Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI (Update Part 15!) Pengalaman yang Mengubah Hidupku Bersama Mama dan Tante Lia

Status
Please reply by conversation.

mastershinden

Kakak Semprot
Daftar
23 Jun 2018
Post
192
Like diterima
397
Lokasi
Nomaden
Bimabet
Izinkan nubie membagikan cerita panas ane. Ceritanya merupakan remake dari salah satu cerita di forum ini. Ane sangat menanti komentar, kritik, dan saran dari suhu-suhu disini. Selamat menikmati!:tegang:

Part 1: Tersesat di Hutan


Namaku Rendy, usiaku 18 tahun. Aku tinggal di Jakarta dan baru saja lulus dari suatu SMA negeri di kota itu. Melalui tulisan ini aku akan menceritakan pengalamanku bersama mama dan tanteku yang merubah hidupku.

Mamaku bernama Linda. Diusianya yang 42 tahun, wajah mama terlihat cantik sekali, kulitnya putih, dan cukup awet muda. Meskipun tidak selangsing dulu, tetapi tetap menampakan aura kecantikannya. Untuk menghidupi keluarga, sebagai orang tua tunggal, mama sehari-hari bekerja di perusahaan asuransi. Bekerja di perusahaan itu menyebabkan mama tetap menjaga kecantikan tubuhnya agar banyak orang yang tertarik berasuransi di perusahaannya, apalagi produk asuransi yang mama bidangi ditujukan untuk perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan, papaku sudah meninggal 7 tahun lalu, sehingga sebagai anak tunggal aku sering diminta mama untuk membantunya melakukan ini itu.


Suatu hari mama memintaku mengantarkan dia ke pernikahan sepupunya di kota Solo minggu depan. Kota Solo jaraknya cukup jauh, lebih dari 500 km dari Jakarta. Ternyata, tanteku akan ikut juga namun suaminya tidak bisa ikut karena tidak mendapat izin cuti.

Tanteku bernama Lia, dia juga tinggal di Jakarta. Usianya 38 tahun. Sama seperti mama, Tante Lia juga berparas cantik dan awet muda. Tubuhnya juga masih terjaga kelangsingannya karena rajin berolahraga. Tante Lia biasa memakai hijab, tetapi masih tergolong hijab kekinian alias jilboobs, sehingga aku masih bisa melihat tonjolan payudaranya di bajunya ketika hijabnya tersingkap. Tante Lia merupakan ibu rumah tangga yang sudah punya dua anak perempuan yang berusia 10 dan 8 tahun. Suami Tante Lia bekerja diperusahaan yang sama dengan mama, bahkan Tante Lia bertemu dengan lelaki yang sekarang jadi suaminya itu ketika tante sedang menjemput mama di kantor.


Hari yang dinanti pun tiba. Setelah kami menjemput Tante Lia di rumahnya, kami langsung berangkat. Perjalanan kami cukup menyenangkan karena cuaca cukup cerah dan tidak macet. Tetapi, di suatu daerah yang memiliki jalur tanjakan curam dan berkelok kelok, cuaca berubah. Tiba-tiba turun hujan yang sangat deras. Ditambah hari juga sudah sore, sehingga kemacetan pun tak dapat dihindari. Tante Lia berusaha mencari jalan pintas melalui aplikasi peta di hp nya.

“Ren, ini menurut peta ada jalan pintas dari sini. Nih liat bisa hindarin macet ngelewatin jalan-jalan kecil” kata Tante Lia yang duduk disampingku sambil menyerahkan hpnya kepada ku.

“Kamu yakin Li?” Tanya mama yang terlihat tidak yakin.

“ Yakin, tuh mobil-mobil juga pada belok kesitu mbak” Tante Lia membalas.

“Gimana Ren? Mau ga?” Tanya mama kepada ku.

“Dicoba dulu deh ma” jawabku.

Akhirnya kami mencoba jalan itu dengan harapan menghindari kemacetan dan cepat sampai di kota Semarang untuk beristirahat. Kami sudah merencanakan menginap dulu di kota Semarang untuk beristirahat dan esoknya melanjutkan perjalanan.

Hujan semakin deras saja dan jarak pandang semakin pendek. Suhu didalam mobil semakin dingin sehingga mama memakai jaketnya sedangkan Tante Lia tampak merapatkan pakaiannya saja. Kami terus mengikuti jalan yang terdapat di peta namun lama-lama aku mulai curiga karena suasana jalan semakin sepi dan sekeliling kami adalah hutan. Aku menjalankan mobil secara perlahan. Suasana di kanan kiri gelap gulita, hanya tampak bayangan batang-batang pohon dan semak belukar. Penderitaan lengkap sudah ketika ban mobil terperosok di tanah yang lunak akibat hujan tadi dan mobilku tak kuat untuk keluar dari lubang itu. Mesin sudah ku gas penuh tetapi putaran ban yang kencang itu tetap tidak mampu mendorong mobil. Setelah sekian lama berusaha tampaknya aku mulai menyerah.

“Mah gimana nih, mobilnya ga bisa jalan.” Kataku kepada mama.

“Kamu sih Lia, asal ambil jalan aja” Mama menyalahkan Tante Lia

“Yah kan ga tau bakal kaya gini” Tante Lia menjawabnya dengan nada bersalah, kemudian ia mengecek hpnya dan menggerutu, “Duh sinyalnya hilang.”

“Ma, tolong pegang kemudi, Rendy mau keluar dorong mobil”, Ujarku.

Dengan masih ngomel, mama bertukar posisi di belakang kemudi begitu aku keluar. Hujan segera membuatku basah kuyub . Sial, gumamku dalam hati. Ban itu begitu dalam terperosok, membuat setiap usahaku sia-sia selain hanya menghasilkan semburan lumpur ke celana pendek dan kausku. Kemudian ku sadari, bahwa hanya sekian meter di belakang mobil adalah sekumpulan pohon-pohon besar, demikian juga di depan. Berarti jalan yang kami lewati tadi bak hilang di telan bumi dan membuatku mulai merinding. Aku kembali masuk ke dalam mobil.

Sudah dua jam menunggu tetapi hujan tidak kunjung reda. Dari kejauhan aku melihat suatu cahaya yang bergerak. Lama-lama cahaya itu mulai mendekat. Dari kegelapan muncul sosok lelaki paruh baya, bertelanjang dada dan memakai caping lebar. Ia mengetuk kaca pintu mobil kami. Aku segera menurunkan kacanya.

“Ada yang bisa saya bantu, le?’’, tanyanya dengan suara yang parau namun cukup nyaring terdengar di tengah gemuruh hujan dan guntur.

“Kami kesasar dan mobil kami terperosok pak”, jawabku setengah berteriak.

“Wah susah juga ngedorongnya kalo hujan hujan gini. Lagian kalo berhasil, nanti didepan juga bakal terperosok lagi, banyak lubangnya di depan.” Balas si bapak tua itu.

Tetapi orang tua itu lantas membantuku mendorong agar mobil itu keluar dari jebakan lubang. Namun tetap tak berhasil. Kini bahkan akibat kikisan tanah, seluruh ban mobil itu terperosok.

“Sebaiknya tunggu besok pagi saja, le…, kampung terdekat juga jaraknya 15 kilo lebih. Kalau sampeyan mau, malam ini nginap digubuk saya saja sama anak dan istri saya”, ujarnya dengan datar namun sepertinya tulus.

Daripada aku tinggal di mobil dan tiba-tiba kaca diketuk kuntilanak atau gendruwo lebih baik aku turuti beliau. Namun tentu saja, aku harus minta persetujuan mama dan Tante Lia dahulu. Setelah berdebat, akhirnya mereka mau juga. Kami pikir lebih baik berada di tempat yang kering dan hangat daripada terjebak di dalam mobil. Segera ku sambar ranselku sementara mama dan tante Lia hanya membawa tas tangan masing-masing. Dengan berpayung mereka mengikuti langkahku di belakang bapak tua tadi.

Jalan setapak yang becek di tengah hutan itu membuat mama dan tante berkali-kali terpleset, membuatku berkali-kali harus memapah mereka, tentu saja setelah terlebih dahulu dihadiahi sumpah serapah mereka. Payung yang mereka bawa terasa jadi percuma, karena tak mampu mencegah mereka menjadi basah kuyub. Cukup lama kami berjalan hingga kami melihat gubuk dari bambu dengan cahaya remang-remang dari dalamnya. Rumah itu tampak sederhana, pantas si lelaki misterius itu menyebutnya gubuk. Sebuah rumah limas khas jawa dengan empat tiang kayu di bagian tengah, beratap genteng tanpa plafon, berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Di dalamnya hanya meja kursi tua, dua dipan sederhana dan dua lemari reyot menempel di dinding. Dua lampu teplok yang kacanya telah menghitam menjadi alat penerang rumah tersebut, dan satu-satunya alat hiburan adalah radio transistor tua yang memperdengarkan suara pertunjukan wayang kulit mengiringi gemuruh hujan di luar, menambah suasana magis malam itu. Sial bagi Tante Lia. Dalam cahaya yang remang-remang, tak sengaja aku melihat Tante Lia yang menggunakan atasan merah jambu, BH hitamnya tampak terceplak karena basah hujan sehingga membuat pakaiannya menjadi agak transparan. Menyadari kenakalan ku, Tante Lia segera menutupi dadanya dengan hijabnya. Sementara itu mama yang memakai dress hitam tampak basah kuyup sehingga dressnya cukup membentuk mengikuti lekuk tubuh mama.


Sampai digubuk itu, tampak sepasang perempuan di atas dipan tengah tertidur, terdiri dari wanita separuh baya dan satu lagi seorang gadis yang kira-kira seusiaku.

“Ayuh.. Dang tangi, ono tamu, dang gawekno wedhang”, (ayo cepat bangun, ada tamu, cepat bikinkan minum), ujar si bapak membangunkan isteri dan anaknya, kira-kira begitu menurut perkiraanku, walau tak bisa bahasa jawa tapi sedikit banyak aku bisa memahaminya karena mama kebetulan orang Jawa dan sering menggunakan Bahasa Jawa jika bertemu kerabatnya.

Dengan segera mereka beranjak bangun meninggalkan dipan yang hanya beralaskan tikar dan selimut kumal itu. Untuk ukuran desa sekalipun, si gadis berwajah cukup manis sementara ibunya sedikit lebih besar dengan wajah biasa saja. Si anak memakai memakai kain batik lusuh yang dililitkan menjadi kemben sebatas dada. Sedangkan si ibu memakai BH putih lusuh dan kain sarung dari batik yang hanya diikat sebatas pinggangnya saja, layaknya kebiasaan wanita di desa, sehingga perut gempal berlemak khas ibu-ibu terlihat. Tampak jelas bahwa payudara sang ibu lebih besar daripada punya si anak, bahkan belahan dada si ibu sangat terbuka. Belahan dada si ibu menjadi pemandangan yang paling baik di rumah ini.

Dalam hati timbul rasa iba di hatiku melihat bagaimana miskinnya mereka, sekaligus juga bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tinggal di tengah hutan dan terpencil seperti ini.

“Kalian basah kuyub semua, sebaiknya ganti pakaian daripada masuk angin, silahkan ke belakang saja, kalau mau buang air dan bersih-bersih juga ada sumur”, ujar si bapak.

Aku segera menyambar ransel, tapi mama dan Tante Lia saling bertatapan bingung, tentu saja, mereka meninggalkan tas pakaian mereka di bagasi mobil. Sial, nampaknya aku lagi yang harus mengambilnya. Namun sebelum perintah mereka keluar, si lelaki itu berkata, “kalau mau biar pakai pakaian anak dan isteri saya, maaf kalau kurang berkenan.”

Aku menatap mama dan Tante Lia dengan wajah memelas, berharap tidak diberi tugas untuk mengambil baju mereka di mobil. Mereka mengangguk.

”Maaf lho pak kalau ngerepotin”, ujar Tante Lia.

Dari dalam lemari reot, si bapak mengeluarkan setumpuk pakaian. Setelah dilihat, pakaian tadi hanya berupa dua lembar kain batik yang agak using dan dua kaus lusuh.

“Maaf bu, hanya ini pakaian yang kami punya”, kata si bapak

Mama agak kaget sebenarnya, namun dalam keadaan seperti ini mama harus menerimanya. “Tidak apa apa pak, makasih ya.”

Mama dan Tante Lia saling berpandangan. Setelah itu pembicaraan singkat terjadi antara Tante Lia dan mama. “mama dan tante duluan”, ujar mama tiba-tiba kepadaku sambil bergegas dengan menggamit tangan tante lia ke bagian belakang rumah yang dibatasi oleh dinding papan. Aku menunggu dengan duduk di kursi tua itu, sang lelaki paruh baya itu juga duduk di hadapanku sambil melinting tembakau dengan kertasnya dan menyalakan rokok. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi namun sorotan matanya sangat tajam dan berwibawa. Tubuhnya yang bertelanjang dada itu juga tampak kekar menggambarkan ia sebagai lelaki yang ulet. “Maaf, kalau boleh tahu, nama bapak siapa?,” tanyaku mencoba basa basi. “Panggil saja Pak Simo”, jawabnya sambil menghembuskan asap rokok lintingan yang beraroma aneh itu. “Enngh…bapak udah lama tinggal di sini?’’, tanyaku lagi. “Lebih tiga puluh tahun”, jawabnya singkat. ”Ini satu-satunya tanah warisan bapak saya dulu, pekerjaan saya buruh tani dan sesekali ngobati orang”, ujarnya lagi seolah-olah sudah tahu pertanyaanku berikutnya, walau aku sedikit tertegun dengan perkataan ngobati orang, tapi untuk tak menyinggung urung aku tanyakan. “Saya terimakasih banyak lho pak atas bantuannya”, ujarku setelah hening sekian lama. Ia hanya menghembuskan asap rokok, lalu berkata…”Kalian harusnya hati-hati melewati hutan ini, harus kulo nuwun,’’ ujarnya dengan nada sedikit tegas.

Tak lama, Mama dan Tante Lia kembali dengan memakai kaus lusuh dan menggunakan kain batik itu sebagai sarung. Tampak payudara mereka sangat membusung pada kaus lusuh yang ternyata sangat kekecilan sehingga tidak bisa menutupi perut secara keseluruhan. Ditambah, kaus yang dipakai mereka mempunyai beberapa robekan seperti di bagian dada, perut, dan punggung. Mama dan Tante Lia tampak risih dengan penampilan mereka karena khawatir pemandangan indah itu dinikmati oleh dua laki-laki digubuk ini, yaitu aku dan si bapak. Tante Lia yang biasa berhijab tampak terpaksa menggunakan pakaian ala kadarnya itu. Namun yang membuatku jengah adalah menyadari bahwa puting payudara keduanya tampak jelas menonjol walaupun di tengah cahaya temaram lampu teplok. “Kamu jangan ke belakang dulu,” ujar mama menyadarinya. Akhirnya mama kembali ke belakang dan kembali keluar dengan hanya menggunakan kain yang diikat sebatas dada menjadi kemben. Tante Lia pun menyusul melakukan hal yang sama. Saat kembali, Tante Lia sudah melepas kain hijabnya dan terlihat seperti berusaha melindungi bagian dadanya yang tidak tertutup kemben dengan kain hijab yang ia pakai sebelumnya. Selain itu, kemben yang mereka pakai ternyata tetap tak mampu menutupi seluruh payudara dan paha mereka, sehingga dada mereka masih terlihat membusung bahkan pemandangan indah tersebut ditambah dengan belahan dada dan paha keduanya yang masih terumbar. Mama dan Tante Lia juga terlihat sudah tidak menggunakan BH mereka yang ditandai tidak adanya tali BH yang melintang di pundak mereka, mungkin karena ikut basah. Hal itu membuat pundak mulus mereka menjadi terekspos. Menurutku sih model pakaian yang sekarang tidak lebih baik daripada yang tadi. Melihat pemandangan itu aku mulai berdesir dan gairah ku bangkit. Tapi aku berusaha menjauhkan perasaan itu. Untuk itu, aku langsung beranjak ke belakang untuk berganti pakaian dengan kaus dan celana dari ranselku.

Mama dan tante tengah bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah ketika aku tiba dari belakang. Aku segera bergabung. Pak Simo meladeni ocehan mereka dengan datar dan singkat. Matanya tajam menatap mama dan tante, membuat mereka tampak rikuh dan mengurangi intensitas omongan mereka. Aku duduk diantara mama dan tante lia. Tak lama kemudian, Datanglah si anak membawa baki berisi tiga gelas minuman yang tampaknya berisi makanan dan minuman hangat. Ketika si anak menunduk untuk menaruh baki di dipan, aku bisa melihat belahan serta bongkahan payudaranya dari balik kembennya.

“Silakan diminum mas, bu”, kata si anak sambil senyum menggoda.

Kurasa senyum itu ditujukan kepadaku. Si anak kemudian duduk di dipan yang berseberangan dengan dipan kami. Disitu sudah ada si bapak dan si ibu yang sudah duduk duluan.

“Maaf bu, mas, hanya ini yang bisa kami sediakan”, kata si bapak ketika kami sedang menyantap hidangan yang mereka berikan.

Minuman yang mereka sediakan adalah wedang jahe dan singkong rebus, cukup menghangatkan tubuh kami di tengah rintik hujan yang entah kapan akan reda.

“Tidak apa-apa pak, maaf udah ngerepotin kata Tante Lia.

“Nama saya Simo, ini istri saya namanya Sekar, dan anak saya Asih, dia baru 16 tahun”, si bapak mengenalkan diri.


*Pic Bu Sekar milik Om Aris Baru*

Wow pikirku, anak 16 tahun sudah secantik itu dan mempunyai payudara yang cukup besar.

“Kalian bisa bermalam disini dulu, nanti pagi sepertinya hujan sudah reda”, kata Bu Sekar.

“Gimana Mbak Linda?” Tanya Tante Lia.

“Yaudah gapapa, toh kita emang rencananya mau nginep dulu semalem di Semarang”, jawab mama.

Bincang bincang kami terus berlanjut hingga malam makin larut. Kemudian mama dan Tante Lia pamit untuk tidur. Sementara itu Pak Simo menyalakan rokoknya dan keluar dari gubuk itu. Bu Sekar dan Asih bersiap tidur di dipan mereka yang tadi, sementara aku, mama dan Tante Lia tidur di dipan yang tadi kami duduki. Malam semakin larut tapi aku tidak bisa tidur. Aku merasakan hal yang aneh, aku merasakan tubuhku makin hangat dan gairahku semakin menyala, apalagi disekelilingku ada empat wanita yang hanya memakai pakaian minim. Aku juga melihat mama dan tante yang sudah terlelap mulai seperti orang gelisah. Badan mereka mulai tidak bisa diam dan juga mendesah pelan.

Apakah yang akan terjadi selanjutnya?

To be continued.......

Index:
Part 2: Permainan Dimulai, Page 3
Part 3: Ahh... Akhirnya Ku Eksekusi Mama dan Tante Lia, Page 7
Part 4: Kandang Hewan Penuh Kenikmatan, Page 10
Part 5: Hari Kedua, Page 14
Part 6: Hukuman untuk Mama, Page 19
Part 7: Hukuman untuk Mama dan Hadiah untuk Tante Lia, Page 26
Part 8: Permainan Terakhir, Page 26
Part 9: Homecuming, Page 32
Part 10: Perang Batin Tante Lia, Page 33 (Spesial Edisi POV Tante Lia)
Part 11: Gara-Gara Rendang,
Page 42
Intermezzo, Page 44
Part 12: Mama Mulai Terjerumus (POV Mama), Page 45
Part 13: Ketahuan Mama Berujung Nikmat, Page 48
Trivia, Page 49
Intermezzo, Page 52
Part 14: Pengakuan Tante Lia, Page 52
Part 15: Nostalgia Lesbi Mama dan Tante Lia,
Page 56
 
Terakhir diubah:
Semoga lanjutan nya mama sama Tante hamil benih nya Rendy dan kelanjutan hubungan mereka ketika hamil sampe melahirkan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Iya, bukan repost ini.
Ini remake. Karena di cerita aslinya nggak disebutin mama secantik itu & kerja di perusahaan asuransi, tante nya juga bukan jilboob ataupun pake kerudung.
Lanjutkan hu... mantep ini. :mantap:


Btw, apakah kira-kira nanti misterinya masih dipertahankan seperti yang ada cerita aslinya suhu?:D
Suhu meratiin bgt detailnya :beer:

Pastinya unsur misteri tetep dipertahankan kok
 
Iya, bukan repost ini.
Ini remake. Karena di cerita aslinya nggak disebutin mama secantik itu & kerja di perusahaan asuransi, tante nya juga bukan jilboob ataupun pake kerudung.
Lanjutkan hu... mantep ini. :mantap:


Btw, apakah kira-kira nanti misterinya masih dipertahankan seperti yang ada cerita aslinya suhu?:D
Suhu meratiin bgt detailnya :beer:

Pastinya unsur misteri tetep dipertahankan kok
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd