Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 32
Pemaksaan


POV Rivin

Aku tak kuasa dengan ancaman Putra menggunakan foto-fotoku. Maka aku harus menemaninya tidur di hotel malam nanti sebagai gantinya. Aku sungguh terhina dengan posisiku sekarang, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Eda, tolong aku..

Aku dan Putra keluar sendiri-sendiri dari kantor agar tidak dicurigai orang. Aku tidak mau orang menganggap aku membuka hati untuknya. Untungnya Putra berbaik hati denganku pada permintaan ini. Seandainya saja kebaikan hatinya bisa dilanjutkan hingga batal menginap di hotel.

Nyatanya, tidak ada kebaikan lagi yang disajikan Putra. Dia menungguku di perempatan dekat kantor, untuk kemudian pergi bersama. Entah hotel mana yang disewanya untuk malam ini. Aku tidak peduli.

Aku hanya peduli pada jarum jam yang berputar sangat lambat. Sangat lambat bagiku, dan mungkin sangat cepat bagi Putra. Dia gelisah. Laju motor maticnya digas dengan kecepatan tinggi, menunjukkan dirinya sangat terburu-buru. Padahal tidak ada hal yang dikejarnya. Entahlah, pasti dia hanya terburu-buru ingin menyicipi tiap jengkal tubuhku.

Eda, tolong aku..

“Sampai kita.” Putra mengacaukan lamunanku.
“Oh, oke.” Jawabku datar.

Sebuah hotel bintang tiga di Jakarta Selatan. Batinku bergumam tentang selera Putra yang rupanya tidak murahan. Kuharap dia juga tidak menganggapku murahan dan membatalkan kegiatan ini.

Urusan parkir selesai. Selanjutnya, urusan resepsionis juga selesai. Kami sekarang berjalan menuju lift. Jarum jam bergerak lambat. Lift bergerak lambat. Hanya langkah kaki Putra yang bergerak cepat. Genggaman tangannya membuatku mau tak mau harus sejalan mengikutinya.

Pintu kamar dibuka.

“Hah, sampai juga.” Putra menghela nafas sambil meletakkan ranselnya.
“Put, gue...” aku mencoba bicara.
“Sebentar, gue ke toilet dulu. Udah kebelet dari tadi.”

Rupanya dari tadi Putra menahan buang air. Aku tertipu. Kepanikan yang menderaku sejak tadi justru membuatku tertawa lepas.

Suasanya lebih tenang bagiku sekarang, bahkan pada momen-momen setelahya. Putra sama sekali tidak menunjukkan aura harimaunya. Kukira dia akan cepat menelanjangiku luar dan dalam. Tapi ternyata dia sangat ramah, bahkan memberikanku hadiah.

“Gue ada hadiah buat lu. Semoga suka ya.” Kata Putra.

Putra membuka tas ranselnya. Sebuah baju casual lengan panjang dengan model turtle neck, dan sebuah lagi baju kaos biasa berwarna biru. Tak kupungkiri, aku suka dengan baju turtle neck pemberiannya.

“Wah makasih. Kok tau gue suka turtle neck?” tanyaku.
“Tau dong. Putra gitu.” Putra mengedipkan mata genitnya.
“Tau dari mana?” ancamku dengan nada konyol.
“Tau dari keseharian lu sama nanya sama temen-temen kita.”

Kupicingkan mataku menatapnya. Tak kusangka Putra akan sedetail itu mengamatiku. Aku penasaran sejauh mana lagi dia menjadi stalkerku. Agak seram, tapi masalah ini mungkin bisa lebih buruk lagi kalau aku tidak tahu semuanya tentang stalker satu ini.

---

POV Kenia

Jam pulang sekolah telah lewat setengah jam lalu. Imel sudah pulang duluan karena masih parno terhadap Yogi. Aku masih di kantin, menunggu Nur yang juga kembali dari toliet. Apa juga yang dilakukannya selama itu di toliet.

Aku kian penasaran. Pikiranku membayangkan macam-macam, mulai dari skenario sakit mendadak, kisah horror, hingga kejadian kriminal. Bahkan, aku sempat membayangkan Nur sedang masturbasi sampai lupa waktu. Tapi pasti gak mungkin. Seorang kutu buku yang berencana ingin kuliah kedokteran gak mungkin punya waktu untuk yang aneh-aneh.

Setengah jam selanjutnya telah berlalu. Guru dan siswa telah meninggalkan sekolah satu per satu. Kesabaranku akhirnya habis. Pesan lineku juga tidak dibalasnya. Aku akan menghampiri Nur ke toilet.

“Nur? Nur?” panggilku di toilet cewek.

Satu per satu pintu kamar toilet telah kubuka. Semuanya kosong. Lalu kemanakah Nur? Apa mungkin dia pulang duluan dan lupa kalau aku menunggunya?

Kutanya beberapa anak yang masih ada di sekolah dan yang sekiranya berpapasan dengan Nur sejak pulang sekolah tadi. Akhirnya, kudapatkan satu informan yang mengatakan Nur diajak oleh Yogi dan seorang temannya pergi ke arah ruang sekretariat pecinta alam.

Aku tahu, sekretariat ekskul semuanya berada di belakang gedung. Tapi, ruangan sekretariat pecinta alam memang paling tersembunyi dari sekretariat eksul yang lain. Letaknya di samping gudang, paling ujung lorong, dan paling kumuh. Selain itu, sudah jadi rahasia umum kalau ekskul itu adalah sarang kegiatan yang gak baik di sekolah.

“Kak, Kak Puri?” panggilku dalam hati.

Aku mencari bantuan bayangan Kak Puri. Anggap saja terjadi hal yang aneh-aneh pada Nur, maka mungkin saja aku tidak berani melawan mereka. Bantuan Kak Puri sangat kubutuhkan. Sayangnya, tidak ada jawaban dari Kak Puri setelah berkali-kali kupanggil.

Nur adalah sahabatku, setidaknya aku selalu ingat itu. Jadi, kuputuskan akan ke sana sendiri untuk menjemputnya walau apapun yang terjadi. Semoga Yogi masih takut denganku akibat kejadian dua hari lalu.

Aku berjalan menyusuri lorong di belakang gedung. Tidak ada jadwal kegiatan hari, sehingga iniruangan sekretariat semua ekskul seutuhnya kosong. Suasana sunyi senyap, namun sayup sayup terdengar obrolan sejumlah orang arah dari ujung lorong.

“Ahh.. gila Yog, jarang banget lu bawa kaya gini.” suara ngebass menggema di ruangan.
“Untung bokapnya dia ngutang sama bokap gue.” suara yang ini mirip kambing.

Aku tak bisa melihat jelas, tapi kenal sekali suara orang yang kedua itu. Suara itu adalah suara Yogi. Suara yang mendekati nada tenor kalau istilah dalam paduan suara, tapi gagal. Jadinya lebih mirip dengan suara kambing.

“Tapi ntar jangan bawa-bawa gue ya.” suara ngebass menggema lagi.
“Selow, abis ini giliran Imel. Hahahaha!” Kudengar tawa Yogi menggema

Petanyaan di benakku adalah, ada berapa orang di dalam ruangan itu?

“Kak, Kak Puri. Aku butuh bantuan sekarang.” Batinku.

Belum ada tanggapan sama sekali. Aku merinding dan takut. Tapi aku teringat sekali lagi bahwa Nur adalah sahabatku. Aku harus berani. Aku mulai melangkah, semakin maju hingga sampailah pada jendela sekre pecint alam. Kuintip ke dalam sejenak. Ada dua orang laki-laki sedang berdiri berhadapan. Salah seorangnya adalah Yogi dan orang lainnya adalah teman sepermainan Yogi yang tak kuhafal namanya. Nur sedang diikat pada kaki meja. Dia dalam posisi bersimpuh di antara kedua kaki orang itu sambil mengulum penis mereka.

Nur silih berganti memindahkan kepalanya untuk mengulum penis Yogi dan seorang temannya. Kepalanya bergerak konstan maju mundur, dijambak oleh kedua orang itu. Matanya terpejam erat hingga membentuk guratan-guratan pinggir matanya. Ekspresi Nur seperti orang yang menahan rasa nyeri, jijik, atau semacamnya.

“Astaga!! Kaaak, Kak Puriiii!!” Aku teriak dalam batinku.

Sudah tiga kali aku panggil, sama sekali tidak ada jawaban dari Kak Puri. Ya, Tuhan, aku harus bagaimana.

Aku kembali pelan-pelan mengambil langkah maju, tapi lututku ternyata menyenggol tumpukan kayu tak terpakai. Akibatnya, beberapa kayu jatuh ke lantai dan menyebabkan suara berdentang yang nyaring.

“Siapa tuh?!” Teriak si teman Yogi.

Dia dengan cepat pergi keluar ruangan dan mendapatiku mencoba sembunyi. Tubuhku ditariknya dengan mudah dan kedua lenganku digenggamnya. Aku berontak, tapi tidak berdaya sama sekali. Selanjutnya, aku ditarik masuk ke dalam sekre.

“Aduh, Juple, itu Kenia..” Yogi sepertinya takut.
“Iya, ini Kenia, gue kenal.” Jawabnya.
“Dia itu, aduuh.. freak, sumpah.”
“Freak? Terus gimana? Mau lu lepasin emang?”

Aku sering melihat wajah teman Yogi itu. Setelah ini mungkin aku akan ingat namanya adalah Juple. Dia sebenarnya satu tingkat di atas kami dan harus udah lulus, namun tertahan karena gak naik kelas dua tahun lalu. Dia jarang berkeliaran di seantero sekolah saat istirahat. Gosip di kalangan anak-anak mengatakan kalau Juple sering ngegele di sekretariat ini.

Yogi tampak menimbang-nimbang. Kedua lenganku tetap digenggam erat oleh temannya yang dipanggil Juple itu. Yogi mulai menceritakan kejadian helmnya yang pecah karena gue. Temannya Juple gak percaya, apalagi ketika Yogi mulai banyak mencari alasan.

“Yog, setan aja gue gak percaya. Apalagi inhuman.” Kata Juple.
“Pokoknya lu jaga hati-hati deh. Tenaganya lebih kuat dari gue.”
“Kuat apanya? Dia berontak aja tetep gak lepas nih.”

Yogi seperti menemukan secercah cahaya dari pembuktian Juple. Dia menjepit kedua pipi gue dengan kedua tangannya secara kasar. Aku berontak dan mengeluarkan sumpah serapah. Tapi tetap tak bisa melawan genggaman tangan Juple dan pelecehan Yogi.

“Bener lu, Ple. Hahaha.” Tawa Yogi licik.
“Bener kan.”
“Eh, Nur, sini, telanjangin temen lu.” Yogi melepaskan ikatan Nur.

Yogi melepas ikatan Nur. Seakarang, Nur menangis dan meminta maaf padaku. Dia berkata dengan sesenggukan kalau dia terpaksa melakukan ini. Aku teriak histeris, tapi mungkin pertolongan terlambat datang. Apalagi sekolah sudah hampir kosong. Perlahan, Nur membuka kancing seragamku. Aku tahu Nur mencoba mengulur waktu. Tapi aku gak bisa beruat apa-apa.

“Wah, gila, tanktopnya pink bro.” Juple melotot.
“Anjing lu berdua!” hujatku.
“Bodo.” Jawab Yogi.
“Cuih!”
“Minggir lu, Nur. Kelamaan!” Yogi kesal dan menarik Nur menjauh.

Yogi kembali mengikat nur di kaki meja. Kemudian dia kembali kepadaku dan langsung menyingkap rokku ke atas. Dia meraba-raba vaginaku dari sisi luar. Pemberontakanku tetap tidak menghasilkan apa-apa.

“Hahaha. Dasar jablay. Tetep aja seneng lu digerepe kan.” Ancam Yogi.

Di saat seperti ini tubuhku memang tidak bisa diajak kompromi. Birahiku memang cepat meninggi sejak kejadian dengan Kak Dani. Tapi sebisa mungkin aku harus melawan karena niatku ke sini adalah menjemput Nur.

Yogi mulai menyingkap celana dalamku. Dia mencoba menyusupkan jari-jarinya ke lubang vaginaku.

“Aaak.. Sakit.. Monyet!” Aku refleks merespon.
“Wah perawan rupanya.” Juple sumringah.
“Gue yang perawanin. Pegang yang kuat, Ple.” Yogi membuka seluruh celananya.
“Monyet!! Anjing!!”
“Gak usah bacot, bangsat!” Yogi menamparku keras-keras.

Tenagaku habis. Air mataku meleleh. Aku mencoba tidak melihat penis Yogi yang semakin menekan kuat selangkanganku.

“Nur, jangan lihat aku...” Pintaku dalam tangis.
“Kenia.. maaf terlambat.” Suara Kak Puri mendengung di telingaku.

Tiba-tiba pandanganku gelap. Kejadian selanjutnya yang aku tahu, ikatan Nur sudah terlepas. Seragamku sudah rapi kembali. Yogi dan Juple tergeletak di lantai sekre yang sangat kotor dan dengan kepala bocor.

“Ken...” Nur bertanya dalam isak tangisnya.
“Udah, jangan dipikirin sekarang. Ayo pergi dari sini.”

Kami tergopoh-gopoh keluar dari wilayah sekretariat.

---

Waktu terus berlalu dengan tidak selambat yang kurasakan tadi. Adzan maghrib telah berkumandang beberapa waktu lalu. Aku mau pun Putra masing-masing telah mandi. Dia menawarkanku terlebih dulu makan keluar.

Kuharap aku bisa mengulur waktu lebih lama lagi hingga kami berdua lelah. Lalu, tertidur pulas hingga pagi. Akhirnya kami berdua akan check out karena harus berangkat ke kantor atau pulang. Syukur kalo aku tidak tertidur. Aku bisa membuka handphone Putra dan menghapus semua foto-fotoku.

“Yes, itu rencananya!” batinku.

Jam 9 malam, kami kembali ke kamar. Urusan toilet dikerjakan masing-masing. Tapi akhirnya petaka terjadi buatku. Badanku menghangat dan celana dalamku mulai terasa basah. Apa yang salah? Padahal, aku sudah meminum obat yang disuruh Eda kemarin malam.

Putra keluar dari toilet. Dia tiba-tiba menerkamku dari belakang. Leherku dijilatnya tanpa terputus. Tangannya mulai menggerayangi kedua dadaku. Gairahku seketika naik drastis.

“Ahhh.. lu apain gue.. shhh?”

Putra tidak menjawab. Dia terus menjamah tubuhku dari belakang. Sebelum logikaku hilang, aku harus tau sumber perubahanku yang tiba-tiba ini. Pasti ada hubungannya dengan Putra, entah kapan.

Aku berontak dengan lemah. Pada satu kesempatan, aku berhasil lepas dari pelukan Putra. Aku mundur jauh ke dekat jendela. Sekarang bagaimana? Aku harus berpikir.

“Ayo Rivin, gak usah malu lagi. Kita senang-senang sampai puas malam ini.” Putra bicara dengan nada liciknya.
“Jawab! Lu apain gue?!”

Putra terus bergerak maju ke arahku, sedangkan aku terpojok. Satu ayunan tangan putra langsung tepat menangkap ujung tanganku. Dia menarikku dengan cepat dan mencium tepat di bibirku. Satu tangannya menahanku agar tidak lepas, dan satu tangannya lagi menyusup ke dalam belahan vaginaku.

“AAAHHHH..” Aku mendesah, lalu terjatuh lemas.

Dengkulku lemas seketika. Putra membopongku ke spring bed. Belaiannya beberapa kali mengenai wilayah sensitifku, hingga akhirnya aku menurut saja ketika dia melucuti pakaianku.

Aku juga menuruti maunya untuk membuka kakiku lebar lebar. Rangsangan yang diberikan Putra sangat nikmat dan membuatku melayang tinggi. Mungkin aku akan bertanya lagi nanti setelah hasratku tuntas.

“Putraa.. bawahan dikit.. ahh..” lirihku.

Putra langsung menjilati klitorisku lekat-lekat. Kedua tangannya ikut menggerayangi payudaraku. Tidak sampai di situ, lidah Putra sering menyusup ke dalam liang vaginaku dan menyentuh dindingnya. Kenikmatan yang bersumber dari selangkanganku meningkat berkali-kali lipat.

Tangan putra beralih membantu permainan liarnya. Kedua sisi bibir vaginaku ditariknya lebar-lebar, lalu jilatan Putra menjadi sangat cepat. Dapat kurasakan gerakan kepalanya yang naik dan turun berulang kali seperti orang mengangguk.

“Ssshh... Putra.. Aku keluaaarhh.” Aku tak dapat meredam suaraku.

Kutekan kepala Putra dalam-dalam, pinggulku naik, dan kedua kakiku mengikat bagian belakang lehernya agar tidak pergi ke mana-mana. Orgasme dahsyat melanda diriku hingga menyemburlah cairan cintaku ke wajah Putra.

“Aagghh... Putraaa!!”

Selesai aku orgasme, Putra pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu, dia kembali lagi ke atas kasur dan meminta pamrih dariku. Pamrih dari hasil jeri payahnya mengantarkanku hingga mencapai puncak kenikmatan.

Putra bertumpu dengan kedua lututnya.

“Hisap.” Perintahnya.

Perintah itu justru membuatku semakin bergairah. Tanganku memegang erat penis Putra yang telah berdiri tegak. Kuciumi kepala penisnya sebagai salam malam ini. Kemudian, kumainkan lidahku di buah zakarnya terlebih dulu.

Jilatan demi jilatan kecil kuhadiahkan pada buah zakar Putra yang berkedut-kedut. Di sisi lain, tanganku bergerak mengocok penis Putra untuk pemanasan. Setelah seluruh bagian buah zakarnya basah, aku beralih menuju batangnya.

“Ohh.. Rivin.. Enaakhh..” Suara Putra seperti menggeram.

Aku tak peduli. Kumasukkan setengah panjang batang penis Putra ke dalam mulutku. Kubasahi setiap sisinya dengan gerakan erotis lidahku. Sesekali kugerakkan kepalaku mundur dan maju kembali. Hal itu membuat Putra semakin sering menggeram.

Puncaknya, kukulum Penis Putra dalam dalam hingga pangkalnya tidak lagi terlihat. Penis Putra terasa berkedut di rongga mulutku. Kepalanya menyentuh bagian atas kerongkonganku. Dengan itu pula, Putra menggeram sekeras-kerasnya.

“AAAAGGHHH!! GILAAA!!”

Beberapa kali kulakukan aksi tersebut. Pada aksi keempat, Putra tidak kuasa menahan sensasi yang kuberikan. Kepalaku ditahannya kuat kuat. Aku tidak bisa bernafas. Sesaat kemudian, semburan sperma menerjang keras ke dalam kerongkonganku. Sepertinya lebih banyak cairan sperma Putra yang langsung tertelan daripada menumpuk di atas lidahku.

Tidak seperti kemarin, Penis Putra tetap berdiri tegak setelah beberapa waktu orgasme. Ditindihnya tubuhku, lalu dengan satu hentakan masuklah batangnya dalam liang vaginaku. Putra mendiamkan penisnya lama tanpa ada gerakan sedikit pun.

“Shhh.. Ayo Putra digoyangin.” Aku meminta.
“Sebentar sayanghh.. Aku lagi meresapi... aaghh.. rasanya ituu...”

Permintaanku tidak digubris oleh Putra. Aku yang frustasi akhirnya memilih menggerakkan pinggulku sendiri meski susah. Mataku terpejam meresapi kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuh.

“Putra.. Ayooo..” pintaku manja.
“Lucu deh muka lu.” Putra malah meledek.

Setelah ledekan itu, Putra barulah mulai menggerakkan pinggulnya. Hujaman awal yang lamban perlahan semakin cepat. Tempo semakin cepat dan cepat tidak lama setelah pertama kali Putra mulai bergerak. Birahiku naik kembali degan drastis. Rasa geli dari dalam liang vaginaku semakin kuat. Aku akan orgasme.

“Putraaa.. Shhh.. Aku keluar lagiii...”

Lubang vaginaku berkedut merespon gerakan Putra yang tanpa henti. Padahal, rasanya baru 5 menitan kami bercinta. Tapi, aku dengan mudahnya orgasme dengan rentang waktu yang singkat. Bahkan, rasa gatal di selangkanganku tidak juga berhenti

Putra mencabut penisnya.

“Tadi baru sesi foto.”
“Sesi foto?” aku bertanya lemah.
“Kenikmatannya baru setelah ini. Sekarang gue mau pakai pengaman dulu.” Katanya.

Ronde berikutnya, kami lakukan dengan doggie. Putra menghujamkan Penisnya tanpa henti dengan tempo yang gak terlalu cepat. Aku sangat menikmatinya dalam tiap desahan dan lirihku. Putra mulai meracau seiring gerakannya yang berpacu dengan waktu.

“Kenapa gak dari dulu.. ahh... ahh... gue tau obat itu... ahhh.. Enak banget, gila...”

Putra meracau tidak jelas dan aku tidak peduli. Kami berdua sedang berusaha saling memberi kenikmatan. Sesaat kemudian, Putra memuntahkan sperma di dalam pengamannya. Kami bermain sekali lagi tanpa istirahat terlebih dulu. Malam ini sangat indah, buat dia. Buatku... mungkin juga.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 33
Everyone versus Alan


POV Hari

Jumat telah datang menjelang, 24 Februari 2017. Kami akan main lagi ke Kota Batu, tepatnya Batu Secret Zoo. Selanjutnya, nanti sore kami akan berangkat ke rumah mbahnya Jamet. Tapi di sisi lain, pikiran gue masih tersangkut pada jawaban Jennifer saat main truth or dare. Meskipun dia bilang bercanda, feeling gue bilang itu serius. Kalo benar Jennifer akan berbuat sesuatu yang gila, maka Jamet harus gue peringatkan. Dia gak boleh lagi sok polos dan bikin baper Jennifer lebih jauh lagi. Secepatnya akan gue kasih tau.

Baru saja kami turun dari elf, telepon jam tangan gue dan Erna berbunyi di waktu yang sama. Telepon pertama sejak gue berada di Malang. Gue izin ke anak-anak untuk pergi ke toilet sebentar. Begitu juga dengan Erna untuk mengangkat telepon dari jam tangannya sendiri.

“Halo, Hari, Erna.” Sapa Lina.

Wajah Lina tertampang di layar sebelah kiri, sedangkan wajah Erna di sebelah kanan. Kami bertiga terkoneksi.

“Loh, tumben lu yang nelpon, Lin?” Jawab gue
“Keadaan lagi gawat dari kemarin. Tahanan kita, si Irfan, dibunuh.”
“Hah?!!!
“Alan yang ngebunuh.”

Astaga, Alan sudah bisa menyusup ke salah satu markas cabang S.H.I.E.L.D. Meskipun itu bukanlah markas besar, tapi tetap aja Alan telah tau lokasi rahasia kumpulan agen terhebat di bumi. Bagaimana bisa? Situasi seperti ini selalu saja datang mendadak. Kalau pun terencana, paling lama hanya satu hari satu malam seperti Penggerebekan di Semper.

“Oke, udah hubungin Sigit?” Tanya gue.
“Udah, sebentar lagi dia ke sini.” Jawab Lina.

Aku paham, ke sini yang dimaksud Lina artinya Sigit akan datang ke markas sana duluan.

“Terus gimana?” Tanya Erna.
“Nah, itu dia, maaf ganggu liburan kalian. Tapi bisa kah ke sini?”

Oke, ini siang-siang, kami sedang wisata di Kota Batu, dan gue sama Erna masing-masing lagi di toilet umum. Gue membayangkan bagaimanakah kami bisa minta izin kepada yang lain untuk sekedar ‘kabur’ beberapa jam.

“Dani diajak?” Gue nanya.
“Sekarang gak perlu. Terlalu bahaya.” Lina menggeleng.
“Oke nanti ya, abis soljum. Mepet nih waktunya.” Jawab gue.

Setelah itu komunikasi selesai. Soljum pun selesai satu jam kemudian. Otak gue langsung terisi penuh dengan ide ide untuk mencari alasan kabur dari rombongan. Masalahnya adalah ide mana yang pas dengan kondisi begini. Gue sebenernya tersangkut pada satu rencana, tapi beresiko kena gosip.

Selanjutnya, gue terlebih dulu memberi pesan singkat ke Dani tentang semuanya. Dia mengerti dan tetap mengikuti perintah.

Rombongan kami mulai berjalan kembali berkeliling Secret Zoo. Tike gelendotan di lengan Anwar, di barisan paling depan. Gue berjalan paling belakang bersama Erna, lalu membisikkan sebuah rencana kepadanya. Sebentar lagi, kita pamit berpisah dari rombongan dengan alasan ada objek foto bagus di arah lain.

“Boleh sih.” Respon Erna.
“Ada ‘sih’nya.” Gue menanggapi balik.
“Kalo dikira kita pacaran gimana? Ini jalan-jalan penuh kisah baper.”
“Justru itu rencananya. Gimana lagi coba caranya kita dikasih jalan berdua.”

Erna mengusulkan alasan lain, sakit perut salah satunya. Gue menolak alasan itu, yang ada nanti anak-anak malah panik, mencari posko kesehatan terdekat, dan kami berdua justru gak bisa kabur. Akhirnya mau gak mau Erna sepakat dengan ide gue.

“Guys, kita mencar mau gak?” Usul gue.
“Mencar?” Jamet bingung.
“Yoi, itu.. si Erna nemu objek foto bagus tadi. Gue mau ikut dia.”
“Hmmm..” Anwar menatap picik.
“Boleh juga.” Senyum Eda tersungging untuk gue.

Anwar, Jamet, dan Eda sudah mencium adanya konspirasi romantis gue. Langkah pertama sukses, mereka cepat sekali mengira gue mau pdkt sama Erna. Tak apa lah, bukan urusan yang harus gue pikirin sekarang.

Mimik sebaliknya ditunjukkan Dani. Jempolnya mengacung secara terselubung di sebelah pahanya. Dia tahu kami punya misi mendadak. Kami secepatnya balik kanan dan mengambil langkah seribu. Kami berdua harus secepatnya menghilang dari pandangan mereka. Sigit pun sudah menunggu aba-aba gue via pesan untuk membuka portal.

Kami memilih bersembunyi di balik sebuah kandang besar yang tidak sering dilewati orang. Entah sebelumnya ini kandang hewan apa. Tidak ada isinya. Kemudian, gue memberi pesan kepada Sigit untuk membuka portal.

“Aman.” Gue menoleh ke belakang.
“Tunggu!” Erna menahan.
“Kenapa?”
“Kita diikutin anak-anak. Gue bisa ngeliat warna frekuensi sinyal hape mereka deket sini.”

Kami berdua terpaksa menahan diri dan bersembunyi. Sigit juga tidak jadi membuka portalnya. Percikan kembang api yang muncul bisa saja menarik perhatian mereka.

“Guys, ngapain sih ngekorin mereka?” Gue bisa mendengar suara Dani.
“Ssstt. Udah diem aja, kepo juga kan?” Sekarang Anwar yang ngomong.
“Gue nggak kepo kali.”
“Boong lah.”
“Cepet banget ngilangnya mereka berdua.” Sekarang suara Jamet.

Suara mereka semakin dekat. Kurasa mereka tepat ada di depan kandang ini. Mereka sangat banyak sekali bicara. Tapi, gak ada tanda satu pun bahwa mereka akan pergi dari sana. Padahal, Dani sudah berusaha menggiring opini mereka agar gak kepo kaya anak SMP.

“Eh, kok gue kaya ngeliat ada bayangan orang di balik sana?” Suara Jennifer.
“Ha?” Dani udah gak bisa berbuat apa-apa.


Gue dan Erna liat-liatan. Bayangan kami agak muncul menyamping dari posisi kandang akibat terpaan matahari yang sedikit condong.

“Mereka ke sini!” Erna melotot.
“Sigit, buka portalnya sekarang!” Gue bicara lewat telepon jam tangan.

Sebuah portal terbuka, lalu kami melompat secepatnya ke dalam sana. Bangunan itu tak cukup besar menyembunyikan percikan kembang api. Akibatnya, percikan tersebut dengan bebas terpental kesana kemari dan pasti sudah terlihat anak-anak.

“Tuh ada kembang api siang siang masa.” Suara Jennifer lagi.
“Mana? Mana?” Suara Anwar antusias.

Suara mereka semakin dekat. Portal tertutup. Jantung gue berdegup cepat seiring kami berdua berpindah dari Kota Baru ke markas cabang S.H.I.E.L.D.

“Aman?” Gue panik.
“Nggak tau.” Erna mengangkat bahu.
“Gue tanya Dani deh.”

Gak ada sinyal seluler di markas, jadi gue memberi pesan ke Dani lewat aplikasi rahasia. Untungnya, dia membalas dalam waktu singkat, memberi tahu kalo kondisi aman sepenuhnya. Tapi dia sempat ngomel karena kami gak cepat cepat pergi.

Sekarang kami sudah berada di markas cabang, tempat di mana Irfan ditahan. Sayangnya, dia sudah dibunuh terlebih dulu oleh Alan sebelum gue sempat bertanya banyak hal. Sekarang kami hanya bisa mengandalkan informasi terbaru dari S.H.I.E.L.D. dan Sigit.

Gue dan Erna berjalan menyusuri lorong hingga sampai di tempat berkumpul. Banyak agen berseragam di sana, termasuk Lina. Di sana ada juga Puri dengan seragam S.H.I.E.L.D. barunya.

“Itu.. Kak Puri?” Erna menatap heran ke Puri.
“Iya.” Jawab gue malas.
“Agen S.H.I.E.L.D.?” Kepala Erna menghadap gue, tapi matanya ke arah Puri.
“Gue juga baru tau.”

Penampilan Lina agak berbeda sejak gue terakhir bertemu dengan dia. Sekarang, dia lebih rapi dengan seragam dan rambut yang lebih panjang dari dua bulan lalu. Wajahnya terlihat lebih latin senada dengan potongan rambutnya. Tak lupa antingnya yang hanya dipakai sebelah tetap terpasang manis di telinga, kadang di kanan, dan hari ini di kiri.

Akilina Soemita

Kami berkumpul dalam posisi berdiri tegap di satu ruangan. Seorang pimpinan agen markas cabang yang tampaknya masih muda mulai memberitahu kondisi markas sekarang. Dia juga menampilkan rekaman CCTV pada saat saat Alan menyusup.

Penampilan si pimpinan muda ini sangat necis. Berjas, rambut, klimis, tanpa seragam dan helm. Tidak ada bekas luka serius di wajahnya. Penampilannya jelas menandakan dia bukan berasal dari agen spesialis lapangan.

Ternyata, Alan pertama kali menyusup 20 jam lalu ke dalam markas ini. Dia pertama kali justru datang ke dalam ruangan Puri melalui portal. Kemudian, terjadi perkelahian antara Alan dan Puri bersama ketiga bayangannya. Beberapa kali Alan merapalkan mantra dan menangkis serangan-serangan fisik Puri and the geng.

“In that moment, I can’t obsess his physical body,” sambung Puri.
“Hebat sekali. Sebenarnya sudah sejauh mana perkembangan Puri?” Batinku.

Puri menjelaskan kalau dia saat ini telah mampu merasuki orang menggunakan bayangannya. Tapi, dia tidak bisa menggunakan kemampuannya saat berkelahi dengan Alan waktu itu.

Kami kembali menonton rekaman. Perkelahian terjadi cukup lama. Sampai pada suatu ketika, Alan merapalkan sebuah mantra lagi. Puri and the geng langsung tergeletak lemah dan pingsan. Untungnya, dua bayangan lain muncul dari balik tembok dan kembali berkelahi dengan lebih membabi buta. Alan kabur tanpa hasil setelah bersusah payah membuka portal.

“Itu.. gak mungkin, mantra terlarang.” Sigit memotong.
“English, please.” Kata si pimpinan.
“That is forbidden.. what’s the word.. nah, spell.” Kata Sigit.

Sigit masih belom jago bahasa inggris. Untungnya Lina cepat merespon dengan menerjemahkan kata-kata Sigit ke dalam bahasa Inggris.

Sigit menceritakan sebuah ilmu sihir tingkat tinggi. Sebuah sihir yang tidak kalah hebat dari pemanggilan Dormammu. Sebuah sihir kuno untuk mengendalikan inhuman.

“What is Dormammu?” Tanya si pimpinan.
“Saya jelasin nanti.” Sigit tetap dibantu penerjemah, si Lina.

Sigit kembali bercerita. dahulu kala ada sebuah sihir yang sangat kuat untuk mengendalikan inhuman sekaligus Kree. Sihir tersebut digunakan untuk menghentikan perang antara Inhuman dan Kree di Samudra Pasifik. Hasilnya, Kree bertumbangan dan kabur, sedangkan Inhuman diberikan otoritas mengatur populasinya dengan cara yang bijak.

“Inhuman yang gak sepakat, diusir jauh. Hive contohnya.” Sigit menutup cerita.

“Ah, Hive. I heard about him. He Die last year with our great agent, Lincoln Campbell.” Kata si pimpinan.

Gue mendengar info baru dari Sigit hari ini. Kemarin, saat laporan tengah malam belum ada info apa-apa yang membubuhkan progress.

“Kok gak ada cerita begini kemarin?” Bisik gue ke Sigit.
“Aku juga baru dikasih tau temen, Mas.” Jawabnya.

Video CCTV kembali berlanjut. Penyusupan kedua Alan terjadi 3 jam lalu ke modul penahanan Irfan. Mereka sempat berdiskusi sebelum Alan membuat benda dengan bentuk seperti belati merah dari kehampaan. Dia menggorok leher Irfan hingga tidak bernyawa, lalu pergi kabur.

“And, that’s it.” Tutup si pimpinan.
“Any idea how we deal with this man?” sambung Lina.
“Saya bisa buat segel penghalang supaya Alan gak bisa masuk ke sini lagi.” Kata Sigit.
“Excellent!” jawab pimpinan setelah diterjemahkan Lina.

Diskusi sebenarnya hampir selesai. Tapi Puri mengangkat tangannya. Dia memberi usulan lain.

“What if we can trap Alan in this base?” kata Puri.
“Are you insane?! He’s a killer.” Jawab pimpinan.
“I can fight him. Sigit too. We can finish the problem, not avoid it.”

Semua terdiam. Terjadi perdebatan kecil antara pimpinan dan Puri. Dia bersikeras mencegah Alan untuk kembali masuk ke sini. Alasannya memang logis, kami sendirian di sini. Markas besar memiliki masalah tak terhenti dengan android. Tapi Puri ada benarnya juga, bukan begini cara S.H.I.E.L.D. menangani masalah. Organisasi ini menyelesaikan masalah, bukan menghindarinya.

“Puri is right, this not the way S.H.I.E.L.D. handle the problem.” Kata Lina.

Semua orang di ruangan mengangguk. Pimpinan pun juga mengangguk. Kemudian, dia menyusun rencana dan melibatkan kami. Gue akui, taktiknya sangat baik, tapi tetap tidak menutupi fakta barusan kalau dia penakut.

Rencananya, saat Alan kembali datang, Sigit harus langsung mengurung dia di markas ini. Serangan fisik dadakan langsung dilancarkan oleh semua agen, termasuk Puri dan Lina. Lucuti semua senjatanya, lalu gue dan Erna menjadi langkah terakhir untuk memakaikan dia jaket kendali jarak jauh sehingga Alan tidak lagi bisa bergerak. Alan akan dikunci di modul penahanan dengan akomodasi segel sihir, menunggu hingga Master Hamir atau Wong datang menjemput.

Kami menunggu di posisi kami. Sigit dengan sihirnya, Lina dengan mata celepuknya, dan Puri and the gengs menyisir seluruh markas tanpa henti. Mereka berjaga-jaga bila sewaktu-waktu Alan datang kembali. Kami sesekali berkomunikasi via alat wireless di yang menempel telinga masing-masing. Mirip punya avengers.

“Huft, gak bakal berhasil. Udah berapa jam ini.” Kata Erna.
“Sabar.” Jawab Puri.
“Alan ke sini nyari Kakak. Kalo Kak Puri siaga terus gimana Alan punya kesempatan.”

Puri tidak menjawab.

“Bener kan?” Erna mencoba mengonfirmasi idenya.
“Bukan itu. Dia datang... Sektor barat!” Puri berhadapan satu-satu dengan Alan.

---

POV Sigit

Alan sudah datang! Aku merapalkan mantra pengunci tempat. Lalu, kami semua berlari menuju lokasi Puri. Setibanya di sana, Puri dan kelima bayangannya sedang mengeroyok Alan. Alan sendiri tampak menangkis seluruh serangannya menggunakan sihir standar Para agen ikut mengeroyok Alan. Dalam ruang sempit seperti ini, tidak ada kesempatan Alan untuk menghindar dan merapalkan mantra.

Mbak Erna dan Mas Hari datang belakangan.

“Kita curi cincinnya dulu.” Aku berbicara.
“Oke.” Jawab Mas Hari.
“Gue bawa jaketnya nih.” Mbak Erna menenteng jaket kendali jarak jauh.

Mas Hari bergabung dalam upaya pengeroyokan. Dia berkali-kali menahan pukulan dengan melemaskan ayunan tangan Alan. Cincin sudah dibuang jauh jauh, tapi aku belum melihat barang lainnya. Untungnya itu tidak penting lagi. Sembilan lawan satu sudah cukup membuat Alan ambruk dan bonyok.

Alan tergeletak lemah seketika saat menerima pukulan terakhir dari Lina, tepat di tulang rawan hidungnya.

“We take him to the modul.” Perintah Lina.

Lina memakaikan jaket kendali jarak jauh kepada Alan. Kendali jaket dipegang penuh oleh Lina sendiri. Tanpa perlu dibopong, Alan berjalan sendiri dengan pemaksaan gerakan dari jaket kendali menuju ruang modul penahanan. Aku, Mas Hari, Mbak Erna, dan Puri beserta ketiga bayangannya mengawal Alan.

Aku berjalan tepat di samping Alan. Semua berjalan normal, hingga sekilas kulihat ada gerakan tidak wajar dari jari-jari Alan. Dari kehampaan, terbentuk sebuah belati berwarna merah darah. Lalu, dengan tiba-tiba, Alan menghunuskan belatinya kearahku, namun bisa kutangkis dengan perisai sihir.

Semua orang yang mengawal Alan menjadi siap siaga.

“Lina?!” Teriak Mas Hari.
“Bukan gue yang ngendaliin.” Jawab Lina.
“Berarti dia pake sihir.” Kata Mas Hari lagi.

Pertarungan terjadi lagi. Alan lebih kebal dengan jaket yang terpasang di badannya. Pengeroyokan menjadi lebih alot. Mas Hari tidak memiliki kesempatan menyedot energi mesin di bagian punggung Alan. Pukulan demi pukulan Mbak Puri dan Mbak Lina terus menghujani Alan. Sebaliknya, ayunan belati Alan membuat semua orang lebih berhati-hati. Bahkan, Mbak Erna harus bergerak mundur lebih jauh karena tidak bisa membantu lebih kuat lagi.

Alarm dinyalakan. Seluruh markas berbunyi nyaring dan lampu sirine merah berkelap kelip. Beberapa agen kembali datang dengan ancang-ancang menembak. Aku tidak bisa merapalkan mantra lain yang sama kuatnya saat ini. Fokusku masih untuk menjaga segel markas agar Alan tidak bisa kabur.

“Sigit! Pake portalnya!” Perintah Mas Hari.
“Kita gak bisa keluar dari markas.” Kataku.
“Portal kaya waktu di Semper!”

Mas Hari memang super cerdas! Cara perkelahian kami waktu di Semper itu mungkin bisa digunakan lagi. Lantas, kubuka satu portal kecil seukuran moncong pistol tepat di salah satu agen penembak.

“Can you hear me?!” Aku memanggil agen tersebut sambil menunjuk telingaku.

Dia tampak shock sebentar melihat portal yang kubuat. Kemudian, dia mengacungkan jempolnya. Dia bisa mendengarku meski jarak kami agak jauh.

“On my.. uh, apa ya..” Aku bingung kosakatanya.
“On my command!” Lina berteriak sambil berkelahi dengan Alan.
“Yes! On my command, okay?!” Teriakku.

Agen itu mengacungkan jempolnya lagi. Kuarahkan portal penyambung lainnya ke arah Alan. Aku cukup susah mengarahkan karena pergerakan mereka sangat cepat. Mas Hari terlalu sibuk sampai tidak bisa mendengar.

Mbak Puri melihat portalku. Lalu, ketiga bayangannya langsung berupaya menangkap tangan dan kaki Alan. Satu momen tercipta ketika Alan tidak mampu bergerak bebas...

“NOW!” teriakku.

Dorr! Dorr! Dorr! Dua tembakan mengenai tepat di dada Alan, namun portalku bergeser di tembakan ketiga sehingga hanya menyerempet bahunya. Tiba-tiba satu bayangan Mbak Puri pecah menjadi air berwarna hitam. Satu peluru jatuh berdencing di lantai.

“AAAAGGGHHH!!” Mbak Puri yang asli tergeletak lemas.
“Hah? Kok bisa?” Aku heran.
“Pengalaman bayangannya berpengaruh sama badan yang asli.” Jelas Mbak Lina.

Mbak Lina segera membopong Mbak Puri pergi menjauh. Tak kukira peluru ketiga bisa meleset dan mengenai satu banyangan Kak Puri. Di sisi lain, Alan sudah tergeletak tak sadarkan diri.

Aku meminta maaf kepada Mbak Puri.

Waktu berlalu. Alan terbaring koma di ruang perawatan bersama penjagaan sihirku. Sebentar lagi Master Hamir akan datang setelah urusannya selesai. Mas Hari, Mbak Erna, dan Mbak Lina menjenguk Mbak Puri di kamarnya. Perkelahian selesai di luar strategi yang direncanakan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Ernawati


Persadani Putri



Kartika Rahayu



Jennifer



Akilina Soemita



Puri Ananda Mawardi


 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd