New Portrait Cover
Episode 13
Naik Naik Naik
POV Anwar
Gue sekarang sedang bergerak melangkah naik-turun dari aspal dan trotoar berulang kali. Tujuannya supaya gak kedinginan pagi ini. Walau pun matahari udah mulai tinggi dari tadi, tetep aja di ketinggian 2000 meter gak ngangkat suhu lebih dari 20 derajat.
Anak-anak menghangatkan diri dengan cara yang beda. Kang Ade dan sopirnya menghangatkan diri dengan ngerokok dan kopi hitam. Hari, Eda, dan para cewek pesen teh manis panas dan nasi yang digoreng dadakan, sementara Jamet kayanya gak kelihatan kedinginan sama sekali. Tapi dia tetep mesen teh panas.
“Beb, ini tehnya lho, keburu dingin.” Panggil Tika
“Iya, iya.” Gue bergabung dengan geng.
“Naik jam piro kita, War?” Tanya Jamet
“Santai aja dulu, abisin makanannya.” Jawab gue
“Jauh gak?” Tanya Eda
“Kalo jalan terus gak sampe dua jam lah. Kalo banyak foto ya lebih lama.”
Mereka-mereka yang belum pernah ke Papandayan terus bertanya ke gue soal rundown kegiatan nanti. Untungnya, Tika keluar bawelnya pas lagi dibutuhin. Gue lanjut makan nasi goreng yang cepet banget dinginnya kaya masuk kulkas.
Erna memilih lebih banyak menjepret momen kami bergurau daripada menjepret pemandangan.
“Tumben, Na, gak jepret gunung?” Tanya gue
“Jarang-jarang kan kita naik bareng mereka, War. Sayang kalo gak difoto.”
---
“Punten, semuanya.” Sopir pick up kami pamit.
Oke, sekarang waktunya naik. Para pendaki lain juga udah mulai ramai. Gue mengumpulkan anak-anak untuk berdiri dalam lingkaran. Kami briefing sejenak, memberi tahu cuaca saat ini yang kebetulan cerah dan medan perjalanan di depan. Selanjutnya, ditutup dengan doa. Sebelum naik, kami berfoto dengan background asap yang membumbung tinggi dari kawah.
Kami berangkat. Dua tenda masing-masing gue dan Kang Ade yang bawa. Eda bawa tendanya sendiri.
Baru lima belasan menit kami jalan, Dani dan Jeruk udah minta difotoin. Bagian kawah ini, walaupun berada di awal pendakian, memang jadi objek paling sering dipakai untuk foto. Gak heran banyak pendaki nyangkut lama di sini.
Cukup dengan foto, bagian kawah perlahan kami tinggalkan. Gue melihat Eda mulai ngos-ngosan.
---
POV Eda
Bagian kawah sudah kami tinggalkan di belakang. Dani paling repot minta difotoin, dan pasti lah Erna yang jadi target buat jadi tukang fotonya. Kami tiba di suatu puncak, dan gue memandang jauh ke arah orang-orang berjalan berbaris mirip semut di ujung bukit yang membentuk celah.
“Jalurnya sampai situ, War?” Tanya gue ke Anwar
“Iya, nanti nendanya di balik bukit situ.” Jawabnya
“Buset. Berapa lama tuh sampai situ?”
“Ya kalo foto terus gini bisa dua jam lebih. Belom lagi istirahatnya.”
“BANGKE!! DANI!!!!!!” Gue teriak
Gue mengutuk Dani yang nyuruh beli tenda sendiri. Dia, beberapa hari sebelumnya, terus menggoda gue biar bisa tidur berduaan. Begonya, gue kepikiran.
“Hahaha!” Anwar ketawa ngakak
“Sialan. Mana berat banget lagi.”
“Ya iyalah, itu tenda kapasitas 5 orang.”
Kami berjalan pelan-pelan supaya tetap dalam satu rombongan. Gue menghampiri Dani yang nempel terus bareng Jennifer. Kami tiba di suatu turunan, dan takjub dengan bekas longsoran besar, lebih seperti separuh bukit yang roboh.
“Ini longsor, nih?” Tanya Jennifer
“Kayanya.” Jawab Dani
“Iya, ini longsor, dulu tahun 2002. Waktu itu Papandayan erupsi.” Erna gabung.
“Oooooh.” Kami membuka mulut membentuk huruf O
Perjalanan kembali lanjut, setelah turunan ada sungai kecil. Kang Ade bilang airnya gak bagus di minum karena banyak belerangnya. Sekarang, track kembali naik. Pelan-pelan gue ketinggalan dengan rombongan yang lain. Cewek-cewek udah di depan duluan.
Hari sama Jamet jalan paling belakang. Kayanya gue bisa bareng mereka aja.
“Lama amat jalan lu, Har?” Tanya gue
“Nih, saran Jamet.” Hari nunjuk Jamet
“Yoi, kalo naik gunung tuh pelan-pelan aja. Capeknya jadi bisa diatur.”
“Gak takut ilang?” Tanya gue lagi.
“Ilang gimana? Semua orang berjejer gini kaya semut. Lagian pasti di ujung ditungguin.”
Jalan sama Hari dan Jamet emang terasa santai banget. Berkali-kali gue berhenti untuk minum pun gak pernah ketinggalan langkah mereka.
“Aku tahun lalu naik Semeru. Tracknya lebih jauh dari ini.” Jamet cerita
“Terus?” Tanya gue
“Nah, itu baru harus ngukur waktu supaya gak kemaleman.”
“Ikut-ikutan 5 cm yak?” tanya Hari
“Gak juga, sebenernya dari SMA udah kepengen. Tapi nyokapku masih ngelarang.”
“Ya iya lah, badan lu kan kurus, Met. Bisa mati kedinginan ntar hahaha.” Ledek gue
Gak kerasa, kami sudah hampir selesai berjalan. Satu setengah jam jalan bahu gue rasanya udah mau rontok. Gue nengok ke kiri, pemandangan kawah tampak kecil. Akhirnya, lewat juga celah bukit yang gue lihat tadi dari jauh.
Anwar lagi laporan di pos kecil, sementara yang lain sedang duduk-duduk di atas rumput.
“Wasu!! Ada yang jualan cilok!!” Jamet kaget sambil ketawa ngakak banget
“Emang ada, Met. Kaget kan hahaha. Nih mereka juga cekikian dari tadi.” Tika nunjuk Jennifer sama Dani yang sampai duluan.
Gue juga kaget sih, tapi gak separah Jamet yang sampe kelepasan ngomong asu. Pertama kali naik gunung, bayangan gue di atas adalah wilayah primitif. Ternyata ada juga yang jualan cilok.
“Yok jalan lagi.” Ajak Anwar
“Ke mana?” Tanya gue yang baru sampe
“Ke Pondok Saladah namanya. Kita nenda di situ.”
“Loh, gue kira di sini.”
“Ntar di sana ada yang jualan pop mie juga loh.” Ledek Tika
“WAHAHAHA!!!” Jamet makin ngakak
---
POV Tika
Jam satu siang lebih dikit, aku baru bangun tidur di tenda cewek. Di sebelahku ada Jennifer sama Erna yang masih tidur. Kebanyakan anak-anak juga tidur siang. Suasanya hari ini memang tumben panas, sampai semuanya kelelahan setelah mendirikan tenda satu setengah jam lalu. Ketiga tenda berposisi hadap-hadapan.
Aku keluar tenda. Ada Kang Ade lagi menghisap rokoknya di teras yang beratap terpal.
“Gak tidur, Kang?” Tanyaku
“Ini juga baru bangun, Tik. tidur di sini tadi.” Kang Ade nunjuk matras yang didudukinya
“Anwar mana. Kang?”
“Baru aja pergi nyari kayu sama siapa tuh yang kurusan.. Jamet ya?”
Aku nengok ke dalam tenda Eda, ngintip mereka, jadi apa nggak setenda bareng. Tapi ternyata kosong.
“Liat orang yang punya tenda gak, Kang?” Tanyaku lagi
“Yang cowoknya tidur di dalam sini nih.” Kang Ade nunjuk ke tenda cowok. “ Kalau ceweknya lagi ke toilet.”
Aku kembali masuk ke dalam tenda, mengeluarkan makanan-makanan dari dalam tas. Kemudian, galau memilih antara pop mie atau biskuit cokelat.
“Kang Ade, bawa kompor gas kecil kan?” Kepalaku keluar dari dalam tenda
“Bawa.”
“Eh, gak jadi deh, Kang. Buat ntar sore aja.”
Aku kemudian membuka biskuit cokelat, diiringi dengan colekan di pahaku dan kata “Bagi dong!” dari Jennifer.
---
Jam 3 sore, di tengah-tengah 3 tenda sudah terkumpul kayu bakar. Tapi kami bukan bersiap menyalakan api, melainkan untuk pergi ke hutan mati. Kang Ade gak ikut katanya, dia jaga tenda takut ada babi mulai dateng.
Pondok Saladah sudah ramai dengan para pendaki. Aku juga melihat toilet sudah mulai antri. Kami perlahan menyusur jalan berawa, lalu perlahan berganti dengan tanah putih vulkanik. Dari jauh mulai tampak lah batang-batang kayu hitam tanpa daun berdiri tegak.
Ini dia, hutan mati.
“Guys! Hutan mati!” Gue mempersembahkan kepada mereka yang baru pertama kali ke sini.
Selfie pun di mulai. Erna kembali jadi tukang foto, dan Dani model utamanya. Jennifer sesekali ditarik Dani untuk foto berdua.
“Beb, sekarang?” tanyaku ke Anwar
“Besok aja, pas sunrise.” Dia nepok-nepok tas kecil yang dibawanya
“Okeee.”
Kami berdua gabung foto-foto. Mulai dari foto bareng gaya formal, dab, hingga ala-ala boyband. Di suatu kesempatan, gue melihat Dani dan Eda ciuman. Orang gila dasar, gak tau tempat.
Kami kembali ke tenda saat mulai gerimis. Kang Ade menutupi kayu bakar dengan sisa terpal. Satu per satu berbagai macam produk makanan dikeluarkan untuk mengisi perut. Gengnya Eda semuanya kompak memilih bikin mie goreng, sedangkan aku, Anwar, dan Jennifer memilih pop mie. Erna menunggu antrian memasak air untuk teh panasnya. Lalu, Kang Ade tetap dengan rokok dan kopi hitamnya.
Selesai makan, semuanya tepar.
“Gue ke toilet dulu ya.” Kata Hari
---
POV Hari
Gue izin ke toilet sebentar ke anak-anak yang lagi ngumpul di depan tenda. Sabun cuci tangan gue ambil dari tas, lalu gue masukin ke kantong celana. Pas gue ke sana, ternyata antrian panjang banget. Gue kemudian balik ke tenda.
Gue balik ke tenda, sekedar lewat doang.
“Lah, balik lagi lu?” Eda negur
“Ngantri panjang banget, gila.” Jawab gue
“Kalo mau pipis sekalian agak jauh di sana aja. Ada selang air bocor dikit, lumayan buat cuci tangan.” Kang Ade nunjuk ke daerah miring, lewat rawa-rawa.
“Eh gue ikut deh kalo gitu. Mau cuci muka.” Dani nyamber tasnya ke dalem tenda
Kami berdua berjalan melewati rawa-rawa, lalu mendaki sedikit ke arah pipa bocor.
“Tadi gue diceritain Erna.” Dani ngajak ngobrol
“Apaan emang?”
Gue ngeri deh nih Dani ngomongin inhuman lagi.
“Ini tanah tempat bikin tenda dulunya bekas kawah purba. Makanya tanahnya masih empuk gini.”
“Ah, Masa?” Masa bodo, Dan. Untung bukan ngomongin Inhuman.
Kami tiba di selang yang bocor. Dani memulai ritual cuci mukanya. Gue berjalan agak jauh dikit ke sisi pohon yang gak bisa dilihat Dani. Mengucur lah pipis gue.
“Hari!!” Dani teriak manggil gue.
“Apaan?! Gue gak mau diintip ya!” Gue nyahut asal-asalan.
Kepala gue nengok dikit supaya kelihatan oleh Dani. Dia mengacungkan telunjuknya ke arah gue dengan muka waswas. Gue nengok ke bawah, rasanya penis gue masih kehalangan pohon, ah.
“Di belakang lu, Har!” Dani ngomel.
Gue nengok belakang dengan pipis yang masih mengucur dikit-dikit. Astaga! Lingkaran kembang api itu muncul lagi di tempat yang gak diinginkan. Gue panik, apa yang muncul dari dalam situ. Setan? Gak mungkin ah, Puri kan lagi sama S.H.I.E.L.D.
Tiba-tiba muncul satu kaki dari lubang itu. Seseorang mencoba berpijak. Tapi, pijakannya gagal, orang itu langsung berguling-guling ke bawah dan sempat kena air pipis gue.
“Aduh. Aduh. Asu. Aduh.” orang itu kesakitan. Badannya mendarat di rawa-rawa.
Gue sama Dani sekarang dalam kondisi setengah panik, setengah lagi mau ketawa. Dani nengok ke celana gue.
“Uhuk, gede juga, uhuk.”
“Eh, sorry.” Gue langsung naikin resleting celana.
Setelah celana rapi, gue cuci tangan bentar, lalu ngasih kode ke Dani untuk kabur pelan-pelan. Agak susah berjalan di tanah miring begini. Sesampainya di wilayah rawa dengan susah payah, si orang itu udah berdiri dan manggil kita. Seketika badan kami berdua seperti ditarik mendekati orang itu setelah dia melakukan gerakan ayunan tangan yang aneh.
Gue memerhatikan orang ini. Kaos polo garis-garis, celana bahan hitam polos, serta sendal jepit. Jelas dia bukan orang yang tau fashion. Mukanya tampak kotak, ditambah potongan rambutnya yang dipotong model tukul. Tapi mukanya lebih ganteng dikit lah daripada Tukul, dan lebih putih.
Orang itu nempelin telunjuknya di depan mulut, menyuruh diam. Kami berdua digiring menuju pepohonan supaya tersembunyi dari pandangan orang-orang.
“Maaf, mas, mbak, harus sampe narik segala. Lebih aman di sini.” Dia tolah-toleh.
“Lu mau apa!” Bentak gue
“Kalem, Mas, kalem. Saya bukan musuh kok.” Telapak tangannya berayun naik-turun kaya dribble bola basket
Gue pasang posisi waspada, Dani ngumpet di belakang gue. Badannya nempel semua ke punggung gue, payudaranya juga.
“Oke. Gini, mas, saya harus bilang makasih dulu udah ngalahin saya di Menara Saidah kemarin. Abis itu...”
Dia menjelaskan kejadian yang menimpanya. Waktu itu dia baru tiga hari pulang dari Nepal, tiba-tiba dia dibius dan diculik kelompok watchdog dan gak mampu membela diri. Setelah itu, dia selalu dipasangkan baju jaket dan helm pabrikan Hammer Tech.
Ini anak sopan banget ngomongnya. Gue jadi merasa aman untuk mengendurkan pertahanan.
“So, lu korban juga, gitu?” Tanya gue.
“Ya, gitu, Mas. Makanya makasih.” Katanya
“Cara kerja jaketnya gimana sih?” Gue nanya lagi.
“Ada remot kendali yang dipegang ketuanya. Nah, sekarang saya lagi ngejar dia.”
“Balas dendam?”
Gue nengok ke Dani. Gue ragu-ragu apakah Dani boleh mendengar obrolan ini apa nggak. Dia pun ikutan melihat ke arah Dani.
“Mbak, saya juga minta maaf, ya.” Kepalanya menunduk ke Dani
“Eh, iya.. eh, Har, aduh, gimana ini...”
Bener kan, Dani gak siap sama pembicaraan ini.
“Eh, kita belum kenalan. Saya Sigit.” Dia menjulurkan tangan
“Hari.” Gue menjulurkan tangan ragu-ragu.
“Dani.”
Sigit lanjut menjelaskan kalau dia mengejar Watchdog bukan untuk balas dendam, tapi untuk menolong beberapa inhuman yang masih dalam penculikan organisasi mereka. Dia butuh gue karena dia menganggap gue kuat, terlebih gue adalah anggota S.H.I.E.L.D.
“Saya tau kok kalo masnya ini anggota S.H.I.E.L.D. pasif.” Tembaknya
“Tau dari mana?”
“Aduh gimana ya jelasinnya... Saya gak bisa kaya Ancient One.”
“Ancient One?” Itu barang apa nama orang.
“Ada lah pokoknya. Intinya, saya bisa tau dan bisa ke mana-mana kalo saya mau.”
“Terus?”
“Dan saya butuh bantuan inhuman kaya Mas ini.”
Kampret, Sigit! Dani jadi tahu kan. Dia ngeliatin gue seolah ngomong "sekarang lu punya hutang cerita sekarang!".
BERSAMBUNG