Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA BADAI NAFSU

Status
Please reply by conversation.
BAB I-e
BADAI NAFSU

....
“Entiiin ...! Solihiiin ...!”
Suara teriakan Pak Engkos.
....

Juragan Somad yang sedang tanggung, menggeram marah.
“Kang Engkos?” Bu Entin yang matanya sedang meram melek menikmati gesekan-gesekan batang penis di dalam vaginanya, membuka mata dengan raut muka keheranan.
Inilah kehebatan ramuan SI Abah yang membedakan dengan mantera-mantera gendam sejenisnya. Kalau mantera gendam, dalam menjerat korbannya selalu menenggelamkan memori ingatan jati diri Si Korban, membuatnya lupa akan siapa dirinya, keluarganya, memusatkan perhatian Si Korban ke subyek yang menariknya. Sementara ramuan pengikat sukma ciptaan Si Abah, Si Korban sama sekali tidak melupakan asal-usulnya, yang diikat hanya rasanya, sementara karsanya dibiarkan seperti biasanya. Contohnya Bu Entin ini. Ia menggenal suara suaminya, tahu bahwa Pak Engkos adalah suaminya, namun karena rasanya telah diikat melekat ke Juragan Somad, maka tidak ada perasaan lain selain fakta bahwa Pak Engkos adalah suaminya, sementara seluruh cinta kasihnya tertumpah sepenuhnya ke Juragan Somad.
Di luar sana, dalam deru angin dan hujan, Pak Engkos terus berteriak-teriak memanggil nama istri dan anaknya.
“Kurang ajar, Si Engkos!” kutuk Juragan Somad dalam hatinya. Mencabut penisnya dari dalam vagina Bu Entin yang langsung melenguh kecewa.
“Biarkan saja, Akang! tuntaskan dulu atuh ikh!” rengek perempuan itu sambil memeluk tubuh gempal Ki Lurah yang menyeringai senang. Jelas, bahwa Bu Entin samasekali tidak menjadi sadar keadaan dirinya saat itu.
“Kamu tahu siapa Engkos yang berteriak-teriak itu, Sayangku?” tanya Juragan Somad menguji dengan hati berdebar-debar.
“Suamiku!” sahut Bu Entin datar, lalu sambungnya, “Tapi engkaulah yang kucinta sepenuh hatiku!”
Juragan Somad tertawa terbahak-bahak, senang sekali hatinya mendengar jawaban yang memuaskan dari perempuan itu.
“Aku akan mengusir dulu suamimu itu. Setelah dia pergi, baru aku akan memuaskanmu sepuas-puasnya!” kata Juragan Somad sambil bangkit dari pembaringan, mengenakan pakaian sekenanya lalu melangkah keluar.
“Aku ikut! Biar aku saja yang menyuruhnya pulang!” seru Bu Entin turut turun dari ranjang, mengenakan gamisnya tanpa memakai dalaman juga kerudungnya, mengikuti Juragan Somad yang tak melarangnya sedikit pun. Sungguh, dia ingin menguji kehebatan ramuan Si Abah yang baru ini.
Di beranda, Pak Engkos berdiri kokoh memakai caping bambu lebar yang melindungi kepalanya dari derasnya air hujan yang masih belum juga berhenti. Pak Engkos berdiri dihadapi oleh Odang dan Suhara yang sama-sama bertelanjang dada. Keduanya berdiri di beranda.
“Di mana anak dan istriku, Odang?” bentak Pak Engkos dengan mata berkilat marah.
“Jang Solihin masih diobati, Kang Ustadz!” tiba-tiba terdengar satu suara menjawab pertanyaan dari Pak Engkos yang segera mengalihkan tatapannya ke yang baru datang.
“En-tiiin?” Pak Engkos bersurut mundur dengan wajah kaget luar biasa.
Bagaimana tidak kaget, istrinya itu berdiri rapat dengan Juragan Somad dengan mengenakan gamis yang tak terkancing atasannya, memperlihatkan belahan dari payudara montoknya yang jelas samasekali tak memakai kutang, dan hal lain yang membuatnya hanya ternganga kehabisan kata-kata adalah bahwa istrinya itu samasekali tidak mengenakan kerudung seperti saat ia berangkat selepas ashar tadi.
Odang dan Suhara sama-sama meneguk ludah melihat pemandangan gratis tersebut. Mereka baru melihat, betapa montoknya Bu Ustadz yang selalu mengenakan pakaian rapat itu kini.
Juragan Somad benar-benar sangat beruntung, begitu hati mereka berdua bersungut-sungut.
“akang sedang apa di sini? Kenapa tidak pulang saja?” terdengar Bu Entin berkata, sungguh di luar dugaan Pak Engkos yang hatinya sangat terpukul sekali.
“Kau apakan istriku, Somad?” geram Pak Engkos memandang tajam Juragan Somad dengan mata berkilat marah.
Juragan Somad hanya mengangkat bahunya sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia merangkul pinggang Bu Entin yang bersandar dengan sangat mesra.
Tak dapat dikatakan rasa perih dan pedih hati pak Engkos saat itu. Matanya menatap nanar ketika sepasang laki-perempuan itu tanpa tahu malu berpagutan di depannya.
“Kk-kau ..., kau benar-benar rusak, Somad! Terkutuklah kau!” telunjuk Pak Engkos terlihat gemetar menunjuk ke mereka berdua.
“Katakan siapa orang itu, Sayangku!” Juragan Somad menunjuk dengan dagunya ke Pak Engkos.
“Kang Engkos!” jawab Bu Entin datar.
“Siapamukah dia?”
“Suamiku!”
“Lalu aku?”
“Kau kekasihku yang kucinta sepenuh hatiku!” jawab Bu Entin dengan sangat mesra.
Juragan Somad menyeringai sambil memandang mengejek ke Pak Engkos yang mukanya berubah-ubah, antara merah-padam dan pucat pasi.
“Kau dengar itu, Kang Ustadz? Sudahlah, pulanglah saja, tak ada yang membutuhkanmu di sini!” kata Juragan Somad sinis.
“Terr-terkutuk ..., terkutuklah kau, Somad! Kembalikan anakku sekarang juga!” bentak Pak Engkos merangsek maju, menutupi rasa perih yang mengiris hatinya.
“Berhenti, Ustadz!” seru Suhara dan Odang hampir bersamaan menghadang.
“Minggir kalian!” geram pak Engkos mengibaskan tangannya. Dan dua tubuh bertelanjang dada itu terhuyung terkena angin kibasan Pak Engkos yang berisi.
Sebagai orang yang pernah mengenyam ilmu pesantren, tentulah Pak Engkos ini bukan hanya belajar ilmu mengaji, namun ilmu beladiri pun dia menguasainya dengan fasih.
Dengan satu gerengan macam macan mengamuk, Pak engkos menerjang Juragan Somad yang segera bersurut mundur sambil menarik pinggang BU Entin yang menjerit kecil.
Sepuluh jari-jari sekaku baja yang sudah sangat terlatih datang mencengkram, yang kanan hendak meremukkan wajah Juragan Somad yang segera berteriak tertahan, yang satu lagi mengarah bahu Bu Entin dengan maksud hendak direbutnya dari pelukan Ki Lurah itu. Dua maksud dalam satu jurus.
“Hmmm ..., jurus murahan ajaran Si Mustofa!” tiba-tiba terdengar gumaman mengiang halus.
Satu bayangan hitam berkelebat memotong cengkraman Pak Engkos.
Plak! Plak! Desssh!
“Akhhh!” Tubuh Pak Engkos mendadak melayang seperti daun kering, lalu jatuh bergedebuk di tanah berlumpur.
Sungguh kejadian yang sangat cepat dan sukar dipercaya.
Di depan Juragan Somad an Bu Entin, berdiri sesosok tubuh kurus kering bertelanjang dada. Kulit keriputnya jelas terlihat di menghiasi dada tipis dengan tulang iga bertonjolan.
Pak Engkos mencoba bangkit berdiri dengan hati kaget. Entah kapan datangnya, dua cengkramannya tiba-tiba ada yang menyambut dengan tenaga keras, lalu dadanya seperti dihajar palu godam yang tak dapat ditangkisnya saking cepatnya.
“Uhuk!” pria itu terbatuk. Mulutnya terasa asin, dengan dada yang terasa sesak sulit bernapas.
Dengantubuh gemetaran, Pak Engkos akhirnya mampu berdiri. Menatap heran ke sesosok keriput yang tengah bertolak pinggang sambil tertawa terbahak-bahak.
Mungkin ini yang disebut Si Abah mertua juragan mesum itu, Pak Engkos menebak-nebak dalam hatinya.
“Kau murid Si Mustofa Tentu kenal aku, bukan?” telunjuk keriput itu menunjuk Pak Engkos.
“Kk-kau ss-ssiapa?” desis Pak engkos.
“Phuahhh!” Si Abah menggereng marah. “Si Mustofa benar-benar manusia sombong! Katakan bahwa Si Keparat itu tidak pernah menyebut-nyebut nama Abidin! Kalau tidak pernah, kepala kau akan kugantung di di beranda rumahmu sekarang juga! Katakan!” gelegarnya sambil mencak-mencak.
“A-Abi-din? Si-Si Murid Sesat?” Pak Engkos terbelalak matanya. Jelas dia tahu riwayat Si Abah yang ternyata bernama Abidin itu.
“Hwuaha-ha-ha!” tawa Si Abah meledak mengalahkan suara deru angin dan hujan yang turun makin deras.
Tergetar hati pak Engkos saat mengetahui siapa yang kini dihadapinya itu. Jelaslah dia bukan tandingan manusia itu, kalau menurut wejangan Kiayi Mustofa di mana dia menjadi santrinya. Apabila di suatu tempat bertemu dengan orang itu, hindari. Jangan di lawan! begitu Sang Kiayi mewanti-wanti setiap muridnya yang selesai mencari ilmu di pesantrennya.
Namun dia jelas bukan dalam posisi harus lari menjauh, mengingat istri dan anaknya berada dalam genggaman manusia iblis tersebut.
Abah Abidin terus tertawa bekakakan, terdengarnya begitu mengerikan diiringi deru hujan angin serta gelegar guntur. Seakan setan dan iblis tengah berpesta di malam itu. Secara tiba-tiba, tertawa orangtua itu sirap. Matanya menyorot suram menatap Pak Engkos yang meningkatkan kewaspadaannya.
“Malam ini ..., malam ini aku sangat berbahagia sekali mendapat dua lalat kecil untuk membalas sedikit rasa sakit hatiku ke Si Keparat Mustofa! Aku mempunyai rencana hebat untuk membuat dia mati berdiri! Hwuaha-ha-ha!”
Selesai tertawa, Abah Abidin mengeluarkan lengkingan persis jeritan setan, tubuhnya berkelebat secepat bayangan.
Derai tirai hujan seakan tersibak! Tetes-tetes air secara ghaib meluruk ke tubuh Pak Engkos yang segera menjatuhkan dirinya secepat yang dia bisa.
Sing! Sing! Sing!
Tetes-tetes air hujan berdesing di atas tubuh Pak Engkos seperti puluhan peluru yang ditembakkan serentak.
Mengerti bahwa akan ada serangan susulan, tubuh pria itu berguling cepat di atas tanah berlumpur. Membuat cipratan-cipratan kecil yang menyiprat ke segala arah.
“Hmmm! Lumayan ..., lumayan!” dengus satu suara yang melayang seperti kelelawar keriput kembali ke undakan pertama beranda.
Pak Engkos telah berdiri gagah dengan tubuh yang sudah berlepotan lumpur, rambut serta wajahnya telah kuyup oleh air hujan karena caping yang dikenakannya telah lepas entah ke mana. Namun dasar memang harus seperti itu. Hatinya terpukul sekali ketika melihat Bu Entin, istrinya, seperti sengaja memperlihatkan satu pertunjukkan mesum di hadapannya. Derita batin yang dirasakannya saat itu telah melenyapkan kewaspadaannya.
Sebagai seorang jago yang sudah matang pengalaman, Abah Abidin melihat kesempatan di mana lawan tengah goyah kuda-kudanya.
Satu seringaian kejam tersembul di mulut keriput itu. Tanpa bunyi, tubuh kurus itu melesat sebat.
Kaget bukan kepalang Pak Engkos ketika melihat dua telapak tangan sudah satu langkah di depan wajahnya. Sambil mengeluarkan teriakan lantang, suami Bu Entin itu nekat mengadu untung, karena mencoba menghindar pun sudah kasip.
Plak!
Satu serangan berhasil di tepisnya, namun satu telapak lain meliuk aneh. Menampar pelipisnya dengan telak!
Kaplok!
Tubuh Pak Engkos melintir seperti gangsing, sebelum kembali jatuh bergedebuk berkubang lumpur tanpa sanggup bangkit kembali.
Tubuh Si Abah Abidin telah kembali berdiri di beranda sambil terkekeh-kekeh.
Juragan Somad yang memang sengaja berlaku mesum dengan Bu Entin yang sudah dalam kekuasaannya, berhenti sejenak ketika melihat tubuh Pak Engkos bergerak-gerak. Yang kemudian tubuh itu bangkit terhuyung-huyung.
“Tidak mati, Abah?” tanya Juragan Somad dengan hati terkejut.
“Memang tidak. Sengaja tidak kubuat mati, biar sampai ke kuping Si Mustofa, anak muridnya telah kubuat sinting!” dengus Si Abah menyeringai kejam.
Memang benar. Pak Engkos berdiri dengan badan gemetaran, matanya jelalatan liar namun kosong. Jelas bahwa otak Pak Engkos telah bergeser oleh gaplokan kejam Abah Abidin.
Setelah menatap kosong setiap orang yang berdiri di beranda, dengan langkah terhuyung-huyung, suami Bu Entin itu pergi dari halaman rumah tanpa berkata-kata.
Normalnya, Bu Entin sedikitnya akan memanggil nama suaminya itu, namun dengan ramuan pengikat sukma yang sakti, perempuan itu malah tak memperdulikan samasekali suami yang sudah menikah selama hampir dua puluh tahun lamanya itu. Malah ia terus menggelendot manja dalam pelukan Juragan Somad yang hanya menghela napas sedikit khawatir.
“Tidak usah khawatir, Somad! Aku sudah menantikan untuk membalas dendam kepada Si Mustofa. Cepat atau lambat, kami akan berhadapan sampai slah seorang dari kami musnah dari bumi ini!” dengus Si Abah sambil berlalu tak acuh.
Tenanglah sudah hati Juragan Somad yang sangat yakin sekali akan kesaktian mertuanya itu. Maka, sambil memeluk pinggang Bu Entin, dia pun berlalu ke dalam rumah, diikuti Odang serta Suhara yang hatinya kagum sekali dengan kesaktian dari mertua Ki Lurah mereka itu.
Juragan Somad dan Bu Entin yang berjalan berpelukan, hanya terpaut beberapa langkah dari Si Abah yang berjalan santai. Dan kebetulan pintu ruang pribadi Ki Lurah itu masih terbuka lebar memperlihatkan satu pemandangan mesum yang tengah berlangsung di dalam sana.

Di sana, di atas kursi panjang di mana tadi tubuh Solihin tergeletak tak sadarkan diri. Bukan kepalang kagetnya Juragan Somad melihat Euis, istrinya, tengah bergoyang erotis di atas tubuh Solihin yang ternyata sudah siuman!
Hampir saja Ki Lurah itu berteriak untuk menyatakan keheranannya. Bagaimana mungkin? Serunya dalam hati. Sudah semenjak dia menikah dengan Euis yang tak pernah dijamahnya itu, bahwa Euis adalah milik Si Abah seutuhnya yang sekaligus ayahnya. Hubungan tabu yang terlarang! Dan dia adalah suami boneka untuk menutupi hubungan bejat antara Si Abah dan puteri kandungnya tersebut.
Betapa dia sangat tahu bahwa Abah Abidin sangat menyayangi dan mencintai Euis, puterinya. Bahkan Juragan Somad sendiri diharamkan menyentuh perempuan itu dengan ancaman mengerikan, walau pun secara status, dia mempunyai hak.
Tapi kini, Euis, istrinya, tengah bergelut penuh birahi dengan seorang pemuda yang tentu saja dengan sepengetahuan Si Abah! Apa-apaan ini? Desis Juragan Somad dalam hatinya. Sesaat dia lupa akan Bu Entin yang tengah menarik-narik tangannya, merengek untuk masuk ke dalam kamar secepatnya.
“Kau tak perlu terlalu ingin tahu, Somad. Pergilah, nikmati sepuas-puasnya perempuan itu!” dengus Si Abah dengan nada ketus ketika hendak menutup pintu melihat menantunya tengah terbengong-bengong menatap ke dalam ruangan.
Solihin yang tengah dimabuk berahi, sedikit terganggu, wajahnya menoleh ke arah pintu yang hendak ditutup. Matanya terpentang lebar melihat sesosok tubuh montok yang tengah bergelayut manja pada sesosok tubuh lain yangg dikenalnya sebagai kepala dusunnya.
“Ma ...?” panggilnya tanpa sadar. Jelas dia sangat kenal sosok itu yang bukan lain adalah ibunya. Rasa malu dan kaget, hampir saja dia meloncat bangun. Namun Euis yang sedang berdesis-desis dengan tubuhnya yang sudah banjir keringat itu, pinggangnya meliuk-liuk liar. Pinggulnya naik turun dengan cepat dengan cuping hidung mancungnya kembang-kempis mendengus-dengus. Solihin merasakan penisnya diremas dinding-dinding lunak namun kenyal.
“Owh ..., hessshhh!” desis Euis dengan tubuh melengkung. Lalu bibir tipisnya menyerbu mulut Solihin yang segera gelagapan mendapat ciuman bertubi-tubi dari istri Ki Lurah Somad tersebut.

Sebelum dilanjutkan, mari kita menyusuri sepotong cerita yang tertinggal. Kenapa Euis yang sudah cinta mati dengan bapaknya itu malah kini bisa memacu birahi dengan Solihin yang sebelumnya dalam keadaan tak sadarkan diri.

Ketika Euis masuk ke dalam ruangan pribadi, ia kemudian duduk di salah satu kursi sambil memperhatikan Si Abah yang tengah menempelkan telapak tangannya ke dahi pemuda itu. Uap tipis bberwarna hitam dan berbau amis memuakkan tercium tajam. Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu dibalikan sehingga tertelungkup. Si Abah menepuk belakang kepala Solihin tiga kali sebelum kemudian mempreteli semua baju pemuda itu sehingga telanjang bulat.
Kemudian tubuh telanjang pemuda itu dibalikan kembali, jari-jari keriput Si Abah mengurut dan memijat pinggang juga perut Solihin dari ulu hati sampai ke selangkangannya sambil menggumamkan mantera panjang yang aneh. Begitu terus menerus entah berapa lama waktu yang dihabiskan Si Abah melakukan gerakan yang sama berulang-ulang. Hingga kemudian, dengan mengunakan ujung dua telunjuknya, Si Abah menekan ke dua pelipis Solihin sambil meracau keras. Lalu;
Plak! Telapak tangan kanan Si Abah menampar dahi Solihin dengan keras. Kemudian jari-jari dari tangan keriput itu mengepal seperti menggenggam sesuatu, menariknya perlahan-lahan lalu dikibaskan ke udara kosong.
“Akh!” terdengar seruan pertama dari pemuda itu, diikuti tubuhnya bergerak-gerak lemas.
“Ha-ha-ha ...! bagus ...! bagus!” Si Abah terkekeh sambil bertepuk tangan penuh kepuasan.
Solihin membuka matanya sambil mencoba mengangkat kepalanya yang kemudian jatuh kembali karena tidak ada tenaga.
“Oh ..., di mana aku?” keluh Solihin sambil mengingat-ingat.
“Imas?” desisnya ketika teringat kejadian terakhir sebelum dia tergeletak tak sadarkan diri. Namun ketika matanya mengetahui dia sedang berada di satu ruangan yang sama sekali tidak dikenalnya. Matanya bergerak-gerak mencari-cari, dan tertumbuk ke sesosok tubuh yang berdiri menyeringai di samping sosok lain yang dikenalnya sebagai Bu Lurah!
“Ah!” Solihin berseru kaget dan sangat malu mengetahui ada seorang perempuan di ruangan tersebut dalam kesadaran penuh bahwa tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat.
Namun dengan keadaan sangat lemas tak bertenaga seperti itu, jangankan bergerak, bahkan untuk menggerakan jarinya pun sulitnya bukan main. Satu-satunya jalan adalah dia memejamkan mata.
“Sudah sembuh dia, Abah?” terdengar suara halus bertanya, yang diyakininya sebagai suara Bu Euis.
“Bukan sembuh lagi, tapi dia sudah kuisi dengan ilmu ghaib kebanggaanku!” terdengar suara lain yang diterka Solihin sebagai Si Abah, sesuai sebutan Bu Euis. Nada suara itu terdengar bangga.
“Memangnya dia akan diangkat muridmu, Abah?” Euis bertanya lagi.
“Tidak!” Si Abah mengggeleng.
“Lalu?” Euis menampakan raut muka kebingungan.
“Dia murid Si Mustofa! Dan akan kujadikan alat sebagai balas dendam ke Si Keparat itu!” dengus Si Abah mengertakkan giginya.
Mendengar itu, jelas Solihin kaget sekali. Dia tentu tahu siapa yang disebut Mustofa tersebut, yang bukan lain adalah pimpinan pesantren di mana dia pernah belajar mengaji dulu. Dulu sebelum ..., akh! Dada Solihin bergetar tak karuan ketika teringat satu peristiwa saat dia di pesantren dulu, yang membuatnya segera di suruh pulang sebelum tamat belajarnya. Pemuda itu berusaha sekuat tenaga mengenyahkan kenangan dari peristiwa tersebut.
“Hah? Kenapa tidak dibunuh saja?” terdengar suara istri dari Juragan Somad bertanya.
“Tidak! Aku sudah merencanakan bahwa pemuda ini nanti akan kuadu dengan SI Mustofa, biar Keparat itu mati kesal. Puas rasanya hatiku kalau rencanaku ini berhasil dengan baik. Dan untuk keberhasilan dari rencanaku tersebut, aku membutuhkan bantuanmu, anakku sayang!” desis Si Abah sambil mengelus-elus rambut panjang Euis.
“Bantuanku seperti apa?”
“Buka bajumu, dan duduklah dipangkuanku!” perintah Si Abah kemudian.
Terkesiap hati Solihin mendengar percakapan dari dua orang itu. Celaka, keluh hatinya. Mencoba menggerakan tubuhnya, namun ternyata sia-sia. Seluruh tulang tubuhnya terasa dilolosi lemah tak berdaya.
Telingannya kini mendengar suara desisan dan erangan yang membuat merah mukanya dan hatinya berdebar-debar aneh. Solihin baru berusia delapan belas tahun, darahnya masih cepat panas. Walau pun berusaha sekuat tenaga memejamkan mata, namun untuk menulikan pendengarannya tentulah suatu hal yang mustahi.
Tanpa sadar, mata Solihin yang asalnya terpejam itu terbuka sedikit. Dan;
“Hek!” sesak napasnya. Buru-buru matanya dipejamkan lagi, namun pemandangan sekilas dari dua orang yang tengah berlaku mesum itu terlanjur terbayang-bayang di kelopak matanya, bayangan panas yang menggoda!
Darah panasnya menggelegak meronta-ronta, mendesak matanya agar kembali terbuka melihat kemesuman yang makin memuncak di atas kursi persis di depan di mana tubuh telanjangnya tergeletak lemas.
Keringat dingin mulai merembes dari pori-pori kulit yang bulu-bulu tubuhnya meremang.
“Ah ..., dia membuka matanya, Abah. Hiks ..., hiks!” kata Euis terkikik geli. Tubuh semampainya bergerak-gerak lemah gemulai dipangkuan Si Abah yang sedang asik menyusu di salah satu payudara kencang miliknya. Kedua paha sekalnya terbuka lebar dengan diganjal sebatang tongkat hitam berulir yang seperti hidup kembang kempis. Batang penis perkasa Si Abah. Belahan bibir vagina Euis sudah merekah, merah basah. Dengan posisi tepat menghadap ke wajah Solihin yang mukanya sudah merah padam. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi, tak bisa dipejamkan kembali, napasnya mulai memburu melihat pemadangan indah dari tubuh istri Ki Lurah yang mulus tengah menggelinjang di atas pangkuan seorang kakek tua yang reyot. Sungguh heran hati Solihin saat itu. Sungguh sangat tidak adil pemandangan yang disaksikaannya tersebut.
Dia merasakan sesuatu yang mendesak hebat di ulu hatinya, desakan panas luar biasa. Mendesak turun dari ulu hati, menjalar ke perut, lalu turun ke selangkangannya! Ahhh, pemuda itu merasakan penisnya menegang, maunya ke dua tangannya menekap penisnya yang kurang ajar itu, namun apa daya, dia betul-betul tidak berdaya, tubuhnya lemas, namun penisnya bisa menegang kaku, sungguh kejadian yang luar biasa.
“Engghsssh!” terdengar rintihan penuh birahi dari Euis ketika kepala tongkat hidup Si Abah mengembang dan menyelusup ke lubang vaginanya yang basah berlendir.
Perih mata Solihin yang tak berkedip melihat betapa vagina dari Bu Lurah itu menggembung penuh, menelan sebatang tongkat hitam legam milik SI Kakek Peot tak tahu diri itu.
“Owhhh ..., enghhhsss,” Euis mendesis sambil pinggangnya melentik maju mundur, membuat batang hitam legam itu seperti ular wulung yang tengah menari di lubang rapat. Payudara bulat Euis terayun-ayun menggairahkan sementara ke dua tangannya bertelekan ke tangan kursi yang diduduki Si Abah yang mulutnya bergerak-gerak seperti sedang merapal mantera.
Dada Solihin seakan hendak meledak oleh desakan birahi dari kegiatan mesum pasangan tersebut. Penisnya meronta-ronta, berdenyut ngilu menuntut pelampiasan.
Si Abah mendadak mengangkat pantatnya dengan gerakan menyentak.
“Ugh!” Euis mendongakan wajahnya sambil menggigit bibirnya merasakan desakan penis Si Abah sampai terasa sesak ke ulu hatinya.
Tiga kali sentakan kencang, tiba-tiba Si Abah mengangkat pinggul Euis dengan gerakan tak terduga.
“Plop!” terdengar suara seperti tutup botol terbuka, ketika penis Si Abah yang sudah berlumur lendir putih vagina Euis terlepas.
“Akh!” Euis mengerang kecewa sambil menatap protes ke Si Abah.
“Naiklah ke pemuda itu, tuntaskan hasratmu kepada dia!” perintah Si Abah dengan suara dalam.
“A-apa?” Euis tergagap kaget.
“Cepat!” Si Abah menggeram sambil melotot, matanya berkilat aneh.
Walau pun kebingungan, Euis menurut juga, apalagi ia sedang dalam keadaan tanggung. Dengan langkah lebar ia mendekati tubuh telanjang Solihin yang melotot berkeringat dingin. Bagaimana tidak, tubuhnya yang sedang panas dingin oleh birahi yang meledak-ledak tiba-tiba saja mendapat durian runtuh. Tubuh semampai menggairahkan yang menggodanya kini sedang mengangkang di atas selangkangannya. Menggesek-gesek penisnya hingga terasa geli sekali.
“Akkhhhk!” Solihin mengeluarkan suara seperti tersedak, ketika merasakan benda lunak dan hangat menjepit penisnya, menggesek-gesek penisnya dengan perlahan namun mampu membuat mulutnya mengeluarkan erangan panjang. Erangan penuh kenikmatan yang baru pertama kali dirasakannya. Tubuhnya terasa melambung ringan.
“Abah?” Euis tampak matanya melebar heran, menatap Si Abah yang tengah menyeringai.
Euis menunduk ke arah selangkangannya di mana, penis pemuda itu tenggelam dalam vaginanya yang sudah melonggar akibat sebelumnya dibor oleh penis berulir Si Abah.
Sebelumnya ia tidak terlalu yakin ketika melihat ukuran penis yang tengah mengacung tegak itu tak sebesar penis kesayangannya. Namun karena sedang dilanda berahi yang tanggung, Euis segera menenggelamkan penis pemuda itu ke dalam vaginanya yang gatalnya bukan main. Betul saja, penis itu terasa hanya membuatnya geli saja, namun ketika dalam beberapa gerakan goyangan pinggulnya demi agar penis itu bisa mengeksplorasi seluruh dinding vaginannya, tiba-tiba saja ia merasakan penis itu seperti mengembang dengan cepat. Mengembang sampai membuat vaginanya terasa penuh sesak. Hal itulah yang membuat Euis menghentikan goyangannya dan menatap Si Abah penuh pertanyaan.
“Kau mendapat perjaka tulen, Anakku Sayang! Lepaskan semua hasratmu, kelaminmu telah kuisi mantera untuk membantu menyempurnakan ilmu ghaib yang tadi kumasukkan ke tubuhnya! Puaskan dirimu!” kata Si Abah sambil duduk santai.
“Enghhhs!” Euis mengerang panjang, merasakan penis yang terasa seperti hendak merobek lubang vaginanya itu berdenyut-denyut keras. Dengan napas memburu ia melanjutkan kembali goyangannya dengan penuh semangat.
Dan sepasang manusia yang sedang dimabuk badai birahi itu sama sekali tidak menyadari ketika Si Abah menghilang dari ruangan tersebut karena terganggu kegaduhan di beranda rumah akibat dari datangnya Pak Engkos secara tiba-tiba.

Di saat Euis sedang mengejang menggapai orgasme, Solihin yang tubuhnya tetap lemas tak berdaya turut mengejang. Jari-jari kakinya mengacung kaku, tanda dia sedang dalam keadaan trans, semburan mani yang luar biasa banyaknya menyemprot keras sampai menyiprat dari sela-sela bibir vagina Euis yang menggembung seperti balon sedang dipompa. Solihin terkulai lemas, dia baru saja melepas keperjakaannya di lubang vagina nikmat seorang perempuan matang yang cantik jelita.

Euis tubuhnya ambruk di atas tubuh tegap Solihin. Sungguh puas sekali dirinya bisa merasakan kenikmatan yang lebih dari biasanya ketika bersetubuh dengan Si Abah. Kenikmatan asing yang membuat seluruh tubuh sampai ke ubun-ubunnya merasakan geletar kenikmatan yang tiada taranya. Begtu juga dengan Solihin, dia baru saja menggapai kenikmatan pertama dari persenggamaan penisnya bersama seorang perempuan. Kalau saja dia bisa bergerak, sudah dari tadi dia mendekap erat tubuh mulus yang tengah terengah-engah di atas tubuhnya. Tubuh yang hangat, empuk dan berkeringat! Penisnya terasa ngilu dan masih berdenyut-denyut keras, dijepit dinding-dinding lunak namun kenyal membuat geli sampai menjalar ke seluruh tubuhnya yang juga banjir keringat.

*
Begitulah yang terjadi di hari-hari selanjutnya. Kegiatan-kegiatan mesum penuh birahi berlangsung tak berkeputusan di dalam rumah besar milik Ki Lurah Somad. Bahkan kemesuman itu makin menjadi-jadi, ketika Euis dengan suka hati melayani nafsu birahi dari Solihin dan ayahnya sekaligus. Sunggguh sebuah kegilaan yang sudah melewati batas kelajiman.
Solihin yang sudah dipengaruhi ilmu hitam Si Abah, memang berbeda sifat pengaruhnya seperti yang dialami oleh Bu Entin, ibunya. Pertama kali, betapa dia marah ketika ibunya tanpa malu-malu mempertunjukkan kemesraan kepada Juragan Somad di hadapannya. Namun dalam kendali ghaib Si Abah, Solihin akhirnya dapat menerima kejadian tersebut sebagai suatu kewajaran.

Hingga pada suatu malam, tiga sosok tubuh tergeletak kelelahan di kamar tidur pribadi Euis yang memang terpisah dari kamar tidur Juragan Somad, setelah menikmati badai birahi yang dipacu teru menerus dari sore hari.
Kepala Euis bersandar lelah di atas bahu kokoh Solihin yang memeluknya dengan penuh kemesraan, sementara Si Abah menarik tubuh keriputnya bersandar ke kepala ranjang.
“Aku hamil!” kata Euis tiba-tiba.
Tubuh Solihin dan Si Abah bergerak kaget.
“Betulkah? Kau ..., kau hamil, Anakku Sayang?” Si Abah menegaskan sambil beringsut ke samping tubuh telanjang Euis.
Wajah jelita itu tersenyum sambil mengangguk.
“Anak siapa?” Si Abah dan Solihin saling-pandang. Namun tiba-tiba Si Abah tergelak, tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak perduli anak siapa. Yang pasti aku akan memiliki keturunan untuk meneruskan warisan ilmu-ilmuku!” gelaknya sambil mengelus-elus perut Euis yang masih rata dengan penuh kasih sayang.
Sementara Solihin merubah posisinya agar bisa mencium kening perempuan itu dengan penuh cinta kasih.
Dan di saat kegembiraan sedang berlangsung di dalam kamar tersebut. Mendadak terdengar suara yang menggema panjang merambat ke segala penjuru di rumah tersebut.
“Kang Abidin, keluarlah!” suara itu terdengar halus, namun menggema seakan orangnya berada di sebelah kuping mereka yang mendengarnya.
“Mustofa?” desis Si Abah dengan raut muka berubah. Tubuhnya mendadak lenyap dari atas tempat tidur, tahu-tahu sudah mengenakan bajunya.
“Kalian berdua cepat berpakaian, ikut denganku!” perintah Si Abah tegas.
Dengan tergesa-gesa, Solihin dan euis segera mengenakan bajunya masing-masing, lalu berturut-turut ke luar kamar, di mana di ruangan tengah telah ada Juragan Somad dan Bu Entin yang juga mengenakan pakaian sekenanya.
“Dengar! Musuh besarku telah datang. Aku ingin kalian mengikuti semua perintahku tanpa bantahan!” kata Si Abah dengan suara keren. Kemudian lanjutnya, “Kau Somad, bawa Si Euis dan ibu Solihin pergi lewat jalan belakang. Bawa pergi jauh ke kota, jangan pernah berhenti kalau belum sampai jalan raya. Sementara aku dan Solihin yang akan menghadapi Si Mustofa!”
“Tapi ....” Euis menyela.
“Jangan membantah!” bentak Si Abah. “Aku sudah mempersiapkan segalanya. Di kota kalian akan disambut oleh orang-orang kepercayaanku. Jangan ada pembicaraan lagi cepat pergi!” Si Abah mengibaskan tangannya.
“Lalu Abah?” Euis masih bertanya.
“Anak cerewet! Aku akan menyusul, bahkan bisa jadi aku yang sampai di kota daripada kalian. Pergilah!” Kata Si Abah tegas sambil membalikan badannya setelah memberi isyarat kepada Solihin agar mengikutinya.

Sampai di beranda, terlihat beberapa orang sedang berdiri menunggu di halaman rumah Juragan Somad. Diantaranya adalah pak Engkos yang setengah bulan yang lalu seakan hilang ingatan dan setengah sinting.
Bapa ...! Kiayi?” seru Solihin ketika mengenal bapaknya yang berdiri di belakang seorang pria setengah baya bersorban dan mengenakan jubah serba putih.
“Solihin? Kau sudah sadar, Nak? Mana ibumu?” seru Pak Engkos hendak melangkah maju. Namun pria bersorban yang ternyata adalah Kiayi Mustofa menahannya.
“Jangan dulu, Engkos. Solihin sedang dalam keadaan tidak wajar! Tunggulah!” kata Kiayi Mustofa lembut.

Di beranda sana, Si Abah bertolak pinggang sambil berdiri pongah.
“Ha-ha-ha ..., kita bertemu lagi, Mustofa! Kau sugguh tidak berharap, Bukan?”
“Sadarlah, Kang Abidin. Nafsu selalu membuat sesat pikiran orang. Namun jangan takut, Gusti mempunyai lautan ampunan asal hambanya benar-benar memohon ampun!”
“Jangan berkhotbah, Mustofa! Dendamku tak akan padam selama tubuhmu belum menjadi bangkai!” bentak Si Abah dengan mata berkilat penuh amarah.
“Kalau aku memang bersalah kepadamu, baiklah, seperti dulu, aku memohon maaf kepadamu. Marilah ..., marilah bersamaku kembali ke pesantren mengurus warisan ayah kita yang beliau tentu akan berbahagia di alam sana ketika menerima do’a darimu, Akang!” sahut Kiayi Mustofa tenang.
“Muak aku mendengar ocehanmu, Mustofa. Solihin ...,” Si Abah menoleh ke Solihin yang berdiri di sampingnya. “Majulah, Nak. Bungkam mulut tua bangka itu!” katanya sambil menepuk pundak pemuda itu.
Solihin merasakan tubuhnya tiba-tiba menjadi menghangat, lalu memanas. Wajahnya berubah merah padam dengan mata berkilat nyalang.
“Hmmmrrrh!” dengan geraman macam macan hendak mengamuk, pemuda itu maju menuruni beranda hingga tiba di hadapan Kiayi Mustofa yang masih berdiri tenang.
“Solihin! Jangan kurang ajar!” Pak Engkos membentak marah.
“Kalian mundurlah, berjaga-jaga!” Kiayi Mustofa mengibaskan tangannya ke belakang. Dua orang santri serta Pak Engkos merasakan tubuhnya seperti terdorong oleh satu kekuatan kasat mata. Kiayi sakti itu merasakan hawa panas yang berhembus kering keluar dari tubuh pemuda itu. Jelas bahwa Solihin telah dijadikan tameng untuk melawannya.
Dalam jarak lima belas langkah, Pak Engkos melihat anaknya penuh kekhawatiran.
“Mampus kau kiayi!” Solihin tiba-tiba menggereng sambil maju menerjang. Namun kiayi Mustofa yang tenang segera berkelit menghindar, tubuhnya seperti daun kering, melayang-layang terhembus setiap angin pukulan dari Solihin yang bertubi-tubi memburunya.
Si Abah yang masih menyaksikan dari beranda segera maklum, bahwa pemuda itu tidak akan sanggup melayani musuh besarnya. Namun dia jelas malu kalau harus terjun membantu dan mengeroyok kiayi itu. Nama besarnya tentu akan jatuh kalau sampai berita itu tersebar di luaran.
“Hm ..., aku harus menghabisi dulu yang tiga orang itu sebelum aku membantu Si Solihin!” gumam Si Abah dalam hatinya.
Diam-diam dia merapal mantera sebelum berkelebat seperti bayangan iblis, melakukan serangan bokongan ke Pak Engkos dan dua orang santri yang sedang menonton di pinggir halaman.
“Curang!”
“Pengecut!”
Terdengar makian dari dua orang santri yang kalang kabut menghindar ketika sebuah bayangan seperti kelelawar besar menerjang mereka.
Tenaga ghaib Si Abah yang memangg dibantu makhluk kasat mata jelas bukan tandingan tiga orang itu. Sebentar saja, Pak Engkos dan dua orang santri itu sudah kewalahan melayani orangtua itu yang seperti mampu memperbanyak tubuhnya. Puluhan wujud Si Abah seperti berbalik mengepung mereka bertiga.
Abah Abidin tidak tanggung-tanggung dalam mengerahkan ilmu hitamnya, dia khawatir Kiayi Mustofa berhasil lebih dulu menaklukan Solihin. Di saat tiga orang lawannya sedang sibuk melayani serangan-serangan palsu dari bayangannya, dalam tiga gerakan cepat luar biasa, Si Abah menyerang ketiganya dari arah yang tidak diduganya.
“Akhhh!” tiga teriakan panjang yang mengerikan terdengar menggema sampai jauh. Diikuti ambruknya tubuh Pak Engkos dan dua santri dengan dada terkoyak lebar. Darah menyembur dari luka tersebut.
“Engkos! Muhdar! Cucun!” teriak Kiayi dengan wajah berubah pucat.
Dia tidak menyangka bahwa Abah Abidin akan menurunkan tangan begitu kejam terhadap ke tiga muridnya. Dengan hati berduka, Sang Kiayi mengeluarkan suara lengkingan menggiriskan. Dengan gerakan cepat luar biasa, tangannya menangkap tubuh Solihin lalu menguncinya. Satu tangan lain yang bebas, menekan dada Soihin, mengerahkan tenaga murni yang dimilikinya mendesak hawa hitam dari Abah Abidin.

Abah Abidin melihat Solihin yang ditangkap dengan mudah oleh musuh besarnya itu, maklum apa yang tengah dilakukan oleh Sang Kiayi. Dengan gerengan murka, dia mengambil kesempatan saat Kiayi Mustofa tengah berkutat dengan hawa hitam yang tengah menguasai Solihin.
Desssh!
Telapak tangan keriput Abah Abidin menghajar telak punggung Kiayi Mustofa yangg tengah mengunci tubuh Solihin.
Dua sosok tubuh mencelat mental. Solihin terlepas dari kuncian Kiayi Mustofa, tubuhnya berguling-guling sambil mengejang kaku.
Solihin mengerang penuh penderitaan. Tubuhnya seperti tengah dicelupkan ke bara api. Panas luar biasa. Kemudian berganti menjadi dingin sampai ke tulang. Tubuh pemuda itu berguling-guling sambil mengeluarkan suara mengorok.

Sementara di arena pertarungan, Kiayi Mustofa bangkit berdiri. Dari sela mulutnya merembes darah kental berwarna hitam. Tanpa mempedulikan luka dalamnya, orangtua ini berpikir, bahwa dia harus menaklukan dulu kakak seperguruannya ini sebelum kembali mengobati Solihin.
“Ha-ha-ha ..., kematianmu sudah di depan mata, Mustofa! Tak ada ampunan lagi sekarang!” geram Abah Abidin terbahak-bahak.
Kiayi Mustofa merasa sudah tidak ada gunanya lagi beradu omong dengan orangtua itu yang sudah jauh tersesat. Dengan langkah berat, dia memusatkan seluruh tenaga murninya sambil berdzikir tanpa putus-putusnya.

Dua jago tua saling berhadapan. Sementara di langit gelap, kilat dan guntur mulai saling bersahutan. Tanda hujan besar akan kembali turun.
“Shaaat!” dua bentakan dahsyat yang bersamaan dengan kelebat kilat yang menyambar puncak pohon beringin di sudut halaman rumah Juragan Somad, terdengar keras mengaung.
“Duarrrr!”
Bumi bergetar, seakan baru diguncang gempa lokal.
Satu cahaya kilat menyilaukan melesat menyebar ke segala arah dari benturan dua kekuatan ghaib dari dua jago tua tersebut.
Dua pasang telapak tangan melekat erat. Dua tenaga ghaib yang dahsyat sekali mengalir saling dorong. Sepasang mata dari Abah Abidin serta Kiayi Mustofa saling melotot dengan urat-urat bertonjolan dari dahi dan leher mereka.
Tubuh keduanya melayang setengah meter dari atas tanah.

“Arrrgggh!” di sudut lain terdengar suara raungan dahsyat.
Tubuh Solihin melengkung dengan otot-otot yang bersembulan menahan sakit dari dua hawa bertolak belakang yang bertempur saling desak di dalam tubuhnya. Lalu dlam satu gerakan tiba-tiba, tubuh Solihin berdiri kaku, keringat sebesar-besar kacang kedelai mengucur dari seluruh tubuhnya. Mulut pemuda itu menggembung penuh. Yang kemudian terbuka lebar dengan mengeluarkan satu raungan yang menggetarkan jiwa.
Bersamaan dengan hujan deras mengguyur tempat itu, tubuh Solihin melesat. Menerjang dua jago yang tengah berkutat dalam pertaruhan hidup mati.

“Blarrr!”
Satu ledakan dahsyat kembali mengguncang lereng gunung tersebut.
Dua tubuh melayang ke arah yang berlawanan bagaikan dua lembar daun kering, lalu jatuh tanpa sanggup bangkit lagi.
Abah Abidin dan Kiayi Mustofa menatap dengan mata terbelalak tak percaya ke satu sosok tubuh yang berdiri terhuyung-huyung di tengah arena. Tubuh hampir telanjang karena pakaian yangg dikenakannya telah hancur lebur.
Dua jago tua itu menyemburkan darah kental di bawah tatapan nyalang Solihin. Namun tatapan nyalang itu berangsur-angsur pulih, menyisakan ketakutan yang luar biasa ketika melihat sosok orangtua bersorban putih yang sangat dihormatinya terkulai lemas di atas tanah yang mulai basah oleh air hujan.

“Dahsyat! Benar-benar dahsyat! Ha-ha-ha!” terdengar Abah Solihin terbahak-bahak sebelum menyemburkan kembali darah kental. Dan tubuh tua itu ambruk tak bernyawa dengan mulut menyeringai mengerikan.

“Kiayi!” Solihin berlari memburu kemudian memangku tubuh lemas dari Kiayi Mustofa yang wajahnya terlihat sangat pucat.
“Kk-kau sudah sadar, Nak?”
“A-aku tidak mengerti, Kiayi!” kata Solihin kebingungan.
Kiayi Mustofa mencoba tersenyum, “Aku sebentar lagi akan meningggalkan dunia fana ini, Nak. Dd-di rumahmu, a-aku meninggalkan Fatimah. Bb-bawa ia kembali ke pesan-treeen ..., ting-tinggalkan tempat i-ini sss-segera. A-akan ada ben-ca-naaa besar menimpa ...,” kiayi Mustofa menghentikan ucapannya ketika merasakan hawa panas dari tubuh pemuda itu yang sedang memangkunya. Matanya yang sudah buram menyiratkan rasa khawatir yang teramat sangat.
Tubuh Solihin tiba-tiba mengejang. Mulutnya menggembung. Lalu;
Krek! Krek! Terdengar suara tulang remuk. Tubuh Kiayi Mustofa seakan hancur dalam pelukan Solihin yang sedang dikendalikan tenaga liar yang sangat dahsyat.
Sesaat kemudian pemuda itu kembali pulih keadaannya. Tubuhnya terhenyak ketika melihat Kiayi Mustofa sudah tak berbentuk dalam pangkuannya.
“A-apa yang barusan kulakukan?” pemuda itu meraung-raung di tengah gelegar guntur dan kilat cahaya petir.
“Terkutuklah aku!” teriaknya melengking.
Lalu dengan gerakan luar biasa entengnya, Solihin melesat pergi menembus kegelapan. Meninggalkan lima tubuh yang sudah tak bernyawa di halaman rumah Juragan Somad yang kosong.

*

Brak!
Pintu rumah tersebut seperti baru diseruduk badak. Terbuka lebar, ketika sesosok tubuh hampir telanjang basah kuyup masuk dengan terhuyung-huyung.
“Aih!” terdengar seruan kaget dari dalam rumah melihat sosok yang baru masuk itu langsung ambruk tak sadarkan diri.
Solihin membuka matanya ketika merasakan ada yang hangat di dahinya. Melihat seraut wajah bulat telur sedang menatapnya dengan khawatir.
“I-ibu Fatimah?” Solihin mencoba bangkit. Tubuhnya terasa luluh lantak.
“Kau pingsan, Nak. Di mana, Kang Mustofa? Ayahmu dan yang lainnya? Kenapa mereka belum kembali?” terdengar suara lembut dari sosok perempuan yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu. Ia bukan lain adalah Fatimah, istri dari Kiayi Mustofa yang memang datang pada saat yang tepat.
Hampir sepuluh tahun Solihin berada di pesantren, dirawat dan dibesarkan oleh Kiayi Mustofa berserta Fatimah yang memang pernikahan mereka belum dikaruniai anak. Namun ada satu kejadian memalukan yang membuat Kiayi Mustofa terpaksa mau tidak mau, menyuruh Solihin kembali ke rumahnya.
Dan Kiayi Mustofa datang ke dusunnya Solihin adalah dikarenakan datangnya utusan dari pak Engkos yang meminta air berkah untuk kesembuhan Solihin yang terkapar pingsan tanpa bisa sadar kembali. Mendengar Solihin sedang sakit, mengingat anak itu pernah dirawat elama hampir sepuluh tahun, didorong rasa sayangnya, Fatimah merengek agar diperbolehkan ikut untuk menengok pemuda itu.
Begitulah yang terjadi selanjutnya. Kiayi menyembuhkan kembali Pak Engkos yang terpaksa dipasung warga karena sering mengamuk. Hingga kejadian dahsyat yang terjadi di rumah Juragan Somad.

“Kiayi? B-bapa?” mata Solihin berubah ketakutan ketika kilasan demi kilasan dari peristiwa yang dilaluinya barusan. Dia jelas telah membunuh kiayi Mustofa walau pun bukan karena sengaja. Tapi tetap saja dia yang membunuh pimpinan pesantren itu. Apa yang harus dikatakannya ke istri dari kiayi itu. Begitu lah hati Solihin berkata-kata.
“Nak? Kau kenapa?” Fatimah menyentuh dahi Solihin yang terasa panas.
“I-ibu ..., menjauhlah. Jauhi akkh-khuuu!” seru Solihin panik, ketika merasakan kembali hawa panas yang menyerangnya.
Fatimah tampak kebingungan. Pemuda itu tentu sedang mengigau akibat panas yang menyerang tubuhnya. Dengan penuh kasih sayang, perempuan itu mengambil kain kompresan yang berada di dahi Solihin yang dengan cepat mengering. Menelupkan ke ember, memerasnya lalu menaruhnya kembali di dahi pemuda itu yang kini matanya membeliak lebar, tubuhnya mengejang kaku.
“Hrrrggghhh!” sekuat tenaga Solihin menahan hawa panas yang menyiksanya.
“Naak, kau kenapa? Sadarlah!” Fatimah mengguncang-guncangkan bahu Solihin yang mengejang-ngejang.
Kesadaran Solihin kembali tenggelam dalam pergolakan dua tenaga aneh yang menguasai tubuhnya.
Tiba-tiba mata Solihin terbuka lebar, pupilnya berwarna merah darah.
“Auh!” Fatimah menjerit kaget ketika bahunya dicengkram kencang oleh Solihin. Lalu;
Bret! Bret! Bret!
Sebentar saja baju yang dikenakan istri Kiayi Mustofa itu telah dikoyak-koyak jari-jari baja pemuda itu.
“A-apa ..., apa-apaan. Ohhh!” Fatimah menjerit kaget. Mencoba meronta ketika Solihin mendekapnya sambil mendengus-dengus dengan napas memburu. Dalam satu bantingan saja, tubuh Fatimah yang hampir telanjang itu telentang tak berdaya dalam kuncian Solihin yang menggeram-geram penuh nafsu.
“He-hentikan ..., sadarlah, Nakkk. Aku ..., uhhh!” mata Fatimah membeliak, hampir pingsan rasanya ketika satu sodokan benda menghunjam vaginanya, memaksa masuk tanpa permisi.
Prrrt! Prrrt!
“Shaaak-kiiit ..., hentikaaan!” rintih Fatimah, air matanya mengalir deras. Air mata ketakutan dan kesakitan akibat lubang kewanitaannya dikoyak-koyak penis Solihin yang besarnya bukan kepalang. Fatimah meronta-ronta lemah, mengerang dan mengejang. Dua bukit kembarnya berayun-ayun tumpah ruah dalam desakan-desakan kencang pantat Solihin yang mengamuk.
“Hrrrhhh! Hrrhhh!” Solihin menggeram-geram sambil mendengus dengan deru napas panas menerpa leher dan dada Fatimah yang terisak-isak ketakutan.
Selangkangannya terasa sangat sakit sekali, merenggang lebar ditahan oleh lutut Solihin, sementara dinding-dinding vaginanya yang belum siap menerima tusukan penis sebesar itu otot-ototnya meregang kaku. Namun karena memang vagina diciptakan begitu elastis, setelah beradaptasi beberapa saat, kini otot-otot vaginanya mulai bereaksi menerima desakan dari penis besar berulir itu.
“Uhhuuhh ...! Uhhhuuuh!” dalam isaknya Fatimah mulai mengerang dan merintih. Walau pun masih terasa perih, namun urat-urat kenyal penis Solihin terlah berhasil membangkitkan birahi perempuan itu sedikit demi sediikit. Lendir birahi mulai membanjir, merembes dari bibir vagina, melumuri batang kekar penis Solihin yang terus menghunjam dalam.
Mata bening yang bersimbah air mata itu perlahan mulai sayu, rasa geli dan ngilu dari gesekan-gesekan penis Solihin membuat Fatimah hampir-hampir tenggelam dalam samudera nikmat yang tengah diamuk badai. Ombak-ombak birahinya mulai mengalun susul menyusul.
Solihin telah melepaskan kunciannya pada tangan Fatimah yang kini sudah tak meronta lagi. Rintihan dan desahan malah terdengar dari bibir basah yang terus mengerang.
Sepasang payudara montok padat itu kini menjadi sasaran mulut Solihin yang dengan rakus mengunyah daging kenyal itu.
“Owhhh!” rintih Fatimah sambil pinggulnya bergerak menggimbangi genjotan-genjotan kasar Solihin yang masih dikuasai hawa ghaib. Hingga ke dua tangan istri Kiayi Mustofa itu tiba-tiba memeluk erat tubuh Solihin sambil mendesah panjang. Dinding-dinding vaginanya berkedut-kedut cepat, otot-ototnya mengejang meremas dan menghisap penis Solihin yang juga turut berkedut.
“Ooohhhsssh!” dua tubuh melengkung lentur. Pinggul mereka saling menekan. Ketika dua semburan lahar panas membanjir memenuhi vagina yang sudah menggembung sesak tersebut.
Fatimah menancapkan gigi-giginya ke bahu Solihin sambil memeluknya erat-erat. Matanya terpejam menikmati orgasme luar biasa yang baru dirasakannya.
Dua tubuh saling bertindihan banjir keringat. Sebelum terdengar teriakan serta kentungan mengembalikan kesadaran mereka.
“Longsorrr! Gempaaa!”
Solihin meloncat dari tempat pembaringan dengan wajah pucat.
“I-ibu Fatimah? A-apa yang kulakukan?” Solihin melolong pedih. Meremas kuat rambutnya dalam kesedihan luar biasa.
Fatimah meringkuk dengan isak tangis yang tertahan.

Tiba-tiba.
Krak!
Terdengar suara kayu patah. Diikuti rumah yang bergoyang-goyang. Suara derak terdengar dari setiap sudut rumah.
“I-ibu ..., rumah ..., rumah mau runtuh!” Solihin berseru keras.
“Pergilah! Biarkan aku mati di sini! Pergi kamu!” terdengar Fatimah berteriak sambil menangis.
“Tidak, Ibu. Jangan! A-aku menyesal, aku mohon maaf, aku ..., ayo Ibu,” Solihin terburu-buru mengenakan pakaiannya. Namun ketika melihat Fatimah masih juga meringkuk sambil menangis. Solihin akhirnya nekad, mengambil kain selimut, membungkus tubuh telanjang istri Kiayi itu yang langsung meronta-ronta sambil memaki-makinya. Namun Solihin tidak memperdulikannya, tubuh yang terbungkus kain itu segera dipondongnya tepat ketika rumah semi permanen itu ambruk.
Solihin menerobos atap rumahnya, dengan enteng meloncat keluar. Di luar hujan masih deras, sementara suara kentongan tanda bahaya terus bertalu-talu.
Bruk!
Dalam pekatnya keggelapan malam. Terdengar suara derak pohon yang ambruk disertai gelegar dan tanah yang bergetar.
Solihin mengandalkan ingatannya akan posisi dusunnya. Dengan fatimah dalam pondongannya, Solihin meloncat-loncat ke arah selatan di mana tempat itu seingatnya merupakan tanah yang landai tempat para penduduk mengangon ternaknya.
Solihin yang khawatir tidak berhenti sampai di situ saja. dia terus berlari menjauh dari longsor besar yang menimpa dusunnya.
Solihin terus berlari dan berlari.

Bersambung ke BAB II

:ampun: :ampun: :ampun:
:beer: :Peace:
 
anjir mantep banget oom ceritanya ...
perpaduan silat-pesantren-birahi itu emang selalu bikin tegang maksimal ...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd