Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
TUJUH - SEBUAH CERITA KOLABORASI
BAGIAN 22 | PENCARIAN DEMI HATI

Cerita oleh @fathimah | Disunting oleh @killertomato






Bila ada daftar hal-hal yang tidak akan pernah berubah di dunia ini, mungkin suasana pagi hari di Cluster Kembang Arum Asri akan termasuk di dalamnya. Hawa yang sejuk, dilengkapi dengan kicauan burung yang bersahutan, selalu melingkupi daerah di lereng Gunung Mandiri tersebut, membuat para penghuninya betah untuk berdiam diri di dalam rumah.

Lokasi perumahan yang cukup jauh dari perkotaan membuat daerah yang seperti terjepit antara Kampung Growol dan Kampung Bawukan tersebut tampak begitu asri dan tenang.

Namun suasana rumah pasangan Maya dan Ervan di pagi ini justru berkebalikan dengan kondisi tersebut. Sang istri terlihat sudah sibuk menyiapkan makanan di dapur, sedangkan sang suami tengah fokus mengancingkan baju sambil mengawasi buah hati mereka yang sedang tidur di sofa ruang tamu. Bunyi berdentang dari peralatan dapur yang tengah digunakan Maya, serta bunyi derik yang muncul saat Ervan memindahkan perlengkapan kerjanya, seperti bersahut-sahutan di seantero rumah.

Tak lama kemudian, Maya pun menghampiri suaminya dengan membawa sebuah piring berisi telur mata sapi, lengkap dengan nasi putih dan saos tomat. Secangkir kopi hangat pun turut meluncur kemudian. Setelah bertahun-tahun membina bahtera keluarga bersama, ia jelas tahu jenis makanan yang paling disukai oleh Ervan di pagi hari.

“Terima kasih ya istriku yang cantik...”

“Sama-sama suamiku yang ganteng...” Jawab Maya, meski dengan perasaan hati yang sedikit gundah. Hal itu pun tidak bisa ia sembunyikan dengan baik, dan jelas tertangkap oleh tatapan mata suaminya.

“Kok ngomong gantengnya kayak nggak niat. Malah manyun begitu bibirnya. Ada masalah apa sih, Sayang? Gantengnya aku sekarang sudah berkurang gitu? Hehehe.”

“Bukan begitu, Mas. Tapi...”

“Tapi apa, Sayang? Ngomong aja sama aku, nggak usah malu-malu.”

“Mas benar-benar harus ke pos pemantauan gunung hari ini?”

“Ya itu kan memang tempat kerja aku, Sayang. Masa aku nggak boleh ke sana?”

“Maksudku, kita kan baru pindah ke Cluster ini, jadi aku belum tahu karakter penghuninya seperti apa.”

“Bukannya kita kemarin sudah ketemu Pak Hamzah dan Pak Santo? Mereka berdua sepertinya baik-baik perangainya. Cuma ya, suka lirik-lirik tubuh kamu yang seksi itu saja, hehehe.”

“Ishhh, Mas Ervan ini. Bercanda mulu. Iya sih, kalau mereka berdua sepertinya memang baik. Tapi kan aku nggak tahu penghuni yang lainnya seperti apa.”

“Lalu maksud kamu? Sepertinya Mas masih belum paham arah pembicaraan ini ke mana.”

“Aku takut kalau di rumah sendirian, Mas. Tanpa seorang pun yang aku kenal dengan baik di sekitar sini. Masa gitu aja nggak ngerti sih?” Jawab Maya dengan nada yang sedikit meninggi.

Sebagai istri dari seorang pemantau aktivitas gunung berapi, Maya sebenarnya sudah cukup paham tentang dinamika profesi suaminya. Apabila sedang ada aktivitas gunung yang di luar kebiasaan, Ervan memang sering tidak pulang ke rumah dalam waktu lama. Di tempat tinggal mereka sebelumnya, Maya tidak pernah keberatan, dan biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan pekerjaan atau bertemu teman-temannya. Sayangnya, di tempat baru ini, ia sama sekali tidak mempunyai pekerjaan maupun teman.

Ervan pun memahami kegundahan sang istri, dan langsung tersenyum. Perlahan ia tarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya. Tak hanya itu, rambut Maya yang kini tengah tergerai indah tanpa tertutup jilbab panjang yang biasa ia kenakan, pun dielus-elus oleh sang suami dengan penuh rasa cinta.

“Aku janji akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, untuk menjaga kamu dan Athar, Sayang. Asalkan memang sedang tidak ada tuntukan pekerjaan.”

“Beneran janji?”

“Iya. Kapan sih aku pernah bohong?”

“Pernah.”

“Kapan coba?”

“Waktu nikah katanya belum mau punya anak dulu, jadi kalau ML nggak mau keluarin di dalam. Eh buktinya, malah lebih suka keluarin di dalam, ngomongnya ‘tanggung’ melulu. Sampai akhirnya jadi Athar tuh.”

“Hahaa... Ya maaf, habis siapa sih yang bisa tahan kalau udah genjot tubuh kamu yang sintal ini, Sayang. Apalagi kalau udah ngerasain goyangan pinggul kamu yang muter-muter itu. Mhhhh...”

“Tuh kan, mulai nggilani. Huu...”

“Tapi kamu nggak nyesel kan punya Athar?”

“Nggak lah. Aku cuma kesel sama kamu, Mas. Tukang bohong!”

“Kamu tambah cantik deh kalau ngambek, hehehe.”

“Jangan gombal! Udah gak mempan.”

“Masa sih? Kalau diginiin masih mempan nggak?”

Ervan seperti tak mengenal kata berhenti untuk menggoda istrinya tersebut. Ia terus saja mengusap tengkuk Maya, membelai lengannya, hingga mengusap-usap paha sang istri. Diperlakukan layaknya kekasih kesayangan seperti itu, Maya pun jadi tidak bisa melanjutkan kemarahannya.

“Jadinya hari ini mau tetap di rumah? Nemenin aku sama Athar?”

“Kalau hari ini sepertinya nggak bisa, Sayang. Kemarin ada perkembangan dari kondisi Gunung Mandiri yang harus aku perhatikan, dan mungkin harus dilaporkan ke pusat. Ada tim asesmen mau datang di shift mendatang, jadi harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.”

“Tuh kan...”

“Tapi aku janji, kalau aku bisa pastikan bahwa perkembangan ini tidak akan tereskalasi ke situasi yang lebih parah atau terus berkelanjutan, aku akan sering-sering tinggal di rumah, nemenin kamu sama Athar. Oke?”

“Terserah kamu lah, Mas.”

“Jangan ngambek gitu dong, sini aku kecup dulu.”

Ervan kemudian menarik kepala sang istri, dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk langsung melumat bibirnya yang ranum. Tubuh indah Maya yang berada di dalam dekapannya pun seperti tidak ingin dilepas.

Kenangan akan masa-masa pacaran dan tahun-tahun pertama pernikahan mereka seperti kembali ke permukaan, di saat Ervan benar-benar mengagumi Maya yang memang mempunyai fisik yang lebih menarik dibanding perempuan-perempuan lain yang pernah ia kenal. Tak hanya itu, Ervan jadi makin tertarik dengan Maya karena selain cantik dan seksi, perempuan itu ternyata juga mempunyai otak yang cerdas. Istrinya tersebut selalu bisa menanggapi semua pembicaraan, mulai dari yang receh sampai yang level akademisi.

Satu-satunya hal yang membuat Ervan sempat berpikir keras sebelum memutuskan untuk menyunting Maya sebagai seorang istri adalah karakternya yang begitu keras. Bila perempuan tersebut menginginkan sesuatu, ia akan melakukan segala hal untuk mendapatkannya. Walau keinginan tersebut tidak berkaitan langsung dengan Ervan, tapi tetap saja hubungan mereka berdua sempat beberapa kali terganggu karena karakter Maya yang seperti itu.

Saat mendengar berita kematian orang tua Maya beberapa tahun lalu, Ervan sempat khawatir kalau hal itu akan mengakibatkan Maya menjadi perempuan yang sangat sulit untuk dikontrol. Namun sejauh ini, hal tersebut untungnya tidak menjadi kenyataan. Istrinya tersebut justru terlihat cukup tenang dalam menghadapi kejadian menyedihkan tersebut, membuat Ervan luar biasa bersyukur.

Ervan tidak tahu. Ada sesuatu yang berbeda dalam hati Maya sejak orang tuanya meninggal. Ada yang mengerikan dan disembunyikan dengan sempurna di balik façade

“Mas Ervan jangan elus-elus di bagian situ,” ujar Maya sambil menepis tangan sang suami yang mulai meremas-remas lembut payudaranya.

“Mmmph, kenapa Sayang? Sakit ya?”

“Memang sakit, tapi tidak sampai sakit banget. Tapi dada aku justru jadi lebih sensitif di masa menyusui seperti sekarang. Bisa kacau kan kalau aku lagi pengen tapi Mas nggak ada di sini!”

“Hahaa, iya sih. Nggak mungkin kan kamu tiba-tiba panggil Bapak-Bapak di cluster ini buat tolongin kamu.”

“Husshh, kamu ini kalau ngomong nggak pernah dijaga lho, Mas. Memangnya kalau nanti jadi kejadian beneran, kamu nggak akan nyesel?”

“Masa iya beneran bisa kejadian sih, Sayang? Memangnya aki-aki jelek itu masih masuk ke selera kamu yang tinggi? Mustahil!”

“Tapi...”

“Kalau pun kamunya mau, aku juga ragu kalau anunya mereka masih bisa berdiri. Jangan-jangan baru kamu pegang sedikit ujungnya udah langsung nyembur tuh cairan putihnya. Hahaa...”

Maya hanya merengut saat mendengar kata-kata suaminya tersebut. Ia tentu menolak apabila ada yang mengatakan bahwa ada kemungkinan dirinya tertarik dengan para pria tua yang entah kenapa justru memenuhi daerah Kembang Arum ini. Namun Maya juga tidak bisa mungkir bahwa dia merasakan gejolak yang aneh saat memeluk tubuh Pak Santo, atau saat memijat kaki Pak Hamzah.

“Aku berangkat sekarang ya, Sayang. Kamu baik-baik di rumah.”

“Iya, Mas.”



.::..::..::..::..::.



Baru beberapa jam ditinggal oleh sang suami untuk bekerja di pos pemantauan yang terletak di lereng Gunung Mandiri, Maya yang hanya berdiam diri di dalam rumah langsung merasa bosan. Karena itu, ia memutuskan untuk berkeliling di sekitar cluster tempatnya tinggal saat ini, sembari berkenalan dengan para tetangga barunya. Toh kalau dia perlu bantuan dan sang suami sedang tidak ada di rumah, siapa lagi yang bisa ia harapkan kalau bukan para tetangga.

“Eh, kebetulan anak kesayangan Mama belum tidur. Jalan-jalan sebentar yuk, Athar. Biar kamu kena angin dan bisa cepet bobo siang,” ujar Maya saat melirik ke arah anaknya yang masih tergeletak di atas tempat tidur.

Sang anak yang belum bisa bicara hanya tersenyum dengan manis, lalu tertawa-tawa dengan riang. Ia seperti mengerti kalau sang Mama hendak mengajaknya jalan-jalan, dan jadi bersemangat karenanya.

“Kamu ini, baru dibilang begitu saja sudah ketawa-ketawa. Sepertinya kamu memang nurunin karakter Mama, paling nggak bisa kalau lama-lama di rumah, selalu perlu refreshing,” ujar Maya kepada anaknya.

Perempuan tersebut pun langsung menyiapkan gendongan bayi yang biasa ia pakai dan mengenakannya. Sang bayi yang mungil dan lucu kemudian ia letakkan di atasnya, dengan posisi menghadap ke payudaranya. Maya memutuskan untuk tidak membawa keperluan tambahan Athar seperti popok dan cemilan, karena memang tidak ingin berkeliling terlalu jauh. Apabila sang anak tiba-tiba buang air kecil atau lapar, tinggal kembali saja ke rumah.

“Drrrrttt... Drrrrrtttt...”

Baru saja hendak melangkah ke luar rumah, Maya merasakan ponsel yang ada di kantong celananya sedikit bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk. Ia pun bertanya-tanya siapa kira-kira yang mengirimi dia pesan di hari yang mulai menjelang siang ini.

“Apa jangan-jangan Mas Ervan tiba-tiba pekerjaannya sudah selesai, dan bisa langsung kembali pulang? Ah, tapi kok rasanya terlalu ngarep banget,” gumam Maya.

Dan benar saja, sebagai manusia memang sebaiknya tidak menggantungkan harapan terlalu tinggi, khawatir akan terjatuh dengan keras apabila harapan tersebut tidak kesampaian. Pesan tersebut memang datang dari seorang pria, tapi bukan dari pria yang paling ia sayang, melainkan pria yang paling ia benci.

“Astaghfirullah...”

Hampir saja ponsel tersebut melayang dari tangan Maya dan terjatuh ke lantai, karena saat ia membuka aplikasi pengiriman pesan, muncul sebuah foto close-up alat kelamin berwarna gelap. Baru setelah itu, ada pesan yang turut datang.

Kangen nggak sama pentungan hitam saya, Maya? Kamu pasti suka kan? Makanya sini kembali lagi ke kota, biar kamu dan saya bisa enak-enakan bersama, hehehe.”

Meski jijik, Maya sempat memperhatikan bentuk kemaluan tersebut yang memang terlihat cukup besar. Karena itu, darahnya pun terasa sedikit berdesir.

Saya yakin punya suami kamu pasti nggak sebesar ini kan? Kalau sama saya, kamu pasti akan merasa lebih puas. Suami kamu juga tidak perlu tahu tentang hubungan kita.”

Tapi perempuan tersebut tak bergeming, dan memutuskan untuk mengacuhkan pesan dari pria tersebut.

“Andai saja ada orang yang bisa membantu mengenyahkan Pak Ronggo dari hidupku, aku pasti akan sangat berterima kasih.”

Maya menghapus pesan itu.



.::..::..::..::..::.



Baru sekitar 10 menit berkeliling cluster, Maya terlihat melewati sebuah rumah bercat putih dengan beberapa tanaman di halamannya. Di balik pagar yang hanya setinggi pinggang, seorang pria paruh baya tampak tengah membuat pot beton dari adukan pasir dan semen. Beberapa pot yang sudah jadi terlihat tengah dikeringkan di sudut halaman.

Ibu muda yang tengah menggendong anaknya tersebut merasa mengenal sang pria, tetapi ragu untuk memanggil namanya. Bukan karena takut salah orang, melainkan karena merasa pakaian yang dikenakan pria itu seperti kurang pantas.

Siang-siang begini Si Bapak kok malah ngaduk pasir sambil telanjang dada gitu, cuma pakai celana pendek doang pula? Mana kelihatan jelas banget keringatnya bercucuran dari atas ke bawah. Memangnya nggak malu apa?

Maya pun berniat untuk langsung melewati rumah tersebut tanpa sedikit pun menyapa sang pemilik rumah. Namun baru saja ia hendak mengambil langkah maju, sang pria sudah terlebih dahulu menyadari keberadaan perempuan tersebut.

“Eh, ternyata ada Dek Maya. Sedang jalan muter-muter komplek ya?” Sapa sang pria sambil menyeka keringat yang menetes dari dahinya, membuat cairan tersebut berpindah ke lengan tangannya.

“I-Iya, Pak Hamzah. Tadi baru jalan-jalan, dan sekarang sebenarnya saya baru mau kembali lagi ke rumah.”

“Kalau mau ke rumah kok malah ke arah Barat, bukannya rumah kamu ada di arah Timur.”

“Hmm... Itu...”

Maya tampak tidak berkutik karena ia memang tengah berjalan meninggalkan rumahnya, bukan sebaliknya. Dengan begitu, pernyataannya barusan pun jadi tidak logis. Kebingungannya tersebut pun dimanfaatkan Pak Hamzah untuk menghentikan aktivitasnya, lalu mendekati tempat Maya berdiri.

“Sudah keliling ke mana saja, Maya? Sudah sampai ke ujung belakang cluster?” Tanya sang pria tua sambil tersenyum penuh arti.

Ia seperti tidak malu menunjukkan bentuk tubuh bagian atasnya yang tidak tertutup sehelai benang pun di hadapan Maya. Padahal, perempuan di depannya tersebut sudah berkali-kali memalingkan pandangan karena merasa risih.

“Baru juga keluar, Pak. Ingin cari angin segar sama Athar. Bapak sedang buat apa?”

“Oh, ini lho... Saya lagi bikin pot beton buat tanaman. Jadi nanti tinggal diisi tanah, biar rapih. Istri saya sedang gandrung-gandrungnya bercocok tanam, jadi minta dibuatkan beberapa pot seperti ini.”

“Kenapa nggak nyuruh tukang saja Pak untuk membuatkan seperti itu?”

“Lah saya kan memang tukang.”

“Eh, maksudnya bagaimana?”

“Sebelum pindah ke daerah Kembang Arum ini, saya kan tinggal di kota. Nah, di sana itu salah satu pekerjaan sampingan saya ya jadi mandor buat ngerjain proyek. Jadi kalau urusan ngaduk semen sama pasir begini sih, sudah jadi makanan sehari-hari saya. Buat apa nyuruh orang.”

“Ohh... Tapi sekarang masih suka terima pekerjaan sebagai tukang, Pak?”

“Ya, kadang-kadang saja. Maklum, sudah dimakan umur, hehehe.”

Nah itu tahu kalau sudah dimakan umur, makanya jangan suka goda-godain cewek muda, Pak.

Maya sebenarnya sudah ingin pergi meninggalkan rumah Pak Hamzah. Namun belum sempat ia pamit, seorang perempuan paruh baya tampak keluar dari rumah tersebut dan menghampiri mereka berdua.

“Walah, ada tamu ya ternyata,” ujar sang perempuan sambil tersenyum. “Kok nggak bilang-bilang tho, Pak.”

Saat posisi berdiri keduanya telah saling berdekatan, Maya pun langsung menjabat tangan perempuan tersebut. Meski sudah terlihat keriput di sana-sini, perempuan itu seperti masih bisa memancarkan kecantikannya yang pasti sangat luar biasa di masa lalu.

Cah ayu jenenge sopo?

“Nama saya Maya, Bu. Kalau Ibu?”

“Nama saya Mirna, Nduk. Istrinya Pak Hamzah.”

“Ini lho Bu, sing jenenge Maya. Penghuni baru cluster yang menempati rumah di pojok itu,” ujar Pak Hamzah saat melihat dua perempuan tersebut saling menyapa satu sama lain.

“Owalahh... Ternyata benar kata Bapak. Orangnya memang benar-benar cantik.”

“Bu Mirna ini bisa saja. Kalau di mata Pak Hamzah, pasti lebih cantik Ibu ke mana-mana.”

“Hahaa, bisa saja kamu. Anaknya sudah umur berapa, Nduk?” Tanya Bu Mirna sambil melirik ke arah Athar yang berada di gendongan Maya.

“Oh, baru satu tahun Bu.”

“Masih minum ASI?”

“Insya Allah masih, Bu. Saya rencananya mau kasih air susu sampai dia usia dua tahun.”

“Nah bagus kalau begitu. Jangan kayak kebanyakan ibu-ibu di kota. Belum apa-apa anaknya sudah berhenti minum air susu ibunya, dan langsung dikasih susu formula. Bukannya jadi tinggi, malah diabetes nanti.”

Mbok ya kalau ngobrol itu di dalam rumah gitu, jangan di depan pagar begini. Pamali kalau kata orang tua,” tiba-tiba Pak Hamzah mengingatkan.

Dalam hati, ia merasa canggung juga mendengar kedua perempuan tersebut bicara tentang air susu. Hal tersebut membuat Pak Hamzah tidak tahan untuk melirik ke arah payudara Maya yang memang sudah menjadi perhatiannya sejak pertama kali bertemu.

“Oh iya, saya sampai lupa karena keasyikan mengobrol. Masuk ke dalam dulu yuk, Nduk.”

“Hmm, mungkin kapan-kapan saja, Bu. Saya mau pulang dulu ke rumah,” jawab Maya.

Ia memang merasa enggan untuk mampir ke rumah tersebut karena kondisi Pak Hamzah yang hingga saat ini belum juga mengenakan pakaian untuk menutupi dadanya yang penuh keringat. Tidak mungkin kan kalau dia masuk ke dalam sementara Pak Hamzah harus diusir dulu ke tempat lain.

“Sudah ditunggu sama suaminya ya?”

“Hmm, suami saya kebetulan hari ini sedang tugas, Bu.”

“Lho, memangnya suami kamu itu kerja di mana tho, Nduk?”

“Di pos pemantauan gunung berapi.”

“Di mana itu?”

“Itu lho Bu, yang di lereng Gunung Mandiri. Kalau Ibu naik menyusuri jalur pendakian dari pos pertama, nanti akan ketemu bangunan bercat putih.”

“Bukannya itu jalur yang biasa Bapak susuri kalau sedang jalan-jalan ke gunung?”

Leres. Kemarin juga Bapak sempat ketemu Maya dan suaminya di sana.”

“Owalah, itu namanya pos penjagaan gunung berapi, tho. Kirain cuma bangunan lama yang dibiarkan begitu saja sama penduduk sekitar, bukan tempat orang kerja.”

“Hehehe, iya itu sekarang tempat kerja suami saya, Bu. Kami pun pindah ke sini karena suami saya dipindahkan kerja ke Gunung Mandiri, menggantikan pemantau sebelumnya yang juga dipindah ke gunung lain,” ujar Maya, “mereka bekerja dalam tim, tapi suami saya ditunjuk sebagai salah satu pemantau utama.”

“Kalau begitu daripada sendirian di rumah, mending kamu mampir dulu ke rumah. Sebentar saja. Mau kan, Nduk?”

“Hmm, bagaimana ya? Kebetulan anak saya kurang suka tempat baru, Bu. Takutnya nanti dia rewel,” jawab Maya yang masih mencari alasan untuk menghindari berdekatan dengan Pak Hamzah.

“Tapi itu anaknya juga sudah tidur.”

Maya melirik ke arah anaknya, dan ternyata memang benar. Sang bayi tampak sudah terlelap, dengan dada yang bergerak naik turun secara beraturan, tanda bahwa ia tengah beristirahat dengan tenang. Di sisi lain, Maya pun mulai merasa tidak enak kalau terus menolak, khawatir dianggap sombong oleh tetangga barunya itu.

“Ba-baiklah kalau begitu, Bu,” ujar Maya.

“Nah gitu dong, ayo masuk bareng saya, Nduk.”

“Bapak nggak diajak neh?” Tanya Pak Hamzah kepada istrinya.

“Ya ikut aja, tapi jangan lupa pakai baju dulu! Ngisin-ngisini wae.

“Oh iya, hehehe...”

Pak Hamzah hanya cengengesan melihat kedua perempuan tersebut berjalan santai menuju pintu rumahnya. Dari belakang, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk pinggul Maya yang bergerak ke kiri dan kanan dengan gemulai. Celana panjang berbahan kain yang dikenakan ibu muda tersebut pun tak bisa menutupi bokongnya yang bahenol. Bahkan, Pak Hamzah merasa bisa melihat pinggiran celana dalam Maya yang nyeplak di balik celana panjangnya.

Nghh, apa rasanya ya kalau bisa merasakan nyodok-nyodok tubuh indahmu itu dari belakang, Maya? Pasti nikmat banget. Ugghhh...



.::..::..::..::..::.



Begitu masuk ke dalam rumah, Bu Mirna langsung mempersilakan Maya untuk duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tamu. Ia kemudian mengangkat anaknya yang sudah tertidur dari gendongan, lalu membaringkannya di sofa. Perempuan muda tersebut pun menggunakan waktu untuk meregangkan tubuhnya yang sedikit pegal, meski baru beberapa menit menggendong sang buah hati berkeliling cluster.

“Saya buatkan minum dulu ya, Nduk. Kamu mau minum apa? Kopi atau teh mungkin?”

“Nggak usah repot-repot, Bu. Air putih saja.”

“Nggak ngerepotin kok. Lagipula kalau air putih kan Dek Maya bisa minum sendiri di rumah. Saya buatkan teh saja ya, Nduk? Ini teh spesial lho, pasti rasanya beda sama yang biasa kamu minum.”

“I-Iya Bu. Teh juga boleh,” jawab Maya yang tidak mau terlalu memperpanjang perdebatan basa-basi tersebut.

“Baiklah, sebentar saya buatkan dulu di dapur.”

Setelah Bu Mirna pergi meninggalkan Maya dan anaknya di ruang tamu, ibu muda jelita itu bisa melihat bentuk rumah yang ditinggali pasangan paruh baya tersebut. Secara umum, ukurannya sama persis dengan rumah yang ditempati Maya sekarang. Ya, namanya juga cluster, pasti bentuk rumahnya mirip-mirip semua.

Namun sang pemilik rumah telah melakukan beberapa modifikasi, seperti membuat sekat pemisah antara ruang tamu dan dapur. Maya jadi mempunyai ide untuk membuat sekat yang sama di rumahnya, agar tamu yang berkunjung tidak bisa langsung memandang ke seantero rumah. Ia sempat terpikir untuk meminta bantuan Pak Hamzah yang katanya seorang tukang bangunan, tapi ragu apakah itu adalah keputusan yang baik mengingat suaminya sekarang sedang sering tidak berada di rumah.

Apa jadinya kalau Pak Hamzah bekerja di rumah, sedangkan di dalamnya hanya ada aku dan Athar? Apakah dia akan…

Beberapa foto kebersamaan Pak Hamzah dan Bu Mirna terlihat tergantung di dinding, membuat Maya sedikit kagum akan kelanggengan rumah tangga mereka yang sudah berjalan puluhan tahun. Foto-foto tersebut merekam dengan baik betapa gagahnya Pak Hamzah di saat muda, serta betapa cantik istrinya bu Mirna dulu.

Sampai sekarang pun, Pak Hamzah dan Bu Mirna kelihatannya begitu bahagia. Kalau saja mereka berdua mempunyai momongan, pasti hidup mereka akan jauh lebih ceria.

Tak lama kemudian, Bu Mirna kembali ke ruang tamu, sambil membawa secangkir teh. Di belakangnya menyusul Pak Hamzah, yang kini sudah mengenakan kaos untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sesuai perintah sang istri.

Hal itu pun membuat Maya sedikit bersyukur. Ia menarik napas lega.

Nah, begini dong. Ternyata masih tahu tata krama juga Bapak tua ini.

Mereka berdua pun duduk di sofa lain yang posisinya berhadapan dengan Maya, yang mulai merasa diperlakukan dengan begitu sopan dan terhormat oleh kedua tuan rumah tersebut.

“Silakan diminum dulu tehnya, Dek Maya.”

“Iya Bu. Terima kasih. Maaf neh jadi ngerepotin.”

“Nggak ngerepotin kok. Ayo cepat diminum, mumpung masih hangat.”

Maya coba mengangkat cangkir tersebut dan mendekatkannya ke bibir. Namun minuman tersebut ternyata masih terlalu panas. Karena itu, ia pun coba meniupnya sebelum kemudian meletakkannya kembali, tanpa menyeruput sedikit pun cairan di dalamnya. Agar tidak dianggap kurang sopan, Maya pun coba mengalihkan pembicaraan ke topik lain, sambil menunggu tehnya menjadi lebih hangat dan bisa diminum.

“Saya lihat fotonya Bapak sama Ibu banyak sekali, sepertinya sering banget bepergian dan jalan-jalan keluar kota ya di masa muda?”

“Hahaha, hanya untuk melewatkan masa dan menyimpan kenangan saja, Dek Maya. Di masa muda dulu kami sama-sama suka traveling. Kalau sekarang saya lebih suka cooking, sedangkan Pak Hamzah ini malah cuma suka mancing sama nyari kepiting.”

Pak Hamzah menimpali, “asal nggak naik kuda lumping sambil makan beling.”

Mereka tertawa.

“Ngomong-ngomong, Ibu sama Bapak dulu bagaimana bisa ketemu? Seperinya klop banget satu sama lain.”

Mendengar pertanyaan tersebut, Pak Hamzah dan Bu Mirna pun saling menatap, lalu saling melempar senyum.

“Eh, mohon maaf ya kalau pertanyaan saya dirasa sedikit lancang,” ujar Maya lagi.

“Tidak lancang kok, Nduk. Saya cuma ragu apakah kamu beneran mau dengar cerita pasangan tua seperti kami? Takutnya malah bosan, hehehe.”

“Apabila Bu Mirna berkenan saja.”

“Baiklah. Jadi begini, dulu itu orang tua saya pernah ingin membangun rumah, dan menyewa beberapa tukang. Nah, salah satu tukangnya ya Pak Hamzah ini. Dan waktu kami berdua bertemu, apa ya namanya, mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama, hehehe,” jelas Bu Mirna.

“Wah, romantis sekali ya, Bu. Seperti cerita sinetron aja.”

“Judul sinetronnya apa tuh, Maya?”

“Cintaku bersemi di antara adukan pasir dan semen, hahaa.”

Mereka bertiga pun tertawa, meski masih sedikit tertahan karena khawatir sang bayi yang tengah terlelap di ruang tamu tersebut jadi terbangun.

Di saat yang sama, Maya teringat bahwa sebelumnya ia berhasil menggali sedikit cerita tentang kasus kematian keluarganya dari Pak Hamzah. Ia membayangkan bahwa ibu-ibu seperti Bu Mirna pun pasti punya informasi lebih tentang kejadian tersebut. Bukannya para perempuan itu biasanya lebih tahu gosip dibanding para lelaki?

“Bu Mirna, saya sebenarnya punya sebuah pertanyaan.”

“Pertanyaan apa tuh, Nduk? Kalau saya tahu, pasti akan saya jawab.”

“Ibu pernah tahu tentang kejadian aneh di desa ini?”

“Hmm, maksudnya kejadian aneh seperti apa ya Dek Maya? Kejadian kemunculan genderuwo atau kuntilanak gitu? Kalo gosip soal tuyul atau pocong lontong sih ada dulu, tapi sudah lama sekali.”

“Hahaa, bukan yang mistis-mistis gitu Bu.”

“Lalu kejadian aneh apa yang dimaksud?”

“Hmm, mohon maaf kalau saya menyela. Tapi ini maksudnya soal hobi yang kemarin Dek Maya ceritakan itu ya?” Tanya Pak Hamzah yang masih ingat dengan obrolan mereka saat pulang dari lereng Gunung Merapi di hari sebelumnya.

“Hehehehe, iya Pak. Itu maksud saya.”

“Maksudnya hobi bagaimana tuh Pak?”

“Jadi begini, Bu. Dek Maya ini salah satu hobinya adalah suka sekali dengan kejadian-kejadian misterius dan mencatatnya untuk entah dijadikan buku atau apa, dan Bapak bilang kalau satu-satunya kejadian yang membuat polisi sampai datang ke sini ya yang kasus satu keluarga terbakar yang dulu itu pernah terjadi, itu lho yang di rumah sebelah sana. Sepertinya Dek Maya masih ada rasa penasaran soal kasus tersebut.”

“Oh, ceritanya Pak Budi dan Bu Sulastri itu ya?”

Leres, Bu.”

Mendengar nama kedua orang tuanya disebut, nafas Maya seperti tercekat. Kenangan akan masa-masa indah bersama ayah dan ibunya seperti kembali ke permukaan, memunculkan rasa duka yang begitu melimpah ketika keduanya pergi untuk selamanya. Apalagi, sang adik yang bernama Retno pun turut berpulang ke haribaan Tuhan di kejadian yang sama.

Maya memang tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depan sang suami, sehingga Ervan mungkin menganggap bahwa istrinya tersebut memang bisa mengatasi rasa sedih dengan baik. Padahal, saat tengah sendirian di rumah, Maya selalu menangis sekeras-kerasnya untuk meratapi kepergian keluarganya. Selain itu, ia pun terus menyimpan dendam akan kematian mereka, yang ia yakini bukanlah karena sebab yang biasa, bahkan hingga sekarang. Perempuan tersebut bahkan bertekad untuk melakukan segala cara agar bisa membalaskan dendam kepada orang yang telah menyebabkan kejadian tersebut.

“Saya ingat kejadian tersebut karena keluarga yang meninggal itu sebenarnya cukup ramah. Walau bisa dibilang masih pendatang baru, mereka selalu menyapa setiap warga di sekitar kampung sini, ya kalau dibayangkan mirip lah dengan kamu sekarang Maya,” jelas Bu Mirna, “datang dan langsung akrab dengan kami semua.”

“Ibu juga pernah ngobrol dengan mereka?”

“Ya pernah, tapi tidak terlalu sering karena rumah mereka kan cukup jauh dari sini. Cuma ya beberapa penduduk suka cerita berbagai hal tentang mereka, dan saya sering curi-curi dengar.”

“Memang ada cerita apa tentang mereka, Bu?”

“Hmm, setelah kejadian kebakaran itu, ada yang bilang kalau si Bapak sempat terjerat utang yang nilainya sangat besar. Karena itu, ada yang bilang jangan-jangan mereka sekeluarga bunuh diri karena tidak bisa membayar utang tersebut.”

Maya langsung terhenyak saat mendengar informasi tersebut. Ia tidak pernah tahu kalau Ayahnya mempunyai utang. Apalagi sampai terpikir bahwa ia akan sampai bunuh diri untuk menutupi utang-utang tersebut. Ayahnya bukan tipe orang yang seperti itu. Sedari kecil, Maya selalu diajarkan untuk mencari jalan keluar dari semua permasalahan hidup, dan prinsip tersebut selalu ia pegang sampai sekarang.

Sepertinya apa yang diceritakan Bu Mirna masih berdasar gosip saja, tapi kalau sampai benar Ayah mempunyai utang yang tak terbayarkan, jangan-jangan karena itulah ada orang yang berniat jahat pada keluargaku? Aku harus mengorek informasi lebih lanjut tentang hal itu dari Bu Mirna.

“Terus bagaimana Bu?”

“Ya nggak ada terusannya, Nduk. Ibu cuma tahu sampai situ saja. Karena setelah mereka meninggal dan rumahnya terbakar habis, tidak ada petunjuk apapun yang bisa dijadikan bukti. Polisi pun memutuskan untuk menghentikan penyelidikan tidak lama sesudahnya dan menyatakan kebakaran itu akibat kecelakaan karena kelalaian.”

Jawaban tersebut kembali membangkitkan rasa sakit hati di dada Maya. Ia membayangkan kalau para polisi setempat mau menyelidiki kasus tersebut secara baik dan profesional, mungkin ia tidak perlu bertanya-tanya tentang penyebab kematian orang tuanya seperti ini. Mereka seharusnya menelusuri semua motif yang mungkin muncul, dan mengejar siapa pun yang berpotensi menjadi pelakunya.

“Ibu tinggal ke belakang sebentar ya, Nduk. Tadi Ibu sekalian memanaskan sayur, siapa tahu sekarang sudah mendidih.”

“Oh iya Bu, silakan.”

“Saya juga mau nemenin Ibu ke dapur ya, Maya,” kali ini giliran Pak Hamzah yang pamit. “Kamu nggak apa-apa kan kalau kami tinggal sebentar?”

“Iya, nggak apa-apa kok Pak.”

Dalam hati, Maya justru bersyukur karena tidak perlu duduk berduaan dengan Pak Hamzah, yang sedari tadi terus saja memandang ke arah tubuhnya yang sintal ini, terutama di bagian payudaranya. Ukurannya yang membusung karena memang tengah berisi air susu untuk dinikmati sang buah hati, membuat bagian tubuhnya tersebut juga turut menjadi perhatian lawan jenis, baik yang muda maupun yang tua seperti Pak Hamzah.

Ia sebenarnya sudah ingin segera pulang, agar tidak perlu berlama-lama di rumah ini. Namun di sisi lain, Maya juga berniat untuk mengorek lebih banyak hal dari Bu Mirna, yang sepertinya mempunyai informasi lebih banyak tentang kejadian tragis yang menimpa orang tuanya.

Bu Mirna bahkan sempat bertemu dengan kedua orang tuaku. Mungkin saja ia bisa memberi penjelasan tentang detail kehidupan mereka di lereng Gunung Mandiri ini, sebelum kematian mereka.

Demi mengisi waktu karena ditinggal sendirian, Maya mengambil HP untuk memeriksa apakah ada pesan yang masuk. Namun ternyata ponselnya tersebut sangat sepi dari pesan, layaknya kuburan. Suaminya yang biasa selalu memeriksa kabar pun tidak kelihatan mengirim pesan sama sekali.

Saat Maya sudah hampir bosan dan bingung harus berbuat apa, ia mendengar sayup-sayup pembicaraan Pak Hamzah dan istrinya di dapur. Alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia seperti biasa, mereka justru menggunakan bahasa daerah, mungkin agar Maya tidak mengerti obrolan mereka apabila sempat mendengar. Untungnya, Maya justru memahami bahasa tersebut.

“Ibu kenapa nggak kasih tahu aja lanjutan dari cerita tadi, yang tentang Pak Budi dan Bu Sulastri? Dan siapa tuh nama anak mereka yang ikut mati waktu itu?”

“Retno?”

“Iya, itu maksud Bapak. Habis kebiasaan dipanggil No, No, gitu sih.”

“Tadi saya mau menjelaskan, tapi takut malah bahaya.”

“Bahaya bagaimana?”

“Ya, bahaya. Kita kan nggak tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Khawatir jadi fitnah. Lagipula, untuk apa pula Maya perlu tahu keluarga itu punya utang sama siapa? Dia kan hanya orang baru yang penasaran cerita-cerita aneh di sini.”

“Iya sih. Tapi...”

“Tapi apa tho, Pak?”

“Menurut Ibu, memangnya mereka benar-benar punya utang?”

“Sudah beberapa ibu-ibu yang bilang, jadi kecil kemungkinannya kalau informasi itu salah.”

“Utangnya sama siapa?”

“Hush, jangan dibicarakan di sini, nanti Maya dengar bagaimana? Dia kan masih bangun. Bapak tahu sendiri betapa tipisnya dinding di rumah ini.”

“Coba Bapak intip sebentar.”

Mendengar kata-kata Pak Hamzah tersebut, Maya langsung panik dan berusaha berpikir dengan cepat. Apabila ia membiarkan pasangan suami istri tersebut menemukannya masih terjaga, mereka pasti tidak akan melanjutkan obrolan mereka. Kemungkinan terburuknya, ia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi tentang kematian keluarganya, yang sudah sedikit lagi bisa ia dapatkan.

Maya pun mengambil pilihan lainnya, yaitu mengikuti sangkaan pasangan suami istri tersebut bahwa ia tengah tertidur. Mungkin dengan begitu, Bu Mirna dan Pak Hamzah bisa lebih ‘cerewet’ berbagi informasi.

Perempuan tersebut langsung pura-pura memejamkan mata. Ia melakukannya setenang mungkin, agar tidak tampak mencurigakan. Kepalanya pun ia rebahkan di punggung sofa, dengan posisi kepala sedikit menoleh ke samping, agar posisi tidurnya terlihat lebih natural.

“Orangnya malah sudah tidur Bu,” ujar Pak Hamzah saat melihat ke arah ruang tamu, “sepertinya kecapekan.”

Maya hanya tertawa saja dalam hati mendengar aktingnya berhasil menipu pria tua tersebut. Ia pun tak lupa memicingkan telinga, agar tetap bisa mendengar percakapan pemilik rumah tempatnya berada saat ini.

“Hah? Masa sih? Masa bisa gitu ketiduran di rumah orang? Coba Ibu lihat,” terdengar suara Bu Mirna yang seperti tidak percaya.

Karena situasi rumah yang cukup sepi, Maya jadi bisa mendengar langkah kaki Pak Hamzah dan Bu Mirna yang kian lama kian dekat dengan tempatnya berbaring. Keberadaan Bu Mirna membuat perempuan tersebut merasa sedikit tenang. Tak mungkin kan Pak Hamzah berbuat macam-macam di depan istrinya sendiri?

“Wah benar, Pak. Dek Maya ternyata sudah tidur pulas. Tapi kok cepet banget sih?” Ujar Bu Mirna kembali dalam Bahasa Indonesia, karena merasa orang ketiga di rumah tersebut sudah tidak bisa mendengar pembicaraan antara dirinya dengan sang suami.

“Mungkin memang dia sudah lelah setelah berjalan keliling cluster. Plus ada efek dari hal ‘itu’ juga,” jawab Pak Hamzah.

Hati Maya tiba-tiba menjadi tegang. Ia merasa bingung apa sebenarnya yang dimaksud Pak Hamzah dengan hal ‘itu’, yang menjadi salah satu faktor ia bisa tertidur dengan cepat. Apa pun itu, Maya punya firasat bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik. Apalagi setelah itu, ia bisa merasakan bagaimana Pak Hamzah duduk tepat di sampingnya, dan tidak ada tanda-tanda sang istri coba melarangnya.

“Dek Maya cantik banget kan Bu?”

“Iya, Pak. Ayune wes ra karuan. Pantes saja Bapak ngomongin dia terus, sejak dia pindah ke cluster ini.”

Firasat buruk Maya tampaknya semakin mendekati kenyataan. Ia tidak tahu seberapa normal obrolan yang baru saja ia dengar. Namun yang pasti, ia tidak akan mungkin membicarakan kecantikan perempuan lain di hadapan Mas Ervan.

“Untung Dek Maya sudah tidur ya, Bu. Sehingga dia tidak akan mendengar percakapan kita.”

“Iya, Pak. Nggak mungkin kan saya ngomong begini kalau Dek Maya masih terjaga.”

Woy, saya sekarang masih terjaga dan bisa mendengar semua kata-kata kalian. Dasar pasangan kurang ajar!

Maya hanya bisa meyimpan dongkol di dalam hati, karena ia sendiri masih takut untuk membuka mata, dan membongkar kedoknya yang tengah pura-pura tertidur.

Jantung Maya berdegup lebih kencang saat ia merasakan sentuhan tangan Pak Hamzah yang sedikit kasar di pipinya. Sentuhan tersebut menjalar dari bagian atas wajahnya ke bawah, tepat di tepian jilbab yang ia kenakan. Lama kelamaan, sentuhan tersebut pun berubah menjadi usapan.

“Lihat deh Bu, pipinya Dek Maya ini tembam sekali kan? Persis pipi Ibu waktu masih muda dulu.”

Sudah kepalang tanggung, Maya memutuskan untuk tetap terdiam di tengah kepura-puraannya. Usapan demi usapan yang dilancarkan pak Hamzah jelas membuatnya risih. Namun, tiba-tiba terbangun begitu saja pun dirasa bukan keputusan yang baik. Selain hal itu bisa membuat hubungan dia dengan pasangan suami istri tersebut memburuk, ia juga mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas kematian orang tuanya.

Sejauh mana sih Pak Hamzah ingin menyentuh tubuhku? Paling juga tidak akan lebih jauh dari ini. Karena tidak mungkin kan Bu Mirna akan mengizinkan hal tersebut. Lagipula, apa mereka tidak takut kalau aku tiba-tiba terbangun kalau mereka memutuskan melakukan hal yang lebih gila lagi?

“Tapi Ibu tahu nggak, apa yang bikin saya begitu tergila-gila sama Dek Maya?”

“Apa Pak?”

“Ini lho, Bu. Susunya.”

A-apa!? Gila! Bajingan tua ini berani sekali melakukan hal seperti ini di depan istrinya! Apa bu Mirna tidak… tidak… tidak mungkin Pak Hamzah berani.

Maya tidak akan pernah menyangka kalau pria tua yang kemarin selalu berbaik muka di hadapannya, kini justru berani menyentuh payudaranya secara langsung. Maya memang sadar kalau sejak pertama kali mereka bertemu, Pak Hamzah sudah melirik-lirik ke arah gunung kembarnya tersebut. Namun bukankah semua lelaki mempunyai tendensi untuk melirik bagian tubuh perempuan yang membuat mereka terangsang? Dan hal itu tidak masalah menurut Maya, selama mereka tidak melakukan aksi lebih lanjut.

Namun sekarang, Pak Hamzah sudah berani menyentuh langsung buah dadanya. Meski payudara tersebut masih tertutup oleh pakaian, tetap saja ini namanya pelecehan! Dan lebih gilanya lagi, pria tua itu melakukan aksi terkutuk tersebut di hadapan Bu Mirna, istrinya sendiri, yang entah kenapa juga seperti tidak ada keinginan untuk melarang sang suami.

Sialaaaannn... Apa yang harus aku lakukan di situasi seperti ini? Kenapa bu Mirna tidak marah atau melarang!? Ah, sial. Jangan-jangan mereka berdua sama-sama punya penyakit?

Maya yang bingung akan keputusan yang perlu dia ambil.

Awalnya Pak Hamzah memang hanya mengelus dan mengusap kedua payudara Maya dari luar, karena tubuh perempuan tersebut masih tertutup blus lengan panjang yang terbuat dari katun. Namun sentuhan tersebut kemudian berubah menjadi remasan, seiring dengan semakin gemasnya sang pria tua pada tubuh Maya yang begitu menggiurkan.

“Bajunya tipis sekali lho, Bu. Saya jadi bisa merasakan bentuk tetek di dalamnya, benar-benar lembut,” desis Pak Hamzah.

“Nggak mau dikeluarkan saja teteknya, Pak?”

“Memangnya bisa, Bu?”

“Itu kan Maya sedang pakai baju menyusui. Di bagian dadanya ada celah yang bisa digunakan untuk mengeluarkan payudara, agar bisa lebih mudah saat anaknya ingin minum susu.”

“Masa sih?”

Ketiadaan buah hati di tengah-tengah bahtera pernikahan Pak Hamzah dan Bu Mirna, membuat sang suami tidak terlalu mengerti bahwa ada pakaian yang sengaja didesain dengan model seperti itu. Ia memang melihat ada sebuah lekukan di kiri dan kanan payudara Maya, tetapi awalnya ia hanya menganggap lekukan tersebut sebagai motif biasa saja.

Pria tua tersebut kemudian coba menelusupkan tangannya ke dalam lekukan tersebut, dan voila... ia bisa langsung menyentuh kulit halus nan lembut di buah dada Maya. Bentuk bra yang dikenakan perempuan tersebut pun hanya menutupi di bagian bawah saja, agar mudah dikeluarkan ketika sang buah hati ingin menetek. Namun bra dengan model seperti itu justru membuat Pak Hamzah bisa dengan mudah mengeluarkan dan menyentuh puting payudara perempuan cantik berjilbab tersebut.

Sentuhan tiba-tiba dari sang pria tua seperti mengalirkan energi listrik bertegangan tinggi ke sekujur tubuh Maya. Perempuan tersebut berusaha bertahan demi mendengar informasi lebih lanjut dari Bu Mirna tentang kejadian tragis yang menimpa keluarganya.



Tetapi colekan dan sentuhan jemari Pak Hamzah yang sudah keriput di ujung putingnya membuat tubuh ibu muda tersebut sedikit menegang. Apalagi ketika jari telunjuk pria tua tersebut bergerak memutar-mutar di daerah areolanya.

Ngghh... Tahu gitu aku tadi pakai baju biasa saja, tidak perlu pakai baju menyusui seperti ini. Habis lah aku jadi bulan-bulanan bandot tua seperti Pak Hamzah.

“Wah benar, Bu. Jadi mudah dikeluarkan teteknya Dek Maya. Hehe.”

“Apa Ibu bilang. Para perempuan muda sekarang sukanya pakai busana seperti itu kalau sedang menyusui, agar tidak repot kalau ingin kasih nenen.”

“Bapak juga jadi lebih mudah sih buat nenen sama Dek Maya. Hehe.”

Perlahan tapi pasti, Pak Hamzah terus mendekatkan wajahnya ke buah dada perempuan cantik tersebut. Maya bisa merasakan betapa hembusan nafas sang pria tua begitu menderu, sehingga hembusan udara yang hangat bertubi-tubi menyapu ujung putingnya yang kini sudah mengacung tegak. Ingin sekali rasanya Maya menggeser sedikit posisi tubuhnya, agar bisa menjauh dari Pak Hamzah. Namun ia tahu bahwa itu tidak mungkin ia lakukan.

Karena itu, bibir Pak Hamzah pun bisa dengan mudah menyentuh ujung puting Maya. Pria tua tersebut kemudian turut menjulurkan lidahnya untuk menjilat puting berwarna kecoklatan tersebut, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

Ketika puting tersebut telah berhasil terperangkap di rongga mulutnya, Pak Hamzah kemudian memainkan daging lembut nan mungil itu dengan lidahnya yang kasar. Ke atas, ke bawah, lalu dengan gerakan memutar. Ujung lidah Pak Hamzah tak henti-henti menowel puting perempuan muda tersebut. Hingga akhirnya, sesuatu yang sudah sangat ia impikan berhasil mengucur keluar dan membasahi rongga mulutnya, sebuah cairan berwarna putih yang tidak seharusnya berada di sana.

Mata Pak Hamzah sontak terbelalak, merasakan cairan yang rasanya ternyata cukup manis, meski tanpa gula buatan. Cairan tersebut tidak kental, sehingga bisa langsung meluncur masuk ke kerongkongan pria tua tersebut. Dan ketika lidahnya mengusap kembali puting payudara Maya yang masih bersarang di dalam mulutnya, cairan tersebut pun kembali keluar, membuat Pak Hamzah menjadi ketagihan.

“Ouuughh…”

“Kenapa, Pak? Kok jadi merem melek begitu?” Tanya Bu Mirna yang mulai khawatir karena suaminya hanya diam saja saat mengemut payudara Maya.

“Rasanya enak, Bu.”

“Apa yang enak, Pak?”

“Susunya Dek Maya.”

“Oh, keluar ya susunya?”

“Iya, Bu. Ternyata begini ya rasanya air susu seorang perempuan muda, manis tapi gurih.”

Bu Mirna pun tersenyum melihat tingkah suaminya. Dalam hati, ia menyesali nasib karena tidak pernah mempunyai keturunan, yang membuatnya tidak bisa mempunyai air susu yang bisa membuat suaminya ketagihan seperti itu. Namun karena rasa cintanya yang begitu melimpah, Bu Mirna pun ikut bahagia melihat suaminya merem melek seperti itu.

Maya sebenarnya masih berharap Bu Mirna akan marah ketika melihat tingkah laku suaminya yang sudah kelewatan ini. Namun harapan Maya langsung sirna begitu mendengar kata-kata perempuan paruh baya tersebut setelahnya.

“Untung tadi Ibu kasih obat tidur dengan dosis yang cukup banyak di tehnya Dek Maya ya, Pak. Meski belum habis, dia sudah tidur nyenyak sekali seperti ini.”

“Iya Bu. Memang Ibu ini pasangan idaman banget. Istri mana coba yang mau bantu suaminya untuk dapetin cewek bahenol seperti Dek Maya ini, hehe.”

“Selama Bapak senang, apa pun akan Ibu lakukan, Pak.”

Sialaaaaannn... Ternyata mereka berdua memang sudah sekongkol untuk membuatku tertidur, dan melakukan pelecehan terhadap tubuhku. Dasar pasangan edan!!

Meski hatinya seperti mendidih karena merasa dilecehkan tanpa persetujuannya, namun ia tidak bisa memungkiri bahwa tubuhnya turut merasakan sebuah sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sang suami memang cukup sering memainkan payudaranya, termasuk mengemut puting dadanya.

Namun aktivitas tersebut seperti terhenti saat Maya mulai hamil hingga sekarang ketika Athar sudah lahir ke dunia. Ketika ditanya, Ervan menyatakan enggan mengecup-ngecup payudara Maya karena khawatir air susunya keluar, dan sang suami seperti menjadi saudara sepersusuan anaknya sendiri.

Itulah mengapa Maya memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya ketika air susunya dihisap oleh sosok selain buah hatinya tersebut. Apalagi, sosok tersebut adalah tua bangka berotak mesum seperti Pak Hamzah, sungguh sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ku-kurang ajar! Entah kenapa emutan Pak Hamzah di putingku ini justru membuatku terangsang. Harusnya kan aku tidak boleh seperti ini! Atau jangan-jangan ini adalah efek aku terlalu lama ditinggal oleh Mas Ervan? Celakaaa! Kalau begini terus…. Aku tidak akan kuat untuk…

Maya sedikit bersyukur karena ia sebenarnya belum meminum teh yang disajikan Bu Mirna sama sekali, sehingga tidak ada efek apapun dari obat tidur yang ternyata telah dimasukkan ke dalamnya. Tapi apa gunanya juga kalau sekarang ia justru tidak bisa bangun dari tidur pura-puranya, dan melabrak pasangan paruh baya tersebut.

Maya sempat berkeinginan untuk mengakhiri aksi palsunya tersebut, tetapi Pak Hamzah dan Bu Mirna malah melanjutkan obrolan tentang kasus kematian keluarganya.

“Tapi Ibu benar-benar tahu siapa orang yang dihutangi oleh Bapak keluarga yang meninggal itu?”

“Tahu lah, Pak.”

“Siapa memangnya?”

“Dia berutang pada salah satu anggota keluar Sukir.”

“Yang mana, kan ada tiga tuh? Pak RT Sukirman, Sukirno, atau bujang lapuk Sukirlan?”

“Nah, kalau itu Ibu nggak tahu tepatnya si Bapak utang sama yang mana. Karena yang melakukan penagihan itu kan si Pak Barsono, dan dia memang bekerja untuk ketiga kakak-beradik Sukir. Jadi ya nggak jelas juga dia menagih untuk siapa.”

“Ibu nggak pernah tanya langsung sama mereka?”

Wedi, Pak. Mereka bertiga kan mata cewekan. Yang muda dan yang tua, semuanya juga diembat sama mereka. Memangnya Bapak mau kalau Ibu diapa-apain sama mereka?”

“Ya nggak mau lah, Bu.”

“Makanya.”

“Susah memang kalau sudah punya utang sama mereka, karena pengaruh mereka bertiga kan sangat besar di kampung ini.”

“Makanya bapak juga hati-hati. Tiap malam masih suka begadang main catur sama Pak Sukirman, tho? Awas saja kalau sampai terjebak jadi bagian dari gerombolan mesum mereka.”

“Tapi kalau Bapak mesum sambil ngelonin Dek Maya ya, boleh kan Bu? Hehe.”

“Selama Bapak ngomong sama Ibu, dan ngelakuinnya juga di hadapan Ibu. Nggak apa-apa. Tapi...”

“Tapi apa Bu?”

“Tapi emangnya Bapak cuma mau ngelonin Dek Maya saja? Nggak mau ngelonin Ibu juga?”

“Habis puas ngelonin Dek Maya, ya ngelonin Ibu juga, hehe.”

“Dasar laki-laki, kalau sudah punya yang muda, selalu menomor duakan yang tua.”

“Duh Ibu kok ngambek sih, hehehe.”

“Memangnya masih kuat main lebih dari satu ronde?”

“Ya dibantu dengan obat kuat sedikit-sedikit boleh lah. Hehe.”

Obrolan mesum dengan istrinya tersebut membuat Pak Hamzah jadi makin bergairah. Seperti tak puas dengan air susu Maya yang hanya keluar sedikit-sedikit, ia pun menyedotnya dengan lebih kuat, agar cairan gurih tersebut bisa keluar lebih banyak. Ia pun tampak seperti bayi tua yang sedang menetek ke payudara Maya.

“Sluurrpphh... Sluurrrppphhh...”

Mulai terdengar bunyi kecipak yang terbentuk dari pertemuan air liur sang pria tua dengan kulit lembut di buah dada Maya. Suara tersebut bahkan sampai memenuhi seantero ruangan, menambah panas suasana di rumah tersebut.

Setelah sekitar 10 menit menyedot air susu sang ibu muda berparas cantik itu tanpa henti, Pak Hamzah bisa merasakan bagaimana penisnya kini sudah begitu tegak berdiri di balik celana. Ia tidak tahan untuk segera membuka seluruh pakaian ibu muda yang tengah berbaring pulas di hadapannya, dan menikmati tubuh indahnya.

“Tempik cewek cantik kayak Dek Maya ini pasti legit banget rasanya. Nggak tahan banget deh buat segera nyelupin kontol hitamku yang besar ini ke dalam tempik sempit itu, ughh. Kapan lagi coba aku bisa dapat kesempatan seperti ini,” ujar Pak Hamzah.

Namun tiba-tiba, ingatan Pak Hamzah melayang ke kejadian semalam, saat ia tengah berkumpul dengan Pak Santo, Pak Sukirman dan Pak Barsono, di pos ronda. Ia tidak bisa melupakan kata-kata Pak Sukirman, yang meski ditujukan untuk Pak Santo, tetap masuk ke dalam hati Pak Hamzah.

“Akan lebih enak kalau para bidadari itu mau kasih memeknya ke kita secara sukarela, tanpa paksaan. Mereka naik ke atas tubuh kita dengan kemauan mereka sendiri, terus naik turunin sendiri pinggulnya di atas pangkuan kita. Behh, pasti lebih legit rasanya.”

Pak Hamzah pun tersenyum akan rencana yang tengah coba ia susun untuk bisa mendapat kepuasan menikmati tubuh Maya di lain waktu, tanpa perlu membuat perempuan tersebut tidak sadar seperti sekarang.

“Ibarat lagi ngejar ayam, kamu itu jangan cuma bisa lari ke sana ke sini nggak pakai perhitungan. Yang ada ya lari semua itu ayam-ayam. Bagaimana sih?”

Perkataan lain dari Pak Sukirman kembali meresap ke pikiran Pak Hamzah. Seketika, pria tua tersebut merasa lebih cerdas berpuluh-puluh kali lipat dibanding sebelumnya. Ia memutuskan bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menyetubuhi Maya.

Karena itu, tiba-tiba ia melepaskan kulumannya dari puting payudara Maya, lalu menoleh ke arah istrinya.

“Bu...”

“Ya, Pak?”

“Bapak sudah puas neh. Kita lanjut main di kamar yuk.”

“Bapak yakin? Setelah ini mungkin Bapak nggak akan punya kesempatan menikmati tubuh Maya seperti sekarang lho.”

“Yakin, Bu.”

“Baiklah kalau itu mau Bapak. Ibu tunggu di kamar ya. Bapak benahi dulu pakaiannya Dek Maya. Biar dia tidak curiga ketika bangun nanti.”

“Siap, Bu.”

Dengan perlahan, Pak Hamzah pun kembali memasukkan payudara Maya yang membusung itu ke dalam tempatnya semula. Ia pun tidak lupa mengambil secarik tisu untuk mengelap ujung puting buah dada tersebut, agar tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sebelum benar-benar meninggalkan perempuan cantik itu, Pak Hamzah menyempatkan diri untuk mengecup bibirnya yang indah.

“Cuppp... Manis sekali bibir kamu, Maya. Seperti madu yang baru diambil dari sarang lebah, hehehe. Tunggu saatnya nanti, kamu akan bertekuk lutut di hadapanku.”



.::..::..::..::..::.



Ketika sudah yakin kalau Pak Hamzah dan Bu Mirna sudah masuk ke dalam kamar, seperti yang mereka berdua katakan tadi, Maya pun bangkit dari akting tidurnya. Ia coba melihat sekeliling dan langsung merasa aman, karena memang ia hanya sendirian di ruang tamu tersebut.

Ketika melirik ke samping, sang anak tampak masih tertidur pulas, tanpa mengetahui apa yang baru saja terjadi kepada Mamanya.

Maya menghembuskan nafas panjang-panjang, demi mengeluarkan kekesalan dan kemarahan yang selama ini ia tahan. Ia sedikit menyesali keputusannya untuk diam saja saat diperlakukan seperti itu oleh Pak Hamzah, tanpa sedikit pun perlawanan.

Sial. Kenapa aku dengan tololnya membiarkan dadaku dinikmatin sama bandot tua seperti Pak Hamzah? Kenapa aku malah diam saja? Bodoh! Karena tidak ingin ada masalah, karena takut, atau karena… enak?

Meskipun marah, Maya juga tidak bisa memungkiri bahwa rangsangan yang diberikan Pak Hamzah telah membuat libidonya meninggi. Saat ujung putingnya diemut-emut oleh pria tua tersebut, Maya sebenarnya tidak tahan untuk mengeluarkan desahan. Ia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya agar suara birahinya tidak terdengar keluar, dan untung saja Pak Hamzah tidak sampai menyadari hal tersebut. Bila tidak, akting tidur yang dilakukan perempuan itu pasti akan langsung ketahuan.

Maya kemudian memasukkan tangannya ke balik blus katun yang ia kenakan, dan menyentuh puting payudaranya yang baru saja disedot oleh Pak Hamzah, hingga air susunya keluar. Ada sedikit rasa gatal yang tertinggal di situ, yang seperti memantik sebuah hasrat terpendam di dalam tubuh perempuan cantik itu.

Ketika tangannya merogoh ke bagian selangkangannya, Maya menemukan bahwa celah surgawinya pun telah sedikit lembab akibat rangsangan bertubi-tubi yang baru saja ia terima. Ia pun jadi rindu perasaan melayang saat kemaluannya tersebut dipenuhi oleh penis sang suami saat mereka tengah bersetubuh.

Sialaaaaannn... Kenapa aku bisa-bisanya horny sama pria tua bangka seperti Pak Hamzah sih? Sampai gatel semua gini tetek sama memek aku? Bandot tua sialaaaaaan!

Namun Maya kemudian teringat alasan mengapa ia memutuskan untuk tetap pura-pura tidur, meski akhirnya harus dilecehkan oleh Pak Hamzah. Karena itu, ia langsung membuka ponsel untuk mencatat semua pembicaraan pasangan suami istri pemilik rumah tempat Maya berada saat ini, agar tidak terlupa.

Tapi tiba-tiba, perhatian Maya teralihkan pada suara aneh yang muncul dari dalam kamar utama yang berada tepat di samping ruang tamu. Ia pun berusaha mendekat agar bisa mendengar suara tersebut dengan lebih jelas.

“Nghhh, terus Pak. Terus tusuk yang dalam...”

“Ahhh... Enak sekali tubuhmu, Cantik...”

Suara desahan dan erangan yang seperti bersahut-sahutan dari dalam kamar, membuat birahi Maya kembali muncul ke permukaan. Ia pun tidak bisa memungkiri bahwa dirinya merasa terangsang mendengar suara tersebut.

“Suka nggak sama goyangan aku, Pak Hamzah?”

“Suka banget Maya. Aku suka sekali dengan kemolekan tubuhmu.”

Maya sungguh terkejut. Ia sampai mencubit lengannya sendiri khawatir bahwa saat ini ia tengah berada di alam mimpi. Tapi ternyata tidak, ini adalah kenyataan. Dan ia tidak salah dengar, karena sosok pria yang berada di dalam ruangan tersebut memang menyebut-nyebut namanya.

“Aku ingin terus menikmati tubuhmu seutuhnya, Maya. Aku ingin kamu meninggalkan suamimu itu untuk aku.”

“Ahhh, aku juga hanya ingin melayani kamu dan kontol besarmu, Pak Hamzah. Cuma kamu yang bisa memuaskanmu. Tubuhku ini hanya untukmu seorang.”

“Boleh nggak kalau aku keluarkan pejuku di dalam memekmu yang sempit ini, Sayang?”

“Boleh, Pak. Muncratin yang banyak ya di dalam tempik aku.”

“Iya, Sayang. Kita buat adik untuk Athar yaa. Kamu mau kan?”

“Mau Paaaakk... Maauuuuu!”

Maya menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Kedua orang tua itu!? Rupanya mereka tengah berakting? Apa-apaan!? Aneh sekali Pak Hamzah dan istrinya! Mereka punya tabiat yang di luar nalar. Terlebih lagi… Pak Hamzah menjadikan Maya sebagai objek seksnya!

Gilaaaa... Ini benar-benar gilaaaa!



.::..::..::..::..::.



Ketika Pak Hamzah dan Bu Mirna akhirnya keluar dari kamar, Maya pun kembali mengeluarkan akting, seolah-olah ia baru saja bangun dari waktu tidur yang cukup lama. Tidak percuma dia memiliki wajah yang innocent yang membuat orang mudah percaya apapun yang dilakukan dan dikatakannya.

“Lho, rupanya kamu sudah bangun, Nduk?” sapa Bu Mirna dengan wajah yang begitu polos dan keibuan.

Dalam hati, Maya mengutuk kemunafikan perempuan paruh baya tersebut, yang masih bisa-bisanya memasang wajah ramah seperti itu. Jangan pura-pura baik di depan tapi bangsat di belakang. Amit-amit punya ibu yang seperti ini. Perempuan munafik ini layak dijadikan makanan anj…

Tahan. Tahankan dirimu. Tahan semua amarahmu, Maya.

“I-Iya Bu. Maaf ya Bu, saya yang bertamu kok malah jadi tidur di sini.”

“Tidak apa-apa, namanya juga kamu mungkin sedang lelah. Anggap saja ini rumah kamu sendiri. Sudah lama bangunnya, Nduk?”

“Baru sebentar kok,” dalih Maya. “Ngomong-ngomong, saya izin pulang dulu ya Bu. Takut kesorean, eh nanti suami saya malah sudah sampai rumah duluan.”

“Oh iya, silakan Nduk. Aduh saya tidak bisa nyangoni apa-apa ini.”

Di perjalanan pulang, Maya berusaha mencerna apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Mengapa ia mengizinkan tubuhnya digerayangi, hingga susunya diisap-isap keluar oleh Pak Hamzah.

Bajingan itu berani-beraninya menyentuh tubuhku. Aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia beruntung aku membiarkannya karena berhasil mendapatkan informasi tentang keluargaku. Dia beruntung saat ini, lain kali – dia tidak akan seberuntung itu.

Maya yang masih berjalan berpikir keras.

Setelah ini, ia harus mencari informasi secara langsung dari keluarga Sukir, yang tadi disebutkan oleh Bu Mirna. Namun bagaimana caranya? Salah satu petunjuk penting yang ia dapatkan adalah perangai keluarga Sukir yang paling disebutkan Bu Mirna.

Aku harus memanfaatkan itu dan mendekati mereka satu per satu.



.::..::..::..::..::.



Keesokan harinya, Ervan benar-benar memenuhi janjinya untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, bersama istri dan anaknya. Untungnya, pekerjaan pemantauan gunung berapi bisa ditinggal hari ini karena ada shift pengganti dari tim pemantau, sehingga Ervan pun merasa sedikit tenang.

Saat matahari sudah sepenggalah naik, pasangan suami istri Ervan dan Maya tengah asyik menonton film kartun di televisi, dengan sang anak semata wayang yang bernama Athar tengah duduk santai di antara keduanya.

“Gitu dong, Mas. Kalau ada istri di rumah itu ditemenin, bukan malah ditinggalin,” ledek Maya sambil melirik ke arah suaminya.

“Kamu ini lho… dari pulang semalam sampai sekarang, masih aja disindir terus. Giliran aku tinggal kerja malah ngambek bukan main. Bingung aku jadinya sama kamu,” jawab Ervan.

“Ya kalau bingung pegangan aja, Mas. Gitu aja kok pusing amat. Salah sendiri Mas habis pulang langsung tidur, bukannya ngelonin aku dulu. Padahal udah janji… bete. Emangnya mas tahu gimana aku bersiap semalem?”

“Duh, dibahas lagi. Mas kan sudah bilang kalau Mas capek. Kalau mau, ayo kita main malam ini sampai pagi. Berani nggak?”

“Males. Udah nggak mood.” Maya menjulurkan lidah.

Sayangnya, belum lama kemesraan pasangan muda tersebut berlangsung, tiba-tiba terdengar suara ramai di depan rumah mereka. Teriakan para penduduk yang sepertinya sedang berjalan ke salah satu rumah di cluster tersebut, sambil menyebut-nyebut sebuah nama, jelas sekali terdengar.

“Hmm, ada apa ya? Kok ramai banget di luar. Jangan-jangan ada gunung meletus?” Ujar Maya.

“Hushh, jangan mengada-ada. Dari pantauan semalam tidak ada tanda-tanda apapun. Tim yang sedang bekerja juga tidak mengumumkan apa-apa di grup. Sebagai anggota tim pemantauan resmi, Mas pasti akan dipanggil oleh tim yang sedang melakukan asesmen jika ada anomali. Mereka sedang bekerja makanya Mas bisa istirahat hari ini.”

“Kalau begitu coba Mas lihat ke luar, siapa tahu ada penghuni cluster yang sedang dalam kesulitan dan butuh bantuan. Rame banget, Mas.”

“Kamu nggak mau ikut lihat ke luar juga?”

“Sebenarnya mau sih, tapi ini Athar pasti rewel kalau ditinggal. Mas saja duluan lihat.”

“Oke deh. Tunggu sebentar ya.”

Suaminya sudah pergi sekitar 15 menit, dan Maya pun mulai tidak sabar untuk menunggu. Ia baru saja hendak bangkit dan membawa Athar untuk menyusul sang suami, ketika Ervan tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Wajah Ervan terlihat berbeda. Maya tahu ada sesuatu yang terjadi dan itu tidak baik jika melihat wajah sang suami.

Sang istri pun langsung memberondongnya dengan ribuan pertanyaan.

“Ada apa Mas? Ada kejadian apa? Siapa yang terlibat? Kok ramai banget sih tadi? Sudah selesai ramai-ramainya?”

“Kamu ini kalau nanya tuh selalu saja borongan. Satu-satu dulu dong, biar gampang jawabnya!” Ervan terengah-engah saat duduk di depan Maya. Mereka berdua memang sedang tidak eye-to-eye. Sejak semalam chemistry mereka seperti sedang tidak menyatu.

“Iya deh, maaf. Jadi sebenarnya ada kejadian apa? Kok di luar kayak ribut banget?”

“Ada yang ketahuan selingkuh.”

“Hah, kok bisa?”

“Ya bisa lah. Namanya juga ada cowok ada cewek, bukan pasangan suami istri, ketahuan telanjang berdua di ranjang. Ya mungkin aja mereka selingkuh kan?”

“Maksudku bagaimana ceritanya kok bisa sampai ketahuan dan bikin rusuh satu kampung seperti itu? Di luar sana juga banyak pasangan selingkuh, tapi ya nggak bikin ribut kayak begini juga.”

“Katanya ada video pendek yang menyebar di grup warga. Isinya seorang perempuan yang sudah punya suami dan anak, sedang tidur bareng sama pria tua yang sering bantu-bantu di rumahnya. Sekarang istri si cowok lagi maki-maki si cewek, parah banget deh pokoknya.”

“Kamu sempat lihat videonya, Mas?”

“Mana bisa lihat, aku kan belum dimasukkan ke dalam grup WhatsApp RT. Tapi tadi aku ketemu Pak RT di sana, dan sudah minta tolong untuk dimasukkan ke dalam grup.”

“Biar bisa lihat video perselingkuhan?”

Masya Allah, Sayang. Pikirannya kok begitu amat sih sama aku. Maksudnya biar kita update sama informasi di lingkungan sini gitu lho. Biar nggak kuper.”

“Kirain...”

“Tapi Mas bingung sebenarnya.”

“Bingung kenapa, Mas?”

“Kok ya bisa terjadi perselingkuhan seperti itu. Sekilas lihat tadi perempuannya seperti shalihah banget, pakai jilbab panjang juga.”

“Ya mungkin udah nggak tahan, Mas. Memang suaminya si perempuan lagi ke mana sih? Kok bisa sampai selingkuh begitu?”

“Katanya sih sedang dinas ke luar kota.”

“Nah itu dia sebabnya!”

“Maksud kamu?”

“Kalau kata Bang Napi, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.”

“Waspadalah... Waspadalah...”

“Haishhh, jangan dipotong dulu dong. Maksudku, istri kalau sering ditinggal-tinggal, besar kemungkinan jadi nggak tahan dan melampiaskan hasrat seksualnya ke orang lain. Makanya kamu jangan sering-sering tugas ke luar rumah, Mas!”

“Yah, kok malah balik ke situ lagi sih? Aku kan cuma kerja di luar rumah, Sayang, bukan luar kota. Yang ada kamu tuh, jadi perempuan kalau punya nafsu itu ditahan, jangan sampai terumbar ke mana-mana kalau lagi aku tinggal.”

Mendengar perkataan suaminya, Maya langsung teringat akan apa yang baru saja terjadi kemarin di rumah Pak Hamzah. Apa yang terjadi saat itu sebenarnya lebih pantas disebut pelecehan, atau bahkan pemerkosaan, karena Maya sama sekali tidak mengizinkannya.

Namun… bukankah Maya juga pada akhirnya turut menikmati? Bahkan liang senggamanya pun sampai dibuat basah karenanya? Maka apakah itu sudah layak untuk disebut sebagai perselingkuhan?

Maya tidak ingin membayangkannya. Maya tidak ingin memikirkannya. Maya sampai pusing dibuatnya. Maya ingin menyembunyikan wajahnya di balik tirai palingt tebal yang ada di dunia.

Melihat istrinya terdiam, Ervan segera memberikan reaksi.

“Nah. Tuh kan kamu malah diam begitu. Jangan-jangan kamu memang ada niatan buat selingkuh di belakang aku? Hayo ngaku?” tentu Ervan hanya bercanda saja dan berniat menggoda.

“Enak saja. Kamu kali yang pengen selingkuh, Mas!”

“Hahaa, nggak mungkin lah, Sayang. Sudah punya istri secantik kamu, masa iya aku nyari perempuan lain. Bego kali aku lho.”

“Terus yang kemarin itu maksudnya apa? Salaman sama cewek pakai lama banget. Kalau aku nggak keburu datang, mungkin sudah cium-ciuman kalian berdua.”

“Ya ampun, Sayang. Itu kan cuma sebatas saling kenalan sesama penghuni cluster. Nggak lebih. Ya memang sih, dia cantik sekali. Tapi buat aku kamu itu sempurna, sayang.”

“Yakin? Pokoknya awas ya, aku nggak akan maafkan kamu kalau nanti benar-benar selingkuh. Aku bisa nekat nanti...”

“Nekat bagaimana?”

“Kalau kamu selingkuh, aku akan balas perlakuan kamu.”

“Gimana balasnya?”

“Aku akan balas selingkuh dengan lelaki lain, lalu pergi tinggalin kamu buat dia,” ujar Maya spontan. Perempuan tersebut sama sekali tidak tahu dari mana dia mendapat ide gila seperti itu.

“Ooooh gitu? Silakan aja. Toh Mas nggak mungkin selingkuh sama cewek lain. Mus-ta-hil!”

“Berani janji?”

“Berani... Deal!”

Deal juga!”

Maya dan Ervan benar-benar tidak tahu janji seperti apa yang baru saja mereka buat. Masa depan adalah sesuatu yang misterius, unik, dan bisa membolak-balikkan hati setiap manusia.

Apa yang mereka janjikan sebagai sesuatu yang main-main hari ini, akan menjadi sesuatu yang mereka sesali di kemudian hari. Manusia memang tidak tahu apa yang telah digariskan, kadang pernah diberikan peringatan sebelumnya.

Waspadalah.



BAGIAN 22 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 23
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd