Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

THE ORIGINS OF THE AFFAIR [LKTCP 2020]

Pollux Troy

Guru Semprot
UG-FR
Daftar
2 Jul 2016
Post
603
Like diterima
615
Bimabet
THE ORIGINS OF THE AFFAIR [LKTCP 2020]




“Betapa tidak akan menguji ketabahan, jika sesuatu yang sudah seolah-olah seperti cinta masih juga tidak memberi jaminan kebahagiaan”


INTRO​

Menurut yang kutahu, manusia itu sesungguhnya adalah aseli makhluk emosional, yang tiap keputusan diambil atas dasar turun naik gelombang emosinya, seperti ketamakan, keingintahuan, ketakutan, iri hatinya, dan lain sebagainya.

Hal lain yang kupelajari selanjutnya adalah seni untuk dapat bertahan, bersaing dan memenangkan persaingan hidup dalam segala variasinya, salah satu kuncinya terletak pada apa yang disebut dengan pengaruh personal. Pengaruh yang membuat kita dilihat, didengar, diterima, dipahami dan pada akhirnya bisa jadi diikuti orang lain.

Pengaruh personal didapat melalui beberapa macam jalan, bisa melalui kedudukan atau pangkat, kekayaan atau karena garis keturunan. Tapi sayangnya, pengaruh yang didapat melalui cara-cara major tersebut sifatnya sementara, mudah sekali hilang dan cenderung palsu.

Orang hanya merasa takut, seakan tak punya pilihan dan terpaksa untuk tunduk pada pengaruh yang didapat dengan cara-cara itu. Lagipula untuk mencapai dan mendapatkan pengaruh melalui kedudukan, pangkat, kekayaan dan garis keturunan itu juga tidaklah mudah, memerlukan proses bertahun-tahun dengan tentu saja banyak pengorbanan.

Cara pandangku tentang bagaimana seharusnya mendapatkan pengaruh personal yang sifatnya kuat, permanen dan alami kutemukan melalui jalan panjang dan berliku dikelas-kelas kuliah serta interaksi langsungku dengan banyak orang, yaitu dengan mencoba memahami secara komprehensif dan mendalam spesies yang bernama manusia.

Dari keinginan besar memahami kompleksitas manusia itulah, pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu pada hakekatnya semua mempunyai tendensi sifat pamrih, yakni melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan perhitungan untung-rugi, baik bersifat material maupun non-material, baik dalam hubungan bisnis, sosial, maupun religi. Dalam hal keagamaan misalnya, betapa banyak orang berusaha menjadi baik dan alim “Agar dapat hadiah surga”.

Bahkan pada level pemikiranku yang lebih ekstrim, seorang ibu-pun walaupun dikatakan tulus, tak mengharapkan balasan apa-apa, namun dalam proses seorang perempuan bersedia mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya ia tetaplah memiliki tendensi sifat pamrih, yaitu tak ingin merasa rendah diri, karena nanti kalau tidak punya anak dikatakan mandul, atau takut ditinggalkan suami jika tak mampu memberikan keturunan, atau bahkan mengharapkan kelak ketika dia sudah sepuh dan tua renta anak-anaknyalah yang akan merawatnya.

Kalau memang seorang ibu benar-benar memiliki ketulusan bak malaikat yang sama sekali tidak mempunyai pamrih, lalu mengapa Malin Kundang dikutuk menjadi batu ketika ia tidak mengakui ibu kandungnya, atau mengapa ada cerita rakyat tentang si Mardan mati tenggelam karena banjir bandang, yang seketika muncul tiba-tiba akibat kutukan ibunya yang merasa sakit hati karena diingkari?.

Namun tentu saja, pemikiran ekstrimku soal tendensi sifat pamrih yang ada pada sosok ibu, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat dan berbaktiku pada sosok-sosok perempuan yang menyandang sebutan ibu, terutama pada ibuku sendiri, walaupun faktanya sedari kecil aku sudah ditinggalkan dan diterlantarkannya.

Aku hanya ingin menegaskan dan berani memastikan. Bahwa semua orang tanpa terkecuali, memiliki tendensi sifat pamrih.

Sekalipun aku banyak dikritik oleh kolega dan teman-teman lintas profesi karena dianggap terlalu vulgar dan provokatif dalam mengungkapkan pendapat, bagiku kebenaran harus disampaikan, sekalipun tidak populer atau bertentangan dengan pendapat kebanyakan orang.

Bagi orang yang berpikiran terbuka dan bersifat maju, semua pendapatku pastilah make sense dan realistik. Sedangkan bagi orang-orang yang berpikiran sempit dan hipokrit, pemikiranku dianggap sesat. Bukan karena aku salah, melainkan lebih karena mereka takut menemukan kebenaran yang akan menggoyahkan kepercayaan mereka yang bisa terbukti keliru.

Aku tidak tahu bagaimana dengan kalian, namun jika kalian masih meneruskan membaca ceritaku ini, itu mengindikasikan bahwa kalian masuk kategori orang yang progresif, berpikiran maju dan siap menerima ide-ide baru, termasuk ide paling absurd sekalipun, sepanjang itu pada akhirnya adalah suatu realitas dan bisa dibuktikan kebenarannya.

Jadi dalam keyakinanku, untuk memiliki pengaruh personal yang powerful dan alami agar orang lain mau melakukan apa yang kita inginkan, syaratnya adalah bahwa kita harus bisa menyentuh sisi emosional orang tersebut. Kita harus tahu dengan jelas, keuntungan atau manfaat apa yang kita sediakan sebagai opsi pertukaran mengapa ia mau melakukan apa yang kita minta.

Bila kita sudah paham bahwa semua orang adalah emosional maka hal pertama dan utama yang harus kita lakukan untuk mempengaruhi seseorang itu adalah dengan meletakkan persepsi dan diri kita sendiri pada sudut pandang dan kepentingan orang yang akan kita pengaruhi.

Persepsi adalah segalanya.

Yang namanya manusia emosional itu bukan melulu kaum perempuan, melainkan juga kaum pria. Sekalipun konon, perempuan lebih emosional, sedangkan pria lebih logis, namun dalam realitas interaksi manusia, keduanya sama emosionalnya.

Kebenaran lain yang perlu kusampaikan adalah tentang egoisme semua orang, yang tak akan pernah peduli dengan kepentingan orang lain. Orang-orang hanya peduli pada kepentingannya sendiri, oleh sebab itu ketika kamu mulai berbicara tentang kepentingannya, maka dengan sendirinya dia akan mulai tertarik dan kemudian mengikuti apa yang kamu minta, karena dalam persepsinya, hal itu akan mewujudkan kepentingannya. Itulah yang kusebut pengaruh personal.

Namaku Hariyanto, mungkin kamu pernah mendengar tentang aku bukan? Atau belum?? Terserahlah. Dan inilah ceritaku.



PROLOG​

Sepanjang hidup aku sering merasa kesepian. Mungkin karena aku anak semata wayang dari sepasang suami istri yang luar biasa egois hingga tak peduli pada anak kandung mereka satu-satunya. Aku tumbuh besar dan berkembang dalam sepi. Sepi bukan dalam arti harfiah, tetapi lebih kepada suasana hatiku yang selalu suram dan selalu merasa terasing.

Aku juga selalu merasa tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan, memahami dan menjadi tempatku mencurahkan perasaan. Maka hari-hari yang kulaluipun dipenuhi dengan kesepian.

Setiap kali bertemu orang lain, aku seakan kesulitan untuk mengungkapkan kata-kata. Aku lebih sering terdiam, mendengarkan mereka berbicara. Akibatnya banyak yang menilai aku adalah orang pendiam. Hal baiknya dari kebiasaanku hanya terdiam bila bertemu orang adalah aku jadi punya kemampuan mendengar lebih baik daripada orang kebanyakan, dan memikirkan kata perkata atau kalimat per kalimat yang kudengar dan memaknainya tentu saja dengan lebih baik pula.

Kelak dalam perjalanan hidup selanjutnya, aku akan menyadari bahwa kemampuanku itu akan sangat berguna sekali dalam berinteraksi dengan orang lain.

Aku sering pergi menjelajah kehutan, mendaki gunung dan menghabiskan waktu berjam jam termangu di tepi pantai melihat matahari tenggelam. Kurasakan tempat tempat itu lebih membuat jiwaku nyaman daripada berada dikeramaian seperti mall, bioskop atau kolam renang tetapi tetap saja merasa sepi dan terasing.

Bertahun tahun kemudian, setelah aku beranjak dewasa kupikir pada akhirnya aku bisa berdamai dengan perasaan kesepian itu. Tidak ada yang salah dengan perasaan yang selalu merasa sepi dan terasing, sepanjang kita tidak mengganggu orang lain bukan?.

Berdamai dengan perasaan kesepian yang kurasakan pada akhirnya kusimpulkan sebagai penerimaan diriku tanpa syarat. Alih-alih berharap orang lain mau mengerti dan memahami diriku, pada akhirnya akulah yang memutuskan untuk belajar mengerti dan memahami orang lain.

Aku punya keyakinan, bahwa selalu ada maksud baik dibalik setiap perilaku orang lain, maka dari itu aku selalu menghormati cara orang lain membentuk dunianya.

Kemudian, aku mengenal seorang gadis. Merasa jatuh cinta, lantas menikah.

Kupikir setelah aku menikah, hidupku tak lagi merasakan kesepian. Walau aku sudah berdamai dengan hal itu, tidak ada salahnya untuk memulai hidup baru dengan orang yang mencintai dan kita cintai.

Tapi ternyata aku salah. Aku tetap saja merasa sepi dan terasing. Dan aku menikmatinya. Kehadiran istri menemaniku malah terasa jadi semacam gangguan yang intens dan terus menerus dan secara perlahan membuat hidupku malah makin terasa tak nyaman.

Aku suka seks, tentu saja dengan wanita. Walau aku selalu merasa kesepian, tapi orientasi seksualku masih sangat normal. Aku tidur dengan banyak wanita. Dari wanita pembantu rumah tangga pamanku yang mengambil keperjakaanku, teman kuliah, pacarnya temen, dosen, sampai selingkuhan atasanku sendiri saat aku masih bekerja diperusahaan asing.

Entahlah, wanita sepertinya suka merasa penasaran dengan laki-laki pendiam. Mungkin laki-laki pendiam kesannya misterius dan dark kali ya. Seingatku, selama meniduri mereka aku sama sekali tak merasakan perasaan apa apa. Kecuali perasaan ingin menuntaskan nafsu syahwatku yang menggelegak.

Cuma ketika aku melakukan penetrasi dalam berbagai posisi dan mendengar lenguhan wanita yang kuentotlah aku tak lagi merasakan sepi dan terasing. Setelah menikah, aku mencoba untuk setia menghentikan semua petualanganku dengan para wanita lain.

Sayangnya, karena mencoba untuk setia itu sepertinya aku jadi agak sedikit menderita. Syahwat ini terlalu besar untuk dihandle oleh hanya satu orang perempuan yang pada awalnya kukira aku mencintainya.

Maka akupun bercerai.
Bagiku kemudian, cinta hanyalah omong kosong.

Selain suka wanita dan tempat tempat eksotis bernuansa alam liar, aku juga suka kopi. Kopi hitam tanpa gula. Varian kopi lainnya seperti Cappucino, latte atau apalah nama lainnya itu bagiku hanyalah minuman para pecundang, well tapi aku tetap menghormati pilihan mereka.

Biasanya tiap sore kalau tidak sibuk aku nongkrong di kedai kopi Khok Thonk. Menyesap kopi harum kental dan panas, sambil mengamati orang-orang yang ada disana dalam diam. Lalu aku melihatnya. Sosok laki-laki tinggi, putih dan sekarang agak gemukan. Ia memakai celana bahan biru dongker dan kemeja putih polos lengan panjang yang digulung. Terlihat tampan dan intelek. Ia merokok seperti kereta api. Memesan kopi, merokok klepas klepus lantas duduk sambil memainkan hapenya.

Rasa nya hampir sekitaran 20 tahun kami tak pernah bertemu lagi. Aku masih mengingat dan mengenalnya. Maka akupun berdiri dari kursiku, dan berjalan menghampirinya.

Ia masih asik dengan rokok, kopi dan smartphone, tak menyadari kalau aku berjalan mendekat. Lalu kutepuk bahunya.




Chapter 1​


Setelah pertemuan yang berakhir dengan aku menerima challenge keblinger Sandy, kuputuskan untuk menjadikan itu sebagai prioritas. Sandy mungkin mengira aku adalah tipe one man show. Padahal sama seperti dia yang memimpin satu tim audit, aku juga punya tim kecil. Sewaktu masih bekerja diperusahaan, aku sudah melihat peluang besar dibidang konsultasi negosiasi-negosiasi bisnis tingkat tinggi, utamanya dalam hal bajak membajak SDM perusahaan kompetitor, dan diceruk itulah tim kecil yang kubentuk mula-mula beroperasi.

Hampir mirip dengan agency, kami mengklasifikasikan dan membuat database nama-nama orang dengan kompetensi dan qualifikasi khusus serta rekam jejak professional, lengkap dengan profil karakter dan kepribadiannya. Kami melakukan analisis mendalam, menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi kemana dan dimana seharusnya orang-orang itu berkarir agar potensinya menjadi maksimal.

Aku mengajak 3 orang junior dari almamaterku untuk melakukan itu semua. Dari awalnya hanya memberikan rekomendasi nama-nama SDM kelas AAA dan membantu proses rekrut ke perusahaan-perusahaan besar, lama-lama kami bahkan dilibatkan langsung dalam negosiasi-negosiasi bisnis tingkat tinggi. Kantor-kantor pengacara publik juga menggunakan basis data kami, untuk merekonstruksikan bagaimana kemungkinan peluang mereka menang dalam pertarungan disidang pengadilan perdata. Dan ketika akhirnya income yang kuhasilkan dari bisnis sampinganku itu menjadi jauh lebih besar dari regular salary bulananku, aku pun memutuskan resign, kemudian fokus menjalankan perusahaan konsultanku sendiri.

Lalu muncullah media social. Dari Facebook, LinkedIn, twit**ter, Youtube, Instagram dan lain sebagainya. Kemunculan platform-platform sosial digital ini seketika mengubah secara massif perform dan cakupan penetrasi market bisnisku. Kalau dulu sebelum ada platform-platform sosial digital itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi, tapi sekarang hanya dalam hitungan hari hasil analisis bisa keluar, bahkan dengan prosentase validitas dan akurasi lebih tinggi.

Itulah sebabnya, aku setuju dan maklum kalau sekarang Mark Zuckerberg dianggap orang paling berbahaya di planet ini. Coba pikirkan, ada hampir 2,8 milyar data pengguna aktif Facebook tersimpan dalam server data centernya di padang gurun Oregon, itu hampir 30% dari total populasi dunia. Belum lagi langkah agresif perusahaannya yang juga mencaplok platform raksasa WhatsApp kemudian.

Respon alami seseorang dalam kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun yang muncul dalam postingan status, komentar, upload dan download foto atau video, atau bahkan sekedar memberikan emoji like, marah, kecewa dan lain sebagainya secara digital tersimpan permanen sebagai data mentah, yang kalau diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dengan metode yang tepat akan menghasilkan simpulan pola-pola perilaku valid dan consist.

Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya ingin kuceritakan pada Sandy saat kami bertemu waktu itu. Tapi tentu aku menjelaskan hanya secara garis besar atau gambaran umumnya saja, karena bagaimanapun, bisnis yang kujalankan sekarang sifatnya private dan confidential. Tapi itulah, entah kenapa, saking hati-hatinya aku malah jadi keseleo lidah dan keceplosan menceritakan kegiatanku yang lain.

Parahnya lagi, Sandy malah tak berminat merespon apa yang sedang kukerjakan, dia justru menjadi sangat tertarik dengan kegiatan lainku yang menurutnya sama saja dengan germo. Bangkek sekali.

Waktu Sandy terbuka menceritakan perjalanan hidupnya setelah kami menamatkan SMU di tahun 1999, aku merasa sungguh tak adil hidup ini. Betapa kebahagiaan itu tak merata turun dari langit. Sejak kecil hidup Sandy sudah enak. Mendapatkan limpahan kasih sayang besar dari kedua orang tuanya yang kaya, pintar secara akademis dan menamatkan SMU dengan puncak prestasi cemerlang. Bahkan begitu masuk kuliah dia sudah digaji Negara. Selesai kuliah Sandy langsung menduduki jabatan basah, menikah dengan perempuan cantik dan punya anak-anak yang lucu, sehat menggemaskan.

Membandingkan hidup Sandy dengan hidupku bagai membandingkan langit dan bumi. Sedari kecil aku sudah kehilangan kasih sayang kedua orang tuaku yang bercerai kemudian masing-masing menikah lagi. Secara ekonomi kami juga berat, beruntunglah aku punya paman yang baik hati. Berkat dukungan moral dan sokongan dananya, aku jadi punya kesempatan untuk melanjutkan kuliah.

Susah payah aku berjuang, mendapat beasiswa dan akhirnya menamatkan kuliahku lebih cepat dari rekan seangkatan. Kehidupanku mulai berubah menjadi lebih baik setelah bekerja. Lantas menikah. Tapi tidak seperti Sandy yang sukses berkeluarga dan beranak-pinak, pernikahanku justru kandas ditahun kedua. Kami belum dikaruniai anak sewaktu memutuskan bercerai secara baik-baik.

Tapi melihatnya masih mengerjakan tugas-tugas kantor atas perintah atasan, sementara aku sudah menjadi pimpinan atas perusahaanku sendiri membuat kepercayaan diriku kemudian berlipat. Tapi itu tak lama, karena seperti yang kubilang tadi, ketidaktertarikan Sandy pada apa sebenarnya yang kukerjakan membuatku tak sempat menceritakan, bahwa aku sudah punya perusahaan dan menjadi bos atas diriku sendiri. Aku menilai, ada kesan dia meremehkan pencapaianku, saat aku mengaku bekerja freelance. Dan semacam rasa seperti kasihan tak sampai hati untuk mengetahui lebih jauh apa tepatnya freelance yang kumaksud.

Bayangkan, selama hampir 20 tahun tak pernah bertemu, sekalinya bertemu dia tak memberiku kesempatan untuk menceritakan pencapaian dibidang karier, sementara Sandy panjang lebar menerangkan kronologis perjalanan karirnya yang moncer, betapa bahagia rumah tangganya dan itu semua kusimak dengan penuh perhatian.

Aku kembali mencoba beberapa kali mengajaknya hangout bareng, masih berharap bisa menceritakan apa sebenarnya opportunis freelance yang kukerjakan, sungguh aku tak nyaman dengan persepsinya yang masih saja menganggap kalau aku tak lebih dari seorang muncikari. Karena kesibukannya, ia beberapa kali menolak. Aku maklum, namanya juga pegawai. Lalu tetiba ia mengontakku, dan kamipun jadi hangout bareng lagi. Edannya, dalam obrolan ngalor-ngidul kami, dengan jenius ia lagi-lagi malah berhasil menggiringku untuk menceritakan detail kegiatanku yang menurutnya tak beda dengan muncikari. Dari matanya aku memang tahu, dia sungguh penasaran banget.

Jengkel, sekalian saja kubuka apa yang kulakukan dengan kegiatan lainku. Blak-blakan. Detail dan terperinci.

Lalu aku melihat perubahan air mukanya. Seperti naluri manusia kebanyakan yang memiliki kecendrungan menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, ia langsung menjadi begitu penasaran ingin tahu lebih detail. Ia menghindari percakapan serius tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, dan malah bernafsu sekali mengejar informasi segala aspek aktifitasku yang berhubungan dengan pelampiasan kesenangan badaniah.

Semakin ia tahu lebih jauh, semakin ia menunjukkan reaksi tak percaya. Sudah pasti dia tak terima melihat kenyataan, kalau hobbynya yang suka pijet-pijet dan ngelonte itu jadi terlihat murahan dan menjijikkan dibanding bagaimana caraku bersenang-senang dengan banyak perempuan high profile, cantik dan seksi pula apalagi. Namun dibalik itu semua, lagi-lagi aku menangkap kesan kalau dia masih terus meremehkanku, dan mengira aku hanya omong kosong membungkus profesiku yang dianggapnya “germo” dengan amazing cerita-cerita tambahan. Dan jujur saja, aku kemudian menjadi begitu jengkel dibuatnya. Bener-bener bangsatlah Sandy itu orangnya.

Sepertinya seumur hidup aku tak boleh memiliki sisi yang lebih unggul dan menarik dari dirinya. Bahkan untuk urusan adu kelamin sekalipun. Ia ternyata masih belum sepenuhnya bisa move on dari sisa-sisa persaingan kami dimasa lalu. Lantas, seperti yang kalian ketahui, ia memberikan challenge padaku. Intuisiku mengatakan bahwa challenge yang diberikan Sandy itu tidaklah terjadi begitu saja. Ada begitu banyak perempuan-perempuan yang ia kenal, lalu mengapa malah ia menyodorkan kakak iparnya sendiri ke dalam challenge???

Bagaimana bisa itu menjadi mungkin?? Menjerumuskan kakak iparnya sendiri??

Setelah memikirkan berbagai kemungkinan, termasuk analisa hubungan sebab akibat, akhirnya aku mengerti sekarang. Dan terus terang saja, aku jadinya harus mengakui bahwa kecerdasan Sandy bukanlah isapan jempol belaka. Dalam waktu singkat, dipertemuan terakhir kami itu Sandy masih bisa memikirkan rencana brilian berupa pemberian tantangan padaku, yang apapun hasilnya, sebenarnyalah hanya akan memberikan keuntungan baginya secara pribadi.

Kalau aku sampai gagal memenuhi challenge, maka secara psikologis aku paling tidak akan merasa tertekan dan tentu saja malu saat bertemu lagi dengannya. Dengan begitu egonya yang selalu haus akan pengakuan keunggulan terpuaskan, dan semua yang kuceritakan padanya bakal verified menjadi cerita omong kosong yang pasti akan dijadikannya bahan bullyan seandainya kelak kami bertemu lagi.

Sebaliknya kalau aku berhasil memenuhi challenge, yang sebenarnya bagiku itu tidaklah berarti apa-apa juga, mengingat ini bukan pertama kalinya aku membawa perempuan baik-baik masuk dalam model affairku. Paling aku hanya merasa puas bisa membalikkan ketidakpercayaan Sandy, bahwa apa yang kukerjakan bukanlah “Germo”. Itu saja tidak lebih.

Tapi bagi Sandy, keberhasilanku akan membuat ia memegang rahasia terbesar kakak iparnya. Rahasia sebesar itu, bisa digunakan untuk menekan dan mengintimidasi kakak iparnya untuk kepentingan-kepentingan Sandy dimasa yang akan datang, termasuk tak menutup kemungkinan Sandy bisa saja menggunakan rahasia itu sebagai kartu Truf meniduri kakak iparnya. Orang sama lonte saja dia mau, apalagi dengan kakak iparnya, yang dari foto-foto terlihat begitu cantik dan montok. Dan jangan lupakan, itu fantasi seksual grade 3.

Ingatanku jadi melayang ke kelas kelas filsafat pada masa kuliah dulu. Bahwa bagaimana sebenarnya manusia adalah serigala bagi sesamanya, Homo Homini Lupus. Idiom ini pertama kali diungkapkan oleh Plato dalam tulisan berjudul Asinaria ditahun 195 SM, kemudian diperkenalkan Thomas Hobbes dalam buku karyanya berjudul De Cive tahun 1651 dan berabad-abad kemudian masih relevan digunakan sebagai konsep dasar memahami pola interaksi manusia.

Serigala disini tentulah maksudnya bukan manusia yang bisa berubah menjadi serigala disaat genting, layaknya peran Jacob Black di film Twillight Saga-nya Stephenie Meyer. Tapi lebih kepada sifat manusia itu sendiri yang suatu waktu bisa menjadi “pemangsa” bagi sesamanya, tanpa kenal lagi rasa sosial, rasa empati, dan kasih sayang. Dan kenapa diserupakan dengan serigala, tak lain dan tak bukan karena kita tahu, bahwa khewan buas ini tak segan saling membunuh sesama serigala lainnya bahkan meski satu indukan, untuk mempertahankan wilayah kekuasaan maupun demi makanan.

Dan kelakuan Sandy menyerahkan kakak iparnya bulat-bulat untuk kugarap secara terencana walau diframingkan ke dalam challenge, dimataku menjadi tak ubahnya perilaku seekor serigala rakus dan penuh tipu muslihat. Ia sudah kehilangan kewarasannya, kehilangan empatinya, dan kehilangan nuraninya tentang bagaimana sebenarnya nilai-nilai etis dan moral hubungan kekeluargaan.

Suami macam apa yang malah memberikan dengan sengaja kakak kandung dari istrinya sendiri untuk dijerumuskan kedalam perbuatan tercela?? Bagaimana perasaannya sebagai seorang suami, kalau istrinya sendiri diperlakukan seperti itu oleh orang lain?

Dan dititik inilah aku akhirnya memutuskan, bahwa tiada perlu lagi ada batasan-batasan etis dan moral yang harus kupegang dalam proses memenuhi challenge nya ini.

Seekor serigala seperti Sandy, hanya dapat dberi pelajaran dan ditaklukkan oleh serigala lainnya yang lebih buas, lebih kuat dan lebih dominan. Seperti diriku.

Jadi begitulah setelah menerima challenge, besoknya kukumpulkan Wuri, Pitahnim dan Jamal diruang meeting. Kusambungkan hapeku dengan projector, dan membiarkan sejenak mereka bertiga termangu menatap tampilan akun facebook Aurelia dilayar.

“Aku mau tahu segala hal tentang perempuan ini.” Kataku memulai. ”Aku mau tahu bagaimana dia berpikir, apa kegemarannya, kebiasaannya, teman-temannya, tempat makan favoritnya, tempat nongkrongnya, apa kegiatan regulernya, pokoknya segalanya. Waktu kita 4 hari.”

40 detik tak ada yang bersuara aku melanjutkan.

“Ini tugas prioritas level 4. Pending yang lain. Hapeku ready 24 jam kalau ada yang belum jelas. OK??”

Lalu aku melanjutkan menjelaskan panjang lebar tentang challenge yang kuterima dan harus kueksekusi.





Chapter 2​


Pada hari ketiga pasca memberikan briefing job description challenge, sore sekitar pukul 14.30 mereka sudah siap untuk meeting presentasi.

Janjikan seminggu, pada hari kelima berikan apa yang mereka mau.
Itu salah satu patternku membuat klien puas. Dan para partner juniorku ini mencopy bulat-bulat hal itu.

Presentasi dilakukan ghoststalker terbaikku, Wuri dan Jamal. Dan aku langsung terperanjat begitu melihat layar menampilkan dua sosok perempuan. Yang satu montok cantik jelita, itu Aurelia. Satunya lagi lebih cantik dan seksi sekali. Ini istrinya si Sandy kalok ngga salah. Aku lihat beberapa fotonya dimedsos Sandy.

Sebelum aku buka suara bertanya, Jamal sudah memulai presentasi.

“Maaf Mas, kalau kita mau tahu lebih jauh soal Aurelia…” ia memencet pointer. Dilayar muncul sosok Aurelia.

“Kita ngga bisa menafikan kehadiran Arbaleta, atau panggilannya Arlet..” Ia pencet pointer lagi. Kini dilayar muncul foto mereka berdua Aurelia dan Arbaleta. Sekarang aku tahu kalau istri Sandy namanya Arbaleta

“Mereka dekat, sangat dekat. Arbaleta ini istri dari laki-laki bernama Sandy, teman masa SMU si Mas sendiri, sedangkan Aurelia itu kakak kandung Arbaleta. Jadi Aurelia ini kakak ipar dari laki-laki bernama Sandy yang adalah temen masa SMU nya Mas Harry…”

Jamal ini pinter padahal, tapi ngomongnya ya gitu, muter-muter, mbulet. Kan fakta soal Aurelia itu kakak ipar Sandy, sudah kujelaskan di briefing awal kemaren.

“Mas Harry akan sulit melakukan pendekatan sama Aurelia tanpa melibatkan adiknya. Mereka berbagi hampir semua hal. Jadi mau tidak mau, Mas Harry harus mendekati dan menguasai keduanya.

Aku mengangguk pelan. Jamal kemudian melanjutkan. Maafkan aku, detail redaksional presentasi terpaksa ngga bisa ditampilkan ya coliers. Soalnya kajian dilakukan secara komprehensif, termasuk mengandung content SARA. Kesian Om @Pollux Troy, tetangga ganteng yang sering kepo nanyak-nanyak soal ilmu psikologis amaku, ‘kan lagi semangat-semangatnya dia belajar nulis, ntar akunnya di infrack atau banned permanen sama admin gegara nulis hasil presentasi mengandung SARA kan sayang.

Analisis Jamal dan Wuri kemudian masuk ke kompleks pola-pola status di media sosial keduanya, termasuk ragam komentar, variasi pilihan emoji, lingkar pertemanan dan terakhir bagaimana fluktuasi emosi Aurelia dan Arbaleta kepada suami mereka masing-masing sehari-hari dan reaksi menanggapi flirting dari friendlist laki-laki mereka di media sosial.

Setelah itu, Pitahnim yang mempunyai spesialisasi dibidang gesture dan mikro ekspresi mengambil alih presentasi untuk menganalisis semua foto-foto yang diposting di media sosial keduanya.

Presentasi mendetail yang hampir 2 jam itu akhirnya selesai. Agak surpraise juga aku mendapati fakta-fakta dan kemungkinan-kemungkinan kecendrungan sikap dan karakter kedua perempuan cantik kakak ipar dan istri si Sandy ini.

“Jadi gimana, challenge itu bisa dipenuhi ngga?.” Kutatap mereka bertiga bergantian. Pitahnim menoleh pada Wuri dan Jamal, yang ditoleh kompak mengangguk.

Berpaling padaku, sambil melepas kacamatanya Pitahnim berkata pelan.

“Aurelia dan Arbaleta ini entotable banget Mas, kedua-duanya….”

Aku bersandar dikursi, mendengar Pitahnim kemudian melanjutkan bahwa Aurelia di usianya yang menjelang 40 tahun ini sebenarnya sedang mengalami puber kedua. Sedangkan Arbaleta dinilai memang memiliki kecendrungan libido tinggi sehingga itu berefek pada penampilannya secara keseluruhan nampak begitu seksi menggoda. Terlihat jelas dari postingan foto-fotonya yang sebagian besar mengenakan pakaian berwarna merah dan atau turunannya. Itu sign positif kadar estrogennya diatas rata-rata.

“Keduanya sedang dalam usia matang secara seksual, Mas” Kudengar suara Wuri menambahkan. ”Tapi tidak mendapatkan seksual time yang cukup secara reguler”

Ya gimana bisa cukup, lha suami-suaminya keseringan keluar kota.

Aku mengusap-usap daguku.

“Rekomendasi untuk proses pendekatan bijimana? ”

“Kuncinya di Aurelia.” Wuri memeriksa berkas-berkas didepannya. ”Selain karena dia lebih tua, dia jauh lebih dominan daripada Arbaleta. Pengaruh Sanguine Sagitarius yang dewasa di Aurelia, terencana, dan terorganisir juga membuat Arbaleta sebagai adik merasa aman dan percaya penuh pada kakaknya ini.

Aku jadi tergelitik dengan hasil analisis ini.

“Jadi kalau udah dapet kakaknya, adiknya juga kemungkinan bisa dapet? ”

“Iya Mas. Tapi tanpa membuat Arbaleta menyukai si mas nya, Aurelia ngga bakal kita dapatkan. Mereka adalah simbiosis mutualisme yang sempurna dalam bentuk hubungan kakak-beradik. “Wuri mengangguk. “Arbaleta itu Melankolis Sempurna. Pisces lagi. Dia ga punya pendirian, moody dan sangat tergantung ama kakaknya. Meski hanya mencintai satu laki-laki, tapi pada dasarnya dia tak akan pernah puas secara seksual dengan satu pasangan. Itu adalah potensi selingkuh yang besar. Baginya setiap hari adalah tantangan, dan dia mampu melakukan hal-hal yang perempuan lain mungkin berpikir dua kali untuk melakukannya. ”

“Maksudnya? Melakukan apa? ”

“Melakukan aktifitas seks diatas normal, seperti Treesome misalnya, atau Gangbang dan pada level yang lebih tinggi mau di sodomi dan BDSM…”

Aku menatap lekat wajah cantik Wuri. Membuat ia jadi terlihat jengah dan kikuk.

“Kamu Pisces juga ‘kan, Wur? ”

Sekarang wajahnya benar-benar memerah. Mungkin ia tak menduga, aku ingat tanggal lahirnya. Payudara besar Wuri membusung saat ia menghela napas, sepertinya tetiba ia terserang sesak napas.

“Iya sih Mas, tapi aku kan Phlegmatis lho... Bukan Melankolis…”

Ya lebih parah Phlegmatis kalau soal ngeseks, gimana see. Bola mata itu begitu melawan, ia bahkan masih berani balas menatapku, seakan menunggu apalagi yang mau kubilang. Oke, cukup soft flirt-nya. Sekarang aku beralih ke Jamal.

“Jadi mulainya gimana ini, Mal? “

“Kalau ketemu langsung sih ngga dak masalah, Mas ”

“Secara fisik dan style penampilan Mas Harry tipikal kesukaan orang sanguine kayak Aurelia ”

“Masalahnya, Aurelia ini dah tau kalau dia punya seks appeal tinggi, dan sadar kalau banyak laki-laki autosangek lihat body semoknya…”

“Jadi ada semacam mekanisme resistensi kalau ada laki-laki yang tetiba sok SKSD…”

Jamal kemudian melanjutkan.

“Mangkanya kalau mau narik perhatiannya, jangan langsung ketemu. Ngga berbekas nanti sama dia kesannya. ”

“Lha jadi gimana? ”

“Hubungi pake telfon dulu Mas,“ Jamal melanjutkan “Tapi ngomongnya jangan formal-formal. Dia itu udah terbiasa ditelfon banyak laki-laki yang bicaranya diatur-atur dan dibuat-buat formal. Jadi nanti kalau si Mas nya ditelfon bicaranya beda, trus pas ketemu ternyata orangnya keren, nahh disitu, kesannya sama si Mas langsung dalem”

“Tapi pas nanti udah ketemu, ubah lagi gaya ngomong si Masnya, biar dia terkesan karena jarang ada orang yang kayak gitu modelnya...”

Aku manggut-manggut.

“Kami sudah menyiapkan 2 Plan, biar Mas Harry bisa dapet perhatian Aurelia secara smoth, alami dan efektif. ” Terdengar suara Pitahnim.

Aku menoleh menatap Pitahnim, membiarkan dia melanjutkan.

Plan A adalah strategi pendekatan pertama untuk masuk dalam jangkauan radar perhatian Aurelia. Tim kecilku menemukan fakta, yang sebenarnya aku sudah tahu, tapi tidak kujelaskan dalam briefing awal. Sengaja mau ngetest, dalam case ini apa mereka masih efektif atau engga. Fakta itu adalah bahwa Aurelia ternyata aktif dalam yayasan yang bergerak dibidang pengembangan dan pendidikan anak-anak jalanan. Posisinya dalam Yayasan itu semacam humasy penggalangan dana. Secara teratur Aurelia mengadakan makan siang bersama setiap bulan dengan para d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) tetap dan donator baru yayasan.

“Tapi jumlah donasinya harus cukup unik untuk membuat Aurelia mengingat siapa yang memberi dan kenapa harus jumlahnya segitu..”

Aku mengerti kemana arah penjelasan Pitahnim.

“Jadi jumlah donasinya berapa?”

“Antara Rp. 8.888.888, Rp. 18.888.888 atau Rp. 28.888.888,- semakin besar semakin baik….”

Aku tersenyum. Itu kan psyco price tag. Banyak diterapkan dipusat-pusat perbelanjaan.

“Oke kupikir angka 18 boleh deh…” Untuk paket berisi dua perempuan secantik Aurelia dan Arbaleta kupikir jumlah itu sepadan.

Pitahnim tersenyum. Mungkin ia maklum, begitu menggoda tampilan kedua perempuan yang fotonya masih terpampang dilayar projector.

“Saya yakin begitu transferan masuk, Mas Harry pasti langsung ditelfon sama Aurelia ini..”

“Plan B nya gimana?…”

Pitahnim menggeleng.
“Plan B nya sebaiknya jangan dulu dibuka. Biar semua fokus kita tertuju ke Plan A, ya Mas…”

Aku mengangguk lagi. Karena kemana fokus kita tertuju, kesana energy kita mengalir.

Ini bukan kali pertama mereka bertiga terlibat proses eksekusi perempuan-perempuan yang menjadi targetku. Tugas mereka hanya membantuku mendapatkan akses dan terhubung secara alami, setelah itu baru kuselesaikan sendiri sesuai keinginanku. Dan seperti yang sudah pernah kubilang, tingkat keberhasilannya sejauh ini 100%. Aku merasa bersyukur dan terberkati sekali bisa bekerjasama dengan anak-anak muda yang sangat kompeten dan efekif ini.

Ego para CEO dilingkaran koneksiku telah membuatku masuk dalam perburuan perempuan-perempuan cantik dan seksi. Mereka pria-pria tajir yang jenuh dan paranoid dengan perempuan-perempuan professional.

Aku melirik Pitahnim yang sekarang sibuk dengan smartphonenya, kayaknya membalas WA cowoknya. Wuri beres-beres berkas presentasi.

Kucolek Jamal, yang berdiri dekat mejaku menyerahkan bendel laporan lengkap sekalian softcopy di flashdisk.

“Dari Aurelia dan Arbaleta ini, kamu sukanya yang mana Mal? ”

Jamal memandang layar LCD projector, melihat foto Aurelia dan Arbaleta.

Tersenyum mesum ia menunjuk Arbaleta. Sudah ketebak apa pilihannya.

“Emang boleh ikutan makek yo Mas?

Aku mendelik dan menggeleng. Kuberi isyarat pada Wuri untuk tunggu sebentar, saat ia menatapku seraya berdiri mau bergerak keluar ruang meeting.

“Oke Jamal, Anim makasi banyak ya.” Tahu aku menahan Wuri, keduanya tersenyum simpul geleng-geleng kepala. Kuantar kedua junior partnerku itu keluar ruang meeting. Setelah mengunci pintu aku berbalik.

Aku lupa udah berapa kali ku-entot gadis ini tiap dia selesai presentasi.

Rasanya aku selalu terangsang berat setiap melihatnya tampil dan berbicara formal didepanku.

“Jam berapa kamu dijemput Andre?” Andre itu cowo nya Wuri.

“Tengah enam, Mas ” Menggigit bibir bawah, ia menunduk.

“Masih ada waktu sejam lagi….”

Jangan membiarkan wanita menunggu terlalu lama. Karena setiap detik dia bisa berkelana. Kembali ke masa lalu, atau membayangkan penggantimu.

“Kamu pernah dianal?”

Wuri mengangkat wajah menatapku, senyumnya kecut saat ia mengangguk pelan.



Chapter 3​


Persis seperti yang diprediksi Pitahnim, Aurelia menelfonku sekitar pukul 11.00. Kupencet icon telefon merah dilayar untuk merejeck. Dua jam yang lalu Pitahnim memberitahu bahwa uang donasi sudah ditransfer. Aku memiliki 3 nomer ponsel Aurelia hasil aktifitas underground Jamal, termasuk nomer private yang digunakannya berkomunikasi hanya dengan keluarga atau orang terdekat. Tadi ia menelfonku dengan nomer regular, yang biasa digunakannya untuk urusan pekerjaan.

Aku memberi kode Aurelia 2 dikontakku. Nomer ini juga sekaligus nomer WA nya, Imo dan aplikasi wikipedia.

10 menit kemudian, aku yang menelfon nomer Aurelia 2. Dua kali nada sambung, langsung diangkatnya.

“Haalloouwwh…” Suara lembut Aurelia untuk pertama kalinya kudengar. Bangkek dah, bahkan suaranya aja seksi.

“Iya halo. Selamat pagi dik…tadi situ ngebel saya ya..?”

“Selamat siang juga bapak Harianto….” Nada suaranya begitu ramah. Kelihatan sekali ia sudah terbiasa.

“Iya bapak, tadi saya yang nelfon. Saya Aurelia pak…” ia memberi jeda beberapa detik. “ Saya dari komite penggalangan dana yayasan..”

“Ohhh iya iya..dik Oerel…” Jamal sudah memberitahuku, bahwa Aurelia ini biasa dipanggil dengan sebutan Bu Lia.

“Sudah masuk yakan, dek Oerel?” Terdiam beberapa detik ia menjawab.

“Sudah bapak, kami berterima kasih atas perhatian dan partisipasi bapak pada yayasan kita ini.”

“Baek baek oke oke, oke dek Oerel semoga itu bermangpaat buat anak-anak kita yahh…”

“Iyaah, bermanfaat sekali bapak..hehee….” Agak terkejut aku mendengar keberaniannya mengkoreksi speelingku. Mungkin itu spontan, tak sengaja. Kedengarannya juga ia agak kesal karena aku terus memotong, mengambil alih inisiatif berbicara, membuat ia jadi tak bisa berbicara seperti yang biasa dilakukannya pada donator baru lainnya.

“Iya maksud saya bermampaat…”

Samar terdengar ia menarik napas. Kubayangkan seraut wajah cantik seperti yang kulihat di Facebook, bibir agak tebal, penuh dan seksi.

“Begini pak, “ Ia melanjutkan. “Yayasan kita punya tradisi untuk menjaga silaturahmi antar d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain). Ini terbatas bapak, hanya untuk kalangan d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) saja. “

“Kami mengundang bapak untuk ikut lunch gathering. Tempatnya nanti saya konfirmasikan. Kira-kira bapak Harianto bisa hadir ya pak?…”

“Kapan itu dek….?”

“Uhhmmm..Sabtu ini bapak…”

Lalu ia menjelaskan, acara makan siang itu secara teratur dilakukan setiap bulan disebuah restoran nelayan. Pemilik restoran nelayan yang menjadi tempat jamuan makan siang itu sendiri merupakan salah satu founder yayasan.

Aku mengatakan pada Aurelia bahwa aku harus melihat terlebih dahulu jadwalku, dan berjanji akan menghubunginya kembali jika sudah kupastikan bisa hadir. Setelah mengucapkan terima kasih, kuakhiri sambungan telefon. Aku tak tahu pasti, apa yang dirasakan Aurelia setelah percakapan by phone pertama kami ini. Kecuali mungkin ia masih mengingat betapa unik jumlah donasi yang kami sumbangkan.

Besoknya, kuminta Pitahnim untuk menelfon Aurelia mengonfirmasi kedatanganku.

Sehari sebelum acara aku sudah berada dikotanya Sandy, menginap di salah satu hotel dan berkeliling menggunakan kacamata tanduk dan topi. Kupikir Sandy ngga akan terlalu maju sampai mengecek untuk mengendus aktifitasku melakukan pendekatan pada Aurelia. Dan kalaupun itu dilakukannya, aku sudah mengantisipasinya, sengaja kuposting aku sedang bepergian ke luar pulau di status WA, lengkap dengan share foto aku seakan-akan dalam proses menunggu boarding pass dibandara, bersama Wuri dan Pitahnim.

Penampilan Wuri dan Pitahnim yang cantik dan semok kujamin akan mengalihkan perhatian syahwat Sandy. Bisa saja alih-alih menyelidiki aktifitasku, jadinya malah ia mulai melakukan stalking pada kedua junior partnerku itu, karena mengira mereka termasuk dalam perempuan-perenpuan yang menjadi targetku.

Sepanjang hari aku berkeliling mengitari kota. Aku bahkan sempat ngopi dikantin cluster kompleks bangunan yang terdiri dari kantor yayasan, panti asuhan, workshop pelatihan kerja dan rumah singgah anak jalanan. Bangunannya besar tapi terkesan sederhana dan bersih terawat. Sejauh ini aku tak menemukan sosok semok cantik jelita Aurelia. Wajar sajalah, mengingat posisinya yang berada di komite penggalangan dana, kemungkinan sebagian besar waktunya habis diluar untuk melakukan lobby-lobby atau menjalankan aktifitas-aktifitas kehumasan.

Terakhir aku juga melakukan orientasi ke restoran nelayan tempat pertemuan besok. Letaknya sedikit dipinggiran kota, bangunan restorannya megah, didesain sedemikian rupa dengan ornament-ornamen berkelas sehigga nampak elegan untuk menjadi spot foto para pengunjung, pokoknya Instagramable bangetlah, plus sangat bersih dan asri dengan adanya pepohonan rindang tertata apik. Halaman parkirnya yang luas terlihat selalu padat dengan mobil-mobil pengunjung, terutama pada saat jam makan siang dan malam hari.

Setelah selesai melakukan orientasi lapangan, kuputuskan untuk kembali kehotel dan beristirahat. Besok akan menjadi salah satu dari rangkaian hari-hari terpenting dalam tahapanku memenuhi challenge Sandy.
 
Terakhir diubah:
Chapter 4​


Keesokan harinya, sekitar pukul 11.00 aku sudah sampai dipelataran parkiran restoran nelayan itu. Suasana begitu ramai karena menjelang makan siang, apalagi ini akhir pekan. Setelah bertanya pada seorang pelayan, aku kemudian diantar untuk masuk ke ruang bagian dalam. Rupanya jamuan makan siang khusus d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) yayasan diadakan di salah satu lounge vip restoran ini.

Kupikir akulah orang pertama yang datang. Tapi ternyata aku salah. Dari gadis muda berparas manis dan sopan yang mengantar, aku dapat penjelasan bahwa hanya ada lima undangan, termasuk diriku yang akan makan siang bersama, ditambah Aurelia jadinya berenam.

Empat undangan lain, gadis itu melanjutkan, sudah datang sejak pukul 10.00 dan Aurelia kemudian mengajak para undangan melihat-lihat langsung kompleks Yayasan. Jamuan makan siang itu sendiri direncanakan mulai pukul 12.15. Dari gadis muda itu juga aku dapat bocoran, bahwa Aurelia biasanya akan mengambil posisi duduk diujung oval meja makan jati Jepara yang berada ditengah ruangan. Maka ketika gadis pengantar itu berlalu, aku langsung mengambil posisi duduk diseberang Aurelia, sehingga dalam posisi duduk alamiahnya, mau tidak mau ia akan bersitatap denganku.

Kuletakkan sebuah notes kecil dan ballpoint diatas meja, menandakan kalau ini adalah kursiku. Aku bermaksud akan keluar sebentar, entah duduk di lounge coffe bagian samping resto atau nongkrong santai di beranda yang berfungsi juga menjadi semacam lobby restoran ini. Alunan lembut instrumentalia seruling dan kecapi Sunda yang berpadu dengan suara gemericik air suasana alam pedesaan membuatku agak mengantuk.

Aku baru akan menjelang pintu, saat tetiba pintu dibuka dari luar. Sosok Aurelia berdiri tertahan didepanku dan terkejut. Aku seketika terpukau melihat pesona kecantikannya secara langsung. Aurelia ternyata aselinya lebih tinggi dari foto-foto yang kulihat, kulit putihnya melepak bagai pualam. Kecantikan wajahnya klasik, dan makin terlihat anggun dalam riasan sederhana yang cocok sekali dengan raut wajahnya. Dan sama betul seperti apa yang dikatakan Jamal, ia memiliki susuk tubuh padat dan montok menggiurkan, tipikal tubuh MILF hayalan sangek tiap laki-laki normal yang melihatnya.

“Pak Harianto?” Tatapan bening matanya menyelidik, setengah tak percaya. Ia beranjak masuk, membuat pintu yang ditahannya menutup perlahan.

Kuulurkan tangan, memberikan senyum terbaik sambil mengangguk. Kami bersalaman. Tangannya begitu lembut, halus dan hangat. Sekuat tenaga aku mempertahankan gesture tetap sopan dengan berusaha hanya menatap wajahnya, tonjolan besar dada membusungnya luar biasa mengoda padahal.

“Senang akhirnya bisa ketemu, Bu Lia.”

“Bukaaaaannn..” Tersenyum ramah ia membesarkan matanya “Saya dek Orel…”

Aku tersenyum.

“Kenapa? Udah ngga pantes lagi dipanggil adek ya Pak? Dah emak-emak juga kan ternyata” Ia berdiri didepanku, ekspresi meledeknya mau tak mau membuatku kembali tersenyum. Berada dalam jarak sedekat ini, aku bisa merasakan wangi lembut aroma tubuh dan rambutnya.

“Bukan gitu lho bu…” Aku mendehem. “Saya ngga nyangka aja ternyata orangnya begini..”

“Begini gimana pak,?”

“Yahhh, dewasa, dan cantik ternyata.” Aurelia tersenyum.

Ia tampak biasa saja. Mungkin sudah terlalu sering mendengar pujian receh seperti itu.

Beberapa pelayan mulai berdatangan membawa bermacam menu. Aurelia dengan cekatan mengarahkan mereka.

“Sudah lama sampai ya pak?.” Ia mulai bergerak ke kursi diujung oval meja makan jati ini. Tepat seperti bocoran pengantarku tadi.

“Hampir sekitaran setengah jam lah.” Sekarang kami duduk berhadapan.

Aurelia lalu mengatakan kalau tadi dia membawa 4 undangan lainnya melihat-lihat langsung komplek Yayasan. Sama seperti yang dikatakan gadis pengantarku tadi. Aurelia minta maaf, karena tidak menunggu untuk membawaku serta. Ia mengira, karena kesibukan aku akan datang di last minute.

“Lho jadi mana, undangan lainnya.?”

“Kayaknya ke rest room, pak.”

Halah, pasti gerombolan undangan itu pada ngatjengan semua sepanjang ditemani Aurelia melihat-lihat kompleks yayasan, jadi begitu balek kemari, ngatjengnya reda terakhir pengen pipis.

Empat orang pria setengah baya kemudian datang bergabung. Dari sepatu dan setelan batik mahal yang mereka kenakan menunjukkan bahwa meraka adalah pria-pria tajir pengusaha sukses. Aku mengenali 3 orang diantaranya, karena masuk database pengusaha yang kami miliki, tapi tentu saja sebaliknya mereka tidak mengenalku.

Perusahaanku lebih sering berhubungan dengan CEO perusahaan, dibanding terhubung langsung dengan owner. Meskipun tajir, mereka adalah pria-pria ramah dan menyenangkan.

Jamuan makan siang berlangsung dengan hangat dan akrab. Aku tak heran bila tidak ada satupun obrolan kami menyinggung masalah yayasan. Memang begitulah realitas kegiatan-kegiatan filantropis yang diadakan secara private seperti ini. Pria-pria tajir ini, yang menjalankan bisnisnya dengan tangan besi dan berdarah-darah baru akan bicara soal tetek bengek masalah kemanusiaan dan segala macam keprihatinan sosial bila ada media yang meliput.

Mereka memerlukan pengakuan lewat publikasi atas aktifitas filantropis mereka, tetapi dalam ranah private, pembicaraan seperti itu hanya akan menghilangkan selera makan mereka saja.

Dan tentu saja, Aurelia lah yang menjadi bintang jamuan makan ini. Kecantikan paras dan keanggunan sikapnya membuat ia bak seorang ratu yang dikelilingi penasehat-penasehat kerajaan. Tak jemu ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan pribadi menjurus nakal dari para pria setengah tua itu. Dari soal sepele seperti apa hobbynya, kemana tempat liburan favoritnya, bahkan sampai pertanyaan nakal soal bagaimana dia mengatasi kesepian hubungan LDR dengan suaminya.

Dari jawaban-jawaban Aurelia yang smart dan cenderung nakal juga, kusimpulkan ia menikmati menjadi pusat perhatian. Kupikir pantaslah yayasan menempatkannya diposisi yang sekarang ini. Jumlah donasi yang dihasilkannya tentu besar.

Aku sendiri juga ikut aktif dalam obrolan, walau normative. Sekedar menunjukkan kesopanan dan tata krama. Selama ia terlibat obrolan dengan pria-pria itu, beberapa kali matanya beradu pandang denganku, tapi lantas cepat-cepat di alihkannya. Aku cukup terkejut melihat bagaimana kreatifnya pria-pria tua ini selalu saja mendapatkan bahan guyonan. Mungkin soal jam terbang juga ya. Celetukan-celetukan konyol dan berbau mesum dari mereka berempat tak jarang membuatku dan Aurelia tertawa geli.

“Mbak Aurelia ini pantesnya ikut saya aja, jadi staf ahli saya.”
“Loh buat afah ente fake staf ahli, kayak anggota dewan aza”
“Lagian fan ente lagi lemah syahwat nih sekarang”
“Lha justru itu, kalau didampingi mba Aurel, mungkin bisa jrengg lagi hahahaa”
“Huhahahaa”
“Huhahaha”

“Mba Lia makan ngga ada fantangan ya.?.”
“Ohhh ngga ada pak. Saya mah semua saya makanin aja kalo pengen.”
“Ohhh fantesan..”
“Pantesan apa bapak…?”
“Fantesan itu body semok banget..”
“Huhahahah”
“Huahaha”
“Eewww si bapak. Ngeselin aja ah ahhahaha.”

“Semok semok gini masih cantik ‘kan, pak?”
“Ya emang cantik. Orang jarang difake..”
“Huhahahaa..”
“Huhahaha”
“Ihhh asemm ah si bapak..”

Selesai makan siang, lanjut ngobrol ringan ngalor ngidul. Tapi itu sebentar saja, karena setelah masing-masing bertukar kontak kamipun bubar, tentunya setelah merencanakan akan mengadakan acara ngopi bareng lagi kapan-kapan.

Jamuan makan siang ini nampaknya benar-benar terjadi secara harfiah, hanya makan siang, tukar-menukar nomor kontak dan bubar. Kecewa juga sih jadinya. Aku tidak melihat ada lagi kesempatan untuk melakukan pendekatan lebih lanjut terhadap Aurelia tanpa terlihat agresif. Maka akupun kembali ke hotel, dan malamnya langsung pulang ke kotaku.

Tak banyak memang yang bisa kulakukan dalam pertemuan pertama dengan Aurelia. Kupikir pendekatan terhadap wanita matang seperti dia haruslah smooth dan alami. Tapi sama seperti tipikal wanita lain pada umumnya, fakta bahwa pada beberapa moment ia balas menatap mataku lebih dari 10 detik disela-sela jamuan makan itu sudah cukup memberi sinyal positif bahwa ia secara alami cukup tertarik dengan profilku, mungkin karena aku pria termuda dalam gerombolan d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) itu kali ya. Belum lagi gesturenya yang kerapkali mempermainkan ujung rambut panjang hitam bergelombangnya saat kami bersitatap, dan selalu menunduk atau berpaling kesamping dengan resah diakhir moment saling tatap, itu sudah lebih dari cukup.

Dari seorang kolega yang berprofesi dokter aku pernah dapat bocoran tentang salah satu rahasia terbesar wanita dewasa, dewasa maksudnya aktif secara seksual. Rahasianya adalah, setiap wanita dewasa bila memasuki masa suburnya akan cenderung menjadi lebih agresif. Agresif dalam artian ia akan aktif mencari partner untuk pemenuhan hasrat seksual alaminya.

Ada 3 hari dimana masa subur itu mencapai puncaknya, dan seharusnya mendapatkan penyaluran. Bila tidak, maka ia akan menjadi sarap, dan melakukan hal-hal konyol. Penyaluran bagi wanita saat hasrat seksualnya memuncak tidak melulu melalui hubungan seks, walaupun sebenanya itulah yang utama. Pergi ke pusat keramaian dengan pakaian seksi dan membuat mata para lelaki melirik sudah mampu membuat mereka terpuaskan. Memposting foto seksi di media social, dan flirting membalas komentar-komentar nakal yang masuk juga akan membuat darah erotis mereka berdesir, itulah uniknya wanita.

Bagi wanita bersuami dengan kehidupan seksual yang normal tentu itu bukanlah masalah, begitu juga wanita lajang yang memiliki kekasih atau janda yang ada pacarnya, itu bukanlah masalah. Mereka dapat bercinta kapan saja. Yang jadi masalah justru bagi perempuan seperti Aurelia, yang bersuami tetapi suaminya keseringan diluar kota, saat masa suburnya memuncak, ia sendirian. Aku hanya perlu bersabar, untuk menunggu ia melakukan hal-hal konyol saat masa itu datang.

Dan selama proses menunggu itu, aku boleh mengambil inisiatif untuk berkomunikasi tak langsung dengannya, tapi dalam konteks hanya mengingatkan padanya bahwa aku “masih ada’ dan memperhatikan, contohnya dengan melike postingan Facebooknya, atau sekedar melihat pembaharuan status WA yang dilakukannya. Memberikan komentar singkat juga boleh, cuman aku memilih untuk tidak melakukan itu.

Dan aku tak perlu menunggu terlalu lama ternyata. Empat hari setelah acara makan siang, masuk pesan WA Aurelia. Saat itu aku baru saja selesai meeting dengan Jamal dan Pitahnim soal proyek baru kami.

[Kenapa jumlah donasinya unik seperti itu, Pak? Maaf saya jadi penasaran.. <Emoji senyum>]

Aurelia mengirim pesan WA soal basa basi penasaran pada saat jam kantor. Pertanyaan terbuka lagi, yang tentu saja tak bisa kujawab dengan satu atau dua kata. Fix, dia mulai konyol. Kupikir sebaiknya aku langsung tancap gas.

[Ohhh itu hanya saran dari ahli feng sui saya saja bu…]

[ohhh hahhaha…beneran unik banget soalnya pak…bikin penasaran aja…]

[Halahhh ngga usah pake pak lagi donk…berasa tua saya…<emoji senyum>]

[Lahhhh saya dipanggil ibu juga….<emoji senyum lagi>]

[Ya odah Aureliya dehhh…]

[ngga pake Y….]

[Aurelia…?]

[iya bener…<Emoji jempol>]

[Jangan panggil pak atau mas ya Aurelia, panggil nama aja…]

[Iya…Harianto…<emoji senyum lebar>]

[Saya pake Y lohhh, Aurelia…]

[ohhh pake ya…<emoji senyum> Hariyanto…?]

[iya bener…<emoji jempol>]

Sampai disitu kuputuskan untuk meng-cut chat. Ia mengirim pesan lagi. Tapi sengaja tak kubaca. Aku kemudian pergi makan siang.

Sekitar pukul 16.00, baru kubuka pesan WA Aurelia.

[iya deh, selamat bekerja ya…]


Kuketik balasan.

[ok, thanks. Sorry tadi hapeku lowbed…]

Begitu terkirim, langsung dibaca. Notifikasi mengetik balasan langsung terlihat.

[Mosok seharian lowbatt…]

Tersenyum aku membaca bagaimana ia mencoba mengoreksi speeling chatku.

[Lho yang bener lowbatt ya, bukannya lowbed…<emoji nyengir>]

[Lowbed = Ranjang Rendahan…<emoji terbahak-bahak sampe 4 biji>]

[Wkwkwkwkwkww….<emoji jempol>] Balasku. Terus langsung tancap gas.

[Sepertinya aku ada rencana kesana lagi lusa…]

[Maksudnya?]

[Ke kotamu loh, Lia…]

[Ohhh….]

[Dalam rangka apa??]

[Urusan kerjaan.]

Sampai disitu chat berakhir. Beberapa kali kulihat ia mengetik, mengetik tapi ngga jadi-jadi pesannya. Ia seperti bimbang mau membalas apa.

Sekarang aku benar-benar yakin, rasa penasaran Aurelia pada jumlah donasiku yang unik hanyalah gimmick saja untuk memulai chat pribadi. Dan itu memang normal sekali, apa yang dilakukan Jamal, Pitahnim dan Wuri dengan menyediakan tool alami bagi Aurelia berupa besaran dana donasi yang unik memungkinkannya untuk memulai kontak duluan tanpa kehilangan muka, bekerja dengan sangat efektif.

Kukirim pesan lagi.

[Mungkin kita bisa ngopi bareng ‘kan Aurelia…?]
[kamu suka Ngopi kan?]

Hampir 10 menit kemudian dia baru membaca pesanku dan membalas.

[Iya aku suka ngopi]

[oke, gitu kelar urusanku kita ngopi bareng ya.]

[Boleh….]
[Kamu ama siapa?]

[Sendirian. Gpp kalo kamu mau sama pak suami, sekalian kenalan. Siapa tahu ada proyek di Kalimantan yang bisa dishare ‘kan]

[hahhaa….dia masih disana.]

[ohhh sayang sekali…]

[emang istri kamu ngga ikut?]

[hemm kami sudah pisah lama…]

[ohhh…wahh sorry ya…]

[santai aja, gpp.]

[Ya udah, nanti aku bareng ama sodara ya..]

[Oke.Sippp]

Aku menyandar di kursi. Menyadari betapa rentan suatu hubungan formal membias menjadi hubungan semiprivate seperti ini. Aku ngga tahu apa yang dipikirkan Aurelia setelah tahu status pernikahanku.

Dari Jamal aku mendapatkan informasi, Sandy mulai besok sampai seminggu kedepan akan berada di Batam. Walau sudah berulangkali mengalami proses yang lebih kurang mirip seperti ini, tak urung ada suatu perasaan exiting aneh yang kini kurasakan membayangkan dalam 2 hari kedepan aku akan duduk semeja dengan Aurelia dan Arbaleta.



Chapter 5​


Aurelia terdengar kaget saat aku menelfonnya tengah hari itu. Terlebih saat aku menyebutkan nama tempat dimana kami akan bertemu nanti malam.

“Itu tempat nongkrong favoritku…"
Terangnya ditelefon. Tentu saja, semua hal yang berhubungan denganmu sudah kuketahui Aurelia kataku dalam hati. Dari awal aku sudah mengambil alih kendali, mengikuti instruksi tekhnis dari Wuri dan Pitahnim.

“Wahh, berarti ngga terlalu buruk donk selera tempatku…”

“Kamu tahu dari mana? Pernah kesana?”

“Aku search di Maps…” Aku mendehem, terus melanjutkan “Dari foto-fotonya kelihatan oke, lagian ulasannya juga bagus-bagus.”

“Emang asik sih disitu buat nongkrong.” Ia terdiam sejenak. “Jadi jam berapa?”

“Jam 8 gimana?”

“Hemmm oke deh. Aku ama adikku ya..”

“Oke..”

Tiba-tiba aku merasa kalau Aurelia sebenarnya pengen datang sendirian. Agak aneh dia kembali menekankan akan datang berdua dengan adiknya, bukankah hal itu sudah dikatakannya lewat chat tempo hari? Seakan menginginkan aku untuk protes agar dia hanya datang sendri. Tapi aku sendiri menginginkan kalau dia datang bersama adiknya saja, Arbaleta. Semua plan yang telah disusun akan menjadi lebih mudah kalau dia bersama adiknya.

Malam nya aku datang lebih cepat setengah jam. Kupilih meja yang letaknya agak berada disudut ruangan, tidak terlalu sudut sih, masih ada beberapa meja lagi dibelakangku. Letaknya yang agak disudut memungkinkanku untuk mengamati tempat itu secara lebih detail tanpa menarik perhatian. Tempatnya mewah dan cozy.

Penerangan diatur sedemikiam rupa, tidak terlalu terang, tapi tidak juga temaram remang remang, membuat siapapun betah duduk berjam-jam disini. Pengunjungnya kebanyakan orang dewasa berpasang-pasangan, meski ada juga yang rombongan, tapi rata-rata orang dewasa semua, kagak ada ABG resek yang hanya pesen cappuccino dingin, terus duduk berjam-jam sambil nebeng WIFI gratisan ngegame online.

Kulihat daftar menu, dan Ups harganya rupanya pada mehong, pantesan kagak ada tampang-tampang abg ababil disini. Suara musik akustik mengalun lembut, sambil menunggu aku memesan kopi dan cumi goreng tepung.

Aurelia dan Arbaleta datang tak lama kemudian. Keduanya seksi sekali dengan style busana kasual yang mereka kenakan. Kompakan memakai cardigan hitam dan celana berbahan denim ketat berwarna gelap, tanktop merah muda dibalik cardigan keduanya kelihatan ngepas banget, jadinya bongkahan payudara besar bagian atas Aurelia dan Arbaleta jelas terpampang. Bangkeklah, kok jadi kek lonte gini penampilan informal mereka berdua.

Aurelia mengenalkan adiknya padaku.

“Harry..” Kujabat tangannya.

“Arlet…” Suara nya serak-serak gimana gitu.

“Panjangin donk namanya, mosok Harry aja..” Ledek Aurelia sambil menjatuhkan pantat besarnya diatas kursi.

Aku terkekeh, keduanya kini duduk didepanku sambil memeriksa daftar menu.
Kami mulai ngobrol hal-hal ringan, seperti betapa cukup sering mereka nongkrong disini menghabiskan waktu berdua. kalau bersama anak-anak atau anggota keluarga yang lain, tempatnya beda lagi.

“Jadi udah kelar urusan kerjaannya?” Tanya Aurelia setelah mengembalikan daftar menu pada pelayan yang kemudian segera berlalu.

Aku mengangguk. Sekilas melirik Arlet yang memainkan gawai.
“Aku kemari buat ketemu Pakdhe Karyo…”
Mata Aurelia membesar. Arlet menghentikan aktifitasnya memainkan gawai, ikut menatapku menyimak. Semua orang dikota ini kenal siapa Pakdhe Karyo.
”Pakdhe Karyo juragan sapi itu ya…”
“Iya.” Kuseruput kopi.
“Aku invest 30 sapi muda dipeternakannya. Sistemnya bagi hasil, beliau yang menggemukkan.”

Apa yang kukatakan emang sepenuhnya benar. Aku beneran mulai terjun dibisnis penggemukan sapi. Yang enggak bener, sebenarnya aku ngga bertemu dengan Pakdhe hari ini. Deal bisnis bagi hasil peternakan itu sudah jauh hari diselesaikan Jamal.

“Banting stir dong dari konsultan ke bisnis sapi….”

“Ngga juga. Tetap jalan kok. Itu kan core bisnisku. Penggemukan sapi hanya bisnis sekunder. Aku lebih percaya model bisnis real seperti itu ketimbang program-program financial ribet kayak investasi saham, reksadana atau apalah istilahnya segala macam.”

Pelayan datang membawa minuman mereka.
Aku lantas bertanya pada Arlet.
“Kamu sendiri kegiatannya apa, Arlet?”
Arlet menatapku dan tersenyum. Tipe senyuman yang begitu menawan. Ia mengangkat bahu dan menghela napas pendek.
“Ngga ada sih, biasa aja.” Lalu meneruskan. “Antar jemput anak sekolah, masak, fitnes seminggu tiga kali, sesekali nongkrong kayagini ama mba Aurel..”

“Kompak kalian ya, jarang-jarang lho kaka adik bisa kompak begini kalau dah pada merrid…”

Keduanya saling pandang dan tertawa kecil.

“Ya mo gimana lagi, Har” Aurelia menyesap jusnya. Ngakunya suka ngopi, tapi dia dan Arlet malah pesan jus. “Sejak kecil emang kita berdua udah deket. Dan hemmm setelah merrid, nasib kita beneran hampir mirip deh kayaknya hahhaha….”

Aurelia lantas menceritakan bahwa dulu dia pernah tinggal di Kalimantan ikut suaminya. Tetapi setelah kedua anaknya makin besar, pertimbangan kualitas pendidikan anak membuat mereka memutuskan untuk pindah boyongan kembali kemari. Kesibukan para suami yang keseringan keluar kota membuat hubungan persaudaraan mereka makin dekat. Aku manggut-manggut mendengarkan. Semua itu sudah diceritakan Sandy padaku.

Obrolan terputus saat makanan datang, kuminta secangkir kopi tambahan tanpa gula. Sambil makan, Aurelia kembali menceritakan bagaimana ia dan Arlet menghabiskan waktu bersama. Dan lagi-lagi apa yang diceritakannya persis sama dengan apa yang dikatakan Sandy waktu itu.

Kuperhatikan beberapa kali diantara obrolan kami pandangan mata Arlet melayang kebelakangku. Kalau tidak salah tadi, meja itu ditempati seorang pria paroh baya dengan pasangannya, walau tak terlalu jelas, aku ingat pria itu berwajah simpatik dan nampak keren dalam usinya yang matang. Tapi tentu saja aku berlagak gak ambil pusing.

“Jadi kamu psikiater ya?” Untuk pertama kalinya Arlet mengajukan pertanyaan padaku. Well, sepertinya Aurelia udah menceritakan sekilas tentang latar belakangku padanya.

“Bukan. Bukan Psikiater. Aku Psikolog.” Jawabku. Sekarang obrolan menjadi lebih serius sedikit.

Dengan bahasa sesederhana mungkin aku lantas menerangkan perbedaan psikiater dengan psikolog. Kujelaskan bahwa secara umum ada 3 perbedaan utama antara psikiater dan psikolog. Pertama, psikiater adalah dokter medis, sementara psikolog tidak. Kedua, psikiater bisa meresepkan obat, sementara psikolog tidak bisa. Ketiga, psikiater mendiagnosis penyakit, mengelola perawatan, dan menyediakan berbagai terapi untuk penyakit mental yang kompleks dan serius. Sementara psikolog hanya fokus pada pemberian psikoterapi untuk membantu pasien, biasanya ini menyangkut masalah perilaku, kesulitan belajar, depresi dan masalah kecemasan.

“Berarti orang orang yang ditangani psikiater boleh dibilang udah gangguan jiwa berat donk ya” Tanya Aurelia.

“Biasanya iya.”
“Dan tidak bisa orang langsung ujug-ujug datang ke psikiater, karena psikiatri adalah bagian dari spesialis medis, maka tiap orang yang dirasa perlu konsultasi psikiatri membutuhkan rujukan dari dokter medis umum dulu”

Aurelia dan Arlet gantian manggut-manggut kayak orang bego. Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka berdua.

“Kenapa senyam-senyum gitu..” Aurelia menyelidik langsung kemataku.

“Engga, kalian imut banget kalau pasang tampang serius kek gitu..”

“Halahhh kintillll..” Arbaleta mencibir, sementara Aurelia masih tampak serius menatapku. Entahlah, tapi kupikir Aurelia agak terlalu sering berlama lama menatap langsung kemataku, mungkinkah ia mencari-cari sesuatu didalam mataku.

“Tapi serius, kamu juga buka praktek konsultasi ya?” Tanya Aurelia kemudian.

“Ohhh ngga pernah.”

“Kalau maksudmu konsultasi secara private, itu kulakukan dulu pas masih kerja diperusahaan, aku menanggungjawabi bagian konseling staff dan karyawan di HRD”

“Kenapa begitu?” Kali ini Arlet yang bersuara, ia menatapku.

“Kupikir hidupku udah berat dan banyak masalah…” Kuhela napas, kayaknya obrolan udah sedikit keluar dari kontrolku. Respon dua betina cantik ini sama sekali diluar dugaanku. Padahal aku sudah menyiapkan topik-topik ringan untuk kesan pertama ngopi bareng ini.

“Dalam dunia psikologi, kami disebut terapis. Harus clear dari problem saat memberikan terapi pada klien. Ini tekhnis sekali, pokoknya apapun yang terjadi dalam diri kami, itu berpotensi membias ke klien begitu juga sebaliknya, singkatnya aku belum siap sebenarnya, kalau diperusahaan kan kita ada jobdesk, agak beda ama membuka konsultasi private professional.”

Telepon genggam Aurelia berbunyi. Ia mengeluarkan hape, mematikan nada dering dan kembali menyesap jusnya. Mungkin telepon dari suaminya. Sekarang ia sibuk mengetik, membalas pesan.

“Staff cewe pasti banyak yang pengen konsultasi sama kamu, hahahh”
“Ahh ngga juga.” Kutatap wajah oval Arlet.
“Tampangmu ngga cocok buat ngasi konseling padahal…”
“Emang tampangku kenapa?”
“Biasanya tampang psikolog itu kalau dia cowo kebapaan, kalau cewe keibuan, kesannya ngemong gitu loh…”
“Emang tampangku ngga kebapaan apa, aku 40 loh tahun depan.”
“Enggak. Tampangmu lebih mirip badboy gitu” Jawab Arlet, aku manggut-manggut.

“Dimana emang kamu lihat tampang psikolog kebapaan kayak gitu?”
“Itu kayak Robin Williams di film Good Will Hunting”
Aku terkekeh.
“Itukan film, Arlet.”

“Arlet emang daridulu terobsesi ama bapak bapak, Har” Aurelia melirik adiknya. Yang dilirik manyunkan bibirnya. Aku memandangi mereka bergantian.

“Iya dia suka ngga tahan kalau lihat bapak-bapak yang tampilannnya dandy gitu hahahah…ehhhh aduuuhhh” Aurelia menepis tangan Arlet yang mencubit perutnya.

“Serius emang gitu, Let? Suka ama bapak-bapak ya”

Arbaleta memutar bola matanya kearahku, kayaknya dia terinspirasi gaya Anastasia Steele di Fifty Shades Of Grey.

“Gak lah. Apaan bapak bapak bukan tipe ku ahh…”
“Jadi tipemu apaan?”
“Tipe kayak suamiku donk…”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sementara Aurelia terkikik. Nada jawaban Arbaleta terdengar garing dan kosong, bahkan semua orang andai ikut mendengar akan tahu kalau jawaban itu bukanlah keluar dari hatinya.

“Harr…”
"Ya”
Pandanganku dan Aurelia bertemu lagi, dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat pupil matanya membesar.

“Coba kamu baca kondisi psikologis kita berdua sekarang…”

Walau agak terkejut, Arbaleta nampak tidak protes mendengar permintaan Aurelia.

“Kondisi psikologis kalian berdua sekarang?”
“Iya”
Mata Aurelia membinar, Arbaleta menegakkan punggungnya sambil bersidekap. Yahhh dia malah ambil sikap defence. Tangannya yang bersidekap membuat tonjolan payudara besarnya tertekan, dan aku yang tak sengaja memperhatikan itu malah terpergok oleh kilatan matanya yang seakan protes “Apa lu liat-liat tete gue”.

“Singkat aja, Harr.” Aurelia berkata lagi. "Katanya kalau di psikologi, setiap kali orang saling ketemu dan ngobrol, alam bawah sadar mereka masing-masing akan sibuk saling mengamati satu-sama lain, iyakan? Coba penilaian kamu ke kita berdua bagaimana sekarang secara psikologi.”

“Loh kamu kok tahu itu?” Aku terperanjat. Apa yang dikatakan Aurelia memang benar.
“Sejak pertama kali membaca profilmu dan tahu kalau kamu basiknya psikologi aku jadi sering baca-baca artikel psikologi popular di internet.”

“Ohhh gitu…”
“Jangan oh gitu aja donk”

“Oke, jadi kamu mau denger?”
“Iya.”
“Singkat aja ya…”
“ihhh kan udah dibilang tadi singkat aja lohhh…”

“Oke.”
Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku. Mataku dan mata Aurelia kembali bertemu, pupil matanya lagi-lagi kulihat membesar.

“Secara psikologis kamu sekarang sedang happy.” Aurelia berkedip.
“Aku ngga tahu pasti apa yang membuatmu merasa sedemikian happy malam ini, kupikir itu karena kita nongkrong bareng.”

Napas Aurelia tertahan, kayak ia tetiba terserang sesak napas. Persis seperti Wuri tiap kali aku mulai melakukan flirting padanya, yang hampir selalu flirting itu ber ending dengan ngentot. Entah diruanganku, dimobil ataupun di toilet kantor.

“Tapi untuk wanita dewasa sepertimu, hampir selalu itu disebabkan karena hormone. Fix. Kamu sedang lagi dipuncak masa subur.”

Wajah Aurelia memerah, ia tersenyum jengah. Arbaleta tersenyum geli meliriknya.

“Ahh ngaco ahh. Asal aja loh…”
“Lahh, kamu emang sedang happy kan sekarang.?”
Aurelia mengangguk.

“Kalau aku gimana?” Tanya Arbaleta. Aku menoleh dan menggelengkan kepala.
“Kalau kamu agak sulit dibaca.”
“Mungkin karena kita baru pertama kali ini ketemu.” Kuperhatikan pupil mata Arbaleta membesar juga. Ekspresi wajahnya saat mendengarkanku begitu menggemaskan.

“Mungkin aku bisa membaca psikomu kalau,…” Kucondongkan wajah kearahnya sambil memelankan suara “Kalau kamu berhenti flirting dengan bapak-bapak dimeja belakang. Kamu sepertinya emang punya problem ya dengan bapak-bapak?”

Mata Arbaleta seketika terbelalak. Aurelia mulai cekikikan.

“Iiiiihhh beneran ngacok ini mba dianya…” Ia menggerutu.

“Kamu ngga serius ahh orangnya” Kudengar Aurelia berkata pelan. Ia mengedarkan pandang kesekeliling, merapikan rambutnya yang tergerai. Waktu kedua sikunya terangkat, bongkahan payudara montoknya ikut bergoyang. Sialnya, lagi-lagi mata Arlet memergokiku. Tempat kami nongkrong semakin ramai sekarang. Kebanyakan pengunjung yang datang bersamaan dengan kita bertiga udah pada pulang, digantikan dengan pengunjung baru.

“Lha permintaan nya juga kayak gitu, sih”

“Padahal jujur, aku dan Arlet pengen dengar hal-hal yang berbau saintis gitu loh dari kamu. Kan kamu ahli psikologi. Iyakan Let?”

Arlet yang ditanyak mengangguk.

“Lha permintaanmu aja konyol. Jangan salahkan jawabanku gitu. akukan ngikut ritme mu aja”

“Jadi yang tadi bukan hal serius?” Tanya Aurelia.

“Bukan.”

“Ya udah, apa coba tanda-tanda psikologis suami yang lagi selingkuh?” Kali ini Arlet yang bertanya.

Aku menggeleng.
“Itu juga konyol” Jawabku. "Kamu tinggal masukkan keyword itu ke Google, ada jutaan artikel soal itu disana, mau bahasa Indonesia sampek bahasa Jepang juga available.”
Arbaleta tersenyum kecut dan menunduk.

“Jadi bagaimana mengatasi perasaan badmood..” Aurelia mulai bersuara lagi, ragu-ragu. Ia berkata-kata dengan nada rendah, dan tidak melihatku sama sekali. “Yang tiba-tiba aja muncul saat pasangan jauh dari kita?”

Aku bersorak dalam hati. Pertanyaan model inilah yang kutunggu-tunggu. Kupikir akan mendapatkannya setelah beberapa kali nongkrong bareng dan hubungan komunikasi kami menjadi lebih akrab. Dewi fortuna teryata berpihak padaku, aku mendapatkannya bahkan hanya dikesempatan pertama nongkrong dengannya.

“Nahh ini baru pertanyaan yang lumayan serius”

Aurelia melirikku gemas. Arbaleta menurunkan tangannya yang sejak tadi bersidekap. Mulai mengutak-atik gawainya lagi.

“Pertama aku harus tau dulu, badmood gimana tepatnya yang kamu rasakan.”

Aurelia menghela napas pendek.

“Ya perasaan ngga enak aja gitu.” Ia kemudian melanjutkan. “Suamiku 3 minggu disana. Seminggu pulang. Gitu terus saban bulan. Kalau sedang sibuk-sibuknya, kadang cuman 3 atau 4 hari aja dirumah. Terkadang kesibukanku membuat aku ngga terlalu kepikiran. Tapi tetap aja, kalau udah dirumah aku jadi kepikiran dia lagi, dan kalau sudah begitu aku jadi badmood.”

Arbaleta menghentikan aktifitasnya memainkan gawai. Ia berujar pelan sambil menatapku.

“Aku kadang merasa kayagitu juga, kalau mas Sandy tugas luar kota”

“Itu biasa” Jawabku. “Kekawatiran istri terhadap suami yang sedang mencari nafkah sampai jauh. Semua perempuan pasti merasakan itu.”

“Menurutku apa yang kurasakan udah bukan lagi kekawatiran biasa. Tapi lebih ke paranoid.”

“Paranoid?”

Aurelia menggangguk dan mendesah pelan.

“Aku takut dia selingkuh disana. Taulah kan, zaman medsos gini, semua orang mudah terhubung. Pelakor ada dimana mana. Lagian kayaknya sekarang ini cewe-cewe ngga jelas itu demen banget ama laki orang.”

“Emangnya ada tanda-tanda awal kalau dia mungkin selingkuh?” Tanyaku.

“Tanda-tanda?” Kening Aurelia berkerut.

“Hape dipasword. Hapenya ngga boleh disentuh, kemana mana hape dibawa, hapenya di stel silent, sesuatu seperti itulah tanda-tandanya.”

Aurelia menggeleng.

“Atau setoran yang berkurang, banyak pengeluaran ngga jelas. Pemakaian kartu kredit yang ngga transparan juga bisa jadi sign pasangan kita mungkin selingkuh.”

Lagi-lagi Aurelia menggeleng.

“Semuanya normal-normal aja.” Ujarnya, lalu melanjutkan.

“Cuman ada saat saat dimana aku benar-benar ngga bisa menghubunginya.” Aurelia kemudian melanjutkan bahwa ia selalu menelfon suaminya secara acak. Artinya tidak tetap jamnya. Nah, dalam periode 3 minggu itu selalu saja ada masa dimana telfonnya tak diangkat. Kadang sampai 30 menit kemudian baru Aurelia ditelfon balek. Paling cepat 15 menit. Dan itulah salah satu hal yang membuatnya menjadi kepikiran, lantas badmood

“Yahh mungkin emang sedang sibuk urusan kerjaan.”

“Enggak!” Sergah Aurelia “Pekerjaan apa see yang begitu sibuk sampai mengangkat telfon istri aja ngga bisa??? Kecuali dia kerjanya Astronot yang sedang didalam pesawat ulang alik menuju ke Merkurius”

Aku terbahak.

“Ngga ada expedisi antariksa ke Merkurius, itu planet terpanas, paling dekat dengan matahari”

“Ya udah kebulan kalo gitu.” Seulas senyum tipis terukir dibibir Aurelia.

“Mas Sandy juga kayak gitu, Har” Ujar Arbaleta menimpali.

Kusimak wajah cantik Arlet. Terbayang ekspresi wajah Sandy suaminya waktu cerita soal hoby pijet-pijet di spa dan tidur ama ayam.

“Jadi, apa yang kalian lakukan untuk mengatasi badmood itu selama ini?”

“Aku ngegym.”Jawab Arbaleta.

“Palingan nongkrong kayagini.” Ujar Aurelia.

“Badmoodnya jadi ilang ya?”

Arbaleta mendengus.

“Gitu nyampe rumah ya balik lagi badmood” Ia menoleh pada Aurelia.

Aurelia mengangguk.

Aku membuka smartphoneku. Memperlihatkan aplikasi Google Maps.

“Jadi gini..” Kuangsurkan layar hapeku kehadapan mereka berdua, yang menatap heran apa yang kulakukan.

“Ini maps atau peta, betul?”

Keduanya kompak mengangguk.

“Kalian tahu 100% ini adalah peta.” Aku memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkan. "Tapi yang kalian ketahui terbatas, hanya sebatas ini adalah peta. Sedangkan wilayah sebenarnya didalam peta ini kalian tidaklah tahu persis.”

Wajah Aurelia dan Arbaleta terlihat makin bingung.

“Terus, apa hubungannya dengan badmood??” Tanya Aurelia.

“Peta itu persepsimu, sedangkan wilayah itu adalah hidupmu.”

Aku benar-benar tak mengira akan secepat ini memasukkan trigger untuk menarik mereka berdua masuk dalam plan yang telah kurencanakan.

“Perasaan badmood yang kalian alami, itu adalah hasil dari buah pikiran. Sementara pikiran itu sendiri 100% dipengaruhi oleh persepsimu.”

Ekspresi kedua wajah cantik dihadapanku seketika berubah, agaknya mereka mulai mengerti apa yang kumaksud.

“Kekawatiran kalau suami-suami kalian selingkuh itu hanyalah persepsi. 100% persepsi, sedangkan kenyataannya bisa jadi tak terbukti. Begitu juga sebaliknya, mungkin disisi hati kalian yang lain, tak percaya kalau suami-suami kalian akan selingkuh, padahal mungkin saja kenyataannya beneran selingkuh, siapa yang tahu? itu adalah wilayah suamimu, hidup suamimu diluaran sana siapa yang tahu??? Nah, ketidakpastian inilah membuat kalian jadi badmood.”

“Jadi kalo ga mau badmood lagi, cukup ubah persepsi terhadap para suami kalian.”

“Sesimple itu cara kerjanya.” Tutupku. Kuteguk air putih. Kopiku udah tandas sejak tadi soalnya.

Senyum Aurelia merekah. Sementara Arlet manggut-manggut.

“Baru keluar ahh seriusnya.” Ujarnya pelan. Ia kembali menatapku.

“Terus, mengubah persepsi itu gimana caranya”

“Oh gampang. Tinggal memasukkan kalimat-kalimat pendek bernada positif. Aku bisa membuatkan script nya, tinggal kalian hafal dan lafazkan dalam hati sesaat sebelum tidur malam dan sesaat setelah bangun tidur, pas subuh. Lakukan selama 21 hari berturut-turut minimal, lebih sering lebih baik.”

“Wadohhh ribetnya.” Arbaleta geleng-geleng kepala.

“Apa ngga ada tehnik yang lebih cepat dari 21 hari itu” Tanya Aurelia lagi.

Aku mengangguk.

“Ada. By pass istilahnya” Aku mengusap wajah. “Tapi itu extreme, tak kusarankan buat kalian”

“Extreme?”

“Iya, serius extreme”

“Se extreme apa?”

“Pokoknya jangan lah hahahhaa” Aku tergelak.

Manusia itu paradox. Makin dilarang, ia justru akan makin ngebet.

“Apa ada kontak fisiknya” Tanya Arbaleta tiba-tiba. Aku menggeleng, balas menatapnya sejurus lantas menjawab.

“Hanya voice. Sama sekali ngga ada kontak fisik.”

“Ngomong sih gampang, teoritis banget deh solusimu, Har” Ujar Aurelia. Aku mengangkat bahu.

“Percayalah, itu bekerja.” Lalu kulanjutkan. ”Ada jutaan perempuan bersuami diluar sana yang udah menerapkan ini, baik lewat panduan konsulen pernikahan atau menemukan nya sendiri. Itu efektif bekerja Lia.”

Aurelia dan Arbaleta manggut manggut mendengarku bicara.

Aku melirik arlojiku lantas memandang berkeliling.

“Kupikir kita pengunjung paling lama disini.” Ujarku tersenyum. Aurelia dan Arbaleta tertawa kecil.

“Iya kalau dah nongkrong gini kayaknya cepet banget ya waktu berlalu.”

Pukul sepuluh lewat seperempat. Berarti dua jam lebih kami menghabiskan waktu bertiga. Waktunya pulang.



Chapter 6​


Aku baru saja selesai mandi dan bersiap merebahkan diri saat telfonku berbunyi. Aurelia menelfonku.
“Ya Lia?”
“Udah dimana?”
“Dihotel, baru mandi ni mo tidur”
“Ohh”

Ia terdiam. Aku menunggu beberapa detik sebelum balik bertanya dia sendiri dan Arlet apa sudah dirumah.

Aurelia mendesah pelan. Aku menangkap kesan galau dari nada suaranya.

“Arlet udah pulang kerumahnya. Aku lanjut ngopi ini” Ia menyebutkan nama suatu tempat.

Kujatuhkan tubuhku diatas bed, berbaring menyamping memeluk bantal.
“Kenapa ngga pulang? ini sudah hampir dinihari loh.”
“Hemmm” Ia menggumam tak jelas.
“Suamiku ngga bisa kuhubungi lagi.” Diseberang ia mendesah.
Aku seketika terdiam. Ngga tau mau komentar apa. Ironis memikirkan ia tak bisa menelfon suaminya tetapi begitu mudah menghubungi pria lain.
“Jam berapa kamu telfon?.”
“Ya pas kita pulang tadi, sekitaran jam tengah 11-san”
Beberapa saat keheningan menggantung.
Lalu ”Tehnik by pass untuk mengubah persepsi itu berapa lama prosesnya?”

Jantungku sekarang berdetak cepat. Aku beringsut duduk.
“Kurang lebih sejam sampai satu setengah jam.”
“Hanya voice ajakan?”
“Ya. hanya voice.”
“Begitu selesai, efeknya langsung berasa?”
“Yup. Kecuali kalau kamu ada kelainan”
Diseberang ia tertawa kecil.
“Aku serius loh, Har”
“Ya aku juga.”

Kubiarkan ia terdiam beberapa detik. Mungkin berpikir keras dan menimbang segala sesuatunya disana.
Kemudian.

“Nomer berapa kamarnya?”

Kusebutkan nomer kamar lantas sambungan telefon terputus. Dari suaranya yang mantap dan yakin, aku tahu sekarang Aurelia sedang dalam perjalanan kemari. Kuraih gagang telefon hotel, menghubungi resepsionis dan berpesan untuk langsung mengantar kalau ada perempuan yang ingin bertemu denganku.

Tak sampai setengah jam, terdengar ketukan pelan dipintu. Begitu pintu kubuka terlihat sosok Aurelia berdiri gamang, disebelahnya seorang room boy muda mengangguk padaku, kuberikan tip dan anak muda itupun berlalu.

“Masuklah..”

Wajah cantik Aurelia berkilat karena peluh. Agaknya tekanan yang dirasakannya cukup besar dengan memutuskan datang kemari sampai keringat dingin begitu.
Ia duduk disofa depan cermin. Aku dipinggir ranjang.

Sesaat kami terdiam tanpa berkata-kata. Ia kemudian menangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajah, menunduk sambil geleng-geleng kepala.
“Gilak udahan aku ya…” Desahnya.
“Ini ‘kan hanya terapi.” Ujarku hati-hati membesarkan perasaannya. ”Hanya psikoterapi, ngga usah kejauhan mikirnya.”

Ia menengadah menatapku.

“Ketemuan kedua langsung lanjut kehotel…” Ia membesarkan mata. Kuputuskan untuk menghancurkan batasan verbal antara aku dan dia sekarang juga.
“Ya kan ketemuan buat terapi, bukan buat ngentot.”
Wajah Aurelia merah padam karena darah yang seketika naik kekepala, mulutnya terbuka, mungkin ia ngga percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Aku bangkit, membuka kulkas dan memberikan sebotol air mineral padanya.
“Minumlah, buat dulu dirimu nyaman.”
Profil Aurelia yang anggun dan smart saat aku pertama kali aku bertemu dengannya dijamuan makan siang itu seketika lenyap tak berbekas. Melihat tubuh seksi montok yang kini duduk didepanku membuatku seperti melihat seekor anak rusa yang tersangkut disemak-semak tak berdaya.

Setelah minum Aurelia kelihatan mulai tenang.
“Sebelum masuk proses terapi ada beberapa hal yang mau kutanyakan.”
“Jawablah dengan jujur dan apa adanya oke.”
“Hehhh santailah, ngga usah tegang. Coba senyum dulu. Nahhh gitu lebih baik sekarang”

Aku tersenyum melihat ekspresinya.
Aku langsung bertanya, to the point.

“Kamu pernah selingkuh?”

Ia diam.

“Batasan selingkuh ada 3, kontak fisik yang intens, kontak perasaan yang intens atau kombinasi keduanya.”

“Belum pernah.” Jawabnya pendek dan cepat. Agaknya ia mulai menemukan kepercayaan dirinya lagi. Jawabannya mantap dan yakin. Tapi jawaban “belum pernah” yang dipilihnya ketimbang “Tidak akan penah” sudah membuat analisis Pitahnim soal kecendrungan sikapnya terkonfirmasi.

“Berarti kamu adalah malaikat.” Kataku pelan. ”Malaikat yang ngga pernah serong atau berbuat dosa. Dan dengan kacamata malaikat itulah kamu melihat suamimu. Sementara disisi lain kamu tahu, suamimu hanyalah manusia biasa. Laki-laki biasa, yang bekerja jauh dan terlepas dari pengawasan istri. Dan laki-laki biasa itu, bisa saja khilaf. Apalagi seperti katamu tadi, zaman medsos begini semua orang mudah sekali terhubung, banyak pelakor dimana mana dan banyak cewe ngga beres sekarang ini doyan ama laki orang.”

Aurelia masih mendengarkanku dalam diam.

“Jadi sekarang, aku akan membantumu untuk melepas kacamata malaikat itu.”
Kubiarkan beberapa detik ia menyerap kata-kataku.

“Terapi ini membuatmu lebih toleran melihat suamimu, sebagai manusia biasa. Sebagai laki-laki biasa. Setelah menjalani terapi ini kamu akan memandang suamimu dalam pandangan yang lebih fair, dan hal itu akan membuat perasaanmu lebih bahagia, kamu mau?”

Aurelia tersenyum dan mengangguk.

“Terapi ini membuatmu tak lagi merasakan badmood, walau suamimu tak mengangkat telfonmu.”

“Yang sebentar lagi akan kamu terima ini hanya voice, usahakan untuk mendengar dengan fokus. Biarkan apapun pikiran yang muncul, tetap fokus pada suara suara yang kamu dengar.”

Lagi-lagi Aurelia hanya mengangguk.

“Terapi apa ini namanya.” Tanya Aurelia. Aku terkesiap. Terkejut dia bertanya begitu. Aku ingat obrolan kami tadi kalau dia mulai rajin membaca artikel-artikel psikologi akhir-akhir ini. Sebenarnya nama spesifik untuk terapi ini ngga ada sih. Cuman psikoterapi. Itupun hasil modifikasiku aja.

“Ini psikoterapi level elementary. Hanya voice. Berikutnya ada yang level moderat dan expert.” Jawabku kemudian asal jadi.

“Iya namanya apa tehnik psikoterapinya.”
Aku menelan ludah.
“Namanya Colay Terapi.”
“Colay Terapi???” Keningnya berkerut.
“Kalau kamu mau ini berhasil, jangan banyak tanyak deh. Percaya penuhlah amaku.”
“Ohhh iya deh. Oke.”

“Sekarang berbaliklah, menghadap cermin. Posisikan dudukmu senyaman mungkin.”

Aurelia berbalik, kini ia duduk menatap pantulan wajah cantiknya dicermin.
Aku berdiri sekitar 50 cm dibelakangnya. Melalui cermin ia menengadah menatapku.

“Sekarang pejamkan mata.”

“Tarik napas panjang dalem dalem dari hidung, terus keluarkan pelan-pelan dari mulut. Lakukan perlahan dan santai”

Didalam cermin kulihat kelopak mata Aurelia yang menutup masih bergerak gerak.

“Buat dirimu senyaman dan serileks mungkin.”

Aurelia mengikuti dengan patuh instruksiku. Sesaat kemudian kelopak matanya yang menutup tak lagi bergerak-gerak.

“Fokus dan tetaplah konsentrasi mendengar suara apapun yang sebentar lagi kamu akan dengar.”

Berdiri demikian dekat dengan punggung pejalnya aku merasakan ereksiku naik maksimal. Susuk tubuhnya yang montok dan padat begitu menggiurkan. Pelan-pelan kuturunkan celana tidur, membebaskan kontol yang sebenarnya udah ngaceng berat sejak melihat tubuh semoknya memasuki kamar ini.

Kuraih Durex jelly yang selalu ada didalam tas kecilku, lantas kembali berdiri sedekat mungkin dibelakang punggungnya.

“Ngga usah merasa cemas, karena ini hanya voice.” Ujarku perlahan.

“Suara tak akan melukaimu, terus konsentrasi dan dengarkan.”

Dicermin kulihat wajah tenang Aurelia dengan mata terpejam. Napasnya teratur dan ritmis, ia termasuk cukup mudah sekali masuk dalam fase rileks.

Kubuka klip penutup Durex jelly dan memencet isinya.

Suara aneh saat cairan jelly muncrat keluar membuat keningnya berkerenyit. Kelopak matanya yang terpejam kembali bergerak-gerak kekiri dan kekanan.

“Tetap fokus….” Kataku pelan. “Tetap santai. Konsentrasi dan fokus untuk mendengar.”

Kini kelopak mata yang terpejam itu kembali tenang tak bergerak.

Tangan kananku mulai membaluri batang dan kepala kontol dengan Durex jelly, lantas mulai coli dengan gerakan perlahan dan mantap. Hening suasana kamar membuat suara kecipak khas locoan tanganku menjadi begitu jelas. Lewat pantulan cermin kulihat kelopak mata terpejam Aurelia mulai bergerak-gerak lagi. Titik-titik peluh juga bermunculan diwajah glowing cantiknya.

“Tetap rileks dan konsentrasi…”
“Tetap pejamkan mata…”

Kelopak mata terpejam Aurelia terus bergerak gerak ke kanan dan kekiri. Keningnya kembali berkerenyit. Napasnya pun kini jadi cepat dan pendek-pendek.

“Jangan bayangkan darimana asal suara yang kamu dengar ini…” Desahku, mempercepat locoan.

“Tapi kalaupun bayangan itu muncul dipikiranmu biarkan saja”

Kupelankan tempo locoan, menambah jelly dan bergeser makin mendekati punggungnya.

“Kamu bisa membayangkan tidak, darimana sumber suara ini.” Tanyaku pelan sambil memperhatikan kelopak mata terpejam Aurelia yang terus bergerak-gerak

“Anggukkan kepala untuk jawaban iya atau setuju, menggeleng untuk jawaban tidak.”

Bibir indahnya mengatup, mata terpejam makin rapat dan terus bergerak gerak. Samar ia mengangguk.

“Yakin kamu beneran tau??” Kupercepat locoan, suara kecipak belepotan yang ditimbulkannnya makin riuh. Saking enaknya aku sampai terjinjit-jinjit.

Kembali ia mengangguk, kini seulas senyum samar terukir dibibirnya yang mengatup. Sepertinya ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak tersenyum.

“Inilah terapi colay.” Aku mendesah parau, walau enak aku tak mau menuntaskannya sampai selesai. Sayang ahh. Kupelankan tempo locoan.

“Sekarang kamu bukan lagi malaikat”

Kudengar dengusannya seperti menahan tawa.

“Tidak ada malaikat yang mau mendengar secara live laki-laki melakukan coli.”

“Apalagi laki-laki itu bukan suaminya.”

Aku menghentikan locoan. Membersihkan kontol dengan tisu lalu menarik celana.

“Tetap pejamkan mata…”

Kucuci tanganku diwastafel. Kemudian kembali duduk ditepi tempat tidur.

“Sekarang bukalah matamu…”
Melalui pantulan cermin besar itu pandangan kami bertemu.

“Bagaimana rasanya?” Tanyaku. Wajahnya datar saja. Ia terdiam. Mungkin masih syok, tak mengira dengan hal yang baru saja dialaminya.

“Itu tadi level elementary?” Ia balik bertanya.
“iya.”
“Horror ya terapinya” Ujarnya pelan sambil membuang wajahnya kesamping enggan menatapku.
“Kan udah kubilang extreme. Tapi kamu maksa.”
“Masa extreme nya kayagitu”
Dari pantulan cermin Aurelia kulihat melirik.
“Sekarang, tiap kali kamu merasa kecewa karena telfonmu ga diangkat suamimu ingatlah moment ini”

Aurelia memutar duduknya.

“Aku merasakan badmood ini bertahun-tahun, kupikir ini ngga akan terlalu berhasil”

Ia menggigit bibir bawahnya dan menunduk. Aku jadi ingat Wuri lagi, ekspresinya juga begitu tiap kali berpikir untuk menolak atau mengiyakan ajakanku bersetubuh.

“Mungkin aku perlu mencoba terapi level moderat atau expert sekalian.”

Aku terdiam mendengar ucapan perlahan Aurelia.
“Moderat itu full kontak fisik.”
“Sedangkan expert full kontak fisik plus didokumentasikan.”

Aurelia ternganga kaget.

“Dokumentasi?”

“Iya, direkam. Hasil rekaman kujamin aman. Itu akan membuat kamu punya rasa takut dan perasaan bersalah permanen pada suamimu, outputnya sikapmu jadi nurut dan super pengertian pada suami. Apapun yang dilakukan suamimu, tidak akan menimbulkan perasaan apa apa lagi buatmu setelah melewati level expert.”

“Gilak” ia mendesah, menengadah geleng-geleng kepala.

“Selingkuh itu bagian dari mekanisme pertahanan diri, Lia. Yang mencegah orang menjadi stress atau depresi. Walau sebenarnya kelakuan begitu tidak sehat dan negative.”

“Selingkuhlah paling tidak sekali seumur hidupmu. Dan selamanya kamu akan punya pandangan yang fair ke pasanganmu. Itu menyelamatkan banyak pernikahan, anak-anak terhindar dari menjadi korban keegoisan orang tua yang bercerai. Tapi lakukan dengan smart dan berkesan”

Aurelia menatapku sinis.

“Selingkuh menyelamatkan pernikahan heh??”
“Selingkuh yang smart dan berkesan???”

Aku mengerti apa arti tatapan sinisnya. Status dudaku membuat apa yang baru saja kukatakan terkesan sampah.

Aku berdiri. Bermaksud menyudahi ini. Entah kenapa perasaanku jadi ngga karuan. Antara jengkel dan gemas jadi satu. Kayaknya cukup untuk malam ini.

“Ya sudah. Pikirkan saja dulu semua yang kubilang.” Aku mengira ia akan berdiri kemudian pulang. Tapi aku jadi terkejut melihat dia tetap duduk diam diam disana.

“Pulanglah, nanti kita cari waktu yang tepat untuk session lanjutan”

Ia menggeleng. Memundurkan kursi, punggungnya menyandar dimeja depan cermin.

“Coba yang moderat.” Ujarnya pelan.
“Udah ngga waras kamu ahh…”
“Ini udah jam berapa coba.” Kulirik arloji. Hampir pukul 2 pagi.
“Sebentar aja, aku pengen tahu, seperti apa yang moderat.”

Napasku jadi cepat seiring dengan detak jantungku yang mulai berdentam-dentam lagi. Ereksiku pelan-pelan merayap naik.

Kuhela napas panjang. Que serra serra. Terserah lah sekarang.
“Ya sudah. Duduk yang tegak. Jangan menyandar begitu.”
Aurelia menegakkan punggung. Kedua tangannya dipaha. Wajahnya datar saja, nyaris tanpa ekspresi.

“Sekarang pejamkan mata lagi.”

Aku maju mendekati Aurelia yang kini duduk tegak dengan mata terpejam. Napasnya naik turun teratur.

“Kamu belum rileks ini. Buka aja baju luarnya.”

Suaraku mulai berubah lagi, jadi agak parau, sekuat tenaga kupertahankan agar tetap terdengar normal. Masih terpejam Aurelia membuka cardigan, melemparkannya begitu saja dilantai. Gerakannya tenang dan yakin. Hampir setengah gumpalan payudara montok dan mulus bagian atas Aurelia kini terpampang didepanku. Napasnya naik turun. Aku maju makin dekat dan kini memegang kedua bahu setengah telanjangnya.

Kelopak matanya yang terpejam seketika bergerak-gerak saat aku meremas lembut kedua bahu yang begitu halus dan mulus.

Kuturunkan celana, membebaskan kontol yang udah ngaceng berat.

“Rileks Aurelia.” Bisikku ditelinganya. Wangi tubuh dan rambutnya menyeruak, membuatku mabuk kepayang.

Lalu aku menyentuhkannya. Awalnya diujung dagu indah Aurelia. Ia bergidik sesaat, tapi kemudian diam saja. Kulanjutkan perlahan menyusuri lekukan dibawah bibirnya yang mengatup rapat. Napas Aurelia makin cepat, panas dan pendek-pendek.

“Kamu ingin yang moderat Aurelia…?” Bisikku lagi, kembali membungkuk mencium dan menjilat daun telinga kirinya. Aurelia menggelinjang dalam sunyi, bulu-bulu halus tubuhnya meremang.

Kusentuhkan ujung kontol ke bibirnya yang mengatup. Dalam diam ia mengangguk. Ibu jari tangan kananku kini menyusuri tulang dagunya, menyusuri pipi, dan mengusap-usap hidungnya yang mbangir. Saat jempolku mendusel-dusel bibirnya yang seksi dan penuh kudengar ia mulai mendesah dan bibirnya membuka.

Lalu kuselipkan jempol masuk kedalam mulutnya. Lidahnya yang basah seketika bergerak-gerak resah didalam sana.

“Isaplah”

Aku mendesah merasakan sensasi Aurelia dengan lidah dan bibirnya mulai mengisap jempol tangan kananku. Kulumat gemas bibir indah itu dengan jempol, lalu pelan-pelan menariknya keluar, dan menggantinya dengan kontol.
Sesaat aku terdiam, membiarkan hampir seluruh glans tenggelam dimulutnya. Rasanya nikmat sekali, begitu hangat dan basah.

“Buka matamu…”

Rasanya exiting sekali menatap mata perempuan yang sedang mengisap kontol. Dan lagi lagi aku merasakan sensasi itu. Tak ada kilatan protes dari tatapan pasrahnya padaku. Saat aku mulai memajumundurkan kontol menyodok mulutnya, iapun mendesah lagi dan mulai menghisap.

Kuraih kedua sisi kepala Aurelia dengan tanganku, lalu mulai menggenjot mulutnya, awalnya pelan, hanya glans, kemudian kucobloskan sampai setengah bagian.

“Lemaskan tenggkukmu” Bisikku sambil terus menggenjot. Ludahnya mulai membusa, meleleh turun dari dagu sampai keleher. Wajah cantik glowingnya sekarang belepotan lendir, rambut indahnya berantakan.

Sama sekali tak ada penolakan. Ia melakukan semua yang kuminta nyaris tanpa suara.

Aku suka deepthroat, maka aku melakukannya juga pada Aurelia.

Dipercobaan pertama ia langsung tersedak dan mengeluarkan suara seperti mau muntah. Kuberi ia jeda beberapa detik mengambil napas. Terengah-engah Aurelia menengadah menatap mata dan kontolku bergantian, matanya memerah dan berair, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu kucoblos mulutnya lagi.

“Hmmmm….HmmMMM….HMMMMM”

Makin cepat genjotanku makin keras gumamam tak jelas dari mulutnya.
Sambil menggenjot kuturunkan tali tanktop dari bahunya, kutarik bra nya sekalian, maka bongkahan sepasang payudara montok dengan putting kecoklatan Aurelia seketika melompat keluar. Putingnya mengeras dan mencuat.

Malam makin jatuh dan pagi menjelang, kupikir tak cukup waktu lagi untuk mengexplore terlalu lama. Next time deh soal deepthroat itu.

Kutarik dia berdiri, kubalikkan tubuh montok yang kini lunglai pasrah itu. Sekarang ia menatap wajahnya belepotan lendir didalam cermin. Kedua tangannya lemas bertumpu dimeja rias.

Kami saling bersitatap dalam cermin saat aku mulai melepas kancing celana denimnya, sebentar saja dia sudah berdiri setengah menungging dengan celana berikut celana dalam melorot dilutut dan tanktop tergulung di perut. Bulu kemaluan Aurelia yang hitam lebat dan merangas nyaris sampai pusar membuat syahwatku menggelegak hebat.

Pantatnya montok dan padat. Begitu putih dan mulus, dengan pinggul lebar dan perut singset nyaris sempurna untuk ukuran perempuan awal 40-an. Kurogoh memeknya yang basah. Aku ingat Aurelia sedang dipuncak masa subur. Melalui cermin ia menatapku tanpa ekspresi waktu kontolku akhirnya amblas masuk memeknya.

Sensasinya lembab, hangat dan peret.

Tangan kiriku erat melingkari perut, sementara tangan kanan mencengkram pinggul. Dalam posisi berdiri sempurna kugenjot Aurelia dengan brutal, membuat tubuhnya terguncang-guncang.

Aku terus menyetubuhi Aurelia sambil berdiri sampai akhirnya ejakulasiku meledak, saat kontolku berdenyut denyut tak terkendali kurasakan lorong sempit vaginanya bagai menyedot berkedut-kedut, kedua kakinya gemetar sesaat membuatku tahu, malam ini walau sebenarnya aku tak terlalu fit, tapi berhasil juga membuatnya orgasme.

Dengan napas memburu kuseret dan kujatuhkan tubuh semoknya keatas tempat tidur. Matanya terpejam dengan napas turun naek. Rasanya lemas sekali abis ngentot berdiri begitu.

Beberapa saat kemudian ia membuka mata. Wajahnya berkilat karena peluh tapi sama seperti tadi, datar tanpa ekspresi. Aurelia melirik kebawah dan mengusap memek. Bulu kemaluannya menggumpal lepek belepotan lendir precum dan spermaku, sebagian sperma malah ada yang muncrat sampai perut.

Tanpa berkata-kata lagi, kulucuti pakaian Aurelia hingga telanjang, menarik selimut menutupi tubuh kami berdua, kumatikan lampu, dan mencoba untuk tidur sambil memeluknya.

Pagi sekitar pukul 9 lebih seperempat aku terbangun. Dan kembali menyetubuhinya dalam posisi misionaris. Bahkan sebelum pulang, saat Aurelia membersihkan diri dikamar mandi aku menyusul masuk. Awalnya ia menolak dengan alasan cape, tapi akhirnya pasrah melihat aku begitu memaksa. Dilantai kamar mandi itu aku mendoggynya sampai keluar.



Chapter 7​


Setelah berhasil menyetubuhi Aurelia aku jadi sering kepikiran dia. Entahlah, kecantikan paras dan sorot matanya setiap kali menatapku selalu saja terbayang-bayang. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan setelah meniduri perempuan.

Aurelia sendiri anehnya malah bersikap biasa-biasa saja setelah peristiwa malam itu. Ia sama sekali tak ada mengungkit hal itu dalam komunikasi kami selanjutnya, baik chat ataupun telefon. Ia berlagak seolah-olah peristiwa itu tak pernah ada dan tak pernah terjadi.

Ia tahu beberapa kali aku menemui Phakde Karyo dan menginap di hotel, tapi responnya biasa saja. Aurelia bahkan mulai jarang mengechat aku duluan.

Sekitar pukul 1 siang setelah sepanjang pagi menemani Pakdhe Karyo dipeternakan sekaligus makan siang bersama. Aku memutuskan untuk balik kehotel. Ini adalah hari ketiga aku lagi-lagi menginap dikotanya Sandy. Rencananya malam nanti aku pulang. Kupikir perlu juga untuk memberi jeda dalam progres mewujudkan Challenge Sandy. Tokh kakak iparnya udah kueksekusi.

Aku baru saja memasuki lobby saat melihat sosok Arbaleta disalah satu meja cafeteria. Dari jauh Arlet melempar senyum. Ia mengenakan setelan sport, tshirt ngepas badan dan legging. Mau ngegym barangkali. Aku bergabung dimejanya.

“Mana Aurelia?” Tanyaku.
“Dia sibuk semingguan ini” Jawab Arlet santai. Ada kilatan aneh disorot matanya. Perasaanku jadi enggak enak.
“Udah lama disini?”
“Setengahan jam lebih dikitlah.”
“Aku baru dari peternakan Pakdhe” Siapa tahu dia mengendus aroma tubuhku yang asem, tanpa diminta aku menerangkan “Dari tadi pagi, inilah baru balik mau mandi…”
“ohhh gitu…”
“Kamu ama siapa, Let?”
“Ama temen.”
Aku memandang berkeliling.
“Temenku lagi ngepak tasnya diatas, ngga ada disini.”
Aku terdiam. Arlet masih menatapku dengan ketenangan yang aneh.
Sebenarnya Arlet ini lebih cantik dan lebih seksi ketimbang Aurelia. Tapi aku lebih merasa nyaman bila bertemu kakaknya dibanding dia.
“Okelah.” Aku berdiri. “Aku keatas mandi dulu ya.”
Arbaleta mengangguk.


Bagai de javu semua yang pernah kualami rasanya seperti diputar ulang begitu saja. Aku baru selesai mandi, hanya mengenakan boxer dan kaos oblong ketika terdengar ketukan pelan dipintu.

Arlet berdiri tenang-tenang waktu pintu kubuka. Tanpa bicara ia melangkah masuk lantas duduk di kursi depan meja rias. Tas kecilnya digeletakkan begitu saja dilantai dibawah meja rias. Persis seperti apa yang dilakukan Aurelia kemaren.

Setelan ngegymnya membuat aura seksi Arlet terpancar maksimal. Legging hitam yang dipakai, sempurna mencetak liukan padat pinggul dan pantatnya. Sepasang payudara Arlet nyaris sama besar dan montok seperti Aurelia, cuman Arlet sedikit lebih langsing.
Kusambar handuk kimono baru dikapsok, memakainya lantas duduk ditepi tempat tidur.

“Mba Aurel udah cerita semuanya, Har.” Arlet mulai bicara, ia mengamati keseantero kamar. Pandangannnya agak lama waktu melihat cermin dan meja rias, tempat tidur dan pintu kamar mandi. Ia seperti mengingat-ngingat sesuatu dan mencocokkan dengan apa yang sekarang dilihatnya.

“Cerita apa?”
“Iya semuanya.” Jawabnya. “Termasuk terapi horrormu itu.”

Aku menahan napas. Tapi perasaanku jadi tenang melihat kuluman senyumnya, tatapan matanya juga menyenangkan, antara gemes dan interest melihatku.

“Tapi kayaknya berhasil deh. Udah ngga badmood lagi dianya.”
“Ohya? Syukurlah.”
Ia tersenyum.
“Menang banyak kamu ya Har.”
“Ehhhh….ummmmhhh maksudnya?.”
“Halahhh kintil…” Umpatnya. “Go sah belagak bego”

Aku garuk-garuk kepala. Masih menerka-nerka apa maksudnya menemuiku. Langsung ke kamar lagi.
Aku lalu bertanya tentang sikap Aurelia yang menurutku agak berubah sekarang.
“Ohhh mba Aurel beneran sibuk ini. Yayasannya lolos seleksi nerima dana bantuan dari pemerintah.”

Ohhh itu tokh sebabnya maka sikap Aurelia jadi kayak gitu.
“Bukan karena dia marah gergara terapiku? Tanyaku memastikan.
“Terapimu???”Ulang Arlet sarcasm, lalu terbahak.
Setelah tawanya reda Arlet menggeleng.
“Dia mah orangnya emang gitu. Waktunya kerja ya serius kerja, kalo waktunya ngentot ya ngentot”

Whuuaannjaaiii. Aku melengak kaget mendengar ucapan enteng Arbaleta barusan.
Kemudian enak saja dia melanjutkan.
“Ga kaya kamu, kerjaan ama ngentot dijadiin satu.”
Aku speechless.

“Kenapa??”Arlet membesarkan mata. “Ngga enak kan digituin? Orang udah ngomong serius juga, ujug-ujug dijawab pake ngomong jorok. Ngga enak kan??.”

Berarti beneran Aurelia udah cerita semua, sampai mendetail kayaknya.

Aku menarik napas panjang. Menyadari batasan verbal antara aku dan Arlet juga baru saja hancur.

“Ya sudahlah. Yang penting sekarang aku tahu, sikapnya begitu karena beneran sibuk, itu aja sih yang penting.”

“Tau ngga? nanti kalau kerjaannya dah kelar, Mba Aurel katanya mau nyoba yang Expert.”
“Dia bilang begitu?” Aku ga percaya.
Arlet mengangguk.
“Aku juga mau nyobain.”

“Hmmmm bagus itu”
“Tapi langsung yang expert ya.”
“Enak di kamu kalau aku diterapi kaya Mba Aurel” Arlet memutar bola matanya.

“Kamu tau yang expert kaya gimana prosesnya”
Arlet mengangguk.
“Direkam kan..?”
“Ngga takut?”
“Kan kamu yang bilang sama Mba Aurel bakalan dijamin aman”
Aku mengangguk.
“Iya, kujamin aman.”
“Aku pengen selingkuh sekali aja. Biar impas.”
Arlet menggumam, lebih ke bicara pada dirinya sendiri.

Aku berdiri, membuka kulkas mengambil air mineral. Tenggorokanku mendadak kering. Kuberikan sebotol pada Arlet.
“Emang suamimu pernah selingkuh ya?” Terbayang ekspresi Sandy saat ia bercerita hobbynya padaku di Khok Thonk waktu itu.

“Belum pernah ketahuan sih, cuman aku yakin diluar sana dia suka jajan.”
“Emang ada buktinya?”
“Halahhh kintill…” Arlet jadi meradang. Entah dari mana dia dapet umpatan “Halah kintil” ini. Halah kintil Halah kintil terus daritadi.
“Aku istrinya, instink perempuan itu kuat dan jarang melesed.”

Aku kembali duduk ditepi ranjang.
Beberapa saat keheningan menggantung.
Lalu.

“Jadi, ama siapa kamu mau selingkuh?”

Arlet terdiam mendengar pertanyaanku. Ia menunduk mempermainkan ujung-ujujng jari.

Dengan sabar aku menunggu.

“Sama Pak Wid”

Jawabnya kemudian.

“Pak Wid????” Kupikir aku salah dengar. “Pak Wid itu bapak-bapak ya??”

Arlet membuang muka merah padamnya kesamping, enggan menatapku.

“Berarti beneran apa kata Aurelia, kalau kamu ada problem ama bapak-bapak”

Muka Arlet makin merah. Bengap, seolah semua darahnya naek ke wajah.

“Kan kamu yang bilang ke Mba Aurel kalau mau selingkuh itu harus smart dan berkesan…”

“Ya tapi ngga mesti dengan bapak-bapak juga donk"

“Halahhh kintil Let Let…kamu udah cantik, seksi gini lagi, masa sukanya ama bapak-bapak seee???.”

Masih menunduk Arlet menahan senyum mendengar aku ikut-ikutan mengumpat ala halah kintilnya

Pak Wid??? Udahlah bapak-bapak, tradisonal banget lagi namanya. Ngga habis pikir saya.

“Emang Pak Wid ini siapa?”

Arbaleta mengangkat muka.

“Bosnya Mas Sandy”
 
Terakhir diubah:
Chapter 8​



Awalnya Arlet merasa muak setiap kali Sandy menceritakan bagaimana kehebatan pengaruh personal Pak Wid dikantor. Yang pro anak buah-lah, yang problem-solver lah. Seakan semua denyut aktifitas kantor hanya berpusat pada Pak Wid. Bukan sekali dua kali rencana liburan yang telah direncanakan jauh hari mendadak batal hanya gergara Sandy menerima telefon Pak Wid, biasanya kalau sudah begitu, selain liburan gagal total, suaminya malah langsung super sibuk menyelesaikan tugas-tugas mendadak itu.

Dimata Arlet, suaminya luar biasa patuh dan nurut ama sosok Pak Wid. mungkin kalau Pak Wid meminta suaminya masuk ke sumur, tanpa banyak protes dilaksanakan juga.

Pandangan negative Arlet pada sosok Pak Wid kemudian berubah 180 derajat saat suatu ketika ia diajak Sandy datang ke acara ramah tamah kantor. Kharisma Pak Wid yang tenang dan berwibawa seketika membuat jantung Arlet berdebar-debar. Sorot mata tajam dan galak pimpinan kantor suaminya itu berbanding terbalik dengan keramahan dan kesantunannya ketika berbicara. Dikesempatan pertama bersalaman dan diajak bercakap-cakap oleh Pak Wid, Arlet hanya mampu terdiam nervous dan salah tingkah. Dan sejak itu kesan Arlet pada Pak Wid tumbuh dan berkembang menjadi kekaguman tersembunyi. Sampai hari ini

Aku manggut-manggut mendengar Arlet mengakhiri ceritanya soal Pak Wid.

Aku seperti tak asing dengan bagaimana penggambaran strereotipe orang yang namanya Pak Wid ini.

“Nama panjangnya siapa?”

“Widodo Antasena.”

“Ohhhh Widodo Antasena”

Widodo Antasena, pria gempal dan tegap diusianya yang menjelang 55 pernah datang kekantor. Kalau ga keliru itu sekitar 7 atau 8 bulan yang lalu. Ia adalah CEO sebuah perusahaan baru yang bergerak dibidang produksi Alat Pelindung Diri untuk kalangan medis. Data base lengkapnya kupastikan ada pada Jamal. Aku sama sekali ga tahu kalau sebenarnya dia juga merangkap petinggi perusahaan pelat merah.

Pria ini termasuk buaya juga. Karena nilai proyeknya besar, bahkan masuk top 10 semester pertama tahun ini, aku mengizinkannya membawa Wuri liburan ke Raja Ampat. Pulang-pulang Wuri curhat amaku kapok diajak liburan ama Widodo. Belakangan aku tahu dari Pitahnim, Wuri kapok karena sepanjang liburan berkali-kali di treesome ama Widodo dan kompatriotnya bule USA berdarah Jerman David Klein.

Tapi ya kalau beneran Widodo Antasena ini orang yang sama dengan Pak Wid yang dikagumi Arlet.

“Bapak idolamu ini ada kelainan nya loh, Let” Ujarku akhirnya.

“Go sah gitu napa ngomongnya” Protes Arlet sengit. Aku berlagak memutar bola mataku, cuman ga bisa jadinya malah jereng. Membuat dia langsung tertawa.

“Kok kamu tahu sih. Emang kenal ama Pak Wid?.”

“Ya kenal donk. Jelek-jelek gini koneksiku banyak, tahu.”

“Emang kelainannya apaan?.”

“Dia sukanya kalau maen bertiga. Cewenya satu, cowonya 2. Dia ama koleganya yang bule.”

“Mr. David???” Kening Arlet berkerut.

Walahhh berarti beneran ini Widodo yang buaya itu. Kuanggukkan kepala.

“Ihhh ngga nyangka ahhh” Arlet tampak terkejut.

“Padahal Mr. David itu kayaknya pemalu deh orangnya. Mana pendiam juga lagi.”

“Tapi keren kan orangnya.”

“Iya sih.” Mata Arlet menerawang. “Ganteng, bodynya bagus banget.”

Whuannnjaiiii dah positif ini mah Let Let aku membatin sambil menyimak wajahnya yang jadi imut banget karena terbengong.

Hampir pukul 3 sore. Dari ekspresinya aku tahu keputusan sudah ada dikepalanya. Hanya perlu sedikit dorongan maka plan yang kususun bakalan sempurna tereksekusi.

“Jadi gimana?”

“Ntar kuomongin ama Mba Aurel dulu.”

Mataku menelusuri susuk tubuhnya yang menggiurkan. Baru kusadari sekarang sebenarnya istrinya Sandy ini benar-benar luar biasa seksi.

“Apaan see???” Menyadari aku memandangi lekat tubuhnya ia jadi kikuk.

“Kenapa ngga nyobain moderat dulu buat prepare yang expert, Let?”

“Ahhh males.” Arlet mendengus. ”Kamu udah bekasnya Mba Aurel”

“Ohh gitu. Ya udah.”

“Ya udah.”

Aku berdiri. Sorot mata Arlet berubah nanar melihat aku mendekatinya.

Salah dia sih, bilang ya udah tapi tetep diam duduk begitu. Bukannnya pulang kek.

Kutarik pergelangan tangannya, memaksanya berdiri. Lantas kupeluk. Arlet memberontak, sayangnya aku tahu perlawanannya setengah hati.

“Ihhh kamu kok maksa see Har,” Ia meronta dalam pelukan. Gumpalan payudara montoknya menekan dadaku. Kupeluk erat tubuh langsing padat Arlet. Menekan memeknya yang mentul ketutupan legging dengan kontolku yang udah ngaceng berat dibalik boxer dan kimono handuk. Pantatnya pun kuremas gemas.

Ia memalingkan wajahnya kekanan dan kekiri menghindari sosoran bibirku yang hendak melumat bibirnya.

“Udahhh donkkk Har…” Arlet menepis tanganku yang liar merogoh-rogoh memek dan pantatnya. Ngga dapat dibawah, tanganku meluncur keatas, payudara besarnya habis kuremas-remas. Selama sekitar 5 menitan ia terus memberontak dalam pelukanku. Aku udah berhasil membuat legingnya melorot hingga pinggul dan setengah bokongnya kelihatan, payudara kirinya pun berhasil kuhela keluar. Wajahnya berkeringat.

Saat ia menggeliat dan meronta makin heboh, aku langsung berhenti.

Napasku memburu. Napasnya terengah-tengah. Kontolku yang ngaceng udah keluar dan sekarang terangguk-angguk didepannya.

“Sorryyy Let” kubetulkan boxer, memasukkan rudal yang tadi sempat diliriknya. “Aku kebawa suasana.”

Arlet diam saja. Menarik Leggingnya, kemudian membenarkan bra yang berantakan. Ngga berkata-kata lagi ia lalu bergegas keluar kamar.





Chapter 9​



Aku masih berdiri ditengah kamar saat pintu kembali diketuk. Begitu kubuka kulihat wajah pias Arbaleta.

“Tasku ketinggalan” Ujarnya pendek tak berani menatapku, lalu menyelinap masuk.

Ia membungkuk menggapai tas kecilnya dilantai dibawah meja rias. Gerakannya lunglai. Dari belakang kupegang pinggangnya. Kali ini tak ada penolakan seperti tadi. Ia diam saja saat pelan-pelan kudorong ke tempat tidur.

Berdiri memegang pinggangnya dari belakang, aku berhenti ditepi tempat tidur. Kontol ngacengku menekan pantat, dan entah sengaja atau tidak dia malah balas menekan, memutar halus pinggulnya.

Masih berdiri ditepi tempat tidur kulucuti baju Arlet satu persatu sampai telanjang. Beda dengan Aurelia yang berbulu kemaluan lebat, Arlet seperti bayi yang baru lahir. Ia rajin melakukan wax tentunya. Sama sama bugil kuseret dan kujatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Kuciumi dahinya, kuciumi matanya yang terpejam. Napasnya terengah begitu kulumat bibirnya yang membuka. Kusedot lidahnya. Dan saat kemudian bibir dan lidahku meluncur ke leher dan telinga, ia menggelinjang.

Dari leher ciumanku turun menyusuri dada yang membusung padat. Ia tersentak dan membuka mata saat putingnya tenggelam dalam kulumanku. Ia menggeliat resah, matanya terbuka tak nyaman.

“Jangan dikenyot….” Desisnya mendorong wajahku.

“Jilatin aja, aku ngga suka digituin.”

Begitu lidahku menyapu puting, desahannya seketika terdengar. Kuraih tangan kirinya dan mengarahkannya ke kontolku, rasanya enak sekali saat dengan lembut Arlet memegang dan mulai mengocok pelan-pelan.

Aku naik menindihnya. Tak seperti kakaknya yang mudah basah dan lembab, Arlet begitu sempit dan kering. Mungkin benar dia hanya terangsang dengan bapak-bapak.

Tangannnya melingkari punggungku erat, kuhujani leher dengan ciuman dan jilatan. Kupagut telinganya, menggunakan bibir dan lidah kugelitik lubang dan daun telinga. Dalam gelinjangnya yang menghebat, aku mulai berusaha memasukinya. Tapi ngga bisa masuk. Kesat dan kering.

Mukanya juga berkerut kesakitan tiap aku memaksa masuk.

Kesabaranku habis. Arlet jalang brengsek ini benar-benar hanya suka bapak-bapak.

Arlet menatapku heran yang berdiri kesal. Sementara dia sendiri masih terbaring ngangkang ditempat tidur dengan memek terbuka. Memek tipis, kemerahan, gundul dan kering.

Padahal anaknya sudah 2. Ngga habis pikir saya.

Garis tipis dan halus dibawah pusarnya, bekas operasi Cesar kemudian membuatku paham kenapa meski udah punya 2 anak ia masih sempit begitu.

Kuambil Durex jelly, dan menyuruhnya nungging dipinggir tempat tidur. Sesaat aku menyesal, karena kesannya kasar nyuruh dia ujug-ujug nungging gitu. tapi melihatnya dengan patuh melakukan apa yang kuminta, aku jadi berpikir anak ini kayaknya emang harus dikasarin kalo ngentot. Memikirkan itu syahwatku kembali menggelegak. Kulumuri celah pantatnya dengan jelly, kurogoh rogoh memek dengan gemas, membuat dalam nunggingnya ia terjingkat-jingkat, terakhir kucobloskan telunjukku dalam anusnya.

Arlet mengerang pendek, kedua telapak kakinya mengejang terangkat keatas. Ia mendongak menatap langit langit kamar waktu anus dan memeknya kukocok bersamaan dengan jariku.

Desahan Arlet langsung pecah begitu kocokan jari kuganti dengan kontol. Dipercobaan pertama langsung amblas mulus masuk memeknya.

Aku langsung tancap gas menggenjot dengan RPM tinggi. Rasa kesal dan gemasku yang frustasi dari tadi ngga berhasil merangsangnya lewat foreplay kulampiaskan dengan menggenjot memeknya tanpa ampun. Kucengkram erat pinggul, jempol kanan ku bahkan udah ikutan berbenam dalam anusnya.

Genjotan RPM tinggiku ternyata malah jadi boomerang, begitu Arlet yang mulai trance balik menghajar dengan meliuk-liukkan pinggul. Dengan histeris tanpa suara ia dorong-dorongkan pantat kebelakang, dan tiap kali kontolku mentok amblas dalam memeknya, ia putar lagi dalam gerakan kegel.

Untuk pertama kali dalam hidupku, aku ejakulasi tak sampai 3 menit setelah penetrasi.

Aku terbungkuk-bungkuk kengiluan diatas pantatnya, ia terus memutar-mutar pinggul, masih menungging ia naikkan punggung, dan menggapaikan tangannya meraih pantat teposku menekan ke pantatnya.

Aku pun tak tahan lagi, dengan napas terengah-engah aku ambruk menimpa tubuhnya.




Chapter 10​



Taman buatan ini terletak di bagian samping rumah. Terlihat asri dan indah. Arsiteknya tentu seseorang yang punya keseimbangan antara kecerdasan, ketenangan dan jiwa seni.

Aku menekan tombol on dan mulai mengarahkan handycam ke arah tengah taman. Bunga bunga seperti Anggrek, Mawar, Melati, Asoka dan banyak bunga lain yang aku lupa namanya bermekaran. Kuntumnya bergoyang-goyang tertiup angin. Sekumpulan lebah terlihat beterbangan, beberapa ekor ada yang hinggap diatas kuntum bunga. Semak belukar buatan juga menambah kesan yang membuat kita seolah-olah berada di alam.

Handycam ini baru saja diantar Jamal.

Seperti yang kuperkirakan, minggu lalu Aurelia dan Arlet akhirnya dengan antusias menantangku untuk mewujudkan fantasi mereka. Dan ngga masalah juga kalau direkam. Omong kosong segala macam soal expert terapi yang kuterangkan ternyata beneran masuk ke otak dua perempuan istri dan kakak ipar temanku Sandy.

Widodo Antasena sendiri sudah kutemui. Dan seperti respon para buaya pada umumnya, sebelum aku selesai bicara dia udah bilang siyap. Sama sekali tiada keraguan dari wajahnya, meskipun tahu kalau perempuan cantik yang diam-diam menyukainya itu adalah istri dari staf andalannya. Dan ketika aku mengatakan padanya kalau perempuan itu juga bisa dithreesome, wajahnya seketika semringah.

Omong-omong soal threesome, sekarang aku menzoom dua ekor lebah yang terbang berayun-ayun mengitari sekuntum bunga. Bahkan lebah dan bunga juga melakukan treesome kayaknya.

Rumah ini sendiri adalah kediaman Mr. Klein. Bangunannya megah dan besar. Desain interiornya kalau dishoot menggunakan handycam akan menampilkan kesan seoalah-olah kita berada di apartemen atau hotel, karena lorong-lorong bagian dalam rumah ini yang panjang dan berliku mengesankan seperti itu.

Meski besar, rumah ini selalu kosong. Asisten rumah tangga hanya datang tiap pagi. Dan sebelum pukul 10 sudah pulang.

Jadi begitulah, aku membawa Aurelia dan Arlet kemari. Kami menempati kamar tamu dilantai 1. Aku menerangkan beberapa hal yang perlu dilakukan Arlet. Semacam gladiresik lah. Berada dalam satu kamar dengan 2 perempuan cantik dan semok, apalagi yang notabene udah kutiduri membuat syahwatku menggelegak lagi.

Entah bagaimana awalnya, tahu tahu saja aku sudah berdiri mengangkang dengan celana melorot. Dibawah sana Aurelia dan Arlet seperti kerasukan berlomba menjilat dan menghisap. Tak sampai 10 menit, akupun keluar. Saat itulah masuk telefon Jamal mengatakan kalau dia sudah didepan membawa handycam. Akupun keluar kamar menemuinya. Dia juga nanti yang akan mengantar Arlet menuju hotel dimana Widodo dan Mr. Klein chek in.

Sementara aku akan menghajar Aurelia dan merekamnya dengan Handycam ala ala POV pervert kayak dibokep-bokep itu.

Sekali lagi aku menzoom bunga-bunga ditaman. Sekarang ada kadal kecil disana.

Kulirik Arlojiku, sudah pukul 1 siang. Inilah waktunya. Sambil terus menyalakan Handycam aku berputar, berjalan pelan menyusuri lorong menuju kamar.





EPILOG

Kadang-kadang, sebagai variasi aku juga suka menenggak bir. Tapi tentu saja aku tak pernah melakukan itu ditempat-tempat terbuka yang ramai. Tempat favorite ku adalah Ocean Bar. Rumah minum exclusive bagian integral satu satunya hotel bintang 5 dikotaku.

Exclusive karena tak sembarang orang bisa masuk dan minum disitu, hanya untuk tamu hotel, atau VIP member dengan iuran tahunan. Kebanyakan pengunjungnya adalah expatriate.

Di depan meja bartender aku duduk dan mulai menyesap bir dingin. Semua meja di floor penuh. Orang-orang minum sambil bercakap-cakap dengan santun. Diantara orang-orang lokal dan ekspatriate yang memenuhi Ocean malam ini, tak ada satupun yang kukenal.

Sesekali terdengar suara gelak tawa terbahak ketika joke-joke satir mulai diceritakan. Volume alunan irama jazz I Feel Good-nya James Brown disetel pas ditelinga, membuatku yang mendengarnya terhanyut menggerakkan badan dan kepalaku sedikit.

Seorang pria Jepang setengah baya kemudian masuk, lantas duduk disamping kiriku. Wili sang bartender dengan cekatan menyiapkan apa permintaan si Jepang. Sebentar saja ia sudah menikmati minumnya. Sama sepertiku, dia juga mulai bergoyang pelan mengikuti alunan musik.

Dari cermin besar rak minum didepanku, dibalik jejeran botol-botol minuman keras, sekilas tanpa sengaja kulihat pantulan tampang Jepang setengah baya ini.

Kontan aku tersenyum geli. Tampangnya mirip sekali dengan Shigeo Tokuda ternyata.

Entahlah, mungkin aku minum agak terlalu banyak.
Kulihat sekali lagi, walah iya beneran mirip Shigeo.

Ia juga menatap cermin, pandangan kami bertemu. Aku tersenyum tipis, dibalasnya dengan anggukan tegas tanpa ekspresi.

Diteguknya minuman, rasanya aku belum pernah melihat Shigeo ini sebelumnya disini. Mungkin dia member baru, atau kebetulan menginap dan minum sekedar biar tidur jadi nyenyak.

Dicermin, pandangan kami lagi lagi ketemu.
Atas nama sopan santun kuputuskan untuk menegurnya duluan.

“Anda bisa bahasa Indonesia, Tuan?” Tanyaku sopan.

Dicermin ia menatapku sejurus..

“Bisak.” Ia mengangguk. Jawabannya tegas dan pendek. Shigeo ini berbicara bahasa Indonesia dengan dialek Hokkaido.

Sebenarnya kurang sopan mengajukan pertanyaan berturut-turut pada orang asing yang baru pertama kita ketemu, apalagi expatriate begini. Tapi aku beneran penasaran.

“Anda bekerja dimana, Tuan?” Tanyaku lagi.

Shigeo tampak terkejut mendengarku mengajukan lagi pertanyaan. Tapi tampak tak terganggu. Ia memberi isyarat dengan tangannya agar aku mendekat. Dengan patuh, bagai seorang kohai pada sempai-nya, aku beringsut menggeser kursi mendekatinya. Kini aku dan Shigeo duduk begitu dekat, siku kami bahkan nyaris saling bersentuhan.

Ia belum langsung menjawab meski kini aku duduk didekatnya, malah celingukan melihat kekiri-dan kekanan. Seakan-akan apa yang mau dikatakannnya nanti adalah rahasia dan dia takut ada orang lain ikut mendengar.

Aku masih menungggu jawabannya, sedikit merasa menyesal juga kenapa tadi bertanya.

Shigeo mendekatkan wajahnya ketelinga kiriku dan menjawab dengan berbisik. Aroma bir dan asam lambungnya seketika menyeruak memasuki hidungku.
“Sayaaak opporrtuniss freelance….”
Akupun langsung tersedak batuk-batuk.
End OF This Chapter.
 
Terakhir diubah:
Penantian setaun akhirnyaa Hariyanto yang ditunggu² muncul juga hehhehe ..

Selalu suka sama betapa dalam dan complicatednya pemikiran Har di tulisan om Pollux, termasuk berbagai sudut pandang psikologi yg dimasukin di cerita

Semoga sukses yaa !! :beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd