Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The Turtles, The Birds, and The Lighthouse [LCPI 2016]

lerlah

Guru Semprot
Daftar
31 Mar 2015
Post
746
Like diterima
3.310
Bimabet



PART I : THE DISPUTE



Angin pantai yang berhembus kencang serta debur ombak yang buihnya menerpa telapak kakiku menyadarkan diriku dari semua lamunan. Aku berjalan kembali setelah sebelumnya aku membantu seekor penyu yang atrol kesulitan untuk merangkak menuju daratan.


Kutatap kembali langit senja di cakrawala. Matahari sedikit lagi menyentuh bibir laut, memendarkan cahaya oranye yang mengkilat di lautan luas. Di garis pantai, tampak beberapa serdadu tentara sedang bahu membahu menggotong berbagai peralatan dan perlengkapan dari pos terluar di pulau ini ke dalam kapal patroli TNI AL yang berlabuh di sebuah dok kecil. Di belakang mereka tampak sebuah mercusuar yang terlihat menjulang dari balik hutan di ujung pulau.


Dari kejauhan terdengar suara burung – burung yang berkicau di sekitaran hutan bakau, seolah tidak peduli akan terbenamnya matahari. Baru saja aku pergi dari sana, untuk menenangkan diriku diantara hutan bakau dan kicauan burung yang sahut menyahut. Melodi dari alam yang alamiah tidak pernah gagal dalam menenangkanku sekesal apapun diriku.


Salah satu perwira patroli menghampiriku dan mengajakku untuk melakukan upacara penurunan bendera. Para prajurit terlihat sudah berbaris rapi mendengarkan komandan mereka sedang berbicara di depan mereka.


Sangsaka Merah Putih yang masih berkibar meski ditiup angin laut itu perlahan lahan diturunkan dengan iringan hormat tangan kami semua yang berada dibawahnya. Sang Merah Putih kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam kotak kayu ketika sampai di dasar tiang.


Kemudian satu persatu kami semua menaiki kapal patroli itu yang akan mengantarkan kami menuju KRI Bung Tomo yang menunggu di lepas pantai. Suasana haru meliputi semuanya saat kami sudah naik keatas geladak kapal dan kapal mulai angkat sauh menjauh dari dok. Semua tentara memandangi pulau itu untuk terakhir kalinya, tak jarang beberapa prajurit menitikkan air matanya.


Dari kejauhan terdengar bunyi klakson kapal laut yang tak lama kemudian dibalas oleh kapal ini. Itu adalah tanda, secara resmi kami menyerahkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia.


“Pak.. “ Panggil salah satu prajurit yang berdiri di sampingku. Aku hanya menoleh saja tanpa menjawab. Hartoyo nama prajurit itu. Aku bisa melihat dari nama yang terjahit di seragamnya.


“Sebenarnya seperti apa sih pak, persengketaan kedua pulau itu sampai kita bisa kalah?” Tanya dirinya penasaran.


Aku menghembuskan nafasku dan mengingat kembali semuanya dari awal.


~ ~ ~​



6 Juni 1997, Pulau Sipadan

“Memang banyak penyu ya pak di sekitar sini?” Tanyaku sembari memandang ke air laut yang jernih dan memperlihatkan keindahan terumbu karang dan seekor penyu yang sedang berenang.


“Banyak memang.. Dari dulu pulau ini kan tempat penyu bertelur.. Sudah lama ada, dari jaman kompeni dulu sudah ada sepertinya.. Apalagi di Ligitan, penyu yang bersarangnya lebih banyak lagi.” Jawab orang yang berada di depanku sambil mendayung sampan yang kutumpangi ini. “Kalo tidak salah mereka juga yang membangun mercusuar tadi.. Eh apa orang Inggris ya?” Lanjutnya mengingat ingat.


Pak Arai Danum, seorang nelayan yang berasal dari suku Dayak dan berdomisili di pulau Sebatik ini menjadi 'guide dadakan' ku ketika rombongan tim khusus kami tiba di Pulau Sipadan untuk menyurvei kondisi pulau yang menjadi sengketa antara Indonesia dengan Malaysia.


“Yaampun, pulaunya hanya sebesar ini ya, Pak Danum?” Tanyaku kaget ketika sadar sampan kecil yang mengangkut kami berdua ini telah tiba kembali di satu – satunya Dok di pulau Sipadan dimana ‘tur dadakan’ ku dimulai.


Ia tertawa mendengar pertanyaanku barusan. “Yaa, memang segini saja besarnya.. Tapi lumayan lah bisa dijadikan tempat beristirahat kalau lelah melaut.” Ucapnya santai sembari tetap mendayung sampan kecilnya ini mendekat ke dok untuk menurunkanku dari perahu. Disana rekannya juga sudah menunggu dengan kapal ikan yang lebih besar dari sampan yang kutumpangi kali ini. Setelah dia menurunkanku di dok, aku melihat dia mendayung sampan itu ke garis pantai dan menaruh sampan itu di sela sela pepohonan kemudian berjalan ke dok menghampiri diriku dan temannya.


Aku mengucapkan terima kasih kepadanya atas ‘tur’ yang ia berikan kepadaku dan mencoba memberikan dia sedikit uang, ia dan temannya menolak pemberianku dan mempersiapkan kapal ikan mereka untuk segera pulang ke Sebatik. Aku memaksa memberikan uang itu hingga akhirnya Pak Danum menerimanya dan kemudian berlayar pergi tak lama kemudian.


Kemudian aku lalu kembali ke rombongan tim Satgassus (Satuan Tugas Khusus) Sipadan – Ligitan yang sedang berdiskusi dengan beberapa utusan dari PBB yang mengawasi kinerja tim ini. Dalam hati diriku tertawa. Bagaimana tidak? Pulau yang besarnya tidak lebih dari beberapa kali lapangan bola ini menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai dari tahun 70an. Dan itu baru pulau ini, belum lagi pulau Ligitan yang letaknya tidak jauh dari pulau ini. Pulau tersebut bahkan luasnya lebih kecil lagi dari pulau ini..


Tim Satgassus adalah tim khusus bentukan pemerintah yang terdiri dari belasan professor, ahli kartografi, pejabat teras pemerintah, Sejarawan, serta ahli hukum laut dan Internasional. Tugas tim ini adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan pemerintah dalam sengketa Sipadan – Ligitan, dua buah pulau di tengah laut yang dilihat ke segala penjuru tidak terlihat apapun kecuali langit dan laut. Bahkan di kedua pulau ini pun tidak terdapat hasil bumi berharga seperti batubara, gas, ataupun minyak.


Tapi polemik yang kedua pulau ini timbulkan sedemikian dahsyatnya, penyelesaian secara diplomasi tidak membuahkan hasil meskipun sudah mencapai tingkat ASEAN, hingga akhirnya Presiden Soeharto menyetujui untuk menyelesaikan sengketa ini lewat jalur ICJ (International Court of Justice), sebuah organ PBB yang terletak di Den Haag dan bertujuan menyelesaikan sengketa – sengketa Internasional dan mempunyai otoritas tertinggi untuk membuat hasil keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.


Selesai urusan di pulau ini, rombongan kami lalu dijemput oleh kapal patroli TNI AL KRI Kakap yang kemudian mengantar kami hingga ke Tarakan, sebuah kota di utara Kalimantan tempat kami menginap malam ini sebelum kami kembali ke Jakarta untuk membahas hasil survei di kedua pulau tersebut.


Di Jakarta, tim kami langsung rapat untuk mengevaluasi hasil survei di Ruang rapat di komplek Istana Negara. Ternyata benar laporan yang kami terima dari Bupati Nunukan, bahwa Malaysia 'curi start' dengan membangun serangkaian Cottage di Pulau Sipadan. Untunglah kami survei bersama tim PBB yang bisa melihat langsung kecurangan Malaysia.


"Mereka berupaya menggunakan prinsip Efektivitas di Pulau Sipadan.. " Kata Ibu Prof. Etty R. Agoes, pakar hukum laut & Internasional tim kami saat kami sedang berbincang santai.


Prinsip Efektivitas atau Effective Occupation adalah salah satu prinsip dasar Okupasi wilayah di dunia internasional. Inti dari prinsip itu adalah suatu wilayah yang di okupasi suatu negara harus dikelola secara efektif oleh negara tersebut agar bisa secara sah dianggap bagian dari negara tersebut.


Langkah Malaysia membangun Cottage di Sipadan adalah salah satu langkah Prinsip Efektivitas. Dengan membangun Cottage disana, Malaysia berupaya menunjukkan bahwa mereka telah mengelola Sipadan sementara Indonesia tidak melakukan apapun untuk mengelola wilayah yang dipersengketakan ini.


"Lalu kenapa kita tidak ikutan membangun saja di pulau itu?" Kata Pak Lukman sang Bupati Nunukan yang menjadi bagian dari tim ini dengan asal ceplos saja. Tapi sebenarnya masuk akal juga, kalau Malaysia membangun Cottage, kenapa Pemerintah kita tidak ikutan membangun juga untuk bersaing memperebutkan pulau itu?


Well.. Disitulah letak curangnya Malaysia..


Karena sebenarnya..


"Pemerintah kita dan Malaysia lewat Note of Understanding telah bersepakat menetapkan kedua pulau tersebut sebagai Status quo, Pak Lukman." Kata Ibu Etty mengucapkan apa yang kupikirkan. "Makanya ini Malaysia kok aneh betul, diam diam membangun Cottage tanpa sepengetahuan kita.. " lanjut Ibu Etty terlihat senewen.


"Sudah sudah, Bu Etty, lebih baik kita kembali memikirkan argumen hukum kita untuk Written Pleadings.. " Ucap Prof. Mochtar, tokoh hukum paling senior dan dihormati di Indonesia yang juga menjadi ketua tim Satgassus ini. “Silahkan Pak Bagia.. “ Lanjut Pak Mochtar kemudian mempersilahkanku berbicara.


Di umurku yang ke 38 tahun ini, aku, Subagia Nugraha, adalah anggota paling muda diantara para ahli ahli disini yang rata rata berusia diatas 40, bahkan 50 tahun. Namun pengalamanku di dunia hukum bisa dibilang membanggakan.


Setelah lulus dari UNPAR, Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk lanjut kuliah di Utrecht - Belanda dengan mengambil Hukum Laut sebagai bidangku. Kemudian aku sempat menjadi legal advisor di sebuah perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Norwegia hingga akhirnya mendapat kesempatan mengejar gelar Ph.D di Harvard Law University atau setara S3 di Indonesia.


Menteri luar negeri saat itu, bapak Ali Alatas, memanggilku untuk bergabung dengan Tim Satgassus ini sebagai Advisor. Dia menjelaskan secara detail mengenai sengketa Sipadan – Ligitan ini dan mengungkapkan pengalamanku bekerja di bidang negosiasi dalam masalah kelautan akan menambah kekuatan tim Satgassus untuk menangani sengketa ini.


“Terimakasih Prof. Mochtar.. " Ucapku membuka suara. Semua perhatian langsung tertuju kepadaku yang berdiri di tengah ruangan sambil menyalakan mesin ohp untuk presentasiku ini.


"Begini bapak ibu sekalian, menurut teman teman sejarawan kita ini, Indonesia sebenarnya memiliki klaim otentik terhadap kedua pulau ini." Ujarku sembari melihat kepada para sejarawan yang duduk berkumpul di kiri ruangan. Setelah kembali dari kalimantan, aku dan para sejarawan langsung berkoordinasi mengenai latar belakang sejarah kasus ini dan menemukan beberapa hal menarik yang bisa digunakan untuk argumen hukum negara ini.


"Wilayah Nunukan, Sebatik, serta Sipadan dan Ligitan dulunya adalah bagian dari sebuah Kesultanan yang bernama Bulungan. Lalu Kesultanan Bulungan menyerah kepada Belanda dan akibatnya seluruh wilayah kekuasaannya jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Kemudian seperti yang sudah kita ketahui, Soekarno lewat proklamasi mengklaim seluruh wilayah Belanda menjadi wilayah Republik Indonesia, termasuk Sipadan - Ligitan itu tadi.. " Lanjutku dengan memperlihatkan data data yang terpampang di ohp.


Prof. Etty tampak kaget dan senang dengan pemaparanku barusan. "Oh, anda bermaksud menggunakan teori rantai kepemilikan? Yasudah kalau begitu.. Gampang tugas kita, tinggal cari saja dokumen penyerahan kekuasaan Kesultanan Bulungan ke Belanda.. Dan kita berikan ke ICJ beserta bukti pengakuan Belanda terhadap negara kita." Ucapnya dengan antusias. Beberapa anggota tim tampak setuju dengan apa yang Ibu Etty bilang tadi.


Seandainya bisa semudah itu.. Sayangnya tidak..


Melihat keraguanku, Prof Etty langsung bertanya, "Ada yang salah dengan ucapan saya, Pak Bagia?"


"Sayangnya, Malaysia pun bisa mengajukan klaim yang sama, Ibu Etty.." Ucapku sambil mengganti kertas baru yang menampilkan data data dari Malaysia. "Di wilayah Sabah terdapat Kesultanan Sulu yang juga mengklaim memiliki wilayah hingga ke Sipadan - Ligitan. Dan mereka menyerahkan wilayah mereka kepada Spanyol yang kemudian menyerahkan kepada Amerika Serikat lalu diserahkan kepada Inggris yang kemudian seluruh wilayah kekuasaannya menjadi Federasi Malaysia.. " Lanjutku menjelaskan kepada semuanya. Semua orang tampak tersentak dengan data tersebut. Sama seperti diriku saat dijelaskan oleh para sejarawan tadi malam, mereka tidak menyangka bahwa klaim dari Malaysia pun sama kuatnya dengan klaim dari Indonesia.


"Pak Bagia, lalu apakah pihak Belanda dan Inggris pernah mengalami kesulitan dalam penentuan batas wilayah hasil kedua kesultanan tersebut?" Tanya Prof. Mochtar dengan ragu. Namun pertanyaan itu justru membuatku tersenyum, karena jawaban dari pertanyaan itulah yang menjadi kunci argumen hukum yang akan aku paparkan.


"Itu dia Prof!" Ucapku antusias kemudian kembali mengganti kertas bening ohp. "Belanda dan Inggris pada tahun 1891, mengadakan konvensi. Dalam salah satu pasalnya, terdapat pembahasan batas batas wilayah antara kedua pihak.. " jelasku sambil menunjukkan Peta Memori van Toelichting, sebuah peta yang mengilustrasikan tafsiran dari hasil Konvensi 1891. Dalam peta tersebut menunjukkan penarikan garis lurus ke timur dari Pulau Sebatik, semua yang berada di utara milik Inggris, sedangkan yang di selatan milik Belanda. Pulau Sipadan dan Ligitan, berada di selatan garis tersebut.





Kembali lagi semua yang hadir terlihat takjub akan informasi ini. Tampak jelas di mata mereka yang berbinar binar bahwa bukti kongkrit inilah yang akan memenangkan Indonesia dalam sengketa ini.


“Sayangnya yang saya punya sekarang ini hanyalah salinan dan ilustrasi saja..” Potongku mengantisipasi antusiasme berlebihan. Ya, semua ini bukanlah dokumen asli. Aku tidak tahu berada dimana dokumen yang aslinya.


“Oleh karena itu, yang kita perlu dapatkan adalah dokumen otentik mengenai perjanjian penyerahan kekuasaan Kesultanan Bulungan ke Belanda di tahun 1850 dan 1878. Lalu dokumen asli dan lengkap dari hasil Konvensi Belanda dan Inggris di tahun 1891. Bila kita tidak mendapatkan itu semua, maka argumen hukum ini akan lemah di mata hakim ICJ." Ucapku lagi menyampaikan kepada semua yang hadir untuk memfokuskan argumen kita dengan pengumpulan dokumen dokumen otentik perihal semua yang baru saja kuungkapkan dan seluruh orang dengan bulat menyetujui usulanku dan dengan demikian mengakhiri rapat malam itu.



END OF PART I
 
Terakhir diubah:
PART II : THE PROCEEDINGS



Setelah malam itu kami semua mulai bekerja dan berusaha mengumpulkan dan mencari dokumen dokumen tersebut. Prosedur Written Pleading akan dilaksanakan pada tanggal 2 November 1999 (Memorial), 2 Agustus 2000 (Counter Memorial), dan berakhir pada tanggal 2 Maret 2001 (Reply). Pada tahap ini kedua negara akan memberikan argumentasi hukum mereka secara tertulis untuk dinilai oleh para Hakim ICJ. Kemudian nantinya akan dilanjutkan ke dalam tahap Oral Hearing atau Argumentasi Lisan.


Tim Satgassus segera bergerak cepat ke seluruh departemen yang sekiranya memiliki dokumen dokumen yang kami butuhkan dalam penyusunan argumen hukum kami. Namun ternyata sistem pengarsipan yang belum mumpuni dan belum terpadu terbukti menyulitkan tim kami. Secara manual kami harus menelaah ribuan dokumen yang sudah diarsipkan oleh tiap kementerian di pusat arsip mereka selama berbulan - bulan dan tidak juga kami menemukan dokumen yang kami mau. Semakin lama semakin jelas bahwa kami harus meminta izin kepada Belanda dan Inggris untuk mencari dokumen tersebut di pusat arsip mereka. Sebuah langkah yang sebenarnya sangat ingin aku hindari.


Dan benar saja, sesuai dugaanku, kedua negara tersebut tidak segampang itu memberikan ijin mereka untuk mencari dokumen tersebut. Beberapa kali mereka selalu menunda – nunda permintaan ijin kami dengan banyak alasan. Mereka menganggap sengketa ini adalah hal sepele yang bisa diselesaikan tanpa harus menggunakan arsip arsip sejarah mereka. Akhirnya diplomasi harus dilakukan dengan bantuan Kementerian Luar Negeri. Aku pun beberapa kali harus bolak - balik ke Belanda dan Inggris untuk melobby pejabat mereka agar dapat memberikan ijin.


Diplomasi kami berlangsung alot, hubungan Indonesia dengan Belanda tidak pernah benar benar baik semenjak pengakuan kedaulatan Indonesia. Sedangkan Inggris, mereka cenderung memihak Malaysia yang sedari dulu memiliki kedekatan khusus dengan mereka.


Namun akhirnya jalur diplomasi itu perlahan lahan membuahkan hasil lewat campur tangan Presiden Soeharto yang berjanji kepada Inggris dan Belanda untuk membukakan jalur dagang dan investasi khusus ke Indonesia. Mereka hanya meminta jaminan stabilitas ekonomi politik dan keamanan di Indonesia saja dalam beberapa tahun ke depan agar investor dari negara mereka mau masuk ke Indonesia. Timbal baliknya, kami diberikan ijin untuk mencari dokumen tersebut dengan diawasi oleh pihak mereka nanti.


Sebuah angin segar buat tim kami yang langsung bersiap berangkat sesegera mungkin setelah ijin didapat. Kami membagi menjadi dua kelompok, masing masing mengunjungi satu negara.


Namun petaka terjadi. Sebuah rentetan peristiwa yang bertolak belakang dengan permintaan kedua negara itu terjadi. Dimulai dari Krisis Moneter yang melanda di tahun 1997, situasi dan kondisi politik Indonesia saat itu memanas setelah pemerintah menandatangani bantuan dari IMF yang dianggap membebankan Indonesia.


Terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya semakin memanaskan situasi politik hingga akhirnya Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei '98 menjadi momentum bagi mahasiswa dan rakyat untuk meneriakkan agar Soeharto mundur. Yang ia lakukan beberapa hari kemudian pada tanggal 21 mei.


Era reformasi dimulai.


Buat sebagian besar bangsa Indonesia itu adalah berita baik. Namun bagi kami itu justru menjadi awal kesulitan kami memenangkan sengketa ini.


Situasi negara yang genting dan pergolakan politik yang terjadi melemahkan diplomasi negara serta memberatkan kinerja tim kami dalam beberapa tahun ke depan. Akhirnya kami gagal mendapatkan dokumen dokumen tersebut sebelum batas akhir Memorial ke ICJ. Kami mencoba menggunakan argumen alternatif lain untuk mendukung argumen hukum kami yang bolong – bolong dalam Counter Memorial dan Reply.


Secercah harapan muncul ketika prosedur Written Pleading di luar dugaan bisa dibilang berhasil meyakinkan para Hakim ICJ. Bahkan mereka justru meragukan klaim Malaysia atas Kesultanan Sulu yang dianggap tidak memiliki bukti wilayah yang jelas. ICJ juga menjelaskan mereka tidak menerima langkah Malaysia yang membangun Cottage di salah satu pulau tersebut. Semangat kami muncul lagi untuk mengerjakan sengketa ini di tahap yang paling menentukan, Oral Hearing.



Salinan Dokumen ICJ dalam Proses Written Pleading Kedaulatan di Sipadan - Ligitan : Indonesia v Malaysia




Saat kami menyelesaikan prosedur Written Pleading, Megawati Soekarnoputri sedang menjabat sebagai Presiden Indonesia dan Menteri Luar Negeri nya adalah Pak Hassan Wirajuda. Pergolakan politik telah mereda saat itu dan Indonesia sedang dalam proses kebangkitan dari Krisis Ekonomi. Pemerintah saat itu sebenarnya sudah mulai kembali memperhatikan kinerja kami yang terus berlanjut, pemberitaan dari media juga semakin membuka mata masyarakat akan sengketa ini. Kami berusaha sebisa mungkin menggunakan data data yang ada dan menyewa ahli ahli kartografi dan pakar hukum Internasional dari luar negeri lewat sokongan dana segar pemerintah untuk memperdalam argumen hukum kami.


Dalam Oral Hearing, semua argumentasi lisan ini nantinya akan dibacakan Pak Hassan Wirajuda dihadapan 17 hakim ICJ. Puluhan peta sudah dibuat dan dipersiapkan oleh para ahli kartografi untuk dipresentasikan juga nanti. Tapi dalam hati kami sadar, argumen kami tidak lebih baik dari argumen Malaysia yang kini hanya mengandalkan regulasi turunan dari Inggris mengenai kedua pulau tersebut sedangkan kami hanya mampu memberikan bukti keberadaan kapal patroli AL Belanda saat masa kolonial di kedua pulau tersebut untuk penelitian ilmiah, dan bukti bukti aktivitas nelayan Indonesia dari Kalimantan dan Sulawesi yang mencari ikan di sekitar pulau tersebut. Termasuk di dalamnya kesaksian seorang nelayan bernama Arai Danum.


Pada tanggal 3 Juni 2002, Proses Oral Hearing akhirnya berlangsung. Pak Hassan Wirajuda menyampaikan argumen lisan yang telah kami susun di hadapan Hakim ICJ selama 4 hari berturut-turut. Kemudian gantian pihak Malaysia yang menyampaikan argumen mereka secara lisan selama 4 hari juga.




Di hari terakhir pada tanggal 12 Juni 2002, para Hakim ICJ melakukan sesi tanya jawab kepada kedua pihak. Saat itu Hakim ICJ banyak mempertanyakan Malaysia yang tetap bersikeras menyatakan diri sebagai penerus dari Kesultanan Sulu meskipun klaim mereka tidak kuat. Begitupun kepada Indonesia yang tidak mampu menunjukkan bukti otentik dokumen detail wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Belanda. Namun mereka terbilang puas akan bukti bukti tafsiran peta yang kami presentasikan.


Lalu Hakim menutup sidang ICJ dan akan mengumumkan keputusannya pada tanggal 17 Desember 2002. Kami pun pulang dengan perasaan senang karena tugas kami telah selesai, sekaligus cemas menunggu hasil keputusan dari ICJ. Media di Indonesia saat itu sedang gencar gencarnya memberitakan sengketa Sipadan – Ligitan. Timbul rasa Nasionalisme yang sangat tinggi di rakyat Indonesia dan muncul sentimen negatif terhadap apapun yang berbau Malaysia. Dengung – dengung Ganyang Malaysia yang dulu dipopulerkan oleh Soekarno terdengar seantero negeri.


Ah seandainya saja semangat ini ada saat masa masa pengumpulan data saat itu.. Pastilah Belanda dan Inggris akan gentar oleh gejolak rakyat Indonesia dan dunia internasional pasti akan turut menekan Belanda dan Inggris yang saat itu terkesan enggan membantu Indonesia. Seandainya semangat ini terjadi saat itu, pastilah ICJ tidak akan ragu ragu menanggapi klaim kepemilikan Sipadan – Ligitan Indonesia lewat kepemilikan berantai. Tapi sudahlah, apa yang kami bisa lakukan saat ini hanyalah menunggu hasil keputusan ICJ.




END OF PART II
 
Terakhir diubah:
PART III : MERITS OF THE CASE


17 Desember 2002, Peace Palace - ICJ Headquarter, Den Haag


Keputusan ICJ dibacakan dan dihadiri langsung oleh perwakilan dari kedua negara. Sebelumnya, ketujuh belas hakim telah melakukan voting, dari hasil voting, Indonesia hanya mendapatkan satu suara sementara enam belas suara didapatkan Malaysia. Dan keputusan yang memberatkan hati itu akhirnya keluar. Malaysia dinyatakan sebagai pemegang Sipadan – Ligitan yang sah terhitung dari keputusan ini berlaku.


Guillem Ballague sang Hakim Ketua ICJ lalu membacakan alasan keputusan tersebut. Menurut mereka, persengketaan wilayah ini sangat rumit karena berakar dari sejarah yang kedua pihak tidak dapat membuktikan klaimnya lewat dokumen dokumen yang telah diserahkan. Oleh karena itu ICJ mengambil tindakan untuk menilik permasalahan ini dari sudut lain, yaitu lewat Prinsip Efektivitas. Dalam hal ini, Indonesia dan Malaysia juga sama sama tidak memiliki bukti yang kuat dalam penyelenggaraan efektivitas di kedua pulau, sementara usaha Malaysia untuk membangun bidang pariwisata di kedua pulau tersebut tidak menjadi pertimbangan ICJ. Bukti yang Indonesia ajukan perihal patroli kapal laut TNI AL Belanda dan Indonesia juga tidak bisa diklaim sebagai bukti kepemilikan kedua pulau tersebut. Bahkan Indonesia tidak mencantumkan kedua pulau ini dalam UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.


Sebaliknya Malaysia justru mengajukan bukti yang menarik perhatian keenam belas hakim ICJ. Lewat tiga peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Inggris di tahun 1914, 1933, dan 1962. Dan ketiga peraturan itulah yang menjadi dasar pertimbangan para hakim untuk memenangkan Malaysia dalam sengeketa ini.




Paragraf terakhir keputusan ICJ yang memenangkan Malaysia



Aku ingat kami semua dari tim Indonesia, bahkan dari Malaysia sendiri, cukup terkejut lewat uniknya metode yang digunakan para hakim ICJ. Tapi keputusan sudah dibuat, dan Indonesia harus menghormati kekalahan itu dengan bijaksana dan menerimanya. ICJ kemudian meminta Malaysia dan Indonesia mengadakan perundingan untuk terakhir kalinya membahas kapan perpindahan kekuasaan akan berlaku.


Dan akhirnya selesai sudah persengketaan ini.



~ ~ ~​



Laut Sulawesi, 7mil laut dari Pulau Sipadan. KRI Bung Tomo.

Pulau Sipadan telah lama menghilang dari pandangan, namun beberapa dari kami masih berdiri di geladak kapal memandang ke arah pulau kenangan itu. Sinar Matahari masih ada sedikit menyinari di horizon, menyisakan pemandangan gelombang laut yang tidak henti hentinya menerpa kapal.


“Lalu sebenarnya apa saja, pak, ketiga aturan yang memenangkan Malaysia?” Tanya Hartoyo yang masih setia mendengarkan ceritaku daritadi.


Aku tersenyum mendengar pertanyaan dia.


“Pajak Pemungutan Telur Penyu pada tahun 1914, Ordonansi pembentukan suaka burung pada tahun 1933, dan Pembangunan Mercusuar di tahun 1962.” Ucapku dengan lancar. Masih hafal benar di otakku ketiga aturan yang memenangkan Malaysia itu.



Ketiga Aturan yang dibuat Inggris yang menjadi penentu kemenangan Malaysia di ICJ



Hartoyo tampak bingung mendengarnya. Ekspresi yang sama saat aku mendengar keputusan itu dari Hakim ICJ. Namun memang benar karena itu kita kehilangan Sipadan – Ligitan.


Karena penyu, burung, dan mercusuar.


Hartoyo menggeleng – gelengkan kepalanya setelah mendengar ceritaku. “Hanya karena dua pulau sekecil itu kita sampai hampir perang.. “ Gumamnya.


Sebenarnya diriku juga bingung, kenapa Malaysia begitu ngotot ingin memiliki kedua pulau ini? Kekayaan alam?


Ah, entahlah..


Seorang perwira laut menghampiriku dan memintaku untuk masuk ke dalam kapal karena angin kencang dan gelombang tinggi. Aku bertanya padanya dimana posisi kapal saat ini.


“Sekarang ini kita sedang memasuki Blok Ambalat, Pak. “ Ucapnya.





T A M A T



=====================================================



Ane mau ngucapin terimakasih buat semua pihak yang udah ngebantuin ane dan segala saran dan kritik saat ane menulis cerita ini.


Terimakasih buat semprot, jejeran admin dan moderatornya dan semua pihak yang udah menyelenggarakan Event LCPI 2016. Terimakasih buat kedua juri yang udah mau menjadi juri di event kali ini.


:ampun: :ampun: :ampun:
 
Terakhir diubah:
Ada yang harus di sensor suhu :ampun:
 
wah sejarah sipadan-ligitan.jd keinget slogan ganyang malaysia di jamannya pak karno
 
ijin baca om beler :ampun:

mungkin bukan karna pulaunya tapi karna SDA disekitar pulau itu yang jadi sengketa :D
 
Endingnya pas di Blok Ambalat?

Itu sengketa juga kan?

Apakah miss Lerlah mau mengangkat cerita tentang pulau ini?
:pandajahat:
 
Wah ada yg angkat cerita ini. Sipadan ligitan ya, kalo ane boleh jujur salah satu kebodohan yg dilakukan Indonesia pada jaman dulu (semoga ga keulang dimasa depan) Hal inj bisa aja ga terjadi kalo bangsa ini lebih aware sama pulau2 di sekitar hahaha. Kalah nya cuma karena pulau ga diurus Dan diurus negara lain (Effective Occupation) kan nyesek. Makasih suhu lerlah sudah membawa cerita ini menjadi asoy untuk dinikmati orang2 pada masa sekarang. Hehehe (kebetulan ane )
 
dengan permasalahan di dalam cerita ini,, semakin:cool: mempertegas pernyataan Bung Karno dengan 'Jas Merah' nya... Segala sesuatu ada awalnya dan bagaimana proses terjadi hingga adanya bukti yang memperkuat dan bisa dijadikan alat diplomasi tanpa anarki.

dan kita pun sebagai muda-mudi negeri harus pahami dan mengakui.. bahwasanya wilayah NKRI adalah jejak dari Belanda dengan penyatuan Hindia belanda sebagai Nusantara II yang sebelumnya sempat terpecah banyak wilayah.

mantab, bang Belerr:beer: semoga berdaya guna dan dapat di ambil makna dari dalam cerita..​
 
Terakhir diubah:
Wuaah.rilis jg akhirnya..:haha:
Selamat..selamat.
Mantap ceritanya.byk yg ane blm tau..
:mantap:
 
wah sejarah sipadan-ligitan.jd keinget slogan ganyang malaysia di jamannya pak karno

Negara yg belum lama merdeka, eh dijadiin anggota dewan keamanan tidak tetap PBB..

Gimana ga kesel itu Soekarno
 
ijin baca om beler :ampun:

mungkin bukan karna pulaunya tapi karna SDA disekitar pulau itu yang jadi sengketa :D

Tepat sekali suhuu.. Apa yang ada di dasar lautnya yang jadi inceran keduanya.. Hakim di ICJ sendiri mempertanyakan motif Malaysia dan Indonesia yg sebenarnya dalam sengketa ini..
 
Endingnya pas di Blok Ambalat?

Itu sengketa juga kan?

Apakah miss Lerlah mau mengangkat cerita tentang pulau ini?
:pandajahat:

Sampe sekarang jadi permasalahan yg ga selesai itu blok..

Ahaha pengennya sih.. Mungkin lain waktu dibikin versi panjangnya kali yaa..
 
Wah ada yg angkat cerita ini. Sipadan ligitan ya, kalo ane boleh jujur salah satu kebodohan yg dilakukan Indonesia pada jaman dulu (semoga ga keulang dimasa depan) Hal inj bisa aja ga terjadi kalo bangsa ini lebih aware sama pulau2 di sekitar hahaha. Kalah nya cuma karena pulau ga diurus Dan diurus negara lain (Effective Occupation) kan nyesek. Makasih suhu lerlah sudah membawa cerita ini menjadi asoy untuk dinikmati orang2 pada masa sekarang. Hehehe (kebetulan ane )

Terlalu sinis kayanya klo dibilang ini kebodohan negara kita.. Karena Malaysia pun menang lewat peraturan yang ga pernah mereka buat (yang buat Inggris). Menurut hakim hakim ICJ, argumen hukum kedua negara tidak ada yang kuat sama sekali sehingga ICJ terpaksa mencari jalan lewat cara lain, yaitu prinsip efektivitas..

Tapi betul, semoga jadi pelajaran buat bangsa kita supaya ga ada lagi kejadian seperti ini..

Setau ane, Indonesia ga akan pernah mau ke ICJ lagi untuk sengketa kaya gini..
 
dengan permasalahan di dalam cerita ini,, semakin:cool: mempertegas pernyataan Bung Karno dengan 'Jas Merah' nya... Segala sesuatu ada awalnya dan bagaimana proses terjadi hingga adanya bukti yang memperkuat dan bisa dijadikan alat diplomasi tanpa anarki.

dan kita pun sebagai muda-mudi negeri harus pahami dan mengakui.. bahwasanya wilayah NKRI adalah jejak dari Belanda dengan penyatuan Hindia belanda sebagai Nusantara II yang sebelumnya sempat terpecah banyak wilayah.

mantab, bang Belerr:beer: semoga berdaya guna dan dapat di ambil makna dari dalam cerita..​

Makasih om oyeess

Betul banget.. Nasionalisme kita harus jadi prioritas dalam menghadapi hal hal seperti ini.. Buktinya kita bisa menang klaim Batik di UNESCO, ya karena kita bersatu dan kompak..

Seandainya waktu Sipadan-Ligitan juga begitu..

Ah sudahlah..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd