Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Tono dan para wanitanya... Arc 2 : Intan

Bimabet
The EX 02 - Chapter 07 E
Timeline : 2009 Juli
Flashback ke masa dimana Intan masih PKL.

--POV Intan--
Hari ke 7

“Duh si bapak kemarin bikin aku khawatir aja nih. Keluar didalam banyak banget. Sampai sekarang masih kram ini perut bawahku. Rasanya males banget bangun dari tempat tidur sekarang.” aku melihat jam dinding sudah pukul 6 pagi. Tidak seperti biasanya aku bangun subuh. Sekarang rasanya badanku berat banget buat bangun. Punggung ku juga rasanya agak perih, mungkin lecet karena kemarin aku digenjot habis-habisan sama pak Darno di kebun. Badan ku juga capek semua rasanya.

“Tok tok tok...” ada ketukan di pintu kamarku.
Bu Marni : “mbak intan...”
Intan : “iya bu sebentar.” akhirnya ku paksakan bangun agar tidak membuat bu Marni khawatir.
Intan : “ada apa ya bu?”
Bu Marni : “oh enggak ada apa-apa mbak, cuma ngelihat aja kok tumben belum bangun. mbaknya sakit tah?”
Intan : “oh enggak kok bu, cuma capek aja. Hehe”
Bu Marni : “mau saya panggilin tukang pijet mbak?”

Intan : “enggak usah deh bu. Terimakasih, nanti merepotkan. Saya istirahat saja dulu. Nanti juga baikan lagi.”
Bu Marni : “eh gak apa mbak. Ada tukang pijet paling jos disini. Tetangga deket juga rumahnya cuma 4 rumah dari sini kok mbak. Si mbah Kardi.”
Intan : “hmm makasih ya bu. Tapi gak apa nih bu?”
Bu Marni : “gak apa mbak. Mbah Kardi juga udah jadi langganan para warga disini kok. Bayarnya seikhlasnya saja mbak.”
Intan : “iya sudah deh bu. Saya nurut saja sama saran ibu.”
Bu Marni : “nah gitu dong mbak Intan. Ibu panggilin dulu ya. Itu juga sudah ada sarapan buat mbak Intan di meja makan.”
Intan : “makasih ya bu.”

Bu Marni akhirnya keluar rumah dan pergi memanggil mbah Kardi. Aku pun ke dapur untuk mengambil sarapan. Pagi ini bu Marni membuat nasi pecel. Karena mau pijat jadi aku tidak makan banyak-banyak. Sekedar isi perut saja. Aku melihat rumah sedang sepi. Pak Darno dan mas Kirun juga tidak ada dirumah. Aku mengambil hapeku dan sms an dengan Lisa.

Lisa : “Tan. jadi jalan-jalan keliling desa gak?”
Intan : “jangan pagi-pagi dong Lis. lagi gak enak badan nih.jam jam 8an gitu gimana?”
Lisa : “gak enak badan? Kok bisa? Baju mu sih kemarin ketipisan. Masuk angin kan.”
Intan : “iya kali ya. Ini mau pijet dulu aku juga. Ditawarin bu Marni buat dipanggilin tukang pijet.”
Lisa : “ya sudah nanti aku kesana aja start jalan-jalan dari tempatmu tan.”
Intan : “iya deh siap.”

Tak lama kemudian bu Marni sudah kembali bersama mbah Kardi dan aku juga sudah selesai makan.
Bu Marni : “mbak Intan. Ini mbah kardi nya bisa mijet sekarang.”
Intan : “oh iya bu.” aku pun menemui mbah Kardi. Beliau sudah sangat-sangat sepuh, aku taksir kira-kira diatas 65 tahun. Kelihatan jauh lebih tua dari pak Darno. Beliau juga sopan orangnya. Giginya juga sudah hampir tidak ada.
Bu Marni : “pijet di kamar aja langsung mbah.”
Mbah Kardi : “nggih bu.”
Intan : “oh iya bu. Kok sepi ya bu. Bapak sama mas Kirun kemana bu?”
Bu Marni : “oh si bapak di panggil pak kades mbak ada urusan. Kalau Kirun ada kerjaan nyupir dia tadi pagi-pagi sudah berangkat dan baru pulang 3 hari lagi.”
Intan : “oh gitu ya bu pantesan sepi. Nanti habis pijet saya mau ijin jalan-jalan di sekitaran ya bu.”

Bu Marni : “istirahat dulu toh mbak, badannya masih gak enak begitu.”
Intan : “sudah janjian bu sama teman saya Lisa. nanti dia kesini. Saya juga gak pernah jalan-jalan disekitaran kan bu selain diantar si bapak.”
Bu Marni : “iya sudah mbak. Kalau ada apa-apa bilang aja kesaya ya. Jangan sungkan-sungkan. Ini mbak Intan saya ambilin jarik dulu buat pijet.”
Intan : “iya bu. Mari mbah.”

Aku mengajak mbah Kardi ke kamar ku untuk pijat. Di kamar aku menutup pintu dan melepas pakaian ku berganti dengan jarik. Karena ada mbah Kardi juga dikamar jadinya agak susah buat melepas pakaian. Harus melilitkan dulu jariknya baru aku lepas satu per satu pakaianku.
Intan : “mbah ini bra sama cd saya juga dilepas nggak mbah?”
Mbah Kardi : “dilepas aja mbak biar enak mijitnya nanti kena minyak pijit saya.” akhirnya dengan kesusahan aku melepas bra dan cd yang ku kenakan. Sekarang tubuhku hanya terbalut dengan kain jarik saja. Kemudian aku tengkurap di kasur dan mbah Kardi mulai membalurkan minyaknya.

Mbah Kardi : “mbak ini ikatan jariknya dilonggarin aja mbak biar enak mbak nya juga gak sesak sama saya bisa mijit lebih bawah.”
Intan : “oh iya mbah” aku pun melonggarkan ikatan jarik ku dan mbah Kardi melanjutkan memijat punggungku. Rasa pijatannya enak sampai-sampai membuatku mengantuk. Rasanya nyaman ketika syaraf-syaraf ku direlaksasi oleh mbah Kardi.
Mbah Kardi : “mbak Intan ini punggung nya agak perih gak apa ya mbak. Soalnya lecet-lecet kena minyak saya jadinya perih mbak.”
Intan : “gak perih kok mbah. Enak malah saya nyaman. Adem juga kok mbah”

Mbah Kardi : “banyak nyamuk ya mbak sampai lecet gini digaruk ya?”
Intan : “oh iya mbah.” (padahal lecet karena semalam punggungku bergesekan langsung dengan tanah)
Mbah Kardi : “iya mbak disini nyamuknya banyak. Kalau pakai obat nyamuk juga masih gak mempan.”
Intan : “hehe iya mbah.”
Mbah Kardi : “sayang banget kulitnya mbak intan putih mulus gini sampai lecet mbak.”
Intan : “iya gatal pak soalnya jadi gak sengaja juga pas tidur kegaruk. Hehe”

Pijatan mbah Kardi sekarang mulai turun ke arah pinggangku. Ini membuat jarik yang aku kenakan juga melorot ke bawah sampai tinggal menutupi area pantatku saja rasanya. Pijatan tangan mbah Kardi mulai memijat dengan lembut dari atas sampai kebawah pinggangku. Rasa nyaman membuat ku semakin mengantuk. Sampai aku merasakan ada sentuhan di area side boobs ku dan aku membiarkannya saja. Terlebih lagi posisi tangan ku melingkari bantal yang kugunakan jadi beliau bisa bebas leluasa menyentuhnya. Mungkin beliau tidak sengaja karena memang payudara ku yang dari samping sudah terbuka tersentuh saat diurut.

Tetapi lama-lama sentuhan lembut itu berubah menjadi tekanan dari ujung-ujung jarinya yang semakin kuat. “Mbah Kardi jangan-jangan memanfaatkan kesempatan nih, ah semua lelaki sama saja ternyata.” pikirku. Aku pun membiarkannya begitu saja karena aku sendiri juga penasaran apa yang akan dilakukan mbah Kardi selanjutnya. Terlebih lagi pijatannya membuat ku semakin relaks. “Ah biarkan saja, memang si kakek kakek ini bisa ngapain lagi sih. Ada bu Marni juga dirumah. Emangnya dia berani apa berbuat yang enggak enggak. Ah aku pura-pura tertidur saja deh. Hehe sungguh nikmat sebenarnya pijatan-pijatannya dipunggungku.” pikirku.

Akhirnya aku berpura-pura tertidur dan tidak menjawab apa-apa saat diajakin ngobrol mbah Kardi. Tekanan-tekanan yang aku rasakan di side boobs ku semakin keras. Ingin rasanya aku mendesah karena perlakuannya. Tetapi aku harus menahan dan tetap berpura-pura tertidur agar dia bisa terus melancarkan aksinya. Walau sekarang rasa nyaman dan relaks yang kurasakan tadi sudah bercampur dengan rangsangan-rangsangan yang membuatku nikmat. Terlebih lagi area payudara adalah titik lemahku. Aku yakin sekarang mbah Kardi juga sedang tegang karena bisa menjamah tubuh ku.

Cukup lama beliau bermain-main menekan side boobs ku dengan ujung-ujung jarinya yang semakin turun dari samping ke bawah menuju ke area putingku. Rangsangan-rangsangan yang mbah Kardi lakukan cukup intense sampai membuat putingku menegang. Kalau dia menyentuh area putingku pasti tau kalau aku sedang terangsang sekarang. Rasanya cukup tersiksa aku tidak bisa mendesah dan harus tetap pura-pura tertidur. Keringat dingin ku pun mulai keluar karena menahan ini semua.

Mbah Kardi : “mbak Intan permisi ya saya turunin lagi jariknya.” hampir saja aku tidak kuat menerima rangsangan dipayudaraku dan ingin mendesah, tetapi untung saja mbah Kardi menyudahi aksinya dan berpindah ke bawah. Lega rasanya sudah beliau tak lagi merangsang payudaraku. Perlahan-lahan jarik ku yang menutupi area pantat mulai tergeser kebawah karena gerakan tangannya. Mulai dari arah pinggang perlahan-lahan turun sampai ke bongkahan pantatku.

Rasanya sudah bukan seperti pijatan di pantatku. Tapi lebih seperti remasan. Beliau meremas-remas dengan lembut kedua bongkahan pantatku. Mungkin karena beliau pikir aku sudah tertidur. Jarik yang kukenakan sekarang sudah tinggal setengah saja menutup area pantatku. Aku yakin belahan pantatku terlihat jelas oleh beliau. Lalu beliau berpindah posisi dari yang sebelumnya disamping kiri ku, sekarang naik ke kasur dan berada diatas kaki ku.

“Wah sudah mulai berani nih mbah Kardi. Sudah tua tapi masih aja nafsunya gak dijaga. Apalagi masih ada bu Marni dirumah. Meski kamar ku ini aku tutup tapi tidak aku kunci. Apa aku pura-pura terbangun saja sekarang. Tapi ah tidak, nanti malah canggung dan tidak enak aku dengan mbah Kardi. Terlebih lagi beliau kan rekomendasi dari bu Marni. Bisa-bisa mbah Kardi juga gak enak dengan keluarga pak Darno nanti. Ah tidak mungkin mbah Kardi berani.” pikirku.

Setelah itu aku merasakan tangan mbah Kardi berpindah lagi kearah pundak ku dan memijat area punggungku lagi. Tapi tak hanya itu saja yang aku rasakan. Ada batang keras yang menekan-nekan di belahan pantatku. Meski mbah Kardi masih mengenakan sarung, tapi penisnya yang sudah tegang sangat terasa menekan area pantatku. Mbah Kardi juga mulai kembali menekan-nekan area side boobs ku. Tekanan penisnya di belahan pantatku juga rasanya semakin keras. Walau hanya menggesek-gesek saja di antara belahan pantatku. Tidak sampai menekan-nekan lubangnya.

Tiba-tiba pintu kamar ku diketuk dari luar dan mbah Kardi langsung lompat dari atas kasur karena kaget dan menarik jarik agar menutupi bongkahan pantatku yang ter ekspose tadi. Ingin aku tertawa rasanya.
Bu Marni : “mbah Kardi, belum selesai ya pijetnya?”
Mbah Kardi : “belum bu, ini malah mbak intan ketiduran saya pijet.”
Bu Marni : “iya kecapekan dia. Ya sudah saya tinggal dulu pak mau belanja disebelah. Ini juga uang buat ongkos pijetnya.”
Mbah Kardi : “matur nuwun bu.”

Kemudian aku mendengar pintu kembali ditutup. Sekarang aku bingung antara harus bangun atau tetap pura-pura tertidur saja. Kalau aku gak bangun bisa-bisa diperkosa sama ini kakek kakek. Apalagi ini vaginaku sebenarnya sudah basah gara-gara rangsangan mbah Kardi dari tadi. Tetapi aku tidak berani untuk bangun dan tetap berpura-pura tidur saja.

Mbah Kardi : “mbak… mbak Intan...” mbah Kardi menepuk nepuk pundak ku pelan, sepertinya beliau ingin memastikan kalau aku masih tertidur atau tidak. Tapi aku tetap berpura-pura tertidur saja. Lalu mbak Kardi sekarang memijat kaki ku. Nampaknya beliau masih ingin memastikan aku benar-benar tertidur atau tidak. Sebenarnya kalau mbah Kardi fokus memijatku daritadi mungkin aku sudah benar-benar tertidur sekarang. Tapi yang ada malah beliau merangsang area-area sensitif ku.

Pijatan beliau mulai naik dari yang awalnya dari betis perlahan naik ke paha dan akhirnya kembali meremas-remas pantatku. Nampaknya mbah Kardi sangat suka bermain dengan pantatku. Tapi tak lama kemudian beliau melepaskan remasannya di pantatku. Aku mendengar pintu kamar dikunci oleh beliau. Aku sedikit takut tapi aku juga tak mau bergerak. Aku tetap diam saja di kasur.

Kemudian mbah Kardi kembali mendekat dan menyingkap jarik yang hanya menutupi daerah pantatku sehingga sekarang area tubuh belakangku sudah tidak tertutup apa-apa lagi. Mbah Kardi kembali naik perlahan ke atas kasur dan memijat punggungku lagi dan sekarang aku bisa merasakan batang penis mbah Kardi. Sepertinya beliau sudah melepas sarung nya sehingga penisnya langsung menempel di pantatku dan mulai digesek-gesek kan lagi dibelahan pantatku.

Karena seluruh tubuhku sudah licin oleh minyak pijatnya mbah Kardi membuatnya dengan mudah menggesek penisnya dipantatku. Tangannya juga sudah mulai menekan side boobs ku lagi dan perlahan-lahan turun. Begitu pula penisnya, aku merasakan lama-lama mulai turun dan tepat berada di depan labia mayoraku. “Duh, gawat nih, bangun gak ya… aduh...” pikirku.

Aku bingung dengan posisiku sekarang. Terlebih lagi penis mbah Kardi sudah mulai menggesek-gesek labia mayora ku dan tangannya sudah menyentuh putingku yang mengeras. Aku pun berusaha keras untuk tetap diam tak bergerak berpura-pura tidur walau rasanya ingin meronta. Tiba-tiba aku merasakan remasan kuat di payudaraku bersamaan dengan 1 sentakan yang membuatku merasakan benda tumpul menyeruak masuk kedalam vaginaku.

Intan : “ACK….” aku tersentak kaget. Tangan mbah Kardi menarik kencang payudaraku dan penisnya sudah masuk ke vaginaku. Tubuhku pun terangkat karena tarikan dari tangan mbah Kardi.
Intan : “mbah….aackk...mbah...kok….aachhh...mbah...ackk...sudah...aackkk” aku pun mulai meronta ketika mbah Kardi menyetubuhiku. Aku yang masih tengkurap ditindih oleh beliau.
Mbah Kardi : “hengg...hengghhh...hengghhh...” nafas berat mbah Kardi terdengar jelas.

Intan : “mbah...sudah...aackk...sudah...ngggghhhh….nnggghhh” tangan kanan mbah Kardi menutup mulutku sedangkan tangan kirinya masih tetap meremas-remas payudara kiriku. Penisnya yang tak seberapa besar itu bergerak keluar masuk didalam vaginaku.
Intan : “ngggghh...nngggggghhhh….ngggghhhh...enggh...engggh...engghh” diperlakukan demikian entah kenapa aku mencapai orgasme ku terlebih dahulu.

Mbah Kardi : “henggghhh… ayu men we mbak… henngghh… hengghh...”
Intan : “nggghhh...nggghhh...mmmmppppffff…..nggghhh” aku masih mencoba meronta-ronta memberikan perlawanan ke mbah Kardi. Meski sudah usia, tapi beliau juga lelaki yang tenaganya lebih besar daripada aku. Nafasnya yang semakin lama semakin berat membuatku takut. Hentakan tubuhnya juga membuat penisnya menusuk semakin dalam.

Sekitar 5 menit kemudian...
Mbah Kardi : “mbak Intan….mbak….heghh...” cruutt...cruutt...cruuutt… mbah Darno melepaskan spermanya dengan 1 sentakan kencang.
Intan : “NNGGGGHHHHH….” aku pun melenguh keras ketika mbah Kardi memompakan spermanya didalam vaginaku. Beliau pun ambruk diatas ku ngos-ngosan dengan penis yang masih tertancap sambil terus mengeluarkan spermanya didalam dengan tetap menghentak-hentak kecil.

Karena mbah Kardi sudah melemah akhirnya aku bisa menggulingkannya yang berada diatasku ke samping kanan dan aku bangun dari tempat tidur sambil menutupi tubuh bagian depan ku dengan jarik. Aku berdiri dan bersandar di lemari. Dengan muka marah aku menatap tajam mbah Kardi yang masih terbaring diatas kasur. Cairan sperma yang sangat pekat mengalir ke kaki ku.

Intan : “mbah Kardi !!!” dengan nada membentak menghardiknya. Mbah Kardi bangkit dan duduk di pinggiran kasur.
Mbah Kardi : “maaf mbak...”
Intan : “maaf maaf !!! kok mbah malah ngambil kesempatan gini sih !!!”
Mbah Kardi : “maaf mbak Intan… saya khilaf… sudah lama gak nganu mbak… apalagi mbak Intan cantik dan mulus… bikin saya khilaf mbak… maaf ya mbak...”
Intan : “sudah sekarang mbah Kardi pergi !!! sebelum saya berubah pikiran dan teriak !!!” aku mengusir mbah Kardi dan beliau membetulkan sarungnya dan keluar pergi begitu saja.

Setelah itu aku duduk di kasur dan melihat vaginaku masih ada bekas-bekas sperma pekat dari mbah Kardi.
Intan : “duh ini mbah mbah berapa lama sih gak ngesex sampai spermanya sekental ini. Mana banyak lagi.” aku pun mengorek vaginaku, merasakan kekentalan spermanya yang menempel di jari-jari ku dan aku lap begitu saja dengan kain yang kukenakan ini.
Intan : “semoga bisa aman nih abis minum obat.”
Tapi tak lama kemudian aku mendengar suara salam dari depan rumah. Karena aku ingat tidak ada siapa-siapa lagi dirumah karena bu Marni sedang belanja, jadinya aku yang membukakan pintu.

Dengan hanya berbalut kain jarik aku menuju ke pintu depan.
Intan : “eh kok udah dateng Lis?”
Lisa : “yee… udah jam 8an nih. Kamu habis ngapain?” Lisa nampak kaget ketika aku membukakan pintu hanya dengan berbalut kain saja. Tentu saja kain ini hanya bisa menutupi sebagian tubuhku saja. Mulai dari bagian sedikit diatas putingku sampai ke paha ku saja. Tentu saja payudaraku menyembut terlihat jelas belahannya.
Intan : “habis pijet nih barusan. Eh pak Yatno, mari pak masuk dulu.” aku pun menyapa pak Yatno yang mengantarkan Lisa.
Pak Yatno : “eh iya mbak, terimakasih. Saya mau ke kantor desa dulu. Nanti kesini lagi jemput mbak Lisa.”
Intan : “oh ya sudah pak hati-hati. Ayo Lis masuk dulu.” setelah itu pak Yatno langsung pergi. Aku dan Lisa masuk ke ruang tamu.

Lisa : “kamu nih keluar cuma pake gituan aja, keenakan tuh pak yatno kamu kasih gratisan. Liatin kamu sampai matanya hampir copot itu. Sengaja ya?”
Intan : “haha ya enggak lah, kan emang baru habis pijet. Sebentar ya aku mandi dulu.”
Lisa : “iya cepetan.”
Akhirnya aku buru-buru mandi, membersihkan bekas-bekas minyak dibadan ku dan juga sperma yang masih lengket-lengket diselangkangan ku.

Setelah aku mandi ternyata bu Marni sudah pulang dan sedang mengobrol dengan Lisa didapur.
Intan : “seru amat nih ngobrolnya.”
Lisa : “berbagi resep masakan ama si ibu nih Tan. kayaknya enak-enak.”
Intan : “iya betul, si ibu nih klo masak selalu enak. Kan sering dibawain ke klinik kan.”
Lisa : “iya itu. Haha mangkanya aku nanya-nanya.”
Bu Marni : “ah si mbak mbak ini bisa aja. Wong cuma masakan orang desa kok e.”
Intan : “eh ya bu saya mau pamit jalan-jalan ya habis ini keliling-keliling desa.”
Bu Marni : “iya mbak. Mau pakai sepeda ontel tah? Itu ada 1 yang ada goncengannya.”
Lisa : “ah gak usah bu jalan kaki saja. Sekalian cari keringat.”
Intan : “eh iya aku ganti baju dulu ya.” aku pun pamit ganti baju dan setelah itu kami pergi keliling desa. Aku mengenakan jilbab dan baju kaos panjang serta celana jeans karena matahari sudah agak terik.

Kami di jalan sering ketemu dengan warga desa dan berhenti ngobrol sejenak. Dari rumah pak Darno kami berjalan menuju ke sawah, terus belok ke hutan-hutan yang masih ada sungai yang cukup jernih. Disana ternyata ada beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci juga. Kami pun duduk sebentar sambil ngobrol disana. Setelah itu kami lanjut jalan menyusuri sungai dan ujung ada beberapa bapak-bapak yang sedang mancing. Kami juga berkenalan dengan bapak-bapak yang sedang mancing ini. Terlihat ada pak Rahman juga disana dan kami menyapa nya.

Intan : “pak Rahman”
Pak Rahman : “oh si mbak Intan ama mbak Lisa, lagi ngapain mbak?”
Lisa : “jalan-jalan keliling aja pak mumpung libur kan hehe. Eh sampai kesini.”
Pak Rahman : “hati-hati mbak, jangan terlalu jauh kedalam hutan. Katanya masih banyak penunggunya.”
Lisa : “iya pak cuma sekitar sini aja kok.”
Intan : “iya pak tadi ngikutin arus sungai jadi kesini. Terus mau jalan ke arah balai desa. Habis itu balik mungkin.”
Pak Rahman : “iya mbak hati-hati aja. Agak sana sudah sepi soalnya jarang ada yang kesana. Palingan cuma buat cari kayu bakar aja kalau ke dalam hutan kayak bapak-bapak ini.”

Intan : “oh iya pak.” padahal aku pernah diajakin oleh pak Darno ke gubuk yang jauh kedalam hutan sana.
Pak Lukman : “mbak bidan, kenalan dulu, kami warga sini kemarin yang ikutan penyuluhan nya mbak mbak. Nama saya lukman, yang itu pak Tejo, pak Nur, sama pak Ipul, kami bertani mbak sehari-hari disini. Kalau yang disana pak Udin sama pak Rijal biasanya nyupir truk. Bareng sama Kirun anaknya pak Darno mbak.”
Lisa : “oh iya pak, nama saya Lisa dan ini Intan.”
Setelah berkenalan kami pun ngobrol sebentar dengan mereka disana. Dan saat pulang kami diberi beberapa ekor ikan hasil tangkapan mereka.

Setelah itu kami lanjut jalan ke arah balai desa dan bertemu dengan pak Darno dan pak Yatno.
Pak Yatno : “loh si mbak mbak kok jalan kaki sampai sini. Jauh loh mbak. Gak capek?”
Intan : “eh pak Yatno, lagi ngapain pak?”
Pak Yatno : “ini mbak Intan, lagi siapin panggung buat acara dangdutan.”
Lisa : “ada yang punya hajat ya pak, kok kami gak tau ya. Hehe.”
Pak Yatno : “enggak mbak, si pak kades aja pengen bikin acara buat warga desa.”
Intan : “oh gitu pak. Kapan acaranya?”
Pak Yatno : “sabtu minggu depan sih mbak.”
Intan : “yah besok nya kami sudah balik pak.”
Pak Yatno : “datang aja loh mbak. Besoknya kami antar ke terminal bus bisa kok.”
Intan : “ya sudah deh pak kalau gitu kami ikutan deh nonton.”

Pak Yatno : “oh iya mbak biar gak capek kembali kerumahnya saya anterin ya.”
Intan : “gak usah pak, kami emang niatan jalan-jalan kok. Bapak lanjutin aja kerjain panggungnya.”
Lisa : “iya pak. Mau jalan jalan aja. Hehe. mari bapak bapak.”
Setelah itu aku lanjut jalan lagi ke warung sekalian beli minum air mineral botolan karena memang rasanya haus jalan-jalan dari tadi. Setelah itu aku kembali ke rumah pak Darno bersama lisa melewati sawah yang agak sepi karena para petani tinggal menunggu panen saja. Ada beberapa bapak-bapak yang sedang makan siang di gubuk dekat sawah. Saat dirumah tidak terasa jalan-jalan dan mampir ngobrol dengan warga sekitar tau tau sudah jam 3 sore aja. Aku memberikan ikan hasil pancingan bapak-bapak tadi ke bu Marni dan kami makan sore bersama di rumah pak Darno.


--POV Pak Lukman--
Sore hari

Memang rejeki rasanya, pas mancing gini tiba-tiba didatangi 2 bidadari. Si mbak bidan jalan-jalan dan bertemu kami yang sedang berada di hulu sungai. Kami para pria-pria yang “lapar” ini seperti mendapatkan kesegaran saat ngobrol dengan mereka. Memang beda ya, perempuan dari kota dengan desa. Kalau di desa ini ya begitulah, kulitnya kecoklatan terbakar matahari karena kebanyakan di sawah dan hampir tidak ada yang berparas ayu seperti mereka. Kalaupun ada pasti sudah merantau ke kota atau jadi pasangan anak para pejabat desa.

Kedua mbak bidan ini spesial rasanya. Lisa mungil, kecil, menggemaskan dan wajahnya ayu. sedangkan Intan, bentuk tubuhnya sangat mengundang untuk dijamah. Apalagi dadanya yang menyembul walau tertutup jilbab. Tapi aku sudah pernah melihatnya saat tidak memakai apa-apa. Sungguh keindahan dunia yang gak bisa aku lupakan.

Pak Lukman : “pak Rahman, itu mbak mbak bidan sampai minggu ini aja ya pak disini?”
Pak Rahman : “iya pak, mereka cuma 2 minggu aja disini.”
Pak Ipul : “wah sayang sekali ya pak. Jarang-jarang ada mahasiswi PKL kesini ya pak.”
Pak Rahman : “iya, saya juga senang jadinya kalau istri saya terbantu.”
Pak Lukman : “diperpanjang gitu gak bisa pak mereka disini?”
Pak Rahman : “ya itu kan bukan kewenangan saya pak. Saya pamit duluan ya pak. Sudah sore.”
Pak Lukman : “oh iya pak monggo monggo.”

Pak Rahman akhirnya pergi dan sekarang tinggal kami ber 4 masih lanjut mancing.
Pak Rijal : “ayu ayu yo pak mbak bidan e.” (cantik cantik ya mbak bidan nya)
Pak Udin : “iyo bener, nek gelem dadi istri ku ngono wes males nyupir aku. Nang omah ae lah ben dino.” (iya bener, kalau mau jadi istriku gitu malas nyupir sudah, dirumah aja tiap hari)
Pak Ipul : “Rijal ki ngawur kok, bojomu meteng iku lho nang omah. Sek pecicilan ae.” (rijal ini ngawur kok, istrimu hamil itu loh dirumah masih aja jelalatan)
Pak Rijal : “tapi ancene ayu toh pak?” (tapi memang cantik kan pak)
Pak Ipul : “iyo seh. Nek awakmu seneng sing ndi?” (iya sih, kalau kamu suka yang mana?)
Pak Rijal : “intan niku loh pak, semloheh.” (intan itu loh pak, bahenol)
Pak Ipul : “iyo seh, duh bokonge pengen tak tabok ae.” (iya sih, pantatnya pengan ku tabok aja.)

Pak Ipul : “nek awakmu sopo pak udin?” (kalau kamu pilih siapa pak udin?)
Pak Udin : “podo seh, intan. Duh ndelok tok ae ngaceng aku. Haha” (sama sih, Intan, liatin aja sudah tegang ini.)
Pak Nur : “hus. Ngawur tok ae bapak-bapak iki rek. Iling umur pak.”
Pak Lukman : “lah emange pak Nur gak seneng wedokan wes an?” (lah emangnya pak Nur sudah gak suka cewek?)
Pak Nur : “yo gak ngono pak, cuma mosok diumbar?” (ya gak gitu juga pak, masa diumbar?)
Pak Tejo : “tapi ancene seh, intan iku lho. Nggarai gak tahan ae.”

Pak Lukman : “pak ngerti ora?”
Pak Ipul : “opo man?”
Pak Lukman : “gelem gak ngerasakno bodi e Intan?”
Pak Ipul : “ah ojok gendeng koen.”
Pak Lukman : “temenan iki, gelem gak? Soale ketokane Intan iku isoan. Aku tau nemoni de’e mbek pak Darno mari ngonoan ndek kono kuwi.” (beneran ini, mau enggak? Soalnya keliatannya Intan ini bisa dipakai. Aku pernah pergoki dia sama pak Darno habis gituan disana.) sambil aku menunjuk ke arah gubuk yang berada dalam hutan.
Pak Rijal : “ah sing nggenah iki?”

Pak Lukman : “temenan kok. Tapi ojok rame-rame. Timbangane gak sido. Meneng-meneng ae ya.” (beneran kok, tapi jangan rame-rame, daripada gak jadi. Diam-diam aja.)
Pak Udin : “iyo wes aman pokoke wes tau ngerasakno sisan ae wes gak opo.” (iya sudah aman pokoknya sudah pernah merasakan sekalian)
Pak Ipul : “iyo, piye piye?”
Pak Lukman : “pak Tejo, pak Nur, pak Rijal melu sisan ora iki?”
Pak Tejo : “wes pokoke sing enak-enak aku melu wes.”
Pak Rijal : “ok lah melu“
Pak Nur : “aku sisan wes, rugi nek gak melu. Haha” (aku sekalian deh, rugi kalau gak ikutan)
Pak Lukman : “nah ngono lho. Aku wingi wes ngomong karo pak Darno. Jarene ate di kek i jatah sisan.” (lah gitu lho, aku kemarin sudah ngomong sama pak Darno, katanya mau di kasih jatah sekalian.)

Pak Rijal : “piye carane?”
Pak Lukman : “biasane lak mulih bengi se. Mengko kene begal ae. Wes rencana karo pak Darno nek Kamis ngarep de e gak njemput Intan ben Intan mulih dewe.” (biasanya pulang malam kan, nanti di begal aja, sudah rencana sama pak Darno kalau kamis depan dia gak jemput Intan pulang biar pulang sendiri.)
Pak Nur : “terus?”
Pak Lukman : “pas lewat sawah kene cegat wes, terus digowo nang njero hutan ae aman.” (pas lewat sawah kita cegat aja, terus dibawa kedalam hutan aja aman.)
Pak Nur : “mengko nek lapor polisi piye pak?” (nanti kalau lapor polisi gimana pak?)
Pak Lukman : “tenang ae aman kok, asal ojok sampek ketokan ae raimu.” (aman asal jangan sampai ketahuan muka mu.)
Pak Tejo : “yo lah wes ayo.”

Akhirnya kami setuju untuk hari kamis mencegat Intan saat berjalan di pinggir sawah yang sepi dan kami bawa ketengah hutan untuk diperkosa.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd