Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA BADAI NAFSU

Status
Please reply by conversation.
Prakiraan cuaca BMKG

di lapak om @Jaka_Balung
malam ini tepat jam 22:00 WIB akan terjadi BADAI NAFSU. Fenomena tsb berefek menciptakan potensi COLI massal hampir di seluruh member area cerbung forum semprot. ;)
 
baru mo diingetin gan.. malam minggu nieh.. ngeri nunggu seminggu lagi mah..
 
BAB I-b


BADAI NAFSU

Semakin panas pergulatan yang di dalam kamar, semakin berkeringat dan memburu napas Pak Juha. Hingga ketika dua sosok tubuh di dalam kamar terserak badai kenikmatan, Petani malang yang mengintip itu ikut berlutut lemas dengan tangan yang entah kapan sudah menggenggam batang penisnya yang menyemburkan mani di luar keinginannya.

Di dalam kamar yang lain, Imas, puteri satu-satunya dari Bu Esih dan Pak Juha juga tergeletak lemas. Ia baru saja menonton sebuah pertunjukan lain, pergulatan lain dari yang biasa ia intip dari persetubuhan kedua orang tuanya. Imas, perawan desa yang baru saja beranjak baligh, tanpa disadarinya telah melangkah ke hal tabu dari yang seharusnya diketahui oleh seorang remaja puteri seumuran dia. Tidak perlu teknologi dan berselancar internet seperti seumurannya di kota besar sana. Sudah dari usia lima belas tahun, Imas mengenal hasrat aneh yang bergejolak liar saat ia sengaja atau tidak sengaja mengintip persenggamaan kedua orang tuanya, atau sekarang melihat ibunya digumuli pria lain selain ayahnya.

Seperti kebiasaan dari sifat para remaja dengan semangat keingintahuannya, walau mengerti benar tentang tabu dan larangan. Namun dengan kegiatan malam yang berlangsung, hasrat itu bagai ombak samudera yang mengalun lambat namun mampu menghancurkan karang sekokoh apapun. Imas yang sesungguhnya bukanlah Imas sebagai gadis remaja dusun yang polos dan tak tahu apa-apa tentang hubungan dua orang berbeda jenis kelamin. Imas seperti mempunyai bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Seperti kata pepatah lama; seorang gadis sering kali mengidolakan ayahnya, seperti seorang anak laki-laki yang mengidolakan ibunya. Pertama kali mereka mencari pasangan hidup, mereka akan berusaha mencari sosok yang mirip dengan sosok-sosok idolanya itu. Itulah yang terjadi juga dengan Imas, dengan kebiasannya mengintip itulah, lambat laun ia mempunyai fantasi sendiri saat hasratnya sedang menggebu-gebu. Alam bawah sadarnya selalu mengarahkan wajah tangguh Pak Juha, bapaknya, sebagai obyek fantasinya itu. Imas sadar dan tahu benar bahwa hal tersebut adalah dosa besar. Namun saat ia mencoba mengalihkan bayangan bapaknya ke Solihin, ia selalu gagal. Bayangan ketangguhan bapaknya sedang menggauli ibunya terus terbayang-bayang selalu.

Saat Juragan Somad dan Barep datang bertamu ke rumahnya setelah Maghrib, saat itu Imas memang sedang belajar mengaji di langgar sampai Isya menjelang. Setelah menunaikan shalat Isya, dengan diantar oleh Solihin, pemuda yang usianya terpaut empat tahun di atas Imas, gadis remaja itu diantar seperti biasanya sampai pekarang rumah Sang Gadis.

Sepanjang jalan dalam menyusuri jalan kampung dalam cahaya purnama dengan tanpa penerangan lain, kedua muda-mudi itu berjalan tanpa kata-kata. Telapak tangan mereka saling-genggam, tanpa kegiatan lebih. Namun untuk Solihin itu lebih dari cukup, untuknya terus ber-istighfar. Jelas bahwa hal yang seperti itu dengan bukan muhrim adalah dosa, seperti yang selalu dipepatahkan oleh para Ustadz maupun Kiayi di pondok pesantrennya.

Lain halnya dengan Imas yang kedewasaannya jauh melampaui usianya. Ia menginginkan lebih! Tak sekedar saling menggenggam tangan, ia ingin Solihin seperti bapaknya saat bersama dengan ibunya di kamar. Hasrat yang tak tersalurkan seperti itu, membuat napas Imas memburu dengan telapak tangan yang berkeringat. Mengakibatkan genggamannya pada tangan Solihin lebih erat remasannya. Pertama kali, Solihin jelas kaget, bingung dan tak mengerti. Hanya mempunyai dugaan bahwa gadis pujaannya itu sedang ketakutan berjalan dalam kegelapan malam. Yang dia bisa lakukan hanya balas meremas, sehingga setiap malam saat mereka berjalan pulang, remas-meremas itu terus berlangsung.

Dan malam itu, ketika Imas dan Solihin hampir sampai di rumahnya gadis itu ketika mendadak Imas berhenti mendadak.

“Kenapa, Nyi?” tanya Solihin keheranan.

“Ada bapa!” sahut Imas pendek, dagunya menunjuk ke arah rumahnya.

Benar saja, Solihin melihat dua orang pria sedang duduk-duduk di beranda rumah gadis itu. Yang satu adalah Pak Juha, bapak Imas, yang satu lagi dia kenal sebagai Barep, Hansip sangar dusunnya yang secara tidak langsung merupakan tukang pukul Lurah Somad, kepala dusun mereka.

“Sampai di sini saja Aa mengantar Imas. Aa boleh pulang,” kata Imas perlahan, menatap wajah Solihin yang gagah dengan kumis tipis menghiasi atas bibirnya yang sedikit tebal. Solihin mengerutkan keningnya, sebelah tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang ikal tebal membuat kopiah yang dipakainya agak bergeser. Namun akhirnya dia memaklumi bahwa akan menjadi salah faham buat Pak Juha melihat anak gadisnya diantarkan seorang pemuda yang walau pun saling kenal, tentulah bukan kejadian lazim di dusun mereka yang masih banyak hal larangan tabunya.

“Baiklah, kalau begitu Aa langsung pulang ya, jangan lupa besok selepas Maghrib untuk melanjutkan kembali mengajinya,” ujar Solihin manggut-manggut.

“Iya Aa, hati-hati di jalan,” jawab Imas tersenyum manis. Cukup untuk membuat pemuda itu dadanya kembang-kempis saking senangnya.

Selepas sosok tubuh Solihin lenyap dalam tikungan kebun jagung, dengan mengendap-endap, gadis itu bukannya menuju pekarangan rumahnya, namun ia memilih jalan berputar menuju ke belakang rumahnya. Melihat Barep yang tidak seperti biasanya berada di depan rumah berserta ayahnya, bukan di warung tuak Mang Darmaji seperti kebiasaannya mabuk-mabukan. Imas memang tidak suka ke lelaki itu yang selalu kurang ajar bila bersua dengan ibunya. Tangan kasarnya selalu saja iseng menjawil sekenanya ke tubuh ibunya. Hanya karena ibunya tidak suka akan keributan yang akan terjadi apabila diadukan ke bapaknya lah, sampai sekarang kejadian-demi kejadian menyebalkan itu hanya mereka berdua yang tahu.

Sampai di depan pintu dapur, Imas mengintip dari lubang kecil bilik dapur, barangkali ibunya sedang memasak. Namun dapur itu kosong tiada seorang pun, hanya suara retak kayu bakar yang sedang dimakan api di hawu, akhirnya gadis itu mengambil ranting untuk mengangkat selot kayu kecil yang biasa dipasang untuk mengunci pintu dari dalam.

“Ah, Si Ema ..., kebiasaan kalau lupa sedang memasak air sampai menggelegak begini,” sungut gadis itu dalam hatinya saat mendengar gelegak air yang sudah mendidih di panci. Imas menarik kayu-kayu bakar itu untuk dipadamkan apinya, hingga hanya meninggalkan baranya saja.

Dari pintu dapur yang hanya berlantai tanah, Imas melongok ke dalam ruangan dalam rumahnya, ibunya tetap tak ditemukan, atau sedang di dalam kamar? Hatinya bertanya-tanya. Dengan mengendap-endap agar langkah kakinya tidak menimbulkan suara berderit di lantai papan kayu rumahnya, ia masuk ke dalam kamarnya yang gelap tanpa penerangan lentera. Namun karena sudah hapal benar keadaan kamarnya, baru saja ia meletakkan kitab suci yang sedari tadi dipeluknya ke tas meja kecil di sudut ruangan kamarnya. Tiba-tiba telinganya mendengar geraman seseorang di kamar sebelah yang bukan lain adalah kamar orangtuanya. Germaan yang diiringi desahan serta erangan yang ia hapal adalah suara ibunya. Namun geraman itu ...? bapak bukannya sedang bersama Barep di depan?

Erangan dan desahan dari ibunya itu, Imas sudah hapal benar. Membayangkannya saja, meremang sudah bulu-bulu di sekujur tubuhnya. Dengan jantung yang berdebur-debur tak karuan,

Betapa kagetnya gadis itu saat dari lubang faforitnya, ia menyaksikan pria lain sedang berpeluh-peluh menggauli ibunya! Sesosok tubuh gempal yang kebetulan wajahnya yang memerah itu menghadap ke arah bilik di mana ia sedang mengintip. ..., Juragan Somad?!

Hampir saja Imas memekik saking kagetnya! Untung ia segera menekap mulutnya yang ternganga, walaupun ada sedikit jeritan kecil yang agaknya sama sekali tak mengganggu dua sosok tubuh yang sudah dibanjiri peluh itu. Tertutup oleh geraman dan erangan demi erangan kenikmatan birahi yang tengah dipacu oleh keduanya.

Mendadak saja, gelegak hasrat birahi Imas yang bergejolak dari saling remas tangan dengan Solihin tadi, kemudian sempat padam, kembali bergelora. Hal berbeda dari yang biasa disaksikannya, membuat dada yang mulai membusung itu kembang kempis, napasnya mulai memburu. Hentakan-hentakan pantat Juragan Somad saat memompa ibunya, membuat Imas seperti ikut merasakan kenikmatan birahi yang tengah dirasakan langsung oleh ibunya.

Tanpa disadarinya, jari-jari Imas meluncur ke balik kain bawahannya, menyelip ke balik celana pendeknya, lalu menyelusup masuk ke celana dalamnya yang mulai basah oleh lendir perawan yang merembes keluar.

Napas gadis itu mulai memburu dengan mata yang terus mengintip dari lubang bilik kamarnya mulai sayu. Ia sudah biasa menahan erangan saat jari-jarinya leincah menggesek-gesek bahkan salah satu jari tengahnya mencolok-colok ke dalam lubang vaginanya yang sudah banjir oleh cairan lengket. Jari-jari dari tangan yang lain sibuk meremas-remas payudaranya sendiri. Tarikan napasnya makin cepat, wajahnya sudah merah oleh birahi yang menggelegak sampai ke ubun-ubunnya.

Seperti dalam satu komando saja, saat Juragan Somad dan Bu Esih mencapai puncak dari kenikmatan birahinya, begitu juga dengan Imas juga Pak Juha yang juga mengintip pertarungan birahi di lubang bilik lainnya, mereka ambruk dengan kepuasan masing-masing.

Tubuh Imas tergeletak lemas di atas balai tempat tidurnya dengan keringat yang membanjir dari seluruh pori-pori kulitnya.

Keempat sosok tergeletak dalam badai nikmat yang melelahkan. Pak Juha beringsut ke tengah ruangan, meringkuk nelangsa. Sementara Imas meredakan napasnya yang memburu, sedikit bingung dengan jari-jarinya yang berleleran cairan lengket dari vaginanya. Mau keluar, takut. Akhirnya nekat, kain selimutnya dipakai sebagai lap. sementara Juragan Somad memeluk Bu Esih yang setelah reda birahinya, menggulingkan tubuh montoknya menjauh dari tubuh gempal Juragan Somad diringi isak tertahan. namun Ki Lurah Dusun Cisoka itu segera menahan dengan merangkulnya.

“Malam ini sungguh menyenangkan sekali bagiku, Esih. Seperti dugaanku, kau memang hebat di urusan ranjang,” bisik Juragan Somad sambil membelai rambut Bu Esih yang terurai awut-awutan.

“Tolong, Juragan. Ja-jangan mengganggu saya lagi,” isak Bu Esih mencoba melepaskan diri dari rangkulan pria itu.

“Tidak, Esih. Kau tidak akan kulepaskan lagi. Sudah lama aku menginginkanmu. Untuk wanita semanis engkau, Si Juha tak layak untuk menjadi pendampingmu,” rayu Juragan Somad sambil tetap membelai kemudian mengelus-elus sekujur tubuh montok itu yang gemetaran. Entah gemetar ketakutan atau gemetar kembali terangsang.

“Saya mohon, Juragan. Ja-ngan mengganggu kami la-giii-hhh ...,” rintih Bu Esih dalam isaknya. Sedikit menggelinjang ketika jari-jari pria itu menggaruk lembuk sisi-sisi pinggulnya.

“Aku bisa saja menuruti kemauanmu, Esih. Tapi kupikir lagi, aku tak akan tega dengan yang akan kau alami di kemudian hari,” Juragan Somad menghentikan belaiannya. Kemudian bangkit duduk berselonjor kaki di samping tubuh Bu Esih yang posisinya masih membelakanginya.

“Mm-maksud, Juragan?” Bu Esih tanpa sadar membalikan badannya walau tak lupa menarik kain untuk menutupi badannya yang bugil. Sepasang mata yang berlinang air mata itu menatap wajah gemuk Juragan Somad yang terpaksa menelan ludahnya. Wajah bulat manis itu seperti menantangnya. Namun dia harus memasang jerat dulu, pikir Ki Lurah itu sambil membuat siasat.

“Begini, Esih ..., laki-laki mana yang masih mau sama wanita yang sudah digauli laki-laki lain? Coba kau bayangkan! Apakah SI Juha masih mau menerima kau setelah dia tahu malam ini kau kutiduri? Kau akan tersiksa sendiri, Esih!” kata Juragan Somad mulai menebarkan racun kata-kata kepada Bu Esih sambil tangannya iseng mengelus-elus penis gempalnya yang masih tegak perkasa.

Bu Esih agak tersipu malu, karena kebetulan posisi kepalanya saat itu tepat menghadap sejajar dimana Juragan Somad duduk berselonjor, jelas dalam posisi seperti itu, kegiatan Juragan Somad mengelus-elus kepala penisnya sangat dekat sekali dengan wajahnya.

“Kang Juha tidak mungkin seperti itu,” keluh Bu Esih perlahan dengan suara tidak yakin.

Juragan Somad menangkap ketidakyakinan itu dalam nada suara perempuan itu. Dia menyeringai senang, “Aku tahu betul watak Si Juha, Esih. Keras dan tinggi hati. Dan aku tahu kau lebih paham mengenai itu. Jadi sebelum kau mengalami hal yang buruk, aku dengan senang hati bersedia mengambilmu menjadi istri keduaku. Sudah terlanjur, Esih. Aku bukan seorang laki-laki yang gampang lari dari tanggung jawab. Kau menikmati hal-hal yang tak pernah kau dapatkan dari Si Juha. Pakaian, uang, perhiasan, semua yang kau inginkan, kau akan memiliki dengan segera!” bisik Juragan Somad sambil merubah posisi duduknya dengan menyamping. Membelai bahu perempuan itu yang memejamkan mata kebingungan ketika kepala penis Juragan Somad berada tepat di depan hidungnya yang mengendus bau sperma yang sudah mengering serta bau lendir dari vaginanya sendiri. Bau asing, bau yang membuatnya malah terangsang kembali! Apalagi sentuhan dan belaian seorang ahli dari Juragan Somad kembali bergerilya menyentuh bagian-bagian sensitifnya.

“Bagaimana, Esih?” Juragan Somad berbisik di telinga perempuan itu sambil iseng menggelitik cuping telinganya. Posisi badan yang membungkuk dari pria itu membuat kepala penis miliknya menekan mulut Bu Esih.

“J-juragan ..., A-akuuu ...,” Bu Esih mencoba menarik wajahnya menjauh.

Namun tubuhnya sudah dalam kekuasaan rengkuhan Juragan Somad. Sekali tarik, kain yang tadi menyelimuti tubuh montok itu telah terlempar ke bawah balai tempat tidur.

Jari-jari gempal Juragan Somad telah menelusuri belahan pantat padat Bu Esih, menggesek dan merangsek mencari-cari lubang basah yang menyembul terjepit sepasang paha sekalnya. Jari manisnya menggaruk lubang anus Bu Esih, sementara dua jari lainnya membelah bibir vagina gemuknya yang dengan cepat sudah kembali basah dan licin. Pinggul perempuan itu sesekali berkedut setiap garukan di lubang anus dan sentuhan pada daging kecil paling sensitif di vaginanya. Ketika kedua paha sekal itu sedikit merenggang memberi celah agar jari-jari gemuk Juragan Somad bisa leluasa menjelajahi vagina gemuk tersebut.

Masih dalam posisi membungkuk, walau pun agak susah payah teganjal perut yang sedikit membuncit. Mulut Juragan Somad tak menganggur, menciumi dan menjilat tengkuk Bu Esih yang terus menggelinjang tanpa henti. Jari-jari gemuk dari tangan yang lain, menggaruk-garuk perlahan punggung dan pinggang Bu Esih.

“Hmmmfh ...,” desah Bu Esih tak terlalu jelas, karena separuh penis gemuk Juragan Somad sudah berada dalam mulutnya. Membuat pria itu meram-melek merasakan kehangatan dan sedikit geli ketika sentuhan-sentuhan lidah basah Bu Esih begerak-gerak menelusuri batang penisnya.

Pikiran sederhana dan polos dari perempuan dusun itu telah masuk dalam jeratan racun kata-kata dari Juragan Somad, jadi tidak seperti pada saat pertama kali, di kali kedua ini, Bu Esih seakan sudah nekat dan tak perduli lagi dengan yang akan terjadi selanjutnya. Yang ada di pikirannya saat itu adalah kembali meraih hal yang belum pernah diraihnya saat bersetubuh dengan Pak Juha, suaminya. Birahi liar! Persetubuhan nakal! Yang membuat gairahnya meledak-ledak menuntut pelampiasan. Dan Juragan Somad memang ahlinya. Dengan dibantu pil tahi kambing kebanggaannya. Dia mampu melayani keliaran dari perempuan dusun yang ternyata saat sedang birahinya yang kedua meninggi, begitu buas dan liar!

Kalau pada awalnya, ia bersikap pasif, kini Bu Esih lah yang memegang kendali. Membuat Juragan Somad hanya tinggal terima beres, meram-melek menikmati goyangan dan kedutan dari vagina Bu Esih yang liat dan pulen.

Penis gemuk di dalam vagina gemuk. Bergerak berirama diiringi desahan dan geraman saling bersahutan. Hentakan-demi hentakan berdentam dari beradunya pinggul montok yang bergoyang memutar tanpa henti. Cakaran dan gigitan dari kedua orang yang sedang dimabuk birahi itu bergantian menghiasi dada dan punggung mereka. Sesekali, mereka berguling berganti posisi. Rambut panjang bergelombang Bu Esih sudah sangat berantakan, sebagian menempel di tubuhnya yang basah oleh keringat. Napas keduanya menderu-deru dalam tarikan memburu.

Hingga dalam suatu saat;

“Essiiihhh ...!” geram Juragan Somad dengan suara serak. Jari-jarinya mencengkram dua bongkah pinggul Bu Esih, membuat satu sentakan yang mendadak.

“Aughhh ...!” Bu Esih sedikit meraung saat merasakan penis Juragan Somad melesak lebih dalam. Tubuh montok itu menjengking dengan mulut ternganga dan mata terbeliak.

“Ceplok ...! Ceplok!” dua sentakan cepat kembali menghantam.

“Hkkkhhh ...!” Bu Esih mengeluarkan suara seperti tercekik. Menarik pinggulnya lalu balas menghantam. Cukup satu hantaman yang mampu membuat kepala penis Juragan Somad yang tengah terhimpit dalam liatnya dinding-dinding vagina Bu Esih meledak!

Dua kelamin itu saling berkedut dengan cepat. Saling menyemburkan cairan-cairan kenikmatan. Kedua tangan Juragan Somad yang tadi mencengkram bongkahan padat pinggul Bu Esih beralih ketengkuk, menariknya. Kedua mulut itu itu dengan rakus saling gigit dan saling hisap. Dengan pinggul-pinggul yang terus saling menekan. Hingga akhirnya, tubuh montok Bu Esih yang berkilat basah oleh keringat itu dalam temaramnya lampu lentera, ambruk di atas tubuh yang lain.

Juragan Somad memeluk erat-erat tubuh Bu Esih yang merasakan seluruh tulang-tulangnya seperti terlolosi. Lemas tak bertenaga. Dihisap habis oleh badai berahi yang luar biasa dahsyatnya. Keduanya terdiam dalam kebisuan, kecuali dua deru napas memburu saling bersahutan.

Menjelang shubuh, Juragan Somad telah rapi mengenakan pakaiannya. Kemudian dia duduk di samping tubuh Bu Esih yang meringkuk terbungkus oleh kain yang dijadikan selimut. Meringkuk dalam posisi membelakangi.

“Sore nanti aku akan menjemputmu, Esih!” bisik Juragan Somad sambil memberikan kecupan hangat di pipi perempuan itu yang tak bereaksi sedikit pun.

Lalu terdengar derit perlahan dari langkah kaki berat Ki Lurah itu meninggalkan kamar. Seringai sinis tersembul, ketika melihat Pak Juha yang meringkuk kedinginan di atas tikar di ruangan tengah. Setelah membangunkan Barep yang juga tertidur di beranda rumah, dua sosok tubuh itu kemudian berjalan meninggalkan rumah Pak Juha, menembus kabut gelap yang luar biasa dinginnya di dusun Cisoka tersebut. Begitu hening ketika suara-suara serangga-serangga malam tak terdengar samasekali. Kecuali gonggongan anjing sesekali terdengar sayup-sayup, entah darimana datangnya.

Bu Esih meringkuk dengan isak tertahan, rasa penyesalan atas apa yang terjadi tadi membuatnya hampir-hampir tak kuat menahannya. Ingin sekali ia menangis meraung-raung, memaki-maki Juragan Somad yang telah meruksak rumah tangganya, mencaci Pak Juha sebagai suami tak becus menjaga kehormatan keluarganya.

Walau pun ia merasa sangat lelah, namun seperti kebiasaan perempuan-perempuan dusun, yang terbiasa bangun shubuh-shubuh. Bu Esih, menyalakan kayu bakar, menjerang air, serta kegiatan-kegiatan yang menjadi rutinitasnya. Itulah yang dilakukan Bu Esih selanjutnya. Saat keluar kamar, ia melihat suaminya tertidur meringkuk, mana berani ia membangunkannya setelah kejadian semalam. Ia hanya mampu mengambil kain baru dari lemari, lalu menyelimuti tubuh yang sedang menggigil kedinginan dalam tidurnya itu dengan hati sedih.

***

Pa Juha terbangun pada saat ayam mulai berkokok. Mula-mula ia terduduk kebingungan, karena tidak biasanya dia bangun di atas tikar di pertengahan rumahnya. Tiba-tiba dia teringat kejadian semalam! Rasa sakit yang teramat sangat, merobek hatinya. Perih sekali. Ingin rasanya dia mengamuk, menghajar istrinya habis-habisan. Namun, walau temperamen dia kasar dan mudah marah, semenjak menikah, tak sekalipun dia pernah mengayunkan pukulan atau tempelengan kepada istrinya itu sebagai pelampiasan rasa marahnya.

Mengingat kejadian semalam .... Ahhh, Pak Juha mau memberikan apa saja miliknya agar semua itu hanya mimpi buruk.

Betapa takutnya Bu Esih ketika masuk ke ruang tengah rumahnya, suaminya sedang duduk memeluk lutut, menatapnya dengan mata berkilat-kilat. Hingga akhirnya ia memilih untuk menunduk tak berani mengeluarkan kata-kata atau pun balas menatap suaminya itu. Masing-masing berkatifitas dalam kesenyapan. Pak Juha sangat malas untuk masuk ke dalam kamarnya sekedar berganti baju, setelah kembali menatap marah kepada Bu Esih yang masih menundukan wajahnya saat menghidangkan nasi. Dengan langkah dihentakkan, Pak Juha keluar rumah, untuk mencuci muka di pancuran depan rumahnya.

Kemudian keluar juga Imas, anak perawan satu-satunya dari pasangan suami istri tersebut. Sesaat ia menatap dengan kening berkerut ketika ibunya yang mencoba tersenyum kepadanya. Baru saja hendak menyapa, Imas mendadak membalikkan badannya menuju ke dapur setelah melemparkan tatapan dingin.

Nelangsa sekali hati Bu Esih saat itu, dari suaminya mendapat tatapan marah, dari anaknya menemui tatapan jijik. Bu Esih tersentak hatinya, baru ia sadar, kamar anak gadisnya itu bersebelahan dengan kamarnya dimana ia melayani Juragan Somad semalam. Apakah ..., apakah anak itu tahu ...? keluhnya dalam hati. Dua tetes air mata jatuh di pipinya. Lemas rasanya seluruh tubuhnya, hingga kemudian badannya menggelosoh terduduk di tepi pintu antara dapur dan pertengahan. Isak tertahan terdengar perlahan.

Makin merana hati Bu Esih ketika sajian masakan yang sengaja dibuat lebih dari biasanya terhidang tanpa ada satu pun dari Pak Juha dan Imas menyentuhnya. Keduanya menghilang tanpa pamit begitu saja dari dalam rumah. Ingin ia memangggil keduanya, bersujud di kaki suaminya meminta pengampunan, namun lidahnya terasa kelu dan pahit. Yang dilakukannya kemudian hanya menangis tersedu-sedu di tengah rumahnya di depan hidangan yang bisu.

Menjelang maghrib, Pak Juha dan Imas datang hampir bersamaan. Bu Esih yang sengaja menyambut di beranda termangu-mangu sendiri saat sapaannya diacuhkan begitu saja. Ia seperti sudah tidak dianggap ada. Kecuali tatapan jijik dan dingin dari kedua bapak beranak itu, tak ada kehangatan sama sekali.

“A-kang ...,” Bu Esih memeberanikan diri menyapa.

Namun Pak Juha hanya mendengus, melirik pun tidak.

Namun Bu Esih mencoba nekat untuk berbicara, walau pun untuk itu ia harus siap menerima hajaran pertama seumur mengarungi rumah tangga bersama suaminya itu.

“Akang ...!” panggilan Bu Esih mendadak terpotong oleh satu seruan yang bagi Bu Esih seperti gelegar petir di dekat telinganya.

Ha! ..., Juhaaa!” suara Barep terdengar dari luar rumah.

Mata Pak Juha mendadak menyala beringas. Menatap Bu Esih dengan tatapan yang membuat Bu Esih merinding ketakutan.

Tanpa berkata-kata, Pak Juha meraih parangnya, dengan langkah lebar menuju ke pintu depan.

“A-kaang, jangaaan ...!” seru Bu Esih panik, meraih tangan suaminya yang segera menepiskannya sekuat tenaga.

“Jangan sentuh!” bentak Pak Juha jijik.

Bu Esih mulai menangis meraung-raung. Namun Pak Juha tak ambil perduli samasekali.

“Mau apa kau kemari lagi, Babi!” bentak Pak Juha kasar.

Barep yang berdiri di beranda rumah sedikit kaget. Namun kemudian tertawa terbaha-bahak.

“Ha-ha-ha ...! Sudahlah, Juha! Relakan saja. Kalau Juragan Somad sudah menginginkan apa yang diinginkannya. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya!” kata Barep santai. Yakin benar akan kemampuannya bisa mengatasi Pak Juha yang berdiri dengan tatapan nyalang.

“Pergi dari sini, Babi!” geram Pak Juha sambil mengacungkan parangnya.

Namun Barep samasekal tak terlihat gentar, “Dengar, Juha! Kau melawan Juragan Somad, artinya kau sudah tidak lagi sayang lagi nyawamu ...!”

“Lebih baik aku mati, Barep!” potong Pak Juha melangkah maju.

“Dengarkan aku dulu, Juha!” bentak Barep kini dengan suara keren, “Kau mati memang bukan apa-apa, tapi kalau Si Imas juga kenapa-napa, apa sampai pikiranmu ke situ?”

“Berani kau mengganggu Si Imas! Aku akan membunuhmu, Barep!”

“Kau yang akan mampus, Juha! Dan Si Imas akan dimakan Juragan Somad juga. Kenapa kau tidak merelakan Si Esih untuk Juragan Somad asal Si Imas selamat? Otak bodohmu itu harus lebih berakal, Juha!” ujar Barep dingin. Melirik Imas yang kebetulan berdiri di pintu.

“Babi kalian semua!” teriak Pak Juha berang. Mengayunkan parangnya membabi buta.

Barep yang yakin atas kemampuannya, dan sudah biasa menghadapi kekerasan, bergerak lebih cepat, menghindar sabetan parang Pak Juha yang mengarah dadanya diikuti oleh jeritan Imas dan Bu Esih yang ketakutan menyaksikan pergulatan kedua orang itu dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

Tak percuma Barep menjadi jawara dusun. Kemampuan beladirinya ternyata sudah matang sekali. Selesai menghindari sabetan parang Pak Juha, kaki kanannya bergerak menyilang, menutup sela langkah Pak Juha, sedikit menekuk lututnya, betis Pak Juha tertumbuk. Tepat ketika kuda-kuda Pak Juha goyah dengan badan sedikit condong ke depan. Telapak tangan lebar berkulit tebal Barep menepuk siku lawannya yang memegang parang yang langsung berputar terdorong ke kiri. Kaki Barep yang tadi, menarik sebat, mengait kaki kiri Pak Juha yang kuda-kudanya sudah goyah. Dengan satu hantaman kepalan dari Barep ke wajah Pak Juha, tanpa ampun, tubuh suami Bu Esih itu terpelintir ke kiri.

“Bruk!”

Tubuh Pak Juha ambruk seperti karung jatuh. Tanpa bisa bergerak lagi dalam kuncian Barep!

Hanya dalam satu gebrakan saja, Barep telah melumpuhkan Pak Juha tanpa bisa bergerak lagi.

“Lepaskan suamiku, Bangsat!” Bu Esih tiba-tiba datang hendak menerjang.

“Diam kamu, Esih! Atau kupotong leher Si Juha!” ancam Barep menekan sedikit parang yang masih dalam genggaman Si Empunya, namun dalam kekuasaan Barep yang sisi tajamnya menekan leher Pak Juha yang dalam keadaan tak berdaya.

“Bunuh saja aku, Barep!” kata Pak Juha dengan suara serak.

“aku sudah bosan membunuh manusia, Juha. Aku hanya ingin menyelesaikan tugasku tanpa harus melukai orang!” sahut Barep dingin.

“Le-lepaskan suamiku, Barep! Kumohon!” isak Bu Esih sambil berlutut memohon-mohon.

“Aku diminta Juragan Somad membawamu ke rumahnya, Esih! Jadi, aku minta kau ikut dengan sukarela, maka suamimu dan anakmu akan selamat sentosa sampai kau pulang kembali! Kau dengar, Juha? Biarkan istrimu sementara waktu di rumah Juragan Somad!”

“Tidak sudi!” bentak Pak Juha meludah. Namun meringis ketika mata parang menggores legernya sampai mengeluarkan darah. Bu Esih dan Imas yang kini turut berlutut di samping ibunya memekik ketakutan.

Wajah Barep mulali memerah.

“Baiklah kalau itu maumu, Juha! Aku tidak akan membunuhmu, aku hanya akan menyiksamu sampai kau tanpadaksa. Lalu kubawa anak dan istrimu ke Juragan Somad. Itu bukan maumu, Juha?!” geram Barep dengan suara mengerikan.

Terkunci lidah Pak Juha mendengar ancaman Barep itu. Mati mungkin lebih baik daripada tanpadaksa seperti Si Tarmedi? Bergidik tengkuk Pak Juha.

“Baiklah.. ! baiklah ...! bawa aku, Barep! Asal kau jangan mengganggu suami dan anakku!” seru Bu Esih dengan berlinang air mata.

“Tt-tidak ...! Tidak, Esih. Jangan!” kata Pak Juha terbata-bata.

“Ha-hah! Naaah, itu baru pilihan yang betul, Esih. Dengan begitu, jadinya tidak ada yang terluka bukan?” gelak Barep sambil melepaskan kunciannya. Pak Juha segera berguling lalu mengangkat parangnya. Namun belum juga bergerak, dia mengeluh tinggi dan terguling kembali ..., pingsan. Dengan wajah sangat berduka.

Imas dan Bu Esih menjerit kaget, memburu Pak Juha yang bajunya bersimbah darah akibat lehernya tergores mata parangnya sendiri.

“Menyingkirlah!” kata Barep ikut memeriksa.

“Plak!” Bu Esih menampar wajah Jawara tangan kanan Juragan Somad itu yang hanya sedikit menyeringai, lalu tanpa mempedulikan dua orang perempuan itu, dia mengambil beberapa daun yang dipetiknya sembarangan di pekarangan rumah. Mengunyahnya, kemudian ditumpuk disekitar luka di leher Pak Juha yang masih tergolek pingsan.

“Suamimu tidak apa-apa, Esih. Ada Si Imas yang akan mengurusnya, sekarang ayo kita pergi, hari sudah gelap!” kata Barep sambil menarik tangan Bu Esih.

“Aku tidak mau!” tolak Bu Esih tiba-tiba. Mencoba menepiskan lengan Barep.

“Jangan menantangku untuk membuktikan ucapanku, Esih! Kau sendiri? Atau kau juga Si Imas? Lalu SI Juha mati tidak ada yang mengurus?” kata Barep perlahan sambil menatap tajam.

“Emaaa ..., jangaaan!” seru Imas sambil memeluk tubuh ibunya.

Pedih hati Bu Esih saat itu. Namun setelah menetapkan hati, ia melepaskan pelukan anaknya sambil berkata; “Jaga bapamu, Nyai. Nanti Ema cari jalan supaya kita bisa berkumpul kembali,” katanya perlahan sambil mengelus-elus kepala Imas yang menangis sejadi-jadinya di bawah tatapan dingin Barep.

“Hayu, Esih!” sentak Barep mulai tidak sabaran.

“Sabar, Barep. Aku ..., aku mau membereskan pakaian dulu.”

“Tidak perlu! Nanti Juragan Somad yang akan menyediakan pakaian baru semua untukmu!” kata Barep lagi.

“Kalau begitu, tolong bawa dulu tubuh suamiku ke dalam rumah!”

“Ahhh, merepotkan saja!” sungut Barep sebal. Tapi akhirnya dia membopong tubuh Pak Juha yang masih juga pingsan.

“Sudah ..., hayu, Esih!”

“Aku mau menunggu dulu samapi suamiku siuman, Barep!” sahut Bu Esih sambil duduk bersimpuh di samping tubuh Pak Juha.

“Tidak bisa! Jangan menguji kesabaranku, Esih!” bentak Barep sambil menarik tangan Bu Esih yang terpaksa berdiri.

“Emaaa!” Imas berusaha menahan.

“Jaga bapa, Nyai. Ema janji besok akan balik lagi!” kata Bu Esih. Dua perempuan itu kembali saling berpelukan dan terpisah saat Barep kembali menarik tangan Bu Esih.

“Ah iya, ini ada titipan uang dari Juragan Somad untuk bapamu, Imas!” kata Barep seperti teringat sesuatu. Tangannya mengambil sebuah amplop dari balik bajunya, lalu dilemparkan ke Imas yang tengah bersimpuh sambil menangis. Setelah tertawa sejenak, Barep segera melangkah keluar rumah sambil menarik tangan Bu Esih setengah diseret.

Meninggalkan rumahnya dengan hati yang sangat sedih, sayup-sayup masih terdengar tangisan Imas dari dalam rumah. Hampir saja ia berlari balik kembali kalau tangannya tidak cepat diseret Barep untuk terus melanjutkan langkah mereka menembus kegelapan malam yang menyelimuti dusun tersebut.

Langit malam itu yang biasanya cerah tak berawan, dengan sisa sinar bulan, kini terasa gelap sekali. Barep menyalakan senter kepunyaannya menerangi jalan setapak dusun yang mengarah ke kediaman Juragan Somad yang berada lumayan jauh dari situ. Bu Esih berjalan di depan Barep dengan bahu terguncang-guncang tanda masih menangis meratapi nasibnya.

Suatu saat, mereka menyusuri jalan setapak yang menanjak, melewati beberapa ladang kepunyaan orang dusun, ladang dengan palawija yang kering layu. Sinar-sinar kecil berkerlap-kerlip dari lentera rumah-rumah para penghuni dusun tampak di bawah jalan setapak tersebut. Mendadak ada angin dingin dan lembab berkesiur menerpa dua orang yang sedang berjalan itu. Bu Esih sedikit menggigil, karena ia hanya mengenakan kain tipis.

“Hmmm ..., seperti angin yang membawa hujan?” Barep komat-kamit sendiri menerka-nerka.

Tiba-tiba, kilat menyambar tak jauh dari mereka berdua. Keduanya serentak merunduk kaget. Lalu;

Blarrr!

Terdengar dentuman guntur mengguncangkan bumi.

Tes! Tes!

“Hujan?” keduanya saling berpandangan dalam cahaya senter.

Blurrr!

Tiba-tiba saja hujan tanpa peringatan turun dari langit kelam. Kilat dan guntur saling susul-menyusul seperti hendak menghancurkan langit.

“Cepat lari ke depan. Ada saung Si Engkos di sana!” teriak Barep di sela gelegar guntur.

Walau pun jaraknya dekat, sesampainya mereka di saung kecil tempat peladang beristirahat di sela bekerja di ladangnya itu, karena hujan yang turun secara tiba-tiba itu besar, maka mereka berdua sudah dalam keadaan basah kuyup.

Bu Esih bergemeletuk giginya menahan dingin, apalagi angin begitu besarnya bertiup. Samar-samar, pohon-pohon palawija terlihat meliuk-liuk dimainkan angin.

Barep menyorotkan senter ke sekeliling saung yang berupa balai tanpa dinding, atapnya hanya ditopang oleh empat bilah bambu.

“Naiklah ke atas balai, Esih.kita tunggu sampai hujan reda,” kata Barep sambil menyorotkan senternya ke istri Pak Juha itu. Sesaat, tenggorokannya tercekat menyaksikan pemandangan bagus di dalam cahaya senternya. Saat itu, kain tipis yang dikenakan Bu Esih sudah lengket dengan tubuhnya yang basah oleh air hujan. Mencetak jelas segala lekuk tubuhnya.

Bu Esih bukan tidak tahu tatapan aneh dari Barep, tatapan yang sama dengan mata suaminya ketika sedang naik birahinya.

Selintas pikiran timbul tiba-tiba di otaknya yang tengah kalut.

Sedikit senyum sedih timbul di bibirnya.

“Kau naiklah juga, Barep,” kata Bu Esih lembut, sambil naik ke atas balai, sengaja kain bawahannya disingkapkan tinggi-tinggi, hingga di bawah cahaya senter. paha padat dan sekal itu terlihat jelas sampai ke pangkalnya.

Barep menghela napasnya, menahan deburan aneh dalam dadanya. Dia bukan tidak pernah menggauli perempuan. Sering malah. Sering menginap di janda-janda di dusun-dusun sekitar. Menidurinya. Tapi untuk perempuan yang satu ini ..., ahhh. Barep menggeleng-gelengkan kepalanya sambil duduk di balai anyaman bambu yang menjadi alas dari saung tersebut.

“Kau masih meyukai aku, Barep?” tanya Bu Esih tiba-tiba.

“A-apa?” Barep tergagap.

“Dulu kau pernah bilang suka padaku. Kau masih menyukai aku, Barep?” ulang Bu Esih sambil menggeser tubuhnya mendekati pria tangan kanan Juragan Somad tersebut.

“Jangan ungkit-ungkit lagi, Esih!” geram Barep dengan napas tertahan.

“Aku mohon maaf, Barep. Kau terlambat meminangku, kau keduluan Kang Juha. Seandainya saja ...,” Bu Esih menggantung ucapannya.

“Sudahlah, Esih ...!” tubuh Barep menggigil, bukan karena dingin, melainkan oleh sesosok tubuh montok yang kini menempel rapat ke tubuhnya. Rasa sakit dari luka lama kembali terbuka. Luka karena perempuan pujaannya semasa muda dulu didahului pria lain. Merasa pecundang, dia tak mampu menyelesaikan kekalahannya dengan berkelahi. Tapi membuang diri jauh-jauh mencari ilmu silat. Kini, Si Perempuan itu telah mengungkit-ungkit kembali kelemahannya.

Darah di pembuluh-pembuluh darahnya mengalir deras, ketika Bu Esih dengan berani membuka dua kancing kain bajunya yang paling atas. Belahan montok dari sepasang bukit padat yang basah itu terpampang jelas dalam sorot cahaya senter Barep yang napasnya mulai tak beraturan.

“Kenapa malu, Barep? Bukankah setiap kita bertemu kau selalu menggodaku?” desah Bu Esih berbisik mengggoda.

“Itu sebelum Juragan Somad menginginkanmu, Esih!” sergah Barep tapi tanpa melepaskan sorot senternya dari pemandangan belahan montok itu.

“Ahhh ..., beruntunglah aku kalau begitu, Barep. Aku baru tahu, jagoan macammu itu ternyata penakut! Beraninya menakut-nakuti saja. Terbukti oleh dua orang laki-laki yang telah menajamahku pun kau samasekali tak bisa berbuat apa-apa! Benci aku kepadamu, Barep. Menyingkirlah! Tak layak seorang laki-laki pecundang macam kau dekat-dekat dengan aku!” kata Bu Esih dengan berani. Menggeser kembali duduknya menjauhi Barep yang napasnya muali tersengal-sengal.

“Apa kau bilang? Apa kau bilang? Katakan sekali lagi! Katakan!” geram Barep dengan mata mulai merah. Sebelah tangannya mencengkram bahu perempuan itu.

“Kau penakut! Nyalimu tak sebesar tubuhmu!” sembur Bu Esih yang memang sekalian ingin mengeluarkan unek-unek dan kekesalannya. Kalau di suasana yang biasa, tak mungkin bagi seorang perempuan dusun baik-baik sepertinya menawarkan tubuhnya seperti itu. Namun saat itu Bu Esih mencoba berjudi, ia merasa sudah kotor, kenapa ia tidak sekalian memainkan permainan kotor? Begitulah kenekatan seorang perempuan yang sudah tersudut. Lepas dari mulut macan, masuk ke dalam mulut buaya. Begitu mungkin peribahasanya dalam situasi Bu Esih sekarang.

“Kk-kau ..., berani ...!” kertak gigi Barep.

“Kenapa tidak?” Bu Esih malah menantang, membusungkan dadanya yang sudah membusung itu, membuat kedua bukit montok itu seakan hendak memberojol keluar.

“Kalau bukan Juragan Somad ..., kk-kau, kau sudah kumiliki, Esih,” geram Barep kembali.

“Kenapa dengan Si Somad? Kau taku dengan Si Somad?”

“Jangan kurang ajar! Juragan Somad sudah terlalu baik kepadaku, aku sudah bersumpah mengabdi kepadanya seumur hidupku, mempertaruhkan hidupku untuk dia!” engah Barep dengan tersengal.

“Kebaikan apa yang Si Somad berikan kepadamu? Kau hanyalah keset baginya, kalau aku memberikan apa yang kau mau dariku? Maukah kau melepaskan diri dari Si Somad?” ujar Bu Esih perlahan.

“Jangan membujukku, Esih!” keluh Barep sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku lebih baik denganmu, Barep. Daripada Si Somad, aku merasa lebih terlindungi dengan adanya dirimu, daripada Si Somad. Sekarang kau boleh memiliki tubuhku sesukamu, namun jangan kau berikan aku ke SI Somad itu!” kata Bu Esih kembali merapatkan badannya yang terasa empuk dan hangat. Merayu Barep yang mulai tergoncang pikirannya.

“Betulkah itu, Esih?” Barep menyorotkan senternya ke wajah Bu Esih yang segera mengerjap silau.

“Kapan aku berbohong, Barep?” katanya kemudian, mengelus pipi pria itu yang kasar oleh cambang liar.

“Hrrrhhh,” geram Barep yang pikirannya telah dimabuk berahi. Menubruk tubuh Bu Esih dengan kasar.

“Jangan kasar-kasar, Barep,” keluh Bu Esih meringis ketika wajah kasar Barep tenggelam di balik belahan bukit montoknya.

“Aku ..., aku mempunyai satu persyaratan, Barep. Aku ingin kau penuhi syaratku dulu sebelum aku menyerahkan kehormatanku!” ujar Bu Esih sambil mendorong perlahan tubuh Barep yang menindihnya.

Saat itu senter yang asalnya dipegang Barep telah terlempar ke atas balai, kebetulan mata senter menghadap ke arah Bu Esih yang sudah ditindih oleh tubuh tinggi besar Barep.

“Katakan, Esih ..., hhhmmmph,” geram Barep sambil menghisap puting payudara Bu Esih dengan telapak tangan lebar kapalan itu meremas-remas gemas payudara perempuan pujaannya itu.

Bu Esih memejamkan matanya. Terbayang wajah Imas putrinya, lalu wajah Pak Juha suaminya. Tatapan sinis dan jijik dari keduanya silih bergantian mengisi bayangannya. Ia tahu, ia tak mungkin kembali ke rumahnya, ia merasa sudah kotor, tak layak berada dalam rumah itu bersama-sama suami dan anaknya. Sementara di Juragan Somad, sampai kapan ia akan bertahan, sampai ia diusir karena Juragan Somad sudah bosan? Lalu pergi kemana setelah itu? Kembali ke rumahnya dimana keluarganya sudah jijik kepadanya? Satu-satunya harapan hanyalah ..., Barep! Dengan rasa sukanya yang besar, tentulah dia akan mampu melindunginya sekaligus menyayanginya.

“Katakan, Esih ..., katakan,” deru Barep disela-sela kegiatannya. Kain bawahan Bu Esih sudah tersingkap, celana pendek yang dikenakannya sudah melorot sampai ke mata kaki. Satu bukit kecil yang gemuk membusung indah dalam sorot bayangan senter.

“Aku ingin kau membawaku pergi jauh, Barep. Jauuuh ..., jauh dari sini. Bagaimana? Sanggup?”

“A-apa?” Barep mengangkat wajahnya. Kebingungan.

“Sanggup atau tidak? Kalau tidak, segera minggirlah. Aku akan pergi sekarang juga ke rumah Si Somad!” kata Bu Esih sambil mendorong tubuh Barep.

“Tidak! Tidak! Kau milikku, Esih. Katakan kau mau kemana, aku akan menurutimu ...,” raung Barep sambil menciumi leher Bu Esih yang kegelian digaruk oleh cambang pria itu yang meranggas liar.

“Bawa aku kemana saja, pergi jauh dari sini, Barep!” rintih Bu Esih menikmati cumbuan buas dan liar dari Jawara dusun itu. Sepasang payudara montok miliknya habis sudah digigit oleh gigi-gigi besar Barep. Mulut berbibir tebal itu meluncur naik turun dari leher dan payudara Bu Esih yang mulai mengerang kegelian.

“Akkhhhkkk ..., Ba-Bareep ..., pelaaan. Sakiiit,” erang Bu Esih ketika satu tongkat besar, panjang dan berurat mendesak vaginanya yang masih kering.

Dalam cahaya senter, Bu Esih mengangkat wajahnya melihat barang apa yang memaksa masuk ke dalam vaginanya. Terngangalah mulutnya, seumur hidupnya ia baru melihat dua penis, penis besar milik suaminya, dan penis gemuk gempal milik Juragan Somad. Namun ketika melihat ukuran penis Barep, Bu Esih terlihat agak ngeri dengan ukurannya yang di luar perkiraannya.

Namun Barep yang biasa bersikap kasar, tak mengindahkan erangan kesakitan dari perempuan itu. Dengan buas dia menarik paha sekal Bu Esih lebar-lebar, lalu dengan hunjaman yang dahsyat, penis besar itu menghunjam ke dalam vagina yang makin menggembung penuh tertekan oleh barang yang belum pernah ditelannya.

Bu Esih badannya sampal melengkung, hampir pingsan oleh rasa sakit dan sesak dari vaginanya. Ulu hatinya terasa sesak. Matanya membeliak sampai hampir kelihatan putihnya saja.

“Akkkhhhh, Bareeep ..., sakiiiit!” raung Bu Esih di sela gelegar guntur di luar sana.

Barep seakan sudah berubah menjadi singa lapar, dengan buas dia menggenjot habis-habisan vagina gemuk yang mulai merembes cairan birahinya. Mulut berbibir tebal itu bergerak liar, menghisap sekuat-kuatnya puting payudara montok Bu Esih yang kini hanya bisa mengerang-erang antara rasa nikmat dan rasa sakit. Otot-otot vaginanya bereaksi penuh, melawan dengan mengejang dan meremas juga memilin tongkat besar yang secara kurang ajar tanpa permisi memasukinya.

Pergulatan liar di atas balai, membuat saung kecil kecil itu meronta-ronta protes. Sudah digoyang-goyang dan dipelintir angin dahsyat yang mengiringi hujan, lalu digetarkan oleh dua sosok di atas balainya.

Rasa sakit di vaginanya juga rasa sakit disekujur tubuhnya akibat digigit oleh birahi liar Barep, menimbulkan sensasi tersendiri bagi Bu Esih, perlahan tapi pasti, ia mulai menikmati setiap kebuasan birahi Barep. Vaginanya yang terus digenjot habis-habisan, telah mengeluarkan cairan pelumas yang luar biasa banyaknya. Luluh lantak terasa badannya.

“Eesshhhiiihhh ...,” Barep meraung dahsyat sambil menekan dalam-dalam penisnya. Bu Esih sampai mengap-mengap merasakan dasar rahimnya ditekan kepala besar penis Barep. Ia tak mau ketinggalan, pinggulnya bergoyang memutar dengan cepat. Barep merasakan penisnya seperti dipilin, geli dan ngilu. Satu hentakan vertikal pinggul montok membuat keduanya meraung gila-gilaan. Dua semburan panas mengisi penuh rongga vagina Bu Esih sampai tak tertampung, meleleh keluar dari bibir tebal vagina tersebut.

Barep memeluk erat-erat badan montok itu dengan napas memburu tersengal-sengal, begitu juga Bu Esih yang balik memeluk erat tubuh besar Barep.

Dalam sorot cahaya senter juga kilat cahaya petir, dua sosok tubuh yang sudah menyatu itu seperti sebuah bukit kecil jadi-jadian.

Hujan besar baru saja reda, menyisakan gerimis kecil dan selokan-selokan dadakan yang mengalirkan air kehidupan yang diharapkan oleh seluruh insan. Bau tanah kering yang tersiram air hujan, menyeruak dan mewangi dengan kabut tebal dengan cepat turun menyelimuti lereng gunung Papandayan dengan hawa yang terasa dingin mencucuk kulit.

Namun untuk dua insan yangg baru saja memadu birahi di saung tersebut, rasa dingin itu telah diusir jauh. Oleh hangatnya pelukan. Baju-baju yang basah oleh air hujan, telah mulai mengering oleh suhu badan mereka yang masih panas.

“Selangkanganku perih, Barep,” keluh Bu Esih dalam sandaran kekar Barep yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Maafkan aku, Esih. Baru kali ini aku merasakan kenikmatan tubuh wanita dengan segenap hatiku,” sahut Barep dengan kosakata kacau. Dia memang tak begitu pandai bertutur.

“Tidak apa-apa, Barep. Aku mau sekarang juga kita pergi dari dusun ini. Bawa aku jauh,” kata Bu Esih lirih. Sedih hatinya, teringat anak dan suaminya. kalau saja Bu Esih mengetahui kejadian lain yang tak jauh dari situ tengah terjadi. Tentulah ia bisa gila mendadak. ..., kalau saja. Seandainya saja....

“Sekarang?” Barep menunduk, menatap wajah kekasihnya dengan heran.

“Iya sekarang! Menunggu besok akan sulit bagi kita pergi dari dusun ini, mengingat Si Somad akan mengejarmu karena telah menghianatimu,” Bu Esih mengingatkan.

“Aku akan hadapi Si Tua itu, “ kepal Barep jantan.

Namun Bu Esih menggelengkan kepalanya, “Aku tak mau ada keributan lagi, Barep. Aku ingin hidup tenang. Kalau kau tak mau pergi, biarlah aku pergi sendiri!”

“Owh, jangan begitu cintaku, mari aku gendong kau. Kita pergi sekarang juga!” kata Barep, tanpa menunggu persetujuan dari Bu Esih, dengan lengan-lengannya yang kekar, pria itu menggendong tubuh montok Bu Esih dengan sekali angkat.

Telapak kaki lebar dan tebal milik Barep, menjejak tanah berlumpur dengan tetap. Menyusuri jalan setapak dengan diterangi lampu senter yang kini dipegang oleh Bu Esih dalam gendongan Barep, hingga sampai pada sebuah pertigaan. Dia mengambil jalan lain ke arah luar dusun. Sosok tubuh tinggi besar itu melangkah lebar, menyusup di tebalnya kabut sehabis hujan. Entah menuju ke mana.

***

Di sebuah rumah besar, satu-satunya rumah permanen di dusun itu, yang terletak agak ke tenggara. Rumah tersebut tampak masih terang benderang oleh cahaya lampu beberapa buah petromak. Di beranda rumah model Julang Ngapak, Sang Pemilik rumah tampak hilir mudik gelisah. Sesekali pandangan matanya mengarah ke pagar tinggi rumahnya, seolah mengharap sesuatu datang sesuai harapannya.

“Si Barep brengsek! Kemana dulu dia, kenapa belum juga kelihatan barang cecongornya,” kutuk sosok itu yang bukan lain adalah Ki Lurah Dusun Cisoka, Juragan Somad.

Tiba-tiba, ada kilat menyambar diikuti gelegar guntur. Hampir saja Juragan Somad bertiarap saking kagetnya.

Disusul kemudian ada derit pintu pagar yang terbuka. Dengan wajah senang, Juragan Somad segera duduk di kursi goyang kesayangannya. Ketika sesosok tubuh melangkah santai di halaman rumahnya, menuju ke beranda depan.

Satu bentakan marah yang biasa disemprotkannya, mendadak ditelannya kembali saat baru menyadari siapa yang datang.

Pantat Juragan Somad seperti tersengat tawon, dengan segera dia bangkit dari kursi goyannya, kemudian tergopoh-gopoh menyambut seorang pria yang baru tiba tersebut.

“Abah ...! kenapa tiada memberi kabar terlebih dahulu kalau hendak datang?” sambut Juragan Somad, membungkuk meraih tangan pria yang ternyata sudah tua itu untuk dicium dengan khidmat.

“He-he-he ..., aku datang kalau aku ingin datang, Somad. Dan aku datang bukan sembarang datang. Aku datang membawakan hujan yang didambakan oleh seluruh penduduk dusunmu,” kekeh orang tua yang rambut dan janggutnya sudah memutih itu. Seolah membenarkan, kilat dan guntur saling susul-menyusul diikut tetes-tetes besar air, yang seketika berubah menjadi hujan yang sangat deras.

Juragan Somad segera berseru penuh syukur melihat hujan yang lebat menyiram bumi kering kerontang dusunnya.

“Mari Abah. Kita masuk ke ruang pribadiku,” ujar Juragan Somad mengayunkan tangannya dengan penuh hormat, mempersilahkan tamunya untuk melangkah lebih dulu. Dengan terkekeh-kekeh senang, orang tua yang memakai pakaian pangsi serba hitam itu terus ngeloyor masuk ke dalam rumah diikuti Juragan Somad yang segera berseru kepada dua orang babunya yang keluar ketika mendengar suara hujan tiba.

“Ocih ..., Rukmi! Tolong siapkan makanan, bawa langsung ke ruang kerjaku, dan kasih tahu Juragan Istri, bilang ada Abah datang!” serunya.

“Mangga, Juragan,” sahut keduanya serentak.

Di ruangan pribadi Juragan Somad yang sangat nyaman, keduanya duduk saling berhadapan di sebuah kursi kayu berukir. Si Orang Tua yang disebut Abah itu bersandar dengan santai kakinya diselonjorkan ke atas meja yang dihadapi Juragan Somad tanpa pira itu merasa tersinggung, mungkin sudah maklum akan kebiasaan seenaknya dari Si Abah itu.

“Bagaimana kabar di kota sana, Abah?” kata Juragan Somad membuka percakapan.

“Biasa saja, banyak pejabat yang minta dimudahkan naik pangkat, sama yang menginginkan jabatannya aman. Rata-rata seperti dirimu lah,” sahut Si Abah yang membuat Juragan Somad nyengir.

“Terus itu, Abah ..., anu ..., euh,” Juragan Somad terlihat tergagap dengan muka merah.

Si Abah tertawa kemudian manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang menjulai sampai dada. Kontras dengan pakaiannya yang berwarna hitam.

“Pil kejantananmu sudah habis, Somad?” kekehnya menertawakan.

“Iya, Abah,” sahut Juragan Somad tersipu-sipu.

“Tenaaang, aku memang sudah menduganya. Kubawakan setoples. Yang walau pun kau gunakan setiap hari, akan memakan waktu setahun penuh, itu pun kalau kau tidak keburu layu ..., hwuahaha!” meledak tertawanya Si Abah, tawa sember yang tidak enak terdengarnya di telinga. Tapi kemudian tawanya terhenti mendadak, matanya menatap tajam. Hati Juragan Somad sedikit mengkirik dengan sorot kilat bengis mata Si Abah, “Eh, tapi tidak kau gunakan untuk Si Nyai bukan?”

Juragan Somad segera menggeleng keras-keras ditambah dua telapak tangannya dikibas-kibaskan, “Tentuk tidak, Abah. Mana saya berani ...,” ucapan Juragan Somad terpotong oleh pintu ruangan yang menjeblak kemudian sesosok tubuh tinggi semampai menghambur masuk.

“Abah ...!” terdengar seruan riang dari sosok yang baru datang tersebut sambil menghambur ke pangkuan Si Abah.

“Nyimas, anakku yang cantik!” sambut Si Abah sambil mencubit gemas dagu runcing yang sedang bermanja-manja di pangkuannya.

“Abah kemana saja? nyai kangen sama Abah!” rajuk Si Tinggi Semampai itu yang bukan lain adalah istri dari Juragan Somad yang bernama Euis, yang oleh penduduk dusun sering dipanggil Juragan Nyai.

Usia Euis ini sekitar tiga puluh lima tahunan, namun entah karena rajin merawat diri entah karena memang sudah bawaannya dari lahir. Kejelitaan Euis ini tak pernah luntur oleh umur, wajah cantiknya sebanding dengan gadis usia dua puluh limaan, yang membedakan adalah kematangan dari gerak-geriknya yang gemulai sedikit genit. Matanya bersinar lincah dengan bulu mata lentik, dagu runcing dengan bibir tipis, yang ketika tertawa giginya yang putih rapi gemerlap seperti berlian. Rambutnya yang hitam panjang sepinggang, selalu dibiarkan tergerai. Dan di balik pakaian yang dikenakannya selalu ketat itu, membayang tubuh sintal menggiurkan setiap pria yang melihatnya. Apabila orang tak dikenal melihatnya bersanding dengan Juragan Somad, suaminya, tak ada yang menyangka mereka adalah pasangan suami istri, karena lebih tepatnya sebagai ayah beranak. Padahal kalau melihat usianya sudah bisa tidak dikatakan muda lagi.

Sementara Si Abah yang sangat dihormati Juragan Somad bukan lain adalah ayah mertua dari Ki Lurah tersebut. Yang tentulah ayah kandung dari Euis, istrinya. Dan Si Abah ini adalah seorang dukun terkenal yang dikenal oleh para pejabat negara. Tempat mereka meminta petunjuk untuk melanggengkan kekuasaannya. Para pasien dari Si Abah ini bukan orang sembarangan semua, melainkan para pejabat terhormat yang memiliki kekuasaan besar di dalam negara.

Namun ada keganjilan dalam pertemuan antara Euis dan Abahnya itu. Keganjilan yang menurut awam tentulah membuat yang menyaksikannya berubah raut mukanya.

“Abah banyak urusan, Nyimas,” sahut Si Abah lembut. Menyibakkan rambut halus anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Atau Abah sudah punya simpanan lain?” tuduh Euis sambil merengut manja.

Si Abah tergelak mendengar perkataan anaknya itu, “Mana bisa mencari perempuan lain kalau anakku tersayang bisa memuaskanku?” serunya sambil menarik wajah jelita itu, mencium bibirnya dengan rakus. Terdengar kecipak air liur saat satu bibir keriput dan satu bibir tipis nan ranum saling hisap. Sungguh kejadian yang ganjil sekali, mengingat hubungan darah antar keduanya, sekalipun mereka kangen tentu tidak seperti itu untuk mengungkapkan rasa kekangennannya. Juragan Somad, seharusnya sebagaimana normalnya sebagai seorang suami, seharusnya bertindak, tapi kembali keganjilan terjadi. Juragan Somad melihat kejadian tersebut dengan wajah datar dan biasa saja. seolah dia sudah sangat terbiasa.

“Abah nakal ah,” Euis terkikik geli, ketika mulut keriput itu menelusuri leher jenjangnya yang mulus kuning langsat. Air liur dari mulut keriput itu berleleran membasahi lehernya.

“Abah selalu terbayang-bayang denganmu, Nyimas,” bisik Si Abah sambil menyeka liur dari sudut bibirnya.

“Makanya ..., Nyai sudah bosan di sini terus. Nyai ingin ikut abah ke kota,” Euis kembali merajuk.

“Belum saatnya, Nyimas. Tapi Si Somad tidak macam-macam kepadamu, bukan?” Si Abah menatap wajah jelita itu dengan tatapan tajam.

“Si Tua reot itu mana berani menganggu Nyai, kecuali mempunyai kehebatan seperti Si Ini nihhh,” katanya kurang ajar, sambil melirik ke suaminya yang kembali nyengir sambil tertawa. Euis menggeser pinggulnya, tangannya merayap ke balik celana pangsi Si Abah, setelah berhasil menggenggam apa yang dicarinya. Dengan cepat ditariknya keluar. Benar-benar gila kelakuan dari istri Juragan Somad itu. Ia jelas baru saja mengeluarkan penis dari bapaknya tanpa malu-malu di hadapan suaminya sendiri yang hanya mesam-mesem.

“Aku kangen kamu,” desah Euis sambil melorot turut dari pangkuan Si Abah, mengocok penis berbatang besar dan berulir itu dengan gemas.beberapa kocokan saja, penis itu bangun seperti ular kobra. Penis hitam legam yang sulit dipercaya bisa dimiliki seorang kakek tua peot yang lajimnya memiliki penis kecil yang sudah kisut, yang membangunkannya pun harus digampar dulu.

Penis hitam legam itu mengacung perkasa helmnya kembang kempis, persis seperti ular kobra yang bisa bernapas, tegak kokoh seperti tongkat kayu wulung yang sudah diukir dengan banyak ulir oleh pengukir kelas wahid.

Lidah merah basah itu tanpa malu-malu menjilati kepala penis yang tengah kembang kempis itu dengan rakus. Helaan napas Si Abah mulai memburu tanda birahinya mulai bangkit.

Tangannya segera mengibas ke arah Juragan Somad, “Pergilah!” usirnya tanpa soapn santun kepada menantu bonekanya itu.

Seperti kerbau dicucuk hidung, Juragan Somad mengangguk. Kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar pintu dengan patuh. Ketika berbalik, hampir saja menabrak seorang babunya yang membawa nampan berisi makanan dan kue kering.

“Sialan betul!” maki Juragan Somad mengatasi kagetnya.

“Mma-af juragan,” babu yang bernama Ocih itu merunduk ketakutan.

“Si Barep sudah datang?” tanya Juragan Somad kemudian, matanya mencari-cari berkeliling.

“Kang Barep belum kelihatan sama sekali, Juragan,” Ocih menyahut sementara sudut matanya secara kebetulan melihat ke dalam ruangan yang pintunya masih belum tertutup sempurna. Entah apa yang tengah dilakukan Juragan Istrinya itu yang kepalanya tengah bergerak naik turun di selangkangan seseorang yang yang dikenalnya sebagai Si Abah, orang tua yang sangat dihormati oleh Juragan Lurah.

“Jangan kurang ajar!” bentak Juragan Somad sambil mendorong tubuh Ocih yang berseru kaget. Hampir saja nampan yang dipangkunya terlempar jatuh.

“Panggilkan Si Odang , aku tunggu di depan,” perintah Juragan Somad sambil melangkah lebar menuju ke beranda rumahnya. Di luar sana, hujan makin deras saja, disertai angin yang berhembus kencang. Ditambah petir dan guntur yang terus-menerus berkelebat dan berdentum.

Saat Juragan Somad duduk terpekur di kursi goyang kesayangannya, datanglah tergopoh-gopoh seorang pria separuh baya dengan kain sarung terlilit di pinggangnya.

“Juragan memanggil saya?” tanya pengurus rumah Ki Lurah yang bernama Odang itu.

“Iya, aku ingin kau sekarang juga mencari Si Barep. Begitu bertemu, suruh datang kemari,” perintah Juragan Somad dengan ketus. Tanda hatinya memang sedang dalam suasana tidak enak.

“Si Barep mah paling sedang di kedai tuak, Juragan,” jawab Odang cepat.

“Tidak! Dia kusuruh ke rumah Si Juha untuk satu ururan, namun sekarang belum juga kelihatan cecongornya!” sungut Juragan Somad.

“Jadi saya ....”

“Sekarang juga pergi ke rumah Si Juha!” potong Juragan Somad setengah membentak.

“Tapi ..., tapi, Juragan,” Odang terlihat ragu-ragu, menatap derasnya air hujan yang seperti ditumpahkan dari langit gelap.

“Pakai caping, Tolol! Cepat berangkat sekarang juga!” bentak Juragan Somad sambil melotot sebal.

Tak ada bantahan lagi, Odang segera berbalik ke belakang mengambil caping lebar untuk melindungi kepalanya dari air hujan.

“Saya berangkat, Juragan,” kata Odang berpamitan.

“Kura-kura! Pergilah cepat. Jangan banyak bacot!” bentak Juragan Somad marah-marah.

Odang segera berlari sambil dalam hatinya bersungut-sungut, menembus hujan, menuju rumah Pak Juha.

Sementara itu di dalam ruangan pribadi Juragan Somad. Kegiatan ganjil dari ayah beranak itu makin panas saja. separuh baju atasan Euis sudah terbuka lebar, dua payudara yang padat namun tidak terlalu besar itu sedang sibuk dikenyot-kenyot mulut keriput berliur itu. Bahkan kain bawahan Euis sudah entah kapan dibukanya telah terhampar di lantai keramik ruangan tersebut.

Pinggul bulat dengan pinggang ramping itu sedang bergerak maju mundur, menggesek-gesekkan kepala penis kobra Si Abah di belahan bibir vaginanya yang mulai merekah merah.

Ahhh ..., ssshhh,” Euis mendesis penuh birahi. Rasa geli dan ngilu yang nikmat dari birahi yang menggelegak sampai ke ubun-ubunnya membuat makin tidak sabar untuk menikmati penis berulir kebanggaan Si Abah.

“Susah, Abah,” Euis merengek.

“Perlahan-lahan atuh,” kata Si Abah menghentikan kegiatannya mengenyot-ngenyot puting payudara Euis yang sudah tegak mengeras.

“Nyai sudah tidak tahan, Abah,” Euis kembali merengek. “Abah sih sudah lama tidak menengok, jadinya sempit lagi nih.” Menarik sisa pakaiannya kemudian melemparnya begitu saja. tubuh semampai yang berkulit halus kuning langsat itu sudah mulai berkeringat.

“Ya sudah, tahan ya,” Si Abah segera mengatur posisi, penis besarnya mengacung tegak, sementara Euis mengangkangkan kakinya selebar-lebarnya, dibantu jari-jarinya merekahkan bibir vaginanya yang sudah licin oleh cairan birahinya, otot-otot vaginanya melebar. Jari-jari keriput dari Si Abah mencengkram pinggul bulat nan padat dari Euis, setelah memposisikan kepala penisnya tepat di lubang vagina tersebut, lalu dengan gerakan tiba-tiba, menarik turun pinggul padat tersebut .

Jleb!

“Akh!” Euis menjerit pendek. Napasnya seolah berhenti mendadak. Si Abah mengangkat pantatnya vertikal. Kepala besar penisnya menerobos masuk.

Prrrt! Prrrt!

Euis menggigit bibirnya menahan sakit. Jari-jarinya mencengkram bahu Si Abah yang masih menggunakan pakaian hitamnya. Lubang sempit vagina Euis menjadi elastis, perlahan tapi pasti batang penis sebesar pergelangan tangan orang dewasa itu tenggelam ditelan bibir vagina Euis yang memerah menahan besarnya barang yang memasukinya.

Tiga perempat batang penis itu telah berhasil melesak masuk.

Si Abah dan Euis terdiam, mencoba mengatur napas sejenak. Dua kelamin itu berdenyut keras, seperti saling tekan.

Perlahan Si Abah mulai menggenjot vertikal. Erangan dan rintihan antara sakit dan nikmat dari Euis mengiringi irama persetubuhan ganjil itu.

“Ab-baaahhhsssh ...,” rintih Euis merasakan seluruh tubuhnya meremang, ketika jari Si Abah menggaruk lubang anusnya. Dinding vaginanya berkedut tanpa dapat ditahannya, menyemburkan orgasme pertamanya dengan cepat. Batang berulir penis Si Abah mulai berkilat licin, ada lendir putih yang ikut menghiasi batangnya, lendir orgasme dari Euis. Si Abah tidak memperdulikan Euis yang sudah tidak terlalu agresif dengan goyangannya. Vagina yang merah itu terlihat seperti memonyong, ketika penis ditarik keluar.

“Plop!” terdengar suara pelan.

“Akh!” Euis mengerang kecewa.

Si Abah tersenyum sebentar, lalu berganti posisi. Euis diposisikan menungging dengan tangan bertelekan ke sandaran kursi, kedua kaki jenjangnya direnggangkan selebar mungkin. Si Abah segera berdiri, tonggak penisnya yang sudah berkilat oleh lendir vagina Euis digesek-gesekan antara lubang vagina yang sudah menganga kemudian dielus-elus ke lubang anus kemerahan Euis yang mengempot-empot.

“Ab-baaahhh,”Euis merengek. Pinggulnya bergerak mengikuti arah gesekan penis Si Abah yang sengaja tengah mempermainkannya.

Si Abah kembali memposisikan penisnya di lubang vagina yang sudah merekah itu, lalu menekannya perlahan-lahan. Pinggang ramping itu menjengking maksimal, merasakan sensasi disodok dari belakang.

Desis, erangan dan rintihan silih berganti. Sementara Si Abah dengan giat menggenjot terus dari belakang dengan semangat. Payudara Euis menggantung tanpa ada perlakuan dari Si Abah yang kebetulan tangannya tidak sampai meraihnya. Jadi yang bisa dilakukan oleh dia adalah mencengkram dua bongkah pinggul padat itu sebagai pegangan selama dia menghantam secara konstan vagina Euis. Sesekali, Euis lah yang meremas-remas eendiri payudaranya di sela-sela menahan tekanan pantat Si Abah selama menggenjotnya dari belakang.

Euis merasakan pinggangnya mulai pegal.

“A-abah ..., du-duuuk lagiii dehhh ...,” kata Euis di sela erangannya.

Si Abah menurut, mencabut penisnya lalu duduk dalam posisi semula, sekarang posisi Euis lah yang agak berbeda. Ia duduk membelakangi Si Abah, menurunkan pinggulnya yang dengan mudah kini mampu menelan penis besar itu.

Pinggul bulat itu kini bergerak aktif, bergoyang maju-mundur, berputar-putar lalu menggenjot naik turun.

“Plak!” tiba-tiba Si Abah menampar sebelah pinggul Euis dengan keras sampai meninggalkan bekas merah.

“Plak!” kini pinggul sebelahnya lagi ditampar. Euis meringis kesakitan. Namun ternyata perlakuan Si Abah itu malah membuat vaginanya kembali berkedut.

“Ab-baaah ...,” pinggang Euis menjengking. Kedua tangannya meraih ke belakang, meremas keras rambut putih Si Abah.yang segera menggigit pundak Euis sekuat-kuatnya.

Kepala penis di dalam vagina itu menggembung, dalam kedutan terakhir dinding-dinding vaginanya, Euis mengerang panjang. Dua semburan kuat saling siram di dalam vagina yang panas itu.

“Hhhhsssh ...,” Si Abah mendesis panjang. Dan Euis pun ambruk lemas di atas pangkuan Si Abah.


***

Sementara itu, Odang yang mendapat tugas mencari Barep ke rumah Pak Juha. Telah sampai di rumah tujuannya. Berseru-seru memanggil semau nama yang dikenalnya berada di rumah itu. Bahkan sampai menggedor-gedor pintu segala. Namun hanya gelegar guntur dan suara air hujan yang terdengar. Rumah itu seperti dalam keadaan kosong. Sungguh heran hati Odang saat itu.



Kemanakah sebenarnya para penghuni rumah Pak Juha?


Bersambung ke BAB 1-c
 
Terakhir diubah:
Akhirnya berhasil juga, horeeeeeeee
mohon maaf atas semua keterlambatan ini, semoga malam minggu ini para jones terhibur dan menghamburkan berbatang-batang sabun atau handbody.... hehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd