Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nafsu Para Lelaki Paruh Baya

Status
Please reply by conversation.
premisenya menjanjikan kayanya...ide orisinil dengan tema yg lagi hot
semoga segera kelar

semoga alur ceritanya sesuai yg ane harapkan, rohimin n nia dipaksa karantina mandiri sekamar,
masuk kamar positif covid
keluar kamar udah positif hamil ;)
 
BAGIAN 3

"Aduh kok Aku bisa sampai lupa ya"
"Mau gak mau harus panggil Ardian deh...", ucap Nia terkurung di dalam kamar mandi karena ia lupa membawa baju ganti. Jalan satu-satunya seperti biasa, jelas meneriakki Ardian.

"Ardian! Sayang! Tolongin Mama dong!"
"Ardian!"

Pak Rohimin yang duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV dan sesekali mengunyah kue kering yang berada di toples, cukup terusik dengan teriakkan Nia. Pun Ardian tidak juga muncul menyahuti panggilan Mamanya. Maka, Pak Rohimin mencoba membantu Nia dengan menyahuti Ardian juga.

"Ardian! Itu kamu dipanggil Mamamu tuh!"
"Hoi! Ardian!", karena tak ada respon Pak Rohimin mengira lebih baik dirinya saja yang mendatangi Nia. Siapa tahu Ardian memang sedang tidak bisa diganggu. Kalau tidak salah, ini juga masih jam sekolah daringnya.

TOK TOK TOK
"Iya Nia, mungkin Ayah bisa bantu kamu?"
"Ada apa?"
"Anakmu lagi serius belajarnya..."

Nia awalnya lega dengan ketukkan pintu kamar mandi, karena Ia mengira itu Ardian. Mendengar suara parau Ayah mertuanya, buyarlah semuanya.
"Haduh Ardian..."
"Kamu lagi ngapain sih sayang..."
"Mama kok dicuekkin gitu..."

"Bagaimana Nia? Apa yang perlu dibantu?!"

"Enggak jadi, Yah.."
"Enggak usah, udah beres kok!"

"Ooh, wes kalau gitu, Ayah balik nonton lagi..."

Nia tak ada pilihan lain, ketimbang diterpa masuk angin, Ia lalu membelitkan handuk di tubuh semoknya yang baru saja dibersihkan. Untungnya, ia masih ingat untuk membawa handuk. Jika tidak, tak tahu ia harus bagaimana. Dengan rambut panjang yang masih lepek, Nia membuka pintu kamar mandi perlahan. Dilihatnya Ayah mertuanya sedang menonton televisi. Nia berharap ketika ia berjalan menuju kamarnya tidak mengundang perhatian Ayah mertuanya. Susahnya, kamar Nia hampir berdekatan dengan ruang tamu itu sendiri. Sudah hampir pasti Ayah mertuanya akan melihat Nia dengan tubuh terlilit handuk seperti ini. Pikirnya ia hanya mampu memeluk pakaian bekas kantornya sehingga bagian depan tubuhnya tidak santer seluruhnya terekspos. Nia tak ambil pusing. Ia segera buru-buru berjalan ke arah kamarnya dengan ketidakpedulian Ayah mertuanya bakal melihat atau tidak. Yang jelas ia ingin segera berpakaian.

Menyadari ada derap langkah yang berjalan mendekat, Pak Rohimin mengalihkan pandangannya dari TV. Ia lantas terperangah mengamati Nia jalan tergesa-gesa berbelit handuk dan memeluk pakaian yang berada dalam pelukannya. Dengan rambut kebasahan, Nia meninggalkan jejak becek dari setiap langkahny. Seumur-umur, ini pertama kali Pak Rohimin melihat Nia dalam kondisi tak mengenakan busana utuh. Batinnya berdecak. Kepalanya menggeleng-geleng memerhatikan bodi milik Nia yang benar-benar montok dan sekel. Sedikit ia berharap handuk yang membekap tubuh nia terjuntai tiba-tiba. Bukan main pasti girangnya. Akan tetapi, boro-boro, beradu pandangan saja antara Pak Rohimin dan Nia juga tidak. Pak Rohimin menyadari mungkin menantunya malu sehingga memalingkan muka. Masih beruntung Pak Rohimin bisa melirik beberapa menit punggung mulus Nia.

"Man, Lukman,..."
"Coba kamu dari dulu ndak larang-larang, bapakmu ini kawin lagi, man..."
"Gak begini juga kan jadinya...", gumam Pak Rohimin selesai Nia masuk ke kamar.

Sementara itu, di balik pintu yang sudah ditutup rapat-rapat, Nia akhirnya bisa bernafas lega. Meski saat berjalan menuju kamar tadi, Nia mengetahui sorot mata Ayah mertuanya sempat melirik. Namun, ia abaikan saja. Lagipula kondisi sudah terlanjur seperti itu. Nia juga tidak tahu harus berbuat apa. Mana mungkin ia harus bertahan lama di dalam kamar mandi. Nia lalu segera berpakaian lengkap karena tak lama lagi tim medis yang akan melakukan tes SWAB kepada Ayah mertua dan anak kandungnya akan datang ke rumah.

"Puyeng, haduh..."
"Ruwet, ruwett, ruwet..."
"Piye, musti bagaimana sekarang", keluh Pak Rohimin tontonannya semakin tidak menarik, berujung ia mematikan televisi. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Pak Rohimin kehabisan pilihan, tak lain tak bukan aktivitas yang bisa dilakukannya sekarang adalah tidur.

Beranjak seraya berjalan ke kamar mandi, Pak Rohimin belum hilang ingatan. Ia acap terbayang-bayang dengan tubuh menantunya yang hanya terbungkus handuk tadi. Pak Rohimin betul-betul belum puas melihatnya, ingin sekali kejadian itu terulang kembali. Tapi apakah mungkin?!


=¥=

"Saya mohon Mas Lukman..."
"Beneran diganti besok..."
"Beneran gak bohong, saya"
"Sumpah!"

"Besok... Besok... Selalu bilangnya besok"
"Faktanya, belum ada yang kamu bayar"
"Mending kamu cari kerjaan, Her"
"Kalau begini terus, hidup kamu gak akan pernah maju..."
"Numpukkin utaaaaanggggg aja..."

"Ya mau bagaimana lagi sekarang, Mas"
"Untuk saat ini saya belum menemukan jalan keluarnya"
"Mas Lukman, tolonglah...", Heri memelas pada kakak iparnya. Ia adalah adik kandung dari Nia.

"Kalau Mbakmu tahu soal utangmu ini"
"Bisa-bisa diamuk kamu!"

"Jangan sampai tahulah, Mas..."
"Bagaimana? Bisa kira-kira gak?"
"Tolong diusahakan Mas..."

"Kamu gak malu sama istrimu"
"Banting tulang tiap hari, eh kamu minjam duit meluluk..."
"Sadarlah, Her...", Lukman kekeuh tidak mau meminjamkan uangnya, utang kemarin-kemarin saja nyaris belum ada yang dilunasi oleh Heri.

"Aku bukannya gak mau lunasin..."
"Tapi uangnya belum ada Mas"
"..."
"Capek saya memohon terus..."

"Loh, justru saya yang capek minjemin duit, Her..."
"Malah kamu yang gerutu..."
"Gak ada syukurnya kamu..."

GLEG,
Lukman memutuskan sambungan teleponnya dengan Heri. Kerjaan kantornya jauh lebih penting untuk dituntaskan. Kemudian Lukman kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan berkas yang berada di atas meja kerjanya. Heri yang mencoba menghubungi kembali tidak diacuhkan oleh Lukman. Sepatutnya orang seperti Heri sesekali diberi pelajaran bahwa mendapatkan uang tidaklah mudah, apalagi modalnya hanya mengutang saja. Heri (33 tahun) dahulunya merupakan seorang personalia di sebuah perusahaan telemarketing. Karena hobinya berjudi, gemarlah ia berhutang. Pintarnya dia, tak sampai menyentuh uang istrinya. Sialnya musim wabah Corona ini, perusahaannya terpaksa pailit. Ia terkena dampak pemutusan hubungan kerja. Hutangnya menggantung begitu saja, terutama yang paling banyak dihutangi adalah Lukman.

Lukman tidak mengira ia bakal ditipu oleh Heri yang pada awal meminjam konon mau menggunakannya untuk modal usaha. Bodohnya Lukman, percaya-percaya saja. Sebab beberapa kali belum dibayar, barulah ia mulai curiga dan mengetahui kalau Heri menggunakan uang pinjamannya untuk modal berjudi. Sungguh disayang, Heri memiliki istri yang kariernya cukup baik di perusahaan farmasi kini harus menggantungkan hidup pada istrinya. Istrinya, Yanti (30 tahun) memahami saja bahwa suaminya sedang kurang beruntung saat kondisi pandemi ini.

Dering dan getar ponsel berikutnya, Lukman hampir saja mengabaikan, dia mengira Heri terus mengontaknya, padahal Nia, istrinya, yang berusaha mengontak. Lukman lekas mengangkat panggilan tersebut.

"Kok lama banget angkatnya...?"

"Maaf, Aku lagi beresin berkas"
"Kenapa Ma?"

"Oo gitu, iya nih, aku ada kabar buruk"
"Tapi kamu jangan kaget ya dengernya, Pah..."

"Kabar buruk apa? Ya kalau kaget, kaget aja Maa.."
"Ini aja aku udah kaget kamu mau kasih tahu kabar buruk..."

"Yah, Papa..."
"Mama jadi males deh ngasih tahunya"

"Ngomong aja, aku kaget, ya tapi tahu sendiri kan..."
"aku kan orangnya gak panikan apalagi emosian"

"Hmmm, iya, Papa tahu kan 2 hari yang lalu Mama ikut tes SWAB..."

"Iya... terus bagaimana hasilnya?"

"Maaf ya Pa, hasil tes Mama positif kena virus..."
"Mama jadi bingung nih sekarang.."

"Sekarang kamu gak usah bingung, Maa, tetep tenang"
"Papa yakin Mama bisa sembuh, yang terpenting sekarang Mama udah beli vitamin sama suplemen, belum?"
"Oh ya Mama ngerasa ada gejala gak?"

"Gejala sih gak ada Pa, palingan batuk sedikit..."
"Papa musti tes-SWAB ya?"

"Iya, Papa nanti sempetin pulang dari kantor untuk SWAB"
"Kamu jangan lupa beli vitamin sama suplemen yang lain ya..."

"Iya Pa, nanti aku pesen online aja..."
"Oh iya, Ardian sama Ayah juga bentar lagi mau SWAB"
"Aku nyuruh tim medis yang bisa SWAB di rumah..."

"Woah, bagus dong, semoga mereka hasilnya negatif ya..."
"Oh ya kamu jangan lupa pakai masker di rumah, jaga jarak juga sama ardian dan ayah untuk sementara waktu ini..."

"Iya, kasian kalau sampai Ayah dan Ardian kena..."
"Papa gak mau SWAB di rumah aja?"

"Kelamaan kalau nunggu Papa"
"Biar papa pulang dari kantor usahain cari tempat tes SWAB"

"Baiklah kalo gitu, papa udah makan siang?"

"Udah kok Maa, Mama sendiri bagaimana?"

"Mama juga udah kok Paa.."
"Papa hati-hati ya di kantor, jaga jarak sama temen di kantor, jangan sampai kena kayak Mama"

"Iya, pasti Aku tetep jaga protokol kesehatan"
"Mama, Papa kerja dulu yaaa..."

"Iya Paa..."
"Hati-hati pulangnya nanti"

Bertambahlah pikiran Lukman. Pekerjaannya belum selesai, kini ia harus mendapati kabar istrinya terpapar virus COVID-19. Mendadak tubuhnya menjadi tidak enak badan. Lukman mengira ini hanya karena dia terlalu mencemaskan dirinya karena mendengar istrinya terkena CORONA. Alhasil, sugesti negatif merasuki pikiran Lukman. Untuk mengusir hal itu, Lukman memusatkan diri pada pekerjaannya. Kemudian sepulang kantor segera untuk tes SWAB agar pikirannya bisa tenang.


=¥=

"Alhamdulillah ya, Papa hasilnya negatif"
"Semoga Ayah sama Ardian besok hasilnya juga negatif"

"Aaamiin"
"Yaudah Mama istirahat ya, jangan lupa diminum vitamin sama obatnya..."

"Iya Paa..."
"Ardian udah tidur?"

"Udah daritadi Maa.."

"Semoga dia bisa ngerti ya sama kondisi kita..."
"Coba aja, Mama tadi mintanya yang hasilnya cepet keluar"
"Kan gak harus nunggu besok.."

"Ardian kan bukan anak kecil yang umurnya 10 tahun"
"Dia paham betul kok sama kondisi Mama, itu kenapa dia mau berbagi tempat tidur sama Papa"
"Mama gak usah banyak pikiran deh..."

"Sabar yaa Paaa..."

"Iya, Aku sebagai suami emang harus begitu..."
"Yaudah, Mama tidur ya sekarang, Papa juga mau tidur nih..."

"Iyaa, yukk..."

Keluarga itu sedang saling mendoakan satu sama lain, bertegur sapa hanya melalui telepon sedangkan sedang berada dalam satu rumah. Nia untuk kali ini harus bersabar dulu karena musti menjauh dari suami dan anaknya sementara waktu. Oleh karena itu, mereka tidak bisa bertemu muka, berkomunikasi menggunakan ponsel masing-masing. Berbeda dengan yang ada di benak Nia, Lukman, dan Ardian. Sebaliknya Pak Rohimin sama sekali tidak memikirkan hasil tes SWAB yang jelang sore tadi hampir menyiksa dirinya. Beberapa kali Ia mengaduh sakit ketika hidungnya dikoyak oleh benda yang menyerupai sedotan kecil.

Lain daripada yang lain, seraya menyambut kantuknya datang, Pak Rohimin justru belum sirna juga pikirannya dari kejadian tadi siang. Tubuh gemulai Nia kecantol di otaknya. Diperparah, alat kejantanannya mulai ikut mikir. Pusinglah Pak Rohimin. Kantuk tak juga nyangkut, batang penis yang lama terkulai, akhirnya bangun juga dengan waktu yang cukup lama. Biasanya hanya sebentar kala melihat sesuatu yang menggiurkan birahi, seperti penampilan wanita seksi di TV atau lewat saja saat berada di luar rumah. Namun ini, menantunya sendiri...

"Uhuk... Uhuk..."
"Sampai tersedak aku, ndak biasa-biasanya batuk begini...", Pak Rohimin menenggak liur hingga tersedak ketika sedang diam-diam membayangkan Nia yang habis mandi tadi siang.


=¥=

No Rekam Medis: 588/321/PCR/ClC
Pasien: Ardian Kurniawan
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, xxxxxx
No. KTP: -
Jenis Pemeriksaan: SARS-COV-2
Hasil: Negatif

No Rekam Medis: 585/321/PCR/ClC
Pasien: Rohimin Danoeredjo
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir: Purwokerto, xxxxxx
No. KTP: -
Jenis Pemeriksaan: SARS-COV-2
Hasil: Positif



BeRsAmBuNg
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd