Fragmen 75
Nirvana dan Purnama Kesebelas
Magelang, satu tahun kemudian.
Kuil terbesar di Indonesia itu dipenuhi dengan ribuan peziarah yang melakukan
pradaksina, berkeliling khusyuk sambil memanjatkan Puja dan Doa. Sementara di langit, Purnama kesebelas menggantung indah, menaungi Borobudur yang bertahta gagah.
Sheena berdoa takzim di situ, diantara ribuan peziarah, di antara ratusan wisatawan dan fotografer yang mengabadikan Peringatan Trisuci Waisak yang merupakan rangkaian tiga peristiwa yaitu memperingati kelahiran, pencapaian kesempurnaan dan meninggalnya Sang Budha.
Saya nggak nyangka... ucap Ava setengah terpana.
Nggak nyangka aku jadi Budhist? Sheena tersenyum lebar. Kamu mau bilang enggak cocok sama image-ku?
Ava tertawa lebar, tak berani berkomentar.
Itulah bedanya aku sama kamu. Kamu menerima, aku mencari, tandas Sheena.
Saya mencari,- cepat Ava meralat. Kita sama-sama mencari.
Dan menemukan, Sheena tersenyum manis ke arah Ava, makasih.
Buat apa?
Memenuhi janji ke Awan.
Jagain kamu?
Gombal. Sheena terbahak. Lukisanmu, OI!
Ava menanggapai dengan senyum kecil. Justru saya yang bilang makasih. Kalau kamu nggak ada, lukisan itu nggak bakalan bisa selesai. Itu proyek kita, karya bersama.
Selepas berhenti dari galeri Pak De, Ava kembali magang di beberapa pelukis di Jogja. Sampai akhirnya, bulan lalu Ava membuka studio kecil-kecilan di desa di pinggiran Magelang, di dekat Borobudur.
Sheena menyusul Ava. Menuntaskan janji mereka membuat karya bersama. Membuat lukisan ketiga, sebagai pelengkap dari dua lukisan sebelumnya.
Bob menjual Bar-nya pada seorang pengusaha ikan bakar. Sekarang cowok rasta itu menjadi bartender dan session player di sebuah Bar Reggae di Jalan Prawirotaman, Jogja.
Kadek menikah dengan Luh Sari, bulan lalu ia memiliki anak perempuan, lucu. Sekarang ia diserahi mengurusi galeri Pak De yang di Bantul, di dekat Padepokan Bagong Kussudiardja.
Ada yang percaya, jiwa berputar dalam lingkar reinkarnasi, berjuang terlepas dari Samsara, untuk menuju Nirwana.
Ada yang percaya, jiwa menunggu setia di Alam Roh, terlahir ke Dunia, dewasa, mati, kembali mewujud ruh, sebelum dibangkitkan dalam keabadian.
Satu hal yang sama: kita hanyalah debu kosmos yang menempuhi perjalanan tanpa akhir. Saat ini kita terhenti sejenak, diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk saling bertemu, saling jatuh cinta. Sebentar saja, sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
= = = = = = = = = = = = = = =
Ubud...
Pak De bersila di bale-bale, dan Lucille bersimpuh takzim di belakangnya. Telapak tangan Lucille menempel di punggung Pak De, mengalirkan energi Reiki yang memenuhi dada Sang Maestro, seperti malam-malam sebelumnya.
Rambut Sang Maestro kini habis menyisakan botak tipis, tubuhnya kini mengurus akibat kemoterapi dan radioterapi berbulan-bulan. Namun, sepasang mata itu menyala terang, tubuhnya menegak penuh vitalitas dan daya hidup yang siap menggelegak. Berat badannya yang menurun drastis, malah membuat tubuhnya kembali proporsional, renta sekaligus gagah.
Terus terang, saya nggak tahu berapa lama lagi sisa waktu saya. Ucap Pak De, ketika Lucille selesai memberikan terapi malam itu.
Kak, Kak Gede ngomong apa? kata dokter, sel kanker-nya sudah mengecil, kan? Kak Gede bakal punya banyak waktu, buat lihat Indira dewasa, mengajari cucu-cucu melukis... Sepasang tangan Lucille melingkar di dada Pak De, memeluk lelaki itu dari belakang.
Pak De terkekeh, bukan itu maksud saya. 1 Tahun, 10 tahun. Sama saja, Hidup ini ndak lama, Gek. Ucap Pak De, membelai tangan Lucille. Mati itu kepastian, hidup ini cuma mampir, nggak barang sekejap.
Hati Lucille terenyuh, matanya berkaca-kaca dan siap merapuh.
Tapi itu semua akan membuat setiap detiknya jadi lebih indah, kan? ucap Pak De, sambil berbalik. Terima Kasih, sudah menemani saya menghabiskan sisa waktu.
Sebuah kecupan mendarat di kening Lucille.
Pak De, Sang Maestro yang kehilangan matahari,
Lucille, Sang Penyembuh yang menjadi matahari...
Sepasang mata renta saling tatap, saling dekap, menikmati waktu, menikmati setiap detik yang diberikan Sang Pencipta.
Pak De mengusap perut Lucille yang mengembung besar, membelai Raka Kecil yang menggeliat nakal di dalam sana, Calon Pewaris yang akan mewarisi trah Sang Maestro.
Tapi saya yakin, bakal punya cukup waktu melihat dia dewasa, tandas Pak De, mantap.
Lucille tersenyum, mengecup punggung tangan suaminya. Dengan adanya anak lelaki yang dikandungnya, Lucille tahu pasti:
Sekarang Indira bebas menentukan langkahnya.
= = = = = = = = = = = = = = =
Can't we give ourselves one more chance?
Why can't we give love that one more chance?
Why can't we give love?
Give love...
Seorang gadis blasteran tergopoh jenaka, membawa sebuah lampion yang belum menyala.
Aku dapet lampionnya niiii....
Asyik.. Sheena segera menyalakan lampion itu, berbarengan dengan ribuan orang lain.
Ava tersenyum kecil, E cie, yang kemaren baru habis UTS, langsung main ke Jogja aja.
Indira nyengir ke arah Ava, cerewet ah, sini! Ia melambai agar pemuda itu mendekat, untuk bersama-sama melepas lampion yang sudah menyala.
Uap panas yang dihasilkan dari nyala api menghasilkan gaya angkat yang mengangkat lampion ke udara.
Ketiga orang itu berpandangan, tersenyum sebelum melepaskan lampion itu ke langit, berbarengan dengan ratusan lampion lain yang terbang memenuhi langit dengan kilauan cahaya yang menakjubkan.
Malam itu, bulan purnama dan milyaran bintang menjadi latar bagi ratusan lampion yang merupa teratai, yang mengapung di samudera langit, seolah mencoba terbang menuju Nirwana.
Seperti harapan-harapan mereka.
Seperti penantian-penantian mereka.
Tak ada yang bisa menahan Indira untuk tidak menghambur ke dalam pelukan Ava. Di antara lautan perbedaan yang membentang mereka terpisah, dan di bawah langit takdir yang dipenuhi nyala ratusan lampion mereka berpelukan.
Indira, aku kangen kamu.
Ava, aku juga.
Aku sayang kamu, nggak pernah berubah.
Indira tersenyum, ke Timur ataupun ke Barat, ke Mekah ataupun Ke Sungai Yamuna, Indira siap melangkah asalkan ada sepasang mata itu, seraut senyum itu. Sepasang langkah yang siap mengiringi derap kakinya, sepasang tangan yang siap merengkuh tubuh mungilnya. Ava dan Indira,
Ebony and Ivory, Live together in perfect harmony.
Dan Malam ini, Indira merasa surga tidak pernah sedekat itu.
Because Love is such an old fashioned word
And love dares you to care for
The people on the edge of the night
And love dares you to change our way of
Caring about ourselves...