Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA BADAI NAFSU

Status
Please reply by conversation.
Belum keluar kah lagi hu.. Kuat banget nih suhu. Kayaknya suhu JB minum pil kejantanan juga nih. :Peace:
 
BAB I-c
BADAI NAFSU

Hujan telah reda.
Air hujan bercampur lumpur dari debu-debu tanah kerontang, mengalir menjadi sungai-sungai kecil. Meluncur bebas, menyapu setiap benda ringan yang sanggup diraihnya; daun kering, serangga kuyup, dan lain sebagainya. Di tiap rumah panggung dusun Cisoka, pesta-pesta kecil dari suka cita keluarga-keluarga para peladang menyeruakkan hangatnya kebahagiaan, menembus tebalnya kabut malam. Menusuk awan gelap. Menari riuh di langit kelam.
Di rumah kepala dusun, dalam penerangan cahaya lampu petromak, Juragan Somad termangu-mangu sendiri menikmati kesendiriannya di atas kursi goyang. Tak menyadari sedikit pun bahwa hujan lebat telah berhenti hanya menyisakan gerimis. Tak juga menggigil kedinginan, tatkala angin lembab yang basah berderu berputar-putar di berandanya yang lantainya berserakan daun-daun kering, yang diantarkan angin dari dua pohon beringin besar di halaman rumahnya.
Suara kecipak genangan yang terinjak telapak kaki telanjang serta derit besi karatan dari pagar. Mengembalikan lamunan Juragan Somad kembali ke kenyataan. Menemukan dirinya masih duduk di atas kursi goyang kesayangannya. Punggung berlemaknya tersandar nyaman dalan sandaran kursi goyang yang empuk. Keuda buku jari-jarinya saling mengetuk satu sama lain. Menatap Odang, orang suruhannya yang melangkah panjang sesekali meloncati genangan-genangan air hujan yang menghalangi jalannya. Odang, pria setengah baya berperawakan sedang itu, menjatuhkan badannya yang kuyup sedikit menggigil di undakan beranda. Tak berani naik, karena selain basah juga kakinya yang tak mengenakkan alas kaki itu penuh lumpur.
Tatapan tajam Ki Lurah tanpa kata-kata, cukup untuk Odang mengetahui bahwa juragannya itu sedang menunggu penjelasannya dengan tidak sabar.
“Maaf, Juragan ..., Si Barep sama sekali tak ada di rumah Si Juha. Tadi sempat mampir ke warung tuak tempat Barep biasanya mabuk-mabukkan. Kata Kang Ohim, Barep seharian itu malah sama sekali tak ada mampir, jadi ....”
“Kenapa kau tidak bertanya kepada Si Juha daripada jauh-jauh ke warung tuak?” sembur Juragan Somad dengan raut muka tidak senang.
“Di rumah Si Juha tidak ada siapa-siapa, Juragan!” sahut Odang.
Juragan Somad melengak heran, “Ke mana mereka? Si Juha? Esih? Si Imas?” berondongnya.
Odang menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak ada satu pun, Juragan. Saya juga heran, hujan begitu lebat, kenapa bisa mereka semua tidak ada di rumahnya!”
“Ada bekas-bekas perkelahian?” kini Juragan Somad bangkit dari duduk santainya dengan hati tertarik.
Odang berpikir sejenak, mengingat-ingat, lalu kembali menggelengkan kepala, “Tidak ada sama sekali, Juragan!”
“Kau yakin?” Juragan Somad dengan pandangan menyelidik.
“Sangat yakin, Juragan!” Odang mengangguk pasti.
Juragan Somad kembali menjatuhkan dirinya ke kursi goyangnya itu kembali berayun-ayun perlahan. Odang menatap juragannya yang sedang mendongakkan wajahnya menatap ke kuda-kuda penahan atap, itu penuh dengan pertanyaan.
“Kalau ada hal lain yang bisa saya bantu, Juragan?” tanya Odang menawarkan jasa.
“Tidak ada!” sahut Juragan Somad tawar.
“Kalau begitu saya pamit ke belakang, Juragan! Atau Juragan mau dibawakan kue juga kopi panas?” kata Odang kembali sambil bangkit berdiri, menunggu.
“Tidak usah. Pergilah!” geleng Juragan Somad tanpa melihat ke arah pembantunya itu.
Dengan pikiran tak mau ambil pusing, Odang melangkah mengitari rumah, masuk lewat belakang. Di mana kamar para pembantu Juragan Somad terletak. Sebetulnya Odang, Ocih dan Rukmi, para pembantu Ki lurah itu, merupakan penduduk dusun setempat. Mempunyai rumah masing-masing, namun kadang mereka harus bekerja sampai malam hari, yang dikarenakan rasa lelah akibat bekerja seharian, membuat mereka malas pulang. Akhirnya Juragan Somad mengijinkan dan membuatkan mereka kamar yang cukup untuk beristirahat melepas lelah di bagian belakang rumah besar tersebut. Bersebelahan dengan dapur.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana mereka berempat sebetulnya?” berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Juragan Somad tanpa menemukan jawaban. Jawaban yang hanya akan bisa diketahuinya apabila Barep datang menemuinya.
“Keparat Si Barep! Awas kau kalau nanti datang!” sungut Juragan Somad dalam hatinya. Angin yang tadi berhembus kencang menerbangkan daun-daun yang basah, kini berhembus perlahan, tapi cukup untuk Ki Lurah Dusun Cisoka itu mulai merasakan kedinginan. Dia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana berwarna hitam yang tanggung. Jelas bukan pakaian yang cocok untuk bertahan dengan cuaca dingin di lereng pegunungan semacam itu.
“Aku harus bertanya kepada Si Abah agar menerawang ke mana sebetulnya Si Barep dan keluarga Si Juha sebetulnya,” gumam Juragan Somad berbicara sendiri. Kemudian meninggalkan beranda rumahnya yang kini berantakan oleh daun-daun yang dibawa angin ke situ.
Sampai di depan pintu ruang kerjanya yang masih tertutup, Juragan Somad sedikit terhenyak. Sambil menepuk perlahan jidatnya. Ada kikik kegelian yang terdengar dali dalam ruangan tersebut. Menandakan Euis dan Si Abah belum juga selesai menumpahkan birahi mereka!
Seikhlas-ikhlasnya hati Juragan Somad, tetap saja dia adalah seorang suami. Suami yang tentu mencintai istrinya yang cantik jelita itu. Terselip rasa sakit tak terperi di hatinya. Rasa sakit yang selalu berusaha diobatinya dengan merebut dan menikmati tubuh-tubuh dari istri lelaki lain. Namun rasa sakit itu tetaplah rasa sakit. Tak ada penawarnya samasekali. Racun cemburu dari ketidakberdayaannya telah menggerogoti Juragan Somad menjadi seorang yang kejam tak berperasaan.
“Aa-baaahhhsssh ...,” terdengar kembali erangan Euis.
Hati Juragan Somad memberontak. Membayangkan tubuh sintal dari istri yang tak pernah dijamahnya itu sedang berkeringat memacu birahi dengan Si Abah, sesak sudah napasnya. Penisnya mulai menegang menuntut pelampiasan dari barik celana tanggungnya.
“Ahhh ..., Esih! Di mana kau sekarang!” desis hati pria itu sambil mengelus-elus kepala pensinya yang menonjol dari balik kain celananya. Dadanya mulai bergemuruh oleh desakan birahinya. Sambil mengertakkan gigi, Juragan Somad berbalik pergi menjauh dari godaan erangan demi erangan istrinya yang bahkan bau berahi dari dua orang yang sedang memacu hasratnya itu menyeruak ke luar ruangan.
Desakan birahi yang begitu kuat membuat dahi Juragan Somad berdenyut-denyut, kepalnya terasa pusing menahan birahinya yang menuntut pelampiasan.
Dengan langkah kaku akibat menahan hasrat yang bergejolak, tanpa sadar membawanya melewati kamarnya sendiri lurus ke arah belakang menuju dapur. dan Baru tersadar ketika di tepat di pintu dapurnya melihat Odang yang setengah telanjang dengan celana basar yang berada di mata kakinya tengah asyik menyodok Ocih yang tertelungkup di meja kecil di ruangan dapur tersebut. Odang tampak dengan semangat mengayun pantatnya keras-keras ke pantat besar Ocih yang melenguh-lenguh keenakan, kepalanya yang bertelekan di atas meja, sesekai menyentak dengan lenguhan tajam seiring hentakan penis Odang menghunjam bagian dalam vaginanya. Usia Ocih sekitar lima puluh empat tahun, suaminya merupakan penggarap ladang Juragan Somad. Ia sudah lama ikut menjadi pembantu bersama Rukmi anaknya yang telah menjanda di rumah Ki Lurah tersebut. Dengan usia yang tak lagi muda, namun Ocih seperti kebanyakan perempuan dusun yang sedari muda biasa bekerja keras. Tubuhnya ternyata masih cukup kencang, dengan payudara yang walau pun sudah sedikit kendor namun masih terlihat pejal dan sekal. Payudara Ocih tergencet tubuhnya yang rapat menekan meja, seakan sebuah balon yang sebentar lagi bisa meledak. Alur urat-urat halus berwarna hijau terlihat menghiasi sisi payudara tersebut. Payudara yang disia-siakan Odang, karena kedua tangan pria itu sedang mencengkram bahu perempuan setengah baya itu demi mendapat hentakan yang maksimal selama membombardir vagina pasangannya itu. Pinggul gemuk Ocih bergerak-gerak setiap selangkangan Odang menumbuknya.
Usia Odang belum mencapai empat puluh taun, terpaut belasan taun dari Ocih yang jelas lebih tua. Entah kapan hubungan terlarang meraka dimulai, Juragan Somad memang tidak pernah mau perduli kegiatan dari para pembantunya selama mereka masih patuh dan mengurus rumahnya dengan baik. Bahkan kalau saja suasana hatinya sedang dalam keadaan baik, melihat kegiatan senggama Odang dan Ocih mungkin saja Ki Lurah hanya mesam-mesem. Namun dengan keadaan hatinya yang sedang sangat buruk. Jelas bukan nasib baik yang dirasakan kedua orang itu yang masih tidak menyadari kehadiran juragan yang sangat jarang sekali datang ke dapur itu.
“Babi Busuk!” sembur Juragan Somad menggelegar. Bertolak pinggang di pintu dapur dengan wajah merah padam. Amarah dan birahi bercampur, menggelegak merebus ubun-ubunnya.
Tubuh Odang terjengkang, terdorong oleh tubuh Ocih yang berdiri mendadak. Sibuk menarik kain menutupi bagian tubuhnya yang berkeringat. Odang sibuk menarik-narik celananya yang melorot tadi, penisnya masih mengacung penuh lendir putih dari lendir birahi vagina Ocih. Keduanya kini terduduk di lantai dapur dengan wajah sangat pucat. Kaget dan malu! Wajah keduanya menunduk tak berani menatap wajah juragannya.
“Kalian ..., pergi dari sini, Babi!” bentak Juragan Somad dengan suara bergetar.
“J-juragan ...,” Odang beringsut.
“Enyahlah dari rumahku, Bangsat!” telunjuk Juragan Somad teracung ke pintu keluar dari dapur.
“Jj-juragaaan ...,” ratap Ocih dengan wajah memelas.
“Jangan sampai aku berubah pikiran untuk menyeret kalian ke balai desa sekarang juga. Pergi! Enyahlah!” ancam Juragan Somad dengan mata merah nyalang.
Odang dan Ocih saling pandang. Pasrah. Bertahun-tahun menjadi pembantu di rumah Ki Lurah itu, sudah cukup paham benar tentang sifat Juragan Somad yang tak ada seorang pun mampu mengubah apa yang telah terlanjur dikatakannya. Dengan perasaan campur aduk; bingung, takut, malu. Keduanya berdiri bersamaan, tanpa berani menatap wajah Juragan Somad, dengan badan terbungkuk-bungkuk menuju pintu keluar dapur.
Mata nyalang Juragan Somad melihat Odang dan Ocih keluar pintu dapur entah kemana, sampai pintu dapur itu tertutup kembali. Ki Lurah mencoba meredakan gemuruh dari rasa marah dan birahinya yang terus bergejolak. Tapi sia-sia. Gejolak seperti itu biasa disalurkan dengan bercinta. Tidak bisa diredam oleh dirinya begitu saja. cuping hidungnya kembang kempis, ubun-ubunnya terasa berdenyut-denyut.
Dengan langkah kaku menahan ayunan penisnya yang tegang dan ngilu setiap terayun menggesek pahanya, dia menuju satu tempat dengan pasti. Kamar Rukmi, pembantunya anak dari Ocih.
Sebelum masuk ke kamar Ocih, Juragan Somad meraih lentera yang menggantung di tiang dapur. Pintu kamar tersebut hanya ditutupi oleh sehelai kain usang sebagai tirai. Kamar tempat beristirahat dari ibu beranak itu sempit dan bau apak. Namun dengan birahinya yang menggelegak, segala bebauan itu tak dipedulikan Juragan Somad. Lentera ditaruhnya di meja reyot yang berada di samping balai bambu tempat dimana Rukmi sedang terbuai mimpinya. Suara mengorok halus terdengar timbul tenggelam. Dalam usia tiga puluhan, Rukmi telah dua kali menjanda, ditinggal begitu saja oleh suami-suaminya yang pergi ke kota dan tak pernah ada beritanya kembali. Tubuhnya gendut bulat namun padat, dengan kulit kecoklatan dan rambut semi keriting. Wajah bulat dengan pipi berlemak itu selalu bergetar setiap hidungnya yang kecil mungil mengeluarkan suara mengorok halus.
Dengan tidak sabar, Juragan Somad menarik kain yang membungkus tubuh bulat itu dengan sekali tarikan. Begitu juga dengan kain kemben yang sedikit kendor. Dua bongkah payudara yang bulat besar segera tumpah. Lingkaran besar coklat dengan puting yang menonjol sungguh eksotik terlihat dari jilatan cahaya lentera.
Hawa yang sangat dingin merayap tubuh berlemak perempuan itu, memaksanya tangannya mencari-cari kain yang dipakainya untuk menjadi selimut dengan mata masih rapat terpejam. Namun betapa kagetnya hati perempuan itu ketika jari-jarinya malah menggenggam sebuah tongkat kenyal, hangat dan berdenyut. Tangannya reflek mengibas.
“Ular ...!” teriak Rukmi membuka matanya, memaksa tubuhnya beringsut.
“Ju-ragaaan ...?” Rukmi ternganga melihat sesosok tubuh gempal berdiri telanjang sambil menyeringai.
Juragan Somad memang sudah membuka seluruh pakaiannya.
“Rukmi ....” suara Ki Lurah itu sudah terdengar serak. Terdengar derit balai ketika tubuh pria itu memanjat naik.
“Ju-ragan mm-mau a-pa?” gagap suara Rukmi yang kebingungan. Kedua tanganya sibuk menutup sepasang payudara besarnya yang terayun-ayun.
“Aku mau kau melayani aku, Rukmi ...,” geram Juragan Somad sambil menubruk tubuh gendut itu.
“Jj-juragan ja-ngaaan ...,” jerit Rukmi mulai panik.
“Sudah diamlah!” geram Juragan Somad kembali. Jari-jari gempalnya merayap dan meremas bongkahan payudara yang memang besarnya bukan main itu. Begitu empuk dan kenyal.
“Hkkk ..., jangan Juragan. B-bagaimana kalau Juragan Istri ...”
“Jangan perdulikan sundal itu! Sudah diamlah. Layani aku baik-baik,” bentak Juragan Somad marah.
Tubuh Rukmi tergencet antara balai dengan dinding kayu, sisa kain yang menutup bagian bawah tubuhnya telah ditarik paksa Ki Lurah yang sudah diamuk napsu birahi.
Remasan-remasan kasar mulai menjamah payudaranya, membuat Rukmi samasekali tak berkutik. Sebuah benda panas yang berdenyut-denyut, terasa menekan-nekan perutnya. Ia tahu benar benda apa itu, sebagai seorang perempuan yang telah dua kali menikah, dengan keadaannya yang sudah dua tahun menjanda tanpa disentuh laki-laki. Setiap sentuhan dan remasan dari Juragan Somad dengan cepat mampu membangkitkan gairahnya kembali yang sempat terkubur berupa hasrat yang berdebu. Vagina gemuk yang berbulu lebat itu begitu cepat basah. Lengket oleh cairan lendir birahi yang merembes. Apalagi saat jari-jari Juragan Somad yang lain membelah lembah dari bukit kecil tersebut, kepala Rukmi tersentak ke belakang. Memberi kesempatan Jurragan Somad mendaratkan mulutnya ke leher berlemak itu. Menghisap dan menggigit.
“Ahhh ..., Juragan,” rintih Rukmi mengigit bibirnya yang tebal. Kedua puting payudaranya yang mengencang dipelintir bergantian. Mulut dan gigi Juragan Somad berpesta pora. Kulit berlemak dari Rukmi sebentar saja sudah berbercak-bercak. Antara rasa sakit, enak, dan geli, Rukmi makin bangkit gairahnya. Tanpa malu-malu kedua tangan gemuknya memeluk tubuh Juragannya itu dengan pinggul yang bergerak-gerak vertikal menuntut sesuatu.
Juragan Somad yang memang sudah dari tadi menahan napsu, tubuh gempalnya segera meluncur turun, duduk dengan kedua kaki terlipat ke belakang, menarik lebar-lebar kedua paha gemuk Rukmi, vagina yang membukit itu, kedua bibirnya sedikit terbuka. Berkilat basah.
“Jj-juragaaan ...,” erang Rukmi menatap sayu.
“Hheh-hehh-hehh,” Juragan Somad mengekeh berat.
Kepala penis gempalnya membelah dan menggesek bibir tebal vagina Rukmi. Bau birahi yang tebal menguar tajam.
Cek-cekk-ckecck!
Gesekan demi gesekan di bibir yang berlendir lengket itu mengeluarkan suara yang berirama.
“Ju-ra-gaaan ..., nghhh ...,” Rukmi mulai merengek.
Pantat Juragan Somad sedikit terangkat. Penisnya yang sudah ereksi penuh teracung dengan kepalanya yang sudah berkilat-kilat.
Jari-jarinya menguakkna bibir-bibir vagina gemuk tersebut, sampai sebuah lubang kecil yang berlendir terlihat. Dibantu dengan jempol tangannya, Juragan Somad menempatkan kepala penisnya di lubang tersebut yang secara logika tak akan mungkin bisa masuk.
Perlahan tapi pasti, pantat Juragan Somad menekan.
“Oughhh ...” Rukmi mengejang, menggigit bibir bawahnya. Dua tahun vaginanya tak pernah dimasuki penis lelaki.
“Srrrt!”
Kepala penis Juragan Somad akhirnya bisa masuk juga ke dalam vagina gemuk tersebut.
Wajah Rukmi mendongak ke langit-langit dengan mulut terbuka. Dan sesaat kemudian, otot-otot vaginanya mulai bereaksi, mengedut-edut.
“Haaaeshhh,” Juragan Somad mendesis ngilu ketika merasakan hisapan kuat dari dinding-dinding vagina kenyal Rukmi yang hangat, menghisap penisnya kuat-kuat untuk masuk lebih dalam. Pantatnya segera menekan lebih dalam.
“Blessshhh!”
Badan Rukmi terhenyak, keduanya tak bergerak sesaat. Menikmati penyatuan dua kelamin mereka yang sedang berdenyut-denyut beradaptasi.
Sesaat kemudian, dengan geraman-geraman keras, Juragan Somad mulai menggenjot, kedua tangannya mencengkram kuat ke payudara Rukmi seperti hendak memecahkannya.
Balai tempat tidur yang terbuat dari bambu itu seakan mau ambruk digoyang dua tubuh besar yang bergerak seperti sepasang kuda liar itu. Berderit seolah-olah menjerit protes akan beban besar yang tengah disangganya.
Tak berapa lama, hanya dalam sepuluh sentakan, tiba-tiba Juragan Somad menggerung dahsyat. Menekan pantatnya dalam-dalam, matanya melotot. Dalam satu geraman dalam, penisnya menyemburkan mani dari ejakulasinya.
Satu sentakan yang membuat ulu hati Rukmi sesak, namun ia samasekali belum mencapai puncak dari kenikmatan yang didambakannya.
“Ahhhsssh ..., Ju-ra-gaaan ...,” Rukmi mengerang kecewa. Begitu tubuh gempal juragannya ambruk di atas tubuhnya. Wajah pria itu tenggelam ditelan belahan dua bongkah payudaranya.
Sesaat suasana hening selain deru dua napas memburu.
Kemudian tubuh Juragan Somad bergerak, lalu berguling ke sisi ttubuh gemuk Rukmi yang hanya terdiam, merasakan penis yang masih tenggelam dalam vaginanya mengecil dan lembek. Lalu lepas begitu saja. cairan putih kental merembes dari belahan vagina gemuk Rukmi yang masih bergetar bibir-bibirnya ketika kedua pahanya merapat lalu menekuk setengah meringkuk.
Juragan Somad bangkit dengan wajah merah karena malu.
“Lap sampai kering memekmu, Rukmi. Tunggu, aku akan kembali sebentar lagi,” geram Juragan Somad sambil turun dari balai, memungut bajunya, kemudian mengambil sesuatu dari saku baju tersebut. Dengan langkah terburu-buru dan badan masih telanjang, dia keluar kamar menuju ke dapur. Mengambil sebuah poci berisi air, dia lalu memasukkan dua butir pil hitam mirip tahi kambing ke dalam mulutnya, lalu menenggak air dari poci langsung. Selesai meminum pil kekuatan seksnya. Juragan Somad kembali ke kamar tidur Rukmi dimana perempuan itu masih tergeletak di atas balai dengan kain sudah menutup kembali tubuhnya.
“Aku belum kalah, Rukmi!” kata Juragan Somad berdiri masih telanjang di sisi pembaringan.
Rukmi yang mau bangkit dari tidurnya menatap kebingungan. Melirik penis Juragan Somad yang masih terkulai lemas.
“Bantu aku, Rukmi ...,” desis Juragan Somad merapat ke pembaringan. Mengangsurkan penisnya ke wajah Rukmi yang merona merah karena malu. Selama hidupnya belum pernah melihat penis pria sedekat itu, biasanya yang dilakukan suami-suaminya dulu adalah ia cukup telentang, biarkan pria itu menyelesaikan hasratnya. Selesai sudah. Puas tidak puas.
“Ayo, Rukmi ...,” desak Juragan Somad.
“A-apa yang harus saya lakukan, Juragan?” Rukmi menatap juragannya dengan tatapan bertanya.
“Elus-elus ..., jilat, masukkan ke dalam mulutmu!” sahut Juragan Somad mulai serak.
“A-apa?” terbelalak mata Rukmi.
“Cepatlah!” hardik Juragan Somad.
Dengan ragu-ragu dan tangan gemetar, Rukmi menuruti kemauan dari juragannya. Jari-jarinya mengelus-elus dan mengocok pelan penis juragannya yang mulai mengembang dan berdenyut hangat. Didesak rasa penasaran, dengan mengabaikan rasa jijik dan bau air mani dari penis yang belum dicuci itu, Rukmi mendekatkan wajahnya. Melirik wajah Juragan Somad yang masih berdiri menyeringai.
“Jilat! Masukkan ke dalam mulutmu, Rukmi!” perintah Juragan Somad sambil menggeser makin rapat.
Batang penis yang mulai menegang dalam genggamannya itu terasa kenyal dan menghangat. Walau pun rasa jijik masih menguasai hatinya, namun ada hasrat aneh dari dalam dirinya untuk merasakan penis itu didalam mulutnya. Hasrat yang sama seperti fantasi banyak pria yang menginginkan menjilat vagina dari pasangannya.
Ragu-ragu perempuan itu mengeluarkan lidahnya, dengan ujung lidah yang merah basah menjilat kepala penis juragannya. Ada rasa asing yang membuat hatinya berdebar-debar aneh. Sambil memejamkan mata dan menahan napasnya, Rukmi memasukkan kepala penis itu ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya menelusuri batang penis yang makin mengembang dan terus berdenyut-denyut hangat.
“Ahhh ..., nikmaaat, Rukmi!” desis Juragan Somad sambil meram-melek. Tangannya merayap ke bongkahan payudara Rukmi yang juga mengencang puting-putingnya. Meremas dan menggaruk.
Juragan dan pembantunya itu mulai mengayuh kembali berahinya yang mulai bergejolak kembali. Gairah Rukmi yang belum tuntas saat kali pertama, mulai menuntut penyelesaian. Dibantu oleh pil penguat keperkasaan kelelakiannya, Juragan Somad melampiaskan seluruh kekesalan, amarah, cemburu, dengan mengoyak-ngoyak vagina gemuk Rukmi habis-habisan. Dua tubuh dengan bobot yang besar, bergulat gila-gilaan di atas balai bambu beralaskan kain itu.
Sementara di ruang pribadi Juragan Somad, Eusi dan Si Abah yang memiliki keperkasaan di luar nalar, masih juga bertempur dengan hebat. Kulit kuning langsat Euis telah banjir keringat. Kedua payudaranya yang padat dan kenyal, penuh dengan liur Si Abah, berbercak-bercak merah.
Tubuh semampainya tergeletak di atas meja dengan kedua kaki teracung vertikal ditahan sebelah tangan Si Abah yang sedang bersemangat memompa vagina Eusi yang terjepit kedua pahanya.
Penis berulir hitam legam itu telah penuh dengan lendir putih vagina Euis yang sekarang tinggal tergeletak lemas, pasrah. Entah berapa kali ia mencapai orgasmenya, kenikmatan tiada tara yang berkali-kali diigapainya tanpa sekalipun Si Abahnya yang perkasa itu menyemburkan maninya.
Bunyi ceplak-ceplok terdengar berkali-kali setiap penis berulir itu keluar masuk vagina Euis yang merekah merah menyala.
“A-baaah mau sssampai, Euiiissshhh ...,” terdengar Si Abah menggeram.
“A-baaah ...,” rintih Euis yang suaranya sudah sangat serak akibat terlalu sering mengerang-erang nikmat dari tadi.
Si Abah menarik napas dalam-dalam, menyalurkannya ke bawah, mendesakkan sesuatu ke penisnya. Urat-urat dari penis besar itu menggembung seperti leher yang menahan napas. Lalu pantat peyot itu menghentak dan menekan sangat dalam. Euis yang sudah kehabisan tenaga, ulu hatinya terasa sangat sesak. Matanya membeliak lebar.
Semburan cairan kental yang panas, memenuhi vaginanya yang berdenyut lemah.
“Hhhhh ...,” desis Si Abah, menundukan mukanya dengan punggung melengkung. Mulut keriputnya melekat erat di betis jenjang Euis.
Setelah memeras habis seluruh air maninya di dalam vagina Euis. Si Abah mencabut penisnya yang mulai lemas.
“Plop!” terdengar bunyi tersebut ketika penis legam itu tercabut dari lubang vagina yang memperlihatkan lubang besar. Cairan putih kental menyembur dari lubang tersebut. Sepasang kaki jenjang itu terkulai ke atas lantai. Euis menatap sayu Si Abah yang terduduk di atas kursi meredakan napasnya yang memburu, satu senyum penuh kepuasan dari perempuan istri Ki Lurah Dusun Cisoka itu tersembul.
“Euis lemas, Abah. Gendong Euis ke kamar ya ...,” bisik Euis manja.
Si Abah mengangguk sambil tersenyum, “Iya sebentar, Anak Manja. Abah masih capai!” sahutnya.
Tak berapa lama kemudian. Dengan tubuh sama-sama telanjang, Si Abah dengan kekuatannya yang tak terduga, membopong tubuh tinggi semampai Euis tanpa kesulitan, keluar dari kamar kerja Juragan Somad menuju kamar pribadi Euis yang bahkan Juragan Somad pun belum pernah tidur di atasnya. Tanpa punya keinginan untuk membersihkan dirinya. Si Abah dan Euis tidur berpelukan dengan diselimuti oleh selimut yang tebal dan hangat.
*
Pagi itu terasa sangat segar sekali. Kabut tipis mulai menghilang seiring sinar mentari merayap hangat di lereng gunung Papandayan tersebut. Nyanyian burung berbagai jenis dengan aroma tanah basah dari hujan semalam, pohon-pohon basah, rerumputan dan setiap tanaman, titik-titik air embun di setiap ujung daun berkilau-kilau bak mutiara alam yang menakjubkan. Betul-betul surga dunia yang didambakan oleh setiap insan manusia. Sosok-sosok tangguh dari para petani dan peladang dengan alat-alat pertaniannya masing-masing, berceloteh riang menyongsong hujan besar tadi malam. Tanpa mereka mengerti sedikit pun bahwa semalam ada beberapa peristiwa birahi terlarang yang kelam.
Matahari baru naik sepenggalan ketika rumah Juragan Somad mulai menampakkan beberapa kegiatannya.
Di halaman belakang, persis di luar pintu dapur. Juragan Somad berdiri di depan sosok tubuh yang tengah berlutut. Dua sosok tubuh itu bukan lain adalah Odang dan Ocih.
“ ..., sudahlah. Kalian bekerjalah lagi seperti biasa,” Juragan Somad mengibaskan tangannya sambil berbalik pergi.
“Terima kasih, Juragan,” sahut Odang dan Ocih serempak.
Mereka berdua memang sudah sepakat untuk memohon ampun kepada juragannya itu, dan di kesempatan Juragan Somad ke halaman belakang itulah keduanya langsung bercakap-cakap dengan Juragan Somad yang kelihatannya saat itu, dia sedang bersenang hatinya.
Di ruang pribadi Juragan Kepala Dusun itu, Juragan Somad, Si Abah dan Euis yang bermanja-manja di pangkuan abahnya sambil bercakap-cakap.
“Aku akan tinggal di rumahmu kurang lebih sebulan, Somad,” ujar Si Abah sambil mengelus-elus rambut Euis penuh rasa sayang.
“Kenapa hanya sebulan, Abah? Kenapa tidak selamanya? Atau katanya aku akan diajak tinggal di kota!” Euis merengut. Menengadahkan wajahnya menatap Si Abah.
“Anakku sayang, dengarlah dulu kata-kata, Abah,” kata Si Abah sambil mencium dahi Euis, “Aku akan tinggal di sini sebulan, lalu kita bertiga akan pindah ke kota. Di kota sudah ada rumah yang kupersiapkan untuk kita!”
“Bertiga? Kenapa bukan abah dan aku saja yang ke kota?” kata Euis sambil melirik sinis suaminya.
“Sudah kuputuskan begitu, Manisku. Somad masih sangat kubutuhkan untuk membantu urusanku di kota sana.”
“Tapi, Abah ..., bagaimana dengan jabatanku di sini?” Juragan Somad terlihat ragu-ragu.
“Jabatanmu harus kau tanggalkan, Somad. Aku telah menerawang jauh, bahwa kau tak akan bisa mempertahankan jabatanmu itu dua bulan ke depan. Ada peristiwa besar yang akan menghabisimu, kalau kau tetap nekat di dusun ini!”
“Peristiwa semacam apa, Abah?” tanya Juragan Somad terperanjat kaget.
“Aku belum bisa memastikannya, hanya lebih bijaksana kalau kau mengundurkan diri lebih cepat sebelum peristiwa itu terjadi. Peristiwa besar yang bahkan setelah aku mengerahkan seluruh makhluk-makhluk ghaib dalam kekuasaanku tak mampu menembusnya. Peristiwa yang mempunyai ttirai kabut ghaib, dan aku tidak ingin Si Euis juga kau terlibat dalam peristiwa besar tersebut. Mengerti?” sahut Si Abah memandang tajam.
“Saya mengerti ..., saya mengerti, Abah. Namun ...,” Juragan Somad terlihat masih ragu.
“Namun apa, Somad?”
“Di kota sana ..., di kota sana apa yang bisa saya lakukan, Abah?”
“Aku sudah meminta kepada beberapa pejabat kota untuk memasukkan kau sebagai pegawai di sana. Dan aku akan memberi kau modal untuk membuka perusahaan juga, tentu dengan bantuan para pejabat yang sering kubantu itu.”
Juragan Somad manggut-amnggut mengerti. Walau hatinya tetap ragu dan lebih suka di dusun ini sebagai penguasa. Namun kepada Si Abah, mana berani dia menentang. Bisa-bisa dia kehilangan nyawanya dengan kemampuan ghaib Si Abah yang mengerikan itu.
“A ..., ada yang saya ingin Abah menerawang kejadian semalam, kalau Abah tidak berkeberatan,” kata Juragan Somad sedikit malu-malu. Melirik Euis yang tengah mengunyah makanan ringan di meja.
“Apa itu?” tanya Si Abah menatap menantu bonekanya.
“Itu ..., Si Barep, pembantu kepercayaan saya. Dia saya suruh untuk ..., eh ..., untuk mengambil Si Esih. Tapi dia tak ada kembali. Entah kemana dia, saya agak khawatir, Abah!”
“Hmmm ..., coba kau ambil salahsatu barang orang kepercayaanmu itu sama sebaskom air hangat yang dikasih garam!” kata Si Abah setelah termenung sejenak.
“Baik, Abah,” Juragan Somad segera berdiri, kemudian melangkah keluar. Sesaat kemudian dia telah kembali membawa barang-barang yang diminta mertuanya itu. Kemudian di taruhnya di atas meja kayu.
“Keluarlah dulu, Euis. Aku mau menerawang sebentar!” suruh Si Abah kepada Euis yang mencibir, tapi segera berlalu ke luar ruangan tersebut.
“Masukkan baju itu ke dalam air baskom, Somad!” perintah Si Abah. Juragan somad segera memasukkan baju Barep ke dalam air bening yang sudah digarami sesuai permintaan Si Abah.
Setelah itu, sambil merapal mantera yang tak pernah bisa dipahami oleh Juragan Somad, sambil menaburkan bubuk hitam. Kedua telapak tangan Si Abah menyentuh permukaan air, memutarnya searah jarum jam. Setelah tujuh putaran, Si Abah menarik kembali tangannya sementara permukaan air terus berputar makin cepat, kemudian menggelegak seperti mendidih. Uap hitam berbau memuakkan tercium tajam. SI Abah memejamkan matanya, ketika mata itu terbuka. Juragan Somad bergidik ngeri. Sepasang mata itu berubah hitam legam, hitam tanpa ada putihnya. Mata itu menatap ke baskom air yang kini telah berhenti menggelegak.
“Hmmm ...,” Si Abah menggeram berat. “Orangmu itu, Somad. Telah pergi jauh ..., jauh bersama seorang perempuan. Mereka berjalan menyusuri jalan aspal.”
“Ke mana mereka, Abah?” tanya Juragan Somad bersemangat.
“Menurut terawanganku, mereka menuju ke arah kota, Somad. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Apa yang kau mau, Somad? Membunuh keduanya? Atau bagaimana?” tanya Si Abah.
Juragan Somad mengeras rahangnya. Dari penjelasan Si Abah, sudah jelas Barep membawa Si Esih kabur. Artinya, Barep memendam hasrat juga untuk memiliki perempuan itu. Kurang ajar! Kertak Juragan Somad dalam hatinya.
“Aku bisa mengirim kutukan kepada mereka, Somad! Katakanlah, apa yang ingin aku lakukan!” kata Si Abah dengan suara yang dalam.
Kalau menurut hasratnya, ingin sekali dia sendiri yang membunuh Barep yang telah mengkhianatinya. Namun tiba-tiba ada selintas pikiran di otaknya yang segera diutarakannya ke Si Abah.
“Saya ingin Abah mengambil kemampuan kelamin Si Barep agar tidak bisa bereaksi lagi terhadap perempuan, Abah!” kertak Juragan somad.
“Maksudmu Si Barep aku bikin peluh, Somad?” kekeh Si Abah.
“Betul! Aku ingin Si Esih menyesal ikut dengan Si Bangsat Barep itu!” kertak Juragan Somad penuh dendam.
“Ha-ha-ha ..., baiklah, Somad ..., baiklah ..., ha-ha-ha!” kata Si Abah sambil terbahak-bahak. Kemudian dia merapal mantera lagi, mantera yang kacau dan rumit. Dirapalkan dengan cepat, hingga di akhir rapalannya, satu semburan ludah ke atas baskom membuat air di baskom tersebut bergejolak kembali.
Setelah selesai melakukan ritual tiu, Si Abah kembali memejamkan matanya, hingga sesaat kemudian, ketika membuka matanya kembali, sepasang mata itu cerah tajam seperti sedia kala.
Sayang sekali, Juragan Somad lupa meminta Si Abah untuk mencari tahu kabar Pak Juha serta anaknya yang juga raib dari rumahnya ketika terjadi hujan lebat di malam itu.
Ketika ditinggalkan oleh Barep dan Bu Esih, dalam sepeminuman teh, tiba-tiba saja hujan beserta angin turun dari langit. Kilat petir dan gelegar guntur telah berhasil membuat Pak Juha siuman dari pingsannya.
Pak Juha bangkit terduduk, matanya berkeliling mencari-cari. Yang ditemuinya hanya Imas yang menatapnya dengan berlinang air mata.
“Imas, kemana Emakmu?” tanya Pak Juha menatap tajam Imas.
“Ema i-ikut Si-Si Barep, Bapa,” sahut Imas terbata-bata.
“Apa?” Pak Juha terhenyak. Tapi sesaat kemudian dia bangkit berdiri. Melangkah terhuyung ke pintu depan.
“Bapa, mau ke mana? Di luar hujan besar!” Imas segera meraih tangan bapaknya.
“Aku harus menyusul Emakmu, Imas! Kau tunggu di rumah!” Pak Juha menetapkan hatinya. Menepis tangan anaknya lalu melangkah pergi. Saat telapak kaki telanjangnya menyentuh tanah yang sudah basah dan licin. Rasa pusing kembali menyerang kepalanya, tubuhnya terhuyung lalu terjatuh bersamaan dengan cahaya petir.
“Bapaaa!” Imas berseru khawatir, setengah meloncati undakan rumahnya memburu bapaknya yang secara tiba-tiba bangkit kembali. Dalam cahaya petir yang susul menyusul, wajah Pak Juha yang telah basah oleh air hujan mendadak berubah pucat.
“Aku mendengar teriakan Emakmu, Imas! Dia dalam bahaya! Celaka!” mata Pak Juha berubah nyalang, tak memperdulikan lagi rasa pusingnya, orang tua itu berlari mennembus lebatnya hujan dam kelamnya malam.
“Bapaaa! Jangan pergi ..., tunggu Imaaas!” dalam rasa khawatirnya Imas nekat juga mengikuti bapaknya yang berlarian ke jalan dusun yang becek dan licin. Dipandu cahaya kilat yang terus berkelebat, telapak tangan Imas melindungi matanya dari terpaan air hujan yang disertai angin kencang terasa menampar-nampar mukanya, mengikuti bayangan bapaknya belasan meter di depannya. Keduanya beberapa kali terpeleset licinnya tanah yang sudah berubah menjadi lumpur berwarna merah. Hingga pada suatu saat, dilihatnya ayahnya berdiri mematung dengan arah pandangan ke suatu tempat. Imas yang terengah-engah menyusul turut berdiri di samping bapaknya. Dari balik tanaman jagung, dalam cahaya kilat ada cahaya lain yang berpendar di sebuah saung-saungan kecil di tepi ladang. Cahaya yang menyorot sebuah kegiatan panas dari dua orang yang sedang memacu birahi. Barep dan Bu Esih!
Imas berseru kecil, telapak tangannya menekap bibirnya, matanya membelalak melihat ibunya dalam keadaan telanjang berada dalam pangkuan Barep, bergoyang cepat dengan kedua tangannya memeluk bahu pria pasangannya itu. Imas mengerti betul mereka sedang melakukan apa.
“Bajingan!” terdengar gemetar suara Pak Juha dalam amarah yang membuncah dadanya. Badannya turut gemetaran, “Aku bunuh mereka sekalian!” geramnya dengan hati yang teramat sakit. Ketika hendak melangkah menghampiri kedua orang itu, Imas cepat meraih tangan bapaknya yang terasa sedingin es.
“Bapak jangaaan! Imas mohon,” seru Imas dengan ketakutan. Tahu benar bapaknya bukanlah tandingan dari Barep. Tadi saja dalam segebrakan, bapaknya itu telah dibuat semaput. Apalagi dalam keadaan terdesak seperti itu, bisa-bisa bapaknya hilang nyawa.
“Lepaskan! Kau kembali ke rumah!” bentak Pak Juha yang sudah kalap, merenggut tangannya. Namun Imas menggegamnya dengan sangat erat sehingga tubuh mungilnya sedikit terseret.
“Imas mohon, Bapa. Emak sudah rela meninggalkan kita, sekarang bapa hendak menuntut balas, kalau terjadi apa-apa, Imas sama siapa!” isak Imas tersedu-sedu. Jelas hatinya sangat ketakutan sekali saat itu.
Langkah kaki Pak Juha tertahan mendengar isak anak satu-satunya itu. Betul! Istrinya telah rela mengikuti Si Barep meninggalkannya, bahkan melayani birahi Juragan Somad semalaman tanpa rasa terpaksa sedikit pun. Lalu dia membela siapa? Harga dirinya? Dirinya bahkan sudah tidak berharga sama sekali saat ini, saat istrinya itu malah main gila dengan Si Barep!
Tubuh Pak Juha jatuh terduduk. Kepalanya terasa pusing seakan mau meledak. Imas turut berjongkok, memeluk bapaknya, ikut merasakan kesedihan yang dirasakannya. Secara kebetulan, tanaman jagung itu seperti sengaja ddisibakkan angin kencang sehingga dalam keadaan terduduk begitu, keduanya masih sangat jelas melihat liarnya birahi dari Bu Esih dan Barep!
Imas merasakan napasnya menyesak, dalam rasa dingin yang menusuk tulang itu, kedua puting payudaranya mengeras kaku. Perasaan yang sama melanda juga Pak Juha. Dalam rasa marah dan sakit hatinya, tiba-tiba saja gairahnya terbangkitkan. Penisnya terasa menegang kaku dari balik celana pangsinya. Punggung tangannya terasa menyentuh benda empuk, ketika diliriknya, dalam kilat hujan tangannya tengah dipeluk oleh Imas yang diluar sadarnya, punggung tangannya itu digesek-gesekkan ke payudaranya. Makin sesaklah napas Pak Juha ini.
“Imasss!” bisik Pak Juha parau. Mencoba sekuat tenaga menahan hasratnya. Namun tak kuasa menarik tangannya dari dekapan hangat dada anaknya.
“Paaa,” Imas mendesah sambil menatap sayu. Tatapan yang sangat dipahami oleh Pak Juha, tatapan sayu persis istrinya sedang dilanda birahi. Dan Imas memang sangat mirip dengan Esih, emaknya itu.
“Ma-rriii pulaaang, Naaak,” Pak Juha sedikit menggeram, menahan gejolak hasratnya yang luar biasa menggoncang jiwanya. Dengan tekad yang sangat kuat, dia mencoba mengenyahkan pikiran mesum dari benaknya. Dengan berat, dia mengangkat tubuhnya berdiri lalu berjalan gontai, diikuti Imas yang tak melepaskan genggaman tangannya.
Baru beberapa puluh meter berjalan, tiba-tiba Imas berseru kaget. Ia terpeleset oleh licinnya tanah yang basah oleh air hujan. Gadis remaja itu merintih kesakitan, setengah terduduk di tanah basah dengan badan tergantung dari Pak Juha yang memegangnya.
“Kau kenapa, Imas?”
“Pergelangan kakiku sakit, Paaa!” Imas merintih.
“Bisa berjalan?” tanya Pak Juha khawatir, membantu berdiri anaknya yang kembali hendak terjatuh. Imas menggeleng sambil menyeringai kesakitan. Jelas kakinya telah terkilir akibat salah pijakan.
“Ya sudah, bapa gendong saja, di sebelah kanan ada saung Kang Suhi. Kita kesana biar bapa urut kakimu,” kata Pak Juha kemudian sambil menguatkan hatinya, membopong tubuh mungil Imas menuju sebuah saung dari ladang tetangganya.
Tiba di saung tersebut, Imas segera dibaringkan di atas balai bambu. Untunglah, saung itu lebih baik dari saung tempat Barep dan Bu Esih memacu birahi. Ada bilik setengah dinding yang melindungi mereka dari tepias air hujan yang menderu-deru. Keadaan sangat gelap mencekam, cahaya petir tak seintens tadi. cahayanya hanya sesekali saja berkelebat disertai gelegar guntur yang mulai terdengar menjauh.
“Di mana yang terkilir, Nak?” dalam gelap, pak Juha meraba-raba. Telapak tangannya meraba sesuatu yang padat dari balik kain yang dikenakan Imas.
“Pergelangannya, Pa. Terus ke bawah!” rintih Imas agak geli ketika jari-jari bapaknya merayap menelusuri dari pangkal pahanya ke betis hingga ke tempat di mana kakinya terkilir.
“Auhhh!” jerit Imas ketika Pak Juha menekan pergelangan kakinya yang ternyata sudah bengkak.
Dari cahaya kilat yang sesekali itu, Pak Juha sering menghela napas berat ketika terpaksa melihat kain bawahan Imas yang sudah tersingkap sampai ke pangkal pahanya. Dan gilanya, bayangan Bu Esih yang dipangku Barep juga ketika istrinya itu memacu birahi dengan Juragan Somad dalam intipannya saling berkelebat menggodanya.
“Bangsat!” tiba-tiba saja Pak Juha membentak tak jelas arahnya. Imas yang sedang merintih-rintih kesakitan sampai melonjak kaget.
Ia cepat bangkit dengan mata terbelalak mencari-cari, mungkin karena rasa takutnya, Imas merapatkan tubuhnya mencari perlindungan ke bapaknya yang sedang terengah-engah menahan hasrat yang bergejolak liar.
Pelukan hangat dari Imas itulah yang akhirnya mampu menjebol birahi yang tengah dibendung Pak Juha sekuat tenaga.
Orang tua itu tiba-tiba menjadi beringas, tubuh Imas didorongnya sampai telentang di atas balai saung. Di tengah jeritan kaget gadis itu, bagai macan menubruk mangsanya, dari mulai kain kebaya, kain kutang hingga bawahan yang dikenakan gadis itu habis dikoyak-koyak Sang Macan yang tengah mangkat birahinya.
Dua bukit muda yang membusung menantang itu dikoyak-koyak oleh mulut yang berliur; Dihisap, digigit, dipelintir habis.
Erangan dan jerit kesakitan seakan menambah semangat Sang Macan mengunyah mangsanya.
Imas dalam kepanikan dan ketakutannya, mementang matanya lebar-lebar. Hati kecilnya ingin memberontak, namun ada rasa asing yang lain yang menyuruhnya pasrah bahkan memintanya untuk menikmati setiap sentuhan-sentuhan panas dan buas dari bapaknya yang menjadi seganas macan akibat desakan rasa marah dan sakit hatinya.
Imas yang merasa kasihan dengan nasib tragis bapaknya yang disakiti oleh Emaknya itu memilih diam dan pasrah. Debaran dari dadanya dari rasa geli dan gatal di selangkangannya kibat tergesek-gesek sebuah benda tumpul yang berdenyut hangat. Makin membuncah ketika benda kenyal dan hangat itu mendesak dan menekan, berkali-kali! Dibantu dengan jari-jari yang memaksa menguak bibir-bibir vaginanya, hingga suatu saat ;
“Akhhhkkk!” Imas menjerit keras. Kedua pahanya mengejang, mengacung vertikal ke udara kosong. Jari-jari kakinya menekuk menahan rasa sakit.
“Prrrt! Prrrt! Prrrt!”
“Sshhhaaa-kiiit, Paaa ...!” Imas mengerang dalam. Kedua matanya membeliak sampai tinggal putihnya saja, tanpa sadar ia menggigit bibirnya hingga berdarah.
Mendengar erangan Imas, pak Juha tertegun sejenak. Akal sehat yang sempat tenggelam menguasainya sejenak. Menyadari penisnya sudah melesak masuk setengahnya ke dalam vagina anak perawan satu-satunya itu. Hampir saja dia menarik kembali penis tersebut, namun ketika dirasakannya penisnya itu seperti dihisap kuat oleh satu dinding peret yang panas. Akal sehat yang sempat menguasainya itu kembali hilang tersapu angin yang menderu-deru di luar saung tersebut. Dia merasa sedang memompa Esih, istrinya.
Imas merasakan selangkangannya seakan robek terbelah dua. Dinding-dinding vaginanya terasa perih dan sakitnya terasa sampai ke ulu hati. Tapi ada rasa gatal dan geli juga nikmat terselip di sana. Vaginanya terasa menggembung penuh sepenuh-penuhnya oleh sebuah benda yang berdenyut-denyut keras.
Pak Juha yang sudah benar-benar tenggelam dalam badai birahinya menggeram-geram, mencoba menekan lebih dalam. Membuat Imas mulutnya ternganga kehabisan napas. Sakit yang luar biasa terasa sampai meremang seluruh bulu-bulunya. Tubuh mungil gadis itu mengejang-ngejang seperti diserang epilepsi. Terdengar suar mengorok halus dari kerongkongan gadis itu. Kedua tangannya mencengkram dengan kuku-kukunya menancap dalam di kulit punggung Pak Juha. Perutnya turut berkontraksi, seluruh otot dari pinggang ke bawah mengejang. Akibatnya, penis Pak Juha yang tenggelam di vagina muda itu seperti diperas habis-habisan, seperti dijepit sebuah capit yang bisa memotong putus penisnya seketika.
Keduanya mengerang bersamaan. Kedua tubuh yang berpeluh itu bergemeletar merasakan sensasi nikmat yang aneh.
Ini sebetulnya yang didambakan oleh Imas setiap habis mengintip persenggamaan orang tuanya, namun ia tidak menyangka rasa sakit yang dialaminya bukan rasa nikmat yang selalu dibayangkannya. Rasa nikmat itu memang ada, namun saat ini rasa perih yang teramat sangat lebih terasa. Membuat kedua matanya tanpa terasa menggulirkan dua tetes air mata!
Dalam rasa bimbang dan penyesalan yang teramat dalam, Pak Juha menarik perlahan penisnya, terasa kesat dan susah. Karena penisnya seperti tertahan oleh sebuah sedotan kuat dari vagina yang masih sangat rapat itu.
“Ouhhh!” Imas merintih, namun pinggulnya bergerak naik seakan tak rela benda kenyal yang berdenyut itu lepas dari vaginanya. Entah apa yang ada di pikiran Pak Juha saat itu, yang jelas, perlahan tapi pasti, dia mulai memompa vagina rapat anak gadisnya itu dengan sangat hati-hati.
Sepasang payudara muda nan ranum itu kembali menjadi sasaran remasan dan kunyahan mulutnya yang berkumis juga berjenggot kasar.
“Enggghhh,” lenguh Imas dengan punggung melengkung ketika menerima sodokan dalam untuk yang kesekian kalinya. Vaginanya telah mulai beradaptasi dengan besarnya batang penis Pak Juha yang terus menggesek-gesek dinding kenyal dan rapat yang mulai licin oleh cairan birahi Sang Perawan yang sudah robek kehormatannya saat hunjaman pertama.
Rasa sakit dan perih kini perlahan berganti dengan rasa nikmat yang pernah didambakannya dulu. Kedua pahanya menjepit pinggul Pak Juha yang terus naik turun dengan irama yang tidak cepat namun juga tidak pelan.
Hingga dalam satu sodokan dalam, “Okhhhhkkk, Bha-paaahhhsssh!” Tubuh Imas mendadak melonjak, kedua tangannya memeluk erat-erat tubuh pak Juha, begitu juga dengan kedua pahanya mengunci pantat bapaknya itu. Pak Juha merasakan penisnya serasa dipilin dan diperas habis, ngilu sekali rasanya. Dia tahu, anak gadisnya itu tengah dilanda orgasmenya yang pertama, maka dibiarkannya sejenak. Napas Imas menderu-deru panas menerpa lehernya. Tubuh keduanya menyatu serapat-rapatnya.
Sejenak yang terasa lama, hanya suara dari angin berkesiuran disertai derap air hujan menimpa atap yang terdengar. Lalu perlahan, pelukan erat Imas terasa mengendor juga kuncian sepasang pahanya telah terkulai lemas.
“Terlanjur, Juha! Lepaskan saja semuanya, tanggung!” terdengar bisikan panas menyiram jantungnya. Dia memang belum mencapai orgasmenya, ubun-ubunnya masih menggelegak panas.
Mengabaikan rintih kesakitan dari Imas, Pak Juha kembali menggenjot vagina yang mulai terasa longgar itu dengan penuh semangat.
Rasa geli dan ngilu kembali melanda Imas, seluruh bulu-bulunya kembali meremang oleh gairah! Namun ia tidak mengerti harus berlaku bagaimana, jadinya ia hanya tergeletak pasrah digilas habis-habisan oleh bapaknya. Untunglah, keadaan saat itu gelap pekat, kalau saja ada cahaya terang, mungkin kejadian itu tak akan pernah terjadi. Yang ada dipikiran Pak Juha saat itu adalah bahwa ia sedang memacu birahi dengan Esih istrinya.
“Hhhrrrh! ..., hhhrrrh!” geraman demi geraman Pak Juha terdengar makin cepat, secepat ayunan pantatnya yang menghunjam vagina Imas yang telah becek oleh cairan orgasmenya.
Imas sendiri mulai melenguh-lenguh nikmat, kepalanya berkali-kali tersentak setiap penis Pak Juha memborbardir vaginanya. Rasa ngilu dan gatal terus mendera dinding-dinding vaginanya. Dalam hunjaman penis yang kesekian kalinya, Imas merasakan seluruh otot-otot tubuhnya mengejang, mendesak sesuatu dari perutnya yang berkontraksi ke bagian bawahnya. Rasa ngilu makin terasa menggila.
“Eees-siiihhhsssh!” Pak Juha meraung ganas, menekan dalam-dalam pantatnya ke selangkangan yang kembali merapat dan mengunci.
“Akkhhh!” Imas memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya keras-keras, seluruh buku-buku jari kakinya terasa bal dan kaku.
Dua tubuh melengkung dan mengejang secara bersamaan. Sementara di dalam vagina Imas, dua semburan panas tumpah ruah sampai merembes di sela bibir-bibir vagina yang sudah sangat licin tersebut. Sepi sejenak.
Setelah semua hasratnya terlampiaskan, akal sehat pak Juha telah kembali. Tubuhnya yang bersimbah peluh itu terlonjak kaget.
“Plop!”
“Akh!” tubuh Imas sedikit tersentak ketika penis Pak Juha tertarik lepas dari dalam vaginanya akibat dari tubuh pria itu menjauh.
“Imas! Ahhh ...!” Pak Juha beringsut mundur. Malu, menyesal, bingung, berkecamuk di dalam jantungnya yang berdebur-debur.
Imas merasakan tubuhnya luluh-lantak, seakan semua persendian tulangnya terlepas semua. Ia hanya berbalik meringkuk sambil terisak.
“A-apa yang kulakukan? Duh, Gustiii ...!” Pak Juha meraung dahsyat. Dia seperti mendadak gila. Meloncat ke luar saung, lalu berlari pergi entah ke mana dengan badan masih telanjang.
“Bha-paaak!” rintih Imas lemas, sebelum akhirnya ia terkulai pingsan.
*
Imas siuman dan menyadari bahwa ia telah berada di kamarnya sendiri. Dengan kepala sedikit pusing, ia bangun. Mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialaminya seperti mimpi. Menyadari Ia sudah berpakaian kembali dengan kain yang menjadi selimutnya. Namun rasa perih dari selangkangannya masih terasa, sementara vaginanya seperti ada yang mengganjal di dalamnya. Oleh karena rasa penasarannya, gadis itu menyibakkan celana kainnya, memeriksa selangkangannya. Dan ..., vaginanya yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu terdapat bercak-bercak putih bercampur sedikit bercak merah di bibir-bibir vaginanya itu. Bau yang aneh menguar tajam.
“Akh ...,” Imas kembali menjatuhkan kepalanya ke atas bantal. Jelas kejadian semalam itu bukan mimpi. Ia telah bersetubuh dengan bapaknya sendiri. Bapaknya ...! Imas menekap wajahnya dengan berbagai rasa yang bergemuruh di dalam dadanya.
Setelah menenangkan hatinya, Imas bangkit dari balai tempat tidurnya, kakinya yang terkilir semalam telah terbebat kain, bau ramuan beras kencur tercium tajam. Dengan tertatih-tatih, Imas pergi ke luar kamarnya, mengintip sejenak ke ruangan tengah dan dapur, Imas menghela napas lega. Entah bagaimana sikapnya, seandainya bapaknya masih ada di dalam rumah.
Setelah membersihkan badannya, Imas walau pun dengan terpincang-pincang mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia teringat emaknya yang biasanya memasak, namun diingatnya bahwa emaknya mungkin kini sedang bersenang-senang di rumah Juragan Somad, tiba-tiba saja ia merasa benci sekali. Betapa bapaknya telah dikhianati oleh kelakuan mesum emaknya yang tega melayani setiap pria.
Setelah kejadian semalam. Ia bertekad untuk menjadi pengganti emaknya yang mesum, menjadi penghibur bagi bapaknya yang tentu sakit sekali hatinya. Dengan pikiran seperti itulah, Imas kini berusaha sebaik mungkin menyediakan masakan untuk bapaknya, hanya sayang, karena kakinya masih tidak bisa dipakai untuk berjalan jauh, telah mengurungkan niatnya untuk membawakan makanan ke ladang tempat ayahnya bekerja.
Menjelang maghrib, Imas sengaja memanaskan makanan, kemudian berdandan sebisanya. Seperti seorang istri yang hendak menyambut suaminya yang pulang bekerja. Namun ternyata, Pak Juha tak kunjung jua datang. Bahkan selepas isya. Imas duduk menjelepok kebingungan di hadapan lauk pauk yang mulai mendingin. Entah ke mana bapaknya pergi.
Isya telah lama berlalu, gadis itu telah berkali-kali menguap lebar. Oleh serangan kantuk yang luar biasa, karena tak biasa tidur begitu larut malam. Akhirnya gadis itu meringkuk di ruangan tengah tersebut ditemani makanan yang sudah dingin.
Pak Juha akhirnya datang saat sudah lewat tengah malam, dia melangkah terhuyung-huyung dalam artian bahwa pria itu sedang dalam keadaan mabuk tuak. Tuak yang dibelinya dari warung tuak Kang Ohim yang diminumnya di ladangnya sampai tengah malam. Dia ingin melupakan kejadian laknat malam sebelumnya, hingga tuaklah yang membuat dirinya berani pulang ke rumahnya selewat tengah malam.
Masuk ke dalam rumah, dia agak tertegun melihat sesosok tubuh meringkuk di tengah ruangan melingkari sajian makanan. Otaknya yang sudah dikuasai tuak menuntun langkahnya ke tubuh itu.
“Ohhh, Esih ...,” desisnya sambil berlutut di samping tubuh yang tengah terlelap itu.
Seperti sudah disebutkan, Imas dan emaknya bisa disebutkan seperti pinang di belah dua. Oelh sebab itulah, otak mabuk pak Juha sudah melupakan bahwa istrinya sudah tidak berada lagi di rumah, dan yang tengah meringkuk itu bukan lain adlah anak perawannya. Tangan Pak Juha merayap dan membelai leher Imas yang segera membuka matanya.
“Bapa?” katanya dengan hati senang. Namun segera menggelinjang geli ketika jari-jari nakal Pak Juha menggaruk dadanya yang masih terbungkus kain.
“Hek-hek ..., kemari Esih, aku rindu padamu!” kekeh Pak Juha sambil menunduk mencoba mencium leher Imas yang berusaha menghindar. Hidung gadis itu mencium bau tuak yang tajam, maklum bahwa bapaknya kini tengah mabuk, bahkan menyangka dirinya adalah emaknya. Dalam posisi berlutut, kedua telapak tangan Pak Juha meremas-remas payudara padat Imas yang sedang bingung, apakah ia akan mengaku bahwa dirinya sebagai Imas atau diam saja sebagaimana prasangka bapaknya bahwa dirinya itu adalah Esih, istrinya. Dalam kebingungannya itu, Imas hanya pasrah saja ketika pak Juha mempreteli seluruh kain atasan dan bawahannya. Lalu tanpa diduganya, tiba-tiba saja kedua tangan kokoh Pak Juha telah membopongnya menuju ke kamar. Imas mandah saja ketika dalam sorot cahaya lentera, Pak Juha yang terus terkekeh sambil sesekali bersiul membuka celananya.
Imas terduduk dengan paha merapat serta menyembunyikan dadanya di lutut yang tertekuk di atas balai pembaringan, dengan wajah tersipu malu dan dada berdebar, ia melihat sebuah benda yang kemarin-kemarin hanya samar-samar saja terlihat dari balik bilik kamarnya. Benda yang semalam menyakiti vaginanya, kini mengacung perkasa siap untuk memberinya kenikmatan yang selalu didambakannya.
“Kenapa kau jadi malu-malu begitu, Esih? Kemarilah, duduk dipangkuanku,” Pak Juha yang sudah terduduk di sisi balai menepuk-nepuk pahanya. Bagaimana pun Imas adalah gadis perawan yang masih mentah tak tahu apa-apa tentang persenggamaan.
“Ahhh, kau ini!” Pak Juha menarik tubuh Imas yang segera menjerit perlahan, mengangkat tubuh mungilnya, dan mendudukannya dalam pangkuannya.
Imas merasakan sebatang benda yang berdenyut hangat mengganjal pantatnya, terlipat menyentuh vaginanya dalam keadaan duduk berhadapan dengan bapaknya. Rasa malu membuat Imas menundukkan wajahnya. Tapi pak Juha yang pikirannya sudah digelapkan oleh hawa arak, menganggap yang berada di pangkuannya itu adalah Esih, istrinya.
Kedua tangan kokoh Pak Juha merengkuh dan memeluk tubuh sintal Imas, menciumi lehernya, lalu pundaknya hingga menurun ke dua buah bukit padat yang ranum. Mecucup lembut puting kecilnya. Imas menggelinjang sambil mendesah, merinding seluruh bulu-bulunya. Pinggulnya mulai bergerak, menggesek-gesekkan vaginanya ke batang kaku yang berurat tersebut. Terasa geli dan nikmatnya.
Mulut Pak Juha mengeksplorasi seluruh bukit muda yang membusung menantang itu. Mengulum, menggigit dan menjilatnya. Balik lagi ke leher jenjang yang mulai berkeringat, mencucup-cucupnya sampai berbekas merak. Tangannya meremas-remas pinggul padat nan bulat itu yang sedang asik bergerak maju mundur. Jari tengahnya menggesek anus Imas yang menggelinjang kegelian lalu menelusur ke belahan vagina yang mulai basah.
Pak Juha memindahkan tangannya ke bawah paha Imas, lalu mengangkatnya dengan melebarkan sepasang paha yang sudah pasrah itu. Penisnya yang tadi terlipat, sontak mengacung vertikal. Helm besarnya kembang-kempis siap menembus liang nikmat kewanitaan Imas. Pelan-pelan Pak Juha menurunkan pinggul Imas, hingga vagina muda yang merah merekah itu lubangnya tepat di posisi penis yang mengacung tegak tersebut.
“Pelan-pelan, Paaa ...,” Imas akhirnya berkata-kata, khawatir dan masih trauma dengan rasa sakit yang mendera vaginanya semalam.
Betul saja. kepala besar penis Pak Juha masih saja susah memasuki lubang sempit dari anak perawannya itu. Sambil menggigit bibirnya Imas membantu menekan pinggulnya ke bawah.
“Akh ...,” rasa sakit itu kembali terasa, ketika kepala besar penis bapaknya mendesak lubang vaginanya yang masih rapat.
Keduanya terengah-engah sejenak. Imas merasakan lubang masuk vaginanya menggembung penuh, sementara pak Juha merasakan penisnya seperti dijepit oleh karet kenyal.
“Ehekkkh!” erang Imas dengan wajah memerah, menekan pinggulnya sekuat tenaga ke bawah, mengabaikan rasa sakit dari vaginanya.
Dan, “Prssst! Blesssh!”
“Ahhhsssh!” keduanya menghembuskan napas lega. Penis Pak Juha telah sepenuhnya melesak ke dalam vagina Imas yang masih kesat dan peret.
Imas mengalungkan kedua tangannya ke leher bapaknya, menyembunyikan wajahnya di bahu kekar pria itu, selama pinggulnya diangkat naik turun. pinggul yang padat dengan tipe pantat bebek, memang aduhai goyangannya dalam posisi ideal seperti itu. Rasa sakit pada vaginanya memang masih terasa, namun rasa nikmat yang luar biasa lebih besar dari rasa sakit itu.
Erangan dan desahan mulai terdengar di ruangan kamar tersebut. Keringat berleleran membasahi tubuh mereka.
Pak Juha merasakan nikmat yang teramat sangat dengan penis yang timbul tenggelam dalam belahan vagina yang gemuk tersebut.
Entah berapa lama mereka berdua mempertahankan posisi tersebut, ketika Imas mulai melenguh panjang tanda ia sebentar lagi akan meraih orgasmenya yang pertama di malam itu. Pinggulnya mulai bergoyang tak beraturan, sebentar naik turun dengan cepat, sebentar memutar-mutar sambil dua bongkah pinggul itu tak henti menggeletar. Membuat Pak Juha makin memburu napasnya.
Pinggang Imas tiba-tiba menjengking, pantatnya terangkat kemudian menghunjam ke bawah sedalam mungkin.
“Euhhhsssh!” mata pak Juha meram melek, kepala penisnya terasa geli dijepit dan dikilik-kilik dinding vagina yang merapat dan memilinnya. Imas menghunjamkan gigi-giginya ke pundak bapaknya sambil desisan tanpa henti dari hidungnya yang memburu kembang-kempis. Kedua tangannya hampir bisa dikatakan mencekik leher Pak Juha yang sedikit mengap-mengap.
Pak Juha merasakan penisnya seperti disiram air hangat. Dengan satu geraman, diangkatnya tubuh Imas yang masih lunglai lemas itu dalam posisi menunggging tanpa melepas penisnya yang masih tertanam dalam vagina yang sudah sangat basah itu.
Imas menahan napasnya, kedua sikunya menahan beban tubuhnya yang kini tengah digenjot bapaknya dari belakang. Rasa ngilu dari sisa orgasmenya masih terasa, mendapat gesekan dari posisi baru, tahu-tahu birahinya bangkit dengan cepat. Kedua tangan pak Juha meraih kedua payudara padat Imas yang menggantung. Meremasnya dan menarik-nariknya dengan gemas.
“Plak-plok! Plak-plok!” begitu bunyi yang terdengar, setiap selangkangan pak Juha menghantam dua bongkah padat pinggul Imas.
“Ouhhh ..., ssshhhh!” desis Pak Juha. Dua baris giginya bergemeletuk merasakan nikmat yang luar biasa. Genjotannya makin menghebat, rintihan Imas membuatnya makin semangat. Dalam tiga kali sentakan, tubuh pak Juha melengkung, kedua tangannya meremas habis payudara Imas sekeras-kerasnya. Begitu juga Imas yang meraih orgasme keduanya dengan cepat.
Dua erangan yang melepaskan kenikmatan birahi yang tiada tara membuncah keheningan malam di kamar itu. Hingga kemudian dua tubuh ambruk banjir keringat saling bertindihan.
Kewarasan Pak Juha berangsur-angsur pulih. Mengingat-ingat sejenak, lalu melolong panjang begitu teringat tubuh siapa yang kini ditindihnya. Hampir saja dia menghambur ke luar kamar, sebelum mendengar seruan halus Imas memohonnya untuk bertahan sejenak di atas pembaringan.
Dengan rambut kusut dan wjah lelah, Imas mengusap air matanya sambil mencoba tersenyum, “Bapa, Imas sudah menyerahkan tubuh Imas buat bapa, jadi Imas mohon ..., Imas mau menjadi pengganti emak yang telah mengkhianati bapa!” kata Imas lembut sambil beringsut mendekati Pak Juha yang tengah mengukguk menangis.
“Jangan dekat-dekat, Imas. Bapamu ini terkutuk, patut kena laknat. Duh Gustiii ...!” pak Juha menekap wajahnya, bahkan menampar pipinya sendiri keras-keras. Imas segera merangkul tubuh bapaknya itu.
“Imas mau menjadi pengganti Ema, pa ...! Imas sayang bapa! Imas sudah milik bapak sepenuhnya!” Bisik imas berulang-ulang.
“Duh Gustiii ...! apa yang bapamu ini lakukan, Imas!” rintih Pak Juha dengan perasaan yang sangat menyesal sekali.
“Sudahlah, pa! Imas sayang bapa, Imas mau menjadi pengganti Ema yang sudah menyakiti hati bapa!”
“Tapi Imas ini dosa, Nak. Kau anakku ...”
Imas mengusap pipi Pak Juha yang telah basah oleh air mata, menggeleng lembut, “Sekarang Imas istri, bapa!” ujarnya berani. “Imas sayang sama bapa!” lanjutnya sambil mencium pipi bapanya yang kembali menyembunyikan wajahnya di balik lututnya yang tertekuk.
Imas menuntun tubuh bapaknya yang masih terisak, persis seperti hendak menidurkan anak kecil, menyelimutinya dengan penuh kasih sayang lalu memeluknya dari belakang. Kedua tubuh yang masih basah oleh keringat dan dalam keadaan telanjang itu saling berpelukan. Dan sebentar saja sudah terlelap dalam kelelahan.
Begitulah, sesuai yang diucapkannya semalam, Imas mencurahkan seluruh kasih sayangnya menemani ayahnya yang agak sedikit cengeng. Suasana agak kaku saat keduanya berduaan di rumah, namun atas tekad Imas lah akhirnya suasana kaku itu perlahan mencair setelah beberapa hari.
Kedua bapak beranak itu kini tidur bersama dalam satu kamar, mencurahkan seluruh kasih sayangnya dalam birahi yang tak ada putus-putusnya, persis seperti pengantin baru yang baru naik ranjang.
Birahi memang selalu datang dengan cepat untuk hal-hal yang baru. Seperti malam itu, baru saja selepas isya. Pak Juha dan Imas sudah saling menggerayangi di ruang tengah rumah pangggungnya. Ketika pak Juha sedang asik mencumbu payudara Imas yang dipangkunya. Mendadak pintu rumah ada yang menendang dari luar sambil terdengar satu bentakan keras.
“Brak!”
“Perbuatan iblis laknat apa yang sedang kalian lakukan?”
Pak Juha hampir terjengkang saking kagetnya. Sementara Imas menjerit sambil meraih kain mencoba menutupi auratnya.
Sesosok tubuh berdiri berkacak pinggang dengan mata nyalang.
“So-li-hiiin?”


Bersambung ke BAB I-d

:beer: :Peace:
 
luarrrrbiasayyaaahhh... mosting ginian teh harus ngumpet-ngumpet para brader... ngetiknya sambil clingak-clinguk, khawatirrr...
tapi kepuasan setelah posting, tiada tara rasanyah ;)
harap maklum sajah yah... :(
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd