Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA BADAI NAFSU

Status
Please reply by conversation.
BAB I-d
BADAI NAFSU

....
“So-li-hiiin?”
....

Solihin berdiri dengan tubuh bergetar, antara marah, benci, tidak suka, tidak mengerti, tak percaya. Berkecamuk dalam otaknya.
Sudah beberapa maghrib Imas tak pernah datang untuk belajar mengaji lagi di Langgar. Solihin berprasangka baik, bahwa gadis itu sedang berhalangan alias sedang datang bulan. Sebagai calon Ustadz, dia paham tentang periode datang bulan seorang perempuan, yang normalnya tak lebih lama dari tujuh hari. Namun kini sudah belasan hari gadis itu tak jua kelihatan.
Sehari-hari Solihin memang ikut membantu Pak Engkos, bapaknya yang mempunyai ladang sendiri, tidak seperti para tetangganya yang menggarap ladang atau sawah milik Juragan Somad. Ladang mereka bertetanggaan dengan ladang Juragan Somad yang digarap oleh Pak Juha, bapaknya Imas. Dan memang sudah seperti kebiasaan di dusun-dusun, kejadian-kejadian luar biasa selalu menjadi perbincangan yang berupa bisik-bisik dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Dan gosip terbaru yang sedang beredar, walau pun seperti biasanya Solihin dan keluarganya tak pernah perduli, namun yang satu ini mau tidak mau membuat gelisah hati pemuda itu juga. Bisik-bisik yang mengatakan bahwa Bu Esih kabur bersama pria lain! Bu Esih ibu dari Imas, pacarnya!
Ingin dia bertanya atau bercakap-cakap dengan pak Juha saat mereka bersua di ladang, namun wajah Pak Juha selalu keruh dan tambah murung yang membuat dirinya menahan diri untuk sekedar saling menyapa sebagai tetangga.
Apakah karena kabar murahan itu yang membuat Imas menjadi malu untuk ke langgar belajar mengaji? Atau ia sakit? Berbagai pertanyaan yang tidak ada jawabannya berseliweran di benak Solihin, hingga akhirnya dia memutuskan untuk nekad bertandang ke rumah Imas. Masa niat baik mau bersilaturahmi masih juga Pak Juha memasang wajah tidak suka? Tekadnya dalam hati.
Maka selepas bubaran isya di Langgar pada malam itu, Solihin bergegas menuju rumah Pak Juha. Sesampainya di halaman rumah kekasihnya itu, rumah itu terlihat sepi. Pintunya tertutup rapat. Hanya cahaya lentera alakadarnya menerangi beranda rumah. Apakah mereka sudah tidur semua? pemuda itu kembali bertanya dalam hatinya. Melangkah perlahan, lalu berhenti ragu-ragu di undakan kayu beranda rumah tersebut. Matanya melihat kerlap-kerlip cahaya lentera dari lubang-lubang kecil bilik, perlahan pemuda itu naik undakan kayu yang berderit pelan. Mendadak dia menghentikan kaki kanannya yang sudah teracung hendak memicak bilah tangga yang ke dua, keadaan saat itu hening sekali memang. Seharusnya derak bilah tangga yang dipijak oleh Solihin tentu terdengar jelas oleh orang yang berada di dalam rumah. Namun ternyata malahan Solihin sendiri yang yang keningnya berkerut ketika telinganya mendengar cekikikan pelan dari dalam rumah!
“Geli, Pa ..., hik-hik!”
Suara Imas terdengar manja!
Solihin kebingungan sendiri. Ketika dia hampir berseru mengucap salam untuk memberitahukan kedatangannya, satu desahan yang membuat hatinya tercekat terdengar dari dalam rumah. Satu desahan saja. cukup untuk membuat pikirannya melayang ke satu tempat, nun jauh di sana.
Keringat dingin mengalir tak terasa dari dahi pemuda itu. Dengan membetulkan letak kopiah serta mengencangkan kain sarung yang terlilit di pinggangnya. Solihin mengendap-endap dengan meringankan telapak kakinya ke atas lantai papan supaya tidak kembali berderit.
Dari satu lubang bilik, pemuda itu mengintip.
Cterrr! Blarrr!
Seperti ada kilat yang berkelebat menyilaukan di depan matanya. Diikuti dadanya yang seakan hendak meledak.
Satu pemandangan yang dalam mimpi paling liar pun, dia tidak pernah akan bisa membayangkannya. Imas, kekasihnya. Sedang bergelayut manja di pangkuan Pak Juha, Bapaknya! Dalam keadaan hampir telanjang pula. Dan Si Tua Bangka itu asik menyusu dengan rakus di satu bongkah padat dan ranum payudara anak gadisnya.
Seluruh cinta kasihnya yang telah susah payah dipupuknya untuk gadis itu, ambyar seketika! Hancur menjadi debu, lalu tersapu pergi oleh angin duka yang bernyanyi pilu.
Rasa sakit hati dari luka yang kini mengucurkan darah dalam dadanya, meledak bersama amarah yang tak tertahankan. Kepalnya berdenyut sakit. Dalam satu tendangan murka, pintu kayu yang hanya di palang oleh sebatang tongkat kayu, jebol seketika.
“Terrr ..., terkutuk kalian!” telunjuk Solihin mengacung bergetar oleh luapan amarah.
Kedua bapak beranak itu menatap Solihin dengan wajah pucat pasi.
Rasa malu dan takut, tergambar jelas di wajah keduanya. Rasa takut yang membuat Pak Juha berlaku nekat. Sementara Imas terhuyung kemudian terjatuh lemas oleh rasa kaget, takut dan malu yang teramat sangat. Tangan Pak Juha meraih satu piring seng yang masih penuh oleh setumpuk singkong rebus yang langsung dilemparkan ke pada Solihin, dan dia sendiri menerjang maju membabi buta.
Solihin adalah anak pesantren, yang bukan hanya belajar ilmu mengaji kitab suci, tetapi juga belajar ilmu silat. Gerakan refleknya bereaksi. Tubuhnya secepat kilat merunduk. Piring seng berdesing lewat di atas kepalanya, namun dasar apes. Singkong rebus yang turut terlempar ikut berterbangan ke arahnya. Dua potong singkong panas dari menghantam jidat dan matanya. Jelas mengghalangi kewaspadaan dari terjangan pak Juha yang membabi buta.
Buk!
Satu serudukan nekat dari orang tua itu, terlambat dihindarinya.
“Akh!” Solihin mengeluarkan seruan kaget. Tubuhnya melayang lalu;
Jeduk!
Kepalanya menumbuk tiang kayu beranda. Hingga tubuhnya menggelinding jatuh ke halaman. Mengggelepar sejenak, lalu diam.
Pak Juha berdiri dengan wajah makin pucat. Sungguh, dia tak mengira sedikit pun bahwa terjangan dirinya bisa menyebabkan pemuda itu kini terkapar tak bergerak di halaman rumahnya.
“Pp-paaa ...,” terdengar seruan dari dalam rumah. Pak Juha menengok dengan napas memburu. Rasa takut yang teramat sangat membayang jelas di wajahnya, bayangan dirinya akan diludahi warga sedusun kemudian digelandang oleh aparat karena telah melakukan perjinahan juga pembunuhan. Berseliweran di benaknya.
Rasa takut yang membuatnya berpikir cepat. Sekarang juga dia harus minggat sejauh-jauhnya dari tempat ini!
“Imas! Ke-kemasi pakaianmu. Kita ..., kita pergi malam ini juga!” kata Pak Juha dengan napas memburu.
“Per-pergi? Pergi kemana, Pa?” tanya Imas yang masih belum kumpul tenaganya. Duduk menjelepok di atas lantai kayu sampai lupa membetulkan kainnya agar menutupi sepasang payudara montoknya.
“Aku tidak tahu! Yang jelas kita harus pergi secepatnya dari sini! Ayolah cepat!” kata Pak Juha sedikit membentak.
“T-tapi ...,” Imas terlihat kebingungan. Sepasang matanya merebak oleh air mata.
“Sudahlah! Tidak ada tapi-tapian ..., kita ..., kita tidak akan punya muka lagi hidup di dusun ini. Ayolah!” desak Pak Juha sambil dirinya sendiri dengan terburu-buru masuk ke dalam kamar.
Malam yang sangat sepi dan berselimutkan kabut tipis, menjadi saksi dari dua sosok tubuh yang masing-masing membawa buntalan, berjalan cepat menerobos jalan kampung menuju ke luar dusun. Entah menuju ke mana.


*

Tubuh Solihin yang terkapar di halaman rumah Pak Juha ditemukan tak lama kemudian. Oleh serombongan pria yang membawa obor. Dipimpin langsung oleh Pak Engkos, bapaknya Solihin, yang khawatir karena larut malam anaknya belum juga pulang ke rumah. Setelah di langgar tidak diketemukan, dengan ditemani beberapa tetangganya, dia langsung menuju ke rumah Pak Juha, karena hapal bahwa anaknya itu tengah menjalin hubungan khusus dengan anak gadis dari orang tua itu.
Dan kaget bukan kepalang Pak Engkos serta yang lainnya ketika menemukan anaknya itu tergeletak di halaman rumah pak Juha dengan kepala robek mengucurkan darah. Sementara Si pemilik rumah tak satu pun kelihatan batang hidungnya. Solhin digotong pulang ke rumahnya setelah beberapa warga yang ikut dengan pak Engkos sama sekali tak menemukan Pak Juha serta anak gadisnya yang hilang tanpa ketahuan ke mana perginya.
Gegerlah warga sekampung dengan kejadian tersebut. Malam itu, dusun yang biasanya sepi ramai oleh kentongan yang saling bertalu-talu dari setiap sudut dusun. Berbagai dugaan dan sangkaan, entah mana yang benar. Yang jelas, warga dusun mempunyai bahan obrolan baru setelah kepergian Bu Esih dan Barep yang tiba-tiba berhari-hari yang lalu telah membosankan mereka.
Semalaman, Solihin belum juga menyadarkan diri. Luka kepalanya bagian belakang sudah dibebat kain dan diberi ramuan tradisional untuk menghentikan aliran darah dari lukanya. Detak jantungnya lah yang menyatakan bahwa pemuda itu masih hidup.
Bukan main sedihnya hati Bu Entin, ibunya Solihin, melihat anak satu-satunya tergeletak tak bergerak seakan sudah mati. Saat pemuda itu digotong masuk ke dalam rumah dengan kepala bersimbah darah. Nyonya ini sempat histris sebelum pingsan karena kaget dan cemas. Larut malam itu, dusun yang biasanya sudah diselimuti keheningan, ramai oleh para tetangga yang penasaran.
“Solihin mati? Kenapa?” tanya salah seorang tetangga yang terlambat datang, tak bisa masuk ke dalam rumah, dan dia hanya mendengar ujungnya saja dari beberapa obrolan yang campur aduk.
Yang ditanya menggeleng, “Hanya pingsan, ditemukan di halaman depan rumah Si Juha!”
“Solihin bukannya berpacaran sama Si Imas? Kalau Kang Juha tidak setuju, kenapa harus menganiaya anak orang? Tinggal diusir saja kan, selesai urusan!”
“Bukan begitu!”
“lalu bagaimana?” mendesak.
“Mana aku tahu! Aku saja baru datang!” sahut yang ditanya jengkel.
“Kang Juha dan anaknya, Si Imas, justru hilang tak ketahuan kemana perginya. Kabarnya rumahnya kosong waktu Solihin ditemukan tergeletak pingsan!” orang yang lain lagi menjelaskan.
“Kemana mereka?”
Yang ditanya mengangkat bahunya.

Rumah Pak Engkos yang semi permanen, termasuk mewah untuk ukuran di dusun tersebut yang rata-rata penduduknya rumahnya masih rumah panggung dari bilah-bilah papan dan bilik anyaman bambu. Apalagi mereka termasuk dari sedikit orang yang menggarap ladang serta sawah milik mereka sendiri. Jadilah keluarga Pak Engkos ini termasuk orang yang terpandang di dusun tersebut. Apalagi sanggup mengirim Solihin ke pesantren yang tentulah bukan sembarang orang yang bisa seperti itu. Pak Engkos usianya hampir separuh abad, sementara Bu Entin istrinya masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Menilik usia Solihin, anak mereka, berusia sekitar delapan atau sembilan belas tahun. Tentulah Bu Entin menikah saat usianya masih belia sekali. Hal yang wajar terjadi di dusun terpencil seperti itu.
Pak Engkos bukanlah penduduk asli dusun Cisoka, dia pertama kali datang ke situ sebagai pengurus langgar dusun yang saat itu masih jarang orang yang bersembahyang di sana. Karena pembawaannya ramah, mengajinya enak didengar. Pemilik langgar pun senang dengan adanya dia, dan tak lama berselang Pak Engkos yang saat itu sudah berusia lumayan berumur, sekitar tiga puluh tahunan dijodohkan dengan putri pemilik langgar yang masih berusia sekitar lima belas tahunan, hingga mereka dinikahkannya. Yang menikahkan mereka pun bukan orang sembarangan, yaitu seorang kiayi pimpinan pesantren tempat Pak engkos muda mencari ilmu agama, pesantren yang sama yang dimasuki Solihin anaknya.
Jadilah Pak Engkos dan Bu Entin menjadi keluarga religius yang dihormati warga dusun.
Itulah sekelumit riwayat dari keluarga Solihin yang saat pagi menjelang masih juga pingsan belum siuman. Warga dusun silih-berganti datang menjenguk untuk menghibur keluarrga Pak Engkos yang sedang tertimpa musibah. Sebagian bahkan bersukarela mencari Pak Juha dan anaknya, Imas, yang lenyap secara misterius.
Menjelang siang, kabar musibah Pak Engkos tiba juga ke Juragan Somad. Sebagai kepala dusun, tentulah kewajiban dirinya untuk datang sekedar turut menyampaikan duka atas musibah yang menimpa warganya.
Juragan Somad datang didampingi Euis, istrinya dan juga dikawal oleh Odang dan Suhara, suami Ocih, salah satu peladang Juragan Somad.
Sebagai kepala dusun, kedatangan Juragan Somad tentu disambut dengan penuh hormat oleh tuan rumah. Setelah beramah tamah, Juragan Somad serta Euis, istrinya masuk ke dalam rumah, disambut oleh Bu Entin yang memang tidak ikut menyambut ke luar rumah walau pun mendengar kedatangan kepala dusunnya. Tadinya ia bahkan tidak mau beranjak dari sisi pembaringan di mana Solihin masih tergelatak tak sadarkan diri. Namun setelah dipaksa oleh pak Engkos yang merasa tidak enak harus menghadapi kepala dusunnya sendirian, dengan berat hati Bu Entin keluar kamar juga sambil tak lupa mengenakkan kerudungnya untuk menyambut Juragan Somad dan Euis yang sudah duduk di ruang tamu.
Dan itulah awal dari malapetaka yang lebih dahsyat dari sekedar Solihin yang tak sadarkan diri.
Nasib memang selalu menemukan jalannya.
Mata mesum Juragan Somad memang selalu tidak melewatkan hal-hal yang tak semestinya dipandang.
Bu Entin yang matanya masih sembab dengan kerudung yang asal libat juga mengenakan pakaian rumah berupa gamis lebar namun tipis, justru membuat Juragan Somad terpesona luar biasa. Dia memang bisa dibilang sangat jarang bertemu langsung dengan Bu Entin yang orang rumahan. Sekali bertemu pun tentu dengan pakaian yang tertutup sangat rapat. Mana bisa menarik hati Juragan Mesum ini yang selalu tertarik dengan hal fisik terlebih dahulu. Apalagi dengan keluarga Pak Engkos ini dia agak segan, selain tokoh yang dihormati di dusunnya, juga ada pancaran wibawa yang sukar dilawan dari Pak Engkos itu.
Namun kali ini ada hal yang berbeda dengan yang biasa ditemukan Ki Lurah ini dari Bu Entin. Di balik gamis lebar namun tipis itu, Juragan Somad bisa membayangkan lekuk padat nan sintal setiap kali tubuh istri Pak Engkos itu bergerak. Mata sembabnya justru menampakkan pesona lain dari sepasang mata lebar dengan bulu mata lentik dan alis sedikit tebal menghiasi wajahnya yang bulat telur. Dan bulu-bulu halus yang dari rambut yang tak tertutup kerudungnya, terlihat terurai nakal.
Dalam satu pertemuan itu saja, Juragan Somad langsung mabuk kepayang. Padahal di sampingnya ada Euis, istrinya yang jelita namun tak bisa dijamahnya.
Perasaan mabuk tersebut mungkin juga muncul dari kebosanan Juragan Somad dari tubuh Rukmi yang setengah bulan itu menjadi teman tidurnya hampir setiap malam.
Selama Pak Engkos menjelaskan kejadian yang menimpa Solihin, puteranya. Tatapan penuh kekaguman dan hasrat dari Juragan Somad tak pernah lepas dari Bu Entin yang selama menghadapi tamu-tamunya hanya menunduk karena pikirannya tertuju kepada puteranya yang tak juga sadarkan diri.
“ ..., sebagai kepala dusun, saya tentu tidak akan tinggal diam untuk menyelidiki kejadian ini, Kang Ustadz,” begitu Juragan Somad membahasakan dengan menyebut ustadz, karena sejak dari pengurus langgar dahulu, Pak Engkos ini mendapat panggilan ustadz. Kemudian lanjutnya, “Si Juha memang waktu-waktu ini sedang bermasalah dan sifat keras kepalanya itu membuat masalah yang lain. Kang Ustadz Jangan khawatir, saya akan mengerahkan semua warga dusun untuk mencari tahu di mana Si Juha dan anaknya itu berada. Setelah berhasil diketemukan, mudah rasanya untuk selanjutnya kita mengetahui awal mula kejadian yang menimpa anak Akang ini.”
Pak Engkos manggut-manggut dengan hati senang. Walau pun dia sesungguhnya tidak menyukai kepala dusun ini dari berbagai laporan warga dusun, namun dengan perrhatiannya sebagai pengayom dusun terhadap musibah yang menimpa dirinya dan berjanji untuk mengurusnya, jelas dia wajib berterima kasih.
“Saya beserta istri, sebelumnya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Ki Lurah yang mau mengurus peristiwa aneh yang menimpa anak kami,” kata Pak Engkos sambil tersenyum penuh terima kasih.
“Dan ..., ah iya. Sekarang bagaimana keadaan Jang Solihin?” tanya Juragan Somad kemudian.
Mendengar pertanyaan dari Juragan Somad, pak Engkos menghela napas dalam, melirik ke istrinya yang bahunya terguncang-guncang, tanda menahan tangis. Dengan lembut, Pak Engkos mengelus-elus bahu istrinya untuk menghibur sebelum kemudian menjawab pertanyaan dari Ki Lurah yang saat itu berani untuk menukar apa saja yang dipunyainya agar dia yang mengelus-elus bahu Bu Entin. Euis yang sejak tadi hanya sebagai pendengar saja, berpindah tempat duduknya menghampiri Bu Entin, berkata-kata memberi semangat kepadanya.
“Solihin dari semenjak ditekmukan emalam, masih belum sadarkan diri, Ki Lurah. Entah apa penyakitnya. Saya sudah mengutus Si Aang untuk pergi ke pesantren, minta air berkah dari kiayi untuk menyadarkan anak itu,” sahut Pak Engkos dengan penuh harapan.
Tiba-tiba saja Juragan Somad menepuk pahanya keras-keras sambil tertawa.
Tiga orang yang ada di ruangan itu serentak memandang Ki Lurah yang segera memohon maaf atas keterlepasannya. Mendengar jwaban dari pak Engkos barusan, tiba-tiba saja setan telah membisikkan satu siasat. Siasat dari setan tentulah siasat yang sesat.
“Maaf ..., maaf, kang Ustadz. Saya terlalu gembira karena seakan ada kebetulan yang luar biasa atas kejadian ini,” ujar Ki Lurah itu sambil tersenyum-senyum.
“Kebetulan apa yang bisa membuat Ki Lurah gembira?” tanya Pak Engkos dengan kening berkerut tanda tidak suka. Orang sedang kena musibah kok bisa-bisanya dia gembira, begitu mungkin kata hati Pak Engkos.
“Begini, Kang Ustadz,” jelas Juragan Somad dengan wajah serius. “Kebetulan mertua saya adalah orang pintar, dan kebetulan juga beliau saat ini ada di rumah saya. Saya sangat yakin sekali kalau beliau mampu menyadarkan Jang Solihin bahkan menyembuhkan lukanya sekaligus,” sambungnya dengan mata berbinar-binar.
“Orang pintar? Maksudnya dukun?” Pak Engkos bertanya kembali.
Juragan Somad menggelengkan kepala, “Beliau bukan dukun, Kang Ustadz. Beliau mempunyai kelebihan yang tidak bisa dimiliki oleh orang kebanyakan. Saya sangat yakin beliau bisa menyembuhkan Jang Solihin secepatnya, daripada menunggu air berkah dari pesantren yang tentu akan lama sekali datangnya. Bagus kalau selama menunggu itu Jang Solihin tidak kenapa-kenapa, tapi Jang Solihin jelas perlu penanganan dengan segera. Bagaimana, kang Ustadz?” Juragan Somad menatap tajam.
Pak Engkos mengerutkan kening seperti sedang berpikir keras. Maklum didikan pesantren, mana boleh percaya sama yang disebut orang pintar, sebutan halus untuk dukun. Namun berbeda dengan Bu Entin, dengan kecemasan akan nasib puteranya seperti yang dikatakan Juragan Somad. Ia segera menegakkan tubuhnya, menatap Juragan Somad yang napasnya mendadak sesak ketika sepasang mata seperti bintang kejora balas menatapnya.
“Be-betulkah itu, Juragan?” tanyanya dengan penuh harapan.
Juragan Somad menelan ludahnya, sambil cepat mengangguk-angguk.
“Betul ...! betul sekali, Bu. Saya sangat yakin sekali mertua saya yang sakti itu mampu membuat Jang Solihin sadar kembali! Dan itu harus dilakukan sesegera mungkin, khawatir makin lama, keadaan jang Solihin makin gawat!” sahut Juragan Somad menakut-nakuti.
“Oh, Akang, ternyata ada bapa mertua Juragan Somad yang mau membantu anak kita!” seru Bu Entin dengan hati sangat bahagia.
“Tapi, Ma ...,” Pak Engkos terlihat ragu-ragu.
“Apalagi? Mau menunggu apalagi?”
“Bagaimana kalau air yang diminta dari kiayi datang?”
“Bagaimana apanya? Yang lebih penting Si Ujang cepat sadar dan pulih. Soal air berkah dari kiayi bukankah bisa diminumkan ke SI Ujang ketika dia sembuh? Lebih bagus malahan bukan? Kalau menunggu air berkah itu datang yang bisa berhari-hari lamanya, kamu mau tanggung jawab kalau Si Ujang kenapa-napa?” cerocos Bu Entin terlihat marah. Kemudian ia menoleh kepada Juragan Somad yang sedang tersenyum-senyum kagum melihat bibir tipis itu memborbardir suaminya dengan kata-kata yang sangat cepat. Khas mulut perempuan yang sedang senewen. “Bagaimana cara kami memohon bantuan kepada mertua Juragan?”
Juragan Somad berpura-pura berpikir keras. Sementara Euis yang sejak tadi menyaksikan tingkah laku suami bonekanya itu, tersenyum simpul. Ia sudah tahu gelagat suaminya bila melihat perempuan yang menarik hatinya. Tak ada rasa cemburu, karena memang ia tidak mencintai Ki Lurah itu. Sepenuhnya cinta telah ia persembahkan kepada Si Abah alias bapaknya.
“Nah ..., inilah bagian yang sulitnya, Bu Ustadz,” katanya kemudian.
“Mm-maksudnya?” Bu Entin menatap khawatir, tidak mengerti bahwa Juragan Somad tengah memasang jerat.
“Mertua saya itu sebagaimana orang pintar pada umumnya, memang mempunyai watak aneh,” Juragan Somad terlihat menghela napas berat.
“Apa harus membayar uang terlebih dahulu untuk syarat? Kami ..., kami sanggup, Juragan. Katakan saja berapa kami harus bayar?”
“Maaa ...,” Pak Engkos menatap tajam namun tidak diperdulikan sama sekali sama istrinya itu yang lebih mementingkan kesembuhan dari anaknya.
Juragan Somad menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata menyipit, melihat posisi duduk BU Entin yang tegak dengan dadanya yang membusung, dan pinggul bulatnya tercetak dari gamis yang terlipat ketat akibat posisi duduk yang berubah.
“Bukan masalah uang, Bu Ustadz,” ujar Ki Lurah itu yang kemudian melanjutkan ucapannya, “Mertua saya memang susah ditebak, namun sekuat tenaga saya akan membujuknya untuk menyembuhkan Jang Solihin. Saya jamin sepenuhnya, apabila beliau menyetujui, maka Jang Solihin bisa disembuhkan dalam sekejap saja. percayalah. Cuma ...,” Juragan Somad sengaja menghentikan kata-katanya. Kilat culas terlihat di matanya.
“Cuma apa, Juragan?” kejar Bu Entin.
“Cuma ..., Cuma saya ragu beliau mau datang kemari. Hanya itu masalahnya,” kata Juragan Somad sambil menghela napas kembali.
“Ahhh ..., kalau cuma itu tentu kami yang akan datang memohon kebaikan hatinya mertua juragan. Bukan begitu, Akang?” Bu Entin kembali menoleh kepada suaminya yang masih juga terlihat ragu-ragu. Entah kenapa, ada pirasat tidak bagus yang memperingatkan dirinya dalam menghadapi Ki Lurah ini. Namun melihat istrinya memandang penuh harapan, juga mengingat anaknya yangg bisa jadi seperti yang dikatakan Ki Lurah itu, lama kelamaan dibiarkan, dikhawatirkan akan lebih sulit untuk menyembuhkannya. Walau pun dia sangat yakin dengan kekuatan air berkah yang nanti diberikan oleh kiayi dari pesantrennya.
Akhirnya Pak Engkos mengangguk juga walau pun sedikit terpaksa.
“Baiklah kalau begitu, Akang tolong minta beberapa tetangga untuk membuatkan tandu buat Si Ujang. Kita berangkat sekarang juga,” kata Bu Entin sambil berdiri.
“Tenang dulu, Bu Ustadz. Kita jangan datang mendadak dan beramai-ramai, terus terang saja mertua saya paling tidak suka dengan banyak orang. Bukannya menolong, bisa-bisa malah diusir,” potong Juragan Somad.
“Ahhh ..., la-lalu bagaimana baiknya?” keluh Bu Entin dengan raut muka kecewa.
“Saya dan istri saya akan mencoba membujuk beliau, dan ini akan lebih baik daripada kita beramai-ramai datang. Dan begitu beliau mengatakan sanggup, maka saya akan mengutus Si Odang untuk memberi kabar kemari. Jadi Kang Ustadz dan Bu Ustadz mempersiapkan tandu saja, percayakan kepada saya. Abah Mertua saya akan mampu menyembuhkan Jang Solihin dengan sekejap!” ujar Juragan Somad yakin.
“Lalu kapan Juragan memberi kabar kepada kami?” tanya Bu Entin kembali.
“Paling lambat selepas ashar. Si Odang akan secepatnya memberi kabar!” Juragan Somad meyakinkan.


Akhirnya, setelah bercakap-cakap sejenak, Juragan Somad dan Istrinya berpamitan setelah sebelumnya menengok keadaan Solihin yang masih juga belum sadarkan diri di kamarnya.
“kau yakin Si Abah mau menyembuhkan anak itu?” tanya Euis sedikit tertawa, ketika mereka berjalan pulang.
“Tak masalah dengan anak itu. Asal ibunya datang ..., hmmm ...,” sahut Juragan Somad membayangkan Bu Ustadz molek itu dalam pelukannya nanti.
“Hati-hati, Bu Entin agaknya tidak seperti para perempuan yang mudah kau ancam dan kau takut-takuti!” kata Euis sinis.
“Tak masalah. Si Abah tentu mau membantu aku menaklukkan perempuan itu, kalau beliau tidak mau menyembuhkan anaknya!” sahut Juragan Somad sambil mengangkat bahunya.
Huh!” Euis mendengus pendek sambil mempercepat langkahnya. Diikuti Juragan Somad yang tertawa gembira.

Sepeninggal Juragan Somad dan istrinya, di dalam rumah sempat terjadi pertengkaran kecil antara Pak Engkos yang masih tidak setuju dengan keputusan istrinya yang dianggapanya terburu-buru itu.
“Kenapa kita tidak sabar dulu menunggu air berkah dari Pak Kiayi, Ma ...,” kata Pak Engkos.
“Air berkah, air berkah. Kapan datangnya? Lama, Kaaang ..., lama! Belum didoain, belum lagi hal lainnya. Sampai kapan? Sampai anak kita mati duluan?” semprot Bu Entin dengan marah.
“Hush ..., istighfar, Ma!” kata Pak Engkos kaget.
“Ini masalah hidup dan mati anak kita, Akang. Kalau Akang tidak mau, tidak apa-apa. Aku yang akan menemani Si Ujang menemui mertua Juragan Somad. Kita perlu berusaha, Akang. Ikhtiar!” seru Bu Entin ketus sambil beranjak pergi meninggalkan Pak Engkos yang termenung serba salah.
Hari itu, waktu beranjak serasa lambat sekali. Ashar yang ditunggu-tunggu seakan-akan tak pernah singgal di dusun mereka. Selepas dzuhur, langit mulai dihiasi awan-awan gelap yang berarak dengan cepat. Bu Entin dan Pak Engkos gelisan dengan perasaan masing-masing. Bu Entin gelisah oleh harapan akan tibanya utusan dari Juragan Somad yang akan mengabarkan mau atau tidaknya mertua Ki Lurah itu mengobati Solihin anaknya. Semetara kegelisahan Pak Engkos adalah akan adanya sekelumit firasat tidak enak dengan tawaran dari Juragan Somad. Berkali-kali pria setengah baya itu hilir mudik ke depan rumah, bertanya dan melihat ke jalan dusun, berharap orang yang dimintai tolong olehnya ke pesantren tiba dengan cepat, sehingga Solihin tidak usah dibawa ke rumah Juragan Somad untuk diobati mertua Ki Lurah itu yang katanya orang pintar.
Harapan tinggalah harapan.
Ashar telah tiba.
Bersama gelegar guntur pertama hari sore itu Odang datang ditemani Suhara, suami Ocih.
Bu Entin menyambut kedatangan kedua orang itu dengan raut muka gembira oleh harapan, sementara Pak Engkos hanya mengerutkan keningnya.
“Bagaimana, Kang Odang? Bisakah Si Ujang diobati oleh mertua Juragan Somad?” sambut Bu Entin tanpa basa-basi, bahkan sampai lupa mempersilahkan ke dua orang itu masuk ke dalam rumah.
“Pesan dari Juragan Somad, Abah sanggup untuk mengobati Jang Solihin, Neng Ustadz,” jawab Odang, membahasakan menyebut Bu Entin dengan sebutan ‘Neng’, karena memang usianya di atas istri dari Pak Engkos.
“Syukur alhamdulillaaah ...,” seru Bu Entin mengangkat kedua tangannya penuh kegembiraan.
“Hanya ..., hanya saja, Abah meminta syarat, bahwa Jang Solihin hanya bboleh ditemani oleh salah-satu orangtuanya saja. lebih baik ibunya yang menemani Jang Solihin selama diobati, mengingat bahwa seorang ibu mempunyai kedekatan batin lebih kuat daripada bapaknya ...,” kata Odang kemudian.
“Mana bisa begitu?” Pak Engkos memotong cepat. Nada suaranya menjadi tidak suka.
“Memang seperti itu keinginan dari Abah, Kang Engkos,” sahut Odang sambil menengadah, menatap langit yang sudah sangat gelap oleh awan tebal dengan petir yang mulai berkelebat diiringi gelegar guntur di atas sana. Angin basah sudah berhembus tajam.
“Tapi ...,” Pak Engkos kembali hendak memprotes.
“Sabar, Akang ..., tidak apa-apa. Biar aku yang menemani Si Ujang diobati. Yang penting adalah Si Ujang bisa sadar secepatnya. Akang tunggu saja di rumah, berdo’alah, semoga Abah mertua Juragan Somad adalah petunjuk dari Gusti sebagai jalan kesembuhan Si Ujang!” hibur BU Entin yang memegang tangan Pak Engkos yang keningnya masih berkerut-kerut.
“Iyaaa ..., tapi bukan syarat yang mengada-ngada seperti itu!” sahut Pak Engkos masih curiga.
“Bukan mengada-ngada, Kang Ustadz. Kata Juragan Somad, Abah tidak suka terganggu dengan banyak orang. Lebih sedikit orang lebih cepat beliau mengobatinya ....”
“Bagaimana kalau aku tetap memaksa ikut?” potong Pak Engkos.
“Jang Solihin tidak akan diobati!” tegas Odang.
“Baiklah, Kang Odang. Aku akan meminta beberapa orang untuk mempersiapkan tandu buat menggotong Si Ujang. Mohon bersabar sebentar ...,” kata Bu Entin sambil membalikkan tubuhnya.
“Tunggu sebentar, Ma!” Pak Engkos meraih tangan istrinya.
“Apalagi, Kang ...?” tanya Bu Entin dengan tidak sabar.
“Kita tidak usah mengobati Si Ujang ke mertuanya Ki Lurah kalau dengan syarat aneh seperti itu!” putus Pak Engkos tegas.
“Apa-apaan ini? Maksud Akang ..., SI Ujang dibiarkan saja tidak sadar-sadar sampai mati begitu? Sebenarnya Akang sayang tidak sama Si Ujang?” Bu Entin membelalakan matanya dengan gusar.
“Bu-bukan begitu ..., dengar dulu!”
“Tidak! Aku hanya ingin Si Ujang sadar secepatnya!”
Agaknya perdebatan antara sepasang suami istri itu akan mulai pecah. Odang yang khawatir dengan hujan yang akan turun segera menengahi, “Begini saja, kami butuh jawaban sekarang juga, kalau kang Engkos tetap memaksa ikut, artinya sia-sia Si Ujang dibawa ke rumah Juragan Somad, karena Abah tidak akan mau mengobatinya. Kalau menunggu lebih lama lagi, hujan akan turun dengan deras sekali, tidak bagus rasanya membawa orang sakit dalam keadaan hujan seperti itu. Jadi saya mohon diputuskan sekarang juga, bagaimana keputusan dari Neng Ustadz?” katanya dengan tidak sabar.
“Kami berangkat! Saya dengan Si Ujang. Setuju tidak setuju, Akang tetap di rumah. Selepas isya Akang baru boleh menjemput kami!” seru Bu Entin dengan terburu-buru. Lalu tanpa menunggu persetujuan dari suaminya, ia meminta tolong kepada Odang dan Suhara agar menggotong tandu ke dalam kamar di mana Solihin masih terbujur tanpa sadar.
Pak Engkos benar-benar berada dalam posisi yang serba salah. Tapi tekad keras dari Sang Istri telah membuatnya tak berdaya.
Dibantu dengan dua orang tetangga yang memang diminta untuk membuatkan tandu darurat. Tubuh Solihin digotong oleh empat orang diikuti oleh Bu Entin dari belakang mereka.
Pak Engkos menatapkepergian istri dan anaknya yang digotong di atas tandu dengan kecemasan yang luar biasa.


*

Hujan besar yang turun dengan sangat deras selepas Ashar itu benar-benar seperti air yang ditumpahkan sekaligus dari langit. Begitu deras, diiringi kilat petir, gelegar guntur yang saling sahut-menyahut disertai angin kencang yang menderu-deru.
Untunglah, rombongan Bu Entin telah tiba sesaat sebelum hujan tersebut turun. disambut dengan kegembiraan yang luar biasa oleh Juragan Somad yang siasatnya berhasil dengan sempurna.
“Kenapa mereka disuruh pulang, Juragan?” tanya Bu Entin sesaat kemudian ketika Juragan Somad meminta dua orang tetangganya yang tadi membantu menggotong tandu kembali ke rumah.
“Ahhh ..., hanya menurut kata Si Abah saja, Bu Ustadz. Beliau tidak suka dengan banyak orang. Namun tidak usah khawatir, mereka tidak usah repot-repot kembali, karena jang Solihin tentu sudah bisa kembali ke rumah tanpa harus digotong tandu!”
“Benarkah Abah sanggup menyembuhkan Si Ujang, Juragan?” tanya Bu Entin dengan mata berbinar-binar penuh harapan.
“Tentu saja, Bu Ustadz. Yakinlah, kesaktian Si Abah sangat tinggi sekali. Jangankan menyadarkan orang pingsan, menyembuhkan orang yang terkena santet jahat pun, beliau sangat mampu!” jawab Juragan Somad sambil tersenyum. Sesungguhnya dia sedang berusaha meredakan gejolak birahinya, melihat binar pesona sepasang mata bulat lebar itu, dia sungguh jatuh hati atau lebih tepatnya jatuh birahi.
Namun sayang, Bu Entin samasekali tidak menangkap kilat birahi dari mata Juragan mesum itu. Malahan ia balas tersenyum dengan penuh rasa terima kasih.
“Mari masuk, Bu Ustadz. Angggap saja di rumah sendiri. ..., dan Odang, tolong angkat Jang Solihin masuk ke dalam ruang pribadiku!” kata Juragan Somad sambil memberi isyarat kepada Odang yang segera mengangguk.
“Lalu di mana Juragan Istri?” tanya Bu Entin mengedarkan pandangannya. Karena hanya Juragan Somad saja yang menyambutnya tanpa didampingi istrinya.
“Ah ..., Euis ..., euh, agak ..., agak sedikit kurang enak badan,” sahut Juragan Somad agak tergagap. Seolah teringat sesuatu.
Juragan Somad segera memimpin mereka masuk ke dalam rumah, sementara di luar hujan dan angin berderu-deru dahysat disertai derak dahan-dahan dari dua pohon besar di ujung kiri kanan halaman rumah tersebut.
Juragan Somad melangkah lebar dengan cepat, saking girangnya dia lupa melihat keadaan Si Abah terlebih dahulu, tadi siang setibanya di rumah dia memang sudah memberi tahu dan memohon orang tua itu membantunya mendapatkan Bu Entin tanpa malu-malu. Menceritakan siasatnya yang hanya disambut kekehan geli dari Si Abah. Dan kini, Ki Lurah itu agak khawatir, bahwa Euis dan Si Abah tengah bermesraan di ruang pribadinya. Apabila Bu Entin memergoki mereka, berantakan sudah rencana yang disusunnya dengan rapih.
Oleh karena itu, langkah lebarnya membuat Bu Entin dan Odang yang menggendong tubuh Solihin ketinggalan belasan langkah.
“Abah, mereka sudah datang!” seru Juragan Somad dengan suara keras, bahkan lima langkah lebih sebelum dia tiba di depan pintu ruang pribadinya.
Samar-samar terdengar suara gusar dari dalam ruangan tersebut.
Dalam keadaan biasa, mana mungkin dia berani mengganggu kegiatan birahi Si Abah bersama Euis, namun dengan keadaan seperti ini, mau tidak mau dia harus melakukannya. Kalau tidak, tentu terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya.
Pintu ruangan terbuka dengan agak kasar, sesosok tubuh tinggi semampai berdiri menatap Juragan Juragan dengan mata gusar. Namun melihat Bu Entin yang telah berdiri di belakang Juragan Somad, raut muka Euis berubah cepat. Satu senyum manis menggiurkan menghiasi wajahnya yang jelita.
Namun raut muka Juragan Somad agak berubah, dua kancing baju istrinya itu masih belum terkancingkan, menampakkan belahan dada montok yang masih berkilat basah, entah oleh keringat atau cairan lain. Diam-diam pria itu melirik ke Bu Entin yang memang raut mukanya sedikit berubah. Entah melihat baju dan rambut istri Ki Lurah itu yang awut-awutan atau melihat pemandangan yang sama dengan yang dilihatnya.
Memang, Bu Entin melihat juga keanehan dari tubuh istri Juragan Somad yang tidak semestinya itu. Namun karena dorongan untuk bertemu mertua Juragan Somad secepatnya, membuatnya mengabaikan keanehan tersebut.
“Aih ..., ternyata Bu Ustadz telah tiba. Silahkan ..., mari ..., mari silahkan masuk, Abah sudah menunggu di dalam!” sambut Euis dengan senyum manis yang dibuat-buat.
“Mohon maaf, Bu Lurah. Saya jadi merepotkan semuanya,” sahut Bu Entin dengan senyum penuh permohonan maaf. Keduanya saling bersalaman. Dan Bu Entin merasakan telapak tangan istri Ki Lurah itu basah dan hidungnya mencium bau tajam yang .... Bu Entin segera mengenyahkan berbagai pertanyaan yang membuat hatinya sedikit tersipu malu.
“Ah, samasekali tidak direpotkan, Bu Ustadz. Silahkan masuk, sementara saya akan ke dapur untuk menyuruh Bi Ocih untuk mengantarkan beberapa makanan ringan,” ujar Euis sambil melangkah menuju arah dapur, mengerling sedikit ke sosok yang terkulai lemah dalam gendongan Odang.
“Masuklah!” terdengar suara keren dari dalam ruangan tersebut.
Dengan hati berdebar Bu Entin mengikuti Juragan Somad yang melangkah masuk.
Di sebuah kursi kursi kayu, duduk seorang pria yang sudah tua, rambutnya yang panjang berantakan sampai ke tengkuk sudah putih semua, begitu juga dengan janggutnya yang panjang menjulai sampai ke dada yang bajunya terbuka lebar, dada tipis dengan kulit keriput sehingga barisan tulang iganya tampak bertonjolan. Bu Entin sedikit bergidik saat beradu pandang dengan orang tua itu, satu kilatan tajam menggiriskan tampak di sepasang mata yang gelap dan dalam itu. Tak sanggup Bu Entin bertatapan lama-lama.
“Hmmm! Pantas kau berani menggangguku, Somad! Perempuan ini memang mengagumkan!” dengus Si Abah dengan nada masih gusar. Matanya menatap tajam, seakan mampu menembus dan menelanjangi tubuh montok Bu Entin yang terbungkus kerudung serta gamis lebar berwarna ungu yang dikenakannya saat itu.
“A-apa maksudnya, A-Abah?” tanya Bu Entin kebingungan menatap bergantian kepada orangtua itu serta Juragan Somad yang berubah raut mukanya.
Si Abah hanya terkekeh seram, sementara Juragan Somad segera menyuruh Odang meletakkan tubuh Solihin di kursi kayu panjang di depan Si Abah sedang duduk dengan santai.
Dan orangtua itu segera mengalihkan perhatiannya kepada tubuh Solihin yang masih tak sadarkan diri dengan tatapan acuh tak acuh.
“A-anak saya, Abah. Saya mohon untuk abah menyadarkan kembali anak itu, sudah sehari semalam dia ....”
Si Abah mengangkat tangannya, memberi tanda agar Bu Entin tidak berbicara. Mata orangtua itu nampak makin berkilat tajam. Sikap acuhnya berubah drastis. Perhatiannya seperti tercurah ke sosok tubuh Solihin. Lalu dengan ringan tubuhnya seolah melayang dan sekejap saja sudah menyebrangi meja, berdiri tepat di samping tubuh anak itu.
Melihat demonstrasi ilmu yang seperti sulap itu, Bu Entin ternganga hampir tak percaya. Makin yakinlah dirinya, bahwa orangtua itu sangggup menyadarkan kembali anaknya. Seluruh perhatiannya terpusat ke gerak-gerik Si Abah sampai tidak menyadari Juragan Somad yang mendekati tubuhnya dari belakang. Juragan Somad memandang tubuh Bu Entin dalam silhoet yang dihasilkan lampu dua lentera yang terpasang di dua bilah tiang kayu di ruangan tersebut. Silhoet indah dari sesosok tubuh yang sudah matang luar dalam.
“Mustofa ...!” terdengar Si Abah bergumam pelan, entah ditujukan kepada siapa.
“K-Kiayi Mustofa maksud, Abah?” Bu Entin menyahut dengan hati heran.
“Si Bangsat Mustofa!” suara Si Abah berubah menjadi sebuah gerengan. Juragan Somad yang sedang mengagumi bentuk tubuh Bu Entin terpaksa mengalihkan perhatiannya. Sementara Bu Entin makin kebingungan.
“Hmmm ..., anak ini dipenuhi aura Si Mutofa! Hak-hak-hak ..., bagus! Baguuusss!!” tawa Si Abah mendadak meledak terbahak-bahak.
“Abah ...?” Bu Entin berseru khawatir.
Si Abah menengok, dan perempuan itu terpekik sambil bersurut mundur. Tatapan mata Si Abah menyambar dingin membuat bulu di seluruh tubuhnya merinding.
Buk! Tubuh BU Entin yang bersurut mundur itu menabrak tubuh Juragan Somad yang sengaja tak menghindar.
“Anak ini pernah belajar di Si Mostofa, bukan?” tanya Si Abah dingin.
“Di ..., di pesantren Kiyai Mustofa, A-Abah,” gagap Bu Entin menjawab.
“Tahukah kau siapa aku dan siapa Si Mustofa?” mata Si Abah berkilat kejam.
Bu Entin menggelengkan kepala, menggigil ketakutan.
“Si Bangsat Mustofa itu adik seperguruanku!” bentak Si Abah dengan suara menggelegar. Lutut Bu Entin serasa lemas terpengaruh suara bentakan Si Abah yang berisi. Untunglah Juragan Somad dengan sigap menangkap pinggang dari perempuan itu dengan senang hati.
“Dan Si Bangsat itu telah membuat aku seperti tua renta! Dia membokongku ..., menghisap seluruh sari kehidupanku! Untunglah aku sudah bersepakat dengan Iblis! Hak-hak-hak ...., Mustofa ...! mustofa ..., akhirnya aku bisa juga membalas dendam melalui anak ini! Hua-ha-ha ...!” begitu mengerikan keadaan Si Abah saat itu.
“A-apa maksudnya ini?” Bu Entin meronta dari pelukan Juragan Somad yang saat itu masih memeluk pinggangnya. Dan Ki Lurah itu sendiri hanya menggeleng tidak mengerti.
“Kau ingin anakmu ini sembuh?” tiba-tiba Si Abah bertanya kepada Bu Entin yang segera menggeser tubuhnya karena Juragan Somad melepaskan pelukannya.
“I-iya, Abah. Tolong ..., kumohon! Syarat apa pun yang Abah minta akan saya penuhi agar anak saya bisa sadar kembali!” sahut Bu Entin dengan suara bergetar.
“Aku tidak akan minta apa-apa kepadamu, aku yangg harusnya berterima kasih kepadamu karena mengantarkan anak ini kepadaku, ha-ha-ha!” Si Abah kembali terbahak-bahak. Kemudian lanjutnya, “Kau tahu? Anak ini bukan saja akan kusembuhkan, tapi akan kuisi dengan sesuatu yang akan membuat Si Mustofa mati jantungan! Hwua-ha-ha ...!”
Bu Entin yang kebingungan dan ketakutan, hanya bisa menangkap bahwa anaknya akan bisa sadar seperti sediakala. Tidak mengerti tentang akan diisi ‘sesuatu’ itu seperti apa.
“Sekarang keluarlah kalian!” Si Abah mengibaskan tangannya.
“S-saya di sini saja, Abah!” kata Bu Entin.
“Kau mau anakmu sadar?” Si Abah melotot.
“M-mau, Abah!” tengkuk Bu Entin terasa merinding.
“Pergilah keluar!” usir Si Abah yang kemudian membungkukkan tubuhnya, jari-jari keriputnya bergerak mengetuk-ngetuk dan mengurut sekujur tubuh Solihin.
“Bu Ustadz, marilah keluar bersama saya!” bisik Juragan Somad sambil meraih tangan Bu Entin membimbingnya untuk ke luar ruangan.
“Tapi ..., tapi saya ingin medampingi Si Ujang selama diobati, Juragan!” kata Bu Entin sambil sedikit menahan.
“Jangan mengambil resiko, Bu Ustadz. Kalau Si Abah tidak suka kemudian menolak untuk menyembuhkan jang Solihin, sudah terlambat semuanya walau pun Bu Ustadz sampai menyembah-nyembah beliau. Sudahlah, mari ikut saya, kita tunggu sampai pengobatannya berhasil!” bujuk Juragan Somad.
Akhirnya, walau pun dengan sangat terpaksa, Bu Entin menurut juga. Sambil tetap menengok ke arah tubuh anaknya yang terbujur lemas di atas kursi kayu.
“Si Euis suruh masuk kemari!” terdengar suara Si Abah sebelum pintu tertutup. Dan Juragan Somad tak perlu repot-repot lagi karena istrinya itu telah berada di situ diiringi oleh Rukmi, anak Ocih yang sama menjadi pembantunya, Rukmi membawa nampan berisi penganan. Jelas, Euis mendengar seruan Si Abah itu, dengan langkah gemulai, perempuan itu masuk ke dalam ruangan setelah sebelumnya melempar senyuman misterius kepada Bu Entin.
“Bawa saja nampan itu ke ruang tengah, Rukmi! Mari kita menunggu di ruang tengah saja, Bu Ustadz,” kata Juragan Somad dengan suara ramah sambil menunjuk ke satu ruangan di sebelah ruangan tempat Solihin diobati Si Abah.
“Tidak bisakah kita menunggu di sini saja, Juragan?”
“Jangan mencari resiko, Bu Ustadz. Sekali saja Si Abah terganggu, bahkan bisa berakibat kesalahan mengobati Jang Solihin. Percaya saja, bukankah tadi Bu Ustadz sempat melihat ilmu beliau yang mengagumkan?”
Bu Entin akhirnya mengalah, ia pun segera mengekor Juragan Somad menuju ruangan tengah tanpa tahu bahwa Rukmi yang tengah memangku nampan melihat ia dengan tatapan sebal karena merasa mempunyai saingan yang sangat berat. Namun mau berkata apa, ia hanya seorang pembantu, jelas kalah kelas segalanya dibandingkan dengan Bu Ustadz yang manis dan montok itu.


Bu Entin duduk dengan gelisah sekali. Dan semua itu diperhatikan dengan jelas oleh Juragan Somad.
“Tenanglah, Bu. Bersabarlah, silahkan mencicipi penganan untuk sekedar menenangkan hati,” kata Juragan Somad.
“Terima kasih, Juragan. Kalau boleh tahu, berapa lama biasanya pengobatan yang dilakukan oleh Abah?” tanya Bu Entin.
Juragan Somad tampak berpikir sejenak, kemudian katanya, “Tidak bisa ditentukan, Bu. Kadang sebentar saja, atau bisa berhari-hari, tergantung tingkat penyakit dari yang harus disembuhkannya. Tapi berapa pun waktunya, beliau akan sanggup menyembuhkannya. Beliau belum pernah gagal dalam menyembuhkan berbagai penyakit,” hibur pria itu dengan suara lemah lembut.
“Agaknya sekarang sudah masuk waktu maghrib, kalau boleh, saya mohon ijin untuk melaksanakan sembahyang, Juragan!” kata Bu Entin kemudian.
“Oh ya silahkan, tapi diminum dulu itu minumannya, Bu Ustadz. Sedari datang kemari, Bu Ustadz terlalu memikirkan keadaan Jang Solihin, padahal sudah berada di tangan yang tepat. Untuk lebih menenangkan, silahkan dicicipi dulu, sementara saya akan menyuruh SI Rukmi untuk mempersiapkan tempat sembahyang Bu Ustadz. Silahkan, jangan sungkan-sungkan!” Kata Juragan Somad sambil berdiri, menyilahkan Bu Entin ke beberapa piring berisi penganan serta sebuah mug, gelas besar dari alumunium, berisi cairan kemerah-merahan seperti teh kental yang masih mengepulkan uap hangat.
Walau pun sedang dalam keadaan tidak berselera, namun jelas bukan hal yang sopan apabila ia tidak menyentuh sedikit pun sajian dari tuan rumah, apalagi tuan rumah yang begitu baik mau ditempati anaknya yang sedang diobati. Maka, tanpa curiga Bu Entin mengambul muk yang berisi air yang disangkanya teh itu untuk diseruputnya dengan perlahan.
Juragan Somad yang sengaja berjalan perlahan-lahan ke luar ruangan, bersorak girang dalam hatinya melihat perempuan yang telah membuatnya tergila-gila itu telah masuk perangkapnya. Cairan itu berisi ramuan dari Si Abah, ramuan pengikat sukma!
Sebelum meminumnya, hidung BU Entin menghirup uap tersebut. Aroma yang lembut terhirup, menyegarkan penciumannya, begitu uap itu masuk ke parru-parunya. Bu Entin merasakan dadanya lega luar biasa.
“Teh macam apa ini? Uapnya saja begitu melegakan,” Bu Entin berbisik dalam hatinya dengan kagum. Tak sabar rasanya ia mencicipinya, dengan hati-hati bibir mug lalu diseruputnya dengan perlahan. Suatu hawa hangat terasa di tenggorokannya. Bu Entin merasakan kelegaan dan rasa ringan yang luar biasa. Segala kegelisahannya dari tadi seperti menguap begitu saja. pada seruputan ke dua, badannya terasa enteng, benaknya yang penuh dengan bermacam-macam kekhawatiran hilang entah kemana. Istri Pak Engkos itu seperti yang tengah dahaga, seruputan demi seruputan cairan di muk yang lumayan besar itu terus diseruputnya dengan cepat.
Bu Entin merasakan badannya seringan kapas, hatinya merasa sebebas burung yang bisa melayang-layang menembus awan. Perempuan itu memejamkan matanya dengan senyum simpul menghias wajahnya. Dan ketika ia membuka matanya, ia melihat seraut wajah yang tengah tersenyum dan menatapnya dengan tatapan penuh cinta. Wajah Juragan Somad!
Juragan Somad yang dicintanya pula dengan sepenuh hati! Ia membalas dengan senyuman manis sekali!
Di lain pihak, Juragan Somad sungguh sangat senang hatinya. Ramuan Si Abah benar-benar luar biasa sekali, kenapa tidak dari dulu dia meminta ramuan hebat seperti ini. Untuk Bu Ustadz yang manis dan montok ini, ia tahu akan berhadapan dengan batu karang yang keras. Jelas meluluhkan hatinya tidak akan mempan dengan ancaman atau kekerasan seperti yang biasa ia lakukan terhadap perempuan-perempuan yang diinginkannya. Dia ingin menaklukkan perempuan ini dengan halus, dia ingin perempuan itu melayaninya dengan sepenuh hati, karena dia benar-benar jatuh hati saat pertama dia melihat secara langsung ibunya Solihin ini.
“Ah ..., Akang,” desah Bu Entin malu-malu, ketika Juragan Somad meraih tangannya kemudian mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Jangan di sini ..., malu ah!” desis Bu Entin ketika jari-jari Juragan Somad mengelus-elus pipinya. Mata lebar bulat itu mengerling manja.
“Ha-ha-ha ...,” Juragan Somad tertawa gembira, “Mari kita ke kamar, Sayangku,” bisik pria itu sambil meraih tubuh Bu Entin yang tak menolak sedikit pun dipangku pria yang di luar kesadarannya bukanlah suaminya. ia sudah terbuai ramuan pengikat sukma yang hebat bukan kepalang. Kedua tangan Bu Entin melingkar manja di leher Juragan Somad yang memangkunya dengan langkah terburu-buru menuju kamarnya.
Dengan pelahan, tubuh montok itu dibaringkan di atas ranjang berukir dengan kasur empuk. Kemudian tubuh gempalnya dengan tangan menahan di samping kepala yang masih mengenakan kerudung itu agar tidak menindih tubuhnya.
“Katakan ..., katakan kau menyukaiku, Sayangku!” bisik Juragan Somad.
“Ah ..., Akang. Aku bukan saja menyukaimu, bukankah sudah berkali-kali kukatakan kalau aku cinta padamu,” jawab Bu Entin tanpa malu-malu.
“Kalau begitu, ciumlah ..., ciumlah aku, Sayangku!” desis Juragan Somad dengan napas mulai memburu.
Tangan yang masih melingkar manja di leher pria itu segera menarik kepala Juragan Somad. Dan bibir sensual merah basah Bu Entin saling sentuh dengan mulut Juragan Somad yang berbibir tebal. Begitu lembut, hangat dan basah.
Tangannya sudah lepas, tubuh gempal Juragan Somad menindih tubuh montok yang masih berbalutkan gamis itu.
Suara kecipak liur dari dua mulut yang rakus saling melahap itu terdengar jelas. Lidah-lidah saling bertaut, bertukar ludah, saling libat, saling hisap. Jari-jari tangan Juragan Somad dengan cepat menarik kerudung Bu Entin, melepaskan ikatan rambutnya yang lurus panjang.
“Oh, betapa cantiknya dirimu, Sayangku,” bisik Juragan Somad saat mulut mereka terlepas untuk menarik napas.
Bu Entin menutup matanya saat mulut berliur Juragan Somad mengecupi matanya dengan lembut. Mencium hidungnya, menghisap pipinya yang montok, menjilat kupingnya. Lalu kembali mencium bbibir sensual yang mulai mendesah lembut ketika jari-jari gemuk Juragan Somad meremas perlahan dua bukit kenyal yang masih terlapisi gamis serta kain kutang tersebut.
“Ohhh ..., Kang Somaaad!” erang Bu Entin mendongak memanjangkan lehernya yang kuning langsat, saat kumis tebal Juragan Somad menggaruk leher dan tengkuknya. Kecupan demi kecupan dilancarkan Juragan Somad dengan bertubi-tubi.
Dengan tidak sabar, Ki Lurah Dusun Cisoka itu mempreteli kancing-kacing gamis Bu Entin yang hanya tersenyum penuh gairah sambil mengelu-elus pipi gemuk Pria itu. Dengan satu tarikan saja, gamis itu telah terbuka lebar. Dua bukit montok tersembul menantang masih tertahan oleh sebuah kain kutang. Dan satu tarikan lagi, dua bukit membusung itu seakan tumpah dari tahanannya.
“Ahhhsssh,” Bu Entin menggelinjang erotis ketika kumis dan lidah lihai Juragan Somad menggelitik belahan dadanya, remasan-remasan lembut di dua bukit kembar itu telah membangkitkan birahi yang luar biasa dari perempuan itu. Kedua putingnya yang menonjol telah mengeras sepenuhnya. Habis dilumat dan dipermainkan gigi-gigi berliur dari Juragan Somad.
“Geliii ...,” gigil Bu Entin salmbil meremas-remas rambut tebal pria itu ketika lidah Si Juragan menggelitik pusarnya.
Juragan Somad duduk bersimpuh dengan napas terengah-engah, dengan mulut menyeringai, dia menarik gamis yang tersisa dan melemparkannya jauh-jauh.
Kulit perut halus yang sedkit mempunyai lipatan itu mulai berkeringat, dan bulu-bulu halus tebal terlihat membayang dari celana dalam tipis yang dikenakan perempuan itu. Di antara pangkal paha yang sekal itu, terjepit membusung, membayang sebuah bukit kecil nan rimbun. Jari tengah dan telunjuk Juragan Somad menggaruk dan menggesek belahan celana dalam yang mulai basah tersebut.
Bu Entin merintih-rintih halus, pinggangnya sesekali meliuk. Juragan Somad sudah mulai tidak sabar, dia sudah sangat ingin mencicipi lembah gemuk itu yang bungkusnya segera ditarik paksa.
Dan sesuai perkiraannya, bukit kecil nan rimbun membusung menantang.
Sambil menahan hasratnya yang meledak-ledak, Juragan Somad turun dari pembaringan, melucuti pakaiannya sesegera mungkin. Dibawah tatapn penuh kemesraan dari Bu Entin yang pikirannya sudah terikat oleh ramuan gendam pengikat sukma pemberian Si Abah. Dan Juragan Somad hanya tinggal menuntaskan satu urusan lagi sebelum menikmati tubuh montok yang sedang tergolek pasrah tersebut. Dalam keadaan telanjang dengan penis gempal yang sudah ereksi penuh. Ki Lurah itu menghampiri meja ukir di samping pintu, membuka tutup sebuah ples kecil, menuangnya sekitar empat butir pil tahi kambing, lalu menelannya sekaligus di dorong oleh satu tegukan arak dari pocinya langsung.
Biasanya, satu atau dua butir saja cukup untuknya mempertahankan staminanya semalam suntuk. Namun untuk perempuan yang telah membuatnya tergila-gila itu, dia ingin memberikan yang spesial, bahkan sehari semalam bertempur pun dia sudah siap.
“Akaaang ...,” terdengar pangggilan manja dari Bu Entin. Kalau dalam keadaan normal, tidak mungkin ia berlaku seperti itu. Saat mengayuh berahi dengan pak Engkos, suaminya sendiri. Mereka biasa bersenggama dalam diam. Betul-betul khasian ramuan pengikat sukma itu bisa merubah seorang alim bisa menjadi sebinal kuda betina.
Sambil tersenyum-senyum, Juragan Somad menghampiri tubuh montok yang masih tergolek pasrah itu, jari-jarinya bermain digundukan bukit hangat tersebut, menyibak bulu-bulu halusnya, menelusuri lembah tebal yang basah berdenyut-denyut. Juragan Somad segera naik, berlutut di antara dua paha yang montok, menariknya salah satunya, dicium, dijilat dan digaruk. Sementara tangan yang satu menahan kaki, jari-jari yang satu lagi aktif membelai dan menggesek belahan lembah yang mulai merekah. Lembah tebal dan basah, gemuk dan eksotik. Dan;
“Ugh!” kedua kaki Bu Entin meregang, ketika mulut berhias kumis tebal itu tenggelam ditelan lembah dari bukit rimbun tersebut. Pinggul padatnya meliuk-liuk menikmati tarian lidah Juragan Somad yang menelusuri lembah vaginanya, menyentuh dan menghisap sebuah daging kecil yang berdenyut keras. Satu tangan yang lain meremas satu bukit kenyal dan memelintir-melintir putingnya.
Napas Bu Entin terengah-engah seakan sedang melakukan perjalanan menanjak yang curam. Pinggulnya berkali-kali mumbul setiap bagian paling sensitif dari tubuhnya dimainkan oleh lidah Ki Lurah. Berkali-kali badannya terlonjak sambil melenguh, mungkin karena tak tahan, Bu Entin mengangkat tubuhnya menjambak rambut Juragan Somad dan menariknya paksa untuk meluncur menindih tubuh montok yang mulai berkeringat itu.
“Akaaang nakaaal ...,” rintih ibu Solihin itu dengan mata sudah sangat sayu, “Aku sudah tak tahan. Ayolaaah ...,” rengeknya. Tangannya mencari-cari sesuatu, setelah tongkat kenyal itu terpegang, tanpa malu-malu digesek-gesekkan ke vaginanya, jari-jari yang lain membuka bibir tebal vaginanya untuk memudahkan tongkat kenyal itu melakukan penetrasi. Rasa geli dan gatal membuat pinggul bulat itu terangkat membuat kepala penis Juragan Somad menerobos liang yang sudah berlendir tersebut.
Juragan Somad membantu menekan, dan ;
“Bleshhh!”
Wajah perempuan itu mendongak dengan mata terpejam juga gigi menggigit bibir bagian bawahnya, punggungnya sedikit terangkat, membuat dua buah bukit yang membusung itu semakin mencuat saja. kedua pangkal paha Bu Entin merenggang makin lebar, memberi ruang kepada pantat Juragan Somad untuk bisa menancapkan lebih dalam penisnya.
Perlahan tapi pasti, Juragan Somad mulai menggenjot. Kenikmatan yang luar biasa merangsek ke sekujur tubuh Bu Entin, apalagi ketika seluruh jari dan mulut pria itu diberdayakan semua.
“Ouwhhh, Akaaang ...,” rintih Bu Entin yang mulai merasakan hendak mencapai puncak kenikmatannya yang pertama. Pinggulnya bergoyang liar mengimbangi setiap genjotan Juragan Somad yang kadang cepat kadang melambat. Hal itulah yang membuat Bu Entin lebih terpacu birahinya. Otot-otot vaginanya mulai mengencang rapat, mengunci penis Juragan Somad yang mendengus-dengus merasakan penisnya dipijat oleh denyutan-denyutan kencang vagina Bu Entin.
“Akkkhhhk!” Bu Entin mengerang panjang. Tubuhnya mengejang, sementara kedua pahanya mengunci pantat gempal Juragan Somad, sementara kedua tangannya menarik kuping pria itu, dan mencium dengan rakus bibir berkumis tebalnya.

Juragan Somad memang belum apa-apa, dia masih bisa bertahan akibat efek dari pil yang diminumnya sekaligus empat buah. Kedua tangannya terelip diantara ketiak Bu Entin, menahan kepala perempuan itu selama mereka berpagutan dengan napas ngos-ngosan.
“Ahhh,” akhirnya Bu Entin mendesah ketika mulut mereka saling berpisah. Juragan Somad tersenyum sambil mengelus-elus rambut panjang perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Sementara penisnya masih tertanam dalam-dalam di vagina gemuk yang penuh oleh cairan orgasme beruap lendir putih yang sampai merembes keluar dari bibir tebal vaginanya.
Setelah mendiamkan sejenak Bu Entin yang masih menikmati puncak orgasmenya. Masih dalam posisi yang sama, pantat Juragan Somad kembali mengggenjot perlahan sekali.
“Enghhh ..., ngilu, Akaaang,” Bu Entin merintih manja.
Namun baru juga tiga kali genjotan. Mendadak terdengar satu teriakan keras;
“Entiiin ...! Solihiiin ...!”
Suara teriakan Pak Engkos!

Bersambung ke BAB I-e
(Sambungannya semoga bisa diposting malam senin besok)
:ampun: :ampun: :ampun:
:beer: :Peace:
 
Mantap suhu

Ane jd kepo soal abah vs mustofa
Mudah2an di ceritain sedikit awal mula perseteruan abah dan mustopa

Btw nnt barep berguru di kyai mustofa niy roman2nya


Hahahahahaha


Tp overall ceritanya keren suhu
 
waduh, apa nanti mustofa beneran mati hu?

kalo kayak gitu kasihan nasib pak engkos, sia sia dia masukkin solihin ke pesantren kalo ternyata nanti solihin jadi anak buah nya mertua si somad, juga gitu ditambah entin yg jelas jelas nanti bakalan memilih somad daripada engkos

nunggu lanjutannya saja dulu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd