Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nafsu Para Lelaki Paruh Baya

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 4


Untuk pertama kalinya sebelum berangkat kerja, Lukman mampir ke Apotek. Antrean belum ada, malahan dia yang membangunkan petugas apotek yang konon buka 24 jam. Lukman sudah laporan ke kantor bahwa hari ini ia akan datang terlambat karena harus mengurus istri dan ayahnya terlebih dahulu yang Subuh tadi diinformasikan Positif COVID-19. Lukman membaca daftar obat atau vitamin yang dikirimkan via chat Whatsapp oleh Nia. Ia sepatutnya tidak mengetahui jenis obat yang tidak berlabel vitamin. Kata Nia, obat itu adalah antibiotik. Lukman percaya-percaya saja. Lagipula Nia mendapatkan resep itu dari dokter di kantornya.

Ardian ikut bersama Papanya, ia duduk di kursi apotek yang berbanjar-banjar dari depan ke belakang. Ketika Lukman berdiri menghampiri petugas apotek, Ardian memerhatikan televisi yang menyala, kadang-kadang melihat kursi-kursi yang bertanda silang. Ardian memilih ikut bersama Papanya karena ia takut dengan virus yang sudah mengepung rumahnya. Ketakutan itu menguat setelah kakek dan Mamanya jelas terjangkit virus. Ardian bingung bagaimana dengan kegiatan hariannya hari ini. Terlebih, Papanya harus tetap pergi bekerja.

"Kamu yakin obat ini cocok untuk Ayah?", Lukman terpaksa menghubungi Nia karena salah satu obat harus menggunakan resep dokter.

"Aku juga kurang tahu sih, Pah"
"Tapi kebanyakan emang bener banyak dikasih obat itu"

"Ya, aku percaya, masalahnya Ayah cocok gak kira-kira?"
"Aku khawatir obat ini musti hati-hati penggunaannya untuk orang tua"

"Gak tahu deh, terserah Papa aja mau beli apa gak"

"Loh kok jadi gini sekarang"
"Mending kamu sama Ayah di isolasi mandiri di rumah sakit, sayang"
"Aku cemasin kalau ayah bakal kenapa-kenapa kalo dirawat di rumah aja"
"Aku juga gak begitu tahu kebutuhan orang penyakit seperti ini"

"Ih...Mama gak mau Paah dikumpulin sama banyak orang yang statusnya positif semua"
"Kalau kamu takut, ya Ayah aja yang disolasi sendiri di rumah sakit, di sana juga peralatannya kan lengkap andai terjadi apa-apa"

"Pusing deh kalau tahu bakal begini jadinya"

"Kalau menurut Mama ya, Ayah mending diisolasi mandiri di rumah sakit Pa"
"Soalnya kan emang perlu laporan ke dokter juga, lagian kalo mama udah periksa di kantor"
"Dan kata dokternya juga, gapapa isolasi mandiri di rumah"

"Yaudah, nanti Aku coba ngomong sama ayah"
"Berarti obat yang ada aja ya?"

"Iyaa Pahh, oh ya sekalian beli sarapan ya, biar gak bolak balik Papa sama Ardian"

"Iyaa Maaa, nanti Papa beliin"
"Sekarang Papa tutup dulu teleponnya"

Lukman sedikit resah dengan kondisi Ayahnya sekarang. Di satu sisi ia khawatir karena ayahnya terjangkit penyakit yang belum ada obatnya. Di sisi lain, Lukman mengetahui betul kalau Ayahnya sangat malas berurusan dengan dokter pun rumah sakit. Ayahnya terbiasa mengobati diri dengan minum jamu, hampir tidak pernah minum obat, termasuk konsultasi ke dokter. Walaupun kondisi Ayahnya sekarang tidak ada keluhan sama sekali, tetaplah sebagai seorang anak, Lukman takut terjadi sesuatu yang serius pada ayahnya. Selan itu, Setahu Lukman, Ayahnya punya riwayat Prostat.

Belum lagi dengan Ardian. Apa iya tega membiarkan anaknya seorang diri di rumah sementara Ayah dan istrinya sudah positif COVID-19? Kendati Ardian hasil negatif, tetap saja putranya harus dijauhi dari lingkungan virus. Kalau tidak, itu sama saja menunggu waktunya saja Ardian positif terkena penyakit Corona. Kegamangan menguasai pikiran Lukman.

"Habis ini kita kemana lagi, Pa?", tanya Ardian sembari menghampiri papanya.

"Kita cari sarapan dulu yuk, di sekitar sini kalo gak salah ada soto yang enak"

"Iya"

"Kamu nanti pas di rumah, di dalam kamar aja ya"
"Jangan ke bawah dulu"

"Siap aja sih Paah"
"Terus makan siang nanti aku bagaimana?"
"Beli sendiri?"

"Makan siang nanti Papa yang pesenin makan kamu, kayak biasa"
"Eyang nanti biar Mama yang beliin"

"Okelah kalau gitu"
"Papa sendiri mau berangkat jam berapa?"

"Sampai rumah nanti Papa habis nyerahin Obat ke Mama langsung berangkat"
"Kamu makan yang banyak"

"Udah dari kemarin kali..."
"oh iya, CCTV di rumah dibiarin gitu aja Pa?"

"CCTV biarin gitu aja dulu, kan cuman sebagian yang rusak"
"Kita fokus sama kesehatan mama dan eyang dulu"

Tidak jauh dari apotek, Lukman mengajak putranya sarapan bersama, di sana ada gerobak penjual soto ayam yang berdagang dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Pembicaraan orang tua dan anak berlanjut di tempat itu. Ardian banyak bercerita soal keseharian di rumah, dan merasa sedikit bosan. Lukman pun meminta Ardian bersabar karena posisi di rumah sekarang merupakan pilihan terbaik kerana di luar musuh tidak terlihat. Ada pertimbangan juga Ardian diungsikan terlebih dulu, tapi Lukman bingung kemana. Persoalannya kalau sampai Ardian ikut-ikutan sakit, kian berputar-putar otak Lukman mengurus keluarganya.



=¥=





Di halaman belakang rumah pagi hari, Nia dan ayah mertuanya sedang menunggu Lukman dan Ardian tiba. Udara pagi yang segar, ditambah taman dan pepohonan yang rimbun melupakan kepenatan bahwa mereka berdua sedang menderita penyakit berbahaya.

"Alaah ini penyakit masuk angin biasa"
"Ada-ada aja orang sekarang, cuma batuk-batuk sedikit dikira apa itu tadi..." "COLORNA"

"CORONA, Ayah"

"Terserah apa sajalah"

"Yang Ayah rasa sekarang bagaimana?"
"Batuk-batuk aja? Pilek dan demam, enggak?", Nia sedang menemani Ayah mertuanya duduk di belakang rumah, seraya menghirup udara segar pagi.

"Batuk-batuk sedikit, belikan aku tolak angin saja"
"Sebentar juga sembuh"

"Tapi loh, hasil tes SWAB nya ayah positif"

"Iya Aku tahu, tapi yang bisa merasakan keadaan tubuhku toh, aku sendiri"

"Ayah nanti jangan keluar-keluar rumah dulu ya"
"Karena penyakitnya kan nular, jadi di rumah aja dulu selama 2 Minggu"

"2 Minggu Aku dekem di rumah??!! Ngawur! Bisa stres Akuh, Nia"
"Ya gak bisa lah selama itu..."
"Makin aneh saja sekarang, orang sakit diperlakukan seperti anak ayam"

Nia banyak bersabar menghadapi Ayah mertuanya. Terhitung nafas keluar masuk memburu. Jengkel batin Nia. Ia tak tahu bagaimana lagi cara memberi tahu Ayah mertuanya yang sedang duduk di kursi bambu sambil bersila kaki. Sungguh betapa mematikannya penyakit yang sedang diderita oleh mereka berdua. Nia jadi lebih memerhatikan kondisi ayah mertuanya. Apalagi usia Ayah mertuanya tergolong yang harus mendapatkan perhatian lebih, penanganan medis yang tak bisa dilakukan di rumah jelas-jelas diutamakan. Nia memikirkan andai kondisi ayah mertuanya memburuk menyongsong hari ke depan yang tidak diketahuinya bakal seperti apa. Pertolongan yang terlambat tentu yang paling tidak diharapkan oleh Nia.

Di balik sifat keras kepalanya pagi ini, Pak Rohimin girang betul ditemani Nia ngobrol berdua. Ia ingin mempersilakan Nia duduk di dekatnya sembari daritadi menantunya itu berdiri di dekat pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang. Namun, Pak Rohimin agak ragu. Ia khawatir Nia jadi berpikir yang bukan-bukan terhadap maksudnya, lebih-lebih kursi bambu panjang yang didudukinya juga tidak terlalu besar. Beberapa saat kemudian Pak Rohimin mengubah posisi duduknya. Ia jadi duduk bertongkak lutut. Sarungnya digerai betul-betul agar Nia tak menyadari Pak Rohimin cuman mengenakan celana dalam.

"Lukman dan Ardian belum sampai juga? Mereka masih di mana? Ke Apotek saja lama betul"

"Mereka beli sarapan juga, Yah.."

"Owh..."
"Engh... Tolong bikinkan Ayah kopi, Nia"
"Dari semalam ndak ngopi, pusing kepala"

"Kopi? Kopi pahit aja ya, Yah?"

"Tambahin gula sedikit aja lah..."
"Ndak enak terlalu pahit juga..."

"Hemm, yaudah, tunggu sebentar...", Nia pergi ke dapur.

"Pakai gula yang kemarin saja! kata Lukman bagus!"
"Itu bukan gula biasa!", teriak Pak Rohimin memberitahukan.

"Nanti aku coba lihat dulu"
"Masih ada apa enggak"
"..."
"Masih!!"

"Nah, pakai itu ajah!"

Pak Rohimin sempat curi-curi pandangan ke daster yang dikenakan Nia. Motif bagian pinggang ke atas polka-polka, bagian pinggang ke bawah kembang warna warni mendominasi. Keduanya bagi Pak Rohimin sama-sama menarik Bagian atas ia jelas menyadari Nia punya buah dada yang tergolong besar karena bagian daster yang menutupi dada begitu melembung. Kebayang BH yang disentuhnya kemarin. Selain itu bagian bawah, bukan kembang yang membikin lirik mata nakal Pak Rohimin, melainkan paha mulus Nia yang jauh lebih silau ketimbang kembang yang menghiasi motif dasternya. Kebetulan bagian daster paling bawah tidak menjangkau lutut keseluruhan.

"Bisa beneran pusing aku lama-lama begini"
"Kusut pikiran!", Meruyup-ruyup mata Pak Rohimin, digaruk-garuk bagian belakang kepala. Ia mau sosok Nia keluar dari benaknya. Sadar, kalau itu menantu sekaligus istri anaknya.

"Ini yah kopinya"
"Awas, panas...", Nia segera membawakan secangkir kopi panas dengan uap memasap sehingga aromanya sudah terendus oleh Pak Rohimin walau Nia sedang menyeduhnya di dapur.

"Bawa ke sini!", sahut Pak Rohimin.

Nia membawakannya dengan hati-hati, sampai-sampai kedua tangannya memegang kuat cangkir beserta piring kecil sebagai alas. Ketika disajikan di dekat kursi bambu tempat Pak Rohimin duduk melamun, Nia sempat membungkuk untuk meletakkan kopi di dekat Pak Rohimin. Bagian leher dasternya mau tak mau tanpa disadari membikin celah yang menjadi rezeki bagi mata nakal Pak Rohimin.

"Duh Gusti, gedhe tenan susune mantuku inih", mata Pak Rohimin berubah melotot kala kedapatan hal menggiurkan itu. Jakun naik turun sesaat.

"Silakan diminum, Ayah...", Nia beranjak berdiri utuh lagi.

"Iya, makasih..."
"Pasti mantep kopi bikinanmu inih"
"Hehe...", Pak Rohimin mengacungkan jempol, sedangkan minum seteguk pun belum.

"Ah Ayah, bisa aja, tapi pastinya kan masih lebih enak bikinan Mas Lukman"

"Kopi bikinan Lukman emang enak, tapi bosen juga"
"Yang sepertimu kan jarang, sekali-sekali bikin, jelas beda rasanya"
"Hehe..."

"Rada pahit beneran ya, Yah..."

"Iya, ayo duduk sini..."
"Pegel kamu berdiri di situ lama-lama"
"Kita tunggu Lukman sama Ardian", Pak Rohimin menggeser posisi duduknya supaya Nia bisa duduk juga.

"Iyaa"

"Kamu gak bikin minum sekalian?", tanya Pak Rohimin memerhatikan Nia duduk menjuntaikan kaki.

"Aku gampang yah, yang penting ayah dulu aja..."

Pak Rohimin duduk bersama Nia sambil menantikan kepulangan Lukman dan Ardian. Mereka ngobrol banyak hal, terutama masalah penyakit yang sedang diderita. Pak Rohimin sangat senang dengan momen itu. Ia bisa lebih sering memerhatikan Nia, bahkan lebih dekat. Sungguh Ia menyadari memang dirinya perlu pendamping hidup baru sehingga tidak perlu cape-cape bolak-balik Jakarta walau sekadar mengusir sepi di kampung. Bagi Nia, ketakutan akan penyakit virus ini amat berkurang. Ayah mertuanya saja santai-santai saja dan tetap bersemangat walau tidak mengganggap remeh juga. Sebaliknya Nia tidak menyadari bahwa di balik sarung Ayah mertuanya, ada rudal tumpul yang tak duduk justru tegak berdiri merasakan serta menangkap suasana hangat percakapan antara Nia dan Ayah mertuanya.


=¥=

Di antara rumah-rumah yang sudah mulai beraktivitas di pagi hari. Salah satu rumah di tengah-tengahnya masih menyalakan lampu luar, sedangkan rumah-rumah yang lain sudah mematikan. Kendaraan bermotor saja sudah kebut-kebutan di depan rumah. Bahkan, tetangganya mengira yang empunya rumah belum juga bangun dari lelap. Padahal,

"Kamu gak nganterin aku lagi hari ini?"

"Aku masih gak enak badan, yang, kamu tahu sendiri kan aku dari semalem meriang"

"Aku takut kamu kenapa-kenapa, ke rumah sakit yuk hari ini?", ujar Yanti yang sudah rapi mengenakan blazer hitam dan blus merah, bersiap berangkat ke kantor.

"Kalau ke rumah sakit kondisiku seperti ini, pasti dianggap COVID aku"
"Gak usah ah"

"Biar cepet sembuh sayang", Yanti mengelus dahi Heri, menatapnya penuh kasih sayang.

"Kamu belikan aja aku jamu ke tukang jamu yang biasa mampir"
"Bakal lebih mendingan kok"

"Badan kamu masih demam tapinya..."

"Kalau gitu kamu belikan aja aku obat demam lagi di warung, kan aku juga baru minum semalem"

"Masih ada, di atas meja makan"
"kamu makan dulu gih, biar bisa diminum obatnya"

"Nanti aja, lebih baik kamu sekarang berangkat, yang"
"Telat loh.."
"Aku gapapa kok", ucap Heri dari berbaring mengambil posisi duduk selunjuran kaki.

"Beneran?"

"Bener, hayo gih kamu buru-buru berangkat"
"Gak mau aku jadi penyebab kamu telat"

"Yaudah aku berangkat dulu ya, sayang"
"Kamu jangan lupa makan, makan siang nanti kamu angetin sendiri, ada di kulkas", pamit Yanti seraya mencium tangan suaminya.

"Iya, beres!!", Heri menjawab dengan penuh semangat agar Yanti tidak jadi beban pikiran.

Selepas Yanti meninggalkan rumah, Heri kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Ia kelihatan pusing sekali. Wajahnya berubah pucat. Beban pikiran yang tidak dicurahkan ke Yanti, menggunung di benaknya. Alhasil, karena sudah tak kuasa menahan nyeri sakit, Heri bangun dari tempat tidur. Ia segera duduk menyantap sarapan yang sudah dibeli oleh Yanti. Ia tak menghabiskan sarapannya, buru-buru minum obat agar sakit kepala dan nyeri sakitnya hilang. Setelah menyudahi hal itu, Heri beranjak duduk mengecek isi ponselnya, berapa banyak chat WA dan panggilan masuk tetapi tidak dijawab dan dibalas. Apalagi kalau bukan soal tagihan utang. Di samping itu, ada soal lain yang lebih berat dan menggelisahkan batin Heri, pada dasarnya pertanggungjawabannya sebagai seorang lelaki.



=¥=


"Musti banyakkin makan, Yah. Lagi pandemi seperti ini"
"Biar sembuhnya cepet juga", Nia mengamati tubuh ayah mertuanya yang tidak berisi. Kekar tapi sedikit daging.

"Kamu juga..."
"Ndak usah pakai diet-diet segala"

"Tapi kalau gak gitu"
"Mas Lukman bercandain aku terus"
"Tambah gendutlah, pipi tembemlah"

"Suamimu itu kan bercanda"

"Bercanda tapi keseringan...", gerutu Nia mengungkapkan ketidaksukaannya kepada sikap Lukman selama ini.

"Hehe..."
"Tapi tadi kamu nasehatin ayah begitu"
"Masa kamu sebaliknya"

"Ayah kan usianya rentan penyakit, jadi biar cepet pemulihannya"
"Kalau aku tetep makan, tapi secukupnya aja"

Tiba-tiba Pak Rohimin berbalik badan, Ia memunggungi Nia. "Tolong tepuk-tepuk punggung Ayah"
"Udah mulai masuk angin sepertinya"
"Lukman belum sampe juga, kemana dia"

"Masuk ke dalem aja yah, di luar lagi banyak angin"

"Gapapa di sini aja, sumpek Ayah di dalam"

Sesuai dengan instruksi, Kedua tangan Nia sigap menepuk-nepuk punggung ayah mertuanya. Nia bisa merasakan kulit punggung yang keras mengalahkan kaos kutang yang halus karena tangannya bertemu tulang. Namun, Nia heran juga Ayah mertuanya tetap bugar dan tegap tubuhnya. Sejatinya Ia pikir ayah mertuanya bakal terkena penyakit tulang seperti bongkok atau osteporosis di kemudian hari. Tak enak dengan posisi tubuh terlalu lama meliuk ke kiri, Nia menaikkan seluruh kakinya ke atas kursi bambu. Ia duduk bersimpuh seraya menepuk-nepuk punggung ayah mertuanya kembali.

"Duh, haduh, nah enak seperti itu"
"Terus..."
"Maaf ya, Ayah jadi merepotkan kamu"

"Gapapa, Yah"
"Gimana? Mendingan?"

"Iya, lebih baik sekarang"

Lalu Pak Rohimin yang tak ingin Nia kelelahan buru-buru berbalik badan kembali. Ia bersila bertemu muka dengan Nia yang bertahan dengan posisi bersimpuh. Nafas Pak Rohimin menderu-deru, mengamati Nia yang sampai detik ini masih nyangkut di pikirannya. Baru ingin melupakan kejadian kemarin, sekarang ia dapat lagi. Kali ini sempat mengintip belahan dada Nia walau sebentar sekali dan kedua paha Nia yang ada dihadapannya jelas tampak. Pak Rohimin berniat betul-betul ingin menikah lagi. Namun, Ia ingin seorang perempuan yang akan jadi istrinya nanti seperti Nia. Akan bahagia sekali hari tuanya.

"Udah?", tanya Nia melihat Ayah mertuanya malah melamun.

"Cukup, cukup...", batin Pak Rohimin secara antah berantah sembunyi-sembunyi dibisikki oleh setan yang menyusup. Perintahnya, adalah mendekap Nia yang ada dihadapannya. Lagipula di rumah sekarang hanya mereka berdua. Kapan lagi menikmati tubuh molek macam itu. Bukankah Alat kelamin di bawah sana lama tak merasai lubang perempuan?

"Kamu mau ditepuk gitu juga ndak?", tanya Pak Rohimin.

"Enggak usah yah, enggak suka juga"

"Apa dipijet aja?"

"Aduh itu lagi, aku gak biasa dipijit", jawab Nia lantas berdiri turun dari kursi.

SIAL! KAMU TELAH MELEWATKAN SESUATU! BODOH! KAMU MAU MENUNGGU KESEMPATAN KAPAN LAGI?! Begitulah kata-kata setan memisuh batin Pak Rohimin. Syukur saat itu Pak Rohimin mampu mengendalikan hawa nafsunya.

"Nia pamit ke dalem dulu ya...", tutur Nia meninggalkan Pak Rohimin.


=¥=

Ardian tiduran di dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Saat ia ingin memejamkan mata sejenak, menunggu waktunya mandi, terdengar perseteruan antara Eyang dan papanya. Gaduh sekali. Adu mulut itu menghalau kantuk Ardian yang didambakannya segera datang karena Ardian tak mau prosesi sekolah daringnya dilakukan saat ia masih sedang kelelahan seperti ini.

"Kamu kan sudah tahu, Ayahmu ini ndak pernah mau punya urusan dengan dokter!"
"Sekarang kamu tiba-tiba maksa ayah pergi ke dokter! Bah!"

"Ayah, ini masalahnya karena penyakit ini belum ada obatnya, kalopun udah, gak akan aku suruh-suruh ayah"
"Jadi kita ini perlu penjelasan dokter dulu, sebaiknya ayah dirawat di rumah sakit atau di rumah aja"
"Ayolah, Yah"

"Ndak ada, Ayah gak mau"
"Kamu aja yang ke dokter wakilin ayah"

"Ayah, aku mohon yah"
"Untuk kebaikan ayah juga, aku gak mau ayah kenapa-kenapa"

"Kamu sekarang lihat kondisi ayah kan?lihat kan?"
"Ayah gapapa kan? Ayah masih bisa bergerak-gerak"
"Nih, nih..", Pak Rohimin menggerak-gerakkan kaki dan tangannya dengan aktif, kemudian meliukkan kepala seolah mau menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

"Susah emang ngomong sama Ayah"
"Huh..."

"Udahlah, kamu ndak usah khawatirin soal ayah, ayah baik-baik aja"
"Mending kamu sekarang buruan berangkat kerja"

"Serah ayah deh, tapi kalau ada apa-apa hubungin aku.."
"Jangan lupa jamu yang aku beli diminum", pesan Lukman yang berbicara dengan ayahnya menggunakan masker beserta faceshield (pelindung muka).

"Kalo itu beres, pasti ayah laksanakan", Lukman berpindah dari tempat duduk di halaman belakang rumah menemui istrinya yang berada di kamar. Nia sedang berdiri memilah-milah obat yang baru saja dibeli oleh Lukman karena ada obat yang khusus buat ayahnya dan ada yang buat Nia. Diam menunggu istrinya dari jarak dua meter, barulah Lukman lekas berpamitan.

"Udah semua kan? Ada yang kurang?"

"Cukup, tapi ayah bagaimana?", tanya Nia yang menguping perseteruan antara suami dan ayah mertuanya.

"Kamu lihat dan denger sendiri kan?"
"Ya begitulah, aku sekarang cuma bisa titip dan tolong urus ayah"
"Kalau ada apa apa ya kamu bisa kontak aku"

"Hmmm, Papa jangan banyak pikiran ya"
"Tadi aku sempet ngobrol sama ayah, kayaknya emang dia bakal baik-baik aja"
"Kamu mikirnya jangan terlalu berlebihan gitu"

"Kalo ayah gak punya riwayat penyakit, gak akan aku maksa dia dirawat"
"Kamu tahu sendiri riwayat prostat ayah gimana..."

"Sekarang kamu maunya gimana? Di rumah aja dulu? Atau?", Nia berusaha tetap tenang.

"Kalau gak banyak kerjaan, pasti aku izin gak masuk hari ini"
"Ya mau bagaimana lagi..."
"Maafin aku yaaa..."

"Iya, yaudah karena kamu mau berangkat kerja, kerjanya yang semangat, ya.."

"Iya, tentunya, oh ya nanti makanan untuk ardian biar aku yang pesen"
"Kamu sama ayah jangan deket deket Ardian dulu, aku juga udah ngomong sama Ardian supaya dia bisa paham sama kondisi keluarga kita"

"Kasian, iya pasti aku patuh kata kata kamu, Paa"
"Ayah nanti aku masakkin aja, karena belanjaan dapur di kulkas juga masih cukup"

"Okelah jika kamu bilang baiknya begitu, aku berangkat dulu"

"Hati-hati yaa Paaah"



BeRsAmBuNg


































































































 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd