang, ”oouugghh..Mmmass..ssshhhtt..”, ”Mmbbaakk..hhmmmppff..”. Dinding vaginanya masih cukup menjepit penisku. Sedikit demi sedikit penisku ditelan kemaluannya. ”Oohhh..enaknya Mmmaaass..mentokkk..”, dengan kepala menengadah lalu menatapku. ”Aku juga enak banget Mbak..mpek Mbak njepitnya lumayan”. ”Iihh..jorok ngomongnya”, sambil menciumku. ”Abis..Mbak yang mulai sih..”, dan kugigit – gigit mesra pucuk – pucuk gunungnya. Mbak Fani mulai berayun, atas dan bawah. Aku mengimbangi dengan meremas susu dan pantatnya. ”Oohh..oohhh..”, erang Mbak Fani berulang – ulang. Penisku sesekali aku getarkan dan kusentak ke atas. ”Aadduhh..Mmmaass kokk ppiinntteerr sssihhh..”. Aku hanya tersenyum dan kumaju mundurkan pinggangnya. Penisku serasa bagai blender di vaginanya. Kepala Mbak Fani tergolek kiri dan kanan. Ia lalu mencengkeram erat dua tanganku dan memaju mundurkan sendiri pinggangnya.

”Aadduhh.. Mmbbaakk..”, lalu kucium ganas bibir dan susunya. Gerak maju mundur dan atas bawah bergantian dilakukannya. Tubuh atasnya mendadak di dadaku, mungkin capek. Akhirnya aku yang aktif, kuhentakkan atas bawah dan kuputar – putar pinggangnya. Degup jantung Mbak Fani terasa benar di dadaku, begitupun jantungku yang ditutupi pipi kanannya. ”Mmmaaasss..aaakkkuu..mmmaauu kkkeellluuaarr..”, Mbak Fani mengeluarkan suara lirih. ”Bbeennttarrr Mmbaakk..
aakkuu jjuugga..”. Mbak Fani kembali menciumku cepat dan dalam. Tak berapa lama ia menegakkan tubuh dan menengadah, dua tangannya menekan dadaku, ”oohhhh..Mmaaasss..”. Kembali aku diciumnya dalam – dalam. Pinggangnya makin kuputar – putar dan, ”mmbbbakkk..ooohhh..”. Kami berciuman dalam dan lama. Lava dari Mbak Fani mengalir hangat, begitupun magmaku yang memancar 4 – 5 kali. Mbak Fani meletakkan kepalanya lagi di dadaku. Degup jantung kami masih berdebar dan berangsur pelan. Sambil kubelai – belai rambutnya aku bertanya, ”Mbak kok nekat sih.***k takut ketauan orang. Juga..tiba2 ganas gini..”. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan memandangku, ”cerewet..karena aku mau. Abis..tadi Mas pipis airnya kan ngecap di bagian depan..jadi aku tau sedikit bentuknya. Gak tau kenapa jadi panas aku..”, lalu hidungku dipencet. ”Kalo aku ditolak..tak laporin ke Lis kalo Mas yang ngajak aku ML..he3x..”, ujarnya lagi. ”Ihh..jahatnya..Ya gak mungkin nolak aku..Wong tubuh Mbak kayak gini..yang nolak tu berarti gak bisa ngaceng..he3x”, aku acak – acak rambutnya. ”Iihh..”, dengan cemberut menanggapi perlakuanku pada rambutnya. Mbak Fani kembali rebah di dada. ”Makasih ya Mas..nggak ngira Mas mainnya ok..”. ”Aku yang makasih banyak Mbak..dikasih kesempatan super langka gini”. ”Nggak langka kok Mas..Kalo Mas pingin atau aku yang pingin..tinggal sms aja..ya..”, ia melihatku dan tersenyum manis. ”Hah..gitu..yaa apa kata Mbak dehh..”, kucium dalam dan lembut bibirnya. Penisku masih menginap di vaginanya, damai..entah kapan keluarnya.



××××××××××××
 
Lumayan coy...
r85gj6jhqeggmb4zfckl.gif
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd