Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Bimabet
Hari sabtu hiatus dulu ya om. Hari selasa/rabu jadinya akan double update

Have a nice weekend :beer:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 11
Dadakan Lebih Seru


POV Dani

“Berarti lu juga inhuman, kan?” Gue memajukan kepala, menunggu jawaban Hari

Hari masih fokus menonton filmnya. Gue tau dia cuma pura-pura gak denger.

“Woi, jawab napa.” Gue tepuk pahanya
“Eh, iya. Sorry, sorry. Apa tadi?”
“Elah.”
“Yaelah pake ngambek.”

Gue tarik headsetnya Hari, terus gue bisikin dia lekat-lekat. “Seorang Hari Fiddi Lasya.. adalah inhuman, kaaaaaaan?”
“Oh iya? Wow!”
“Wooow~” gue menggoyang-goyangkan bahu

Gue tau kayanya Hari masih menyembunyikan informasi penting soal dirinya. Tapi sekalian aja gue tembak sekarang mumpung sepi.

“Sejak kapan?” Gue liatin matanya dalam-dalam, berharap dia akan jujur kali ini.
“Hah?” dia masih pura-pura bego
“Elah, Har.”
“Elah, Dan. Gue disuruh jadi agen karena kebetulan kemarin berguna kali buat mereka.”

Gue yakin Hari pasti bohong. Yakin banget. Tapi, dia masih gak mau buka cerita sama gue. Daripada omongan gini gak ada hasilnya, gue kembali ke kamar untuk tidur.

“Dan, everything gonna be okay.” Kata Hari
“Bondan Prakoso feat Fade to Black. Tau gue lagunya.” Jawab gue

---

POV Hari

Dua hari kemudian, gue lagi males-malesan di kamar rumah. Siang ini nyokap udah berangkat kerja, sementara Kenia baru masuk sekolah lusa.

“Bang, pindahan dong.” Kenia muncul bawa segelas sirup dan majalah cewek
“Pindahan ke mana?”
“Apartemen lah.”
“Ya kali.”

Kenia duduk di lantai, menaruh sirupnya, dan mulai membuka majalah. Dia belagak cuek ke gue. Sementara gue, main game FM di laptop. Sesekali gue mencuri-curi pandang ke arah majalahnya.

“Apaan sih tuh?” Gue gangguin Kenia
“Sirup. Rasa sirsak.”
“Ye, kunyuk. Itu tuh yang lu baca.”
“Majalah fashion, bang.”
“Oh.. Bagi minumnya dong.” Gue langsung menyerbu minumannya Kenia

Omongan gue random banget hari ini. Kadang gue kangen juga kejadian menenggangkan selama seminggu itu. Padahal, waktu itu gue lagi sibuk-sibuknya sidang dan revisian. Giliran sekarang gak ada kerjaan, beneran waktu kosong banget seharian. Dani, Eda, sama Jamet gak bisa diganggu karena lagi sibuk sama kegiatannya masing-masing.

Bosan dengan main FM yang kalah mulu, gue beralih membuka handphone. Gue buka instagram, ngelove beberapa foto, dan melihat-lihat snapgram. Setelah itu, gue buka WA, iseng-iseng mulai percakapan ke grup angkatan.

Hari: Guys, persembahan angkatan wisuda departemen gimana kabarnya?

Anak-anak langsung pada heboh karena semuanya juga lupa. Wisuda memang masih sekitar sebulan lagi, tapi membahas acara persembahan angkatan di saat sekarang sudah terhitung terlambat. Apalagi kalo dibanding semua semester kemarin waktu jumlah anak-anak seangkatan masih full.

Jamet: Ando aja tuh suruh nyanyi lagi hahaha
Ando: Ya kali, Met. Gue udah di Pekanbaru ini
Gue: Oh iya? Berapa lama, Do?
Ando: 3 tahunan, Har

Gue merasa seneng juga, temen-temen gue yang udah lulus duluan sekarang udah pergi ke mana-mana. Ando sekarang dapet bagian restorasi perusahaan tambang di Pekanbaru, Levi di penerbit buku, Dewo bahkan udah dapet LoA ke UK.

Gue: Asik ye yang udah pada kerja
Eda: Temen kita ada yang belum kerja nih Har @dani Hahaha
Dani: Sialan lu da

Gue lupa Dani masih nyari kerja. Sibuk pacaran mulu sih tuh anak.

Anwar: Eh persembahan gimana kalo kita-kita aja yang ngisi.
Ando: Kita-kita tuh siapa aja, bro?
Anwar: Gue, Tika, Jeruk, sama Erna
Gue: Jeruk siapa?
Anwar: Jeniper
Eda: @jennifer wkwkwkwk
Jennifer: Biarin aja si Anwar geblek

Jennifer udah lama satu geng mereka, tapi gak nyangka si Anwar bikin julukan baru buat dia. Suka-suka banget emang kelakukan Anwar.

Sebenernya, bagus juga sih mereka satu geng berempat awet dari maba. Kadang mereka bisa diandelin oleh anak-anak yang lain. Waktu dulu, kami kekurangan panitia dalam suatu acara besar kampus, mereka bareng-bareng langsung ikut gabung tanpa embel-embel apapun. Mereka lebih seperti spesialis dadakan.

Setelah sedikit obrolan tambahan, grup jadi sepi lagi. Berkali-kali anak-anak nanyain penampilan apa yang Anwar and the gengs bawa. Tapi, Anwar tetap merahasiakannya, yang penting bakal keren katanya

Gue menaruh handphone dan melihat Kenia lagi karena gue merasa terjadi gerakan-gerakan aneh. Dugaan gue bener, tangan kanannya masih megang majalah dengan halaman bergambar Justin Bieber telanjang dada, sementara satu tangannya lagi udah masuk ke celana.

“Heh. Ngapain?.” Gue kagetin Kenia.

Muka Kenia merah menahan malu. Dia pergi keluar dari kamar gue membawa majalah dan minumnya. Gue ikuti dia sampai depan pintu. Habis itu, Kenia lari masuk ke kamarnya sendiri.

Gue tutup pintu kamar, lalu rebahan di kasur dan kembali mengambil handphone. Gue buka pemberitahuan WA. Ternyata gue masuk suatu grup baru, ‘Dadakan Lebih Seru’.

Anwar: “Oke, udah gabung semua kan.”
Eda: Grup apaan nih?
Anwar: “Bentar, absen dulu dong semuanya.”

Semua anak yang tergabung di grup satu per satu absen. Ada Anwar, gue, Eda, Dani, Jamet, Jennifer, Erna, lalu menyusul Tika yang diabsenin Anwar. Setelah itu, anwar menjelaskan maksudnya dia membuat grup.

Anwar menjelaskan bahwa mereka ingin membuat trip dadakan. Rencananya mau sesama geng mereka aja, tapi udah bosen. Kami berempat terpilih diajak karena diantara teman seangkatan, tinggal kami yang masih available diajak kemana-mana, sekaligus lulus di semester yang sama, kecuali Dani.

Dani: Emang rencananya pada mau ke mana?
Anwar: Papandayan Dan
Gue: Kan lagi musim hujan
Anwar: Justru lagi musim hujan, Papandayan paling aman dari gunung lain. Apalagi laut.
Eda: Kapan cuy?
Anwar: Cus, akhir minggu ini yok.
Dani: Cepet amat
Anwar: Namanya juga dadakan. Mendadak Lebih seru

Setelah sedikit diskusi, kami sepakat hari Jumat malam berangkat. Meeting point di Pool Bus Primajasa, dekat UKI. Anwar juga berpesan jangan lupa bawa banyak makanan karena bakal dingin banget di sana. Tenda dan kompor gas udah disediain satu temennya yang nanti nunggu di terminal Garut.

Tiba-tiba terdengar desahan yang keras dari kamar sebelah. Kenia beneran ngelanjutin masturbasinya. Gak gue duga efek kejadian kemarin segila itu.

Gue melangkah menuju kamar Kenia, lalu menggedor pintu kamarnya.

“Woi, pelan-pelan suaranya!”

Suara desahan Kenia berhenti. Gue balik ke kamar. Tapi sesaat setelah gue balik badan, kepala Kenia muncul dari balik pintu.

“Berisik. Emang abang mau bantuin?”
“Yeh, nih anak.”
“Yaudah sih kalo gak mau bantuin diem aja.” Kenia menutup pintunya lagi.

Ingin rasanya gue menghubungi S.H.I.E.L.D. untuk meminta suatu obat apa gitu supaya menahan birahi Kenia. Tapi artinya gue juga harus konfirmasi bisa menjadi agen aktif atau nggak. Sementara itu, sejak ditawari Lina, gue masih bimbang antara iya atau tidak.

---

POV Anwar

“Udah deal semuanya nih.” Gue menaruh handphone
“Mmhhh.. Siapa aja jadinya?” Tika bergumam di bawah sana sambil mengoral penis gue
“Semuanya yang di grup pada bisa.”
“Udah kan ngechatnya? Buruan tiduran gih.”

Kartika Rahayu

Mulutnya yang tadi kempot karena menghisap penisku kuat-kuat, kini dilepasnya. Tika mengibaskan rambutnya panjang berponinya ke samping. Wajahnya makin terlihat jelas cantik dan manis, serta matanya menatap gue dari posisi yang lebih tinggi.

Gue menuruti dominasi Tika lagi. Dia menduduki tepat di selangkangan, lalu menyelipkan penis gue celah vaginanya. Tika menggesekkan vaginanya di penis gue, lalu dia mulai bergerak memutarkan pinggulnya.

Gak mau kalah, gue ikut meremas-remas dada dan putingnya. Sesekali gue sampai mengelus perut dan menekan pinggangnya. Gue naikkan pinggul gue supaya jepitan kedua kelamin kami semakin rapat.

Tika terjatuh di atas badan gue, tapi goyangan terus menerus semakin liar. Bahu gue digigitnya. Lalu kemudian Tika mengejang.

“Enngghhhhhh...” desah Tika
“Sakit tau digigit mulu.” Gue tarik kepalanya.
“Ssssstt!” Dia berbisik, lalu menjilat belakang telinga gue

Kami lanjut berciuman. Atau lebih tepatnya Tika yang mencium gue. Dia menggigit bibir atas dan bawah gue bergantian, kadang sampai ditariknya menjauh. Puas menggigit bibir, lidah gue yang kini dihisapnya kuat-kuat.

Tangannya bermain-main di puting gue. Dia memutar-mutar dan menarik puting gue sampai-sampai gue kegelian sendiri. Pinggulnya kembali kuat-kuat menekan penis gue, lalu tanpa aba-aba, satu tangannya yang lain langsung mengarahkan penis gue mulut lubang vaginanya.

Penis gue amblas seketika.

“Ughhh..” Kami berdua sama-sama mendesah

Tika langsung menaik-turunkan badannya, sementara gue kembali hanya bisa menikmati dominasinya. Dia gak mau gue ikut bergoyang sama sekali. Respon paling aktif yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah meremas payudaranya kuat-kuat.

“Ahh, nikmat, sayaaanghh...” Tika mulai meracau
“Sayanghh.. ughh..” Gue balas meracau
“Enak kan.. shhh...”
“Iyaa.. uhhh.. terusss...”

Penis gue mulai berkedut.

“Yanghhh... udah mau keluaarhh...”
“Bentar... ssshhh...”

Tika mempercepat gerakannya berkali-kali lipat, lalu tiba-tiba mengejang. Dia orgasme duluan. Tanpa berstirahat, pinggulnya diangkat hingga penis gue terlepas. Kemudian Tika memutar badannya sampai posisi kepalanya pas dengan penis gue. Sebaliknya, posisi kepala gue pas dengan vaginanya.

Tangan kanan Tika mengocok dengan cepat, sementara tangan kirinya meremas-remas buah zakar gue. Gue yang posisinya bawah hanya bisa menikmati sambil menjilati klitorisnya Tika pelan-pelan.

Penis gue berkedut lagi.

Tika memasukkan penis gue ke mulutnya, sambil tangannya tetap bergerak mengocok. Tak bisa dihindari lagi, sperma gue langsung memenuhi mulutnya. Kepala gue tergeletak lemas dan mata gue terpejam menikmati sensasi itu. Sensasi hasil menang suit sebelum memulai permainan tadi.

CKLEK.

Suara pintu terbuka. Pandangan gue terbalik melihat seseorang yang pelan-pelang menggeser pintu makin terbuka. Kaki jenjang berlapis jeans hitam itu....

“Sorry, War, Tik, gue terlam.. bat.” Kalimatnya terhenti melihat kami.

Gue melongo. Tika menoleh ke arah pintu.

“Eh, sorry, gue di bawah dulu deh kalo gitu.” Pintu ditutup lagi.

Gue masih melongo. Tika langsung bangun dari atas badan gue. Kami saling-lihat-lihatan.

“Salah siapa pintu gak dikunci dulu?” Ledek Tika.

---

POV Erna

Aku memakirkan motor di garasi rumah Anwar, lalu menaruh helm di kaca spion. Aku mengaca di spion satu lagi untuk membereskan jilbabku yang tertekan helm selama perjalanan ke sini.

Ernawati

“Makasih ya, pak.” Aku berterima kasih ke pak satpam.

Aku buru-buru masuk ke dalam rumahnya Anwar dan berlari kecil ke arah tangga. Tapi ternyata di depanku Jennifer justru melangkah turun dari atas. Dia melihatku, lalu memberi kode untuk turun ke bawah lagi.

Jennifer

“Kenapa emang?” Tanyaku heran

Dia menunjuk ke arah pintu studio, lalu menyelipkan jempolnya diantara jari telunjuk dan tengah ke depan mukaku. Matanya melotot sambil berusaha memutar pundakku untuk ikut turun ke bawah

Di lantai bawah, kami disediakan snack dan minum oleh pembantunya Anwar. Aku membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaan edit foto yang belum selesai.

“Bete deh gue, mentang-mentang di rumah sendiri.”
“Sama lah.” Balasku
“Lu yang tegur dong ntar. Lu kan paling agamis di antara kita-kita.”
“Gak ngefek palingan.”
“Elah, mereka sama aja kaya Dani sama Eda deh.”

Jennifer sewot mulu sama kelakuan Anwar dan Tika kalau udah berduaan. Tapi bener juga sih, kelakuan mereka sama kaya Dani dan Eda. Atau mungkin kami semua sekaligus justru mirip geng mereka. Selalu bareng berempat, ada yang jadian di dalam geng. Bedanya, mereka melakukan penelitian sendiri-sendiri, sedangkan kami selalu bareng sampai skripsi.

“Eh, kacamata baru, Je?” Aku mengalihkan pembicaraan
“Yang kemaren patah sih pas gue di angkot.” Jawabnya
“Yah, padahal bagusan frame yang kemarin tau.”
“Emang kenapa kalo yang ini?”
“Aneh aja. Gede banget framenya.”

Jennifer kayanya masih agak bete. Dia lebih memilih memainkan handphonenya daripada membalas kalimatku.

“Papandayan ikut kan, Je?” Gue mulai pembicaraan lagi
“Ikut dong. Udah lama gak kena yang dingin-dingin.”
“Lagian yang gue ajakin kemarin ke Halimun gak ikut.”
“Waktunya gak pas sama gue, Wati.”

Jennifer kadang memanggilku dengan nama belakang kalau sedang gemes. Setengah jam lebih kami menunggu di lantai bawah.

“Gerebek aja yok. Lama banget.”

Gue balas dengan membuka telapak tangan, mengizinkan dia jalan duluan. Jennifer memimpin jalan menaiki tangga. Aku mengikutinya dari belakang. Tapi, begitu Jennifer ingin membuka pintu, Tika keluar dari dalam dengan rambutnya yang berantakan.

“Eh.. Heee.. Maaf jadi lama nunggu.” Tika nyengir.
“Anwar masih ngapain?” Tanya Jennifer.
“Dia lagi masangin kabel, masuk aja. Gue ke kamar mandi dulu ya.”
“Gak pake lama.” Jennifer sewot.
“Iyaa sayaaang.”

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 12
Masih ngantuk


POV Hari

Jumat jam 8 malam, gue, Jamet, Anwar, dan Tika sudah tiba di meeting poin. Kami duduk di bangku tunggu dari kayu yang memanjang. Anwar dan Tika sudah di tempat terlebih dulu sebelum gue datang dengan Jamet. Anwar yang badannya tinggi tegap itu sedang nyeruput pop mie, sedangkan Tika duduk bersender menyamping di bahu kirinya Anwar. Tika asik main instagram.

“Berangkat jam piro, War?” Tanya jamet
“Jam setengah 10an juga bisa. Gak bakal terlambat kok.” Jawab Anwar

Berbarengan dengan kata-kata Anwar selesai, Eda dan Dani. Mereka keluar dari taksi, dengan pakaian jaket lengkap, lalu mengambil tasnya di bagasi. Eda membayar ongkos taksi terlebih dulu, lalu bergabung dengan kami.

“Daniiii! Gue kangeeen!” Tika menyambut Dani dengan pelukan
“Gue juga, Tikaaaa!” Sahut Dani
“Udah gak pernah ke kampus, ih.”
“Yaa kan gue masih sibuk nyari kerja, say.”

Mereka berdua kangen-kangenan.

“Tas siapa tuh panjang amat?” Gue kaget ngeliat Eda nenteng carrier gede.
“Tas gue lah.” Jawab Eda sekenanya
“Isinya apaan aja? Kita cuma semalem loh di sono.” Anwar ikutan penasaran
“Ada tenda kecil baru gue beli.”
“Si bego, kan gue bilang ada temen gue yang bawa ntar.” Anwar ngelempar gulungan tissu.
“Maunya Dani tuh. Kalo mau ngomel, ke dia aja.” Eda nunjuk Dani.

Eda sama Dani pasti mau melakukan yang aneh-aneh deh ntar. Gue udah ngebaca raut mukanya mereka. Raut muka sumringah karena baru pertama kali naik gunung. Mereka ini tipikal anak lab yang dari maba selalu menghindari naik gunung, bahkan setelah film 5 cm booming pun mereka ogah ikut-ikutan trend.

Setengah jam kemudian, Erna datang dengan Jennifer dengan diantar sopirnya Jennifer. Jennifer langsung kangen-kangenan sama Dani yang juga udah jarang ketemu. Seperti biasa, Erna dengan jilbab segiempat, celana khas anak lapangan, dan berjaket, senada dengan Jennifer kecuali tanpa mengenakan jilbab.

“Daniiii!” Jennifer berlari kecil memeluk Dani.
“Jennifeeeeer!” Dani balas memeluk Jennifer.
“Lama gak ketemu makin cantik aja deh lu.”
“Ah, cantikan juga lu kali, Je.”

Beda lagi dengan reaksinya Dani ke Erna. Mereka cukup dengan melakukan tos. Lanjut kami yang sudah tiba pertama saling tos dengan Erna.

“Lama amat lu, Jeruk.” Ledek Anwar.
“Ye, ada juga lu yang kecepetan. Berangkatnya juga setengah 10an kan.”
“Wahaha! Jeruk! Ikutan ah manggil jeruk.” Eda ketawa ngakak.
“Ini lagi sama aja!” Jennifer sewot

Setelah basa-basi selesai, yang sebenernya didominasi dengan kangen-kangenan para cewek, Anwar memastikan barang bawaan kami lengkap. Kami semua memakai jaket dari sekarang. Kemudian, Erna dan Jamet izin ke toilet.

Di bis, formasi tempat duduk kami dua-dua. Erna bareng Jennifer, di belakangnya ada gue bareng Jamet, lanjut Eda bareng Dani, dan di paling belakang Anwar bareng Tika. Gue duduk di lorong, karena gue yakin abis ini Jamet pasti pelor. Nempel molor.

Jam 10 malam, bis keluar perlahan dari pool. Gue menikmati kelap-kelip lampu mobil dari balik kaca seberang posisi yang berembun. Tak lama kemudian, bis masuk pintu tol, dan Jamet izin tidur. Udah ketebak.

Gue nengok ke belakang, dua pasangan mesum itu lagi asik pacaran. Karena bosen gue memajukan kepala dan berbisik ke dua cewek di depan.

“Sttt.. Sttt.. Jam berapa sampe Garut, Je, Na?” Bisik gue kepada siapa saja yang mau menjawab.
“Jam 3an pagi ntar, Har. Nanti kita dijemput sama pick up temennya Anwar.” Sahut Erna
“Oooh”

Hening sejenak.

“Tidur dia?” Gue nunjuk Jennifer yang duduk deket jendela.
“Lagi pake headset.”
“Oooh.”

Oke, hening lagi. Selalu terjadi kalo ngobrol sama Erna dari dulu. Anwar pernah bilang kalo Erna emang gak biasa memulai pembicaraan duluan kalo lagi ngobrol sama orang luar. So, Buat dia, gue termasuk orang luar.

Karena gak ada yang bisa diajak ngobrol, gue membuka WA untuk mengecek keadaan Kenia melalui nyokap. Gue juga tetap memastikan Kenia belum makan vitamin minyak ikannya. Gue juga laporan ke nyokap kalo jam tangan S.H.I.E.L.D. udah dititip ke Kenia selama gue ke Papandayan.

Kenia lebih butuh, kan. Apalagi gue lagi gak bareng dia.

Selanjutnya, gue cek instagram. Ada snapgram boomerangnya Dani bareng Eda yang diambil waktu di pool bis tadi. Ada juga foto latepost pemandangan Papandayan yang diupload Erna 4 jam lalu.

“Papandayan, for the last time as a student.” Begitu isi captionnya, tak lupa hastag photography dan VisitIndonesia yang wajib dia sematkan di setiap upload foto.

Foto instagram Erna memang penuh dengan hasil jepretan kerennya dia, mulai dari yang bertema natural photography hingga street photography. Mustahil menemukan wajah Erna dalam akunnya sendiri.

Usai menuntaskan mengamati media sosial, gue kembali memerhatikan jalanan. Hanya tampak cahaya lampu-lampu mobil yang melaju dari arah berlawanan. Keadaan di dalam bus sangat gelap. Lalu, gue putuskan untuk tidur saja.

---

Jam satu malam, gue terbangun. Erna dan Jamet masih tidur. Eda dan Dani tidur dengan kepala saling menyender. Di belakangnya lagi, gue cuma bisa ngelihat kakinya Anwar melintang di lorong bis. Kayanya pasangan itu tidur juga.

Samar-samar gue denger ada suara bersenandung. Gue dekatkan telinga ke depan, dan suaranya makin jelas. Tiba-tiba ada lampu terang di bangku samping Erna. Jennifer bangun. Karena posisi kami gak pas untuk ngobrol langsung, gue coba chat dia via WA.

Gue: Bangun cuy? Lu nyanyi ya?
Jennifer: Iya, kedengeran ya hahaha
Gue: Awet juga batre hapenya
Jennifer: Ini juga udah 5 persenan.
Gue: Bawa power bank?
Jennifer: Bawa di tas. Tapi paling nanti gak ada sinyal. Percuma juga
Gue: Nanti gue pinjem ya hahaha

Jennifer gak ngebales lagi. Gue coba ngelirik ke depan, lampu hapenya udah gak bersinar. Mungkin dia lanjut tidur, atau mungkin juga hapenya udah mati. Sekarang gue cuma sendirian, memandang jalanan yang gelap dan lampu mobil lagi. Gue gak bisa tidur.

---

POV Jamet

“Anjir lah. Mati gaya gue tadi.” Hari sewot
“Lagian bukannya tidur aja kaya aku, Har.” Mataku masih sepet.
“Lu mah emang pelor kalo lagi jalan jauh.”
“Yang penting gak mati gaya.”

Kami udah sampai di terminal Garut. Anwar sibuk menelepon temannya. Cewek-cewek masih pada ngantuk. Eda juga ngantuk. Hari masih aja sewot sambil nyoba ngajak ngobrol siapa aja.

“Tidur, Har. Tidur. Ntar capek lho pas naik.” Kata Anwar.

Hari nurut, dia meletakkan tas supaya jadi bantal, lalu tidur bersender di tembok. Giliran aku yang bangun menemani Anwar.

Cukup lama kami menunggu di terminal, hingga akhirnya temannya Anwar datang.

“Yok, bangun, bangun. Temen gue udah dateng.” Anwar nepokin semua orang.
“Hmmmm.. ngantuuuk...” Tika menutup muka dengan jaket.
“Eh, ayok. Ntar tidur lagi di Cisurupan.”

Mereka yang baru bangun mengangkat tas dengan malas. Apalagi Eda yang tasnya paling besar.

“Cepet amat sampenya.” Kata temennya Anwar dengan logat sunda
“Bisnya ngebut, kang. Hahaha” Jawab Anwar asal

Kami semua berkenalan dan salaman dengan temannya Anwar, kecuali Tika dan Erna yang ternyata udah kenal duluan. Panggilannya Kang Ade. Kutaksir usianya tidak lebih dari 30an. Wajahnya bulat dihiasi jenggot tipis, lengkap dengan kupluk menempel di kepalanya. Kang Ade sempat cerita kalau kenal dengan Anwar, Tika, dan Erna sejak empat tahun lalu, saat mereka bertiga pertama kali naik Papandayan bareng rombongan lain.

Setelah tas terangkut semua ke atas pick up, satu per satu kami naik. Mobil berjalan menjauh dari terminal. Udara dingin Garut dini hari menerpa tubuh kami.

“Gue kira lu semua selalu bareng?” Kata Hari ke Jennifer
“Gue gak pernah sempet ikut ke Papandayan.” Jawab Jennifer
“Kenapa?” Tanya Hari lagi
“Selalu bentrok acara gereja.”
“Lah kalo sekarang?” Gantian aku bertanya
“Bolos dong sekali sekali hahaha.”

Eda sama Dani izin duduk bangku depan dan lanjut tidur lagi. Kang Ade ikut duduk di luar bareng kami.

“Perlu ditatar mereka berdua.” Anwar nunjuk ke Eda sama Dani
“Memang jarang pergi ke luar tuh anak berdua.” Kataku
“Suruh nyari kayu bakar aja ntar.” Kata Hari
“Suruh ngusir babi bisa kali hahahaahaha.” Kata Tika

Aku, Hari, dan Jennifer langsung nengok ke Tika.

“Eh, ada babi?” Tanyaku
“Kalau babi mah masih banyak, atuh. Mereka suka keluarnya malem.” Kang Ade nyahut
“Terus, ganggu gak, Kang?” Tanya Jennifer
“Mereka dateng karena bau makanan itu. Kalau diusirin sih ya pergi.”

Perjalanan setengah jam lebih akhirnya terhenti di sebuah masjid.

“Yuk, yang mau subuhan dulu, silahkan.” Kata Kang Ade.

Kami menurunkan tas, mengambil alat-alat cuci muka dan handuk. Di sini makin banyak pendaki Papandayan yang sedang transit. Suasanya gunung makin terasa bagiku. Rasanya jadi rindu dengan Bromo.

“Tas sama sepatunya sini titipin ke gue aja.” Kata Jennifer.
“Oke.” Sahutku

---

POV Jennifer

Aku turun pertama dari mobil.

“Woi, bangun, bangun! Subuhan dulu.” Jamet ngerusuhin bangku depan mobil.

Dani dan Eda ditepok Jamet dari luar pintu mobil. Lalu mereka berdua dengan mata sepet turun dari mobil. Eda menurunkan tasnya untuk mengambil alat cuci muka, sementara Dani berusaha menghirup udara dingin ini.

“Itu gunung apaan Na, lancip gitu puncaknya?” Tanyaku ke Erna
“Cikuray itu. Kata temen gue puncaknya sempit.” Jawabnya
“Pernah ke situ?”
“Belom sih.”

Erna melanjutkan bersih-bersih kamera DSLRnya di belakang pick up. Anak-anak yang lain mulai nitip tas dan sepatu kepadaku. Aku pun berpindah duduk di tepi rumput. Anwar lanjut pergi ke kamar mandi duluan, disusul Kang Ade, Jamet, Hari, Eda, Tika, dan gue.

“Lu lagi merah, Na?” Aku nanya ke Erna.
“Nggak kok, nih gue mau nitip tas, kamera, sama sepatu ya.” Katanya
“Gue pinjem kamera lu ya, Na.”
“Pake aja.”

Aku membuka-buka foto jepretan Erna. Di situ tertera tanggal 31 Desember 2016. Erna ikut acara malam tahun baruan di Kota Tua. Isi foto-fotonya penuh dengan mimik euforia orang-orang, pedagang, dan tentunya kembang api.

Agak lama gue menggeser-geser foto jepretan Erna. Tiba-tiba Dani ngongol di sampingku.

“Itu sama sekali gak ada foto mukanya doi?”
“Buset! Udahan lu? Cepet amat.” Aku kaget.
“Udah lama kali gue di dalem, Je. Itu gak ada mukanya Erna satu pun?” Dani kembali nanya
“Gak bakal dia sih.” Jawabku
“Kemaren sendirian dia di Kota?”
“Iya. Kalo gue mana boleh keluar, keluarga kumpul di rumah semua.”
“Anwar sama Tika?”
“Pacaran pasti.”

Dedikasi yang tinggi banget sama hobi. Itu lah si Erna. Aku jadi mikir, hobiku apaan ya?

---

Dua puluh menit kemudian, kami berkumpul lagi di parkiran. Fajar mulai terlihat dan puncak Cikuray tampak makin indah. Momen itu tentu gak lepas dari jepretan Erna dan anak-anak yang lain. Dani pun kembali membuka handphone dan merekam snapgram lagi.

“Ntar di atas gak ada sinyal loh.” Anwar ngomong dengan nada nakut-nakutin.
“Makanya gue banyakin upload sekarang aja.” Kata Dani

Kami semua masih menikmati waktu istirahat ini. Anwar sama Tika nyusul Kang Ade yang kayanya lagi ngopi di warung bawah bareng sopir.

“Eh, mau ke jajan ya, ikut dong gue!” Eda teriak ke Anwar. “Ikut gak, Dan?”
“Nitip aja. Roti ya.” Jawab gue
“Eh, gue ikut dong.” Jamet nyusul mereka

Rencana lanjut tidur anak-anak sejak tadi di terminal pupus semuanya. Aku kini ngobrol dengan sama Erna. Hari nelpon seseorang di deket pick up, lalu gak lama kemudian selesai. Dani milih menghampiri Hari.

---

POV Dani

“Heh, inhuman.” Bisik gue
“Apaan seh, Dan.” Ledeknya
“Gue tetep mantau, yeee.”
“Ada juga gue yang mantau lu, Dani.”
“Takut gue sange di sembarang tempat ya?”
“Heh ngomongnya.”

Hari tolah-toleh ke samping, takut suara gue kedengeran sama orang lain.

“Fix jadi agen S.H.I.E.L.D. nih?”
“Belom nentuin. Lagian gue bisa apaan sih.”
“Lah, lu kan inhuman.” Ledek gue lagi
“Au.” Hari kabur nyamperin Anwar dan kawan-kawan di bawah.

Gak lama kemudian, mereka kembali dan Eda bawain gue roti cokelat. Lalu, kami kembali menaikkan barang ke atas pick up lagi. Mobil perlahan keluar dari parkiran, kemudian perjalanan kami kembali berlanjut.

Gue dan Eda gabung di belakang, menggeser Kang Ade yang sekarang duduk di samping sopir. Obrolan ngalur ngidul tentang masa kuliah dulu terlontar di antara kami. Sampai-sampai tak terasa jalanan terus mulai menanjak.

Kami mulai sadar dengan kondisi jalanan ketika mobil meliuk-liuk menghindari lubang. Kami semua larut dalam pemandangan di kiri dan kanan yang sudah berupa perbukitan dan hutan.

Saat matahari mulai tampak, mobil berhenti di sebuah pos masuk. Banyak orang-orang dengan carrier turun dari pick up mereka masing-masing. Kang Ade dan Anwar turun dari mobil.

“Cuy, KTP, cuy.” Anwar menagih fotokopi KTP kepada kami semua.
“Kalo mau sarapan, warung di situ. Kalo oleh-oleh di situ.” Kang Ade menunjuk ke arah warung warung yang berjejer.

Anwar dan Kang Ade masuk ke dalam sebuah pos. Kami semua turun dari pick up dan mengangkat barang-barang kami. Pemandangan menjadi lebih gila buat gue. Tebing yang super tinggi menjulang di sebelah kanan. Sungai di kiri, dan di seberangnya kembali tebing menjulang. Di depan, asap membumbung tinggi dan bau belerang tercium menyengat.

Gue melihat kembali ke arah bangunan pos. Di sampingnya, tertulis CAGAR ALAM PAPANDAYAN. 2622 M DPL.

“Selamat datang di Papandayan, Guys!” Teriak Tika sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Semangatnya membara.
Lebay.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Kartika Rahayu


Ernawati


Jennifer


Kenia Dwi Lasya
 
Terakhir diubah:
Maaf telat editnya. Internet sempet lola


Ditunggu update nya gan..

Ane kebetulan ngikutin serial AoS & series marvel lainnya.. cuma belum sempet nonton luke cage doang.. haha..

Mantap! Jaket yang ane ceritain di sini sumbernya dari cerita Luke Cage lho gan hahaha. Coba deh nonton di episode terakhir.


Sah pemeran cewwknya cantik cantik ya.. Pemeran kenia ini kalau gak salah natasha wilona itu ya..

Kalo gak cantik kan gak eyecatching gan wkwk. Gambarnya public figur semua kok yang ane jadiin cerita.
 
Udah tgl 11.... belum ada kelanjutan antara Dani sama Hari ya....
Mungkin besuk nih!!! Mantab dah.

Ditunggu suhu updatenya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Pov'ny bnyk bgt, klo gk konsentrasi bacany jd bingung. Maaf otak saya dangkal.
 

New Portrait Cover​


Episode 13
Naik Naik Naik


POV Anwar

Gue sekarang sedang bergerak melangkah naik-turun dari aspal dan trotoar berulang kali. Tujuannya supaya gak kedinginan pagi ini. Walau pun matahari udah mulai tinggi dari tadi, tetep aja di ketinggian 2000 meter gak ngangkat suhu lebih dari 20 derajat.

Anak-anak menghangatkan diri dengan cara yang beda. Kang Ade dan sopirnya menghangatkan diri dengan ngerokok dan kopi hitam. Hari, Eda, dan para cewek pesen teh manis panas dan nasi yang digoreng dadakan, sementara Jamet kayanya gak kelihatan kedinginan sama sekali. Tapi dia tetep mesen teh panas.

“Beb, ini tehnya lho, keburu dingin.” Panggil Tika
“Iya, iya.” Gue bergabung dengan geng.
“Naik jam piro kita, War?” Tanya Jamet
“Santai aja dulu, abisin makanannya.” Jawab gue
“Jauh gak?” Tanya Eda
“Kalo jalan terus gak sampe dua jam lah. Kalo banyak foto ya lebih lama.”

Mereka-mereka yang belum pernah ke Papandayan terus bertanya ke gue soal rundown kegiatan nanti. Untungnya, Tika keluar bawelnya pas lagi dibutuhin. Gue lanjut makan nasi goreng yang cepet banget dinginnya kaya masuk kulkas.

Erna memilih lebih banyak menjepret momen kami bergurau daripada menjepret pemandangan.

“Tumben, Na, gak jepret gunung?” Tanya gue
“Jarang-jarang kan kita naik bareng mereka, War. Sayang kalo gak difoto.”

---

“Punten, semuanya.” Sopir pick up kami pamit.

Oke, sekarang waktunya naik. Para pendaki lain juga udah mulai ramai. Gue mengumpulkan anak-anak untuk berdiri dalam lingkaran. Kami briefing sejenak, memberi tahu cuaca saat ini yang kebetulan cerah dan medan perjalanan di depan. Selanjutnya, ditutup dengan doa. Sebelum naik, kami berfoto dengan background asap yang membumbung tinggi dari kawah.

Kami berangkat. Dua tenda masing-masing gue dan Kang Ade yang bawa. Eda bawa tendanya sendiri.

Baru lima belasan menit kami jalan, Dani dan Jeruk udah minta difotoin. Bagian kawah ini, walaupun berada di awal pendakian, memang jadi objek paling sering dipakai untuk foto. Gak heran banyak pendaki nyangkut lama di sini.

Cukup dengan foto, bagian kawah perlahan kami tinggalkan. Gue melihat Eda mulai ngos-ngosan.

---

POV Eda

Bagian kawah sudah kami tinggalkan di belakang. Dani paling repot minta difotoin, dan pasti lah Erna yang jadi target buat jadi tukang fotonya. Kami tiba di suatu puncak, dan gue memandang jauh ke arah orang-orang berjalan berbaris mirip semut di ujung bukit yang membentuk celah.

“Jalurnya sampai situ, War?” Tanya gue ke Anwar
“Iya, nanti nendanya di balik bukit situ.” Jawabnya
“Buset. Berapa lama tuh sampai situ?”
“Ya kalo foto terus gini bisa dua jam lebih. Belom lagi istirahatnya.”
“BANGKE!! DANI!!!!!!” Gue teriak

Gue mengutuk Dani yang nyuruh beli tenda sendiri. Dia, beberapa hari sebelumnya, terus menggoda gue biar bisa tidur berduaan. Begonya, gue kepikiran.

“Hahaha!” Anwar ketawa ngakak
“Sialan. Mana berat banget lagi.”
“Ya iyalah, itu tenda kapasitas 5 orang.”

Kami berjalan pelan-pelan supaya tetap dalam satu rombongan. Gue menghampiri Dani yang nempel terus bareng Jennifer. Kami tiba di suatu turunan, dan takjub dengan bekas longsoran besar, lebih seperti separuh bukit yang roboh.

“Ini longsor, nih?” Tanya Jennifer
“Kayanya.” Jawab Dani
“Iya, ini longsor, dulu tahun 2002. Waktu itu Papandayan erupsi.” Erna gabung.
“Oooooh.” Kami membuka mulut membentuk huruf O

Perjalanan kembali lanjut, setelah turunan ada sungai kecil. Kang Ade bilang airnya gak bagus di minum karena banyak belerangnya. Sekarang, track kembali naik. Pelan-pelan gue ketinggalan dengan rombongan yang lain. Cewek-cewek udah di depan duluan.

Hari sama Jamet jalan paling belakang. Kayanya gue bisa bareng mereka aja.

“Lama amat jalan lu, Har?” Tanya gue
“Nih, saran Jamet.” Hari nunjuk Jamet
“Yoi, kalo naik gunung tuh pelan-pelan aja. Capeknya jadi bisa diatur.”
“Gak takut ilang?” Tanya gue lagi.
“Ilang gimana? Semua orang berjejer gini kaya semut. Lagian pasti di ujung ditungguin.”

Jalan sama Hari dan Jamet emang terasa santai banget. Berkali-kali gue berhenti untuk minum pun gak pernah ketinggalan langkah mereka.

“Aku tahun lalu naik Semeru. Tracknya lebih jauh dari ini.” Jamet cerita
“Terus?” Tanya gue
“Nah, itu baru harus ngukur waktu supaya gak kemaleman.”
“Ikut-ikutan 5 cm yak?” tanya Hari
“Gak juga, sebenernya dari SMA udah kepengen. Tapi nyokapku masih ngelarang.”
“Ya iya lah, badan lu kan kurus, Met. Bisa mati kedinginan ntar hahaha.” Ledek gue

Gak kerasa, kami sudah hampir selesai berjalan. Satu setengah jam jalan bahu gue rasanya udah mau rontok. Gue nengok ke kiri, pemandangan kawah tampak kecil. Akhirnya, lewat juga celah bukit yang gue lihat tadi dari jauh.

Anwar lagi laporan di pos kecil, sementara yang lain sedang duduk-duduk di atas rumput.

“Wasu!! Ada yang jualan cilok!!” Jamet kaget sambil ketawa ngakak banget
“Emang ada, Met. Kaget kan hahaha. Nih mereka juga cekikian dari tadi.” Tika nunjuk Jennifer sama Dani yang sampai duluan.

Gue juga kaget sih, tapi gak separah Jamet yang sampe kelepasan ngomong asu. Pertama kali naik gunung, bayangan gue di atas adalah wilayah primitif. Ternyata ada juga yang jualan cilok.

“Yok jalan lagi.” Ajak Anwar
“Ke mana?” Tanya gue yang baru sampe
“Ke Pondok Saladah namanya. Kita nenda di situ.”
“Loh, gue kira di sini.”
“Ntar di sana ada yang jualan pop mie juga loh.” Ledek Tika
“WAHAHAHA!!!” Jamet makin ngakak

---

POV Tika

Jam satu siang lebih dikit, aku baru bangun tidur di tenda cewek. Di sebelahku ada Jennifer sama Erna yang masih tidur. Kebanyakan anak-anak juga tidur siang. Suasanya hari ini memang tumben panas, sampai semuanya kelelahan setelah mendirikan tenda satu setengah jam lalu. Ketiga tenda berposisi hadap-hadapan.

Aku keluar tenda. Ada Kang Ade lagi menghisap rokoknya di teras yang beratap terpal.

“Gak tidur, Kang?” Tanyaku
“Ini juga baru bangun, Tik. tidur di sini tadi.” Kang Ade nunjuk matras yang didudukinya
“Anwar mana. Kang?”
“Baru aja pergi nyari kayu sama siapa tuh yang kurusan.. Jamet ya?”

Aku nengok ke dalam tenda Eda, ngintip mereka, jadi apa nggak setenda bareng. Tapi ternyata kosong.

“Liat orang yang punya tenda gak, Kang?” Tanyaku lagi
“Yang cowoknya tidur di dalam sini nih.” Kang Ade nunjuk ke tenda cowok. “ Kalau ceweknya lagi ke toilet.”

Aku kembali masuk ke dalam tenda, mengeluarkan makanan-makanan dari dalam tas. Kemudian, galau memilih antara pop mie atau biskuit cokelat.

“Kang Ade, bawa kompor gas kecil kan?” Kepalaku keluar dari dalam tenda
“Bawa.”
“Eh, gak jadi deh, Kang. Buat ntar sore aja.”

Aku kemudian membuka biskuit cokelat, diiringi dengan colekan di pahaku dan kata “Bagi dong!” dari Jennifer.

---

Jam 3 sore, di tengah-tengah 3 tenda sudah terkumpul kayu bakar. Tapi kami bukan bersiap menyalakan api, melainkan untuk pergi ke hutan mati. Kang Ade gak ikut katanya, dia jaga tenda takut ada babi mulai dateng.

Pondok Saladah sudah ramai dengan para pendaki. Aku juga melihat toilet sudah mulai antri. Kami perlahan menyusur jalan berawa, lalu perlahan berganti dengan tanah putih vulkanik. Dari jauh mulai tampak lah batang-batang kayu hitam tanpa daun berdiri tegak.

Ini dia, hutan mati.

“Guys! Hutan mati!” Gue mempersembahkan kepada mereka yang baru pertama kali ke sini.

Selfie pun di mulai. Erna kembali jadi tukang foto, dan Dani model utamanya. Jennifer sesekali ditarik Dani untuk foto berdua.

“Beb, sekarang?” tanyaku ke Anwar
“Besok aja, pas sunrise.” Dia nepok-nepok tas kecil yang dibawanya
“Okeee.”

Kami berdua gabung foto-foto. Mulai dari foto bareng gaya formal, dab, hingga ala-ala boyband. Di suatu kesempatan, gue melihat Dani dan Eda ciuman. Orang gila dasar, gak tau tempat.

Kami kembali ke tenda saat mulai gerimis. Kang Ade menutupi kayu bakar dengan sisa terpal. Satu per satu berbagai macam produk makanan dikeluarkan untuk mengisi perut. Gengnya Eda semuanya kompak memilih bikin mie goreng, sedangkan aku, Anwar, dan Jennifer memilih pop mie. Erna menunggu antrian memasak air untuk teh panasnya. Lalu, Kang Ade tetap dengan rokok dan kopi hitamnya.

Selesai makan, semuanya tepar.

“Gue ke toilet dulu ya.” Kata Hari

---

POV Hari

Gue izin ke toilet sebentar ke anak-anak yang lagi ngumpul di depan tenda. Sabun cuci tangan gue ambil dari tas, lalu gue masukin ke kantong celana. Pas gue ke sana, ternyata antrian panjang banget. Gue kemudian balik ke tenda.

Gue balik ke tenda, sekedar lewat doang.

“Lah, balik lagi lu?” Eda negur
“Ngantri panjang banget, gila.” Jawab gue
“Kalo mau pipis sekalian agak jauh di sana aja. Ada selang air bocor dikit, lumayan buat cuci tangan.” Kang Ade nunjuk ke daerah miring, lewat rawa-rawa.
“Eh gue ikut deh kalo gitu. Mau cuci muka.” Dani nyamber tasnya ke dalem tenda

Kami berdua berjalan melewati rawa-rawa, lalu mendaki sedikit ke arah pipa bocor.

“Tadi gue diceritain Erna.” Dani ngajak ngobrol
“Apaan emang?”

Gue ngeri deh nih Dani ngomongin inhuman lagi.

“Ini tanah tempat bikin tenda dulunya bekas kawah purba. Makanya tanahnya masih empuk gini.”
“Ah, Masa?” Masa bodo, Dan. Untung bukan ngomongin Inhuman.

Kami tiba di selang yang bocor. Dani memulai ritual cuci mukanya. Gue berjalan agak jauh dikit ke sisi pohon yang gak bisa dilihat Dani. Mengucur lah pipis gue.

“Hari!!” Dani teriak manggil gue.
“Apaan?! Gue gak mau diintip ya!” Gue nyahut asal-asalan.

Kepala gue nengok dikit supaya kelihatan oleh Dani. Dia mengacungkan telunjuknya ke arah gue dengan muka waswas. Gue nengok ke bawah, rasanya penis gue masih kehalangan pohon, ah.

“Di belakang lu, Har!” Dani ngomel.

Gue nengok belakang dengan pipis yang masih mengucur dikit-dikit. Astaga! Lingkaran kembang api itu muncul lagi di tempat yang gak diinginkan. Gue panik, apa yang muncul dari dalam situ. Setan? Gak mungkin ah, Puri kan lagi sama S.H.I.E.L.D.

Tiba-tiba muncul satu kaki dari lubang itu. Seseorang mencoba berpijak. Tapi, pijakannya gagal, orang itu langsung berguling-guling ke bawah dan sempat kena air pipis gue.

“Aduh. Aduh. Asu. Aduh.” orang itu kesakitan. Badannya mendarat di rawa-rawa.

Gue sama Dani sekarang dalam kondisi setengah panik, setengah lagi mau ketawa. Dani nengok ke celana gue.

“Uhuk, gede juga, uhuk.”
“Eh, sorry.” Gue langsung naikin resleting celana.

Setelah celana rapi, gue cuci tangan bentar, lalu ngasih kode ke Dani untuk kabur pelan-pelan. Agak susah berjalan di tanah miring begini. Sesampainya di wilayah rawa dengan susah payah, si orang itu udah berdiri dan manggil kita. Seketika badan kami berdua seperti ditarik mendekati orang itu setelah dia melakukan gerakan ayunan tangan yang aneh.

Gue memerhatikan orang ini. Kaos polo garis-garis, celana bahan hitam polos, serta sendal jepit. Jelas dia bukan orang yang tau fashion. Mukanya tampak kotak, ditambah potongan rambutnya yang dipotong model tukul. Tapi mukanya lebih ganteng dikit lah daripada Tukul, dan lebih putih.

Orang itu nempelin telunjuknya di depan mulut, menyuruh diam. Kami berdua digiring menuju pepohonan supaya tersembunyi dari pandangan orang-orang.

“Maaf, mas, mbak, harus sampe narik segala. Lebih aman di sini.” Dia tolah-toleh.
“Lu mau apa!” Bentak gue
“Kalem, Mas, kalem. Saya bukan musuh kok.” Telapak tangannya berayun naik-turun kaya dribble bola basket

Gue pasang posisi waspada, Dani ngumpet di belakang gue. Badannya nempel semua ke punggung gue, payudaranya juga.

“Oke. Gini, mas, saya harus bilang makasih dulu udah ngalahin saya di Menara Saidah kemarin. Abis itu...”

Dia menjelaskan kejadian yang menimpanya. Waktu itu dia baru tiga hari pulang dari Nepal, tiba-tiba dia dibius dan diculik kelompok watchdog dan gak mampu membela diri. Setelah itu, dia selalu dipasangkan baju jaket dan helm pabrikan Hammer Tech.

Ini anak sopan banget ngomongnya. Gue jadi merasa aman untuk mengendurkan pertahanan.

“So, lu korban juga, gitu?” Tanya gue.
“Ya, gitu, Mas. Makanya makasih.” Katanya
“Cara kerja jaketnya gimana sih?” Gue nanya lagi.

“Ada remot kendali yang dipegang ketuanya. Nah, sekarang saya lagi ngejar dia.”
“Balas dendam?”

Gue nengok ke Dani. Gue ragu-ragu apakah Dani boleh mendengar obrolan ini apa nggak. Dia pun ikutan melihat ke arah Dani.

“Mbak, saya juga minta maaf, ya.” Kepalanya menunduk ke Dani
“Eh, iya.. eh, Har, aduh, gimana ini...”

Bener kan, Dani gak siap sama pembicaraan ini.

“Eh, kita belum kenalan. Saya Sigit.” Dia menjulurkan tangan
“Hari.” Gue menjulurkan tangan ragu-ragu.
“Dani.”

Sigit lanjut menjelaskan kalau dia mengejar Watchdog bukan untuk balas dendam, tapi untuk menolong beberapa inhuman yang masih dalam penculikan organisasi mereka. Dia butuh gue karena dia menganggap gue kuat, terlebih gue adalah anggota S.H.I.E.L.D.

“Saya tau kok kalo masnya ini anggota S.H.I.E.L.D. pasif.” Tembaknya
“Tau dari mana?”
“Aduh gimana ya jelasinnya... Saya gak bisa kaya Ancient One.”
“Ancient One?” Itu barang apa nama orang.
“Ada lah pokoknya. Intinya, saya bisa tau dan bisa ke mana-mana kalo saya mau.”
“Terus?”
“Dan saya butuh bantuan inhuman kaya Mas ini.”

Kampret, Sigit! Dani jadi tahu kan. Dia ngeliatin gue seolah ngomong "sekarang lu punya hutang cerita sekarang!".

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Kartika Rahayu



Ernawati



Jennifer

 
Terakhir diubah:
Makasih suhu update nya,,, wah sampe ability kaya doctor strange ada disini, mungkin nnti kayaknya ada sejenis black phanter,,, tp seru mas, aku suka ceritamu, lanjutkan mas, semangat,,,

Wah belom kepikiran same black panther sih hahaha. Tapi boleh lah ditampung.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd