Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Jalan nan terjal

Status
Please reply by conversation.
Jalan Nan Terjal






GsbQ6vQ.jpg












Part 29









“ Ma.... “


“Mama... “



Teriak pak Yanto dari luar, padahal Rolling door tidak di kunci hanya sedikit rapat saja. Seandainya ia langsung membukanya bisa di pastikan Ian dan Dara kalang kabut. Nasib baik masih berpihak pada kedua insan yang sedang memadu birahi itu.
Dara yang kebetulan hanya menggunakan rok dengan cepat dapat merapikan dirinya, sedangkan Ian masih sibuk membetulkan resleting celananya.

Dara yang rapi terlebih dahulu tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.



“ Gimana ma? Perlu di apakan tempatnya, “



“ Tinggal mengecat aja kok yah? Kata mas Ian ngga perlu panggil tukang, dia bisa kerjakan katanya. “


“ Ooo ya sukur deh, mau langsung di kerjakan atau gimana? “



“ Ngga tau tuh, biar nanti mas Ian yang atur aja deh ya? “



“ An... “


Panggil pak Yanto.


“ Ya pak “


Ian pun menghampiri pak Yanto.


“ Piye? “


“Aman pak, tinggal Cat ulang sama beresin lampu-lampu pak. “



“ O ya wis, atur ae lah An, “


“ Siap pak “


“ Tumben keluar yah “


Ucap Dara pada suaminya



“ Iya, udah mau jam istirahat juga, sekalian keluar lihat kondisi di sini ae lah ma "


“ Oalah... Kok tumben gitu lo? Sekarang mau kemana lagi yah? “


“ Balik lagi lah, kan siapa tau di sini ada yang perlu di bantu to? “


“ Ooo ada dong? Tapi ndak usah lah yah, keenakan mas Ian ntar he he”


“ Ah bisa aja kamu ma, ya wis tak tinggal dulu ya? “


“ Ini kita juga mau pulang kok, kan Cuma lihat-lihat aja sih, paling nanti kalau mau mas Ian yang kesini lagi. “


“ Mau bareng? “


“Ndak ah jalan kaki aja, wong dekat ini kok yah “



“ Yo wis lah “


Pak Yanto pun meninggalkan Dara dan Ian. Tak lama setelah itu Dara juga mengajak Ian pulang.


“Pulang yuk mas, tanggung jawab yang tadi hi hi hi”



“ Ish, aku takut beneran tadi Ra? “



“ Kapok, salah sendiri kesenggol aja langsung begitu hi hi “


“ Hem.... Sengaja mancing kamu ya? Ayok pulang. “



Ucap Ian sambil menggandeng lengan Dara.

Tak sampai lima belas menit mereka sampai di kediamannya, Dara langsung menuju ke kamar mandi sedangkan Ian baru saja selesai mengunci pintu pagar, ia melenggang masuk ke dalam rumah.


Jeglek


Pintu pun tertutup rapat,


Byur


Byur


Byur


“ Mas.... “


Teriak Dara dari dalam kamar mandi, mendengar panggilan itu Ian pun mendekati arah suara.


“ Apa Ra? “


Seketika pintu pun terbuka, tubuh polos tanpa busana berdiri menyilangkan kaki, lekuk tubuhnya yang indah tampak basah kuyup karna guyuran air, sontak hal itu membuat Ian mematung di depan kamar mandi, ia diam matanya tertuju pada makhluk indah di depannya.


“ Tutup lagi ya? “


Ucapan itu sukses membuat Ian terjaga dari diamnya. Lalu ia pun mendekati Dara yang tersenyum menggoda.
Ian segera membuka semua penutup tubuhnya.

Ceklek


Pintu kamar mandi pun tertutup rapat, tak ada lagi suara deburan air, yang ada hanya rintih manja Dara, ia mengangkang lebar dan belahan vaginanya sedang di manjakan oleh jilatan lidah Ian.


“ Iiih... Mash... Udah... Aaah... aaaach... “



Tak butuh waktu lama buat Ian untuk membuat Dara mengerang nikmat, sambil menunggu tenaga Dara pulih setelah orgasme, Ian melumat bibir kekasihnya yang sedikit terbuka, Dara menyambut lumatan pemudanya dengan ganas, lidahnya menyeruak masuk menjelajahi setiap rongga mulut Ian, dan itu artinya ia siap menerima sesi berikutnya, Ian meraih tubuh Dara agar berdiri, satu tangannya menopang pahanya agar mudah melakukan penetrasi, persis seperti di ruko tadi.



Blees



“ Eeemh.. “


Lenguh Dara sambil membenamkan wajahnya di pundak Ian, tangannya memeluk erat tubuh pemuda itu dan lidahnya mulai nakal menjilat leher dan sesekali ia mengulum cuping telinga kekasihnya.
Hal itu membuat Ian bergidik geli.



“ Nakal kamu Ra, jangan di bikin merah ya? “


Ucap Ian sembari menggerakkan pinggulnya.


“ Kamu yang bikin aku kek gini mas. “



Ucapnya merdu di telinga Ian.



“ Lalu? “


Ucap Ian kemudian.


“ Lakukan pelan-pelan ya? Aku sering mual akhir-akhir ini yang”



Ian tak menjawab ucapan Dara, namun ia menuruti kemauannya.

Plek

Plek

Plek


Sodokan yang pelan di barengi dengan ciuman hangat membuat suasana kamar mandi menjadi romantis, selayaknya orang pacaran kedua insan itu memadu kasih dengan begitu mesra, tak memikirkan berapa lama akan mendapatkan orgasme, desahan Dara pun tak seperti biasanya, namun lenguhan kenikmatan masih terdengar walau lirih dan kecipak bibir yang beradu saja yang memenuhi ruangan kamar mandi itu.

Penis yang ereksi maksimal dan minimnya tenaga yang Ian keluarkan membuat Ian dengan leluasa mempermainkan kejantanannya, Ian mengejat-ngejatkan batang kejantanannya di dalam vagina Dara dan sesekali Menarik keatas seolah ingin mencabutnya.



“Iiih.... Itilku ke gesek mas. Enak hi hi hi”


“ Pelan enak juga ya Ra? “



“ Hu um, ayah... “



Ian terkejut mendengar ucapan Dara.



“ Kok? “


Dara meraih tangan Ian yang masih melingkar di pinggangnya, lalu menempelkan di perutnya yang masih ramping.


“ Ini benihmu mas “


Cup


Dara mengecup kening Ian dan mengembalikan posisi tangan Ian di pinggangnya.



“ Pelan ya? “


Ucap Dara lagi, Ian hanya mengangguk saja, walaupun Ian kaget namun hal itu hanya sesaat saja, sangat wajar kalau Dara mengandung anaknya karna memang ia tak pernah memakai pengaman saat berhubungan badan.
Ian tak ambil pusing, toh memang ia yang melakukannya.


Perlahan Ian memaju mundurkan pinggulnya begitu juga dengan Dara, percumbuan yang syahdu dan menghabiskan waktu yang cukup lama dalam satu sesi persenggamaan, bahkan setelah selesai pun mereka masih bermesraan di ruang tamu, Tresno jalaran soko kulino itulah yang terjadi diantara mereka berdua.








Satu minggu berlalu begitu cepat, ruko pun telah siap di isi dengan barang dagangan. Dara memilih perlengkapan rumah dan alat-alat listrik sebagai barang dagangannya, dan Ian di tugaskan oleh pak Yanto untuk membantu Dara menjaga tokonya.


Hooek

Hooek

Sore hari Dara kembali merasakan mual luar biasa, ia mondar-mandir ke wastafel, hal itu membuat sangat suami bertanya-tanya.



“ Ma? Kamu sakit? “


Ucap Yanto kepada istrinya, sedangkan Dara tampak sedikit gugup menjawabnya.


“Eh ndak yah, telat makan kayaknya ini”



“ Bener? Periksa Yok ma? “


“ N ndak usah lah yah? Ndak apa-apa kok. “



“Yo wis, tapi nanti kalau masih mual cepat periksa ya? “


“Hu um”


Ucap Dara dan ia pun pergi ke kamar, waswas takut suaminya curiga itu pasti, cepat atau lambat akan terbongkar juga.


Sedangkan Yanto langsung termenung di ruang tamu, ia mencoba berdamai dengan pikiran buruknya, andai dan andai yang pasti tetap berakhir negatif di otaknya. Ia bukanlah orang yang bodoh soal itu, apa lagi ia tau kekurangan dirinya sendiri.
Ia tampak gelisah.

Argh...


Erangnya membuang sesak di dada, ia pun berlalu menyusul Ian yang masih duduk santai di teras rumahnya.


“ An, toko gimana rame ndak. “


“Alhamdulillah pak lumayan he he “



“ Itu mbakmu di sana banyak istirahat ndak An “


“ Ya kayak gitu pak, lebih sering rebahan sih kalau di toko”



“ O ya wis, tak pikir kecapean kerja he he “



“ Ndak pak, lagian bosan di rumah terus katanya. “


Yanto pun manggut-manggut mendengar penuturan Ian, kedua lelaki itu mengobrol hingga jam sembilan malam sedangkan Dara semenjak masuk kamar sudah tidak keluar lagi.





Hari berlalu begitu cepat, minggu pagi Bambang datang ke rumah pak Yanto, tujuannya menyampaikan niatnya kepada Ian kalau nanti sore akan berangkat ke Ibu Kota.
Ian yang masih penasaran kepada sang Ibu pun diam-diam ingin mengikuti pakliknya.


Setelah pakliknya pergi Ian segera meminta izin kepada pak Yanto dan menyampaikan niatnya.



“Makasih pak “


Ucap Ian setelah mendapat izin, sedangkan Dara yang sedari tadi hanya menjadi pendengar kini ikut berkomentar.


“ Berapa hari mas? “



Ucap Dara.


“ Ndak tau mbak, secepatnya kalau bisa sih he he “


Jawab Ian


“ Ish... Yo wis, toko tutup dulu aja yo yah? “



“ Iya? Kamu kalau sendirian ya repot sendiri ma? “



“ Hu um males juga ndak ada teman di sana “



Ian pun pamit ke kamar untuk membereskan barang yang hendak ia bawa, tak lama Dara pun menyusul Ian. Ia membawa amplop yang langsung di berikan kepada Ian.


“ Jangan lama-lama ya yang? “



Ucapnya pelan sambil menengok keluar kamar.


“ Hu um, dah sana dulu, ndak enak sama bapak lo Ra? “


“ Ih... Di kamar kok dianya, kenapa? Takut ya? Hi Hi Hi “


“ Hus, kamu ndak merasa akhir-akhir ini bapak agak aneh apa Ra”


“ Hu um sih yang? Ah biarin"

Ucap Dara Kemudian, untungnya tadi Ian sempat tanya ke pakliknya naik bus apa, jadi Ian tak perlu repot lagi mencari bus yang berbeda dari pakliknya.











Pagi hari di Ibu Kota Ian turun dari bus malam dan menghampiri warung si ibu yang dulu pernah ia singgahi. Ia lihat sekeliling terminal yang tampak semrawut oleh kendaraan, baik kendaraan kecil mau pun bus malam yang baru saja sampai di terminal.


Matanya tajam menatap kerumunan di luar Terminal, sosok yang tak asing di mata ian tampak bersitegang dengan beberapa orang di sana.

Ian tersenyum, saatnya ia melihat seberapa tangguh pakliknya menghadapi beberapa orang itu.


Ian segera memesan kopi dan meminta di bungkus saja, terlalu jauh jaraknya dari keributan jika tetap berada di warung si ibu.


Tas ransel kecil yang berisikan satu stel pakaian ganti pun ia sangkutkan di pundak dan bibirnya terselip sebatang rokok yang baru saja di sulut, Ian berjalan santai menghampiri pakliknya yang sudah mulai adu jotos.


Lima lawan satu membuat Bambang kepayahan, tentu Ian takkan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi, apalagi ini di kota besar, dan Ian pun berubah pikiran, Ia lupakan soal menguntit pakliknya.


Syuut...


Bugh!

Dengan cepat Ian menghadang seseorang yang hendak menyerang Bambang dari belakang dengan tinjunya, dan tinju itu tepat mengenai mata sebelah kirinya, seketika orang itu jatuh sambil memegangi matanya.
Sungguh gerakan yang tepat waktu karna Bambang tak menyadari ada lawan di belakangnya.


“ Oey bos.... payah ah. “


Ucap Ian meledek pakliknya.


“ Dancuk! Lawan sendiri le!”


“Tinggal dua orang aja ni bos? He he”



Ucap Ian lagi.



Syuuut...


Plak!


Tiba-tiba seseorang menampar Ian, tepatnya menempeleng, sontak pipi Ian panas terkena kulit tangan orang itu.



“Cuiih! Diancuk! “


Ucap Ian setelah meludah, kelima orang itu kini berdiri mengelilingi Ian dan Bambang.



“ Ho ho ho... Mau jadi pahlawan kau anak muda, “



“ Sakit bos! Enak bener Main tempeleng heeeuh....”



Ucap Ian yang masih saja bergurau.




“Bangke lu! Hiaaat... “


Ucap musuhnya yang kesal karna tingkah Ian yang seakan meledek.


Syuut


Plak plak

Degan cepat Ian menangkis pukulan lawan ia sudah tak menghiraukan pakliknya lagi, Ian sendiri menghadapi dua orang sedangkan sisanya di urus oleh Bambang.



Tak butuh waktu lama bagi Ian dan Bambang, ke lima orang itu pergi mengendarai motornya dengan membawa kekalahan telak mereka.



Tak lama setelah itu Ian dan Bambang melanjutkan perjalanannya. Mereka berhenti tepat di tempat Ian dulu berhenti, lalu Ian pun memanggil tukang ojek yang dulu mengantarkan dirinya.



“ Pak tolong antar ke rumah bu Padmi ya? “



“ Padmi? Yang mana ya tong? “


“ Aih, bentar pak.“


Ian pun mengambil secarik kertas
Yang masih saja ia simpan, lalu ia pun memberikan kepada tukang ojek itu.



“ Siap, iya iya. Mau berdua sekalian ape gimane nih. “



“Saya belakangan aja pak, nih. “



Ian pun menyodorkan uang dua puluh ribuan ke tukang ojek itu.



“ Oke... Ayo bang”



Dengan semangat ia mengajak Bambang agar segera menaiki kendaraan miliknya.



“ Ingat paklik, jangan bilang kalau ada aku yo? “


Ucap Ian kepada pakliknya, Bambang pun mengangguk.


Setelah itu Ian pun menghampiri tukang bubur ayam yang sedang mangkal.


“ Bubur satu ya pak “


“Siap”


Dengan sigap bubur pesanan Ian pun di racik, dan dengan sigap pula Ian menghabiskan sarapan paginya, tak lama setelah itu abang tukang ojek pun datang.



Satu jam sudah Ian duduk dan berbincang dengan tukang ojek yang mengantarkan Bambang ke rumah sang Ibu.


Setelah merasa puas Ian pun minta untuk di antarkan menyusul kesana.



“ Ayo pak, antar saya ke tempat yang tadi “



“Yok! “



Lelaki itu begitu semangat, motor melaju pelan dan setelah dekat Ian meminta tukang ojek melewati tujuannya, Ian tak mau langsung menghampiri rumah ibunya, setelah turun Ian berjalan pelan.

Gadis yang pernah ia lihat tak tampak di sana, tidak mungkin sekolah karna hari ini kebetulan hari minggu.
Ian berdiri di pojok depan rumah ibunya, ia ingin tau apa yang pakliknya bicarakan, namun naas gadis itu keluar dari rumah dan melihat keberadaan Ian.


Ian segera memberi kode pada gadis itu agar diam dan meminta gadis itu agar mendekat ke arahnya.
Ian pun menunjuk ke suatu tempat yang terhalang warungnya, si gadis pun mengangguk setuju.

Balai kayu yang berada di bawah pohon rindang menjadi tujuan keduanya.



“ Hai... Masih ingat aku ndak? “


“ Masih dong? Abang apa kabar? Kok ngga bareng om Bambang? “


Ucap gadis itu tersenyum.


“ Baik, sengaja aku takut ibu marah lagi, namamu siapa dek? “



Ucap Ian, mata Ian memerah ada sedikit bulir air mata di sana.


“ Rini bang? Abang kenapa? “


Ian tersenyum pilu, apalagi setelah gadis itu bilang anak dari ibunya, jelas sudah siapa gadis itu. Yah! Saudara sekandung beda bapak, tak masalah buat Ian, Adik tetaplah adik. Dia satu-satunya saudara kandungnya.


“ Kamu tau ngga kenapa dulu ibu marah sama mas. “



“ Ngga tau sih bang, eh bang aja lah ya? “


“Hu um... Senyaman kamu aja sih he he he, eh gimana sama paklik Bambang ibu marah juga ngga? “


“ Ngga sih, Cuma tadi nangis bombai pas di tanya in si Om Bambang. “


“ Lho kok nangis? “


“ Tau tuh, Emak bilang sih, Carik Carik gitu bang? Au deh langsung mewek. “



Degh!


Gigi Ian pun mengerat, amarahnya memuncak. Kalau ibunya seperti itu berarti ada sesuatu dengan pak Carik, pikiran Ian menerawang jauh, memutar memori yang telah ia lewati di kampung halamannya sana, tentang cintanya yang berakhir karna ulah Carik itu juga, tentang dirinya yang sempat menempati kamar tahanan polsek, dan tentang Pak Carik yang bilang ibunya sundal. Semua masih terekam jelas di benak Ian, ternyata semua itu bermuara di sini.

Ia pun beranjak dan mengajak adiknya menemui sang ibu.


“ Assalamualaikum “


Ucap salam Ian, ia sudah tak bisa lagi menahan sesaknya, sedangkan sang ibu tampak terkejut melihat kedatangan Ian, ia tak bisa lagi mengelak.
Mata Ian tajam menatap paklik dan ibunya.


“ Salah saya apa bu? Carik siapa yang ibu maksud dan apa hubungannya dengan saya bu? “


Sang ibu tak menjawab, ia hanya mampu menangis melihat sorot mata Ian yang tajam, “


“ Sabar le? “


Ucap Bambang yang melihat gelagat tak beres dari Ian.


“ Ngga bisa paklik, kalau memang ibu ada urusan di masa lalu kenapa aku yang jadi korban, dan ada apa dengan carik itu? Apa dia penyebab ibu ndak pernah mau pulang selama ini? “



Tak satu pun ada yang menjawab dan hal itu membuat Ian semakin emosi saja.



“ Baiklah, tak perlu menjelaskan apa pun, saya punya alibi sendiri, mungkin dengan menghabisi dia bisa memperbaiki semua ini. “



“Wis a le? Tenang... Ndak usah gitu, “



“ Kalau itu jalannya dengan senang hati tak beresin paklik “



“ Yo ndak gitu juga lah? Kasus kamu nanti le”



“ Ha ha ha bapak sama anaknya sekalian kali ya? “


Ucap Ian dengan seringai anehnya.



“ Hush! Wes sabar ojok sak karepe dewe “



“ Sekarang begini paklik, saya ini sudah dewasa sudah biasa merasa sendiri selain dengan simbah, tapi seyogyanya seorang anak tak boleh melupakan keberadaan orang tuanya. Sekarang saatnya buat ibu untuk menemui simbah dan meminta maaf, paklik tau sendiri simbah itu bagaimana to? Sudah waktunya juga simbah ada yang menunggui di masanya yang sudah semakin menua paklik? “



“Ya nanti tak bicara in sama ibumu le? Tapi kamu jangan gegabah jangan kayak dulu ya le”



“ Kalau keadaannya mengharuskan ya mau gimana lagi, ya to? “



Ian tetap pada pendiriannya dan Bambang terus mencoba menenangkan keponakannya yang mulai di kuasai amarah, sedangkan bu Padmi terus saja menunduk, entah malu atau bagaimana, yang jelas ia tak berani menatap wajah anaknya.


Rini yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu tau kalau sang kakak sedang di landa emosi, maka ia pun menarik tangan Ian dan pergi meninggalkan ibu dan pakliknya.



“ Jalan yuk Bang, dari pada di rumah kek gitu. “




Ian pun menuruti adiknya.



“ Dek, cari tempat yang enak buat nongkrong yuk, “



“ Ayuk, tapi naik angkot yak? “




“Hu um”




Ian mengikuti langkah adiknya, mereka menyusuri jalan setapak yang langsung tembus jalan raya. Setelah menaiki angkot mereka turun di sebuah taman yang lumayan Asri dan banyak pohon besar yang rimbun.



“ Aah.... Akhirnya.... “



Ucap Ian sambil membentangkan kedua tangannya, Rini tersenyum bahagia, ia tak habis pikir kenapa ibunya menyembunyikan keberadaan sang kakak darinya.

Di bangku Stainles keduanya bercengkerama saling tukar pengalaman hidup, dan sesingkat itu Ian bisa akrab dengan adiknya.


“Hai cantik... “


Tiba-tiba seorang pemuda dengan lancangnya menjawil dagu Rini, mata Rini menatap tajam pemuda itu, lalu Rini pun beranjak dari duduknya.



Plak!


Tanpa ragu Rini menampar pemuda itu, sedangkan Ian walaupun sempat kaget tapi ia masih tetap duduk di kursinya.



“ Uuuih.... Galak nih mue he he... Ikut gue yuk neng... Mue he he he “



Sontak Ian pun berdiri.



“Kamu kenal dia? “


Pelan Ian menanyai adiknya, dan Rini hanya menggelengkan kepalanya saja, jelas sudah pemuda di depannya sedang mencari perkara, Ian menatap lekat pemuda itu.



“ Ooo O oooo.... Ada yang ngga Terima ceweknya gue godain ha ha ha... Mau apa loe!! “


Ucap pemuda itu, namun Ian tetap diam, ia menarik lengan adiknya agar mundur. Matanya masih menatap tajam ke arah pemuda itu, bibirnya menyunggingkan senyum.


“ Anjing, loe naksir gue? Napa loe kek gitu njeng! “


Ucap pemuda itu meledek.



“ Tadi bilang apa, kamu mau godain dia? “



Ucap Ian sambil menunjuk adiknya.



“ Kenapa ngga Terima loe hah! “


Hari masihlah pagi tapi bau alkohol begitu menyengat dari mulut pemuda itu.



“ Hah, males ngeladenin manusia madesu kek kamu njing! “



Ucap Ian sambil mengibaskan tangannya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu, namun keadaan berbeda.


Syuut!


Plak!


Dengan cepat Ian menangkis pukulan si pemuda, jelas Ian sudah siap, karna apa yang ia ucapkan memang untuk memancing pemuda itu.



“ Anjer... Hiaaat... “


Pemuda itu kembali menyerang, namun lagi-lagi Ian lolos dari serangannya.


Wuuush... Bugh!!


“ Uuugh.... Sakit? “


Ucap Ian lagi, setelah tinjunya bersarang di dada lawan, Tentu ledekan serta pukulan Ian membuat pemuda mabuk itu kembali menyerangnya.


Namun sia-sia saja, pertarungan yang sama sekali tak seimbang membuat Ian bosan.


“ Heeuh.... Ngga asik”


Gerutunya sembari mengibaskan tangannya, saat hendak melangkah tiba-tiba sang adik berteriak mengingatkan Ian, tiga pemuda tampak berlari dan langsung menyerang dengan frontal.


Pikiran Ian pun terbagi, ia khawatir sang adik menjadi sasaran dari salah satu dari kawanan itu, baru kali ini ia khawatir di dalam pertarungan.
Fatal jika Ian sampai lengah, bukan hanya dirinya tapi juga untuk adik perempuannya, untungnya pemuda mabuk yang pertama menyerang Ian sudah tumbang.


Tinggal mengurus tiga orang yang baru saja datang, kali ini Ian harus fokus menghadapinya, dan benar saja mereka menyerang Ian bersamaan.
Pukulan yang mengambang dan terlihat Ngawur membuat Ian yakin kalau kawanan itu semuanya dalam keadaan mabuk, maka dengan mudah ia dapat melumpuhkan satu persatu musuhnya.


Memang keberuntungan buat Ian, bagaimana nasibnya jika ke empat pemuda itu dalam keadaan normal? Ian pun menggelengkan kepalanya.



“ Ah untung mereka semua pada mabuk dek, kalau ngga gawat kita”



Ucap Ian kepada Rini.


“Iya ya, ah jadi males ah balik aje yuk Bang. “


“Ayuk, kamu sering kesini? “



“ Ngga sih “


“ Jaga diri baik-baik ya? “


“ Siap, yuk ah pulang “



Siang setelah dari taman Ian dan Rini mampir ke sebuah warung makan, mereka menyempatkan makan bersama, baru setelah itu keduanya pulang ke rumah.
Namun saat di rumah keadaan tak se hangat kakak beradik sewaktu di luar tadi, pasalnya sang ibu maupun Ian sama-sama tak mau berinteraksi.



Ian merasa tak di anggap sebagai anak sedangkan sang ibu sedikit pun tak mau menatap muka apalagi menanyai sang anak.


Beruntung adik Ian pintar menenangkan sang kakak, ia tau Ian tak nyaman berada di rumahnya, maka ia mengajak Ian duduk di balai yang tadi pagi mereka duduki.



“ Dek mas nanti langsung pulang aja ya? “


“ Ish... Ngga capek apa bang. “



“ Ngga lah. Mas masih banyak urusan soalnya. “



“ Jam berapa berangkat kesana bang? “



“ Bentar lagi paling jam setengah tiga aku berangkat, eh iya, boleh minta tolong ndak dek, ambilin tas mas dong he he”



“ Siap, eh di mana bang? “



Ian tak menjawab tapi gerak bibirnya cukup membuat Rini paham yang Ian maksud.


Setelah tas itu di ambil Ian langsung mengambil amplop yang ia terima dari Dara kemarin, Ian membukanya dan mengambil sebagian isinya tanpa menghitung jumlah, lalu ia berikan ke Rini.


“ Buat jajan ya dek? “


“ Ish... Abang nih, kebanyakan bang? Buat jajan mah selembar juga cukup he he”



“ Lho kamu ini, kan kita bakalan jarang ketemu? “



“ Iya sih, abang sering-sering kesini makanya he he”



“Iya, tenang sudah tau tempatnya ini. Eh iya nih telepon aja kalau ada apa-apa ya? “



Ucap Ian sembari memberikan selembar kartu nama toko tempatnya bekerja.



“ Abang kerja? Ish kota S jauh ngga bang dari sini”


Ucap Rini saat melihat alamat yang tertera di kartu nama itu.



“ Ndak jauh kok, tapi dari kota S lebih dekat pulang ke kampung sih he he”



“ A elah, jauh dong itu namanya bang “



Ian pun tersenyum melihat adiknya cemberut.


“ Makanya telefon aja nanti biar mas yang kesini ya? “


“ Hu um deh “


Ian pun merebahkan dirinya di balai kayu dan semilir angin membuat Ian tertidur pulas di balai bawah pohon itu.








Pagi hari di kota S Bambang turun dari bus yang ia tumpangi bersama Ian, yah! Bambang memutuskan untuk pulang bersama keponakannya, namun Bambang tak tau kalau Ian berniat langsung pulang ke kampung halamannya, ia turun dengan perasaan yang waswas.

Mau tak mau ia harus segera menyusul keponakannya, mumpung masih pagi dan ia masih sempat menyiapkan segala sesuatunya termasuk mengajak serta sang istri untuk pulang.



Siang hari di area kelurahan Ian berbicara dengan seseorang, orang itu menunjukkan sebuah tempat di bangunan joglo yang tampak rapi, walaupun Ian asli pemuda kampung itu tapi ia belum sekalipun memasukinya. Terakhir ia datang ke area kelurahan sewaktu di panggil oleh Zaenal, itu pun ia hanya berada di pendopo samping.


Setelah mendapat petunjuk Ian pun mendatangi tempat itu.




Brak!!



Pintu pun terbuka dengan paksa, sontak membuat kaget pria yang berada di dalam ruangan itu.


“ Woy... Baj “


Bugh!

Bugh!


Brak!!!



Belum sempat pria yang tak lain Pak Carik itu selesai berucap, mukanya sudah mendapatkan dua kali bogem mentah Ian. Tak puas sampai di situ, Ian menendang kursi yang di duduki pria itu. Al hasil pria itu jatuh terjengkang, tak puas sampai di situ Ian langsung menyeret orang yang di segani di kampungnya itu hingga keluar area kelurahan.


“ Bangun kau bangsat!! “


Plak!!

Crak!

Lagi-lagi Ian menghantamnya, kali ini mata pak Carik yang menjadi sasarannya, membuat Kacamata pak Carik pecah seketika.

Beberapa orang tampak menghampiri tempat kejadian, namun Ian sudah terlanjur kalap, tatapannya tajam ke arah orang yang hendak mendekatinya.


“Jangan ada yang ikut campur!!! “



Ucap Ian keras, tatapannya yang tajam dan raut muka yang berubah bengis membuat mereka tak lagi mendekat, salah satu dari mereka malah ada yang pergi meninggalkan lokasi. Sedangkan Ian terus menarik pak carik dengan paksa. Jauh dan semakin jauh dari lingkungan kelurahan.


Dirasa cukup jauh Ian mendorong pak carik.



Bruuugh!



“ Bangun!! Apa nyalimu hanya sebatas itil saja hah!! “



Ucap Ian kasar.

Pak Carik pun bangun, walau susah payah ia pun bangun, jelas ia tersinggung dengan ucapan pemuda di depannya.



“ Biadab!! Etikamu di mana anak muda, apa kau tak pernah diajari sopan santun hah! “



Ian pun mendekat ia menyeringai membuat pak carik melangkah mundur, ia tau pemuda itu tak akan segan menyerang kalau sudah seperti itu.



“ Apa kamu bilang, etika? Anjing sepertimu tak pantas bicara etika! Maju atau hidupmu berakhir dengan cepat! “



Bugh!


Dengan keras pak Carik menendang perut Ian, pemuda itu terpental ke belakang dan merunduk akibat tendangan yang telak itu, ia menyeringai seolah tak punya rasa sakit. Carik itu bukannya puas malah salah tingkah melihat Ian, ia kebingungan antara lari atau menyerang.



Wuuus...


Bugh!


Brugh!!


Dengan cepat dan sambil berlari Ian menerjang tubuh lawannya, tendangannya melayang tinggi, tepat mengenai dada Carik yang masih kebingungan. Keduanya terhempas ke tanah yang sudah mengeras akibat musim kemarau.



Keduanya langsung bangkit dengan amarah masing-masing, Carik tak lagi ragu, ia tau kalau ia diam Ian benar-benar menghajarnya tanpa ampun, Ian yang melihat itu tertawa puas, ia lebih suka di lawan dengan sekuat tenaga dari pada harus menghajar lawan yang sudah tak berdaya.



“ Maju kau anjing! Ha ha ha”



Wush...


Plak


Plak

Benar saja carik itu pun menyerang Ian, namun sayang serangannya mentah semua, tak satu pun pukulan yang ia layangkan mengenai sasaran. Jelas sudah Ian ingin mempermainkan lawannya, ia selalu berkelit dan berkelit setiap Carik itu menyerang.


“ Ha ha ha, Cuma segitu kemampuanmu? Memalukan sekali hidupmu Carik bangsat, di mana kesombonganmu dulu hah! Apa kau hanya bisa memaksa anak gadis pak Prawiro saja? Ha ha ha”



Tawa Ian, yang jelas pak Carik benar-benar tak menyangka ucapan pemuda di depannya itu seketika membuat ingatannya langsung kembali ke masa lalu, masa yang mungkin sudah tak lagi ia pikirkan akibatnya sekarang ini.

Dan sekarang dengan lantang Ian menantang, bahkan mengancam dirinya beserta keluarga kecilnya.
Dengan perangai Ian yang seperti itu ia yakin Ian tidak sedang bercanda.



“ Kau renggut Kehormatan keramatku dengan paksa dan sekarang saatnya kau menebus semuanya bangsat!.



Bugh!


Bugh!

Blaam!


“ Bangun!!! “


Teriak Ian lagi, matanya menatap sekeliling mencari sesuatu untuk ia gunakan, namun dari arah timur sebuah kendaraan bermotor tampak melaju cepat, Ian tak asing dengan kendaraan itu.


Trang tang tang tang


Begitu Nyaring suara motor itu, dan Ian telah memasang kewaspadaan, ia tau pengendara itu hendak menabraknya.


Laju motor semakin dekat dan dekat, traaang traaang,



Brak!


Ian menghindar tepat waktu, bahkan kakinya sempat menendang motor yang hendak menabraknya, pengendara yang tak lain Iwan itu jatuh tertimpa motornya sendiri akibat tendangan Ian.


“Lemah!! “


Bugh!


Bugh!


Bugh!



“ Aaaargh... Bajingan! “



Teriak Iwan yang meronta kesakitan tertimpa motor dan tak mampu melawan serangan Ian.


“ Ha ha ha biar bapakmu lihat dan merasakan sakitnya anggota keluarganya tersiksa ha ha ha “


Bugh!

Bugh!


Setelah puas menghajar Iwan yang tak berdaya Ian pun menghampiri pak carik, Lagi-lagi tanpa iba ia merenggut kerah baju lelaki dewasa itu dengan paksa, ia menyeretnya agar berkumpul dengan anak lelakinya.


Plak!


Plak!


Bugh!


Brugh!


Lelaki itu tersungkur persis di sebelah anaknya.



“Mue he he... Manusia lemah kalian! Beraninya sama tempik saja, bangun dan keroyok saya, atau kalian selesai mengenaskan di sini! “



Ucap Ian dengan lantangnya, ian tau banyak yang melihat kejadian itu, bahkan seluruh penghuni kelurahan pun berkumpul. Tapi Ian tak peduli, ia sudah sangat siap dengan resikonya.



“ Bangun pecundang!! “



Teriak Ian lagi.


Dengan tergopoh-gopoh sang bapak membangunkan anaknya yang baru saja berhasil menyingkirkan motornya, kini keduanya berdiri tegap.



Mau tidak mau mereka harus melawan Ian, harga diri mereka sebagai orang yang di hormati telah di injak-injak oleh seorang anak muda.



Geram sudah pasti, kemarahan apa lagi, Iwan yang tak Terima bapaknya telah di hina tak menghiraukan rasa sakitnya. Ia maju menerjang Ian, pukulannya membabi buta, tenaganya pun masihlah kuat walaupun sudah cidera, namun sayang seorang Ian sudah tak mengenal takut.


Adu pukulan terjadi begitu sengit, tak ada lagi kata yang terucap, keduanya berlomba untuk saling menjatuhkan.
Bahkan ayah Iwan pun ikut merangsek maju, dan Ian tak sadar akan hal itu, kaki bagian belakang Ian terkena jejakkan dari pak carik, sudah pasti membuat keseimbangan Ian terganggu, bahkan ia hampir saja jatuh bersimpuh.


Dengan sisa keseimbangannya Ian memutar tubuh beserta kakinya yang menyeser ke bawah, tak kuat memang, tapi hal itu mampu membuat pak carik limbung.


Sedangkan Iwan yang merasa mendapat kesempatan langsung menghujamkan tendangannya ke tubuh belakang Ian, mau tak mau Ian jatuh terjungkal, dengan cepat Ia menggulingkan tubuh ke samping,


Bugh!


Jejakkan susulan yang meleset, beruntung Ian segera menggulingkan tubuh, kalau tidak ia sudah pasti di lumpuhkan dengan serangan susulan dari Iwan.



Sreek!

Bugh!


Kesempatan yang benar-benar Ian gunakan dengan baik, Lagi-lagi kaki Ian menyeser bawah dan tepat menyambar kaki Iwan yang menjejak hamparan tanah, hasilnya Iwan terpelanting jatuh.



Ian sendiri segera bangkit berdiri, Aura membunuh tampak jelas terlihat namun baik Iwan maupun carik sudah pernah melihat Aura seperti itu dari Ian. Maka dengan segera Iwan dan ayahnya memasang kewaspadaan tinggi, mereka tau jika musuhnya sudah seperti itu maka hal buruk sangat mungkin terjadi.



Gheeerh....


Gheeerh...


Ian mengaum seperti seekor binatang, dan hal itu sungguh sangat jarang terjadi padanya. Bahkan kedua lawannya sampai mundur beberapa langkah, mereka sadar ada sesuatu yang tak biasa.


“ Iantono berhentilah ngger! “



Ucap sang kakek yang tiba-tiba berada di belakangnya.
Ian hanya menoleh dan kembali maju hendak menyerang musuhnya.


“ Le? Seleh le? “


Sebuah tangan keriput menepuk pundak Ian, seketika Ian menghentikan langkahnya, bahkan sorot mata yang mengerikan pun sirna seketika, neneknya tersenyum dan mengusap rambut cucunya.



“ Wes sing seleh... Jangan biarkan dirimu di kuasai amarah, ingat gustimu yang memberikan kehidupan ini. Biarkan beliau yang menghukum apa pun keburukan itu. Sabar sadar, ayo pulang ngger? “


Ucap sang nenek, Ian luluh dan tak ada kata terucap ia mengikuti langkah neneknya.


Sedangkan Bambang yang datang bersama dengan kedua orang tuanya pun ikut pulang, namun sebelum pulang ia menghampiri Carik dan anaknya, jari telunjuknya menunjuk tepat di depan muka pak Carik.


“ Lihatlah hasil kebejatanmu di masa lalu, aku yakin anak itu tak akan tinggal diam, ingat itu Carik biadab! “



Setelah itu Bambang pun berlalu meninggalkan carik dan anaknya.








Malam harinya Ian bertandang ke rumah Heru, sudah sangat lama semenjak ia bermasalah dengan Iwan cs Ian tak pernah lagi menemui sahabatnya itu.



“ Assalamualaikum... “



Ucap salam Ian, pintu pun terbuka, tampak wanita sedang menggendong balitanya membukakan pintu untuk Ian.


“Waalaikumsalam... “



Ucapnya membalas salam Ian.



“ Loh! Mbak kok lo... “



Ucap Ian sedikit agak konyol karna merasa heran, sedangkan wanita itu hanya tersenyum menahan geli karna raut wajah Ian yang terlihat lucu.



“ Hoy! Setan mana yang bawa kamu kesini cuk! “



Saut Heru sembari berjalan menghampiri tamunya.



“ Setan alas cuk! Kesambet aku ha ha ha”



Kelakar Ian, suasana pun menjadi riuh karna kedatangannya.



“ Apik koe cuk! Wes mbojo ada tamu juga ngga di persilahkan masuk, dasar ndan ups”



“ Berisik! Masuk lah”



Ucap Heru dengan satu tangan yang langsung membekal mulut Ian. Mereka pun lanjut duduk di ruang tamu.



“ Memang Dancuk kamu itu An, sekali datang bikin orang sekampung geger geden, ada apa kok sampai kayak begitu toh? “



“He he males aku bahasnya Her, ndak usah lah ya? Masalah pribadi juga kok he he “



“ Ooo gitu toh? Iya iya, Cuma yo kamu mesti jaga diri juga, ndak usah terlalu nekat lah cuk “



“ Siap! Anak muda kan harus dengar apa kata yang tua ha ha ha’



“ Dancuk! Ha ha ha”



Tak lama Wulan datang membawa dua gelas kopi hitam untuk Heru suami barunya dan Ian.


“ Ngopi dulu mas, “



Ucap Wulan dan di jawab anggukkan kepala oleh Ian.



“ Assalamualaikum “


Ucap salam dari luar terdengar, suara yang tak asing di telinga Ian sekaligus membuat dada Ian bergemuruh, sesak yang lama tak ia rasakan kini kembali mendera.



“Waalaikumsalam “


Balas Heru dan Wulan bersamaan, sedangkan Ian diam terpaku, menanti sosok yang telah lama tak ia jumpai, tepatnya ia hindari.


“ Monggo mbak masuk”



Ucap Wulan lagi, Indriani tersenyum menanggapinya, lalu ia menatap Ian, matanya sedikit mengembang.



“ Ehem.... “



Heru berdehem, hening sesaat, mereka saling berpandangan.



“ Mas Ian apa kabar”


Ucap Indriani memecah keheningan.


“ Baik, kamu? “


“ Baik juga mas. “


“ Hop wes stop, ntar ae kangen-kangenannya he he”


Canda Heru yang melihat kedua orang di depannya saling pandang.


“Ish... Rese! “


Ucap Indriani, sedangkan Wulan kembali ke dapur, tak lama Wulan kembali dengan dua gelas teh manis hangat.



Tak terasa satu jam Ian berada di rumah Heru dan Indriani pun sudah beberapa kali pulang menengok anaknya, Ian pun pamit kepada Heru dan istrinya, Indriani sendiri ikut pulang bareng dengan Ian.



“ Mas mau langsung pulang? “



“ Em... Gimana ya? “



“ Apanya yang gimana mas? Mas ngga mau lihat jagoanku dulu? “



Ian pun tersenyum, ia ikut Indriani menuju rumahnya.


“ Suamimu? “


Ucap Ian singkat.


“Ada, ini sama aku lagi jalan bareng hi hi”


Canda Iin, tangannya tak segan menggandeng Ian.



“Serius ah dek? “



“ Iya adek serius kok, emang ada yang lain? Dia Cuma formalitas aja masku? “



“ Maksudnya? “


“ Makanya ikut adek lihat jagoan kita dulu. “



Ian pun menghentikan langkahnya, ia tau yang di maksud kita oleh Iin, kedua tangannya memegang bahu Iin dan otomatis mereka berdiri berhadapan, tatapan mata yang sangat dirindukan Iin setiap hari kini terwujud, dalam keremangan malam tanpa kata yang terucap, tatapan mata keduanya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya, ada rindu yang teramat dalam disana.



“ Mas jahat banget, adek sendirian disini mas? “



Iin tak sanggup lagi, ia memeluk kekasihnya, isak tangis pun tak terelakkan lagi.



“Maaf”



Ucap Ian singkat, tangannya membelai rambut kekasihnya.



“ Jangan jauh-jauh mas, adek takut “



“Iya, maaf ya? “



Ucap Ian lagi, pelukan mereka pun semakin erat, andai saja suami Indriani bukanlah Iwan, Ian akan mundur dengan teratur, bahkan sebelum kejadian siang tadi Ian sudah berniat menghindari hal ini, namun sejak kejadian siang tadi dan apa yang telah Carik lakukan kepada ibunya di masa lalu membuat Ian berubah drastis, itulah sebabnya ia datang ke rumah Heru, karna dengan begitu sudah pasti Iin akan menghampiri dirinya.










Sementara itu di rumah Ian kakek dan neneknya terlihat serius berbicara membahas cucunya.



“ gimana ini pak, apa pakne ndak khawatir cucumu itu salah melangkah nantinya pakne? “



“ ndak apa-apa bune selama Ian bisa menjaga amarahnya sebenarnya ndak jadi masalah, bapak minta bune jangan pernah bilang ke Ian yo bune? “



“ iya? Tapi tetap aku kok ya khawatir sama anak itu to? “



“ ngga apa-apa? Biarkan saja, selama ini itu yang menjaga Ian, semoga Ian ngga sadar yo bune? “



“ iyo pakne? Yo wis, aku kok ndak sabar pengen lihat cucu kita itu punya pasangan hidup to? “




“Sabar... He he... yo wis biar berjalan apa adanya ae lah, kita ndak bisa paksa anak itu juga to? “



Nenek Ian pun hanya mengangguk menanggapi ucapan suaminya, lalu mereka pun bersiap untuk beristirahat.



Bersambung
Jiangkrikkk...uripe lan koyo dalan juwangi...deng brocelll.....ngenteni sui,,mocone sedelok....ckckckck........tp sipp..***sskeunnnnn...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd