Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 16
Malam Penuh Gairah


POV Dani

Sesil mendorong pelan bahu Kak Rivin. Tangannya memberi kode dengan menunjuk ke arah Eda. Belum jelas dengan kejadian ini, tiba-tiba badan gue didorong Sesil sampai terpentok tembok.

“Jangan macem-macem ya, Dani. Kita cuma mau seneng-seneng sama Eda kok.” Sorot mata Sesil tajam.

Gue mau marah. Apalagi gue lihat Kak Rivin mulai memeluk Eda dan membenamkan kepalanya di dada Eda. Entah apa yang dibisikkannya sampai-sampai Eda balas memeluk. Tapi, tiba-tiba tangan Sesil langsung masuk ke dalam celana gue hingga menyentuh belahan belahan vagina gue.

Gue refleks memeluk Sesil karena lemas seketika. Apalagi, tangannya dengan lekat menggesek seluruh permukaan luar vagina gue. Gue yang udah gak bisa perikir, balas menyambar mulutnya ganas seperti mencium Kenia waktu itu. Lidah gue bergeliat di rongga mulutnya.

“Mmmmhh... Binal juga lu, Dan.” Sesil balas melumat lidah gue.

Gue melirik apa yang sedang dilakukan Eda dan Kak Rivin. Mereka sudah terbaring bersebelahan di lantai beralas karpet sambil berciuman ganas. Harusnya gue marah, tapi nyatanya gue makin horny dan segera mengajak sesil bergabung dengan permainan.

Dengan bangganya gue membuka gesper dan resleting celana Eda. Kemudian, gue tarik celana sekaligus celana dalamnya hingga lepas. Dia gak bisa ngelihat gue karena masih asik dengan Kak Rivin.

“Keras ya, Dan. Pantes lu nagih.” Sesil megang batang penis Eda.

Gue menjawab Sesil hanya dengan berkedip.

Tangan gue dan Sesil bergantian bermain di batang hingga buah zakar Eda. Sesil mulai mendekatkan kepalanya, lalu mencium pangkal penis Eda. Dia bergerak binal di pangkal, sementara gue mulai mengulum bagian kepalanya. Gue berkali-kali juga bertemu bibir dengan Sesil sambil Penis Eda berada di antara kedua mulut kami.

Di atas sana, gue lihat Kak Rivin baru saja melepas baju dan penutup dadanya sendiri. Kemudian, dia menarik baju Eda ke atas sampai terlepas. Sekarang, Eda benar-benar telanjang bulat di depan kami bertiga. Tangan Eda bergerilya menjamah payudara Kak Rivin bergantian. Sementara itu,

Suatu ketika, tangan Kak Rivin ikut bergabung memutar-mutar pelan kepala penis Eda sambil melihat kami.

“Aaagghhh!!” Eda mengerang

Eda langsung membalik badannya hingga menindih Kak Rivin.

Gue dan Sesil yang kehilangan kegiatan, jadi beralih berciuman berdua. Gue perlahan mulai melepas satu persatu pakaian Sesil, dan sebaliknya. Begitu Sesil duluan yang telanjang bulat, badan gue ditariknya ke atas kasur. Gue ditindih dan lidahnya dibenamkan dalam-dalam ke rongga mulut gue.

Gue merespon dengan meremas-remas bongkahan pantatnya. Lalu, dilanjutkan dengan respon balik Sesil yang melepaskan celana dalam gue. Kami tiduran bersebelahan, berciuman, saling belai, meremas payudara lawan main tanpa henti.

“Edaaa! Jilat teruuus! Enaak.. Sssshh...” Kak Rivin mendesah

Gue menoleh sebentar ke karpet, ternyata kepala Eda sudah terbenam di antara kedua paha Kak Rivin. Tangan Kak Rivin mencengkeram rambut Eda kuat-kuat. Belum puas gue melihat mereka, tiba-tiba dua jari Sesil masuk ke dalam vaginaku dan langsung mengocoknya dengan cepat.

“Ahhhh!! Sesiiiiil!!!” Gue belingsatan sambil memeluk lehernya.
“Eda ganteng ya, Dan.” Bisik Sesil
“Ahhh.. Apaan deh Siiil.. ahhh...” Gue gak fokus
“Kita pinjem Edanya malem ini boleh kan.”
“Apaan.. ahhh.. SESSIILL.. AAAHHHHHH....”

Kocokan jarinya sangat cepat dan gak ada jedanya sama sekali, sampai membuat gue meracau gak jelas. Ditambah lagi dengan hembusan nafasnya di telinga gue. Sumpah, gue keenakan dengan permainan Sesil ini.

“Pinjem Edanya yaaa.” Sesil berbisik lagi.
“IYAAHHH... AAAHHH...” Gue orgasme. Squirting di kasur gue sendiri.
“Makasih, Dani.”

Gue terbaring lemas, tapi hanya sebentar. Begitu Sesil memberi cupangan di leher, gue kembali turn on. Sesil beranjak turun pelan-pelan menjilati payudara hingga pusar gue. Lalu, dia menjilati klitoris gue dengan hati-hati. Gue bereaksi menekan kepalanya agar menjilat lebih kuat.

“Ahhh... anjir lu, Sil!” Gue mengumpat
“Enak kan, Dan.” Sesil kembali memasukkan dua jarinya
“Sil, teruuus... tiga jariiii... sssshhh...”
“Liat deh Eda tuh.”

Gue menoleh ke Eda yang sekarang bersiap menerkam Kak Rivin. Penisnya sudah diarahkan menuju lubang kenikmatan Kak Rivin. Sebelum dia bergerak lebih lanjut, Eda melihat ke arah gue. Momen itu harusnya gue gunakan mencegahnya, tapi nyatanya gue justru makin horny.

---

POV Eda

“Edaaa... Sekarang.. uhhh...” Kak Rivin berbisik ke gue yang sedang menindihnya.

Penis gue sedang menikmati gesekan di celah vaginanya saat dia berbisik. Awalnya gue gak ngerti dan gak fokus. Tapi, Kak Rivin langsung memegang batang penis gue dan diarahkan ke lubang vaginya. Gue pun mengerti.

Gue bangun sejenak untuk mengatur posisi. Di atas kasur, terdengar suara Dani ngomong ‘Anjir’. Hal itu membuat gue agak sadar sedikit dan menahan diri. Gue melihat Dani supaya memastikan dia gak marah atas tindakan gue.

Dani melihat gue, lalu dia mengangguk lemah. Gue malah mendapat persetujuan darinya.

“Edaaa.. buruan sayaaang...” Kak Rivin memanggil.

Akal sehat gue kembali hilang saat melihat wajah Kak Rivin. Gue arahkan lagi Penis gue tegak lurus dengan lubang vaginanya. Gue dorong pinggul perlahan, lalu gesekan antara penis gue dan dinding vaginanya menjalar dari ujung hingga pangkal. Penis gue sudah masuk seluruhnya.

“Uhhhh...” Kami berdua tak tahan mengeluarkan suara.

Gue mulai bergerak pelan-pelan, maju dan mundur. Kak Rivin mendesah dengan mata terpejam menerima hujaman penis gue. Lambat laun, gerakan gue percepat untuk menambah kenikmatan. Payudara Kak Rivin berguncang hebat.

Gue mendekatkan badan mencium Kak Rivin. Tangan kanan gue gunakan untuk bertumpu, lalu tangan kiri mulai bergerilya meremas payudaranya Dia membalas ciuman lemah dengan mulut terbuka. Hembusan nafasnya terasa di hidung gue.

Setelah 5 menitan gue puas menikmati tubuh Kak Rivin, rasanya sudah tepat waktu untuk mengantar Kak Rivin ke puncak kenikmatan. Kedua tangan gue bertumpu ke lantai di samping kepala Kak Rivin. Gerakan maju mundur gue percepat berkali-kali lipat.

Kemudian, Kak Rivin memeluk gue dengan erat.

“Edaaa.. sayaaang... Aku mau keluarrr.. ahhh..” Kak Rivin akan orgasme
“Keluarin aja, Kak.... uhhhh...” gue terus mengenjot Kak Rivin
“Sayaaang... Keluaaarr... AAHHH... ”

Kak Rivin lemas seketika, tapi pelukannya gak lepas.

“Jangan dicabut dulu sayang...” Dia mengatur nafas.

Gue mengecup bibir Kak Rivin dengan penis yang masih tegak dan keras di dalam vaginanya. Gue sekarang bisa mendengar desahan Dani dan Sesil di atas kasur. Gue menoleh ke mereka. Sekarang giliran Dani menindih dan mencumbu Sesil dengan jemarinya.

“Eda, gantian ke sini.” Sesil memanggil.

Tanpa berpikir dua kali lagi, gue melepas penis gue. Kemudian, gue menuju selangkangan Sesil. Di hadapan gue kini terpampang jelas pantat Dani dan vagina Sesil. Keduanya siap untuk gue terkam.

Gue mengarahkan penis gue ke vagina Dani terlebih dulu. Tapi kemudian, Dani menoleh, menahan penis gue, dan menggelengkan kepalanya. Dia justru mengarahkannya ke lubang vagina Sesil. Penis gue masuk dengan mudah. Gue bisa merasakan punya Sesil lebih longgar daripada Kak Rivin dan Dani, tapi sama beceknya.

Tanpa perlu pemanasan, gue langsung menghujam vagina Sesil dengan tempo tinggi. Sebagai tumpuan, gue memegang pantat Dani. Desahan sedikit-sedikit keluar dari mulut Sesil, namun langsung dilumat oleh Dani dengan cepat.

“Aaaahhh... Edaaaa...” Sesil mendesah

Tiba-tiba, Dani memutar badannya sehingga vaginanya tepat di depan wajah Sesil. Kepalanya kini menghadap penis gue yang sedang menghujam vagina Sesil. Tidak ada ekspresi cemburu atau pun marah darinya. Lebih parah lagi, sambil gue bergoyang, Dani menjilati klitoris Sesil dengan telaten.

Hal itu justru membuat gairah gue makin naik. Gue bergoyang makin cepat, lalu Dani juga ikut memainkan jari-jarinya di klitoris Sesil. Gue berani bilang sekarang Sesil sedang sangat merasakan kenikmatan versinya sendiri.

“Bentar lagiiii... Aaaaahh...” Sesil memberikan kodenya

Gue pun bergoyang lebih cepat. Sesil mengerang dan memeluk pinggang Dani erat sekali. Dinding vaginanya berkedut memijat penis gue, lalu pelan-pelan berhenti. Kedutannya tadi membuat gue hampir orgasme.

Dani melihat ekspresi wajah gue. Dia menarik penis gue hingga terlepas, lalu tanpa malu dikulumnya dari bagian kepala hingga pangkal. Gue merespon dengan sesekali bergerak maju mundur di dalam mulutnya. Dani beralih melepas kulumannya, lalu digantikan dengan kocokan tempo lambat.

“Udah mau keluar, Da?” tanya Dani
“Uhhh.. tadi iya...”
“Tahan ya. Tuh, Kak Rivin masih minta lagi.”

Gue melihat Kak Rivin yang sudah bangun dari tidur singkatnya. Dia sedang bermasturbasi sendiri dengan mata terpejam. Atas suruhan Dani, gue kembali menuju Kak Rivin dan menarik badannya supaya menungging.

Gue masukkan penis pelan-pelan, lalu kembali bergoyang maju-mundur dengan tempo lambat terlebih dulu. Kak Rivin pelan-pelan mulai mendesah.

“Cepetin sayaaang..”

Gue mempercepat tempo permainan sampai-sampai gak bisa berpikir lain lagi. Orgasme gue sebentar lagi. Gue memegang pantatnya sebagai tumpuan.

“Kak, mau keluar niiiih...”
“Cepetin ajaaa... aaahh...”

Dani menghampiri dan mencium bibir gue dalam-dalam. Lalu, dia berbisik. “Lepas.”

Gue melepaskan penis gue dari dalam Kak Rivin, lalu dengan seketika Dani memasukkan tiga jarinya ke dalam vagina kak Rivin. Dani mengocok jarinya langsung dengan tempo cepat. Gue yang kentang langsung menghampiri kepala kak Rivin dan menyodorkan penis lekat-lekat ke mulutnya.

Dengan raut muka pasrah dan sangat horny, Kak Rivin membuka mulutnya. Karena Kak Rivin teralu fokus mencapai klimaksnya oleh Dani, penis gue masuk dengan mudah. Kemudian, gue bergerak maju mundur dengan sangat sangat sangat cepat. Mulutnya hanya berusaha mengatup rapat-rapat agar penis gue tidak lepas.

Kak Rivin dihajar oleh gue dari depan, dan Dani dari belakang. Tapi, yang gue pedulikan adalah orgasme gue sendiri yang sudah dekat. Gue menekan kepala Kak Rivin dan membenamkan penis gue dalam dalam.

“Kak Rivin, keluar kak... AAAGGHH..”
“Hmmmmm... Hmmmmhh...” Dia mendesah dengan mulut terisi penuh.

Setelah gue rasa gak ada lagi yang tersisa, gue lepas penis gue. Kak Rivin membuka mulutnya sebentar untuk mengambil nafas. Sperma gue mengalir dari pinggir mulutnya. Tidak lama kemudian, Kak Rivin menutup mulutnya lagi, dan terlihat gerakan kerongkongannya naik turun.

Kak Rivin menelan sperma gue.

“Kak, telentang, kak.” Dani berbicara

Kak Rivin berpindah posisi dengan pasrah. Dani memegang kendali vagina Kak Rivin. Dia memberikan sensasi kocokan tiga jari dikombinsi dengan jilatan hingga Kak Rivin mencapai orgasmenya lagi.

“Edaa.. ke sini lagi dong.” Sesil memanggil manja.

Nafsu gue langsung bangkit lagi akibat mendengar panggilan Sesil. Penis gue dengan mudahnya berdiri tegak. Malam masih panjang sekali rupanya.

---

Mata gue terbuka pelan-pelan. Hal pertama yang gue cari adalah handphone untuk melihat jam. Hampir setengah delapan pagi. Gue memperhatikan sekeliling. Hanya ada Dani tertidur berbalut selimut di sebelah gue. Sesil dan Kak Rivin udah gak ada.

Kepala gue pusing. Apa yang gue lakukan semalam sangat di luar kendali. Membawa Kak Rivin orgasme dua kali lagi, sesil dua kali, dan Dani empat kali. Sementara gue orgasme tiga kali, dan yang terakhir, entah inget jelas atau nggak, kayanya keluar di dalam vagina Kak Rivin.

Ketika asal sehat gue kembali pagi ini, gue harap gak akan berdampak apa-apa. Gue memakai satu persatu pakaian yang tercecer di lantai. Gak lama kemudian, Dani terbangun dengan muka malasnya. Tiba-tiba, perasaan bersalah muncul pelan-pelan.

Rasanya, gue menghancurkan hati Dani dengan bermain cinta dengan orang lain. Gue bermain api dengan teman-temannya, di depan mata kepala Dani sendiri. Dani menikmati? Entahlah. Dani cemburukah? Marahkah? Kepala gue jadi makin sakit.

“Kenapa, Da? Sakit?” Dani melihat gue memijat jidat gue sendiri
“Agak pusing sedikit.”
“Gue bikinin teh, ya.”

Harus gue bahas banget sekarang kali ya.

“Dani, semalem.. itu...”
“Gapapa, Da. Tapi semalem emang gila sih.” Dia mencium pipi gue
“Gapapa?”
“Gue bikinin teh dulu ya.”

Dani bergerak bangun dari balik selimutnya. Tapi, gue langsung menahan tangannya. Gue menatap matanya dalam-dalam. Gue coba menerka kecemburuannya. Atau menebak apakah Dani tahu gue keluar di dalam vagina Kak Rivin atau nggak.

“Gapapa?”
“Gapapa, Edaaa. Cemburu sih dikit. Tapi gapapa.”
“Gapapa?” Gue menekankan lagi
“Mau main lagi?” Dani meremas-remas penis gue lagi.
“Dan.”
“Kayanya lebih ampuh dari teh ini sih hahaha.”

Dani naik ke atas gue lagi, menggesek sebentar penis gue di klitorisnya. Lalu, kami melakukan quickie. Dani orgasme terlebih dulu, lalu dia mengulum penis gue hingga gue orgasme. Kepala gue penuh pikiran macam-macam. Dani percaya gue memang kurang enak badan, padahal nggak.

Gue memutuskan untuk pulang pagi ini. Di depan, kami bertemu dengan Sesil.

“Eh, ada Eda sama Dani baru bangun.” Sesil menyapa
“Gue pulang ya, Sil.”
“Lain kali lagi yaaaa.”

Dani melotot ke Sesil. Bukan melotot marah, tapi lebih melotot seolah ngomong ‘sumpeh lu?’. Sesil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Gue kira dia ingin berkata ‘peace’, tapi Sesil malah melakukan gerakan jilatan di pangkal kedua jari tersebut.

“Resek banget dah lu, Sil.” Kata Dani

Dani mendorong-dorong gue supaya cepat masuk ke mobil. Perlahan, mobil gue melaju meninggalkan kost-kostan Dani.

---

POV Dani

Semalem gila.

Sumpah, semalem gila. Efek kejadian itu berperan lagi dalam tubuh gue. Lebih parahnya, gue mengizinkan Eda bermain cinta dengan dua perempuan lain sekaligus dibantu gue. Sampai tadi ketemu Sesil, gue gak terlalu cemburu.

Cemburu.

Eda udah pulang, gue buru-buru masuk kamar. Gue paham gejolak hormonal ini 'bermain' lagi. Sekarang gue merasa cemburu. Nangis satu-satunya cara yang terpikirkan sekarang.

“Eda! Lu berbagi sama cewek lain, Edaaa!”

Marah.

Gue mau marah sama Eda. Gue mau tendang penisnya kencang-kencang sampai bijinya pecah kemana-mana. Gue mau potong penisnya pakai gunting supaya gak bisa main-main lagi. Gue juga mau marah sama Sesil, ngedobrak kamarnya, lalu memukul dia terus-menerus sampi mati. Gue pun mau marah sama Kak Rivin. Gue tahu Eda sama Kak Rivin pernah deket, dan semalam cinta mereka berbalas lagi. Gue mau nampar Kak Rivin habis-habisan.

Bersalah.

Gak seharusnya gue marah sama Eda. Gue yang mengizinkan dia. Gue ikut menikmati permainan semalam kan. Gue juga gak boleh marah sama Sesil, dia emang begitu dari dulu. Sesil suka berpetualang dan Eda pasti ada di radarnya. Gue yang harusnya jaga Eda dari Sesil. Gue pun gak boleh sama marah sama Kak Rivin, dia pernah jadi asisten lab gue. Kak Rivin pernah bantuin gue kerja praktek di tempat kerja barunya.

Gue cuma bisa nangis sekarang. Hormon sialan!

Dua jam nangis sendirian di kamar. Tiba-tiba ada telepon dari Hari. Gue menarik nafas sebelum mengangkatnya.

“Halo, Dan?” Tanya Hari dari seberang telepon
“Halo, Har. Ada apa?” Gue masih tersedu-sedu
“Ntar ketemu di bawah apartemen gue ya, jam 5.”
“Yaelah, Har. Gue kira apaan. wa bisa kali.”
“Gue udah wa lu kali.”
“Eh, iya? Sorry baru bangun gue. Oke deh jam 5 ya.”

Telepon diputus. Gue nangis lagi.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Cecilia Dyna Pelengkahu



Kak Rivin

 
Terakhir diubah:
Episode 17
Halmahera


POV Hari

Setelah menelepon Dani, Gue beranjak pergi ke kafe yang dulu meledak. Siang ini gue ada janji mau makan siang di kafe itu sama Jamet. Pagi tadi gue habis cetak hardcover skripsi bareng Jamet, tapi habis itu kami pisah jalan sebentar.

Setibanya di sana, gue langsung duduk di tempat yang udah disiapin Jamet.

“Lama amat?” Tanya Jamet.
“Boker dulu gue tadi.” Ngibul.
“Elah, makan kamu emang seberapa banyak sih.”
“Setumpeng hahaha.”

Gue nitip tas, lalu memesan makan di salah satu tempat. Saat memesan makanan, gue ketemu sama Jennifer.

“Hoi, Jen.” Gue menyapa Jennifer.
“Eh, Har.”
“Sendiri?”
“Tuh sama anak-anak.” Jennifer nunjuk meja tempat Anwar, Tika, dan Erna.
“Wah rame. Gue sama Jamet gabung ya.”
“Boleh, boleh.”

Gak lama kemudian, pemilik tempat makanan bilang makanan akan di antar. Gue menunjukkan meja Anwar sebagai tujuan antar makanan. Setelah itu, gue berpisah dengan Jennifer untuk kembali ke tempat Jamet.

Gue ajak Jamet gabung ke meja anak-anak, yang lalu langsung disetujui. Jamet terlebih dulu ke tempat pesanan makanan untuk mengatakan kalau dia pindah tempat duduk. Selanjutnya, kami telah duduk bersama dalam satu meja besar.

“Eda gak ikut?” Anwar membuka obrolan.
“Barusan aku wa, katanya sakit kepala dia.” Jawab Jamet.
“Masih tepar kali dia dari Papandayan.” Kata Anwar sambil ketawa.
“Lu berdua ngapain ngampus?” Jennifer gantian bertanya.
“Gue sama Jamet tadi abis cetak hard cover.” Giliran gue yang jawab.

Anwar dan Tika asik pacaran berdua. Jennifer jadi pendengar yang baik cerita gue dan Jamet. Sedangkan Erna asik main handphone sendiri walau sesekali dia menimpali pembicaraan. Obrolan berpindah-pindah ke hal apapun. Dari hal yang gak gue tahu sama sekali sampai soal Bryophyte.

“Bryophyte apa kabar?” Gue nanya sambil bercanda.
“Sehat dia katanya.” Tika berkelakar.
“Btw, posisi main kalian di mana sih?” Gue nanya lagi
“Gak surprise dong ntar.” Kata Tika.
“Terus, mau bawa lagu apaan aja?” Jamet gantian nanya
“Kan udah gue bilang, buat surprise hahaha” Tika menjawab lagi
“Pelit amat sih.” Jamet membalas lagi
“Tuh bosnya yang nyuruh!” Gerombolan cewek barengan mengacungkan telunjuk ke Anwar.

Kami bertubi-tubi nanya mereka soal Bryophye yang masih misterius. Bahkan, Jennifer bilang baru gue, Jamet, Eda, dan Dani yang tau terbentuknya Bryophyte. Foto-foto mereka di Papandayan bersama embel-embel Bryophyte pun masih dirahasiakan. Tidak satu pun ada yang diupload ke media sosial.

“Bikin band kok misterius amat. Jangan-jangan band lucu-lucuan doang ya?” Jamet nyeletuk.
“Enak aja! Erna tuh perfect banget bikin instrumennya!” Kata Tika
“SSSTTT!!!” Erna menempelkan telunjuknya di mulut. Mukanya ditekuk kaya orang ngeden mau boker.

Jennifer menggeram. Anwar menarik-narik bibir Tika.

“Aaaaak! Ampuuun!” Ekspresinya mirip orang dijejelin cabe.
“Hahaha kepancing dia.” Ledek gue
“Eh, terus hari ini kalian latihan?” Jamet nanya terus
“Nggak. Erna katanya mau ada urusan penting.” Jennifer gantian menjawab.
“Ke mana, Na?”
“Ada deh.”

Acara kumpul-kumpul dadakan ini selesai 45 menit kemudian. Gue berpisah dengan alasan mau pulang ke Tanah Abang. Padahal, sudah jelas akan pergi apartemen untuk merencanakan hal sore ini dengan Dani. Kalau penjelasan dengan Dani lancar dan gak ada nangis-nagisan atau berantem-beranteman, gue akan menuju ke rencana selanjutnya.

---

POV Jamet

Hari udah pamit duluan. Aku berjalan pelan-pelan keluar dari kafe bersama Anwar, Tika, Jennifer, dan Erna. Aku gak tau mau ngapain lagi habis ini selain balik ke kostan.

“Abis ini kalian mau ke mana?” Gue nanya mereka.
“Gak tau.” Tika ngejawab singkat. Dia bete.
“Nonton mau gak? Random aja.” Ajak Anwar.
“Boleh tuh.” Kata Jennifer.
“Di GI ya, Beb! Bayarin! Ganti rugi udah narik-narik bibir aku.” Tika menondong.
“Iya, iya. Met, lu gak ada kerjaan kan? Ikut aja yuk.”
“Oke lah.” Jawabku.

Aku pun ikut berjalan ke parkiran menuju mobil Anwar. Erna berpisah, pamit menuju motornya di tempat parkir yang lain. Kami bergerak keluar kampus, menuju tujuan kami siang ini.

Sesampainya di GI, kami terlebih dulu membeli tiket nonton dengan waktu jam 5 sore. Kemudian, kami berjalan berputar-putar untuk cuci mata. Sebenarnya aku bukan anak mall, jadi sepanjang jalan-jalan aku hanya mengikuti alur mereka.

“Eh, kok bisa sih kalian suka ke gunung sama ke mall sekaligus?”
“Bisa dong.” Tika udah kembali riang.
“Kan kontras gitu. Gunung sama mall.”
“Kita kalo hangout suka ke mana-mana, Met. Mau ke gunung, mall, laut, luar kota, atau angkringan pun semua dijalanin asal bisa kumpul.” Jennifer menjelaskan.
“Kecuali Erna ya, dia paling males kalo ke Mall.” Kata Tika.

Tika bergelayutan sama Anwar. Mereka jalan paling depan. Sesekali Anwar menunjuk toko bra yang dilewati dan menarik Tika untuk masuk ke sana. Tentunya selalu gak jadi karena Tika akan menarik Anwar jauh-jauh. Kemudian, dia akan melirik malu-malu ke belakang, ke arah posisiku sama Jennifer berjalan.

Aku berjalan pelan di belakang Anwar dan Tika. Jennifer menemani dan aktif mengajakku ngobrol. Mungkin dia paham soal gelagatku yang kuper soal mall, jadi dia cerita apa aja supaya aku jadi gak mati gaya. Kebanyakan yang dia ceritakan adalah soal masalah lingkungan yang notabene sama-sama ngerti.

“Met, penelitian lu mikroalga kan ya?” Tanya Jennifer.
“Iya, di Ancol sama Pulau Pari.” Jawab gue.
“Ada bedanya gak tuh?”
“Ada sih. Di Ancol udah sering blooming gitu alganya.”
“Ancol itu untuk representasi Teluk Jakarta kan ya? Kalo Pari?”
“Pari masih bagus, lumayan, cuma ya kalo arusnya lagi kenceng semua yang dari Teluk Jakarta kebawa sampai sana.”
“Parah juga ya. Padahal Pari lumayan jauh jaraknya dari Jakarta.”

Suasana lebih cair setelah banyak obrolan dengan Jennifer.

---

POV Eda

Sesampainya di kamar apartemen, gue mandi. Setelah itu, gue menyibukkan diri dengan bermain game FIFA dari laptop. Makan pun, gue lebih memilih order daripada membeli ke tempatnya langsung. Badan gue terlalu malas untuk bergerak.

Main pakai MU, lawan Juventus, full time 2-1
Pakai Munchen, lawan MU, full time 3-0
Pakai Barca, lawan Madrid, full time 5-5
Pakai Ajax, lawan Milan, full time 3-3
Pakai Porto, lawan City, full time 0-0
Pakai Napoli, lawan Atletico, full time 1-1

Setelah berjam-jam bermain game, kebanyakan seri pula, akhirnya bosan juga. Gue beralih tidur-tiduran di kasur dengan pikiran melayang ke mana-mana. Suatu waktu, pikiran gue melayang kembali ketika awal mula kejadian semalam.

“Eda, aku.. aku.. masih nunggu kamu dari dulu. Kamu gak pernah nyatain. Malam ini aku... aku mau bilang.. aku.. sayang kamu.” Bisik Kak Rivin malam itu, sesaat setelah Sesil memaksa masuk.

AGGGHHHH. Pusing gue dengan keadaan begini. Harusnya gak begini. Harusnya gue gak terayu dengan kata-kata Kak Rivin. Kok bisa sih gue sange karena begitu doang. Gue padahal udah punya Dani.

Tapi.... ada tapinya sih, kan Dani gak pernah bilang sayang sama gue. So? Pacarankah gue sama Dani selama ini?

Pikiran gue melaju terus secara kronologis sepanjang kejadian semalam. Lalu, sampailah pada ujung kejadian orgasme ketiga gue. Gue berusaha mengingat lagi apakah gue mengeluarkan sperma di dalam vagina Kak Rivin atau nggak. Tapi hasilnya nihil. Semuanya masih mengawang-awang.

“Apa mending tanya langsung ya?” Gue berbicara sendiri.

Handphone gue sudah di tangan. Perlahan gue geser kontak whatsapp ke bawah menuju nama Rivina Azzahra. Nama kontaknya rupanya belum gue ganti, rasanya nostalgia banget ngebaca nama itu.

“Tanya, nggak? Etis gak ya? Tanya? Ah, lagi kerja orangnya pasti.” Gue bimbang.

Perlahan gue buka chatnya. Gue ketik kata satu persatu. Basa-basi dulu lebih baik kayanya.

“Halo, Kak Rivin, apa kabar?”

Done! Chat udah terlanjur terkirim dengan tanda centang dua warna abu-abu. Sekarang tinggal nunggu.

---

POV Hari

Gue tiba di apartemen jam 2 siang. Gue beres-beres sebentar, lalu ketiduran.

Gue terbangun ketika kasur terasa bergetar. Gue meraba-raba handphone gue yang akhirnya terjangkau. Dani menelepon.

“Halo, Har. Gue udah di bawah dari tadi. Ke mana lu? Ada...”
“Sorry! Tunggu ya!”

Gue buru-buru nutup telepon dan lari keluar kamar sambil membawa kartu pass apartemen. Gue lari-lari kecil menuju lift. Gue ketiduran dan Dani udah nungguin dari tadi. Kampret.

Sesampainya di bawah, gue menemukan hal mengejutkan. Dani gak sendiri. Ada Erna di sebelahnya dengan wajah tersenyum penuh arti menatap gue. Dani sendiri kelihatan panik dengan mimik wajah seolah bilang, “Gue gak ngajak. Bukan salah gue!”

Gue garuk-garuk kepala, mencoba berpikir positif. Mungkin Erna memang ada urusan yang membawanya ke sini. Ketemu Dani adalah hal yang kebetulan. Kebetulan!

“Sorry, Dan, gue ketiduran.” Gue menyapa Dani.
“Iya.. gue baru sampe juga.” Jawab Dani
“Na?” Gue menyapa dengan canggung.
“Hoi.”
"..."

Gue cengo.

Waduh. Dapat info dari mana si Erna ini sampai bisa tau gue sama Dani janjian ketemu di apartemen. Gue mendadak jadi bingung akan beralibi seperti apa lagi. Seorang cewek yang telah berpacar janjian berdua sama temen pacarnya di kamar apartemen. Si Erna bakal mikir aneh-aneh deh nanti.

“Yaudah naik dulu deh.” Kata gue.

Gue mengajak mereka berdua masuk ke dalam lift, menekan lantai 15, dan kemudian lift meluncur cepat. Kami berdua melangkah cepat-cepat seolah masing-masing tau ada urusan penting yang harus diselesaikan buru-buru.

Sesampainya di kamar, Erna langsung menyambar kunci kamar gue, lalu menguncinya. Dia memerhatikan sekeliling kamar, mungkin mencari kamera tersembunyi.

“Kalo lu nyari kamera, gak ada, Na.” Gue langsung nembak.
“S.H.I.E.L.D.?” Tanyanya.
“Ha?” Gue cengo lagi.
“Ini apartemen S.H.I.E.L.D. kan.” Gantian dia yang nembak.

Waduh kuadrat! Tau dari mana lagi ini si Erna. Dani pun gak bisa merespon apa-apa.

“Ini kamar punya gue, Na.” Gue ngibul.
“Oh iya, sorry. Gue kasih tau dulu kali ya biar gak bingung.”

Erna menarik lengan kiri pakaiannya. Kemudian, dia menunjukkan jam tangan berlambang burungnya. Jam tangan yang sama dengan punya gue.

“ANJIR!!” Dani terbelalak.
“GEBLEK! SEJAK KAPAN!” Gue ikut kaget.
“Lebih dari setahun lalu, waktu gue kerja praktek ke Halmahera.”

Setelah pulih dari kekagetan gue dan Dani. Kami semua duduk melingkar di lantai kamar. Gue menyuguhkan makanan dan minuman ringan. Satu per satu kisah dari awal mula terrigenesis sampai sekarang diceritakan satu per satu. Cerita dimulai dari gue.

Gue menceritakan kisah terrigenesis gue bersama nyokap, pelatihan tiga bulan di markas besar S.H.I.E.L.D., hingga kejadian akhir tahun lalu yang melibatkan Puri dan Lina. Gue juga menceritakan bahwa Puri dan Lina sudah bersama S.H.I.E.L.D. dan tidak sedang di Indonesia.

“Jadi, kemampuan lu sekarang apa, Har?” Dani nanya.
“Gue bisa nyerap energi.”
“Contohnya?.” Dani membalas
“Pukul gue, yang kenceng ya. Seriusan.”
“Seriusan ya!”

Dani berusaha menonjok gue kuat-kuat dengan kepalan tangannya. Gue membuka telapak tangan gue menghadap ke tangannya. Tiba-tiba tangan Dani terjatuh lemas.

“Ah, gila, lemes tangan gue, Har.” Kata Dani
“Ada lagi, Har?” Erna gantian nanya.
“Gue bisa nyerap energi dalam bentuk apapun. Kinetik, kalor. Api misalnya, bisa gue padamin. Awalnya waktu latihan itu yang paling susah sih.” Gue menjelaskan.

Dani menyambung dengan cerita kejadian yang menimpanya bersama Kenia. Kejadian tersebut dijelaskannya merubah jumlah produksi hormon dalam tubuhnya. Dampaknya, dia lebih sering mengalami perubahan ketahanan fisik dan emosi yang signifikan.

Dugaan pertamanya adalah waktu dia kedinginan sepulang dari Tegal Alun. Dani pulih dengan cepat, namun jadi terasa sangat lelah setelah tubuhnya mendapat waktu istirahat. Jelas itu efek kerja hormon adrenalin. Kejadian kedua, adalah pesta semalam suntuk bersama Eda, Kak Rivin, dan Sesil.

“Anjir!” Gue kaget.
“Astaga. Separah itu?” Erna pun kaget.
“Pantesan Eda bilang sakit hari ini.” Kata gue.
“Kok Eda bisa beringas gitu ya?” Erna mikir.

Iya ya? Kok Eda bisa begitu ya? Setahu gue, Eda bukan penikmat banyak selangkangan. Gue jadi kepikiran.

“Oke. Itu kasus Dani ntar gue bicarain sama S.H.I.E.L.D. deh. Adek gue juga jadi aneh soalnya. Kenia nafsunya jadi tinggi banget. Gara-gara gabungan gejolak hormon remaja tanggung sama tambahan hormon itu, dia minta ngeseks terus sama gue. Gue ladenin aja, asal gak penetrasi. Daripada dia diperkosa orang gak jelas di jalan.” Gue menjelaskan.

Mereka berdua kaget. Banyak rahasia dibuka hari ini.

“Bego lu, Har. Adek sendiri juga!” Dani ngomel
“Ya, abis mau gimana. Lagian kan gak sampe gue masukin.”

Erna cuma diam. Gue merasa obrolan ini bukan porsinya Erna.

“Yaudah, itu gue urusin ntar. Sekarang Erna giliran cerita dong.” Gue mengalihkan obrolan supaya Erna gak jengah.

“Jadi gini, waktu itu kan gue lagi di Halmahera pertengahan 2014, bulan Agustus kalo gak salah....”

Bulan Agustus 2014, Erna, Anwar, Tika, dan Jennifer sedang kerja praktek di Halmahera untuk ekspedisi anggrek. Suatu malam di awal ekspedisi, Mereka sama temen-temen ekspedisinya yang lain bakar-bakar ikan di pinggir pantai dari hasil mancing sendiri. Waktu itu, yang ikut makan malam ada 6 orang. Belasan orang lainnya lebih memilih tidur lebih cepat.

Saat ikan telah dibakar semua, Erna mengambil satu potong ikan ke piringnya. Karena dia anak paling muda di tim, Erna disuruh sebentar ke belakang tenda untuk mengambil beberapa buah kelapa muda. Erna pun kebiasaan membawa makanan sambil jalan. Akibatnya, dia mengalami terrigenesis tepat di samping tumpukan kelapa muda setelah ngegigit potongan ikan bakarnya, tanpa diketahui satu pun rekan timnya.

Awalnya Erna gak ngerti apa yang terjadi sama badannya. Selama ekspedisi, matanya terasa aneh karena melihat warna-warna baru diluar spektrum warna yang bisa dilihat biasanya. Telinganya juga mendengar suara-suara aneh.

“Gue stress parah waktu itu. Gue bisa denger suara orang ngobrol tapi gak ada orangnya. Terus, gue bisa ngelihat tulisan-tulisan aneh melayang-layang. Gue kira gue jadi indigo.” Jelas Erna.

Gue dan Dani terbengong-bengong.

Menarik.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Jennifer



Kartika Rahayu



Ernawati

 
Terakhir diubah:
“Jadi gini, waktu itu kan gue lagi di Halmahera pertengahan 2015, bulan Agustus kalo gak salah....”

Bulan Agustus 2014, Erna, Anwar, Tika, dan Jennifer sedang kerja praktek di Halmahera untuk ekspedisi anggrek
 
Suatu malam di awal ekspedisi, Mereka sama temen-temen ekspedisinya yang lain di pinggir pantai dari ikan hasil mancing sendiri.

ada kalimat yang hilang kah?


“Halo, Da. Gue udah di bawah dari tadi. Ke mana lu? Ada...”
“Sorry! Tunggu ya!”

Harus nya "Har" kan???

Tumben banyak thypo om ... :)

Pantes Erna agak aneh,,, ternyata agent juga ... :D
 
Terakhir diubah:
Ketemu temen seperjuangan nich..
Bisa buat kerjasama kalo lagi ngadepin setan lagi..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd