Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI THE ELEVATOR [LKTCP 2018]

reinweiss

Semprot Kecil
Daftar
24 Jun 2014
Post
65
Like diterima
285
Bimabet
Cerita ini terinspirasi dari urban legend/creepy pasta "the elevator game/elevator ritual to another world" (silakan di-google bila penasaran). Tapi bukan berarti ini jiplakan atau saduran lho ya, interpretasi, penokohan, dan twist adalah kreasi saya sendiri. Dan pastinya saya ketik sendiri.
Note: TS tidak bertanggung jawab bila ada yang iseng mencoba ritual seperti yang dijelaskan dalam cerita ini


THE ELEVATOR

elevator-pitch-1068x641.jpg


Saat kau memasuki lift, dan pintu tertutup rapat


Apakah kau yakin dunia di luar lift masih sama dengan duniamu?

Ketika pintu lift terbuka dan kau melangkah keluar

Apakah kau yakin kau melangkah ke dunia yang sama?

---

Sial! Aku terlambat hari ini. Saking terlambatnya gedung bertingkat 25 tempatku berkantor sudah mulai sepi karena orang-orang sudah masuk di kantor masing-masing.

“Telat mas?” sapa Satpam di lobi yang hanya kubalas dengan senyuman pahit

Lorong lift pun sudah sepi, hanya tinggal petugas kebersihan yang mengelap dinding sambil bersiul. Segera kupilih lift terdekat menuju lantai 8 tempat kantorku berada. Hanya aku di sini, biasanya di pagi hari sebelum jam masuk selalu penuh.

Tapi lift tiba-tiba berhenti setengah jalan. Tentu saja aku kesal. Sudah telat, terjebak di lift pula. Kutekan tombol-tombol di lift, tapi tak ada reaksi. Kutekan juga tombol darurat, sama saja. Aku mulai panik dan memikirkan kemungkinan terburuk. Untungnya lift mulai bergerak lagi. Aku pun menarik nafas lega. Tapi hanya sesaat. Karena malah berhenti dan membuka pintu di lantai 7 bukannya lantai 8 seperti yang kumau. Khawatir lift itu bermasalah, aku melangkah keluar dari bilik lift. Sempat terpikir untuk menggunakan lift lain, tapi tanggung. Akhirnya kuputuskan menggunakan tangga saja, toh hanya satu lantai lagi.

Tiba di kantor semua sudah masuk ke ruang rapat untuk rapat pagi harian. Aku masih beruntung karena rapat belum dimulai karena Pak Heru pimpinan perusahaan ini belum masuk ke ruang rapat. Biarpun Pak Heru orangnya sabar dan baik kan tidak enak juga kalau aku masuk setelah rapat di mulai.

“Telat lo Di?” sapa Sapto rekan kerjaku

“Iya, mana tuh lift sempat mogok lagi”

“Apes amat lo, seumur-umur di sini belom pernah gue ngalamin lift mogok”

Rapat pun dimulai saat Pak Heru masuk. Semuanya biasa-biasa saja sampai Pak Heru berbicara tentang kerjasama bisnis perusahaanku dengan sebuah perusahaan dari Jepang. Karena itu, seorang perwakilan dari sana untuk sementara waktu akan berkantor di perusahaanku. Dan para pegawai terutama yang pria menyambut gembira karena menurut Pak Heru perwakilan yang dimaksud adalah seorang wanita muda dan cantik. Muda untuk ukuran posisinya, sekitar 30-an. Kurang lebih sama lah dengan umurku dan rekan-rekan di posisi yang sama.

“Adi, kamu yang nanti pegang dia ya”

“Saya pak?”

Terdengar sorak kekecewaan dari peserta rapat yang lain, yang semuanya pria kecuali Bu Ratu manajer pemasaran yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Huu, dasar wibu!” ledek Sapto

“Enak aja, bisa bahasa Jepang bukan berarti wibu tau!” balasku

“Jiah Pak, mending dikasih ke saya” timpal yang lain

“Lah lah lah kenapa kalian pada ribut, pada pengen juga ya ternyata?” tanya Pak Heru

“Saya memilih Adi karena dia bisa bahasa Jepang, pernah pergi ke Jepang juga. Kalian bisa?” sambungnya

“Tapi kata bapak tadi orangnya belajar bahasa Indonesia juga?” tanyaku

“Ya tapi kan pasti lebih nyaman kalau sama yang bisa bahasanya juga kan? Kalian bisa saling memperlancar skill bahasa kalian masing-masing. Sudahlah, saya lebih percaya sama kamu daripada otak-otak mesum semua di sini”

“Huuu” koor yang lain kompak yang disambut tawa Pak Heru

---

Yurina Kamiyama. Itulah namanya. Awalnya kupanggil Kamiyama-san, sesuai budaya negaranya tapi dia bersikeras agar aku memanggilnya dengan nama depannya. Karena itu budaya di Indonesia, katanya, memanggil atasan pun dengan nama depan bukan nama belakang. OK, aku terkesan dengan semangatnya untuk asimilasi budaya. Orangnya tampak pendiam, tapi bila diajak bicara supel juga. Mungkin karena dia menemukan seseorang yang bisa diajak bicara, bahasa Indonesianya masih jauh dari lancar jadi untuk segala urusan dia selalu beralih kepadaku, yang membuat rekan-rekanku jadi iri.

“Adi-san, nanti makan siang bareng ya?” ajaknya suatu hari sambil lewat di depan mejaku dalam bahasa Jepang

“Oh, iya. Boleh”

“Bilang apa tuh dia?” tanya Sapto di meja sebelah sambil memandang punggung Yurina yang sudah menjauh

“Ngajak makan siang”

“Wuih, mantep bro! Udah hajar ajah, sekalian ajak bobo siang hehehe”

“Semprul! Dasar otak mesum!” semprotku

Tapi harus kuakui Yurina memang menarik. Mungkin tak secantik atau semulus para idol di TV dan internet, tapi yang sedap dipandang. Matanya yang sayu memberi kesan teduh, tapi kalau melirik jantungku jadi blingsatan juga. Senyum di bibir tipisnya juga selalu menenangkan hati. Ah, mungkin aku memang sudah jatuh cinta. Atau kelamaan jomblo. Tapi kami berdua memang sama-sama single, dan dia juga begitu ramah dan akrab kepadaku. Aku masih tidak mau ge-er duluan, tapi Sapto ada benarnya juga. Kesempatan seperti ini tidak boleh disia-siakan. Jadi dengan senang hati kutemani dan kubimbing Yurina setiap saat, yang kunikmati kecuali kalau sifat anehnya kumat.

“Adi-san, tahu cerita Aka manto?”

“Pasti urban legend dari Jepang lainnya kan?”

Tak sesuai tampangnya, Yurina sangat senang dengan hal-hal berbau mistis dan supernatural. Atau lebih tepatnya, senang berbagi pengetahuannya tentang hal-hal di luar nalar. Dia tidak terlalu tertarik dengan legenda lokal negara ini, tidak pernah bertanya. Yang ada malah ia terus menyerocos tentang cerita-cerita mistis dari negaranya, dan mau tidak mau sebagai pendengar yang baik aku pun ikut terseret arus.

“Jadi ceritanya, ada hantu yang muncul di toilet dan akan bertanya pada orang di dalam, mau tisu toilet merah atau biru?”

Untung kita sudah selesai makan, kalau tidak kan enek juga bicara soal toilet

“Kalau memilih salah satu, jadinya gimana?” tanyaku

“Kalau kita memilih merah, kita akan disayat sampai mati berlumuran darah. Memilih biru, dicekik sampai mati dan wajah kita jadi membiru kehabisan nafas. Jadi Adi-san, menurut kamu bagusnya apa?”

“Hmmm…Aku bakal bilang ke hantu itu ‘maaf gak usah, saya cebok pake tangan sajah, saya kan orang endonesah’….Hahahaha”

Yurina manyun, biarpun tampangnya dewasa tapi lucu juga ekspresinya kalau seperti itu

“Ih Adi-san jorok deh” gerutunya

“Lah, siapa juga yang mulai ngomongin toilet hehe…Tapi beneran lho WC tradisional Indonesia orang memang cebok pakai tangan. Eh tapi kita cuci tangan pakai sabun sehabisnya lho jangan salah”

“Tapi memang jawabannya benar sih, bilang ‘aku tak butuh tisu’ agar punya waktu untuk kabur”

“Tuh kan, ada untungnya jadi orang Indonesia hahaha”

Dan besoknya dia bercerita tentang Kuchisake-onna, Hasshaku-sama, Kune-kune, Teke-teke, dan lain sebagainya. Aku yang belajar bahasa Jepang demi bisnis dan buta dengan budayanya hanya manggut-manggut saja. Tapi berkat itu semakin hari aku dan Yurina semakin dekat. Aku masih belum sreg dengan obsesinya soal urban legend dan creepy pasta tapi setidaknya kami punya bahan pembicaraan selain soal pekerjaan.

Kuberanikan diriku mengajak Yurina makan malam dan dia menerimanya. Hari jumat itu aku pulang cepat dan meninggalkan Sapto yang masih sibuk.

“Tumben ente pulang teng-go” ledek Sapto

“Mau dinner sama Yurina ntar malam, situ jangan sirik ya” balasku

“Woalah…Diam-diam ternyata ente ya…Awas brur, itu tamu jangan diapa-apain”

Aku tertawa saja, walau otak mesumku berharap siapa tahu aku beruntung malam ini dan tidak cuma kebagian cerita mistis dari Yurina saja seperti biasa.

“Adi-san, tahu kasus Elisa Lam?” tanyanya saat kami makan malam

“Tidak, siapa tuh? Dari namanya seperti bukan orang Jepang”

“Memang bukan”

Mata Yurina berbinar bahagia saat dia mulai bercerita. Kalau sudah seperti ini, dia seperti orang lain. Seolah seperti…dirasuki sesuatu. Possessed. Mungkin sengaja dia lakukan agar ceritanya lebih seru, dan biasanya berhasil membuatku tertarik.

“Di tahun 2013 seorang mahasiswi asal Kanada ditemukan tewas tenggelam dalam tangki air di atap sebuah hotel di Los Angeles. Dia sudah diberitakan menghilang sebulan sebelumnya. Mayatnya ditemukan ketika tamu hotel mengeluhkan tekanan air yang kecil dan juga air yang keluar berwarna hitam dan berbau”

“Oh wow” ujarku sambil melirik kopi di meja. Ugh, sepertinya kopi itu tak akan kuhabiskan.

“Aparat sampai harus memotong tangki itu untuk mengeluarkan mayatnya karena lubang yang ada terlalu kecil untuk melakukan evakuasi. Hasil otopsi menunjukkan tidak ada tanda-tanda trauma atau tindak kekerasan”

“Ada bukti atau petunjuk lain?”

“Ini yang menarik Adi-san, ditemukan rekaman CCTV yang menunjukkan aktivitas terakhir Elisa di hotel itu. Dia bersikap aneh di salah satu lift hotel; memencet banyak tombol berkali-kali, keluar masuk lift, tampak resah dan tidak bisa diam, dan bahasa tubuhnya tidak normal. Seolah-olah seperti sedang lari dari seseorang. Atau sesuatu” Yurina sangat bersemangat saat mengutarakan kalimat yang terakhir, seperti remaja yang membicarakan boyband idolanya

“Oooh…Mungkin dia di bawah pengaruh obat?”

“Hasil otopsi tidak menunjukkan adanya sisa obat rekreatif yang bersifat halusinogen, jadi tidak”

“Apa dia punya semacam…Um, gangguan kejiwaan?”

“Ya, bipolar disorder…”

“Aha! Itu dia, mungkin sedang kumat. Di sini beberapa waktu lalu ada artis lokal yang didiagnosa menderita gangguan yang sama jadi aku cukup familiar”

Yurina tampak sedikit kesal dengan semangat yang kutunjukkan untuk mengambil kesimpulan logis. Tapi itu kan peranku; kalau kita membicarakan suatu fenomena aneh di luar logika maka salah seorang harus menjadi counter-argument dan memberikan penjelasan logis. Biar diskusi semakin seru.

“Itu memang penjelasan yang diberikan polisi, bunuh diri dengan kecurigaan ketidakstabilan mental. Tapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan masih menjadi kontroversi sampai sekarang”

“Hmmm, menarik…Tapi kukira Yurina-san hanya tertarik urban legend dan cerita mistis dari Jepang bukan kasus tak terpecahkan dari negara lain”

“Sebenarnya Adi-san, yang menarik dari kasus itu buatku adalah rekaman CCTV Elisa Lam di lift hotel itu, yang banyak orang kaitkan dengan sebuah ritual yang populer di kalangan pecinta occult di Jepang dan Korea” mata Yurina kembali berbinar “Menurut mereka, Elisa sedang mencoba ritual itu sebelum kematiannya”

“Oh…Pantas, ritual apa?” tanyaku

“Ritual ‘lift menuju dunia lain’”

“…Apa?”

Oke, ini cerita malah semakin ngelantur

“Sebenarnya Adi-san, ada yang aku minta dengan kamu…”

Yurina menatap mataku dalam-dalam

“Aku ingin Adi-san mencoba ritual itu malam ini”

Aku menarik nafas panjang. Sudah kuduga Yurina bakal menyeretku semakin jauh dalam hobinya.

“Yurina-san, aku senang mendengar cerita-ceritamu, tapi kalau sampai sejauh itu – “

“Tidak gratis kok. Adi-san, ada hadiah untukmu dariku” potong Yurina

“Apa hadiahnya?”

Yurina meraih tanganku dan menggenggamnya erat, lalu menatap mataku sambil tersenyum manis.

“Seks. Adi-san dan aku. Sepuasmu malam ini”

---

Aku tak bisa menolak. Bagaimana bisa? Normalnya butuh beberapa lama sampai kami cukup dekat bagiku agar bisa mengajaknya sejauh itu. Yurina bukan perempuan sembarangan, dia tamu perusahaanku dari negara lain. Salah langkah, bisa merembet ke urusan pekerjaan. Jadi kalau dia yang memulai, ya kesempatan ini harus diambil, peduli amat resikonya. Beginilah kalau selangkangan yang mengambil keputusan.

“Jadi kalau ritual ini gagal aku bakal tewas secara misterius seperti kasus Elisa Lam?”

Kami sudah berada di lobi gedung tempat kantorku berada. Kami sepakat memilihnya sebagai lokasi karena kami sangat familiar dengan gedung itu. Aku punya kartu akses ke lift dan aku bisa beralasan mengambil sesuatu di kantor bila ditanya satpam. Tapi yang penting, gedung ini memenuhi syarat utama ritual: minimal 10 lantai.

“Kalau gagal, Adi-san hanya gagal ke dunia lain di lantai 10 di akhir ritual”

“Bagaimana aku tahu kalau aku sukses masuk ke dunia lain?”

“Adi-san bakal tahu sendiri, karena semuanya akan terasa berbeda dari normal” jawab Yurina sambil tersenyum

Dan kami sudah berada di depan lift. Kulihat sekeliling, sudah sepi.

“Ini langkah-langkahnya sudah kutulis di kertas, takutnya di dunia lain elektronik tidak berfungsi”

Jujur, aku tidak pernah melihat Yurina seantusias ini saat bekerja sekalipun. Kubaca kertas yang dia berikan padaku

1. Pastikan masuk ke lift dari lantai 1 SENDIRIAN, apabila ada orang lain masuk maka ritual ini gagal

2. Tekan tombol lift ke lantai 4

3. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 4, tekan tombol ke lantai 2

4. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 2, tekan tombol ke lantai 6

5. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 6, tekan tombol ke lantai 2

6. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 2, tekan tombol ke lantai 10

7. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 10, tekan tombol ke lantai 5

8. Di lantai 5 akan ada seorang wanita yang masuk, JANGAN dilihat dan JANGAN ajak bicara

9. Tekan tombol ke lantai 1

10. Bila lift naik ke lantai 10 bukannya turun ke lantai 1, ritual berhasil. Bila turun ke lantai 1 maka ritual gagal, segera turun dan ingat JANGAN lihat dan ajak bicara wanita dari lantai 5

11. Di lantai 10 bisa pilih keluar dari lift atau tinggal di dalam lift

Petunjuk pulang

1. Bila memilih tinggal, tekan tombol ke lantai 1. Tekan berulang bila perlu

2. Bila keluar dari lift, kembali masuk ke LIFT YANG SAMA, ulangi langkah 2-7 sampai ke lantai 5

3. Di lantai 5 tekan tombol ke lantai 1, bila naik ke lantai 10 segera tekan tombol apapun di bawah 10 untuk membatalkan lift naik, lalu tekan tombol ke lantai 1


“Huh, rumit juga” ujarku

“Yang penting jangan sampai ada orang lain masuk selama ritual. Kecuali wanita di lantai 5”

“Memangnya itu siapa?” tanyaku penasaran

“Yang pasti…Dia bukan manusia” jawab Yurina santai

“Apa!? Jadi selama ritual aku ada kemungkinan ketemu hantu? Kamu tidak bilang ini sebelumnya!”

“Yang penting jangan dilihat, jangan ajak bicara, apa tuh bahasa Indonesianya…Oh iya, ‘cuekin’ saja”

Sifat tenang Yurina membuatku gusar juga. Kalau memang gampang kenapa tidak dia lakukan sendiri? Atau mungkin dia sudah pernah dan ingin berbagi pengalaman denganku?

“Jadi…Kalau aku melanggar pantangan dan misalnya menyapa tuh wanita, apa yang akan terjadi?”

Yurina tampak berpikir sejenak

“Hmm, mungkin bakal dihantui olehnya atau diseret ke dunianya? Entahlah”

Terus terang aku jadi takut juga. Menyesal membiarkan selangkangan mengambil alih logika. Tapi ngomong-ngomong soal logika, selama ini kan peranku sebagai skeptik dalam menanggapi cerita Yurina. Kalau aku mundur sekarang aku bisa diledek pengecut olehnya selamanya. Dan hadiah yang dia janjikan…

“Ada pertanyaan lain, Adi-san?”

“Hmm, tidak"

“Soal wanita di lantai 5 itu misalnya? Dia bisa – “

“Ah sudahlah, let’s go!” seruku semangat

Aku memilih lift yang menurut pengamatanku jarang dipilih orang karena posisinya paling jauh dari lobi. Masih ada karyawan yang lembur jam segini dan petugas kebersihan juga satpam yang berkeliling. Tapi mengingat banyaknya lift di gedung ini kupikir kemungkinan bertemu orang lain selama ritual tidak terlalu besar.

“Adi-san, kutunggu di lobi. Hati-hati”

Aku hanya mengangguk, Yurina menghilang dari pandanganku saat pintu lift tertutup rapat. Sekarang aku berada dalam bilik lift, sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Aku tak pernah merasa gugup atau takut seperti ini dalam lift, tapi entah kenapa ada sedikit keraguan kali ini. Kuputuskan untuk fokus dengan misi saat ini, kupikir tidak akan lama.

Tombol 4 kutekan. Lift pun dengan segera bergerak ke atas. PING! Bel berbunyi saat pintu terbuka di lantai 4. Tidak ada yang aneh. Kutekan tombol angka 2, lift bergerak turun setelah menutup pintu. Pintu terbuka dan masih tidak ada yang aneh di luar lift. Rasa gugupku sudah hilang sekarang. Kuteruskan langkah berikutnya ke lantai 6. Masih tidak ada yang aneh.

Aku mulai jenuh saat harus kembali ke lantai 2. Kalau ada yang melihat pasti mereka mengira aku tak ada kerjaan. Dan lantai 2 masih terlihat sama saja seperti beberapa saat sebelumnya. Masa iya sih dengan ritual konyol seperti ini bisa ke dunia lain? Biarlah, biar Yurina puas. Dan setelah ini aku akan memuaskan diri dengan hadiah yang dia tawarkan ho ho ho…

Pikiran jorokku membuat perjalanan dari lantai 2 ke 10 terasa sangat cepat. Pintu terbuka dan…tak ada yang aneh. Aku pernah ke lantai 10 beberapa kali untuk urusan pekerjaan, bila memang ritual ini berhasil di akhir ritual aku bisa memastikan apa ada yang berbeda di lantai 10 dengan yang kuingat. Tapi itu bila ritual ini bukan omong kosong. Aku sudah skeptis sekarang. Yah, biarlah; coba lihat apalagi sekarang:

7. Jangan keluar dari lift begitu sampai di lantai 10, tekan tombol ke lantai 5

8. Di lantai 5 akan ada seorang perempuan yang masuk, JANGAN dilihat dan JANGAN ajak bicara


Shit! Aku mulai gugup lagi. Apa benar bakal ada seseorang – bukan, sesuatu yang akan masuk ke dalam lift ini? Tapi sudah sejauh ini, aku tak bisa mundur lagi. Dengan ragu kutekan tombol angka 5 dan lift pun mulai bergerak turun. Jantungku berdebar kencang.

9…8…7…6…PING! Pintu terbuka…

DEG!

Jantungku serasa berhenti berdetak…Ada seorang perempuan berdiri di depan pintu lift!

Shitshitshitshi- eh tunggu sebentar, itu bukannya Bu Ratu? Fiuhh, aku menarik nafas lega

“Lembur Bu?” sapaku

Beliau hanya tersenyum simpul. Ah, mungkin beliau capek. Iyalah jam segini baru pulang, dedikasi luar biasa. Kutekan tombol angka 1 dan lift pun bergerak turun. Sebagaimana normalnya. Dengan masuknya Bu Ratu maka ritual ini sudah pasti gagal. Tapi bagaimanapun aku sudah tidak percaya, tidak masuk akal kalau aku menekan tombol angka 1 lift akan malah naik ke lantai 10, ke dunia lain pula. Aku merasa bodoh sempat gugup tadi.

Aku melangkah keluar dari lift begitu sampai ke lantai 1 dan mencari Yurina di lobi. Apa aku harus mengulang ritual? Ah, lebih baik lapor ke Yurina dulu.

“Adi-san, berhasil?” tanya Yurina dengan mata berbinar

“Gagal, ada yang masuk lift di tengah jalan” jawabku berusaha membuat nada kecewa yang meyakinkan

Ekspresi Yurina berubah menjadi muram, melihatnya aku jadi tidak tega.

“Mmm, diulang bagaimana? Aku rela kok”

Yurina tampak berpikir sesaat, lalu tersenyum sambil menggeleng “Tidak apa-apa Adi-san, sepertinya tidak memungkinkan sekarang. Kita pulang saja”

Giliran aku yang kecewa, karena sepertinya aku batal mendapat hadiah yang dijanjikan. Tapi Yurina tiba-tiba berbisik di telingaku

“Terima kasih sudah mencoba, Adi-san. Aku sudah senang kok. Kamu boleh mengklaim hadiahmu sekarang”

FUCK YES!

Tanpa basa-basi kugenggam tangan Yurina dan kuseret dia keluar dari gedung itu secepatnya.

---

Pintu kamar hotel baru saja ditutup tapi aku langsung menyambar bibir Yurina yang disambutnya dengan ganas. Kutarik tangannya dan kubawa dia ke kasur.

“Langsung?” tanya Yurina dengan senyum nakal

Kujawab dengan anggukan antusias dan Yurina pun membalas dengan membuka blusnya menampakkan payudaranya yang masih tertutup BH warna putih. Tapi tak lama karena BH pun terlepas menampilkan payudara indah berukuran sedang dengan puting yang sudah keras menegang. Kutubruk dia dan langsung kusantap buah dadanya bergantian kiri-kanan. Yurina hanya tertawa sambil mengelus-elus kepalaku seperti bayi yang sedang menetek.

“Oh, Adi-san. Dasar tidak sabaran” Yurina lalu menarik kepalaku dan mencium bibirku. Sudah tentu aku membalasnya. Ciuman Yurina begitu lembut, tapi juga begitu intens. Bisa kurasakan nafsunya begitu menggebu-gebu. Kami saling membelit lidah untuk beberapa lama, berguling ria di atas ranjang. Kadang berhenti untuk saling menukar tatapan nakal sebelum kembali saling memagut. Lidahku kadang bergerilya juga ke telinga dan lehernya, menikmati harum tubuh wanita asal Jepang ini sepuasnya.

“Gantian, Adi-san yang buka”

Yurina mendorongku hingga terduduk di ranjang, dengan sigap dia membuka sabuk celanaku dan memelorotkannya. Dalam hitungan detik celana dalamku pun sudah lepas dan penisku menghirup udara bebas, mengacung dengan pongahnya. Yurina lalu mendorongku hingga tertidur kembali dan mulai mengocok penisku dengan tangannya yang halus.

SLUURRPPP

Rasanya nikmat sekali ketika Yurina mengulum penisku dan memainkan lidahnya. Sementara matanya tak penah lepas mengerling nakal ke arahku. Aku hanya bisa terbaring pasrah menikmati semuanya. Kadang penisku masuk begitu dalam sampai pangkalnya, kadang hanya ujungnya yang dia jilati dengan nakal.

“Ugghhhh…Yurinaaa…” racauku

“Kenapa Adi-san?” tanyanya dengan ekspresi menggoda sambil terus mengocok penisku dengan tangannya

“Aku, uhh…”

“Kita mulai saja ya?”

“Tapi kamu belum…”

“Aku sudah cukup basah” bisik Yurina mesra di telingaku

Dengan sigap Yurina turun dari ranjang untuk mengambil sesuatu di tasnya. Kugunakan waktu itu untuk melucuti sisa pakaianku. Yurina kembali dengan kondom di tangan, rok dan celana dalamnya pun sudah dia tanggalkan.

Kami berdua sudah telanjang bulat sekarang, dan Yurina dengan nakalnya membuka bungkus kondom dengan giginya. Lagi-lagi dia mendorongku hingga terbaring di ranjang. Sepertinya dia ingin mengambil komando, jadi ya sudah kuserahkan saja padanya.

“Adi-san, biar aku saja…”

Yurina begitu cekatan memasang kondom di penisku dalam sekejap. Dan sekarang dia sudah bersiap memasukkan pensku dalam vaginanya di posisi woman on top. Dengan nakal dia menggesekkan ujung penisku di bibir vaginanya sementara matanya terus menatapku dengan ekspresi nakal.

“Uhh…Yurina…Kamu…Benar-benar sudah basah…” racauku

Diiringi senyuman manisnya penisku pun akhirnya melesak masuk ke dalam vagina Yurina. Ugh, hangat dan basah. Tanpa dikomando pinggul kami berdua bergerak seirama mencari kenikmatan bersama. Kami saling merangsang, saling mencumbu. Aku menegakkan badanku hingga terduduk dan kami pun kembali saling memagut dengan ganas. Ketika bibir kami terlepas selesai berciuman mesra, bibir tipis Yurina mengeluarkan desahan manja dengan matanya terus menatap mataku.

“Ahhhmhhhhh...Adi-san...” Yurina memanggil namaku dengan suara semesra mungkin

“Yurinaaaa....” Balasku tak mau kalah

Aku tak sabar ingin mengambil alih kendali. Kudorong Yurina hingga terlentang dan sekarang aku menindihnya. Dalam posisi misionaris ini kulit kami saling bergesekan, tangan dan kaki Yurina membelit tubuhku seolah tak mau lepas. Dan aku menggenjot tubuhnya tanpa ampun, memenuhi kamar hotel ini dengan suara-suara erotis.

Dalam kenikmatan, kami sesekali memejamkan mata meresapi kenikmatan birahi. Tapi ketika mata kami terbuka, kami saling menatap dan memanggil nama masing-masing.

“Adi-sanhhhhhh...”

“Yurinaaaahhhh...”

Kalau sudah begitu kami lalu berciuman mesra. Begitu nikmatnya, sesekali kurasakan cengkraman tangan Yurina tiba-tiba menguat, kakinya semakin memeluk erat, begitu juga dinding kelamin Yurina yang mencengkram lebih erat diiring erangan lirihnya.

Sementara Yurina sukses menggapai orgasmenya berkali-kali, Aku juga hampir mencapai puncak. Kugenggam tangannya erat-erat. Vagina Yurina semakin intens memijat penisku.

“Adi-saaannnnnnn!!!!”

Saat Yurina memanggil namaku, aku terus mendorong birahiku ke puncak tertinggi. Akhirnya aku merasakan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku dan...

“Arrghhhhh…Yurinaaaaaaaaaa!”

Dengan sekali gerakan kucabut penisku lalu kulepas kondom yang menempel dan –

CROT CROT CROT

Aku pun ejakulasi menumpahkan benihku di atas perutnya yang rata. Ugh, leganya…

Kami berdua terdiam dan saling mengatur nafas masing-masing. Ketika rasa itu reda, aku menghempaskan tubuhku berbaring di samping Yurina.

“Enak..huff...huff...Adi-san?” tanya Yurina yang masih ngos-ngosan

“Wow…” hanya itu yang bisa kukatakan sambil menatap langit-langit dengan seringai lebar

“Banyak juga” ujar Yurina sambil mencolek air maniku di perutnya

“Ah, maaf” langsung kuambil kotak tisu dan menyerahkannya ke Yurina

Selesai mengelap tubuhnya dengan tisu Yurina langsung memelukku

“Terima kasih Adi-san”

“Oh no no no, aku yang harus berterimakasih…”

“Juga karena Adi-san bersedia memenuhi permintaanku”

“Ritual itu? Sayang sih gagal, tapi tak masalah. Demi kamu”

Yurina tersenyum manis. Manis sekali.

---

Huh, di mana ini?

Lift? Aku kembali ke lift kantor?

PING!

Angka 10 menyala di layar dan pintu pun terbuka

image00409.png

Gelap. Di depan mataku hanyalah kegelapan total

Mati lampu? Tapi dalam lift masih terang benderang

Ada semburat kemerahan dalam kegelapan di depanku, sepertinya berasal dari jendela.

Entah kenapa ada perasaan kuat yang mendorongku melangkah keluar dari lift menuju kegelapan total di luar. Bukan hanya gelap, tapi juga hening. Hening yang tak biasa. Bahkan dengungan sistem sirkulasi udara pun tak ada sama sekali. Aku tak tahu bagaimana aku bisa menemukan jalanku ke jendela. Mungkin karena aku sudah hafal layout gedung ini termasuk lantai 10. Atau semburat merah itu yang membimbingku, entahlah. Yang pasti aku sudah di depan jendela sekarang.

Dan semuanya di luar jendela gelap gulita. Siluet gedung bertingkat yang biasa kulihat setiap hari dari ruang kerjaku pun tampak membisu dalam kegelapan. Tak salah lagi, ini Jakarta. Dan ini gedung tempatku bekerja. Tapi Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Bahkan bila ada pemadaman listrik massal sekalipun mestinya ada cahaya dari penerangan darurat. Atau lampu dari mobil di jalan. Tapi tak ada apapun di bawah sana. Tak ada yang bergerak. Tak ada suara.

Hanya ada semburat kemerahan di cakrawala. Merah darah. Semburat itu yang memberi efek siluet dari gedung-gedung bertingkat yang sekarang terlihat bagaikan monolith hitam di film 2001: Space Odyssey.

Bulu kudukku berdiri. Perasaan tak nyaman mulai melandaku. Kegelapan dan keheningan ini tidak biasa.

Ini bukan duniaku!

Mataku menangkap sesuatu di langit di kejauhan, sebuah tanda ‘+’ bercahaya merah darah.

Aku dilanda rasa takut. Instingku mendorongku berlari kembali ke arah lift di tengah kegelapan. Aku terhuyung dan terjatuh berkali-kali tapi aku terus berlari. Hingga aku mencapai pintu lift, dengan tombolnya masih bercahaya di tengah kegelapan, kutekan dan pintu lift pun terbuka.

Cahaya terang benderang dari dalam lift menyilaukanku dan aku pun terbangun.

Mimpi? Ya, hanya mimpi.

Kutarik nafas panjang sambil mengelap keringat dingin di dahiku. Mimpi yang aneh, pikirku. Mungkin karena aku terus dicekoki Yurina soal ritual lift menuju dunia lain malam ini.

“Adi-san, ada apa?”

Yurina dalam pelukanku rupanya ikut terbangun. Kupeluk tubuh telanjangnya semakin erat dan kukecup keningnya.

“Tidak, tidak ada apa-apa kok”

Kucium bibirnya yang disambut dengan antusias. Kutarik selimut dan kami pun bergumul di bawahnya menuntaskan hasrat yang tersisa.

---

Hari senin aku masuk kerja dengan senyum tak pernah lepas dari wajahku. Betapa tidak, akhir pekan kemarin kuhabiskan untuk memadu kasih dengan Yurina. Aku belum berniat untuk menceritakannya pada siapapun, tapi Sapto bisa melihat ekspresiku yang tidak biasa.

“Curiga nih gue, dari tadi lo senyam-senyum aja kayak kebo. Abis dinner situ lanjut ngapain aja ama Yurina?” tanya Sapto menyelidik

“Ada deh, situ kepo banget sih” ejekku sambil mengambil sepotong bakpia dari kotak

“Sap, oleh-oleh siapa nih yang abis pulang dari Yogya?’

“Bu Ratu, kan dari rebo sampe jumat kemarin ke kantor cabang di Yogya. Katanya macet banget dah pas pulangnya pake mobil, baru nyampe rumah sabtu malem”

Bakpia yang baru kugigit setengah jatuh dari tanganku

“Ente serius?”

“Lah iyalah, situ sih mojok terus ama Yurina jadi gak ngeh ama sekitar. Masa lo lupa? Pas meeting tanggal 6 bulan kemaren kan Pak Heru bilang kantor cabang di Yogya bakal diperluas dan bisa jadi kita dipindah ke sana”

“Gue gak inget…”

“Jiah, ketiduran pas meeting ente kali”

Perasaan tak enak mulai melandaku. Bukan soal meeting yang tak kuingat, tapi kan kulihat Bu Ratu di kantor jumat malam? Apa Sapto sengaja mengerjaiku? Aku segera meninggalkan meja dan bergegas menuju ruangan Bu Ratu meninggalkan Sapto yang kebingungan.

“Permisi Bu…”

“Ya, kenapa Adi?” tanya Bu Ratu yang sedang mengetik sesuatu

“Maaf Bu, hari jumat malam sekitar jam 9-an minggu kemarin ibu ada di kantor?”

“Lho, nggak lah Di, kalo Jumat malam saya masih di jalan pulang dari Yogya”

“Tapi saya ketemu ibu waktu masuk ke lift di lantai 5 waktu itu”

“Mustahil” Bu Ratu mengernyitkan kening “Lagian ngapain saya di lantai 5 malam-malam?”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah permisi dan minta maaf telah menganggu aku meninggalkan ruangan Bu Ratu dengan sejuta pikiran. Apa aku salah orang? Tidak, aku ingat betul. Aku sudah bekerja cukup lama di perusahaan ini, aku hafal semua orang termasuk atasanku. Di perjalanan menuju mejaku aku bertemu Yurina. Dia menyapaku dengan senyum manis tapi aku tak bisa mengembalikan senyumnya. Yurina langsung tahu ada yang tak beres.

“Kenapa? Apa ada yang tahu hubungan kita?” bisiknya khawatir

“Bukan, bukan masalah itu” jawabku. Kutuntun dia ke ruang rapat untuk bicara, karena di mejaku ada Sapto yang kepo.

“Ingat waktu itu aku bilang ritual gagal karena ada orang yang masuk? Aku waktu itu tidak bilang kalau orang yang kumaksud itu Bu Ratu”

“Oh…Lalu?”

“Mestinya Bu Ratu tidak ada di kantor malam itu! Yurina-san, apa ada sesuatu tentang ritual itu yang kamu tidak bilang padaku?”

Wajah Yurina mendadak tegang, membuatku ikut khawatir juga

“Adi-san, di lantai berapa Bu Ratu malam itu masuk ke lift?”

“Lantai 5”

Yurina terkesiap mendengar jawabanku, dia menunduk dan memegang dahinya seperti panik

“Adi-san, kamu seharusnya cerita!”

“Kenapa?”

“Ingat wanita yang mestinya masuk di lantai 5 di tengah ritual? Ada yang bilang wanita itu bisa menyerupai sosok seseorang yang kita kenal untuk menipu korbannya” jawab Yurina dengan suara pelan

Aku merasa lemas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang aneh, waktu itu saat aku melangkah keluar dari lift di lantai 1 aku tidak melihat Bu Ratu ikut keluar. Hanya aku sendiri. Aneh, karena beliau tidak memencet tombol waktu masuk jadi kukira dia hendak ikut ke lantai 1 sepertiku. Tapi waktu itu hanya aku yang keluar dari lift…

“Harusnya kamu yang bilang sebelumnya!” seruku setengah membentak “Mana aku tahu bakal seperti itu kalau kamu tidak bilang! Aku bukan expert di bidang occult sepertimu!”

“Maaf Adi-san” Yurina semakin menunduk “Karena aku…Karena aku Adi-san jadi seperti ini…Mestinya aku tidak menyeret Adi-san dalam hobiku”

Aku menarik nafas panjang, lalu kupegang bahu Yurina dan menghiburnya

“Sudahlah, mungkin ada penjelasan logis. Mungkin itu hanya orang yang mirip Bu Ratu dan aku hanya salah lihat. Dan lihat aku, Yurina-san. Aku tidak apa-apa, tidak ada masalah” hiburku sambil membelai pipinya

“Jangan salahkan dirimu, OK?”

Yurina hanya mengangguk dan tersenyum pahit.

---

Aku tidak mau berpikir lagi tentang kembaran Bu Ratu yang kutemui waktu itu. Aku pasti salah orang. Yurina yang lebih khawatir karena memang dia yang percaya dengan ritual itu. Tapi aku memilih sisi skeptis dan logis seperti biasanya. Lagipula tidak ada kejadian aneh yang menimpaku setelahnya. Kecuali mimpi aneh waktu itu. Ah iya, mimpi itu. Aku bahkan sudah mulai lupa karena beberapa malam setelahnya aku tak pernah mimpi seperti itu lagi.

“Ahh!”

Yurina melenguh saat kuhentakkan penisku dalam vaginanya di posisi doggy

“Terus Adi-san!”

Tak perlu diperintah, kugenjot tubuhnya tanpa ampun hingga Yurina tersentak-sentak. Hingga kepalanya mendongak dan punggungnya melengkung ke atas.

“Nghhhhh!” Yurina mengerang bersamaan dengan geliat tubuhnya. Kubiarkan dia menikmati orgasmenya sebelum kugulingkan tubuh kami berdua ke posisi spooning. Kami berciuman sesaat sebelum kupompa lagi tubuhnya sambil kupermainkan payudaranya.

“Mmmhh…Adi-san..Belum…Keluar?”

“Uhhh…Sebentar lagi…”

Lagi-lagi kugulingkan tubuhnya hingga terlentang, untuk menyudahinya kupilih posisi klasik.

“Aaahhhh….Yurinaaaa”

“Ngghh Adi-saaaan…Di..Wajahku…Ahhh!”

Kami meraih puncak bersamaan dan sesuai permintaanya kutembakkan benihku di wajahnya. Setelah semburan terakhir aku terduduk lemas tapi Yurina dengan sigap langsung menyambar penisku dengan mulutnya.

“Whoaaa…Yurinaaa”

Penisku yang baru saja ejakulasi masih sangat sensitif. Aku hanya bisa meringis saat Yurina dengan khidmat membersihkan penisku dengan mulutnya. Hingga aku menyerah dan menyuruhnya berhenti.

Kami pun ambruk di kasur dengan nafas tersengal-sengal.

“Hey Yurina, ngomong-ngomong…”

“Ya?”

“Kamu sudah kehabisan cerita occult? Sudah lama aku tidak dengar”

“Kenapa? Apa Adi-san lebih suka itu dari seks?”

“Eh? Ya bukan begitu sih, cuma aneh saja. Dari pertama kita bertemu, kamu tak pernah berhenti bercerita soal itu. Kupikir ceritamu tak pernah habis”

“Kukira Adi-san tidak tertarik…”

“Ya tapi kan kalau bukan karena itu kita tidak bisa dekat”

“Hmm, jujur aku masih khawatir dengan Bu Ratu yang kau temui waktu ritual. Aku merasa tidak enak kalau terus bercerita soal occult padamu”

“Ah, sudahlah. Itu hanya kebetulan”

“Tapi…”

“Ssshhhh” kucium bibirnya dan kami kembali bergelut dalam birahi hingga akhirnya tertidur kelelahan

---

Huh? Aku dalam lift lagi?

Apa ini mimpi yang sama?

Tapi indikator lantai berhenti di lantai 5 bukan lantai 10 seperti waktu itu

Tunggu…Lantai 5? Bukannya ini lantai yang…

PING!

Pintu terbuka


image00408.png

“AAAAAAA!” aku terbangun dengan rasa takut dan panik yang tak bisa kujelaskan

Masih terbayang jelas di benakku. Sesosok perempuan berkulit pucat dengan rambut panjang, mengenakan gaun musim panas lengkap berwarna putih dengan topi. Tapi yang paling menakutkan adalah tangan dan kakinya yang abnormal, terlalu panjang untuk manusia. Aku pun teringat penjelasan Yurina tentang wanita di lantai 5.

Yang pasti…Dia bukan manusia

Tubuhku gemetar tak karuan. Kutatap Yurina di sampingku. Dia masih terlelap kelelahan. Kutarik selimut dan kupeluk tubuh Yurina. Aku masih gemetar tapi kucoba untuk menutup mataku.

---

Kuputuskan untuk tidak memberitahu Yurina soal mimpiku. Karena dia pasti akan heboh dan mengaitkan mimpiku dengan hal-hal mistis seperti itu. Tapi aku tak mau itu. Aku bersikeras kedua mimpi burukku adalah karena alam bawah sadarku terlalu serius menanggapi cerita-cerita Yurina sehingga membuat fantasi sendiri sewaktu aku tidur. Ya, hanya itu penjelasan yang masuk akal dan bisa kuterima.

Tapi makhluk menyeramkan itu selalu terbayang setiap aku menutup mata. Aku jadi paranoid saat naik lift, bila pintu terbuka dan ada orang menunggu di depan pintu jantungku seolah hendak loncat keluar. Sifatku yang menjadi pemurung tentu jadi perhatian Yurina.

“Adi-san, kau baik-baik saja?”

“Ya”

“Sungguh?”

“Beneran, Yurina-san. Jangan khawatir”

“Hmm…Adi-san, mau kutemani malam ini?”

“Tidak” aku menggeleng “Tidak usah, aku baik-baik saja sendiri”

Biarpun aku bilang begitu ke Yurina, entah kenapa aku jadi takut untuk tidur malam itu. Bukannya aku takut tidur sendiri, tapi aku takut bila tertidur aku akan mimpi buruk lagi. Tentang lift, dunia lain, dan wanita menyeramkan itu. Kupikir tak ada bedanya bila aku tidur sendiri atau dengan Yurina; faktanya dua mimpi buruk pertama justru muncul saat aku bersama Yurina. Apa semua kejadian yang menimpaku belakangan ini karena kedekatanku dengan Yurina dan semua cerita mistisnya? Tidak, aku tak boleh berburuk sangka. Dia benar-benar khawatir denganku dan menyesal telah menyeretku dalam obsesinya.

Aku ingin bergadang sebenarnya tapi besok aku harus masuk kerja. Mungkin aku bisa izin sakit tapi aku tak bisa bergadang setiap malam. Ujung-ujungnya aku tak harus mengambil keputusan, karena tubuh dan pikiranku yang lelah menyerah. Aku jatuh tertidur entah jam berapa.

Dan aku kembali di sini, di dunia lain

Tidak seperti mimpi sebelumnya, tidak dimulai dalam lift. Tapi di depan jendela, memandangi dunia yang gelap dengan semburat merah darah di cakrawala

Tanda ‘+’ berwarna merah di ujung sana seolah memanggilku. Tapi kegelapan, keheningan, dan keterasingan ini serasa membunuhku

Ini dunia yang tak kuingin terjebak di dalamnya…Aku harus pergi

Lift, aku harus kembali ke lift itu. Kulangkahkan kakiku secepat mungkin menuruti insting di tengah kegelapan. Aku merasa mual dan pusing, terjatuh beberapa kali tapi aku tak mau berhenti

Lift itu seakan lebih jauh dari waktu itu, aku merasa sudah berjalan cukup jauh tapi belum sampai juga. Hingga aku hampir mencapainya tapi aku merasakan sesuatu yang mendorongku menengok ke belakang…

Dia di sana! Wanita berbaju putih itu berdiri di dekat jendela. Dan dia mulai bergerak pelan tapi pasti ke arahku. Aku tercekat, dengan rasa panik luar biasa aku berlari hingga mencapai lift segera kutekan tombol tapi lift itu tidak bereaksi.

“Ayolah! Fuck!” aku memaki sambil terus menekan tombol

Pintu terbuka saat wanita itu sudah setengah jalan dan aku langsung masuk ke dalam bilik lift yang bermandikan cahaya.

Aku terbangun bermandikan keringat dingin. Rasa takut menyelimuti diriku begitu sadar dengan kenyataan bahwa dua mimpiku menjadi satu. Di dunia lain, dengan wanita berbaju putih.

Besoknya aku kembali bermimpi sama. Tapi bedanya sekarang jarak ke lift semakin jauh.

Besoknya lagi kembali mimpi yang sama. Dan jarak ke lift semakin jauh.

Hingga hari ini. Dalam mimpiku lift yang seharusnya menjadi jalan keluar tak bisa kugunakan. Sementara wanita itu semakin mendekat, dan aku dalam panikku berlari menuju tangga darurat, menuruni sepuluh lantai dan baru bangun begitu mencapai lantai 1. Dengan wanita itu terus membayangi langkahku.

Aku bangun dengan perasaan tak karuan. Setiap kali bermimpi jarak ke pintu keluar semakin jauh. Apa jadinya bila aku terjebak dalam mimpiku dan tak bisa menemukan jalan pulang?

Begitu masuk kantor hanya ada satu di pikiranku. Kucari Yurina dan kutemukan dia sedang berbicara dengan Bu Ratu.

“Maaf Bu, saya pinjam Yurina-san sebentar”

Kutarik tangan Yurina ke ruang rapat, meninggalkan semua yang melihatnya kebingungan. Kuceritakan semua yang kualami, semua mimpiku dari yang pertama, kedua, hingga yang terakhir kepada Yurina. Kudeskripsikan dunia lain dalam mimpiku. Tentang wanita menyeramkan itu. Yurina mendengarkan semuanya tanpa bicara.

“Yurina-san, Itu semua…Hanya mimpi kan? Tolong bilang kalau itu hanya mimpi!”

Tapi Yurina terus terdiam, membuatku semakin panik. Hingga akhirnya dia bicara

“Adi-san, jujur padaku. Apakah setelah kuberitahu soal ritual itu Adi-san riset sendiri di internet?”

“Tidak. Tidak pernah” jawabku “Kenapa?”

“Karena…Deskripsi Adi-san soal dunia lain itu sesuai dengan deskripsi orang lain yang pernah mencoba ritual itu. Gelap, langit berwarna merah, dan tanda ‘+’ bercahaya di sana. Tapi aku tak pernah menjelaskan soal itu padamu sebelumnya, jadi Adi-san tahu dari mana!?”

Aku terduduk lemas. Kalau aku tak pernah membaca deskripsi dunia lain, bagaimana mungkin mimpiku bisa akurat dengan apa yang dialami orang lain?

“Entahlah” Aku hanya menggeleng tak percaya “Jadi aku ke dunia lain itu dalam mimpi meskipun ritual waktu itu gagal?”

“Mungkin…” Yurina tampak bingung “Mungkin wanita misterius di lantai 5 itu membawamu ke sana, dalam mimpi”

“Karena aku melanggar pantangan ritual dengan menyapanya?”

“Bisa jadi”

“Apa yang terjadi kalau dia bisa menangkapku?”

“Entahlah”

“Kupikir kau ahli dalam hal ini!” seruku mulai tak sabar

Yurina termenung, lalu menatap mataku dalam-dalam

“Adi-san, kau harus ingat. Kita bicara urban legend di sini. Beredar dari mulut ke mulut – atau dalam kasus ini dari situs ke situs. Setiap orang punya versinya sendiri dengan akhir cerita berbeda. Dan kita tidak tahu mana yang benar mana yang bohong”

“Yurina-san…Jadi kamu sendiri pun tidak yakin dengan cerita ini?”

“Aku percaya. Tapi aku tak bisa membuktikannya. Kucoba ritual itu berkali-kali, tapi tak pernah berhasil. Tak ada wanita misterius di lantai 5, tak ada dunia lain di lantai 10”

“Jadi itu sebabnya Yurina-san memintaku melakukan ritual itu? Karena percobaanmu tak pernah berhasil?”

“Ya…Maaf Adi-san”

“Sudahlah”

Aku membelai pipinya

“Jadi, apa ada solusi untuk kasus melanggar pantangan bicara dengan wanita di lantai 5?”

“Tidak. Biasanya cerita hanya berakhir mereka dihantui wanita itu di mimpi dan dunia nyata”

“…Dunia nyata!?”

“Ya, ada yang merasa dihantui oleh wanita itu di luar mimpi, ada juga yang jatuh sakit”

Aku menepuk jidat. Masih untung wanita itu hanya muncul di mimpiku, bukan di dunia nyata. Atau mungkin hanya belum. Tapi seperti yang Yurina bilang, namanya urban legend setiap cerita punya versi berbeda-beda. Akan seperti apa ending ceritaku?

“Di mimpiku jarak menuju lift semakin lama semakin terasa semakin jauh. Terakhir, malah lift itu tidak berfungsi dan aku harus memakai tangga…Aku baru bisa bangun begitu mencapai lantai 1”

“Dan wanita itu mengejarmu?”

“Ya” Aku menarik nafas panjang “Jika…Suatu hari nanti aku tak bisa menemukan jalan keluar dan terjebak selamanya di sana…”

“…Adi-san mungkin akan tidak akan bangun dari tidur”

Kami pun terdiam.

“Yurina-san…Dalam cerita yang kau baca, masa berakhir seperti itu saja sih? Apa tak ada yang mencari solusi?”

“Cerita horor kan biasanya berakhir dengan ending yang menggantung…” jawab Yurina

Cerita horor, eh. Jadi aku ini sekarang dalam cerita horor. Tapi selain kembaran Bu Ratu waktu itu – yang mungkin punya penjelasan logis kejadian aneh yang menimpaku hanya terjadi dalam mimpi. Tidak di dunia nyata. Tiba-tiba ada ide muncul di kepalaku.

“Yurina-san, sudahlah. Kita kembali bekerja saja”

“Tapi –“

“Aku nanti pikirkan sesuatu, tenanglah”

Sore itu saat rekan-rekan kerjaku sudah mulai pulang aku masih di kantor. Menatap pemandangan di luar jendela. Semburat jingga matahari sore terasa hangat, tidak seperti warna merah darah di dunia lain dalam mimpiku. Gedung-gedung bertingkat dan jalanan di bawah sana tidak jauh berbeda dengan yang kulihat dalam mimpiku dari jendela lantai 10. Tapi tentu saja terang benderang dan terlihat hidup.

“Adi-san? Belum pulang?” sapa Yurina

“Kamu sendiri?”

“Aku mengkhawatirkanmu”

Kutatap matanya dan tersenyum, lalu kutarik nafas dalam-dalam

“Yurina…Aku masih penasaran dengan satu hal”

“Ya?”

“Aku ingin coba ritual itu sekali lagi”

“Apa!? Itu gila!”

Kupegang bahu Yurina dan kutatap matanya dalam-dalam

“Aku melihat dunia itu dalam mimpi, tapi aku ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri di dunia nyata”

“Buat apa!? Bisa-bisa Adi-san bertemu wanita itu lagi!”

“Aku tahu. Tapi aku hanya ingin memastikan…Bila ritual itu bukan bualan. Kamu sendiri belum pernah berhasil dengan ritual itu kan? Bila aku melakukan ritual itu lagi, tanpa melanggar pantangan sekalipun tapi aku tidak bisa mencapai dunia lain…”

“Lalu?”

“Maka ritual itu hanya omong kosong, dunia lain tidak pernah eksis dan mimpi burukku itu tidak usah kuanggap”

Yurina terdiam beberapa saat sebelum menanyakan pertanyaan yang paling tak ingin kudengar

“Bagaimana kalau ritual itu nyata? Bila Adi-san bisa mencapai dunia lain di lantai 10, lalu? Bagaimana kita bisa mengusir mimpi-mimpi buruk itu? Tidak mungkin kan Adi-san menghindari mimpi dengan tidak tidur seumur hidup?”

“…Entahlah. Aku pikirkan nanti selanjutnya” jawabku santai dengan senyum pahit

“Tidak meyakinkan…”

“Yah, seperti katamu, cerita horor itu biasanya punya ending ambigu”

“Oh, Adi-san. Baiklah, akan kutemani sampai malam di sini”

Yurina menggenggam tanganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku

“Hey, nanti ada yang lihat” tegurku

“Biarkan saja”

“Ngomong-ngomong Yurina-san, aku punya ide buat menghabiskan waktu sampai malam”

“Apa?”

“Yang biasa kita lakukan kalau berdua”

Yurina menatap mataku dan tersenyum nakal

“Di sini?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan

“Ya. Ini waktu dan tempat yang tepat untuk…mendengarkan cerita-cerita mistismu. Seperti yang biasa kita lakukan”

Yurina bengong, lalu kemudian tertawa terbahak-bahak

---

Malam pun tiba. Gedung sudah cukup sepi untuk melakukan ritual. Kami meninggalkan kantor menuju lift.

“Yurina, apa ada detail lain tentang ritual itu yang kau ingat?”

“Hmm…Ada beberapa orang yang bilang wanita di lantai 5 itu akan mengajak bicara dan menarik perhatian”

“Wanita mirip Bu Ratu tidak bicara sedikitpun waktu itu”

“Karena Adi-san sudah menyapa duluan”

“…Oh”

PING!

Pintu lift terbuka, aku dan Yurina masuk menuju lantai 1

“Jadi, apa lagi?”

“Dunia gelap di lantai 10 bukan satu-satunya dunia lain yang bisa kita capai dengan lift”

“Huh? Maksudnya?”

“Coba lihat kita sekarang. Dalam bilik metal yang terisolasi sepenuhnya dari dunia luar, apa kita bisa yakin dunia di luar sana masih sama?”

“Tapi kita kan butuh ritual yang rumit hanya untuk ke dunia lain. Kupikir dalam pemakaian sehari-hari, lift tidak punya kekuatan seperti itu”

Kulihat Yurina tersenyum misterius

“Sudah kubilang dunia gelap itu bukan hanya dunia alternatif yang bisa kita capai. Bila dunia lain itu hanya sedikit berbeda dengan dunia kita, mungkin kita tak butuh ritual”

“Sedikit berbeda?”

PING!

Pintu terbuka di lantai 1 dan Yurina melangkah keluar

“Adi-san, kau yakin?”

“Ya. Aku harus melihat dunia itu dengan mata kepala sendiri. Juga demi dirimu, biar kamu tidak penasaran lagi”

“Terima kasih…”

“Heh, jujur saja Yurina-san, awalnya aku enek tapi lama-lama aku jadi menyenangi cerita-cerita occult-mu”

“Sungguh?”

“Ya”

Yurina tersenyum manis, kubalas senyumnya dan menekan angka 4 untuk memulai ritual

“Kau pulang saja, tidak perlu menungguku. Nanti kukabari apapun hasilnya”

Yurina mengangguk pelan saat pintu lift mulai tertutup samar kudengar dia berbisik

Sayonara Adi-san…Terima kasih mau mendengarku selama berada di sini…”

---

Lantai 4 menuju lantai 2. Lantai 2 menuju lantai 6. Kembali ke lantai 2. Menuju lantai 10.

Setiap langkah membuatku semakin gugup. Setiap kali pintu lift terbuka menampakkan lorong yang sudah sepi mimpi burukku terus terbayang. Wanita menakutkan di lantai 5…Sebentar lagi aku akan menemuinya. Wujud apa yang akan dia ambil sekarang? Bu Ratu lagi? Yurina? Atau wanita lain yang kukenal? Pintu terbuka di lantai 10, menampakkan lorong yang sudah sepi tapi masih terlihat normal. Dengan gemetar kutekan tombol angka 5.

Kuputuskan untuk menunduk agar tidak melihat siapapun yang masuk di lantai 5. Jangan dilihat…Jangan dilihat…Fokus…

9…8…7…6…

PING!

Apa ada orang di sana? Tidak aku tak mau melihat….

TAP

Kudengar suara langkah kaki masuk ke dalam lift. Setiap langkah membuat jantungku berdetak semakin kencang. Dan siapapun itu, dia melangkah dengan pelan seolah sengaja menerorku. Hingga akhirnya dia berhenti dan dari sudut mataku kulihat…

image00410.png

Jadi dia menampakkan wujud aslinya seperti yang kulihat dalam mimpi. Kaki kurus panjang abnormal, berkulit pucat dengan gaun putih. Aku ingat betul…Tapi ini bukan mimpi! Wanita itu muncul di dunia nyata, dan menyadarinya aku teror melanda diriku.

“Adi-san, kamu kenapa?”

Itu suara Yurina. Tapi aku tahu itu bukan Yurina. Tidak, wanita itu hanya memancingku.

Dengan gemetar kutekan tombol angka 1... Dan ajaibnya, lift pun terangkat naik ke atas bukannya turun ke lantai 1

6…

“Adi-san? Mau dengar ceritaku?”

7…

“Atau kau mau…Tubuhku?”

8…

“ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN! ADI-SAN!”

9…

“AOOOOOOAAAAIAIIIOAAOAOAOAAAAOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO”

Kututup mata dan telingaku rapat-rapat saat wanita itu mengeluarkan lolongan mengerikan, lolongan bukan manusia yang menusuk telinga.

PING!

Masih menutup mata dan telinga aku lari menghambur keluar bilik lift saat pintu terbuka. Kudengar pintu lift di belakangku mulai menutup kembali tapi aku masih bisa mendengar suara wanita itu

“Padahal waktu itu kau menyapaku!”

Dalam suara Bu Ratu. Aku hanya bisa gemetar dan terduduk lemas mendengarnya. Saat aku yakin pintu lift sudah tertutup sepenuhnya barulah aku berani membuka mata.

redhall.jpg

Gelap. Gelap gulita dengan semburat kemerahan. Hening tanpa suara. Keheningan yang menyesakkan.

“Aku…Di sini…Lantai 10” gumamku

Ini bukan lantai 10 yang kulihat tadi. Ini sama seperti mimpiku. Aku sudah di dunia lain sekarang. Tapi ini bukan mimpi, ini nyata. Kucubit tanganku berkali-kali untuk memastikan. Sakit.

“Ha ha…Ini..Nyata” entah kenapa aku tertawa sementara aku berjalan seperti orang linglung ke arah jendela. Aku tak tahu harus merasa apa, antara takjub, takut, dan juga bingung.

“Yurina…Ini nyata…” gumamku. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa bahagia untuk Yurina, andai saja dia bisa melihat dunia gelap ini dengan matanya sendiri. Aku tak peduli dengan nasibku sendiri. Dengan kemungkinan aku akan terjebak dalam mimpiku selamanya. Akan kuceritakan semuanya pada Yurina. Jika memang aku tak akan bangun lagi suatu hari, kisahku akan abadi.

Tak terasa langkahku membawaku ke depan jendela. Cakrawala merah darah dengan tanda ‘+’ misterius di sana. Mereka seakan memanggilku. Tapi keheningan dan kegelapan ini begitu menyesakkan, lebih dari dalam mimpi. Ini nyata. Aku eksis, tapi dunia ini tak seharusnya eksis. Kuraih HP dari sakuku, berharap aku bisa merekam dunia ini tapi seperti yang Yurina pernah bilang, barang elektronik tidak akan berfungsi di dunia ini. HPku tidak mau menyala meskipun aku yakin baterainya masih terisi.

Biarlah. Aku tak bisa mengambil bukti tapi aku harus kembali pulang ke duniaku. Kembali ke Yurina, untuk kuceritakan semuanya.

Kulangkahkan kakiku dalam lorong yang sudah familiar dalam mimpiku. Tapi setidaknya tak ada yang mengejarku sekarang. Dan bedanya, aku tak terbangun begitu masuk dalam lift. Tanpa membuang waktu, kulakukan ritual menuju jalan pulang seperti pernah yang dijelaskan Yurina.

PING!

Pintu akhirnya terbuka di lantai 1. Kulangkahkan kakiku yang gemetar dengan perasaan campur aduk keluar dari lift menuju lobi.

“Lembur Pak?” sapa seorang satpam

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum lemah. Kucari Yurina, tapi tak ada. Dia pasti sudah pulang seperti yang kusuruh. Saat aku hendak mengecek HPku, anehnya benda itu masih tak mau menyala.

---
Malam berlalu tanpa insiden, aku pulang dengan selamat tanpa dihantui mimpi buruk apapun. Tapi sampai besok paginya HPku masih tidak bisa menyala biarpun ku-charge selama apapun. Kupikir rusak jadi kubawa saja untuk diservis sehabis pulang kantor nanti. Yurina pasti khawatir karena aku tak menghubunginya sampai sekarang. Aku berniat menceritakan semuanya pada Yurina, tapi aku tak melihat sosoknya di kantor pagi itu. Apa dia tidak masuk kerja? Apa terjadi sesuatu padanya?

“Sap, Yurina mana ya? Apa dia gak masuk? HP gue rusak gak bisa ngehubungin dia?”

Jawaban Sapto sungguh tidak kuduga

“Yurina? Yurina siapa?”

“Yaelah Sap, emang siapa lagi? Cewek Jepang yang kerja sementara di sini lah! Situ juga kan sering ngegodain dia”

“Emang ada?”

Sialan si Sapto bercandanya kelewatan. Kutinggalkan saja dia yang masih memasang tampang bloon dan bertanya pada yang lain. Tapi semua menjawab sama. Semuanya bingung saat kutanyakan soal Yurina. Bahkan kepala bagian personalia sekalipun. Seolah-olah Yurina tidak pernah eksis.

Ini pasti mereka semua mengerjaiku! Tapi ekspresi serius mereka membuat perasaan tak nyaman menderaku. Kubulatkan tekad menuju ruangan Pak Heru.

“Oh, Adi. Ada apa?”

“Pak, perusahaan kita menjalin kerjasama dengan perusahaan Jepang kan Pak?”

“Ya, betul. Lalu?”

“Mereka mengirim seorang pegawainya bernama Yurina Kamiyama ke sini dan bapak menunjuk saya untuk membimbing dia selama di sini kan? Betul kan pak!?”

Pak Heru menatapku dengan ekspresi bingung. Aku semakin panik.

“Tidak pernah ada karyawan mereka yang dikirim ke sini, maksudmu apa?”

“Tapi Pak, saya ingat betul! Meeting pagi tanggal 7 bulan kemarin anda mengumumkan kedatangan Yurina dan menunjuk saya! Saya ingat!”

Sekarang ekspresi Pak Heru berubah menjadi tatapan khawatir

“Adi, kamu kelihatannya kurang sehat. Apa kamu berhalusinasi?”

“Tidak! Pak, tolong! Tolong katakan yang saya ingat itu benar!”

Pak Heru menarik nafas panjang lalu membuka laci mejanya dan memberiku sebuah map merah

“Ini, notula rapat 6 bulan terakhir. Kamu lihat sendiri saja”

Dengan segera kucari tanggal 7 bulan lalu di map itu. Dan aku tak percaya apa yang kulihat. Alih-alih ada poin tentang kedatangan Yurina, yang ada malah soal kemungkinan mengirim salah satu pegawai senior ke Jepang. Dan poin-poin lain yang berbeda dengan yang kuingat.

“Tak mungkin…” desisku

Kulihat tanggal sebelumnya, anehnya semua poin yang tercatat di sana aku ingat betul. Tapi tanggal 7 setelahnya berbeda jauh dengan apa yang kuingat. Apa yang terjadi di tanggal 7? Oh iya, aku terlambat masuk pagi-paginya. Dan sempat mengalami masalah di lift. Tunggu, lift?

“Bila dunia lain itu hanya sedikit berbeda dengan dunia kita, mungkin kita tak butuh ritual”

Tiba-tiba kalimat terakhir Yurina terngiang di telingaku

“Sayonara Adi-san…Terima kasih mau mendengarku selama berada di sini…”

…Di sini? Apa maksudnya di sini?

“Adi? Kamu puas? Bawa saja map itu kalau mau” Pak Heru membuyarkan lamunanku

“…Ya Pak…Maaf…Mengganggu…” gumamku lemas sambil meninggalkan ruang berjalan terhuyung-huyung, entah apa yang Pak Heru pikirkan melihatku seperti itu.

---

Aku menatap pemandangan di luar jendela yang berbalut semburat jingga matahari sore. Ini hari terakhirku bekerja di kantor ini. Di gedung ini.

Aku meninggalkan perusahaan ini bukan karena aku kehilangan Yurina. Bukan karena Yurina tidak pernah eksis untuk semua orang di dunia ini kecuali aku. Tapi karena aku tak mau lagi bekerja di gedung bertingkat dengan lift.

Mimpi burukku tentang dunia gelap dan wanita dari lantai 5 tak pernah muncul lagi. Tapi aku terlanjur trauma dengan lift. Aku tak ingin sendirian dalam bilik logam yang terisolasi dari dunia luar yang entah akan membawaku ke dunia mana. Dan tak butuh ritual untuk itu, buktinya adalah apa yang terjadi padaku dan Yurina.

Ah, Yurina. Aku rindu dengan senyumannya, kehangatan tubuhnya, dan juga cerita-cerita occult-nya. Tapi aku yakin dia bisa menemukan seseorang yang akan mendengarkan ceritanya dengan senang hati. Entah dari dunianya, atau dari dunia lain. Sepertiku. Tapi maaf Yurina, kita mungkin tak akan bertemu lagi. Karena aku tidak pernah ingin menggunakan lift lagi selamanya.



PING!



TAMAT
 
Ceritanya keren, Suhu. Seperti dominan alur horor khas Jepangnya. Dan penceritaannya mantab. Selamat, Suhu.
 
Terima kasih untuk semua yang sudah meluangkan waktu untuk membaca, buat bonus nih ada salam dari nona di lantai 5 :p
image00413.png
 
bikin merinding nih klo harus naek lift sndiri
 
Mantap!! Alurnya dibalik dan pembaca baru menyadarinya di akhir..

Keren...
 
Fiuuhhhhhh akhurnya kelar juga baca cerita yg bikin merinding ..plisss horny tentunya....
Untung juga gak malem2 bacanya...
Tengkiu Om Suhu @reinweiss ..
Bagus cerita Om...
:Peace::Peace::Peace:
 
Bimabet
Nice story...pelan bikin penasaran,endingnya juga mantap
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd