Episode 33
Everyone versus Alan
POV Hari
Jumat telah datang menjelang, 24 Februari 2017. Kami akan main lagi ke Kota Batu, tepatnya Batu Secret Zoo. Selanjutnya, nanti sore kami akan berangkat ke rumah mbahnya Jamet. Tapi di sisi lain, pikiran gue masih tersangkut pada jawaban Jennifer saat main truth or dare. Meskipun dia bilang bercanda, feeling gue bilang itu serius. Kalo benar Jennifer akan berbuat sesuatu yang gila, maka Jamet harus gue peringatkan. Dia gak boleh lagi sok polos dan bikin baper Jennifer lebih jauh lagi. Secepatnya akan gue kasih tau.
Baru saja kami turun dari elf, telepon jam tangan gue dan Erna berbunyi di waktu yang sama. Telepon pertama sejak gue berada di Malang. Gue izin ke anak-anak untuk pergi ke toilet sebentar. Begitu juga dengan Erna untuk mengangkat telepon dari jam tangannya sendiri.
“Halo, Hari, Erna.” Sapa Lina.
Wajah Lina tertampang di layar sebelah kiri, sedangkan wajah Erna di sebelah kanan. Kami bertiga terkoneksi.
“Loh, tumben lu yang nelpon, Lin?” Jawab gue
“Keadaan lagi gawat dari kemarin. Tahanan kita, si Irfan, dibunuh.”
“Hah?!!!
“Alan yang ngebunuh.”
Astaga, Alan sudah bisa menyusup ke salah satu markas cabang S.H.I.E.L.D. Meskipun itu bukanlah markas besar, tapi tetap aja Alan telah tau lokasi rahasia kumpulan agen terhebat di bumi. Bagaimana bisa? Situasi seperti ini selalu saja datang mendadak. Kalau pun terencana, paling lama hanya satu hari satu malam seperti Penggerebekan di Semper.
“Oke, udah hubungin Sigit?” Tanya gue.
“Udah, sebentar lagi dia ke sini.” Jawab Lina.
Aku paham, ke sini yang dimaksud Lina artinya Sigit akan datang ke markas sana duluan.
“Terus gimana?” Tanya Erna.
“Nah, itu dia, maaf ganggu liburan kalian. Tapi bisa kah ke sini?”
Oke, ini siang-siang, kami sedang wisata di Kota Batu, dan gue sama Erna masing-masing lagi di toilet umum. Gue membayangkan bagaimanakah kami bisa minta izin kepada yang lain untuk sekedar ‘kabur’ beberapa jam.
“Dani diajak?” Gue nanya.
“Sekarang gak perlu. Terlalu bahaya.” Lina menggeleng.
“Oke nanti ya, abis soljum. Mepet nih waktunya.” Jawab gue.
Setelah itu komunikasi selesai. Soljum pun selesai satu jam kemudian. Otak gue langsung terisi penuh dengan ide ide untuk mencari alasan kabur dari rombongan. Masalahnya adalah ide mana yang pas dengan kondisi begini. Gue sebenernya tersangkut pada satu rencana, tapi beresiko kena gosip.
Selanjutnya, gue terlebih dulu memberi pesan singkat ke Dani tentang semuanya. Dia mengerti dan tetap mengikuti perintah.
Rombongan kami mulai berjalan kembali berkeliling Secret Zoo. Tike gelendotan di lengan Anwar, di barisan paling depan. Gue berjalan paling belakang bersama Erna, lalu membisikkan sebuah rencana kepadanya. Sebentar lagi, kita pamit berpisah dari rombongan dengan alasan ada objek foto bagus di arah lain.
“Boleh sih.” Respon Erna.
“Ada ‘sih’nya.” Gue menanggapi balik.
“Kalo dikira kita pacaran gimana? Ini jalan-jalan penuh kisah baper.”
“Justru itu rencananya. Gimana lagi coba caranya kita dikasih jalan berdua.”
Erna mengusulkan alasan lain, sakit perut salah satunya. Gue menolak alasan itu, yang ada nanti anak-anak malah panik, mencari posko kesehatan terdekat, dan kami berdua justru gak bisa kabur. Akhirnya mau gak mau Erna sepakat dengan ide gue.
“Guys, kita mencar mau gak?” Usul gue.
“Mencar?” Jamet bingung.
“Yoi, itu.. si Erna nemu objek foto bagus tadi. Gue mau ikut dia.”
“Hmmm..” Anwar menatap picik.
“Boleh juga.” Senyum Eda tersungging untuk gue.
Anwar, Jamet, dan Eda sudah mencium adanya konspirasi romantis gue. Langkah pertama sukses, mereka cepat sekali mengira gue mau pdkt sama Erna. Tak apa lah, bukan urusan yang harus gue pikirin sekarang.
Mimik sebaliknya ditunjukkan Dani. Jempolnya mengacung secara terselubung di sebelah pahanya. Dia tahu kami punya misi mendadak. Kami secepatnya balik kanan dan mengambil langkah seribu. Kami berdua harus secepatnya menghilang dari pandangan mereka. Sigit pun sudah menunggu aba-aba gue via pesan untuk membuka portal.
Kami memilih bersembunyi di balik sebuah kandang besar yang tidak sering dilewati orang. Entah sebelumnya ini kandang hewan apa. Tidak ada isinya. Kemudian, gue memberi pesan kepada Sigit untuk membuka portal.
“Aman.” Gue menoleh ke belakang.
“Tunggu!” Erna menahan.
“Kenapa?”
“Kita diikutin anak-anak. Gue bisa ngeliat warna frekuensi sinyal hape mereka deket sini.”
Kami berdua terpaksa menahan diri dan bersembunyi. Sigit juga tidak jadi membuka portalnya. Percikan kembang api yang muncul bisa saja menarik perhatian mereka.
“Guys, ngapain sih ngekorin mereka?” Gue bisa mendengar suara Dani.
“Ssstt. Udah diem aja, kepo juga kan?” Sekarang Anwar yang ngomong.
“Gue nggak kepo kali.”
“Boong lah.”
“Cepet banget ngilangnya mereka berdua.” Sekarang suara Jamet.
Suara mereka semakin dekat. Kurasa mereka tepat ada di depan kandang ini. Mereka sangat banyak sekali bicara. Tapi, gak ada tanda satu pun bahwa mereka akan pergi dari sana. Padahal, Dani sudah berusaha menggiring opini mereka agar gak kepo kaya anak SMP.
“Eh, kok gue kaya ngeliat ada bayangan orang di balik sana?” Suara Jennifer.
“Ha?” Dani udah gak bisa berbuat apa-apa.
Gue dan Erna liat-liatan. Bayangan kami agak muncul menyamping dari posisi kandang akibat terpaan matahari yang sedikit condong.
“Mereka ke sini!” Erna melotot.
“Sigit, buka portalnya sekarang!” Gue bicara lewat telepon jam tangan.
Sebuah portal terbuka, lalu kami melompat secepatnya ke dalam sana. Bangunan itu tak cukup besar menyembunyikan percikan kembang api. Akibatnya, percikan tersebut dengan bebas terpental kesana kemari dan pasti sudah terlihat anak-anak.
“Tuh ada kembang api siang siang masa.” Suara Jennifer lagi.
“Mana? Mana?” Suara Anwar antusias.
Suara mereka semakin dekat. Portal tertutup. Jantung gue berdegup cepat seiring kami berdua berpindah dari Kota Baru ke markas cabang S.H.I.E.L.D.
“Aman?” Gue panik.
“Nggak tau.” Erna mengangkat bahu.
“Gue tanya Dani deh.”
Gak ada sinyal seluler di markas, jadi gue memberi pesan ke Dani lewat aplikasi rahasia. Untungnya, dia membalas dalam waktu singkat, memberi tahu kalo kondisi aman sepenuhnya. Tapi dia sempat ngomel karena kami gak cepat cepat pergi.
Sekarang kami sudah berada di markas cabang, tempat di mana Irfan ditahan. Sayangnya, dia sudah dibunuh terlebih dulu oleh Alan sebelum gue sempat bertanya banyak hal. Sekarang kami hanya bisa mengandalkan informasi terbaru dari S.H.I.E.L.D. dan Sigit.
Gue dan Erna berjalan menyusuri lorong hingga sampai di tempat berkumpul. Banyak agen berseragam di sana, termasuk Lina. Di sana ada juga Puri dengan seragam S.H.I.E.L.D. barunya.
“Itu.. Kak Puri?” Erna menatap heran ke Puri.
“Iya.” Jawab gue malas.
“Agen S.H.I.E.L.D.?” Kepala Erna menghadap gue, tapi matanya ke arah Puri.
“Gue juga baru tau.”
Penampilan Lina agak berbeda sejak gue terakhir bertemu dengan dia. Sekarang, dia lebih rapi dengan seragam dan rambut yang lebih panjang dari dua bulan lalu. Wajahnya terlihat lebih latin senada dengan potongan rambutnya. Tak lupa antingnya yang hanya dipakai sebelah tetap terpasang manis di telinga, kadang di kanan, dan hari ini di kiri.
Akilina Soemita
Kami berkumpul dalam posisi berdiri tegap di satu ruangan. Seorang pimpinan agen markas cabang yang tampaknya masih muda mulai memberitahu kondisi markas sekarang. Dia juga menampilkan rekaman CCTV pada saat saat Alan menyusup.
Penampilan si pimpinan muda ini sangat necis. Berjas, rambut, klimis, tanpa seragam dan helm. Tidak ada bekas luka serius di wajahnya. Penampilannya jelas menandakan dia bukan berasal dari agen spesialis lapangan.
Ternyata, Alan pertama kali menyusup 20 jam lalu ke dalam markas ini. Dia pertama kali justru datang ke dalam ruangan Puri melalui portal. Kemudian, terjadi perkelahian antara Alan dan Puri bersama ketiga bayangannya. Beberapa kali Alan merapalkan mantra dan menangkis serangan-serangan fisik Puri and the geng.
“In that moment, I can’t obsess his physical body,” sambung Puri.
“Hebat sekali. Sebenarnya sudah sejauh mana perkembangan Puri?” Batinku.
Puri menjelaskan kalau dia saat ini telah mampu merasuki orang menggunakan bayangannya. Tapi, dia tidak bisa menggunakan kemampuannya saat berkelahi dengan Alan waktu itu.
Kami kembali menonton rekaman. Perkelahian terjadi cukup lama. Sampai pada suatu ketika, Alan merapalkan sebuah mantra lagi. Puri and the geng langsung tergeletak lemah dan pingsan. Untungnya, dua bayangan lain muncul dari balik tembok dan kembali berkelahi dengan lebih membabi buta. Alan kabur tanpa hasil setelah bersusah payah membuka portal.
“Itu.. gak mungkin, mantra terlarang.” Sigit memotong.
“English, please.” Kata si pimpinan.
“That is forbidden.. what’s the word.. nah, spell.” Kata Sigit.
Sigit masih belom jago bahasa inggris. Untungnya Lina cepat merespon dengan menerjemahkan kata-kata Sigit ke dalam bahasa Inggris.
Sigit menceritakan sebuah ilmu sihir tingkat tinggi. Sebuah sihir yang tidak kalah hebat dari pemanggilan Dormammu. Sebuah sihir kuno untuk mengendalikan inhuman.
“What is Dormammu?” Tanya si pimpinan.
“Saya jelasin nanti.” Sigit tetap dibantu penerjemah, si Lina.
Sigit kembali bercerita. dahulu kala ada sebuah sihir yang sangat kuat untuk mengendalikan inhuman sekaligus Kree. Sihir tersebut digunakan untuk menghentikan perang antara Inhuman dan Kree di Samudra Pasifik. Hasilnya, Kree bertumbangan dan kabur, sedangkan Inhuman diberikan otoritas mengatur populasinya dengan cara yang bijak.
“Inhuman yang gak sepakat, diusir jauh. Hive contohnya.” Sigit menutup cerita.
“Ah, Hive. I heard about him. He Die last year with our great agent, Lincoln Campbell.” Kata si pimpinan.
Gue mendengar info baru dari Sigit hari ini. Kemarin, saat laporan tengah malam belum ada info apa-apa yang membubuhkan progress.
“Kok gak ada cerita begini kemarin?” Bisik gue ke Sigit.
“Aku juga baru dikasih tau temen, Mas.” Jawabnya.
Video CCTV kembali berlanjut. Penyusupan kedua Alan terjadi 3 jam lalu ke modul penahanan Irfan. Mereka sempat berdiskusi sebelum Alan membuat benda dengan bentuk seperti belati merah dari kehampaan. Dia menggorok leher Irfan hingga tidak bernyawa, lalu pergi kabur.
“And, that’s it.” Tutup si pimpinan.
“Any idea how we deal with this man?” sambung Lina.
“Saya bisa buat segel penghalang supaya Alan gak bisa masuk ke sini lagi.” Kata Sigit.
“Excellent!” jawab pimpinan setelah diterjemahkan Lina.
Diskusi sebenarnya hampir selesai. Tapi Puri mengangkat tangannya. Dia memberi usulan lain.
“What if we can trap Alan in this base?” kata Puri.
“Are you insane?! He’s a killer.” Jawab pimpinan.
“I can fight him. Sigit too. We can finish the problem, not avoid it.”
Semua terdiam. Terjadi perdebatan kecil antara pimpinan dan Puri. Dia bersikeras mencegah Alan untuk kembali masuk ke sini. Alasannya memang logis, kami sendirian di sini. Markas besar memiliki masalah tak terhenti dengan android. Tapi Puri ada benarnya juga, bukan begini cara S.H.I.E.L.D. menangani masalah. Organisasi ini menyelesaikan masalah, bukan menghindarinya.
“Puri is right, this not the way S.H.I.E.L.D. handle the problem.” Kata Lina.
Semua orang di ruangan mengangguk. Pimpinan pun juga mengangguk. Kemudian, dia menyusun rencana dan melibatkan kami. Gue akui, taktiknya sangat baik, tapi tetap tidak menutupi fakta barusan kalau dia penakut.
Rencananya, saat Alan kembali datang, Sigit harus langsung mengurung dia di markas ini. Serangan fisik dadakan langsung dilancarkan oleh semua agen, termasuk Puri dan Lina. Lucuti semua senjatanya, lalu gue dan Erna menjadi langkah terakhir untuk memakaikan dia jaket kendali jarak jauh sehingga Alan tidak lagi bisa bergerak. Alan akan dikunci di modul penahanan dengan akomodasi segel sihir, menunggu hingga Master Hamir atau Wong datang menjemput.
Kami menunggu di posisi kami. Sigit dengan sihirnya, Lina dengan mata celepuknya, dan Puri and the gengs menyisir seluruh markas tanpa henti. Mereka berjaga-jaga bila sewaktu-waktu Alan datang kembali. Kami sesekali berkomunikasi via alat wireless di yang menempel telinga masing-masing. Mirip punya avengers.
“Huft, gak bakal berhasil. Udah berapa jam ini.” Kata Erna.
“Sabar.” Jawab Puri.
“Alan ke sini nyari Kakak. Kalo Kak Puri siaga terus gimana Alan punya kesempatan.”
Puri tidak menjawab.
“Bener kan?” Erna mencoba mengonfirmasi idenya.
“Bukan itu. Dia datang... Sektor barat!” Puri berhadapan satu-satu dengan Alan.
---
POV Sigit
Alan sudah datang! Aku merapalkan mantra pengunci tempat. Lalu, kami semua berlari menuju lokasi Puri. Setibanya di sana, Puri dan kelima bayangannya sedang mengeroyok Alan. Alan sendiri tampak menangkis seluruh serangannya menggunakan sihir standar Para agen ikut mengeroyok Alan. Dalam ruang sempit seperti ini, tidak ada kesempatan Alan untuk menghindar dan merapalkan mantra.
Mbak Erna dan Mas Hari datang belakangan.
“Kita curi cincinnya dulu.” Aku berbicara.
“Oke.” Jawab Mas Hari.
“Gue bawa jaketnya nih.” Mbak Erna menenteng jaket kendali jarak jauh.
Mas Hari bergabung dalam upaya pengeroyokan. Dia berkali-kali menahan pukulan dengan melemaskan ayunan tangan Alan. Cincin sudah dibuang jauh jauh, tapi aku belum melihat barang lainnya. Untungnya itu tidak penting lagi. Sembilan lawan satu sudah cukup membuat Alan ambruk dan bonyok.
Alan tergeletak lemah seketika saat menerima pukulan terakhir dari Lina, tepat di tulang rawan hidungnya.
“We take him to the modul.” Perintah Lina.
Lina memakaikan jaket kendali jarak jauh kepada Alan. Kendali jaket dipegang penuh oleh Lina sendiri. Tanpa perlu dibopong, Alan berjalan sendiri dengan pemaksaan gerakan dari jaket kendali menuju ruang modul penahanan. Aku, Mas Hari, Mbak Erna, dan Puri beserta ketiga bayangannya mengawal Alan.
Aku berjalan tepat di samping Alan. Semua berjalan normal, hingga sekilas kulihat ada gerakan tidak wajar dari jari-jari Alan. Dari kehampaan, terbentuk sebuah belati berwarna merah darah. Lalu, dengan tiba-tiba, Alan menghunuskan belatinya kearahku, namun bisa kutangkis dengan perisai sihir.
Semua orang yang mengawal Alan menjadi siap siaga.
“Lina?!” Teriak Mas Hari.
“Bukan gue yang ngendaliin.” Jawab Lina.
“Berarti dia pake sihir.” Kata Mas Hari lagi.
Pertarungan terjadi lagi. Alan lebih kebal dengan jaket yang terpasang di badannya. Pengeroyokan menjadi lebih alot. Mas Hari tidak memiliki kesempatan menyedot energi mesin di bagian punggung Alan. Pukulan demi pukulan Mbak Puri dan Mbak Lina terus menghujani Alan. Sebaliknya, ayunan belati Alan membuat semua orang lebih berhati-hati. Bahkan, Mbak Erna harus bergerak mundur lebih jauh karena tidak bisa membantu lebih kuat lagi.
Alarm dinyalakan. Seluruh markas berbunyi nyaring dan lampu sirine merah berkelap kelip. Beberapa agen kembali datang dengan ancang-ancang menembak. Aku tidak bisa merapalkan mantra lain yang sama kuatnya saat ini. Fokusku masih untuk menjaga segel markas agar Alan tidak bisa kabur.
“Sigit! Pake portalnya!” Perintah Mas Hari.
“Kita gak bisa keluar dari markas.” Kataku.
“Portal kaya waktu di Semper!”
Mas Hari memang super cerdas! Cara perkelahian kami waktu di Semper itu mungkin bisa digunakan lagi. Lantas, kubuka satu portal kecil seukuran moncong pistol tepat di salah satu agen penembak.
“Can you hear me?!” Aku memanggil agen tersebut sambil menunjuk telingaku.
Dia tampak shock sebentar melihat portal yang kubuat. Kemudian, dia mengacungkan jempolnya. Dia bisa mendengarku meski jarak kami agak jauh.
“On my.. uh, apa ya..” Aku bingung kosakatanya.
“On my command!” Lina berteriak sambil berkelahi dengan Alan.
“Yes! On my command, okay?!” Teriakku.
Agen itu mengacungkan jempolnya lagi. Kuarahkan portal penyambung lainnya ke arah Alan. Aku cukup susah mengarahkan karena pergerakan mereka sangat cepat. Mas Hari terlalu sibuk sampai tidak bisa mendengar.
Mbak Puri melihat portalku. Lalu, ketiga bayangannya langsung berupaya menangkap tangan dan kaki Alan. Satu momen tercipta ketika Alan tidak mampu bergerak bebas...
“NOW!” teriakku.
Dorr! Dorr! Dorr! Dua tembakan mengenai tepat di dada Alan, namun portalku bergeser di tembakan ketiga sehingga hanya menyerempet bahunya. Tiba-tiba satu bayangan Mbak Puri pecah menjadi air berwarna hitam. Satu peluru jatuh berdencing di lantai.
“AAAAGGGHHH!!” Mbak Puri yang asli tergeletak lemas.
“Hah? Kok bisa?” Aku heran.
“Pengalaman bayangannya berpengaruh sama badan yang asli.” Jelas Mbak Lina.
Mbak Lina segera membopong Mbak Puri pergi menjauh. Tak kukira peluru ketiga bisa meleset dan mengenai satu banyangan Kak Puri. Di sisi lain, Alan sudah tergeletak tak sadarkan diri.
Aku meminta maaf kepada Mbak Puri.
Waktu berlalu. Alan terbaring koma di ruang perawatan bersama penjagaan sihirku. Sebentar lagi Master Hamir akan datang setelah urusannya selesai. Mas Hari, Mbak Erna, dan Mbak Lina menjenguk Mbak Puri di kamarnya. Perkelahian selesai di luar strategi yang direncanakan.
BERSAMBUNG