“Apa maksud loe?” aku bertanya balik kepada Ron. Kami sedang bermain kartu di rumahku, acara rutin yang kami lakukan beberapa kali dalam setahun, saat Ron menuduh aku sedang mencoba memamerkan istriku, Lisa. Memang benar aku bangga akan penampilan istriku dan memang aku menyuruhnya untuk mengenakan pakaian yang menarik lantaran beberapa teman lama akan datang berkunjung. Akan tetapi, Ron mengintepretasikan semua itu dengan berlebihan. Bagiku, lebih baik Lisa tidak ada di rumah sama sekali karena malam ini seharusnya malam khusus para pria. Akan tetapi, Lisa tidak ingin pergi kemana-mana sehingga aku membolehkannya mengobrol bersama teman-temanku dan menyiapkan makanan untuk kami.
“Ayolah, ngaku saja, Brian. Apa dia selalu memakai rok pendek seperti itu di dalam rumah malam-malam begini? Dan mondar-mandir di dalam rumah dengan pakaian begitu mini?” tanya Ron setelah Lisa kembali ke dapur untuk mengambil minuman.
“Yah, engga juga. Begini deh, berapa kali loe-loe datang ke rumah gue? Setiap kali gue ada tamu, gue mau semuanya terlihat bagus. Kalau begitu kenapa loe enggak tuduh gue memamerkan lantai rumah gue yang mengkilap?”
“Jangan bercanda, Brian! Tiap kali kita datang ke rumah loe pasti dia ada di rumah, dan pakaiannya selalu seperti itu!” Mike menambahkan. “Bahkan gue rasa kali ini dia enggak pakai bra sama sekali. Bagaimana loe bisa bilang itu ga pamer?”
Mereka berhenti menyerangku ketika Lisa masuk ke ruang tempat bermain kartu. Saat ia hendak kembali ke dapur untuk menonton TV, Ron mengajaknya untuk ikut bermain kartu bersama kami. “Kemarilah Lisa, bermain kartu bersama kami. Toh loe engga ada kegiatan lain kan?” ajaknya. “Tapi loe harus pakai uang loe sendiri dan engga boleh kerja sama dengan suamimu!” tambah Mike.
Lisa melihat ke arahku untuk meminta persetujuan dan aku hanya mengangkat kedua bahuku. Lisa selalu begitu, mengecek terlebih dahulu dengan keputusanku. Terkadang ia dicemooh dengan melakukan semua yang kukatakan, tapi aku sungguh menghargai sikap setia seorang istri layaknya loyalitas para istri tempo doeloe. Itulah salah satu alasanku menikahi Lisa.
Ia duduk dan mulai bermain bersama kami. Sebenarnya aku tidak keberatan istriku bermain bersama kami tapi aku masih ingin membahas obrolan laki-laki bersama teman-temanku ini. Ron dan aku tadi hendak membicarakan Megan, sepupunya. Megan adalah satu-satunya perempuan lain yang pernah kucumbu setelah aku menikahi Lisa. Aku melakukan one night stand dengannya sekitar seminggu yang lalu ketika kami semua pergi ke klub malam dan aku mabuk berat saat itu. Pernikahanku bisa hancur berantakan kalau Lisa tahu tentang hal itu, jadi aku belum berkomunikasi dengan Megan sejak saat itu.
Setelah satu jam bermain kartu, Lisa pergi ke dapur setelah kusuruh mengambilkan bir untuk kami. “Pasti enak yah punya robot yang mau mengerjakan apa saja yang loe bilang,” kata Ron.
“Pakai ini, ambil itu, lakukan ini,” tambah Mike.
Ini cemoohan yang biasa Lisa dan aku terima. “Ayolah. Loe-loe cuma iri. Siapa sih yang enggak mau perempuan seperti itu?” aku balik bertanya.
“Loe bener, Brian. Gue juga mau punya istri yang mengerjakan apa yang gue suruh,” jawab Ron.
“Gue juga mau. Mana remote controlnya? Boleh ga gue yang kontrol untuk puteran berikutnya?” tanya Carl.
Aku masih menunggu Lisa kembali ke ruangan ketika Mike, yang sudah mabuk, berkata, “Hey bagaimana kalau pemenang dalam satu putaran berhak memegang remote control ini dan bisa mengontrol Lisa. Gue bakal pencet tombol ‘mute’ supaya dia enggak usah banyak omong, hahaha…” Mike betul-betul mabuk berat.
“Dia bukan robot. Dia engga melakukan semua yang gue suruh!” terusik oleh tuduhan itu aku mulai menaikkan nada suaraku.
Ron kemudian berkata, “Kalau begitu, kita coba saja?”
Mereka benar-benar gila. “Coba apanya?” tanyaku.
“Pemenang kartu putaran berikutnya dapat mengontrol dia? Loe semuaa gila! Dia enggak akan pernah menuruti perintah loe-loe dan lagipula gue enggak bakalan menyuruhnya untuk ikut bermain permainan gila seperti ini. Lupakan saja!”
“Jadi kalau loe bilang ke dia bahwa si pemenang boleh mengontrol dirinya, seperti yang setiap hari loe lakukan terhadap dia, istri loe enggak bakal menurut? Ha? Lisa itu engga punya pendirian sendiri deh dan pasti dia menurut,” kata Ron.
Aku jadi tambah panas. “Lisa melakukan apa yang gue bilang karena dia cinta gue, bukan karena dia enggak punya pendiriannya sendiri. Dia enggak bakal melakukan apa yang loe bilang tadi.” Situasi mulai menjadi tidak karuan dan aku hendak menyudahi malam itu.
Ron berdiri untuk melihat apakah Lisa masih berada di dapur lalu berbungkuk ke tengah-tengah kami lalu berkata, “Suruh saja dia untuk melakukannya dan kita lihat apa benar dia itu robot atau bukan. Loe bisa buktikan saat itu juga. Bagaimana?”
“Enggak! Loe sama gilanya seperti si Mike. Jangan ngelunjak deh!” teriakku.
Carl lalu berkata, “Lalu apa yang loe khawatirkan? Loe khawatir kalau dia akan menuruti perintah kita-kita? Lagipula loe kan tahu kalau dia cinta loe dan enggak bakalan menuruti kita-kita karena dia punya pendiriannya sendiri. Kita lihat saja.”
Lisa berseru dari dapur bahwa ia akan segera keluar membawa minuman. “Brian, loe cuma perlu minta sama dia untuk melakukan ini semua dan biar dia yang menentukan berikutnya. Atau loe mau gue ungkit-ungkit kejadian loe dan Megan?”
Sebelum aku dapat mendebatnya, Lisa masuk dan membagikan minuman lalu duduk. Ron menatapku seakan menunggu jawaban dariku. Aku membalas dengan pandangan tajam untuk menunjukkan bahwa aku tidak sudi melakukannya. Kami melanjutkan permainan kartu kami.
“Oh iya, Brian, kemarin gue ngobrol sama sepupu gue Megan,” Ron memulai percakapan.
Aku tidak menyangka Ron menyebut nama Megan saat itu dan dia benar-benar serius. Ini bisa menghancurkan pernikahanku! Aku harus melakukan sesuatu. Akhirnya aku menyerah, “Permainan ini agak membosankan nih. Mungkin kita perlu melakukan hal-hal konyol supaya jadi menyenangkan.”
“Hal konyol seperti apa?” Carl seakan mengejekku.
“Lisa, bagaimana kalau loe berhenti main dan cuma menemani kita-kita saja? Toh uang loe juga sudah hampir habis,” kataku.
“Okay, lagipula gue sudah capek main kartu,” katanya menyetujui.
“Tapi untuk membuat permainan kartu kita jadi menarik, loe harus menemani pemenang selama satu putaran,” tambahku menjelaskan.
“Boleh, terserah saja,” jawab Lisa.
Ron melafalkan nama Megan dengan mulutnya tanpa bersuara kepadaku sehingga aku dengan enggan melanjutkan, “Jadi loe harus menuruti perintah siapa pun pemenang di putaran itu, Lisa.”
“Jadi kalau loe tidak menang, berarti gue engga akan mengambilkan minuman untukmu lagi,” candanya.
Ron lalu bertanya, “Jadi kalau gue menang, dia harus menuruti perintah gue seperti dia yang selalu menurut semua perintah loe?”
“Iya,” jawabku lemah.
“Hanya untuk satu putaran,” tambah Carl. “Setelah itu pemenang putaran berikutnya yang akan memegang remote.”
Mike berpikir menggunakan remote TV sebagai simbol merupakan ide yang cemerlang lalu ia meraih remote TV dari meja dan berkata, “Siapapun yang pegang remote ini bisa mengontrol Lisa.”
Mendengar semua ini jelas-jelas membuat Lisa tersinggung. Ia marah, terutama terhadapku. Aku masih dapat memperbaiki ini semua nanti, tapi aku tidak bisa apa-apa jika Lisa tahu tentang Megan. Oleh karena itulah aku harus berlagak seakan-akan aku menginginkannya melakukan ini semua. “Gimana, sayang?” tanyaku kepadanya.
Ia menanti persetujuanku. Ron bersandar ke arah belakang Lisa sehingga ia tidak dapat melihatnya. Lalu ia melafalkan nama Megan tanpa bersuara dengan mulutnya sambil mengangkat kedua bahunya. Terlihat jelas ia ingin aku juga mengangkat bahuku untuk menunjukkan sikap setuju. Akhirnya aku mengangkat kedua bahuku.
“Oke, gue setuju,” ucap Lisa.
Mike menaruh remote di tengah meja tempat chip taruhan diletakkan dan kami memulai permainan itu. Kami bermain beberapa set dalam satu putaran, jadi dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit sampai ada pemenang untuk satu putaran. Dan pemenang putaran pertama adalah Carl. Ia meraih remote itu.
Ia menyuruh Lisa mengambilkan minuman untuknya seperti yang biasa kuperintahkan kepada dia. Lisa baru saja hendak berdiri meninggalkan ruangan ketika Carl menyatakan bahwa ia hanya bercanda. Carl menyuruh Lisa duduk di samping menemaninya untuk membawa keberuntungan di set berikutnya. Lisa berdiri dan berjalan menghampiri Carl lalu berdiri di sampingnya. Menit berikutnya Carl berkata, “Loe duduk di sini saja, Lisa.” Carl menepuk-nepuk paha dan lutunya.
Aku yakin Lisa tidak akan melakukannya. Aku tahu ia akan segera membantah dan Ron dapat menelan semua kata-katanya tentang Lisa yang tidak memiliki pendiriannya sendiri. Semua ini akan segera berakhir. Lisa menunggu persetujuan dariku. “Apa loe benar-benar mau gue melakukan apa yang mereka perintahkan, sayang?”
Kemudian aku melihat Ron memberi isyarat sesuatu tentang Megan lagi dan menyuruhku untuk mengangkat kedua bahuku. Aku kembali mengangkat bahuku lalu Lisa duduk di pangkuan Carl! Kemudian Lisa berkata, “Terserah, gue tidak mau membuatmu marah. Jadi kasih tahu gue jika loe mau gue berhenti, sayang.”
Coba saja ia tahu bahwa aku tidak dapat menyuruhnya untuk berhenti, namun aku mempercayainya dan tidak mungkin ia terus duduk di pangkuan para pria ini hanya karena aku tidak keberatan.
Aku duduk memperhatikan istriku memandangiku dari seberang meja, duduk di pangkuan pria lain. Setelah beberapa set, satu putaran akhirnya berakhir. Mike menang di putaran ini dan meraih remote dari tangan Carl.
“Ah, loe sia-siain kesempatan saja,” katanya kepada Carl. “Sini remotenya!” Ia menatap ke istriku dan berkata, “Lisa…”
“Apa, Mike?” sahutnya.
“Hei, panggil gue sayang dong. Gue kan yang pegang remotenya, ayo,” ejek Mike.
Lisa terdiam beberapa saat lalu berkata, “Apa, sayang?”
“Gue pengen tahu, apakah loe memakai bra di balik kaos itu?”
Lisa terdiam lagi, sebelum akhirnya menjawab, “Engga.”
“Berhubung kelihatannya loe engga suka mengenakan pakaian dalam, bagaimana kalau loe melepaskan celana dalam juga?” Mike berkata sambil berpura-pura menekan tombol di remote control itu.
Lisa menatapku lagi, kemudian berdiri. Dia menghela nafas panjang, kemudian menurunkan celana dalam dan menanggalkannya. Ketika melepaskan celana dalam, Lisa menjaga dengan amat sangat hati-hati agar rok mini yang dipakainya tetap pada tempatnya sehingga mereka tak dapat melihat bagian vitalnya. Lisa kemudian duduk di kursinya.
Ketika putaran permainan kartu hampir berakhir, Mike mengeluh. “Sial, gue hampir kalah nih! Lisa duduk di sini seperti yang loe lakukan ke Carl. Mungkin bisa membawa keberuntungan untuk set ini,” kata Mike sampil menepuk lututnya.
Lisa berdiri dan menghampirinya. Kali ini keadaan lebih parah dari yang sebelumnya dan aku yakin Lisa menyadari perbedaannya. Ketika Lisa dengan Carl tadi, Carl masih mengenakan celana Panjang. Akan tetapi, Mike hanya mengenakan celana pendek dan Lisa tidak mengenakan apa-apa di balik rok mininya itu.
Mike memajukan lutut kanannya agar Lisa duduk di atasnya. Dan Lisa dengan perlahan duduk menyamping pada paha Mike. Aku benar-benar tidak habis pikir! Tidakkah Lisa menyadari bahwa bagian tubuh pribadinya menyentuh langsung, kulit bertemu kulit, paha temanku yang tidak terlapisi kain itu?! Dan tidakkah ia sadar kalau ini sudah keterlaluan?!
Akhirnya set itu berakhir dan Mike keluar sebagai pemenang sekali lagi. Setelah beberapa set berlalu, Mike berkata, “Lisa, loe ini tidak sopan deh. Ayo, menghadap ke meja.” Lisa memutar kepalanya ke arah meja permainan.
“Bukan, maksud gue badan loe yang menghadap ke meja. Nih kakimu putar ke depan supaya tubuh loe menghadap ke meja dan dapat mengikuti permainan dengan lebih baik,” perintahnya.
Lisa tahu apa yang Mike inginkan dan aku merasa lega ia tidak berniat untuk memberikannya kepada Mike. Lisa memindahkan kakinya dari posisi duduk melintang pada paha Mike ke posisi dengan kedua pahanya sejajar dan melewati lutut kanan Mike. Namun Lisa tetap mengepit kedua kakinya rapat-rapat. Mike berharap agar Lisa mengangkangi pahanya karena ia sudah tidak mengenakan celana dalam lagi. Akan tetapi, aku sungguh bangga karena Lisa masih menjaga kehormatan dirinya dengan tidak membuka kakinya.
Selama beberapa set berikutnya, aku memperhatikan baik-baik bagaimana istriku duduk. Ia kelihatan baik-baik saja, tapi tetap sulit ditebak karena terhalang oleh rok mininya. Akan tetapi, Lisa terlihat sungguh berusaha keras untuk menjaga keseimbangan tubuhnya dalam posisi duduk di atas paha kanan Mike dengan kedua kakinya terkatup rapat. Ujung kaki Lisa berjinjit, hampir-hampir tidak menyentuh lantai. Cukup membantu meringankan sedikit beban tubuhnya sehingga ia dapat tetap pada posisi yang “aman” dari Mike. Lalu Mike mengangkat lutut kanannya beberapa sentimeter dari lantai dengan menginjakkan kaki kanannya ke kaki yang lainnya.
Lisa kehilangan keseimbangannya dan terpaksa meletakkan kedua kakinya ke lantai dan berhenti berjinjit. Lisa terdesak, kemudian meletakkan kedua kakinya di kanan dan kiri lutut Mike supaya ia tak terjatuh. Ya, benar, Lisa harus mengangkangi lutut Mike! Roknya masih menutupi semuanya itu tapi aku tahu benar bahwa Mike dapat merasakan vagina Lisa bersentuhan langsung dengan lututnya. Kulit bertemu kulit!
Pada akhir putaran itu Mike menggerak-gerakkan kaki kanannya dengan perlahan. Perlahan-lahan naik kemudian perlahan-lahan turun. Naik-turun, naik-turun, begitu seterusnya dengan perlahan-lahan. Mike berusaha sebisa mungkin untuk membuat istriku terangsang! Ron memenangkan putaran ini dan mengambil alih remote.
Lisa hendak berdiri dari pangkuan Mike tapi Ron menyuruhnya untuk tetap duduk di pangkuan Mike. Mike mengacungkan jempolnya ke Ron sebagai tanda terima kasihnya. Lalu ia kembali menaikturunkan kaki kanannya untuk memberi Lisa ‘tunggangan’ lututnya. Setelah set berikutnya Ron bertanya kepada Lisa, “Mengapa loe enggak memakai bra malam ini, Lisa? Mau pamer?”
“Engga, Ron! Dengan kaos seperti ini kadang-kadang gue memang tidak memakai bra!” Lisa membalas dengan nada mengejek.
“Ah masa sih? Menurut gue loe pengen terlihat menggoda di depan kita. Karena loe suka pamer, gue perintahkan loe untuk melepaskan kaos loe. Tentunya asal Brian tidak keberatan.” Kemudian semua pandangan jatuh padaku. Aku tidak dapat berkata apa-apa karena Ron akan membongkar rahasia perselingkuhanku dengan Megan. Dengan enggan aku mengangkat kedua bahuku dan menaruh seluruh kepercayaanku ke Lisa. Ia pasti punya batas sejauh mana keputusannya dan aku yakin kali ini pasti sudah mencapai batasnya.
Ron melanjutkan, “Begini deh, walaupun jelas-jelas Brian enggak keberatan, gue tahu kalau ini pasti susah buat loe, Lis. Jadi gue akan kasih loe pilihan. Gue suka melihat kaos yang loe pakai. Ketat dan seksi. Tapi tujuan tidak memakai bra adalah untuk mempermelihatkan puting yang menonjol dari balik kaos itu. Dan saat ini gue tidak melihat apa-apa. Jadi begini deh, gue kasih loe waktu sampai putaran berikutnya selesai. Loe urus masalah itu atau loe harus melepaskan kaos loe. Terserah loe, Lisa.”