Dilanjutpun...
Sudah Cukup Sudah
Pulang ke-kotaku, ada setangkup haru dalam rindu, masih seperti dulu, eh kok malah lirik lagu KLA Project? Hingar bingar nan sepi dari ibu kota Propinsi yang aneh dan wagu ini terasa begitu menyesakkan. Seperti serpihan hati yang memendam terlalu banyak rasa. Berhari-hari kuhabiskan dengan mengurung diri di Nest. Kepergian Iblis yang tiba-tiba meninggalkan banyak sekali pertanyaan. Menyisakan teka-teki yang saat ini sama sekali tidak ingin kupikirkan jawabannya.
Sakit yang kurasa karena ketidak-tahuan-ku tentang akar masalah pembicaraan antara dia dengan Vika seakan pudar dengan meniggalkan cacat yang traumatis. Vika telah pergi dan kali ini tidak akan kembali. Itu adalah kesimpulannya, sekarang mau-tidak-mau harus aku terima dan melanjutkan hidup dengan kenyataan itu.
Dan sekarang, Iblis sudah pergi…
Dia pergi secara tiba-tiba dan tanpa kata perpisahan…
Kuharap untuk selamanya sih…
Ah…
Pembicaraan dan kedekatan ku dengan Ine-jogja akhir-akhir ini, malah menyita banyak source dalam Random Access Memory – RAM – otakku.
Tapi…
Kemana lagi aku harus melangkah?
Apa yang sekarang harus ku kejar?
Ah…
Sore itu aku memang hanya baring-baring-lemes-males disofa ruang tengah Nest-ku, seperti seekor ubur-ubur yang terdampar di tajamnya pasir pantai. Pasrah menerima takdir yang sudah jelas digariskan untuknya. Kulirik jam dinding yang dengan setia selalu menempel disana.Dari masa semenjak pertama aku pindah ke Nest seingatku dia selalu ada disana untuk-ku, tidak pernah rewel, tidak pernah kehabisan batre, dengan dingin namun setia menemani dan memandangiku dari atas sana, entah apa yang dia pikirkan, itu juga kalau dia punya pikiran.
Sudah hampir jam 6 sore rupanya. Jam itu… bentar, aku gak pernah merasa membeli jam dinding, dari mana pula aku dapet jam dinding ya? Oya! Itu ku-pinjam dengan diam-diam dari ruang tamu Bunda. Hahaha… Aku membanggakan diri atas tindakan smooth kriminal itu…
Dan Sofa ini… Ah, mengembalikan kenangan akan Ine, jin dalam botol-ku…
Kemana pula anak itu sekarang?
Ah, hidup…
Bikin aku pusing aja…
Tapi bagaimanapun, aku harus punya tujuan, kalau enggak, semua gak akan keren lagi…
Bayangin hidup tanpa tujuan… gak keren kan?
Kalau tanpa tujuan, apa bedanya aku dengan Kamu?
Oh, kamu punya tujuan juga kah?
OK, kalau gitu; Apa bedanya aku dengan jam dinding-ku? Hanya berputar dalam lingkaran tanpa awal dan akhir yang jelas, berputar dan terus berputar dengan konstanitas yang menjemukan sampai maut menjemput, atau dalam kasus jam dinding-ku, sampai kehabisan batre…
Hidup tanpa tujuan…
Jelas gak keren!
Tapi… Tujuan…
Ah, sekarang enaknya ngejar apa lagi?
Studiku? – Ah, kalau mau jujur, aku sudah kehilangan tujuan di sana. Sebenarnya settingan-ku dulu sudah ciamik; tujuannya jelas; selesaikan study, jadi Pelaut, lalu berlayar sejauh mungkin, selama mungkin. Ah…
Tapi iblis sialan itu entah mengapa dan gimana caranya dia meng-akuisisi tubuhku, menggunakannya dengan sembarangan dan mengacaukan hampir apapun, aku ketinggalan jadwal pereode ujian profesi. Walau masih ada peluang ujian susulan, tapi harus melalui mekanisme bimbingan individu dan tugas besar. Panjang ribet binti males…
Dia mengacaukan semuanya!
Tapi…
Tapi, kenapa sekarang aku merasa sayang meninggalkan semua kekacauan ini?
Gila kali, kekacauan kok disayangi…
Kacau…
<<- BLIP - >>
Sebuah notifikasi pesan membuat layar Nokia 9210i ku berpendar
<<1 message received>>
Aku meraih handphone itu dengan acuh dan penuh ke-engganan. Aku mengharapkan sms dari temen-teman kost, atau minimal dari tante Cristine, yang menghilang dan tidak kunjung ketemu walau aku sudah mencari sampai kolong café tempat dia biasa tongkrong. Telpun juga gak aktif, sms gak di bales. Sebenernya pengen Curhat.
Curhat kepada tante imut itu memang selalu membuat otakku serasa ter-defrag. Cara pandang dia terhadap dunia begitu ter-struktur dan ter-organized dengan elegansi setingkat Windows XP yang baru saja beberapa bulan lalu kuinstal di PC buluk-ku. Yep, I think she’s a perfect woman, diluarsatu cacat, fakta kalau dia menyelingkuhi suaminya denganku, tentunya. Lagian, tak ada Daging yang tak retak, iya kan? Perfect is Boring!
Ah, SMS dari siapa sih?
[ From: “R” –Message: Wanna talk, please make time. Aku dah di terminal Banyumanik – Option | Back ]
Begitu kira-kira isi semua text yang terpampang di layar kecil 9210i ku. Kupencet Option>Reply
Kutulis “Hah?” lalu Send
Tak selang berapa lama, aku sudah terlibat pembicaraan di telepon dengan-nya.
---
“Well come to my Nest” desisku lirih sambil membuka-kan pintu buat Rara. Dia masuk dengan santai.
Yep, akhirnya aku memutuskan untuk membawa dia ke Nest, setelah tadi sebelumnya makan di Soto Bangkong Srondol, Banyumanik. Acara makan yang tenang. Selama makan, kami hampir tidak bercakap. Perasaan canggung itu. Ah...
Lagian dengan songongnya dia pergi ke sini tanpa persiapan apapun. Baju aja gak bawa, cuman tas gendong kecil andalannya yang selalu setia menempel di punggungnya. What can I do? Masa biarin dia nggelandang di kotaku? Pilihan apa yang aku punya?
“Kamu gak pernah cerita kalau kamu punya rumah di sini babe, ah, mulai berahasia rupanya kamu dengan ku babe” selorohnya semi nyinyir. Dia memang selalu memanggilku babe, walau di-pereode pas kita sudah putus pun, buat jaga-jaga kalau ntar nyambung lagi, katanya. Dan katanya lagi, udah kebiasa, susah di robah. Whatever!
“Mamaku aja gak tau. Kamu orang ke-dua yang tau dan pernah ke sini” jawabku gak kalah selebor
“Really? Wah, siapa lucky number one?”
“Ine…” desisku reflek
“Ah…”
“Eh, bukan… bukan Ine yang itu, Ine yang lain…” kenapa aku harus gugup menjawab?
“Ah, bahkan kamu nyari duplikatnya di sini, sebegitunya-kah? Benar-benar kamu babe, You really break my heart! Sakit banget… serasa ditusuk dari belakang…” Intonasi itu… Ah, wanita…
“Shut up…” jawabku sok ketus
“Huft…. Mo mandi ah, mana kamar mandi?”
“Be my guest…” aku bener-bener lemes, menghempaskan pantatku di sofa sambil menunjuk arah kamar mandi yang ada didalam kamarku
---
Rara keluar dari kamar memakai kaos-putih-ku yang keliatan gombrang sampai ke pertengahan paha di badan mungil-nya, dengan santai berjalan kerarahku sambil meng-kucel-kucel rabutnya sendiri, abis keramas rupanya. Kaos itu, aku yakin dia ngacak-acak lemariku untuk mencarinya. Ah, buat Rara, apa sih yang gak boleh? Ah! Bau ini, aroma yang paling ku suka… bau rambutnya yang bersentuhan dengan shampoo… membangkitkan semua kenanganku tentang dia…
Ah…
Setelah kuperhatikan lagi, Rara sekarang emang kurusan. Tatapan matanya kelihatan layu. Aku tahu, akhir-akhir ini dia emang menjalani hidup yang tidak mudah. Masalah demi masalah seakan tidak berhenti menerpanya. Dibalik sarkasme ucapannya, aku tahu dia sangat membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Sebuah bahu untuk bersandar sejenak. Dan aku, akhir-akhir ini memang tidak seperti dulu yang selalu siap sedia kapanpun dia butuh. Sebenarnya kasihan Rara-ku, bidadari kecilku yang dulu selalu kujaga agar selalu ceria, telur rapuhku yang dulu selalu Easy going, seakan sekarang semakin rapuh dan retak. Rara-ku…
Rara menghempaskan badan degan santai di sofa tempat aku mengggelosoh menyandarkan kepala di salah satu arm-rest nya yang memang agak tinggi.
“Ah, segernya…” selorohnya
Aku hanya mendengus
“Baidewai babe, Ine yang lain itu…”
“Pa-an?” sergahku pendek, males membicarakan hal itu
“Kelupaan celana dalem nya disini ya? Sama beberapa Be-Ha sih…” ledeknya
“What the!!!” Aku semerta-merta melompat duduk dengan kaget. Napa pula aku harus segugup itu? Serasa ke-gep kah?
“Haiz, santai aja deh babe, gak usah overacting nape? Lagian, kejadian itu ada dimasa kita putus juga kok, kamu bebas deh sama sapa aja, lagian aku juga begitu kan? Egois kalau aku menghakimi kamu, ya kan?”
Aku mendengus, inilah Rara. Tajem! Mengena, dan selalu… Ah, susah deskripsiinnya…
“Whatever…”
“Tapi… kok CD-nya gede banget ya? Is she pregnant?”
Aku yang sudah jelas-jelas ke-gep mo bilang apa? Aku hanya mendengus…
Rara malah melihatku dengan pandangan yang aneh…
“Why break up?”
“What?”
“Obliviously it’s not yours…”
“Apanya?”
“Anaknya… kalau itu anakmu, putus leherpun kamu gak akan ngelepasin dia. Aku sangat tau kamu babe, bahkan kalau bukan anakmu pun, kamu akan melakukan sesuatu yang nekat untuk-nya.Jika emang gitu, I’ve been in her shoes before, so it makes me the lucky number one at this point… hehehe…” sekali lagi, inilah Rara.
Dia, seolah mengerti aku luar-dalam. Cara berfikirku, tindakanku, hal-hal yang menimpaku dan apapun tentang aku dengan hanya sedikit, bahkan tanpa clue apapun, bahkan kadang-kadang aku berikir dia tau proses kelahiranku, walau aku lebih tua darinya. Wuedian gak sih?
Aku kembali mendesah “Panjang ceritanya…”
“Well, apapun ceritanya, dia pasti sangat beruntung ketemu sama kamu babe, atau malah luar biasa apes?”
“Apes?Kok gitu?” tanyaku songong
“Ya apes! Dari semua yang kualami, I can deal with problems, hal yang paling susah adalah ngelupain kamu. Ngelupain kepolosan songong-mu. Ketulusan lugu yang cenderung bego-mu… kalau nuruti keegoisan, hati ini rasanya ingin selalu memilikimu, tapi lalu melihat diri sendiri yang begitu gak pantes untuk memilikimu, dan mau-gak-mau harus melepasmu, merelakanmu… hal-hal seperti ini menyakitkan tauk… dan Ine yang ini, bisa kupastikan merasakan hal yang sama dengan yang selalu ku rasakan… dan apa namanya ini kalau gak apes?” kata-kata itu Rara ucapkan dengan santai, masih sambil meng-handuk-i rambutnya. Tanpa memandangku. Matanya hanya menatap kosong kearah TV yang bahkan tidak menyala.
Dan aku menatapnya songong. Tapi jujur, pengakuannya membuatku bingung. Jujur, aku sama sekali gak melihat diriku sendiri seperti itu. Aku hanya ngalir… semua yang kulakukan, tindakanku, semua tanpa pertimbangan sedalam itu. Aku hanya… Ngalir….??
“Trus knapa kamu selalu meninggalkan aku?” tanyaku songong lagi
“Itu… adalah pereode dimana aku…mampu berkaca…” tiba-tiba Rara menghentikan aktifitas handukan-nya dan menunduk
“Ra…” Aku bangkit duduk dan memegang bahunya
“Ah, sudahlah! Anyway, bukan ini yang ingin ku bicarakan…” Rara memotong apapun yang ingin ku-ucapkan. Kulihat di ujung matanya, ada kilatan aneh
“Aku malah gak mau ngomong apa-apa malam ini, males!” potongku ketus. Sebenarnya aku hanya takut.
Rara ini, entahlah… menakutkan. Dan ketakutan terbesarku sampai sekarang, walaupun setelah kasus Ani, Vika, Ine trus Ine lagi adalah; Kepastian akan kehilangan kesempatanku lagi dengan Rara. Selamanya…
Dan jujur, selama ini yang aku fikirkan adalah, apakah aku se-begitu tidak pantas untuk memiliki bidadari ini? Memiliki Rara?
Dan aku hampir memutuskan; kalau di-mata-nya aku memang tidak pantas, it’s fine, walau sangat sakit, akan kuterima kekalahan ini, aku akan mundur…
“Haiihhhzzz… baiklah kalau begitu, kukira aku juga belum siap…” desahnya panjang, sambil masih menunduk
Aku hanya menatapnya, bingung mau ngomong apa, kecanggungan ini…
Awkward…
“Eh babe… boleh pinjem bahumu bentar?”
Aku membentangkan tangan selebar yang aku bisa, mempersilahkan-nya untuk memakai bahu ini kapanpun dia mau.
Dengan canggung Rara beringsut mendekatiku, seingetku, baru pertama ini Rara canggung kepadaku. Ia menenggelamkan kepalanya di dadaku, memelukku dengan erat dan mulai tersenggal-senggal. Kubiarkan dia menangis, melepaskan apapun yang ingin dia lepaskan. Tak satupun pertanyaan ingin kuajukan, hanya pengertian yang ingin kucurahkan. Aku hanya memeluknya seerat yang aku bisa sambil sesekali membelai rambutnya.
Rara-ku… Kasihan benar…
Bidadari kecilku…
Se-terluka ini kah kamu?
Seberat inikah hidupmu?
Maafkan aku yang selalu tidak bisa mengerti kamu…
Maafkan aku yang tidak pernah bisa selalu menemani hari-hari-mu…
Yang malah entah sadar atau tidak, telah menyakitimu…
Mengapa?
Keadaan ini…
Mengapa gak kamu ungkapkan saja? Mengapa kamu harus menyuruhku untuk selalu menebak isi hatimu? Aku?
Sedangkan kamu tau, aku hanya-lah manusia bodoh! Aku…
Aku telah menyakiti wanita yang paling aku sayangi?
Aku…
Sebodoh inikah aku?
Dan air-mata-ku pun ikut mengalir
Dengan Rara, aku tidak pernah membenci air mata ini
Dengan Rara aku selalu bisa menjadi diri sendiri…
Dengan Rara, aku bisa mengumpat, memaki, sarkasme, dan dia selalu bisa melihat apa yang ada di balik itu
Rara…
Adalah satu-satunya orang yang selalu bisa memahamiku
Dan…
Aku gagal memahaminya…
Maafkan aku…
Aku bodoh…
Aku manusia paling bodoh…
Dan dalam hatiku tiba-tiba aku kembali bersumpah…
Akan kubuang seisi dunia, hanya untuk bisa kembali memeluknya…
Memeluk Bidadari Kecilku…
Selamanya…
---
Nafas Rara tersasa sudah sedikit teratur. Entah berapa lama aku memeluknya. Kukecup kepalanya. Dan kepala itu malah jatuh dengan lemas. Eh?
Ketiduran dia…
Mungkin semua ini memang membuatnya sangat capek…
Bidadariku…
Hadeh…
Tapi…
Kenapa wanita selalu dengan mudah tidur didekatku?
Nggak tante Cristin, nggak Ani, Vika, Ine, Rara…
Akhir-akhir ini aku malah merasa seperti bisa memahami perasaan sebuah bantal.
Mungkin aku adalah evolusi dari sebuah bantal?
Ah, mas Darwin pastinya akan sangat marah medengar teori itu…
Hadeh…
Dan aku beringsut, beriri dan membopong Rara ke kamar. Membaringkannya di ranjangku. Rara hanya medesis saat aku membaringkannnya. Kuatur kakinya agar lurus dan bisa menyelimutinya. Kaosnya agak tersingkap disebelah bawah. WTF? Dia gak pakai CD?
Well, ini bukan kali pertama aku melihat vagina Rara, bahkan dulu sering dengan rakus aku menjilatinya, mempermainkannya dengan lidahku dan mendengarnya mengerang dalam proses itu, yep, that is a sweet memory… dan melihat vagina mungil itu lagi… yah…
Ini cukup membuat dadaku berdebar
Baiklah, jujur:
Sangat berdebar!
Dan…
Rara kan udah bobo, mungkin dia ga keberatan kalau aku sedikit bernostalgia melihat vaginanya… hehehe…
Ah…
Tapi ini bertentangan dengan hati ku…
Aku segera menyelimuti dia, itung-itung jaga diri juga. Takut khilaf. Memory itu… begitu membekas…
“Jangan tinggalin aku lagi, minimal malam ini…” Aku kaget, Rara tiba-tiba berkata begitu sambil memegang taganku dan memandangku dengan jernih
“OK! Jadi loe pura-pura tidur” sahutku ketus. Gak tau kenapa sama Rara aku bisa naik-turun-panas-dingin seperti ini. Seperti meloncat-loncat diatas Trampoline. Dan jujur, aku selalu menikmati setiap pantulannya.
“Boleh dong, Ine aja boleh bobo di bahu kamu”
“Eh?”
Matanya hanya melirik licik
“Cini!” Rara membetangkan tangan lebar-lebar, hampir mirip dengan apa yang ku lakukan tadi. Nyindir nih?
Aku gamang…
“Tapi kok… kamu bisa tau…”
“Ahhh… apa sih yang kamu lakukan dan aku gak tau?”
“Gimana?!” Aku masih menyelidik, semakin canggung ke-gep terus.
“Cini dulu, ntar tak ceritain…”
Dan aku beringsut maju, dengan semakin gamang
“Cini… cini… cini… Hihihi…” Rara memelukku yang sudah berbaring dengan canggung di sampingnya dan mencium dahiku, seperti seorang ibu yang gemes mencium anaknya.
“Eit… eit… so? Gimana? Apa yang kamu tau? Apa yang kamu denger? Itu semua ada penjelasannya…”
“Aaaahh… serius deh babe, kamu itu kayak ke gep selingkuh deh, salting amir… hihihi…” tawa Rara sudah kembali seperti Rara yang biasanya, penuh kemenangan, dominasi dan bullying…
Aku menghindar, sok mengancam untuk pergi dengan gesture tubuhku
“Ok deh, ok deh, aku cerita… Kamu, sarapan sama Ine lama bener. Pasti kalian gak cuman makan aja, tapi pergi ke suatu tempat. Lagian, aku sedikit memprovokasi dia pas numpang mandi di kamarku pagi itu. Trus kira-kira kalian ke mana? Ke Hotel? Hmm… bukan gaya Ine, bukan gaya kamu, trus kemana? Ah, pasti kamu biarin Ine memilih tempat. Ini kamu banget babe, sok gentleman, sok ciptain suasana, ajak wanitamu ke tempat yang paling nyaman buat dia untuk mulai melancarkan Brain-Wash ala kamu…”
“Brain-Wash? Maksudlo?”
“Ah, whatever. Jadi aku tebak, kalian pasti ke Gembira-Loka. Aku kesana, dan melihat Ine dengan santai-nya bobo di bahumu, bahu ini propertiku tauk! Anak kecil itu, beraninya dia menusukku dari belakang. Kalau sampai jogja lagi, kugorok leher kecilnya ntar!” lanjutnya bengis
“Rara! Apaan sih? Kamu tuh mengerikan deh… trus gimana kamu tau kalau kita ke Gembira-Loka?”
“Apaan sih, apaan sih, itu njiplak cara ngomong Ine ya? Sialan bener anak itu! Ye… ye... itu emang tempat favoritnya anak itu, lagian akhir-akhir ini, semenjak dia tergila-gila sama kamu, dia sering ke sana…”
“Apaan sih? Kamu tuh beneran serem deh Ra…”
“Am I?”
“Trus, emang kamu memprovokasi dia apa? Waktu sarapan, tiba-tiba dia emang aneh gitu sih…” gumanku bego
“Rahasia lah! Eh, anyway anak itu percaya… hahahaha… amatir ya babe?” lanjutnya riang
“You really are horrible!”
“Am I? Ah… Anak itu, kasihan juga. Semenjak peristiwa Rendi, dia tergila-gila sama kamu babe. Kamu tau babe? Dia nulisin nama kamu ada kali kalau 1000 kali di buku diary-nya…”
“What???? Dari mana kamu tau tentang ini? Tentang Rendi? Diary dia?”
“Ah, ayo-lah, masa sih kamu gak tau aku gimana? Aku kan hebat, hehehe… Inget! Satu-satunya wanita yang pantas untuk mendampingi kamu hanyalah wanita dengan kemampuan seperti aku! Inget itu! Hanya wanita dengan kemampuan sepertiaku! Dan kamu, sebelum ada wanita yang sebanding dengan-ku, kamu sementara milik-ku! Ah, mungkin bisa jadi selamanya…”
“Kamu kesurupan apa sih Ra?”
“Hihihi… Ah, Tapi….” Rara kini malah terlentang
“Tapi?”
“Tapi… sebenernya aku masih merasa agak aneh denganmu babe, pas aku telp sebelum kamu ke jogja, itu nomor kamu, suara kamu, tapi nada bicara dan kalimatnya seperti bukan kamu… hmmm…”
“Bukan aku?Maksudmu?” yah, aku sebenernya tau, yang nerima telepon pastinya Iblis-ku. Hanya waktu itu aku mungkin sedang tertidur, sejujurnya aku sama sekali tidak tau mengenai telepun itu
“Ah, iya… Bunga apa itu?”
“Bunga?”
“Confirm, itu emang bukan kamu… makanya aku benar-benar merasa aneh… ada sesuatu lagi yang kamu sembunyiin dari aku babe?”
“No… No… No… No… Gak ada, You are Psico!”
“Iya kah? Aku… Seburuk itukah aku di matamu, dede?” Rara menggeser tubuhnya dan meghadapku, menatapku dengan tajam
“Rara….” Dan aku membelai rambutnya…
“Sorry… Aku… Aku hanya… “ dan Rara membenamkan mukanya di dadaku
“Anyway… fakta bahwa aku memelukmu sekarang… sudah cukup… tolong jangan pergi lagi…” desahku
“Aku gak pernah pergi kok…”
“Yaudahlah… baidewai, apa sih yang kamu bicarain di telp? Ah, ini kayak film X-Files gitu deh sayang…” tanyaku memecah kecanggungan yang hampir aja dateng lagi
“Sayang? Waw, ini kemajuan! OK! Karena sudah menyebutku Sayang, aku jawab pertanyaanmu babe… “
“Hmm?” Aku memandangnya agak heran, gak ku kira aku bisa mengorek keterangan dengan semudah ini dari-nya. Rara itu… selalu… you know… something…
Wajah kami begitu dekat
Rara menatapku…
Aku balas menatapnya…
Pandangan kami beradu...
“Woi!” teriakku songong
“Apa?” tanyanya gak kalah songong
“Jawabannya…”
“Jawaban apa?”
“Pertanyaan-ku tadi, telefon itu…” ulangku
“Ooooohh itu….”
“Hmmm?”
“Itu….”
“Iya… Itu… ” aku menegaskan
“Itu… Rahasia…” Jawabnya dengan akting mata sok culas, tapi jatuhnya malah nggemesin. Nah kan?!
“Pret!” Aku bener-bener dah gemes sekarang!
Karena gemas, aku mulai menggelitiki dia. Sambil menggelinjang-gelinjang Rara malah semakin merapatkan tubuhnya dan membalas menggelitiki-ku. Kami berguling-guling ria sambil berhaha-hehe. Tentu saja kaos ku yang kedoodoran dia pakai akhirnya tersingkap kemana-mana. Mempertontonkan tubuh mungil-mulus-eksotis-nya.
Beberapa kali, gelitikannku pun sudahh tidak berupa gelitikan, melainkan sudah menjelma menjadi remasan-remasan gemas ke-kedua payudaranya. Memutar-memelintir putting imut nya dan sesekali meremas pantat mungil-nya. Sedangkan tangan Rara tidak kalah atraktif, entah bagaimana, celanaku sekarang sudah melorot sampai kelutut. Menyisakan celana dalam yang dengan sia-sia berusaha melindungi senjata laras panjangku yang dari tadi sudah dikokang Rara secara kasar dan memprihatinkan. Hampir saja amunisinya meledak. Ini kan bahaya, bisa salah tembak nanti.
Dan entah siapa yang memulai, tahu-tahu kami sudah saling memeluk dan berciuman dengan ganas. Bibirnya yang melumat bibirku dengan ganas, mendapatkan perlawanan dariku dengan seimbang. Saat ini Rara sudah ada di-atasku, memcucupkan bibir manisnya ke semua tempat yang bisa dia temui. Muka, leher, bibir, telinga, menggigit bahuku, semuanya. Sedangkan tangannya yang tadi ribet berurusan dengan batang penisku, menggapai-gapai berusaha melepas kaosku
“Damn I miss you really…” desahku gemas-gemas-ganas diantara nafas tersenggal
“Sama!” pekiknya tak kalah ganas
Kami lalu bergulat kembali. Pada satu kesempatan, karena aku sudah tidak tahan, aku membanting tubuhnya, lalu menindihnya. Celana dalam yang tadi dengan sia-sia berusaha menutupi penisku, ku betot dengan kasar, bahkan aku menendang-nendangnya dengan tidak sabar, berusaha melepaskannya. Sedangkan Rara yang berada di bawahku, menjambak rambutku dengan penuh nafsu, menanti kelanjutan aksiku dengan nafasnya yang semakin tersenggal.
Kaki kecil itu kukangkang-kan. Setelah beberapa kali kepala penisku ku gesek-gesek-kan di bibir vaginanya, aku sudah merasakan licinnya lendir yang keluar membasahi memek mungil itu. Dan aku menekan, menerobos relung kewanitaannya dengan dorongan berkekuatan penuh. Ini harus, karena memek Rara memang terasa sangat sempit.
Rara mengerang sambil masih berpegangan pada rambutku. Dan aku mendorong lagi. Kurasakan kehangatan yang melenakan meliputi setiap inci dari penisku. Tapi yang paling istimewa, aku merasakan kenyotan-kenyotan ritmik pada kepala kontolku. Inilah memek Rara. Dan sekarang aku sudah 100% masuk!
“Aaaahhh… babe… kangen banget sama kamu…” lenguhnya disela instirahat nikmat yang aku lakukan setelah berhasil menjejalkan seluruh batang penisku ke vagina mungilnya
“Kamu… Rara… Don’t have any idea… gimana aku tersiksa… dalam permainan maju-mundur-mu!” jawabku meluapkan apapun yang kurasakan selama ini
“Maafin aku… ba… aaaaachhhhkkk…” tentu saja dia berteriak sebelum berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Karena pada saat itu pula, aku yang ganti memegang peranan dalam permainan maju-mundur ini. Kaki-kecil-nya yang mengangkang bergoyang goyang dengan heboh seiring ritme genjotan pinggulku. Tidak tanggung-tanggung aku memang mencurahkan semua perasaanku disana. Menggenjot tubuh mungil itu dengan ritme dan level full power. Mengaduk seluruh bagian liang kewanitaannya dengan kontolku yang kubiarkan berekspresi seliar mungkin.
Kurasakan ujung penisku membentur-bentur mulut serviknya, lalu aku menariknya keluar kembali sampai ke-lokasi G-Spotnya, memutarnya sebentar, lalu menekannya kembali sampai mentok. Gerakan ritmik ini aku yakin akan membawanya terbang kealam manapun yang dia suka. Benar saja, Rara sekarang sudah kehabisan suara erangannya, mulutnya hanya terbuka tanpa suara. Matanya membeliak putih, tangannya dengan kacau sebentar meggenggam seprei, bantal, atau memukul-mukulku dengan acak.
Dan dibagian vagina-nya, aku merasakan guyuran cairan yang semakin banyak. Membuat semua gerakan tusuk-cabut dari penisku menimbulkan bunyi becek yang lengket
CLEK…. CLEK… CLEK…. CLEK… CLEK…. CLEK… CLEK…. CLEK… CLEK…. CLEK…
“Arrrrgghhhhh….” Aku mengerang mempertahankan ritme-ku.
Belum, belum, belum… aku belum puas mencurahkan rasa sayangku pada wanita ini. Belum…
Namun ekpresi menggelepar Rara dan erangan-erangan lirihnya, serta empotan aneh di vaginanya dari orgasme yang mungkin sudah dia raih beberapa kali, membuat pertahananku jebol juga.
Degan sebuah teriakan, kubenamkan sedalam mungkin penisku sampai ke ujung serviknya. Dan aku mengejang. Dan guyuran itu datang. Seperti tersengat ribuan volt listtrik, badanku bergetar keras. Ini, adalah curahan semua emosiku untuk Rara. Kangen, Sayang, Cinta, Kasih sampai rasa Geregetan.
“Aaaaaaggghhhhhh…” kami berteriak bersama lalu limbung.
Dengan aku segera memutar dan menarik tubuhnya, memposisikan dia di atas tubuhku, tanpa mencabut batang-ku dari memek-nya tentu. Dan aku memeluknya seerat yang aku bisa
Dan aku bisikkan
“I love you…” dan sampai sekarang, aku belum pernah mengatakan kalimat itu kepada wanita manapun, selepas kalau aku mengatakannya kepada Rara
Dan Rara membalas pelukanku dengan tak kalah erat
Sudah Cukup!!!
Sudah cukup jalan hidup ini mengombang-ambing kami berdua!
Saatnya aku menulis lembaran baruku dengan dia
Walau aku harus membuang seluruh duniaku…
Aku akan berada di sisinya…
Selalu…
Karena ini rasa sayang ini…
Sudah cukup untuk menjadi dasar!
Sudah cukup…
End of Sudah Cukup Sudah!
To be conticrot…
---
INDEX