12. Unavoidable
"Hhghhhhhhhh"
Mungkin hari sudah menjelang pagi, aku terbangun sendiri karena kebiasaanku dulu. Kuregangkan seluruh tubuhku hingga menimbulkan bunyi tulang bergeser. Aku sudah tertidur cukup lama tampaknya, kulihat Nadila yang masih tertidur lelap disampingku, wajahnya cukup manis disaat terlelap sehingga aku sendiri tersenyum melihat temanku ini. Dengan malas kubuka tas besar berisi beberapa pakaian, kuambil sebuah baju yang pas dengan ukuranku dan tak lupa handuk dan celana pendek. Aku berjalan keluar dari bangunan kecil mirip rumah mess, udara segar pagi hari langsung menerpa tubuhku menimbulkan rasa dingin. Lapangan golf ini sedikit tertutup kabut, aku memandang sejenak pemandangan indah ini sambil meregangkan otot-ototku.
"Eh Gaby, udah bangun" Aya menyapaku sambil membawa ember berisi air. Ia mengenakan daster warna merah, dalam hati aku tertawa karena perawakannya seperti ibu-ibu.
"Hehe pagi Ay, kebiasaan aku bangun pagi-pagi" ucapku santai. "Eh, dapet air itu darimana?"
"Kemarin kan sempat hujan, jadi aku tampung airnya pakai terpal besar disana, untungnya dapat air banyak buat mandi sama minum"
"Oh gitu ya"
"Kamar mandinya udah aku isi air, dihemat-hematin ya Gab buat yang lain" kata Aya.
"Hehe aku mau mandi dulu, duluan ya"
"Iya Gab"
Kamar mandi itu letaknya tak jauh dari bangunan tempat kami tinggal, tepatnya didekat sungai besar diseberang, ukurannya memang kecil seperti kamar mandi kos-kosan. Kubasuh seluruh tubuhku dengan air kamar mandi ini, sedikit-sedikit saja mengingat mereka juga butuh air ini nanti. Tak seperti kehidupanku dulu saat aku mandi selalu berkali-kali bilas air namun kali ini tidak, aku sadar bencana ini membuat kita harus berhemat dalam hal apapun. Setelah membilas, kukeringkan tubuhku dengan handuk, tubuhku terasa segar sekali. Kukenakan pakaianku langsung di dalam kamar mandi.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi, Aya sedang menuangkan air ke dalam ember besar.
"Ay, aku bantu ya" kataku.
"Hehe makasih Gab, tapi tanganmu udah gak sakit kan?" tanya dia melihat tangan kiriku yang terdapat bekas jahitan.
"Udah enggak kok" balasku.
"Coba lihat" dia memegang tangan kiriku dan memeriksa jahitan luka itu.
"Hmmm udah kering sih ini" kata Aya. "beruntung banget ya lukanya bisa cepat sembuh hehe"
"Iya, makasih ya udah ngobatin aku Aya"
"Hehe itu udah tugasku kok. Yuk ambil air lagi"
Singkatnya aku dan Aya membawa beberapa ember berisi air, sebenarnya tangan kiriku masih terasa nyeri saat membawa ember yang cukup berat namun aku coba untuk menahan rasa nyeri itu. Tak lama kemudian kami sudah selesai mengangkat beberapa ember, aku dan Aya berjalan menuju pinggir sungai yang letaknya cukup dekat dari lapangan golf ini. Kulihat airnya lumayan deras, mungkin karena hujan deras kemarin.
"Deres banget airnya" gumam Aya.
"Iya, ngeri lihatnya" balasku. Untung saja letak sungai ini cukup rendah dari tempat ini.
"Harusnya kita bisa cari ikan disini Gab" kata Aya lagi.
"Ya mau gimana lagi Ay, kita harus tunggu sampai air ini gak deres lagi. Mungkin beberapa hari lagi kalau gak hujan" jelasku. Aya mengangguk.
"Oh iya, nanti Galang sama yang lain mau ke kantor polisi dekat sini, katanya mau periksa tempat itu" kata Aya.
"Disana pastinya ada senjata api Ay, lumayan lah kalau belum dijarah sama orang lain"
"Iya juga sih, kita juga butuh senjata api. Lagian amunisi juga mulai menipis" balas Aya.
"Kamu sendiri pernah pakai pistol gitu?" tanyaku.
"Pernah, tapi jarang aku pakai"
"Terus, berapa banyak mayat hidup yang sudah kamu bunuh?" tanyaku. Dia menoleh kearahku dan matanya membulat.
"Beberapa doang Gab, aku sendiri belum terlalu berani menghadapi mereka" balasnya.
"Ohh aku ngerti kok hehe" ucapku.
"Lalu kamu sendiri?" ia balas bertanya padaku.
"Entahlah, aku gak pernah ngitung"
Kami terdiam sejenak sambil melihat air sungai yang lumayan deras, suaranya cukup keras.
"Eh Aya, Gaby, udah bangun ternyata" kami menoleh berbarengan. Ternyata Sandi yang menyapa kami.
"Iya San, kalau mau mandi tuh airnya sudah siap tapi jangan boros ya" kata Aya.
"Hehe siap. Eh pagi Gebyy" ia menyapaku sambil menggerakan tangan kanannya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
*****
Kusantap sarapan pagi ini dengan lahap. Makanan ini hanyalah sebuah mi instan tanpa nasi tentunya, namun beginilah kehidupan kita saat bencana ini, makanan sangatlah terbatas untuk saat ini.
"Gab, tumben udah abis makannya" sapa Nadila yang tiba-tiba saja sudah berada disampingku.
"Laper soalnya, eh bukannya kamu sama Dino tadi?"
"Iya, dianya lagi ngobrol sama Galang"
"Ohh hehe. Ngomong-ngomong akhir-akhir ini kamu deket banget sama dia, hayooo ada apa-apa ini pasti...."
"Ihhh enggak ya Gab, cuma temen doang kok hahaha" tawa Nadila renyah, aku ikutan tertawa mendengarnya, aku sangat yakin mereka ada hubungan tersendiri.
"Rencana hari ini kita akan coba periksa kantor polisi yang jaraknya tak jauh dari sini, mungkin sekitar 400 meteran lah. Aku sama Dino kemarin sempat mengamati kantor polisi itu, kami lihat cukup banyak mayat-mayat hidup disana dan mereka menggunakan seragam polisi bahkan beberapa ada yang pakai semacan body armor, kalau menurutku sih tempat itu sudah jatuh ke tangan mayat hidup saat wabah terjadi, jadi pasti senjata-senjata api itu masih tersimpan disana. Rencana kita mengambil semua senjata api beserta pelurunya" jelas Galang. Aku mendengarkan dengan seksama.
"Tapi kamu yakin Lang, disana masih ada senjata?" tanya Dino yang duduk disampingku.
"Kita harus coba Din, aku yakin kok masih ada senjata disana. Lagian kalau misalnya tidak ada kita bisa cari ditempat lain. Harusnya di setiap kota pasti ada markas kodim atau brimob gitu kalau yang aku lihat di peta. Tapi kemungkinannya kecil soalnya pasti senjata-senjata udah dibawa sama militer"
"Iya sih, senjata kita jumlahnya sedikit dan amunisi juga menipis" ucap Anin.
"Oke, nanti aku buat grup untuk mengambil senjata dan sisanya nanti menjaga tempat ini"
"Emmm Din, aku mau ikut" kataku kepada Dino yang sedang mempersiapkan diri.
"Yakin Gab? disana serem loh"
"Din, aku mau berkontribusi banyak. Aku ngerasa gak enak kalau berdiam disini terus" kataku. Ia tertegun mendengarnya "sebagai orang baru di kelompokmu, aku juga ingin membantu sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah menerima aku dan Nadila. Jadi, tolong, aku ingin ikut denganmu"
"Sebelumnya, kamu sudah pernah atau sering melawan mayat hidup?" tanya Dino.
"Pernah, aku bunuh beberapa sebelumnya"
"Pakai senjata api? pistol?"
"Juga pernah"
"Hmmm okelah, aku akan bilang ke Galang kalau kamu ikut" katanya. "Eh sebentar, kamu sudah ngomong ke Aya? lukamu kan belum sembuh benar, dia pasti marah kalau kamu ngotot ikut. Tahu sendiri kan kalau dia marah gimana, kayak nenek lampir"
"Enggak kok, lukanya udah kering" kataku sambil menunjukkan bekas jahitan di tangan kiriku. "Aya pasti ngijinin kok hehe"
"Oke, kamu siap-siap dulu Gab. Bawa senjata tajam sama pistol yang pakai peredam. Kita kumpul satu jam lagi"
Kulangkahkan kakiku menuju bangunan utama tempat senjata-senjata milik kami kumpulkan, kubuka boks berisi beberapa senjata api berjenis pistol, sesuai permintaan Dino kuambil pistol yang terpasang peredam suara dan beberapa amunisi. Latihan dasar penggunaan senjata api saat aku kerja dulu cukup membantu mengetahui seluk beluk senjata api berikut jenis dan cara penggunaannya.
"Hei Gab, kamu lagi apa?" aku terkejut mendengar suara Aya dibelakangku, aku langsung menoleh kearahnya sambil membawa pistol.
"Emm, lagi rapiin senjata kok hehe" kataku bohong. Aya langsung memasang muka tak percaya kepadaku.
"Gaby, jangan bohong...." Aya dengan tegas berkata seperti itu, aku jadi tersentak.
"Kamu mau ikut ke kantor polisi itu kan Gab?" tanya Aya dengan nada yang tidak biasanya, aku hanya mengangguk.
"Aku udah bilang kamu jangan dulu keluar kesana Gaby, lukamu belum sembuh benar" ucap Aya.
"Aya, please. Aku gak apa-apa, aku udah sehat Ay, tolong"
"Enggak, enggak Gaby. Kamu gak akan kuijinin...."
"
Stop treat me like a child, Aya" aku tanpa sengaja menyentak dia dengan nada tinggi karena emosi. Dia kaget mendengar perkataanku, dalam hatiku aku merasa bersalah melakukan hal itu kepadanya.
"Ma... maaf aku gak bermaksud" kataku.
"Iya aku tahu kok Gab, aku yang harusnya minta maaf" balas Aya. "Aku terlalu protektif sama kamu, tapi aku punya alasan karena itu" tambahnya, Aya duduk di kursi dekat pintu, aku dekati dia di samping.
"Jauh sebelum ini, saat masih bersama kelompokku dulu, ada beberapa temanku saat itu Gab. Gracia, Kyla, Aji mereka temanku dan mereka sudah tiada" jelas Aya.
"Saat mengetahui mereka sudah tiada, aku selalu kepikiran wajah mereka setiap hari. Karena itu aku tak mau ada temanku yang mati lagi, tak akan pernah. Anin tertembak cukup parah dulu dan aku menolongnya semampuku. Aku sempat berpikir mungkin dia juga tak selamat, tetapi aku bertekad untuk menyelamatkan dia dan akhirnya dia sembuh Gab. Begitu juga kamu saat terluka parah, aku juga kepikiran seperti itu"
Aku tertunduk mendengar perkataan Aya, dia sudah melewati masa-masa sulit sebelumnya.
"Tapi gak apa-apa Gab, kalau kamu ingin ikut dengan mereka. Kamu benar aku juga tak bisa terus-terusan menjaga kamu"
Aya memelukku erat dan aku membalasnya, aku kagum dengan sifatnya yang sangat peduli dengan teman-temanya termasuk aku.
"Kamu jangan mati disana Gab, tolong. Aku sudah lelah kehilangan seseorang yang aku cintai"
"Iya aku janji kok hehe"
"Eh, ayo Gab udah pada kumpul" Dino memanggilku saat kami masih berpelukan. "Emmm Aya......"
"Aku ijinin kok Din, tolong jaga dia ya, jangan sampai dia kenapa-kenapa" kata Aya.
"Oke siap"
Singkatnya kami berkumpul di lapangan parkir untuk briefing sejenak tentang rencana yang dibuat Galang. Grup ini terdiri dari Galang, Dino, Anin, aku dan Sandi. Aku sendiri membawa satu buah pistol dengan peredam dan pisau besar kepunyaan Fidly yang kupinjam. Setelah briefing itu selesai kami bergegas berjalan ke pintu gerbang. Tiba-tiba Nadila berlari kearahku.
"Eh kenapa Nad?"
"Hati-hati" ucap Nadila, aku menggengam tangannya"
"Iya hehe"
"Cepat pulang ya"
*****
Kami berjalan cepat menuju kantor polisi yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya kami sampai di tujuan. Mayat-mayat hidup mengerubungi tempat itu dan berjumlah cukup banyak. Galang langsung memberikan instruksi kepada kami untuk membentuk formasi melingkar. Aku menuruti instruksi dia.
"Oke, aku buka pagar ini. Gunakan senjata tajam kalian kalau mayat itu mulai mendekat" kata Galang sambil membawa alat untuk mematahkan kunci gembok.
"Dengarkan perintah Galang ya, kalian akan baik-baik saja" tambah Dino.
"Aku hitung sampai tiga. Satu.... Dua.... Tiga"
KRAKKK
Kami langsung masuk ke dalam halaman kantor polisi itu, mayat-mayat itu langsung menyambut kami dengan suara khasnya yang terdengar mengerikan, aku mengenggam pisau besar ini untuk bersiap melawan mereka. Posisiku berada diantara Dino dan Sandi yang juga bersiap dengan senjata tajam mereka. Kami berjalan perlahan dalam formasi melingkar, mayat-mayat itu mulai berjalan menuju formasi kami.
"Oke, tetap dalam formasi"
Salah satu mayat perempuan berjalan menyerangku, kutusukkan pisau besar ini kearah kepalanya hingga tewas, darah sedikit terciprat mengenai wajahku, detak jantungku berdegup kencang melihat kerumunan mayat hidup yang terus menyerang kami, aku berusaha untuk tetap tenang dan fokus.
SRAKKKKK
SRAKKKKK
Kami terus bergerak dan melawan mereka, mayat-mayat ini mungkin dulunya adalah anggota kepolisian, itu yang aku lihat dari seragam yang mereka pakai. Orang yang sebelumnya bertugas untuk melindungi masyarakat sekarang berubah menjadi menyerang masyarakat, aku menggelengkan kepala melihat semua kejadian ini.
GGGRRHHHHHHHH
BRUK
Tiba-tiba aku terhempas ke tanah, mayat hidup itu menubrukku tanpa aku sadari, beruntung aku dalam posisi yang mudah untuk menghindar dari gigitan mahkluk itu, kutendang kepala mayat itu menjauh dan Anin dengan cepat memukulnya berulang kali dengan tongkat baseball anehnya itu. Ia menjulurkan tangannya kearahku.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya.
"Iya"
Aku dan Anin kembali dalam formasi, kami sudah membunuh hampir setengahnya, aku terengah-engah mengambil napas pendek karena lelah, aku sudah lama sekali tak melakukan ini. Kuusap keringat yang membasahi wajahku dan aku baru sadar aku mengusapnya dengan tangan yang berlumuran darah.
"Gaby, sini aku bersihin" Dino mendekatiku dan mengambil sapu tangan dari sakunya dan mengusap wajahku dari noda darah itu.
"Kirain kamu berdarah Gab" kata Dino.
"Enggak kok" balasku tersenyum. Dino menatapku sejenak, tampaknya ia suka dengan senyumanku, dalam hati aku hanya tertawa melihat mukanya.
"Eiii"
"Ehh, hehe" Dino tampak kikuk saat kukagetkan dia
Sepertinya halaman kantor polisi ini sudah bersih dari mayat-mayat hidup, kami berpencar untuk mengecek bagian-bagian di luar. Aku dan Dino memeriksa garasi dekat bangunan utama, tampaknya tidak ada tanda-tanda mahkluk itu disini selain sebuah mobil polisi yang sudah terbengkalai. Dino mencoba untuk membuka mobil polisi itu dengan tang, tapi aku langsung mencegahnya.
"Din, kalau alarmnya hidup gimana?" kupegang tangannya.
"Oh iya ya lupa" balas Dino.
BRAKKK BRAKKK BRAKKKK
GRRAAAHHHH GRRRHHHAAHH
Tiba-tiba dari arah belakang kami dikejutkan dengan suara seperti pintu didobrak dan beberapa mayat hidup yang nyaris saja menyerang kami. Aku langsung mengambil langkah mundur cepat untuk menghindari dari serangannya. Mayat itu mengenakan seragam yang berbeda dari yang aku lihat tadi, mereka tampaknya menggunakan seragam yang digunakan saat menghalau kerusuhan (riot gear) bahkan ada yang masih memegang tameng. Aku dan Dino hanya bisa terus mundur dari serangan mereka, aku bingung untuk membunuhnya karena kepala mahkluk itu terlapisi oleh helm.
"Dino, gimana nih" aku mulai panik melihat semua ini. Dino hanya terdiam melihat mayat-mayat itu.
"Mungkin kita harus tembak kakinya supaya terjatuh dan kita lepas helmnya dan menusuk kepalanya. Gaby, kamu bisa tembak kakinya?" kata Dino, aku mengangguk.
"Oke, kamu tembak kakinya dan aku akan menghabisinya"
Kukeluarkan pistol berperedam dari sakuku, kumatikan safety pinnya dan menarik kokang sesuai prosedur yang aku tahu. Kubidik kakinya dan kuletuskan tembakan, awalnya aku kesulitan untuk menembak kakinya karena mayat itu terus bergerak zig-zag.
"Gaby, kamu pasti bisa" Dino memberikan semangat untukku. Aku coba untuk fokus dan tetap tenang dalam membidik pistolku. Setelah merasa yakin, kuletuskan pistol ini tepat kearah kaki mahkluk itu, mayat itu langsung terjatuh dan mengerang kesakitan. Dino langsung berlari maju, melepaskan helm mayat itu dan menusuk kepalanya dengan pisau besar.
"Ayo lagi Gab" teriaknya.
Kubidik pistol ini kearah kaki mayat hidup yang lain, semuanya tepat sasaran ke kakinya. Dino langsung membereskan sisanya dengan cepat.
"Hehe berhasil Gab" kata Dino terengah-engah. Kuhampiri dia.
"Iya Din, maaf aku udah lama gak pegang ini jadi gak bisa akurat nembaknya" kataku kepada dia.
"Hehe gak apa-apa, kamu udah kerja bagus kok tadi" entah tanpa sadar atau tidak aku memeluk tubuhnya erat-erat. Dino kaget dengan perbuatanku. Beberapa detik kemudian kulepas pelukannya. Galang, Anin dan Sandi berlari menghampiri kami dan tampak cemas.
"Kalian gak apa-apa kan?" tanya Galang.
"Gak apa-apa kok, cuma tadi ada mayat hidup yang pakai baju anti huru-hara gitu" kata Dino kepada Galang.
"Hah? anjir dah sampai segitunya mereka"
"Ya, mereka juga pintar seperti kita" celetuk Sandi.
"Cara matiinya aja harus ditembak kakinya dulu terus aku lepas helmnya baru bisa dibunuh" jelas Dino.
"Keren juga lu Din" kata Anin sambil memegang tongkat baseballnya.
"Yaudah aku udah cek sekitar sini dan semuanya aman. Yuk kita masuk ke dalam"
*****
Galang memimpin grup kami untuk masuk ke dalam kantor polisi, suasana di dalam sangat gelap sehingga kami harus menggunakan senter. Posisiku ada di tengah bersama Anin dan Sandi, sedangkan Dino berada di belakang. Kupegang pistol ini untuk bersiap kalau saja masih ada mayat hidup disini.
"Lang, kira-kira tempat senjatanya dimana?" kata Sandi.
"Biasanya ada di lantai bawah, mereka simpan senjata di suatu ruangan seperti sel" balas Galang.
"Oke kita harus cepat, kita berpencar untuk memeriksa semua ruangan disini. Aku bersama Anin dan Dino akan cek lantai bawah. Gaby sama Sandi ke lantai atas"
Kami menyetujui rencana Galang. Aku dan Sandi bergegas naik ke lantai atas, Sandi berada di depanku sambil membawa senter. Dia sedang berusaha untuk membuka sebuah pintu, dia tampak kesusahan membukanya.
"Biar aku bantu" kataku kepadanya, anehnya Sandi terlihat gugup menatapku.
"Emm, iya" balasnya.
Kami mendobrak pintu bersama-sama. Bau busuk langsung tercium tajam dalam ruangan ini, terdapat tiga mayat berpakaian polisi dengan tangannya yang masih memegangi pistol. Aku merasa ngeri melihat pemandangan yang tidak biasa ini.
"Jangan dilihat kalau kamu takut" kata Sandi.
"Emm, gak apa-apa kok. Aku udah biasa lihat kayak gitu. Mereka sepertinya menembakkan diri sendiri" kataku sambil mengecek tubuh mayat itu. Kurogoh saku baju dan celana mayat itu dan aku menemukan sebuah magasin pistol yang masih penuh dengan peluru.
"Ada ini San" kataku kepadanya.
"Kumpulin aja Gab, itu berguna banget"
Setelah beres kami kembali berjalan mengecek ruangan-ruangan di lantai atas ini, dan sama seperti ruangan sebelumnya, hanya terdapat mayat-mayat yang sudah mati. Kukumpulkan beberapa amunisi senjata api yang untungnya lumayan banyak disini.
"Jadi, gimana ceritamu San?" tanyaku.
"Emmm cerita apa?" balasnya.
"Sebelum bencana ini terjadi, dan saat bersama kelompok Galang"
"Emmm, dulunya aku pemimpin komunitas mobil di Bandung yang lumayan terkenal hehe. Kami sering ikut event autoshow di berbagai kota besar. Saat wabah itu mulai menyerang Indonesia, aku dan rekan-rekanku berhasil menyingkir dari kota yang dibom habis oleh militer, awalnya aku bermukim di sebuah camp militer besar di dekat Lembang, semua berjalan lancar sampai pada suatu hari, gerombolan mayat hidup menyerang camp kami hingga hampir semuanya tewas. Untungnya ada beberapa rekan kami yang selamat termasuk seorang koki haha"
"Koki? sampai segitunya" aku semakin penasaran dengan cerita Sandi.
"Iya Gab, dia yang paling berjasa diantara orang-orangku saat itu. Dia pintar meracik makanan yang awalnya gak biasa menjadi makanan yang enak dimakan" kata Sandi.
"Kalau boleh tahu, siapa namanya San?"
"Billy, dia sudah aku anggap saudara sendiri"
Aku terkejut mendengar perkataan Sandi, tidak mungkin. Apa yang dimaksud dia adalah.....
"Emm San, Billy yang kamu maksud itu....." aku mengatakan nama lengkap kepadanya.
"Tunggu sebentar, kamu kenal dia?" ia bertanya heran padaku. Tanpa sadar air mataku mengalir, dia benar.
"Aku.... aku kekasihnya"
Sandi terkejut, kuusap air mataku saat teringat Billy, kekasihku yang ternyata bersama dia saat itu.
"Maafkan aku Gab"
"Dia gak selamat ya?" mataku sembab dan suaraku lirih, dalam hatiku aku mengerti kalau Billy sudah tiada. Aku sudah lama tak bertemu dia selama satu tahun karena kesibukanku di dunia kerja saat itu.
Dan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal untuknya.
"Gaby...."
"Udah aku gak apa-apa. Yuk kita lanjutin tugas kita"
Kami bergegas mengecek sisa ruangan, sialnya tak ada apa-apa disana. Sandi sedang mengecek beberapa pistol yang kita temukan disini. Aku melihat dia dengan cekatan mengokang senjata api itu.
"Billy memang koki yang sangat handal, dia jadi lulusan terbaik saat sekolah memasak dulu, saat aku jadi pacarnya" kataku kepada Sandi. "Dia sempat ditawar kerja di restoran luar negeri tapi dia menolak tawaran itu demi aku"
"Dia pasti kekasih yang pengertian banget ya. Saat itu Billy gak pernah cerita kalau dia punya pacar dan itu ternyata kamu" kata Sandi.
"Ya begitulah hehe" kekehku.
"Yuk kita turun. Mungkin mereka sudah menemukan senjata-senjata itu"
Kami berjalan menyusuri lorong ke tangga, tiba-tiba saja dari arah samping sesosok mayat hidup mendorongku hingga terjatuh.
BRUKKKKK
Tubuhku terhimpit oleh mahkluk itu, dengan buas dan kasar dia mulai berusaha untuk menggigitku, aku meronta-ronta berusaha lepas dari cengkraman mayat itu namun sia-sia saja.
"SANDIIII TOLONGGGG"
Mayat itu terus berusaha menggigitku, tetesan darah yang keluar dari mulutnya membasahi wajahku. Aku tak dapat menusuk kepalanya.
SRAKKKKK
Sandi dengan cepat menusuk kepala mayat itu hingga tewas. Aku langsung menyingkirkan mayat itu dan memeluk Sandi. Ia kaget saat kupeluk erat.
"Makasih Sandi" kataku lirih, jujur aku sangat ketakutan tadi.
"Iya gak apa-apa. Aku disini. Gaby.... tangan kamu" ia melihat tangan kananku yang berdarah.
"Kegores doang, tapi aku gak apa-apa kok" kataku.
"Hei, apa yang sedang terjadi?" Dino menghampiri kami dengan muka panik.
"Udah kita habisi kok, santai aja hehe"
Singkatnya kami berkumpul di lantai dasar sambil membawa beberapa senapan serbu yang untungnya masih ada di kantor polisi ini, tak hanya itu saja, kami juga menemukan beberapa boks berisi peluru dari berbagai jenis senjata, granat asap, gas air mata dan
flashbang. Dalam hati aku merasa bersyukur sekali kita susah-susah kesini akhirnya dapat membuahkan hasil.
"
Flashbang buat apa sih?" tanyaku penasaran.
"Itu buat membutakan musuh Gab, nanti kalau meledak granatnya menimbulkan cahaya terang dan suara yang keras banget. Gak bakal enak kalau kamu kena efeknya" kata Galang.
"Kamu kayaknya tahu semua tentang ini" tanyaku lagi.
"Aku dulu sekolah di akademi kepolisian, ya walau belum jadi polisi beneran haha" balasnya. Aku hanya mengangguk saja.
"Gimana nih bawanya Lang?" Dino bertanya.
"Ada tas khusus buat bawa senjata kok, ada beberapa disana. Kita bisa pakai itu"
Setelah memasukkan semua senjata dan perlengkapannya ke dalam tas, kami keluar dari kantor polisi. Kami biarkan saja mayat-mayat yang sudah mati itu bergelimpangan di halaman. Aku membawa tas besar berisi beberapa senapan api, cukup berat namun itu bukan masalah bagiku, beruntung sepanjang perjalanan tak ada mayat hidup yang menyerang kami.
Tak lama kemudian kami tiba di lapangan golf atau bisa dikatakan tempat tinggal kami. Aya membukakan pintu gerbang.
"GABY!!"
Aya melihatku dan memeriksa seluruh tubuhku, ia menemukan tangan kananku yang tergores karena kejadian tadi, ia memandangku dengan mata berkaca-kaca.
"Ini memang tak bisa dihindari, tapi aku masih hidup kok"
Aya memelukku sejenak dan aku membalasnya.
"Yaudah sini aku obati lukamu"
"Tumben gak ngomel Ay" celetuk Dino, kami tertawa bersama sambil berjalan menuju tempat kami tinggal.
*****
Sudah beberapa minggu kami tinggal di lapangan golf. Sejauh ini berjalan dengan sangat lancar walau ada sedikit masalah di sana sini, tapi kami dapat menyelesaikannya bersama. Aku semakin akrab dan nyaman bersama mereka, terlebih Dino yang bisa membangun sebuah jaringan radio yang kebetulan peralatannya ada di dalam kota sehingga kami dapat berkomunikasi satu sama lain dengan perangkat walkie talkie.
Siang ini cuaca terlihat mendung cukup pekat, terkadang angin berhembus cukup kencang dan suara gemuruh guntur terkadang terdengar. Aku sedang berdiri bersama Dino disampingku, aku dan Dino mendapat giliran untuk menjaga lapangan golf ini, dia sedang melihat-lihat kondisi pagar dengan teropong.
"Gimana Din?" tanyaku.
"Seperti biasa, mayat-mayat hidup doang" jawabnya santai.
"Ohh, bisakah kita membunuh mereka? takutnya kalau pagarnya tidak kuat Din"
"Tenang aja, pagarnya baja kok. Bisa tahan dari mereka"
Aku mengangguk, kuambil botol air mineral dan kuteguk hingga habis. Segar sekali rasanya.
"Emmm, Din. Sekali lagi makasih ya udah nyelamatin aku" kataku kepadanya.
"Hehe santai aja Gab, udah tugasnya seorang teman kok" jawabnya santai sambil melepaskan teropong itu dari matanya.
"Jadi sekarang kamu anggap aku teman?"
"Iya lah, semua disini aku anggap teman kok hehehe"
"Emm, kalau Nadila?"
Dino tertegun mendengar perkataanku dan menatapku.
"Kalau Dila..... emmmm....."
"Bahkan kamu manggil dia dengan sebutan lain, hehe. Aku udah tahu semuanya kok dari dia tentang hubungan kalian sebelum wabah ini" ucapku. Dino masih menatapku dalam.
"Aku yakin walaupun kalian berteman dekat, kalian saling suka. Nadila memang melakukan sebuah kesalahan dulu terhadap kamu tapi dia punya alasan tersendiri tentang itu...."
"Iya aku tahu. Dia ingin mengejar cita-citanya" jawab Dino datar.
"Kalian bisa ketemu lagi setelah empat tahun pisah, itu sebuah pertanda kalian bisa bersatu lagi Din. Aku senang banget lihat Nadila bahagia"
"Iya Gaby, tapi situasi sekarang berbeda. Aku......" perkataan Dino terputus, aku semakin penasaran dibuatnya.
"Udah ada cewek dihati kamu ya? aku tahu kok siapa"
"Iya, Citra. Tapi kami cuma sebatas... ya..... begitulah" kata Dino sambil mengambil botol air minum.
"Hehe aku gak bakal ikut campur kok sama hubungan kalian entah itu sama Citra atau Nadila. Tapi aku mau kasih saran aja, bahagiakan Nadila, udah itu aja" kataku.
"Emmmm, oke akan aku usahakan" Dino mengangguk. Kami terdiam sejenak sambil melihat-lihat pagar lapangan dari kejauhan. Kupinjam teropong itu dan melihat-lihat sekeliling.
"Oh iya Gab, gantian aku yang tanya sekarang" kata Dino.
"Tanya apa?"
"Aku lihat si Sandi suka ngelirik-lirik kamu loh, mungkin ada sesuatu hehe"
"Ihhh enggak ah, gak ada apa-apa kok" sanggahku.
"Ohh oke dah"
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada bagian pagar yang penuh dengan mayat-mayat hidup. Kupicingkan mataku untuk memastikan. Ada seorang wanita yang berada tepat di tengah kerumunan mahkluk itu, kubesarkan lensa teropong itu. Dia terlihat lemas dengan pakaian yang berwarna merah darah.
"Din, aku ngelihat orang disana" kataku.
"Ah masak sih? mayat-mayat doang itu" balasnya.
"Beneran sumpah, nih lihat aja" kuberikan teropong itu ke dia. "Tuh di bagian sana"
"Iya bener Gab, ayo kita kesana"
Aku dan Dino berlari menuju pagar tempat dimana wanita asing itu berada, dan benar, ia hanya menatap kami nanar. Kami hanya terpaku melihat kondisinya yang memprihatinkan, tapi yang aku heran kenapa mayat-mayat itu tak menyerang si wanita padahal jelas-jelas posisinya ada di tengah mahkluk itu.
"Dino, dia siapa?" tanyaku.
"Aku tak tahu"
"Tolong......." kudengar suara lirih yang berasal dari wanita itu.
"Tolong aku...."
CREDITS ROLL