Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 10 : Slrrruppp

Four and a half.

"Palace slave."

"Nocturnal activities."

I'm a "conceited ape"?

"I'll tell you in the morning."

I can't believe it.

He's not coming.

She's not coming.

She's not coming.

I can't believe I'm not going.

……..

This is one night
you'll never forget!

Yeah, malam ini benar – benar tak bisa Ku lupakan.


Entah kenapa Aku tak dapat menikmati setiap aksi di depan mataku. Seberapa kuat dan berdarah – darahnya para aktor menarik minatku, Aku tetap saja tak tertarik kali ini. Aku benar – benar nekat. Gila.

Yah, beberapa kudapan yang mampu menarik minatku hanya sekedar menutupi kegugupan yang terjadi sepanjang menit berlalu dari sejak awal film diputar. Sesekali Ku lirik Zima dan Dia begitu fokus dan menikmatinya setiap alur cerita. Satu kali, dua kali, hingga kini sudah beberapa kali, Aku masih saja mendapati Zima seperti tak tahu apa – apa. Dia anak baik, tapi di belakangnya, Aku bermain dengan Ibunya. Dan saat ini, Aku benar – benar bermain di belakang Ayahnya, suami Ibunya Zima.

Sebenarnya langkahku selalu berat saat mengunjungi rumah ini. Tapi apa daya, Aku selalu luluh. Aku tahu jika sepijak saja kakiku menyentuh lantai dalam rumah ini, akan selalu ada hal yang terjadi antara Aku dan Ibunya Zima. Bahkan Aku tak menyangka detik waktu yang bagiku seorang remaja tak pernah berarti, bisa menjadi begitu menegangkan dan menyenangkan. Pria yang selama ini jauh dan lama kembali ke pelukan Ibunya, harus juga Aku berselimut dalam celah waktu di antara pertemuan mereka. Aku selingkuh, Aku kotor, dan Aku kurang ajar.

Ku pikir perlu menjadi karakter yang nakal dan berlagak player seperti yang Ku lihat di kelas untuk menjadi seseorang yang bisa menikmati sex dengan liar. Jika melihatku di depan cermin di kamar ini, Aku jelas kalah. Setiap orang punya kesempatan. Gila. Bangga sekali Aku. Tidak perlu tampan dan mentereng untuk dapat menikmati kenikmatan sex. Hanya perlu kesempatan.

“Ough!!”

Aku kaget dengan reaksi Zima saat menonton adegan di depan layar. Aku pun juga akhirnya tersadar dari lamunanku walaupun mataku daritadi tetap menatap layar. Aku pun kembali menikmati film ini. Samar – samar di antara dialog dan adegan yang terjadi di depan mata Kami, terdengar seperti suara orang berdebat. Tidak ada orang lain di rumah ini selain Kami dan orang tua Zima. suara tetangga pun juga tidak. Ini benar – benar suara kedua orang tua Zima yang sedang bertengkar. Aku pun yang mendengarnya pura – pura saja tak tahu. Atau Aku bisa saja salah. Baru saja makan tadi dan obrolannya hangat, masa terjadi ribut. Yah, pertengkaran bisa saja terjadi.

Suara – suara itu masih saja samar terdengar dan tak berhenti. Aku pun seperti tersadar jika tak ada lagi dari reaksi Kami berdua saat menonton film. Sepertinya Zima juga menyadarinya. Aku pun melirik Zima dan Zima pun melirik padaku.

“Itu…?”Aku pun bertanya pada Zima.

“Hmmm…” itu saja jawabannya.

“Hmm, gapapa kan?” kembali Aku bertanya.

“Uhm, bentar. Lo terusin aja.”

Zima pun bangkit dan mencoba mengecek apa yang terjadi di antar kedua orang tuanya. Perlahan Ia melewatiku dan membuka perlahan pintu kamar. Ia pun mulai menghilang dari pandanganku.

Shit!

Jangan – jangan Ayahnya tahu jika Aku dengan Ibunya Zima! Oh tidak! Benarkah?! Tidaaak! Bagaimana jika pertengkaran yang terjadi di antara mereka karena Ayahnya tahu tentang diriku?


Tiba – tiba entah darimana Aku seperti menduga jika pertengkaran yang terjadi di antara kedua orang tua Zima karena mereka mengetahui hubungan terlarangku. Aku tiba – tiba panik. Aku menjadi bertanya – tanya dan Aku menjadi gugup. Suara – suara dalam kepalaku mengalahkan setiap teriakan dan tembakan dalam adegan di layar. Air yang telah kering oleh AC dari kulitku, kembali muncul. AC pun berusaha mengeringkannya kembali tapi tak dapat mengeringkan keringat yang muncul dalam kulit dadaku. Aku duduk, Aku panik, Aku bingung, Aku di kamar, dan Aku terperangkap.

Tidaak!

Ku coba melupakan pikiran – pikiran panikku. Ku gapai beberapa genggam kudapan dalam tangaku. Mencoba melupakan dan menikmati kembali adegan di layar. Walaupun masih terasa sedikit gugup.

Samar namun pasti, suara – suara itu mulai menghilang dan senyap. Hanya suara – suara di layar yang melingkupi kedua daun telingaku saat ini. Pertengkaran itu telah berakhir. Apakah ini karena Zima yang menengahinya? Tapi jika Zima yang menengahinya, Zima jadi tahu jika benar – benar yang dibahas dalam pertengkaranku adalah hubunganku dengan Ibunya Zima. aku tak dapat membayangkan jika yang membuka pintu adalah Zima dan berbegas menghampiriku lalu memukulku. Habis sudah.

Ckrek!

Ah!


Aku kaget dan menatap Zima yang tiba – tiba membuka pintu. Aku membisu sembari menatapnya gugup. Tanganku bersiap – siap jika Ia akan memukulku. Aku pun menunggu aksinya. Aku siap.

Ia pun menutup pintu dan melewatiku di antara layar. Ia kemudian duduk. Duduk dengan tenang. Aku menduga sepertinya Aku selamat. Tapi Aku masih belum tahu tentang hal apa yang menjadi pertengkaran di antara kedua orang tuanya. Aku lebih memperdulikan akan apa yang Zima katakan daripada teriakan atau ledakan di dalam layar. Aku sudah tak peduli.

“Ok..?” Aku pun bertanya halus dan sedikit gugup.

“Hmmm?” Zima pun menoleh padaku. Ia lalu mengambil kudapan dan menyantapnya pelan. Zima pun menolehkan kembali pandangannya ke layar.

“Anjir, lewat Gw adegannya..”

Perkataannya membuatku lebih bersiap – siap kalau kalau Ia akan memukulku. Aku masih penasaran.

“Gapapa kan?” Aku pun masih penasaran.

“Hmm? Oh, itu. Udah beres. Gw pikir apaan.”

Aku yang mendengar jawabannya seperti disiram sedikit air es di kepalaku. Sepertinya pertengkaran antara Ibunya dan Ayahnya bukan karena hubunganku dengan Ibunya selama ini.

“Biasa, nyokap sama bokap kalau lama ngobrol pasti aj ada debatnya. Kalau debat ya gitu, kuat banget adu argumennya.”

“Ohh..” Aku pun masih penasaran. Jawaban Zima masih abu – abu. Jelas – jelas tadi ada pertengkaran.

“Biasa, lagi ngomongin Gw sama rumah. Nyokap pengen tetep di sini sampai Gw lulus.”

“Bagus dong. Kan dikit lagi lulus.” Tambahku.

“Hmm..(kudapan yang dimakan Zima berjatuhan). Bukan, sampe Gw lulus kuliah maksudnya. Bokap pengennya Gw kuliah di luar. Jadi ya gitu, debat aja terus.”

Cssshhh…

Air es pun tumpah ke kepalaku. Teryata Aku aman. Penjelasannya membuat keringatku berhenti keluar dan kegugupanku pun hilang. Gila, apa harus Ku hentikan saja ya hubunganku dengan Ibunya Zima. Aku khawatir akan ketahuan nanti pada akhirnya. Dan tentu saja akhir ceritanya akan sangat horor bagiku. Apalagi jika pukulan Zima menghantam wajahku sebanyak hantaman hubunganku dengan Ibunya Zima. Bisa tak dikenali wajahku nanti.

Wah, penentuan akan nasib sang anak setelah lulus sekolah ini bisa ya membuat orang tua bisa bertengkar hingga terdengar ke kamar lain. Yah, memang sih, pertemuan antara Ibunya Zima dan Ayahnya hanya beberapa kali saja. Sekalinya bertemu, tumpah semua, sekalian diobrolin. Untung saja Bapakku dan Ibuku tak seperti itu. Jika iya, Aku juga ikut diajak debat pasti. Tapi, jika Aku jadi Zima mungkin Aku akan menuruti perkataan Ayahnya. Kapan lagi bisa kuliah di luar negeri, Eropa lagi. Wuih, pasti sangat menyenangkan, apalagi ketemu dengan orang – orang bule. Wanita – wanitanya kan cantik – cantik. Sayang sekali Zima jika tak menerima ajakan Ayahnya. Tapi sulit juga jika Ibunya menolak.

……

Oh...

Very funny.

Very funny.


……..

Hmm, sangat lucu. Kepanikanku pun ternyata bukan hal yang benar – benar terjadi.

Aah, akhirnya selesai. Terus terang Aku hanya menikmati film ini di sepertiga akhir saja. Yah, walaupun ini film lama, tapi masih bisa dinikmati sampai sekarang. Aku menoleh ke Zima dan Ku lihat Zima tertidur. Ia nyenyak sekali sepertinya. Efek habis makan dan menonton film membuat rasa kantuk cepat datang dan hinggap.

Sudah malam rupanya. Aku ingin segera pulang. Lagi pula Aku hanya mampir saja hari ini. Tapi karena bertemu dengan Ayahnya Zima , jadi lama waktunya. Aku kebelet kencing. Aku pun keluar kamar dan menuju kamar mandi.

“Ough…mmmhh…..ough…mmmmm.”

Samar – samar Ku dengar suara erangan dan lenguhan. Suara itu berasal dari kamar orang tuanya Zima. Ya, itu suara lenguhan, seperti suara yang Ibunya Zima keluarkan saat Aku berhubungan sex dengannya.

Bukannya kedua orang tuanya sedang bertengkar tadi? Ini kok malah seperti sedang berhubungan sex? Aku bingung. Sebenarnya yang Ku dengar tadi itu orang bertengkar atau ini? Terus, Zima juga mengecek kedua orang tuanya. Apa tadi Zima juga mendengar suara ini? Tapi katanya ribut, meributkan tentang nasib Zima setelah lulus. Ini beda. Ini suara orang sedang berhubungan sex. Wah, bisa ya, habis bertengkar begitu kemudian berhubungan sex. Memang sih sepertinya wajar, tapi kan tidak juga setelah bertengkar. Ini benar – benar bertengkar lalu ngesex.

Perlahan Ku langkahkan kaki ke arah kamar Ibunya Zima. Air seni yang dari tadi menggedor lubang penisku pun Ku tahan untuk sekedar memastikan apakah suara yang Ku dengar adalah benar.

Mmh…terus Ma…goyang teruss…”

“Oh…ahhhh!”

Shit!


Benar! Mereka sedang berhubungan sex!

Apa – apaan ini?! Tadi Aku sex hampir ketahuan, terus mereka bertengkar, lalu sekarang mereka sedang berhubungan sex?? Aku tak habis pikir, bagaimana bisa?

Aku pun tak melanjutkan pendengaran ini. Aku segera ke kamar mandi dan kembali masuk ke dalam kamar Zima.

Zima masih tertidur. Waktunya sudah malam. Aku ingin pamit pulang. Tapi susah juga pamitnya. Jika Ku bangunkan Zima, Zima pun akan malu jika Kami melewati kamar orang tuanya yang saat ini mereka masih berhubungan sex. Begitu pun Aku, Zima pun malu jika temannya mendengar sex orang tuanya. Ah, serba salah. Aku duduk dan membuka majalah film di rak. Aku bermaksud menunggu beberapa menit hingga Ku perkirakan hubungan sex orang tuanya Zima selesai. Jadi Aku lebih nyaman jika harus membangunkan Zima untuk berpamitan. Memang sih dari kamar suara orang tuanya yang sedang berhubungan sex tak terdengar. Berbeda dengan suara pertengkaran tadi. Tapi, jadinya Aku juga tak tahu kapan mereka selesai berhubungan sex. Jika lama, Aku nanti ditanya Bapak kalau pulang terlalu malam. Untungya bengkel sedang ramai.

Lumayan lama Aku menunggu. Hampir setengah jam dan Ku rasa cukup bagiku untuk membangunkan Zima. aku tak enak sebenarnya untuk membangunkan Zima, tapi apa boleh buat. Masa mengetuk pintu kamar Ibunya Zima. yang benar saja. Hmm..Aku mencoba cara agar bisa berpamitan. Aku tak mungkin berpamitan tanpa tuan rumah. Bisa dikira tak punya etika Aku. Pamit tak tampak punggungya.

Ku lihat piring – piring kudapan yang berantakan. Aku berpikir akan merapikannya dan mengembalikan piring – piring ini ke ruang makan sambil memastikan apakah kegiatan orang tuanya Zima telah berakhir. Seharusnya sih sudah selesai. Tapi tak tahu juga, Ibunya Zima kan sudah lama tak bertemu dengan suaminya.

Aku keluar kamar sambil membawa piring. Ku taruh di atas meja makan. Sambil menaruhnya, Ku buat telingaku sensitif terhadap suara yang datang dari kamar Ibunya Zima. Suara itu sudah tak ada. Benar – benar hening. Mereka telah selesai berhubungan sex. Mungkin sekarang mereka tertidur karena lelah, terutama Ibunya Zima. Ibunya yang banyak berkegiatan hari ini, termasuk saat awal siang tadi Kami berhubungan sex di meja makan ini. Aku bisa membangunkan Zima sekarang.

Ckrekk!

Aku kaget. Pintu kamar Ibunya Zima terbuka. Aku seperti pura – pura tak menyadarinya. Ibunya Zima menghampiriku dan membuka kulkas. Dengan lembutnya tangannya mengambil sebuah botol minuman dan menenggaknya.

Deg!

Aku tertegun melihat Ibunya Zima. Kulitnya bercahaya terkena pantulan cahaya lampu dalam kulkas. Keringatnya masih melekat dan jelas dalam pandanganku. Aku hanya diam melihatnya.

“Kamu mau pulang?”

Ibunya sepertinya tahu akan maksudku keluar untuk berpamitan. Yah, karena sudah bertemu dengan Ibunya Zima, walaupun baru saja Ibunya Zima selesai berhubungan sex, tetap saja Aku harus berpamitan.

“Ah, I, Iya Tante. Saya pamit pulang.”

“Hmm, Ok. Nanti Tante minta Zima anterin Kamu ya?”

“Oh, gak usah Tante, Saya pulang sendiri aj. Zima juga lagi tidur.” Jelasku bermaksud pulang sendiri karena tak enak dengan Zima.

“Oh, ya sudah.”

Aku pun mengambil tasku di dalam kamar Zima dan berpamitan pada Zima tanpa membangunkannya. Aku keluar dan Ku lihat Ibunya Zima sudah menungguku di depan pintu. Aku mencium tangan Ibunya Zima dan berpamitan padanya.

“Saya pulang Tante.”

“Mmh? Ayo.”

“Hah?”

“Iya, Ayo. Tante anterin pulang ya. Sekalian ada yang mau dibeli.”

“Ah..”

Aku tak bisa menolak permintaannya. Akhirnya Ibunya Zima yang mengantarkanku ke depan. Biasanya Zima yang mengantarkanku, kali ini Ibunya. Ini pertama kalinya Aku berada satu mobil dengan Ibunya Zima.

***
“Maaf ya, Tante minta Kamu temenin sebentar mau beli sesuatu.”

“Iya, Tante..”

Aku pun diajak ke supermarket besar di sini. Biasanya Aku hanya diantar di depan perumahan dan lanjut naik angkot. Tapi Ibunya Zima memintaku menemaninya hingga Ibunya Zima selesai membeli sesuatu. Aku pun juga entah mengapa tak bisa menolak.

Kami masuk dan menuju parkiran di belakang supermarket.

“Hah…” Ibunya Zima menundukkan kepalanya ke atas setir. Ia terlihat capek. Aku hanya diam saja.

Lalu terdengar isak tangis dari Ibunya Zima. Aku kaget dan bertanya – tanya apa yang membuat Ibunya Zima mendadak seperti menangis. Aku dibuatnya bingung harus berbuat apa. Aku mencoba mencari tisu tapi tak ada.

Ibunya bangkit dan menengadahkan kepalanya.

“Hssh….. Maaf ya. Tante mungkin capek. Gak ada tisu ya?”

“Eh, iya Tante.”

“Ini, tolong ya. Tisu dengan minuman, Kamu juga.”

Ibunya Zima memintaku untuk membeli tisu dan minuman di dalam. Sepertinya akan lama ini Aku pulang. Tapi, Aku juga tak bisa meninggalkan Ibunya Zima yang terlihat sedih sekarang. Yah, Aku pun mengiyakan permintaannya.

***
Aku kembali dengan membawa tisu dan beberapa minuman ringan. Saat Ku buka pintu mobil, tak Ku dapati Ibunya Zima di dalam.

“Hei, di sini.”

Ibunya Zima ternyata sedang duduk di tengah. Aku pun membuka pintu tengah dan duduk di sampingnya.

“Makasih ya.”

Aku hanya diam dan menemaninya di sampingnya.

“Kamu pasti dengar ya tadi?” Ibunya menanyakan padaku tentang pertengkaran tadi.

“Oh, gak Tante. Gak kedengeran juga kok.”

“Bukan. Bukan yang itu. Yang setelahnya. Kamu pasti denger kan?”

“Ah.” Ibunya Zima seperti tahu jika Aku juga mendengarkan saat mereka sedang berhubungan sex.

“Hihihi…maaf, bercanda. Tante pikir Kamu dengar.”

Yah, sebenarnya Aku juga mendengarnya Tante.

“Maaf ya, tadi Tante sempet nangis. Mungkin Tante capek. Kamu, trus sempet debat sama Ayahnya Zima, trus terakhir tadi. Yah, senang, sedih, marah, keluarnya bisa sama, nangis.”

“Oh, iya Tante..”

“Ayahnya Zima pengen Zima kuliah di Jerman. Kalau Zima ke sana mau gak mau Tante juga ikut. Tadi ….”

Ibunya Zima menjelaskan tentang keinginan – keinginan kuat Ayahnya yang ingin membawa Zima dan Ibunya tinggal di Eropa. Ayahnya merasa Zima akan betah dan bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik jika belajar di Eropa. Tetapi Ibunya Zima menginginkan agar Zima berkuliah dulu di sini, setidaknya untuk lulus sarjana. Pertengkaran yang Ku dengar tadi hanya puncak dari sekian obrolan lewat telepon atau email antara Ibunya Zima dan Ayahnya. Yah, walaupun pertengkaran itu diakhiri dengan sex. Untung saja happy ending.

Tanpa sadar Kami sudah saling bersender satu sama lain. Suara Ibunya Zima pun mulai terasa pelan dan berat di telingaku. Aku pun menjadi lupa jika Aku harus pulang.

“Mmmcccuah….mmmh…”

Ibunya Zima mulai menciumi pipiku. Aku yang sebenarnya sudah berhubungan sex dengannya pun masih saja canggung dibeginikan.

“Maaf ya Dio, Kamu jadi pulangnya lama.” Ibunya Zima memegang daguku dan Kami saling berpandangan.

“Mmmmhh…mmcccchhhhh….aahhhh”

Kami berciuman. Berciuman. Dalam dan dalam. Kali ini Aku merasa ciumannya berbeda. Terasa dalam dan seperti penuh perasaan. Aku pun tak kuasa menolaknya. Aku membalasnya dengan penuh mesra dan menikmatinya. Lidah Kami terus menyapa, bertemu, dan saling menyayangi. Lidah Ibunya Zima penuh energi dan sensual. Membuat gairah seksualku bangkit kembali dan bergelora.

“Mmmccahh…. Duhh, harusnya Kamu pulang..”

Aku hanya dapat menatapnya dan mencerna perkataannya agar Aku segera pulang. Aku sudah tak peduli lagi dengan perkataannya.

"Maaf ya, harusnya Tante yang angkat telepon Kamu, Tante gak saddd..mmmmmcccahhhh..."

Aku kembali mencium Ibunya Zima dan mencumbuinya. Aku tak mempedulikan tentang tak diangkatnya deringan teleponku. Dengan ini, sudah dua kali Aku menyetubuhi Ibunya Zima. Aku peluk erat pinggangnya agar rapat dalam dadaku.

“Mmmccchhh…”

Ku geluti tubuhnya dengan penuh gelora. Ku buka kancing dasternya yang hanya dua buah. Ku raih payudaranya di tanganku.

Pelan dan pelan Ku julurkan lidahku ke putingnya. Ku tiup – tiup kecil putingnya dan pelan ujung lidahku menyentuh putingnya. Slruppp…

“AAHHhh…..! Ibunya Zima melenguh.

Ku ciumi putting payudaranya dan menjilati bagian aerolanya yang mungil. Sesekali Ku sedot dan Ku tarik putingnya. Tanganku pun menggapai bagian pahanya hingga kedua pahanya terbuka. Ku raba – raba pahanya membuatku nafsu untuk terus menciuminya. Saat Ku raih pantat Ibunya Zima, Ku ketahui jika Ibunya Zima tak memakai dalam. Ibunya Zima hanya memakai daster tanpa bra dan celana dalam. Benar – benar membuat Aku semakin beringas menciumi dirinya.

Turun dan turun Ku cumbu perutnya lalu Ku singkap kedua paha Ibunya Zima. Aku terdiam dalam menahan gelora ini. Samar dalam gelap dapat Ku amati bahwa vagina Ibunya Zima terlihat mengkilap basah. Ke dekatkan kepalaku di hadapannya. Jelas Ku lihat vaginanya yang bercahaya karena basahnya lendir dari dalam. Liangnya kemudian mengatup dan membuka seiring desahan nafas Ibunya Zima. hal ini membuatku penasaran. Aku seperti ingin merasakannya. Aku ingin menjilatnya dan mencumbui vagina Ibunya Zima.

Ku lihat wajahnya yang sudah memerah dan matanya yang sayu menatapku. Aku pun dengan perlahan mendekati liang vaginanya.

“Mmhhh…slrrruppp….mmmshhchh…ahh…”

“AHHH……!”

Lenguhannya memanjang dan menghentak. Tangan Ibunya Zima pun memegang kepalaku. Mendapatinya seperti itu membuatku semakin ingin menjilatinya.

Rasanya berbeda. Rasanya aneh tapi Aku begitu bernafsu menjilatinya. Ini pertama kalinya Aku menjilati vagina seorang wanita. Tidak harum seperti parfum tapi membuat penisku tegang sejadi – jadinya.

“Basah banget ya?” tanyanya di sela – sela kenikmatan yang Ibunya rasakan dan masih sempat bertanya. “Masukin Dio…..”

Aku pun membuka resleting celanaku. Dan benar saja, penisku benar – benar kembali tegang. Aku tak mengira akan melakukan sex dua kali dalam satu hari. Luar biasa.

Pelan dan pelan Ku dekati kepala penisku ke liang vagina Ibunya Zima. ku gesek – gesekkan kepala penisku di sekitar mulut vagiananya.

“Oughh!!! Ssshh…..Masukkk…”

Blesss….

Kumasukkan penisku. Rasanya basah dan sedikit hangat. Begitu basah hingga sangat leluasa keluar masuk di dalam vaginannya. Dapat Ku rasakan basahnya menyelimuti seluruh batang penisku yang tegang. Ku rasakan sedikit remasan di dalamnya dan membuat saraf di seluruh batang penisku begitu terangsang. “Oughh…shhhh…Tanteeee…”

“Terusss…teruss…Diooosssh….ahhh….”

Plok…plok….cplok…..plok……

Gila Aku menggenjotnya. Benar – benar nikmat. Rasanya enak banget.

Aku pun menggenjot Ibunya Zima dengan penuh nafsu. Kami terus saling mencumbu dan Aku pun mencumbu tengkuknya, bibirnya, dan payudaranya. Aku benar – benar merasakan nikmat. Tiap lenguhan dan desahan yang keluar dari bibir Ibunya Zima benar – benar membuatku tak tahan. Ibunya Zima benar – benar hot.

“OHHH…AHHHH…SHHHHHH…Tante……Tann….Ak…Akkkku…..Kellllluuuuarrrrr……”

“IyaaHHHH…Sayyyanggg…terrusssss…….terusss….keluarrrinnn……mmmmhHHHH….TantteeaaaAHHHH….juggggaHHHHHH…….”

“AAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!

Aku keluar. Keluar banyak sekali. Rasanya sangat nikmat dan enak. Aku tak menyangka spermaku masih banyak. Aku kembali takluk. Takluk oleh jepitan vagina Ibunya Zima.

“Mmccchhuah”

Ibunya Zima mencium lembut bibirku.

***
“Sudah sampai.”

“Iya Tante. Makasih sudah jauh dianterin ke sini. Saya gak enak.” Maafku pada Ibunya Zima.

“Hey, Tante yang minta maaf. Maaf karena Kamu harusnya bisa lebih cepat pulang.”

“Mmmccchhhuah.”

Ibunya Zima pun menciumku. Aku keluar dan berpamitan pada Ibunya Zima yang dengan sukarela memintaku untuk mengizinkannya mengantarkanku ke rumah. Yah, walau tak sampai di rumah, hanya sampai di sekitar wilayah saja, Aku berterima kasih. Aku mencoba untuk tak membuatnya benar – benar mengantarkanku agar Aku juga aman untuk tak diketahui orang.

Berlalu. Mobilnya telah berlalu menjauh hilang dalam jangkauan pandanganku.

Sudah malam. Aku pasti ditanya oleh Ibu kenapa pulang larut. Yah, bisa saja beralasan banyak. Aku pun membuka pintu pagar rumah dan membuka sela kunci.

“Mas! Dari mana?”

“Ah?! Tia?!”

Tia tiba - tiba menepuk pundakku. Dia datang dari arah Aku datang.

"Siapa itu tadi?"

"Ah? Hmm? Eh.."
Ayo suhu update lgi. Banyak yg menantikan karya mu, masih setia manunggu.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd