Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
JALAK – KISAH SISIPAN 3
STILL I’M SURE WE’LL LOVE AGAIN






Siapa pun yang melawan monster harus memastikan
bahwa dalam perjalanannya dia sendiri tidak menjadi monster.
- Friedrich Nietzsche




.:: PADA SUATU KETIKA



“Aku sudah mengenalmu sejak lama jadi akan aku skip saja basa-basinya. Lagipula ngapain juga basa-basi sama kamu, akan jadi terkesan sedikit menjijikkan bukan?” kata seorang pemuda dengan senyuman menyeringai seakan meremehkan. Matanya tak terlihat karena tersembunyi di balik kacamata hitam. Tapi pandangannya menatap ke depan dengan tajam. “Meski kita berdua sepantaran, tapi dendamku padamu sebenarnya sudah terpendam sejak sangat lama. Sudah sejak jaman sepur lempung. Kalau boleh jujur, sejatinya aku membencimu.”

“Hahaha. Oh ya?”

“Ya. Tapi itu kita bahas nanti saja.”

“Tidak masalah, eh tapi… sebenarnya kita memang benar-benar tidak saling mengenal bukan?”

Si kacamata hitam menarik bibirnya ke samping membentuk senyuman sinis. “Mungkin kamu tidak mengenalku, tapi aku sangat mengenalmu. Namamu Nanto, nama lengkap Jalak Harnanto. Afiliasi? Lima Jari dan Aliansi. Status sekolah? Saat ini Universitas Amora Lamat. Sebelumnya? SMA CB sampai kelas dua lalu pindah ke SMA di desa sampai lulus.”

Widih. Luar biasa. Ada yang sudah riset.”

“Begitulah. Bagaimana? Masih kurang lengkap? Masih beranggapan kita tidak saling mengenal?”

“Ya iya. Tetap saja statusnya kamu mengenalku dan aku tidak mengenalimu. Apalagi kamu sudah menyelidiki latar belakangku. Jangan-jangan kamu juga tahu di mana aku sering laundry?”

“Asem. Kedengerannya seperti aku ini jadi tukang stalking ya? Heheh. Kamu tidak mengenaliku? Itu kan menurutmu. Kita pernah bertemu dulu. Mungkin kepalamu terlalu banyak kena getok jadi memorinya sudah luntur.”

Nanto tertawa mendengar kalimat dari sang lawan bicara. Dia tidak mengucapkan umpatan apapun untuk membalas kalimat sindiran dari sang pemuda berkacamata hitam yang ada di hadapannya itu. Si Bengal justru mengangguk-angguk dengan santai. “Hahaha. Mungkin saja.”

Melihat Nanto tidak melakukan protes, pemuda di hadapan si Bengal melanjutkan lagi dengan wajah serius dan memajukan badannya ke depan, telunjuknya diarahkan ke Nanto. “Kamu adalah tujuanku, targetku, sasaran utamaku. Jadi pesanku hanya satu, jangan mati sebelum kita bertarung suatu saat nanti. Kelak kita akan berhadapan dalam sebuah pertarungan final yang akan menentukan siapa di antara kita berdua yang lebih baik. Siapa di antara kita berdua yang berhak menyandang petarung terbaik di bawah kolong langit. Di saat itulah aku akan membuktikan kemampuanku padamu.”

Nanto kembali mengangguk-angguk, dia tidak ada masalah dengan tantangan yang dilontarkan. Dia justru merasa geli karena sepertinya apa yang diucapkan oleh orang ini terlalu lebay, hiperbola, dan berkesan agak gimana gitu. Kalimatnya itu lho… Yang terbaik di bawah kolong langit? Jeezh. Ya kali. Agak berkhayal kan?

Nanto tidak pernah ada masalah kalau ada yang menantang bertarung, kalah menang itu soal biasa dan bisa dijalani tanpa perlu menjadi risau. Jadi dengan tanpa tendensi apapun, si Bengal sudah berdiri dan bersiap-siap untuk menuju ke ruang yang lebih luas, tempat ini jelas tidak cocok buat kampleng-kamplengan. Tidak bisa bergerak bebas kalau dijadikan lokasi adu pukul. Kasihan yang punya rumah makan nantinya. Nanto sudah bersiap untuk menghadapi si kacamata hitam itu di ruangan yang lebih luas.

Pemuda di depan Nanto malah bingung melihat si Bengal sudah bersiap-siap dan berdiri.

“Lho… mau kemana?”

“Bukannya barusan situ mengumumkan kalau kita mau bertarung? Ya ayo, kita lakukan.”

Tch! Bukan sekarang, kuampreeeet! Itu kuping atau gagang panci sih?” si kacamata hitam bersungut-sungut, “Kita memang sudah pasti akan bertarung, tapi pertarungan itu tidak akan terjadi sekarang. Pembalasan akan terjadi kelak di saat yang tepat. Di saat semuanya tuntas dan hanya menyisakan kita berdua.”

“Lah? Lha sekarang kita ngapain dong?”

“Saat ini, kita hanya perlu duduk sembari makan nasi dan ayam goreng.” Pemuda itu nyengir lebar.

Nanto kembali tertawa saat mendengarkan ucapan orang yang berada di depannya.

Keduanya tengah duduk di sebuah warung makan ayam goreng Jokers Chicken yang berada di belakang bioskop besar di Jalan Oslo, warung yang dikenal sebagai alternatif fast food kelas atas. Ayam goreng crispy dengan nasi lengket melekat, dagingnya hemat, tepungnya renyah menggugah minat, harga merakyat, mahasiswa ngekos pasti kenal dekat, terutama ketika tanggal tua merambat.

Pemuda di hadapan Nanto melanjutkan ucapannya, “Pernah ada sebuah anekdot. Selain bulutangkis dan sepakbola, ada satu hal lagi yang sanggup mempersatukan rakyat terpecah belah di negeri yang sudah terlanjur kacau ini. Kamu tahu apa itu?”

Nanto mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Double combo dari kombinasi ketidaktahuan dan ketidakingintahuan, benar-benar bukan tempe dan tidak tahu.

Pemuda di depan si Bengal mencibir. “Jawabannya adalah ayam goreng. Berdasarkan survey terpercaya, ayam goreng adalah salah satu menu paling digemari di seluruh negeri.

“Oh ya?”

Piye sih kok gak mudengan kih. Coba lah kita menyamakan frekuensi, Nyuk.”

Si Bengal menaburkan merica bubuk di atas saos sambalnya - suatu ritual yang khas di restoran cepat saji ini. Upacara membubuhkan merica di atas saos sambal supaya makin nendang sekaligus bikin bersin. Sajiannya lengkap khas berselera, bersahaja, dan seadanya. Di samping piring ayam dan nasi ada segelas es teh manis. Orang di hadapan si Bengal juga punya menu yang sama. Bedanya adalah kalau Nanto memesan dada ayam, orang ini memilih paha atas. Masing-masing punya preferensi yang berbeda mengenai bagian mana dari seekor ayam yang mereka suka.

Sang pemuda di depan Nanto memotek kulit krispy ayam goreng dan mencocolnya di saos sambal yang juga sudah ditaburi merica bubuk. Ketika proses cocol mencocol sudah selesai, pemuda itu melesakkannya ke dalam mulut. Merasakan nikmatnya tepung krispi tanpa daging. Enak dan kriuk-kriuk. Makan tepung dengan gembira.

“Jadi kira-kira mau membahas apa nih kita sekarang? Kenapa mengajak ketemuan di sini? Apa hanya untuk membahas hal yang tadi? Rasa-rasanya tidak urgent.” tanya Nanto menyelidik. Ia juga mulai memakan ayam dan nasinya. “Kayaknya kok seperti tidak ada hal penting untuk dibicarakan.”

“Memang tidak.”

Weladalah. Bukannya dari pesan yang kamu titipkan ke anak Lima Jari kamu bilang ada hal penting yang harus kita bahas jadi kita harus bertemu di sini? Kita tidak jadi bertarung, jadi apa maumu?”

“Bukannya tidak jadi, tapi memang tidak hari ini. Belum. Suatu saat nanti pasti. Seperti yang sudah aku bilang kalau waktunya belum tepat kalau hari ini. Lagipula memang sebenarnya tidak ada yang penting pada pertemuan ini, aku hanya ingin kita sama-sama saling memahami posisi masing-masing, dan sama-sama mengenal satu sama lain. Meski kita berdua berada di wilayah utara, tapi aku dan kamu punya afiliasi yang berbeda. Aku di QZK dan kamu di Aliansi. Kita punya pondasi yang berbeda. Melalui pertemuan ini aku juga menyatakan sikap bahwa aku akan menantangmu.”

“Oke baiklah… yang itu kita anggap saja udah tersampaikan meski tarungnya tidak sekarang. Terus apalagi? Ada masalah lain apalagi yang mau disampaikan? Jangan-jangan tidak ada.”

“Ada.”

“Apa?”

“Sebelum itu, sepertinya kamu tidak menganggapku dengan serius ya? Sepertinya kamu melupakan perjanjian kita dulu sewaktu pertama kali kita bertemu. Kita sama-sama punya janji yang sampai sekarang belum bisa ditepati. Sesuatu yang mungkin sudah kamu lupakan karena bahkan sampai hari ini pun aku yakin kamu lupa siapa aku.”

Nanto tertawa sampai tersedak. Ia terbatuk-batuk dan minum es teh manisnya. “Oke, oke… itu tuduhan yang fair. Kalau boleh jujur aku memang lupa siapa kamu. Jadi siapa kamu?”

“Asem. Dasar gawuk jaran. Sejak tadi ngobrol ternyata kamu lupa aku siapa.”

Nanto tertawa. “Sori, Masbro. Aku gampang lupa wajah, lupa nama, lupa segalanya. Seperti yang kamu bilang, mungkin kepalaku terlalu banyak kena getok jadinya pelupa begini. Coba segarkan dulu memoriku. Aku seringkali harus diingatkan berulang untuk mengetahui siapa itu siapa. Termasuk sampeyan. Salah sendiri cowok, kalau cewek pasti lebih inget.”

Wasu. Kalau tidak ingat kenapa setuju sewaktu aku ajak ketemuan di sini?”

“Aku pengen makan ayam krispi. Sekalian jalan aja.”

Gembus! Sudah susah-susah nyari nomer ponsel, cari tempat ketemu, ngatur janji, eh jebul malah tidak kenal. Asem tenan! Wasu. Jinguk.” Sang pemuda mendengus kesal sembari mengumpat-umpat, dia menyeruput minumannya. Tapi ia lantas mencibir dan tertawa. Wajahnya kembali berubah menjadi serius. “Aku menghubungimu secara diam-diam melalui Lima Jari dan mengajak bertemuan karena… kita berdua… kita telah berjanji akan bertempur di suatu masa nanti – setelah kamu dan aku sama-sama menjadi petarung kelas A. Sudah lupa janji itu?”

“Ha? Memangnya pernah ya? Kapan aku pernah mengiyakan?”

“Kita berjanji saat kamu datang ke sekolahku dan menghancurleburkan geng-ku dulu.”

Badalah. Geng sekolah!?? Waaduuuuuh sudah di masa lalu sekali ya. Hahaha. Aku sudah pasti tidak akan ingat, aku dulu menyerang banyak sekolah dan berjanji dengan banyak orang. Kemungkinan besar dalam keadaan mabuk. Hahahaha. Jadi aku tidak yakin…”

Sang pemuda geleng-geleng kepala dengan kesal. Dia menunjuk ke arah Nanto. “Okelah, kesampingkan itu sesaat. Ada satu hal penting lain yang harus aku sampaikan kepadamu sebagai pimpinan Aliansi dan hal penting itu tidak boleh diketahui siapapun. Itu sebabnya aku memilih kita ketemuan di tempat seperti ini…”

“Apa itu?”

“Aku ingin kamu berhati-hati dengan QZK,” ucap sang pemuda di hadapan Nanto dengan wajah serius. “Tidak ada putih yang benar-benar putih dan hitam yang benar-benar hitam di dunia ini. Kita berjalan di area abu-abu. Lawan bisa jadi kawan, kawan bisa jadi lawan. Dunia kita dunia underground, apa saja bisa terjadi. Oleh karena itu, aku hanya ingin kamu berhati-hati. QZK adalah kelompok yang paling berbahaya saat ini.”

Nanto sempat terkejut, tapi ia lantas tersenyum. “Hehehe. Aneh juga kamu ini ya. Kamu anggota QZK – tapi justru memperingatkan aku tentang kelompokmu sendiri. Apakah ada udang di balik gendang? Dari sikap dan perilaku, aku yakin kamu tidak berniat mengkhianati QZK. Jadi peringatan darimu tadi justru terkesan seperti sebuah ancaman. Tapi ya tidak apa-apa, sejauh ini aku dan Aliansi tidak ada masalah dengan QZK. Aku juga punya hubungan khusus dengan om Janu. Atau adakah masalah lain?”

“Heheh. Berhati-hatilah. Aku mempertaruhkan nama dan kedudukanku di QZK demi bertemu denganmu di sini, itu saja sudah menjadi pertanda bukan?”

“Atas dasar apa kamu memperingatkan aku? Mengapa aku harus berhati-hati?”

“Karena sebenarnya ada orang-orang di QZK yang…” Pemuda itu menatap Nanto dan mengerutkan dahi, dia mengubah kalimatnya karena sepertinya ada isu sensitif yang tidak ingin diumbar lebih jauh lagi. Ada beberapa orang di sekitar mereka yang mencurigakan. Dia tetap harus waspada. Sang pemuda menggeser sebuah amplop di atas meja. Amplop coklat besar. Pemuda itu berbisik, “Apa yang ada di dalam amplop coklat ini adalah segelintir rahasia mengenai QZK yang akan membantu Aliansi menentukan sikap akan berada di pihak mana. Meski hanya segelintir informasi tapi apa yang terdapat di dalam amplop ini bisa membuatku terbunuh.”

Nanto mengerutkan kening. “Kenapa kamu melakukan ini?”

Si kacamata hitam tersenyum, “Karena kalau ada orang yang akan menundukkan dan membunuhmu, itu adalah aku. Bukan orang lain.”

Sang pemuda itu tak tersenyum sama sekali. Dia benar-benar serius dengan kata-katanya. Haruskah si Bengal percaya dengan perkataannya? Ataukah orang ini tidak pantas dipercaya karena toh dia tidak lupa siapa dia?

Nanto mendengus, “Baiklah. Aku akan siap menghadapi apa saja dan dari mana saja. Bahkan jika itu datang dari QZK sekalipun. Meski begitu… aku masih belum bisa percaya penuh padamu. Ada beberapa hal yang membuat aku ragu-ragu.”

“Misalnya kenapa?”

“Misalnya kenapa kamu sepertinya ngotot betul kita harus bertarung gara-gara ini dan itu – termasuk janji untuk duel ketika kita berdua sama-sama telah menjadi petarung kelas A. Elok nemen cah. Cita-cita macam apa itu. Tapi ya tidak apa-apa, aku tidak akan mundur. Tantanganmu akan aku layani. Setelah semuanya tuntas, kita adakan laga yang adil. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi sampai sekarang aku masih belum paham betul siapa namamu dan bagaimana kita dulu bisa mengatur perjanjian seperti itu. Sebenarnya dulu apa yang terjadi ya? Aku bukan pura-pura lupa. Aku benar-benar lupa.”

Woalah kampret.”

Nanto tertawa.

Pemuda itu menatap Nanto dengan pandangan mata penuh dendam, “Namaku Junaedi, panggilanku Jun, dan aku punya dendam yang belum kutuntaskan sejak masa sekolah. Dendam yang akan aku balaskan saat aku menjadi petarung Kelas A kelak. Dendam dari teman-temanku yang kamu tumbangkan di hari itu.”

“Namamu Jun?”

“Betul.” Jun menyorongkan tangan ke depan untuk bersalaman, “Untuk beberapa saat sampai kita sama-sama menjadi petarung kelas A, kita gencatan senjata.”

Nanto menyeringai.





.::..::..::..::..::.





.:: DULU. SEBELUM.





Sesosok tubuh teronggok di dalam peti mati yang ada di ruang tamu.

Peti mati itu sengaja tidak dibuka untuk pelayat yang hilir mudik datang. Alasan utamanya simpel, tubuh almarhum sudah tidak lagi layak ditampilkan di depan umum karena rusak dan tidak utuh. Sebentar lagi peti mati itu akan dibenamkan dalam bumi, ditanam dalam petak yang sudah disediakan sejak pagi tadi, dan hanya akan meninggalkan pancang nisan berdiri. Sebuah takdir yang tak bisa dihindari.

Pemuda yang berada di samping peti itu tidak menangis, tidak sedih, dan tidak berekspresi. Dia tahu, orang yang sejak dulu merawatnya itu sudah tak lagi ada di dalam peti. Di dalam sana hanya ada satu vessel tanpa jiwa, hanya selongsong terpotong kosong tanpa isi, rohnya sudah tak lagi ada di dalam. Entah sudah naik ke purgatory, atau masih melanglang buana di alamnya yang baru kini.

Seorang gadis manis berambut kucir kuda mendekati dan menangis sembari memeluk sang pemuda, membenamkan kepalanya di dada tanpa rasa malu. Hubungan mereka sangat dekat dan erat. Gadis itu terbata-bata dan mewek, jauh lebih terlihat sedih dibandingkan sang pemuda. Suara sang dara menyayat hati, “Kamu yang kuat yaaaaa… kamu tidak sendiri kok, aku pasti bakal nemenin kamuu terus… setelah ini kamu bakal tinggal di mana? Kamu tinggal sama siapa? Aku tidak akan meninggalkan kamuuu…”

Pemuda itu tidak membalas pelukannya. Dia masih tetap terdiam sembari menatap ke arah peti.

Tapi kali ini dia memandang ke arah peti mati itu dengan pandangan yang berbeda. Dia baru sadar kalau ternyata banyak orang menangisi sosok yang ada di dalam peti itu, semua menangis kecuali dia sendiri. Dia juga baru sadar kalau ternyata banyak yang mempertanyakan bagaimana nasibnya sepeninggal almarhum. Wajar mereka berpikiran seperti itu karena dia masih muda, masih bersekolah, belum berpenghasilan, dan selama ini mereka tinggal di rumah kontrakan.

Mereka tentu kasihan karena ia kini telah menjadi sosok yang sebatang kara. Mereka kasihan melihatnya seperti tak punya masa depan. Mereka kasihan melihatnya tak tahu harus makan apa besok. Mereka kasihan membayangkannya akan tinggal di mana. Mereka menatapnya iba karena tahu dia telah kehilangan semuanya.

Kasihan, kasihan, kasihan. Tapi dia tidak ingin dikasihani.

Dia tidak merasakan apa-apa.

Dia bahkan tidak menangis.

Dia memang tidak tahu dia bakal makan apa besok, dia juga tidak tahu akan tinggal di mana setelah ini. Jujur dalam benaknya tidak terpikirkan apapun tentang hari esok. Dia hanya memiliki satu pikiran kosong lowong tanpa isi.

“Kamu bagaimana, Jun?” tanya si Kuncir Kuda. “Apa yang akan kamu lakukan?”

Jun mengangkat bahunya. “Aku tidak tahu.”

Dia tidak bohong. Dia benar-benar tidak tahu.

“Aku sama sekali tidak menyangka Bapak kamu akan meninggal dengan cara seperti ini…” si Kuncir Kuda terisak. Dia sangat mengenal sosok Bapak Jun yang sudah seperti orang tua sendiri. Sebagai kawan kecil Jun, gadis muda itu sudah sangat terbiasa datang dan berkunjung ke rumah Jun, bercanda bersama, main game bersama, nobar bola bersama, semua kegiatan dilakukan bersama.

Bertiga.

“Kenapa… kenapa Bapak harus pergi dengan cara seperti ini…? Tidak adil. Orang-orang itu harus dihukum seberat-beratnya. Mereka harus ditangkap semuaaa!”

Si kuncir kuda kembali terisak dalam pelukan Jun.

Jun masih tetap terdiam. Tidak ada yang tahu saat itu ada hewan buas yang mewujud dalam pikirannya – hasil dari deraan peristiwa yang mengganggu mentalnya. Setelah ini, Jun akan berubah. Tapi saat itu, tidak ada yang tahu.

Dua orang pria yang duduk di kursi pelayat menatap ke arah Jun dan si Kuncir Kuda.

“Pak RT, putri njenengan sepertinya benar-benar akrab sama Jun ya?”

Sesosok pria berambut putih tersenyum pada pemuda berpakaian batik biru di sampingnya. “Dulu rumah kami kan berhadap-hadapan, Mas Devan. Sudah tentu kami akrab. Bapaknya Jun sebenarnya juga orang baik, semanak, ramah, dan tidak pernah pilih-pilih teman. Dia gemar membantu di kampung ini. Bahkan ketika kemudian mereka pindah dari rumah besar di depan rumah kami untuk kemudian menyewa kontrakan tiga petak di ujung gang, almarhum tetap ikut kerja bakti dan mengikuti segala macam kegiatan kampung. Arisan saja beliau ikut.”

“Kasihan Jun. Keluarganya benar-benar morat-marit ya, Pak RT?” Pak Noto ikut-ikut nyambung percakapan antara Devan dan Pak RT. Mereka bertiga berasal dari kampung yang sama. “Setelah kecelakaan itu, semua yang sempurna jadi berantakan.”

Sepertinya semua warga kampung tahu bagaimana kisah hancurnya keluarga Jun secara perlahan-lahan dari keluarga yang bahagia dan sempurna menjadi seperti sekarang ini.

“Apa benar Ibunya masih hidup?” tanya Devan penasaran.

Pak RT mengangguk dengan wajah gamang, “masih, tapi sudah tidak bisa diharapkan. Sudah kurang waras. Beliau dititipkan di panti orang dengan gejala kejiwaan.”

Pak Noto menggelengkan kepala, “Sayang sekali wanita secantik itu.”

Ibunda Jun menderita kelainan jiwa setelah terlibat kecelakaan. Selain menderita gegar otak, sang Ibu juga terganggu mentalnya karena adik Jun tidak terselamatkan saat itu. Usia adik Jun baru dua tahun lebih beberapa bulan saat kecelakaan terjadi, dia mati terlindas truk yang menyenggol motor yang jatuh saat dikendarai oleh Ibunda Jun.

Sang Ibu tak pernah benar-benar pulih dari rasa sedihnya. Dia sering terbangun tiba-tiba di tengah malam dan menjerit-jerit memanggil nama sang buah hati yang telah berada di nirwana. Tidak ada hari tanpa teriakan histeris.

Kondisi sang Ibu yang makin buruk membuat Bapak Jun mau tidak mau menempatkannya di Rumah Sakit Jiwa yang ada di kaki Gunung Menjulang – meninggalkan Jun dan sang Ayah hidup berdua saja. Membesarkan remaja seperti Jun tidak mudah, tapi berhasil dilakukan oleh sang Bapak, sebagai ayah, sebagai pengganti ibu, dan juga sebagai seorang sahabat tempat berkeluh kesah.

Tapi hidup mereka kembali menjadi berantakan saat Jun mengetahui apa sebenarnya pekerjaan sang Bapak, darimana semua uang yang ia dapat, dan kenapa tiba-tiba mereka harus menjual rumah dan segala isinya untuk pindah ke sebuah rumah kontrakan tiga petak yang bersanding dengan kandang kambing. Mereka pernah punya segalanya, lalu tiba-tiba saja kehilangan semuanya.

Semua gara-gara Bapak teribat dengan komplotan mafia dari luar kota. Jun baru tahu kalau kelompok itu cukup populer di kawasan pantai utara pulau hingga ke ibukota. Jaringan mafia besar yang menamakan diri mereka Negeri di Awan atau NDA. Bapak Jun adalah salah seorang broker yang biasa menjadi penghubung bisnis dan proyek-proyek Pemda agar bisa dikerjakan oleh orang-orang atau rekanan dari NDA.

Tadinya semua baik-baik saja.

Tapi tidak pada akhirnya.

Semua urusan menjadi kacau balau ketika Bapak Jun diciduk KPK dan harus melakukan negosiasi demi keselamatan Jun. Sang Bapak terpaksa menyebutkan nama-nama di NDA sekaligus nama orang-orang di Pemda yang perlu dikebiri KPK. Demi Jun, sang Bapak menjadi whistleblower.

Efek domino penangkapan dan pengkhiatan Bapak Jun membuat NDA morat-marit digembosi dan itu jelas membuatnya menjadi target NDA yang bertahan dari sergapan pihak yang berwajib. Hasilnya adalah hari ini: sang Bapak ditemukan mati. Tubuhnya terpotong-potong, ditemukan di empat tempat berbeda di bawah jembatan. Sebelum dimutilasi ada indikator ia terlebih dahulu disiksa habis-habisan.

Sekali kotor tidak semudah itu lantas menjadi bersih. Once you go black, you can never go back.

Anak Pak RT masih terus memeluk Jun.

Devan, Pak Noto, dan Pak RT mengamati kedua remaja itu dari kejauhan.

“Kalau saya jadi Pak RT, saya tidak akan membiarkan Herlina dekat-dekat dengan Jun.” Devan mendengus.

“Lho, memangnya kenapa Mas Devan? Mereka kan kawan sedari kecil. Tidak bijak menjadi orang tua kalau saya melarang-larang anak saya mau main dengan siapa. Lina dan Jun itu bahkan sudah sering main bersama sejak mereka masih Taman Kanak-Kanak,” ujar Pak RT sembari menjelaskan latar belakang kedekatan sang putri dengan Jun. “Saya juga jadi kasihan dan tidak tega melihat Jun sebatang kara.”

“Yaaaah… ini kan hanya usulan dan pendapat saya saja, Pak. Kalau didengarkan monggo, enggak didengarkan juga ga papa. Lha wong hidup-hidupnya Pak RT sama Herlina masa saya yang ngatur.” Devan cengengesan. Pemuda berkumis baplang itu merapikan batiknya karena ingin selalu tampil baik di depan Pak RT. “Tapi ini misalnya lho ya… mohon maap dulu sebelumnya… mohon maap ini… saya tidak ingin berkesan kurang ajar atau apa. Tapi ini supaya Pak RT dan keluarga selamat dari gunjingan warga. Kalau melihat Jun dan Lina dekat seperti itu, bukankah sudah jelas hubungan mereka mengarah ke hubungan asmara? Apa iya Pak RT mau punya mantu anak yang masa depannya tidak jelas?”

“Asmara?” Pak RT melirik ke arah sang putri dan Jun.

Devan tersenyum saat melihat wajah Pak RT berubah menjadi bimbang. Sepertinya rencananya berhasil dijalankan. Setelah ini, dia berharap Lina tidak akan lagi dekat dengan Jun – dan itu artinya kesempatan bagi Devan untuk meminang Herlina terbuka lebar. Jarak usia mereka memang teramat lebar, hampir lima belas tahun. Tapi sudah sejak lama Devan mengincar gadis manis itu sebagai pasangan. Kulitnya putih, orangnya baik, tubuhnya seksi semampai, dengan dada membusung menggiurkan jika dipandang, benar-benar idaman. Pasti nyaman sekali dijadikan istri.

Ketimbang cuma jadi bacolan, kenapa tidak sekalian dilamar? Tentu saja dia harus menyingkirkan dulu sosok Jun dari hadapan Pak RT untuk sekali dan selamanya.

Ini kesempatan yang tepat.





.::..::..::..::..::.





.:: DULU. SETELAH.





Junaedi tertawa-tawa diantara kawanannya.

“Bwahahahah! Hari ini kita pesta, Nyuuuuk! Pabu sacilaaaaad! Duit segepooook!! Laris! Laris! Laris! Laris! Mau minum apa kalian hari ini!? Arep nguntal apa? Beli!! Makan minum hari ini gratis! Sudah ada sponsornya! Bwahahahaha.”

Pemuda itu mengibarkan uang dalam satu ikatan karet di atas kepala teman-teman sekolahnya, lalu mengoleskannya di pundak mereka.

Uang itu berasal dari salah seorang anggota geng sekolahnya – si Jabrik. Tanpa perlu dibuka karetnya pun Jun sudah tahu jumlah uang itu cukup banyak, seharusnya bisa digunakan untuk membeli satu krat minuman keras untuk dinikmati bersama. Benar-benar hari keberuntungan.

Anak-anak SMA yang berkumpul di sekitar Jun segera berteriak-teriak dan melolong seperti anggota suku Indian saat uang itu dipamerkan oleh Jun. Cocok. Rombongan geng sekolah mereka memang dikenal dengan nama ApacheAngkatan Pabu Cheria. Singkatan yang memenuhi standar mekso yo ben sing penting gaul. Jangan dipermasalahkan tentang nama dan singkatan yang ngasal, namanya juga anak SMA. Apache pimpinan Jun adalah salah satu geng sekolah paling ditakuti di kawasan utara, terutama di kawasan sekitar Boborsari karena anarkis.

“Dapat dari mana duit ini?” tanya Jun pada Jabrik sang pemberi.

Duit dari malak, duit dari uang saku, atau duit hasil kerja? Sebenarnya dari manapun asal duit itu, Jun tidak peduli, tapi dia tetap harus bertanya. Uang sebanyak ini sesungguhnya tidak mengherankan bagi Jun yang telah diadopsi oleh satu keluarga kaya yang masih saudara jauhnya. Tapi bagi teman-temannya, duit sebanyak itu adalah harta karun.

“Dapet dari bocah di jalan, Dab. Biasalah. Wes dinggo wae! Pakai saja!” Si Jabrik mengedipkan mata. Sudah pasti bukan hasil donasi sukarela. Kemungkinan besar melibatkan ancaman terhadap pihak ketiga. Kepalan bicara uang pun berpindah tangan.

Jun tertawa.

Pemuda itu senang bisa membahagiakan teman-temannya – orang-orang yang ia anggap sebagai keluarga. Meskipun dengan jalan yang tidak legal, yang penting mereka bisa tertawa, yang penting ada uang. Entah apakah itu untuk makan, membeli minuman, sewa BO, apapun yang mereka inginkan – jadi lah. Peduli setan dengan apapun! Hidup itu untuk hari ini. Bukan untuk masa lalu, dan tidak untuk memusingkan masa depan.

Jun tidak ingin tahu uang itu didapat dari mana, bagaimana caranya didapat, dan oleh siapa. Semua hal itu tidak penting. Yang penting ada duit dan ada yang dibagi. Mereka memang anak-anak nakal dan bandel, tapi semuanya setia kawan dan selalu hadir di kala ia susah maupun senang. Merekalah sahabat-sahabat sejatinya.

Mereka yang terbaik.

Mereka yang selalu ada ketika semua orang pergi. Mereka yang hadir ketika ia kehilangan semuanya.

Jun pindah ke pondok untuk beberapa saat lamanya setelah ayahnya meninggal sebelum akhirnya dirawat oleh salah satu keluarga jauh dari pihak ibunya, sebetulnya dirawat bukanlah kata yang tepat karena Jun biasanya memenuhi keperluannya sendiri. Good news-nya, keluarga baru Jun adalah keluarga bercukupan. Bad news-nya mereka juga jarang berada di rumah karena tinggal di luar negeri sehingga Jun lebih betah nongkrong di sekolah sampai akhirnya membentuk geng Apache bersama teman-teman sekolahnya.

Justru anak-anak bandel bin ajaib ini yang selalu hadir bersamanya. Persahabatan memang bagaikan kepompong yang bisa menjelma indah menjadi kupu-kupu. Tidak akan ada yang bisa menghancurkan mereka. Tidak akan ada yang bisa menaklukkan mereka. Apache adalah segalanya.

Bersyukur sekali ia bisa…

“JUUUUUUUUN!!”

Seorang anggota Apache berlari kencang ke arah Jun, ia tergopoh-gopoh sejak masuk dari gerbang depan sekolah ke arah Jun dan kumpulannya di tengah plaza, dekat dengan taman bebatuan yang digunakan sebagai kursi alami di sekitar patung batu berbentuk bust sang pendiri sekolah.

Wajah remaja yang baru datang itu terlihat ketakutan, keringatnya deras bercucuran. Seperti baru saja bertemu dengan sesosok hantu. Di Apache dia dikenal dengan nama panggilan Epen, seorang remaja asal wilayah timur yang di hari-hari normal adalah sang garda depan yang tidak takut pada apapun.

Ini hari yang tidak normal.

Si Epen terengah-engah saat sampai di hadapan Jun. “Di… di… depan… sudah datang… di depan Juun!!”

Jun mengerutkan kening. Jelas ia bingung dengan penjelasan separuh-separuh dari Epen. “Kamu itu kenapa? Ngomong yang jelas! Aku tidak paham! Siapa yang sudah datang? Siapa yang ada di depan? Kenapa kamu sampai ketakutan begitu?”

“DIA!! SANG MONSTEERRR!!”

Epen yang pucat pasi itu menunjuk-nunjuk ke arah gerbang sekolah dengan histeris. Sang garda depan sangat ketakutan.

Sebagian besar anggota Apache termasuk Jun yang sedang duduk-duduk di bebatuan pun saling berpandangan. Opo meneh to karepe si Epen ki? Keweden opo? Apa maksudnya? Kenapa dia ketakutan seperti itu? Mereka benar-benar tidak paham. Siapa yang dia sebut dengan nama monster? Mereka saling berpandangan karena tidak paham apa yang dimaksud oleh si Epen.

“DIAAAA!!! DIAAA, JUUUN!!”

“Dia siapa!? Kalau ngomong yang jelas!!” salah seorang teman yang sudah tidak sabar segera menghardik Epen.

“SI MONSTEEEERR!!”

“Monstar-monster monstar-monster!! Opo lah ra mutu! Apaan sih! Ga jelas banget Epen kalau…” teman lain ikut-ikutan menggelengkan kepala. Tapi sejenak kemudian beberapa teman-teman Epen yang awalnya berjaga-jaga di depan sekolah, kini berlarian masuk. Mereka berteriak-teriak dengan wajah ketakutan, persis seperti apa yang tadinya dilakukan oleh Epen.

“SI MONSTEEERRR DATAAAANG!”

“MONSTEEEEEER!!”

“JANGAN BERDIRI DI SITU SAJAAAA!! KABUUUUR!! ADA SI MONSTEEEEER!!”

Terdengar suara raungan motor menderu-deru di luar. Bukan hanya satu motor saja, ini pasti lebih dari lima. Raungan motor itu kemudian digantikan suara teriakan kesakitan yang silih berganti dari arah depan disertai suara gedebugan kencang. Anggota Apache dan anak-anak biasa yang tadinya berkumpul di luar sekolah berlarian masuk ke dalam dengan wajah ngeri dan ketakutan.

“Jun! Ada invasi!” teriak salah satu anggota Apache. “Kita diserang!”

Jun segera berlari dan berdiri tegap di atas batu raksasa yang ada di pinggir plaza. Ia penasaran apa yang terjadi dan mencoba melongok ke luar. Siapa yang datang? Invasi dari mana? Monster apa yang dimaksud Epen? Bajinguk. Banyak pertanyaan, tapi tidak ada jawaban.

Dia masih belum bisa melihatnya. Siapapun itu, dia tidak ingin Apache ketakutan seperti ini. Mereka menang jumlah dan ini mabes mereka! Harus dipertahankan dengan sekuat tenaga!

“Kenapa kalian malah berlari mundur? Ini rumah kita! Jaga sampai mati!” Jun berteriak kencang, “Pasang barikadeeee! Jaga semua pintu masuk! Jumlah kita sangat banyak! Masa iya bisa kalah sama invasi kelas teri dari lawan? Jangan pandang bulu! Hajaaar semua yang nekat mau masuk ke dalam! Ajak teman-teman lain meskipun bukan Apache untuk bertahan! Amankan siswa perempuan dan guru-guru! Pertahankan sekolah kita!”

Anggota Apache di sekeliling Jun berteriak dan melolong, seperti rombongan Indian meneriakkan ajakan perang. Begitu titah disuarakan, mereka pun menyebar ke pintu-pintu yang memungkinkan ada orang masuk dari luar ke dalam. Beberapa siswa SMA yang tidak berhubungan dengan Apache – terutama yang perempuan berteriak-teriak masuk ke dalam kelas dan mengunci pintu. Guru-guru kebingungan menghadapi serangan yang datang karena baik dari dalam maupun dari luar, ancaman tawuran sangat nyata dan tak bisa dibendung, mereka masuk ke ruang yang aman dan menelpon polisi.

Jun masih belum bisa melihat siapa yang datang.

Sampai akhirnya ia melihat anggota Apache satu persatu terlempar dan terjerembab jatuh di dekat pintu gerbang. Pemuda itu menggeram marah. Kelompok mana yang berani-beraninya… Apache tidak akan luluh lantak oleh siapapun! Mereka adalah yang terkuat di…

Jun terbelalak.

Dia dapat melihatnya.

Dia dapat melihatnya sekarang.

Semua kericuhan ini diakibatkan oleh satu orang.

Satu orang saja.

Si monster.

Satu orang dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan. Dengan mudahnya ia menembus barikade pertahanan Apache. Satu persatu lawan ditundukkan tanpa harus banyak mengeluarkan peluh. Pantas memang kalau dia dijuluki seorang monster.

Dua orang anggota Apache menyerbu dari depan, tendangan kaki sang monster menggeliat dengan kencang. Kakinya bergerak lebih cepat dari para penyerangnya, one two step yang mengacaukan ritme. Dua sepakan menyerbu ke bagian perut. Dua orang anggota Apache tersentak ke belakang.

Dua lagi datang dari kanan dan kiri. Belum sampai mereka ke area pertahanan lawan, sang monster sudah berkelebat lebih cepat. Kaki kiri dicambukkan ke lawan di kiri.

Jbkkgh! Jlbbbbkghhh!

Dua sodokan menghentak perut dan kepala, melontarkan lawan ke belakang. Sang Monster menggulirkan badan ke samping, menggeser kaki sedikit lalu melontarkannya untuk menghentak lawan. Tendangan ke perut dan kepala!

Jbkkgh! Jlbbbbkghhh!

Lawan tersungkur sembari menahan kesakitan.

Pergeseran ke belakang dilakukan dengan mudahnya, kakinya berputar. Bak mesin penggiling, kedua kakinya melesat bergantian dengan kecepatan tinggi. Beberapa lawan dari Apache yang mencoba menghentak dari belakang disambar dengan mudahnya.

Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jbkkgh! Jlbbbbkghhh!

Beberapa lawan terjatuh tak bisa bangkit kembali.

Satu persatu anggota Apache bertekuk lutut di hadapannya. Berapapun yang datang menyerangnya dapat ia taklukkan dengan mudah, hanya butuh sekali dua kali pukulan atau tendangan, mereka akan terkapar tak berdaya. Jun tahu sendiri anak-anak Apache bukan pemuda lemah dan gemar mengalah. Mereka pasti akan lebih memilih bertahan sekuat tenaga – apalagi ketika hanya berhadapan dengan satu orang. Tapi dikeroyok pun sepertinya tak memberikan efek apa-apa pada orang ini.

Benar-benar Monster yang mengerikan.

Satu persatu yang menyerang dia jatuhkan.

Jun melangkah ke depan. Ia mengambil secarik kain panjang dan mengikatnya di atas kepala, seperti mengenakan sebuah headband. “Aku tidak akan membiarkan bajingan itu menghancurkan sekolah kita. Bangsat!! Hadang dia!!”

Terdengar teriakan kembali. Saat Jun mendongak dan melihat ke depan, ia kembali melihat kawan-kawannya berjatuhan di belakang sang monster. Ternyata lebih sial lagi di belakang sang monster itu ada orang-orang lain yang juga membantunya. Setidaknya ada empat orang lain yang juga lumayan kuat.

Wedhus!

Jun mengumpat karena musuhnya bertambah, tapi keempat orang itu bukanlah tokoh utama. Dia menginginkan sang Monster! Orang itulah yang harus dihancurkan sampai jadi debu! Tatapannya fokus pada orang yang baru datang. Dia terus berjalan ke depan tanpa terhentikan. Satu dua orang teman Jun menghadang, dua pukulan dilepaskan, mereka langsung terkapar tanpa daya tak berapa lama kemudian. Kecepatan dan kekuatannya mengerikan.

Itu membuktikan kalau si monster dan teman-teman Jun berbeda level.

Mau tidak mau Jun harus turun tangan sendiri.

Tapi tak sefrontal itu dia akan melawan, Jun harus mengatur strategi agar si bangsat ini benar-benar hancur dan dipermalukan sampai lembek seperti kerupuk dicemplungin ke kuah seblak karena telah datang tak diundang dan membuat kekacauan di sekolahnya. Dia harus dipermalukan!

Jun merunduk dan menepuk pundak tiga punggawa utama Apache yang masih duduk di depannya. Mereka adalah deputi tertinggi Apache di bawah Jun, tiga anak tingkat akhir yang paling kuat yang ada di Apache. Mereka bertiga bukanlah anggota biasa-biasa saja. Ketiganya memiliki kemampuan yang hanya berada sedikit di bawah Jun.

“Takut?” tanya Jun pada ketiga deputi Apache. “Dia sanggup menghancurkan pasukan pertahanan kita sendirian. Belum pernah ada yang bisa melakukan itu sebelumnya. Si Bangsat itu orang yang pertama.”

Ketiga orang di bawah Jun tertawa hampir bersamaan. Salah satunya geleng kepala, “Dia belum pernah berhadapan dengan kami.”

Satu lagi menimpali. “Tch. Jangan khawatir. Kami lebih kuat dari anak-anak Apache pada umumnya. Bajingan semacam dia memang suka pamer kekuatan saja.”

Orang ketiga menggesekkan ibu jari di leher sembari menggemeretakkan gigi. Pertanda kalau dia akan menghabisi dan menggorok Sang Monster.

Jun mengangguk setuju, dia membungkuk di belakang ketiga pemuda itu untuk memberikan petunjuk. “Kita berempat harus menyerang sebelum terlambat. Serbu si Monster bajingan itu dari empat arah secara bersamaan. Ingat baik-baik. Bersamaan.”

Ketiga punggawa membalikkan badan dan menatap Jun, apakah dia sudah punya strategi untuk merontokkan pria berjuluk monster itu? Harus diakui kalau lawan mereka yang kali ini terlihat sangat ulet dan susah untuk dibendung tapi bukan berarti tidak bisa ditundukkan.

Jun melanjutkan. “Inti dari pertarungan melawan banyak lawan adalah menghindari keroyokan, dia akan mencari lawan terlemah atau lawan yang maju terlebih dahulu. Dia menghindar kalau tidak bisa menghadapi keroyokan beberapa orang sekaligus dan memilih lawan yang terdekat lalu memburu mereka semua satu persatu,” ujar Jun yang memang cermat dalam mengamati lawan. “Sudah aku amati sedari tadi. Kalau memang dia mengelak, serbu bersamaan. Jangan sampai lengah. Serang dari empat penjuru, kalau dibalas, menyebar sesaat, lalu menyerang lagi serentak. Jangan sporadis dan jangan acak. Dia tidak akan bisa memilih lawan dan kebingungan menentukan yang mana yang akan dihadapi terlebih dahulu. Paham semuanya?”

“Siaaaaap!”

Ketiga punggawa Apache menyebar dan mengitari pria yang mereka juluki monster sembari tertawa-tawa. Mereka benar-benar tidak percaya ada orang segila ini. Bedebah busuk ini berani-beraninya datang ke SMA mereka, lalu mengacau, merusak, dan menundukkan kawan-kawan mereka dengan mudahnya. Jika dia berharap akan pulang ke rumah dalam keadaaan utuh, maka itu mengada-ada sekali.

Posisi keempatnya sudah berada pada jarak yang sama antara mereka dengan sang monster. Jun melirik ke arah jauh. Keempat kawan si Monster bedebah itu entah kenapa tidak maju untuk membantu. Sepercaya diri itukah mereka?

“Maju!”

Aba-aba Jun bagaikan tembakan pistol di arena balap. Bersamaan dengannya, ketiga pemuda lain yang tadinya mengitari Sang Monster bergerak bersamaan seirama bagaikan sudah sering berlatih sebelumnya. Dari kiri ke kanan, dimulai dari Jun. Disusul oleh ketiga punggawa Apache yaitu Bobi, Eka, dan Jeri.

Bagaikan mesin penjebak, empat orang bergerak menyerang ke depan. Ada yang dari atas, dari samping, mengincar pinggang, dan hendak mengait kaki. Tidak ada jalan keluar. Tendangan, pukulan, hantaman, semua menghujani.

Swsh.

Gagal.

Keempat serangan bersamaan itu ternyata hanya menemui ruang kosong.

Orang yang diincar telah lenyap tak berbekas. Jun dan ketiga kawannya saling berpandangan. Bagaimana bisa? Tidak mungkin dia lolos dari mereka berempat! Tapi itulah yang terjadi. Itulah kenyataannya. Jun mengalihkan pandangan ke kanan dan ke kiri mencoba mencari. Kemana perginya bedebah itu? Masa iya dia bisa lenyap bak ditelan bumi? Benar-benar ajaib.

“Kalian ngapain?”

Suara di belakang itu! Jun membalikkan badan dan langsung terbelalak. Sang Monster sudah ada di belakangnya sembari bersidekap. Bobi, Eka, dan Jeri bergerak bersamaan sekali lagi. mereka melejit untuk menyerang. Karena sudah banyak makan asam garam pertarungan, ketiga punggawa Apache tidak harus menunggu lama untuk menyerang sang lawan.

Pemuda yang mereka juluki monster itu langsung merubah sikap dan melakukan kuda-kuda dengan cara yang unik. Ia menyampingkan badan, menatap tajam ke depan, menurunkan punggung sedikit, telapak tangan kanan di depan tangan kiri, keduanya melindungi bagian dada.

Serangan beruntun datang.

Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Tangan Eka ditepis, pukulan Jeri diputar, tendangan Bobi dielakkan. Gerakan itu dilakukan dengan melenturkan tubuh bak karet. Jun tidak percaya apa yang dia lihat. Bagaimana mungkin? Mereka menyerang bersamaan! Dengan tidak sabar ia melejit ke depan.

Sang Monster tersenyum.

Ia ikut melesat.

Jeri masih terputar karena tadi didorong oleh sang Monster. Kini pria mengerikan itu memegang bagian belakang kepala Jeri yang langsung berteriak karena ngeri dengan apa yang akan dilakukan si Monster bengis.

“Hraaaaaaaaaaaaaaa!!”

Jbkkkghhhh!

Muka Jeri dibenamkan di kursi besi. Hidungnya langsung bengkok. Darah muncrat dari mulutnya. Ia menjerit kesakitan tanpa bisa melawan.

Kaki sang Monster berputar ke belakang setengah lingkaran. Ada Eka yang menyerang dengan kepalan terlontar. Karena beda ritme dan jangkauan, kaki sang Monster sampai lebih dahulu. Menghajar kepala Eka ke kanan, lalu ke kiri.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.

Darah pun berceceran, kepala Eka bagai menghantam tembok baja.

Jbkgh!

Sang Monster berputar dengan elegan hampir seperti terbang. Tendangan kaki kirinya menyeruak masuk untuk merombak wajah Eka yang didorong untuk terjatuh dengan sodokan dua kaki di dada. Lalu ketika menjejak tanah, sang monster mengubah haluan dan melompat kembali ke kiri.

Kembali kaki kanannya masuk. Final kick. Eka tak sempat berteriak.

Jboooookgh!

Tubuh Eka jatuh terjerembab tanpa tahu apa yang sudah terjadi pada wajahnya. Pandangan matanya gelap gulita. Ia pingsan seketika.

Hanya tinggal Bobi dan Jun. Bobi berteriak kencang, “Jun! Pergi dari sini! Kalau kamu jatuh, itu artinya kita semua kalah! Kita tidak boleh kalah seperti sekolah lain! Aku akan menahannya! Kamu harus bertahan Jun! Kamu haru…”

Jboooooooooooooghkkkkkkhhhh!

Wajah Bobi dirombak dengan paksa oleh satu kepalan yang datang entah dari mana. Karena tak bersiap sebelumnya, ia terlontar ke belakang hingga tiga meter. Yang tersisa hanyalah lontaran gigi patah dari mulutnya yang kini berdarah. Ia terguling berulang ke belakang. Setiap kali berputar, kepalanya terantuk tanah.

“Ku-Kuraaaang aaaaj…” Jun berteriak kencang melihat kawannya dianiaya sang Monster. Sayang dia lengah.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Pukulan demi pukulan masuk tanpa bisa dihentikan. Apapun yang dimiliki Jun, kemampuan apapun yang sebelumnya dia kuasai, hilang tanpa bekas karena lawan yang terlampau cepat dan mengerikan. Kepala Jun dipermainkan bagaikan sandsack. Wajahnya sudah dirombak tapi ia tak mau kalah begitu saja. Dia mencoba melontarkan satu pukulan.

Lolos.

Lawan tak terkena.

Kaki Jun kini dihajar berulang kali dengan sepakan menyamping.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Jun jatuh terjerembab setelah kakinya diincar. ia buru-buru kembali bangkit. Jun mencoba memasang kuda-kuda untuk bersiap. “Ayo pukuli aku lagi, Baji….”

Jboooooooooooooghkkkkkkhhhh!

Kepalan lawan masuk ke muka Jun yang langsung bonyok.

Jun terlempar dan jatuh terguling-guling ke belakang tak jauh dari Bobi.

Apa-apaan ini? Kenapa dia bisa kuat sekali?

Jun tidak habis pikir bagaimana mungkin orang ini bisa menghajarnya dengan cepat tanpa terlihat. Pantas saja mereka semua tidak ada yang bisa menghentikannya. Dia terlampau hebat. Level-nya di atas mereka semua.

Jun kembali berdiri dengan sempoyongan. Kepalanya pusing sekali, seluruh tubuh kesemutan dan berasa memarnya. “Si-siapa kamu, bajingan? A-apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kami?”

Sang Monster tersenyum, “Namaku Nanto. Simpan namaku dalam memorimu baik-baik sebelum kamu pingsan dan lupa siapa aku.”

Jun mendengus kesal dan tersenyum sinis. Tidak semudah itu dia menyerah kalah. Kali ini tidak ada main-main lagi. No more Mr Nice Guy.

Nanto bersiap.

Melihat kuda-kuda si Bengal, Jun ikut bersiap. Kaki Jun sudah remuk redam seakan ingin hancur sampai ke tulang-tulangnya. Tapi demi apa dia akan menyerah? Meski sudah sangat kelelahan, dia tak akan rubuh begitu saja. Baik Jun ataupun tentunya Nanto sama-sama tidak ingin kalah.

“Kita tahu ini tidak akan berakhir baik untuk kalian. Aku akan menghabisi semua anggota kalian, semua atau satu persatu – hidup atau mati, aku tidak peduli.” Nanto berdiri di hadapan Jun dengan pandangan mata tajam. “Kalau sampai anak CB yang kalian aniaya sampai mati, seratus orang kalian tidak akan mampu membayarnya.”

Anak CB yang dianiaya? Apa maksudnya?

Jun geram diremehkan semudah itu. Ia berdiri dan menggenggam kepalan tangannya dengan erat. Kalaupun dia harus mati, biarlah dia mati. Tapi dia tak akan membiarkan bajingan busuk ini pulang dengan rasa puas karena telah menghancurkan sekolah kebanggaannya dengan kejamnya. Jun akan membuat dia menyesal telah menyerang sekolah ini.

Jun bergerak ringan ke depan. Lebih berhati-hati dan taktis. Nanto melaju ke depan, kakinya maju untuk menyodok tubuh Jun.

Jun mengelak ke samping.

Begitu menapak, Nanto langsung membalikkan badan dan melontarkan sambaran dengan cekatan. Kedua tangannya bekerja. Kiri kanan, kiri kanan. Tapi Jun jauh lebih fokus sekarang. Tangan kiri Nanto maju, Jun mengelak. Tangan kanan Nanto bergerak, Jun menepisnya. Tangan kiri Nanto menyerang, Jun kembali mundur untuk menghindar.

Tangan kanan Nanto kembali maju.

Ini dia saatnya.

Jun menepis lengan si Bengal, beringsut ke kanan, dan melontarkan pukulan kencang.

Bletaaaaaaaaakgh!!

Masuk ke wajah.

Nanto terlempar ke samping. Si Bengal hampir terjerembab tapi dia tidak apa-apa. Keempat kawannya sudah siap maju, tapi Nanto mengangkat tangannya dan menggelengkan kepala.

“Tidak ada yang bergerak. Dia bagianku.”

Jun tersenyum. Dia meloncat kesana kemari. Matanya tajam ke depan. Kedua tangannya terus bergerak. Nanto kembali melaju, kepalannya disiapkan, tapi justru kakinya yang bergerak menyapu. Jun sudah siap. Ia menarik kaki kirinya yang diincar.

Lolos.

Nanto tidak menyerah, kaki kanan melayang. Lagi-lagi tidak menemui sasaran. Jun mundur dengan gerakan ringannya. Pukulan dihempaskan si Bengal. Itu juga gagal tak berhasil mengenai lawan. Jun menundukkan badan, menyamping, dan mulai bergerak cepat.

Tangan kiri melesat. Pukulan masuk ke dada, lalu siku tangan menyergap dagu si Bengal, lalu pukulan ke pundak, setelah itu ke lengan, dan akhirnya menyapu kaki.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Si Bengal terpelanting.

Tapi dia tidak jatuh. Dia hanya goyah dan harus menancapkan diri ke tanah supaya tidak terjerembab. Saat itulah Jun tahu dia harus maju untuk menyerang.

“Haaaaaaaaaaarrrrghhh!” Jun berlari ke depan dengan penuh kekuatan.

Semua ada di kepalan, di kaki yang kencang menjejak tanah, di semangat yang tak pudar. Dia akan menjatuhkan manusia sialan di depannya ini sekali untuk…

Jun tertegun saat melihat kedipan mata si Bengal.

Nanto menghindari pukulan Jun dengan melemparkan badannya ke samping. Bukan tanpa usaha, kecepatan dan kekuatan Jun sudah pasti berbeda dengan cecunguk-cecunguk lain dari sekolah sialan ini. Tapi itu bukan berarti dia bisa menundukkan Nanto dengan mudah.

Nanto mengubah posisi tubuhnya dengan santai. Jun geram.

Nanto tahu dia sudah mendapatkan Jun. Dengan tumbangnya sang pimpinan, Apache akan jatuh. Mereka harus menerima akibatnya – mereka semua. Mereka yang telah membuat salah satu anak SMA CB yang tak bersalah menjadi korban. Mengincar satu anak CB berarti mengincar semua anak CB. Itu artinya bersiap untuk hancur.

Si Hilmy adalah anak yatim yang baik dan tidak pernah melakukan hal-hal yang buruk sedikitpun, ibarat kata melukai semut pun dia enggan. Bisa-bisanya para bajingan Apache ini lalu menghajar Hilmy yang sedang dalam perjalanan ke sekolah hanya karena dia mengenakan seragam SMA CB. Mereka dengan sengaja membuat Hilmy terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit untuk merenggut uang sekolah yang dibawa oleh Hilmy. Uang sekolah yang secara susah payah dikumpulkan sang Ibu dengan menjadi penjual grontol tiap pagi di pasar. Uang yang seharusnya digunakan untuk membayar SPP.

Seperti biasa, Hilmy punya hati yang baik. Saat ditemui di rumah sakit tadi Hilmy bilang dia sudah memaafkan mereka. Dia sudah menebak kalau Nanto dan kawan-kawan akan langsung memburu anak-anak Apache. Hilmy tidak menginginkan pertumpahan darah di kubu manapun. Itu sebabnya dia bilang dia sudah memaafkan mereka.

Tapi Nanto tidak memaafkan siapapun.

Begitu Jun masuk ke area pertahanannya, Nanto sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Pertama membiarkan pukulan Jun terlontar, tapi dengan mudah si Bengal mengelak. Tangannya melayang ke depan – mengalung pada leher belakang Jun, lalu menariknya ke bawah.

Jun terbelalak. Bajingan! Tidak! Tidaaaak!!

Jboooooooooghkkkkkkhhhh!

Wajah Jun bertemu dengan lutut si Bengal. Darah muncrat. Jun terlontar ke belakang ketika kait Nanto dilepaskan. Ia tersedak-sedak. Tentu saja Nanto tak berhenti sampai di situ saja. Hancurkan lawan sampai jadi debu!

Jboooghkkkkkkhhhh! Jboooooooghkkkkkkhhhh! Jbooooghkkkkkkhhhh! Jboooooooooghkkkkkkhhhh!

Empat pukulan beruntun masuk ke wajah Jun. Kepalanya terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai akhirnya tubuhnya terbanting ke belakang. Wajahnya sudah tidak karuan. Bagian pelipis robek sehingga darah membanjiri wajahnya. Napasnya sesak karena hidungnya sudah tak lagi berfungsi normal dan dipenuhi darah.

“Haaaakghhh! Hkkkghh!!... hkkkkghh…”

Nanto berjalan perlahan, membungkuk, dan mengambil uang segepok yang tergeletak di tanah. “Ini sebagai peringatan. Jangan ambil apa yang bukan milik kalian. Paham? Kalau kalian masih mengganggu anak CB lagi, aku tidak akan segan-segan menghancurkan sekolah ini,” ujar Nanto mengancam sembari mendekatkan wajahnya pada Jun.

Sial! Sial! Sial! Jun memaki dirinya sendiri yang terlalu lemah. Selama ini dia merasa dirinya sudah hebat, tapi di atas langit masih ada langit. Dia harus mengakuinya.

“Hkkkgh… sssuatu hari nanti… a-aku akan menjadi petarung ke-kelas A… d-dan aku akan menantang… menantangmu la.. lagi… dan kita akan… kita akan… aku akan…”

Nanto tersenyum dan mengangguk. “Weleh, kok kayaknya kelamaan ya harus menunggu jadi petarung kelas A dulu? Tapi baiklah. Jadilah hebat, Bro. Aku akan menunggumu. Mudah—mudahan tidak lama lagi kamu akan berhasil menjadi petarung kelas A seperti yang kamu inginkan itu dan kita akan berjumpa lagi di arena. Kita tentukan siapa saat itu yang lebih hebat.”

Pandangan mata Jun berkunang-kunang.

Lalu gelap.





.::..::..::..::..::.





.:: DULU, KEMUDIAN



Vyna membuka kancing celana Jun. “Vyn buka celananya Mas ya…”

“I-iya, Mbak.”

“Hmm… sudah kangen banget sama ular kamu, tahu? Ular naga panjangnya… hihihi…”

“I-iya, Mbak.”

“Untung saja siang ini kita bisa dapat hotel ya, Sayang? Ga tau kenapa justru siang-siang begini kok malah penuh ini hotel di kawasan sini. Dasar pikiran orang memang mesum semua. Termasuk kita… hihihi…”

“I-iya, Mbak.”

“Ish, kok jawabnya iya Mbak iya Mbak terus sih? Jadi gemes sama kamu lho ini, Mas…”

“Eh… err… I-iya, Mbak?”

“Hihihi… Juuuuun ih.”

“Iya?”

“Kangen nggak sama aku? Aku kangen banget sama kamu.” Vyna maju ke depan untuk mencium dada Jun yang sudah terbuka tanpa baju. Jun memejamkan mata merasakan wanita jelita di depannya itu menikmati tubuhnya. Enak sekali ini… enak sekali…

Sementara lidah dan bibir Vyna bekerja merangsang dada Jun untuk terbang ke nirwana, tangan dan jemari wanita berparas indah itu beraksi untuk mulai melepas celana sang pemuda. Pertama dimulai dari sabuk kulit yang dipakai, lalu celana jeans, dan akhirnya celana dalam merk Hongs. Semua dilepaskan satu persatu oleh Vyna yang sudah tak tertahankan horny-nya.

Batang kemaluan yang menjulur panjang dan kencang mulai nampak di depan wajah Vyna.

Perempuan cantik itu terbelalak dan mengecap lidahnya. Ia benar-benar tak tahan lagi untuk menikmati kemaluan bocah ini. Si cantik berambut panjang itu menggelung rambutnya supaya tidak merepotkan. Tubuhnya yang semampai sangat elok dipandang membuat mata Jun bingung harus menatap ke arah mana. Semuanya merangsang - kulit putih bersih, tubuh tinggi, mata bulat, bibir penuh, rambut panjang, dada membusung, dan pantat bulat.

Kenapa seksi banget sih ini perempuan?

“Lu-luar biasa… besar dan panjang… hihihi…”

“Ta-tante suka?”

“Ish! Mas gimana sih! Kan sudah aku bilang jangan panggil aku Tante!”

“Eh iya… Mbak…”

“Nah gitu dong, Mas.” Vyna mengedipkan mata dengan genit. Wanita yang lebih tua dari Jun itu memainkan jemarinya di dada sang pemuda sembari bernyanyi dengan suara lembut dan mesra, “Di musim panas, merupakan hari bermain gembira, sang gajah terkena flu, pilek tiada henti-hentinya…”

Selain menyusuri tubuh Jun, tangan Vyna juga secara rutin memainkan kemaluan Jun dengan riang, seperti seorang anak bertemu mainan. Mainan yang kalau sudah masuk ke dalam liang cintanya akan membuat Vyna kelojotan dilanda nikmat hingga menembus awan di langit tertinggi dan terjun ke telaga surgawi. Dengan penuh nafsu, Vyna memainkan jemarinya di batang kejantanan yang sebenarnya sejak dulu sudah sering keluar masuk liang cintanya itu. Bentuknya lucu. Seperti helm baja di atas pancang kayu. Kalau orang Jawa bilang, koyo topi wojo.

Vyna membuka mulut dengan dada berdegup kencang, hatinya berdesir saat ia mengelus lembut batang kejantanan kekasih mudanya. Bibirnya mengecup ujung gundul batang kejantanan Jun, ada cairan berbau unik. Ahhh, sedapnya. Lidah nakal Vyna bermain. Satu persatu bagian dari batang itu dicium dan dikecup. Membuat Jun makin kelojotan sambil memejamkan mata. Lidah Vyna beraksi mengukur batang dari ujung pangkal ke topi wojo.

Batang kejantanan Jun otomatis menegak, memancang, menyeruak ke atas.

“Halo idolaku…” manja Vyna memainkan penis Jun. Ia merentangkan jemarinya untuk mengukur panjang batang sang pemuda. Vyna kemudian mengedipkan mata ke arah Jun yang sedang menatapnya. “Woooow. Panjang dan besar. Dasar nakal bocah ini, dulu godain aku sekarang bikin aku tak tahan pengen selalu mencicipi.”

Vyna kembali membuka mulut dan memasukkan batang kejantanan Jun ke dalam mulutnya. Bibir mungil, lidah nakal, dan mulut surgawi milik Vyna beraksi memastikan batang kejantanan Jun makin mencapai kondisi maksimal. Ahh, Vyna sudah tidak sabar menikmati kemaluan sang pemuda ini. Ia terus saja mengulum sembari menjilat-jilat.

“Aaah… ahhhh… ahhh!” Jun makin kelojotan. Tidak, laki-laki harus pegang peranan! Tidak boleh seperti ini! Dia sudah tidak tahan lagi. “M-Mbak, aku masukin ya?”

“Iyaaaaa!” Vyna melepaskan kulumannya dari batang kejantanan Jun, lalu mulai berbaring di ranjang. Perempuan itu bahkan langsung merenggangkan kaki supaya selangkangannya jadi santapan utama bagi Jun. Tanpa malu, tanpa risih, tanpa rikuh.

Jun memainkan penisnya dan memposisikannya tepat di pintu gerbang surgawi milik Vyna. Ia menggesek-gesekkan topi wojo-nya di bibir kemaluan Vyna. Cairan pelumas mulai membanjiri liang cinta sang perempuan jelita. Ujung gundul batang kemaluan Jun mulai menyeruak masuk. Diawali dengan topi wojo-nya.

“Aaaaaaaaaaaahhhhhhkkkk!!” Vyna berteriak kencang. Antara enak, sakit, tapi juga mendamba. “Aaaaaahhhh esssttt… eeehhhhhmmm… aaahhhh… ahhhhh… ahhhh… Maassss… enaaaaaaakghhh! Haaakghhh! Maaaasss!!”

Batang itu mulai masuk sedikit demi sedikit, membuka jalur ke dalam, sesenti demi sesenti, seketika sehingga. Masuk perlahan tanpa paksaan karena cairan cinta sudah membanjir. Jun memejamkan mata ketika ia mulai merasakan dinding kemaluan Vyna perlahan memijat-mijat batang kejantanannya.

Bangsat! Sesempit itu memek wanita ini! Enaknya tak terperi!

Bajingan! Memek wanita ini memang kampret enaknya!!

Bisa-bisanya barang sebagus ini dianggurin!

Vyna merem melek merasakan sang prajurit telah menguasai area di gerbang dan mulai merangsek ke dalam. Perempuan itu bersiap menerima hukuman selanjutnya. Hukuman kenikmatan yang akan membuat ia dan sang kekasi merasakan nikmat luar biasa.

“Haaaaaaaaaakkkghhhhh!! Maaassss… Enaaaaakghhhh bangeeeeet!! Aaaaah! Ahhhh! Aaaaaaah!”

“Enak kah?”

“Bangeeeeeet, Maaaaas!! Aaaaaaahhh!! Aaaaah!! Bangeeeeet. Masukin teruuuus…”

Jun memainkan perasaan Vyna dengan menarik dan memasukkan perlahan. Menggodanya sampai si jelita itu menggelinjang penasaran.

“Mas ih! Jangan begituuuuu! Masukin napaaaa!”

Tapi Jun tetap menahan diri dan tersenyum menyeringai.

Dengan satu sentakan kencang, pemuda itu melesakkan batang kejantanannya hingga masuk seluruhnya. Lenyap ke dalam liang cinta hangat penuh nikmat yang laknat itu dengan segenap daya upaya. Vyna terbelalak dengan serangan mendadak Jun! ia meremas seprei dan mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan teriakan tanpa suara. Nyeri bercampur nikmat yang tak disangka akan membuat melejit menggeliat.

Baru setelah beberapa saat ia berteriak kencang. “Haaaaaaaaaaaaakghhhh!!”

Jun menarik batangnya, lalu masuk lagi, tarik, masuk, tarik, masuk lagi, tarik lagi, masuk lagi. Tubuh Vyna dihajar oleh sodokan bergelombang tanpa henti yang menggunakan ritme tak beraturan. Jun tidak lagi peduli apakah wanita jelita itu mengalami nyaman atau malah kesakitan. Keringat menjadi saksi bahwa aksi sang pemuda membuat Vyna kalang kabut hebat.

“Enaaaaakghhh, Maaaaaaaaas…!!”

Jun tersenyum dan memulai aksinya. Melihat Vyna terbuai kenikmatan, rasa percaya dirinya meningkat. Ia berubah dari anak pelanduk menjadi seekor singa buas. Jun terus memompa penisnya dengan kekuatan tinggi. Keringat deras turun membasahi seluruh tubuh keduanya, saling sentuh, saling remas, saling menggelinjang. Vyna jadi tahu apa yang selama ini tak bisa ia dapatkan dari pasangan resminya bisa ia dapatkan dari Jun.

Pemuda ini hebat sekali.

Siapa yang memanfaatkan siapa? Semua jadi cahaya blur dalam rengkuhan nafsu.

“Teruuuuuuussss… haaaakghhh!! Haaaaaaaakghh!!”

Naik, naik, semakin cepat, semakin kencang, semakin kencang, lebih kencang, dan lebih kencang lagi. Luar biasa rasa nikmatnya. Jun memompa dengan mengerahkan tenaga. Dia akan membuat Vyna tahu kenapa mereka berdua harus terus bersama. Dia akan membuat ibu dua anak itu merasakan rasa yang tak terperi yang hanya bisa diberikan olehnya.

Hajar terus!!

Merem melek Vyna merasakan seluruh daya upaya Jun dikerahkan untuk membuat mereka berdua merasakan surga di dunia, dan sungguh ia merasakannya. Apakah ini yang disebut ketulusan? Ketulusan? Bukan. Ini bukan ketulusan. Ini dominasi. Jun menghajar tubuhnya untuk mendominasi dan Vyna pasrah menikmati.

Sial. Sial. Sial. Vyna tidak menyangka dirinya yang umurnya lebih tua akan ditaklukkan sedemikian rupa sehingga oleh bocah ini. Tapi sumpah, Ini enak banget.

Tubuh mereka saling menggesek, posisi sudah tidak karuan, tangan saling meremas, sudah tak ada lagi batasan apa yang boleh disentuh dan apa yang tidak. Yang penting enak, terus saja lakukan. Ini bukan cinta, keduanya tahu. Ini nafsu birahi belaka, keduanya paham.

“Teruuuuuuuuuusss… Maaaassss!! Teruuuuuuuuusss!! Ahaaaaaaakghhhh!!”

Detik demi detik Jun memacu diri. Detik berubah menjadi menit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas. Dua puluh. Keduanya makin kencang bergerak, kian sadar kalau puncak itu sudah dekat. Angan mereka sama-sama tahu, biduk sudah hampir sampai ke nirwana. Pinggul dipacu, wajah sudah tak karuan, sang pria memompa, sang wanita menggoyang.

Sampai akhirnya puncak itu datang.

“Aaaaaaah, Maaaaaaaas!! Keluaaaaaaaaar!! Aku keluaaaaaaarr!!”

Vyna menjerit kencang sembari mengangkat pinggulnya. Berusaha melesakkan penis Jun lebih dalam lagi. Supaya rahimnya diisi oleh potensi dari sang idaman yang resminya bukan pasangan. Sang pemuda tak mau kalah dan menusuk tajam ke bawah seperti menggali dalam-dalam. Keduanya saling remas, tangan terkait.

Lepas.

Lepas.

Lepasss…

Ada yang membanjir dan lepas bebas.

Cairan bersatu dari cinta semu, bukan rindu tapi gabungan nafsu yang memadu.

Keduanya akhirnya berhasil mendaki puncak kenikmatan berbarengan, dengan napas tersengal, dan badan luruh tanpa daya. Jun ambruk di atas tubuh Vyna dengan wajah puas. Keduanya berpagutan, saling menyelami keberadaan dengan mengoleskan bibir masing-masing. Bergulingan di pembaringan, sebelum akhirnya melepas diri dengan sisa lengket merekah dari bibir mereka.

“Hhh… hhh… hhh…” Vyna terengah-engah sembari memindahkan rambut panjang ke sisi wajah untuk kembali mengecup bibir Jun. “Aku puas banget, Mas… kamu hebat. Lebih hebat dari suamiku yang letoy. Kamu memang jejaka super idaman semua wanita…

Jun mengangguk tanpa bicara, tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Ia juga kembang kempis. Pemuda itu memejamkan mata untuk membenamkan kepala di atas bantal.

Ah, hari ini lagi-lagi dia bermain cinta dengan Vyna…

Vina yang sebenarnya ibu tiri dari salah seorang teman SMA-nya. Usia Vyna di medio 30-an, masih terhitung muda, meski kalau dibandingkan Jun, usia mereka terpaut cukup jauh. Penampilan dan tubuh Vyna yang masih kencang, langsing, dan singset sama sekali tidak menunjukkan usianya. Seksi dan menawan, membuat Jun mabuk kepayang.

Jun tahu sebenarnya dia dimanfaatkan untuk melayani hasrat birahi Tante Vyna. Tapi mau bagaimana lagi? Dia dapat uang jajan dan dapat nikmat memeknya. Kenapa tidak dilayani? Toh menguntungkan.

“Capek ya? Hihihi… kan baru satu ronde kita hari ini? Aaaa… aku masih belum puas, Mas… habis ini lagi yaaaa? Boleh kan yaaaa? Seperti biasa tiga ronde baru kita pulang. Okee?”

Jun mendesah panjang. Lagi dan lagi dan lagi.

Ia memejamkan mata.

Untungnya memek Vyna legit banget jadi dia bisa menikmati. Heran sama suaminya, istri haus begini kok tidak dilayani. Maunya apa sih? Seberapa kecil sih kontol suaminya? Kok bisa-bisanya masih rapet banget. Bodoh banget body cewek seseksi Vyna dianggurin begitu saja. Daripada nganggur ya dipakai saja sama Jun.

Ah… enaknya. Habis ini main lagi, tapi dia butuh istirah…

Byuuuuuuuuuuuuuuuurrrr!

Wajah Jun disiram air segayung. Air yang kemudian membuat ranjang cinta-nya dengan Vyna basah kuyup. Guyuran air mau tak mau menyadarkan Jun yang sempat terlelap.

“APA-APAAN INI!!” Jun bangkit dari ranjang dengan marah besar, “SIAPA YANG BERANI-BERANINYA…”

Ada seorang tua di hadapan sang pemuda.

Orang tua asing yang baru saja membuka pintu kamar hotel yang digunakan oleh Jun dan Vyna dengan mudahnya tanpa suara.

Kepalanya botak, kumisnya tipis, tubuhnya kecil, dan pendek nyaris kontet. Pakaiannya sederhana saja, kain putih, celana hitam, sendal jepit. Ia membawa-bawa caping khas seorang petani. Pak Tua itu mengeluarkan aura Ki yang terlalu luar biasa untuk dibiarkan begitu saja oleh Jun. Siapa orang tua ini? Kenalkah dia dengannya? Sepertinya begitu. Orang tua ini orang yang samar-samar diingatnya, orang yang sepertinya mengenalnya meskipun Jun lupa siapa dia.

Eh sebentar…

Orang ini kan… yang dulu pernah sekali waktu menemui Bapaknya?

Ah tapi Jun tidak tahu.

Dia tidak tahu siapa dia.

Siapa dia?

“MEMALUKAN!” Orang tua itu menggemeretakkan gigi dengan geram. “Seperti inikah keturunan seorang ningrat bekas punggawa kerajaan? Seperti inikah sosok yang telah mewarisi gelar Raden? Memalukan. Memalukan!!”

Jun geram dan maju dengan sempoyongan. “Aku tidak tahu siapa kamu, Pak Tua. Tapi aku akan…”

PLAAKKK!

Hanya dengan sentuhan telapak tangan ringan di pipi Jun, tubuh pemuda itu melayang ke samping dan terbanting setelah menabrak tembok. Vyna yang tadinya tidur dengan Jun pun berteriak-teriak ketakutan. Orang tua itu menatap ke arah sang wanita dengan pandangan sadis.

“Sebaiknya kamu keluar, wanita sundal! Apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan. Berani-beraninya kamu memanfaatkan pemuda yang masih labil untuk memuaskan hasrat birahi bejatmu!! Jangan ganggu anak ini lagi! Dia baru lulus SMA!! Baru mau kuliah!! Umurmu jauh lebih tua tapi kelakuanmu bejat memalukan! Seragam kamu ASN tapi kelakuan seperti lonte! Dasar wanita biadab pemakan berondong! Ambil kerudung dustamu itu dari lantai!! Kamu menghancurkan hidup anak ini dengan perilaku sesatmu. Minggaaaaat!!! Jangan pernah temui dia lagi!! Pergi kamuuuu!! Wanita sesaaaaaat!! Kembali ke suamimuuu!!”

Vyna berlari sembari mengenakan pakaian seadanya dengan ketakutan dan melelehkan airmata, dadanya bahkan masih terbuka separuh. Ia berlari keluar dengan pakaian acak-acakan dan menangis. Apa-apaan sih Pak Tua ini? Huh, sok ikut campur. Lihat saja kelak, akan pergi ke pelukan siapa Jun nanti.

Vyna sudah tak lagi terlihat. Meninggalkan Jun sendirian di kamar.

Jun berdiri dengan marah karena dipermalukan oleh sang pria tua. “Tamparan di wajahku akan kubalas, Pak Tua brengsek! Aku pasti akan…”

Tkk! Tkk!

Totokan di nadi membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya terdiam, masih bisa sadar, dan bicara. Tapi tak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya.

“Ayahmu keturunan seorang punggawa kerajaan. Gelarnya didapat dari leluhur secara turun temurun sebagaimana yang dirimu miliki. Kamu punya gelar Raden sehingga masih dipandang oleh sebagian besar orang di kota. Bahkan saudara jauh yang kini merawatmu pun berharap kamu sanggup melanjutkan kiprah orangtuamu menjadi insan yang berguna bagi negara, bagi bangsa, bagi kraton. Kenapa menjatuhkan diri dalam nista seperti ini? Kenapa nekat bersenggama dengan istri orang yang haus belaian seperti itu? Apakah kamu tidak tahu siapa kakekmu? Siapa buyutmu? Siapa leluhurmu? Mereka pahlawan!! Malu kalau ingat jasa-jasa merekaaaa!!”

Geram Jun digertak seperti itu. “Aku tidak tahu siapa mereka dan aku tidak peduli! Mereka semua sudah mati!! Apa artinya semua gelar tai kucing jika tidak ada manfaatnya apa-apa untuk hidup!? Lepaskan aku! Aku tidak peduli semua gelar-gelar busuk itu!! Ambil kalau mau!! Makan sampai habis!!”

Pak Tua itu geleng kepala.

“Semua gelar brengsek itu semu! Bapak meninggal karena miskin dan terjebak hutang! Mati konyol karena terlibat kelompok mafia sesat yang kemudian membunuhnya! Jangan bandingkan kakek buyut atau siapalah terserah dengan Bapak apalagi aku! Kami berbeda!! Hidup kami tidak seperti hidup buyut kami! Aku tidak bisa menyelamatkan Bapak dari kematian keji! Aku tidak bisa menyelamatkan siapapun di sekolahku dari amukan seorang monster! Aku tidak bisa melakukan apa-apa!!”

“Anak bodoh…” Pak Tua itu geleng kepala. “Tahukah kamu apa yang membedakan kalian dengan pendahulu-pendahulu kalian? Mereka berusaha agar nama mereka sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka berusaha mewujudkan impian orang tua untuk menjadi satrio utomo. Bukan malah menyerah pada arus yang menenggelamkan. Kamu salah jika menurutmu gelar itu diwariskan karena kamu pantas. Tapi pantaskanlah dirimu sehingga kamu berhak menyandang gelar itu dengan sesuai. Buktikan kepantasanmu. Jangan kecewakan Ngarso Dalem yang memberikan gelar keramat pada keluarga kalian.”

“Lagipula siapa kamu!? Aku tidak mengenalmu! Kenapa tahu-tahu datang dan mengacau seperti ini? Bangsaaaaaat! Bebaskan aku!!”

Pak Tua itu membuka ponselnya, mencari-cari aplikasi, dan kemudian menekan beberapa tombol sebelum akhirnya terdengar suara. Ia meletakkan ponsel itu di meja supaya Jun bisa mendengar rekaman yang ia putar. Seperti rekaman sambungan telepon dari dua arah.

Aku minta tolong, Datuk. Minta tolong sekali.”

Minta tolong apa? Katakan saja. Kami sekeluarga berhutang budi padamu.”

Anakku, Datuk. Entah kenapa aku merasa bahwa waktuku bersamanya tidak akan lama. Aku… aku tahu aku bukan Bapak yang baik, yang setiap saat bisa hadir bersamanya. Tapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik supaya kelak dia jadi lebih baik dariku. Aku terjerat dalam kelompok keji yang akan melenyapkan siapapun yang mengkhianati. Aku telah membuka mulut untuk pihak yang berwajib. Tolong selamatkan anakku, Datuk. Ajari dia menjadi manusia sejati, menjadi kebanggaan orang tua, dan menjadi satria utama. Tidak apa-apa jika dia membenciku, itu memang salahku… aku bukan orang tua yang baik.

Jun tentu saja paham itu suara siapa. “Ba-bajingan…”

Pemuda itu menggemeretakkan giginya. Dia tidak mau mengakui kalau selama ini dia merindukan suara itu. Suara lembut yang dulu sering tiba-tiba saja mengajaknya berjalan-jalan, menonton hiburan di alun-alun, belanja kebutuhan pokok seadanya ke pasar, memasak untuknya, semua dilakukan demi membuatnya bahagia.

Jangan bicara yang tidak-tidak. Aku yakin kelompok sesat itu tidak akan…

Semua sudah terlambat untukku, tapi tidak untuk anakku. Biarkan dia lepas dari semua masalah, tolong bimbing dia ke arah yang benar, Datuk. Aku pernah menolong keluargamu, mungkin aku berdosa jika minta imbalan ini sebagai bayarannya, tapi aku tidak tahu kemana lagi aku harus meminta tolong. Kemampuanmu di atas rata-rata, aku yakin anakku akan berkembang jika berguru padamu.”

Hish! Kamu ini… tapi ya tidak seperti ini. Aku yakin sampeyan pasti bisa…”

Aku sudah merekam percakapan ini, Datuk. Berjanjilah.”

Hrrrh…”

Setelah itu lama tidak terdengar percakapan apapun di antara kedua orang yang sedang berbincang-bincang sampai kemudian terdengar suara lirih.

Baiklah.”

Jun tidak bisa melihat sang Bapak, tapi dia tahu Bapak-nya pasti sedang tersenyum. Tiba-tiba saja terdengar kembali suara sang Bapak melalui speaker ponsel milik Pak Tua yang berjuluk Datuk itu.

Jun. Jika kamu mendengar ini, itu artinya kamu sudah bertemu dengan Datuk Darah Raksa, tetua yang sangat Bapak kagumi. Belajarlah dari beliau. Belajarlah menjadi orang yang berguna. Kamu boleh membenciku, tapi jangan membenci ibumu. Ketahuilah bahwa itu bukan salah Ibu kamu menjadi seperti sekarang. Itu salahku yang tak pernah mengawasi kalian semua. Itu salahku yang tak pernah mengayomi kalian semua. Itu salahku yang tak bisa membuat Ibu-mu menjadi tenang dan nyaman. Semua itu salahku.”

Jun berkaca-kaca.

Jika kamu mendengar ini, itu artinya aku sudah tidak ada lagi di bumi, dan kamu mungkin sudah tinggal dengan Pakdhe atau Bude atau Om atau Tante. Aku sudah bicara dengan mereka untuk merawatmu jika aku pergi kelak. Entah bagaimana nasibku, entah bagaimana aku mati. Tapi hidup kan memang tidak semudah menghitung satu ditambah satu sama dengan dua ya. Jadi yang terjadi ya biarlah terjadi. Tidak perlu ditangisi.

Aku sudah sering bilang padamu, Jun. Jadilah hebat – bukan untuk kami, tapi untuk dirimu sendiri. Kamu mampu melakukannya. Jun… jika aku mati kelak… tolong rawat juga Ibu-mu. Selama ini kamu tidak pernah mau datang menengoknya. Tapi Ibu sudah mulai sehat dan dapat berpikir jernih meski harus perlahan-lahan. Ada kalanya Ibu menangis tanpa henti karena tak bisa melihatmu, dia merasa tak pantas menjadi Ibu karena tak pernah merawatmu, tapi rasa cintanya tak pernah berhenti untukmu, Jun. Bapak jadi saksinya. Ibu selalu mencintaimu meski kamu tidak lagi merasakan cinta Ibu sejak masih muda. Maafkanlah dia, Jun. Bukan salahnya Ibu menjadi seperti itu. Rawat dia perlahan-lahan. Jadilah sabar.

Jun, jadilah hebat. Jangan jadi sepertiku.”

Klk. Klk. Klk.

Suara itu pun terhenti.

Sang Datuk mengambil ponselnya. “Itu pesan terakhir Bapakmu, Jun. Aku terlambat kembali ke kota ini karena terlanjur menyeberang ke Negeri Seberang dan pulang mendapati Bapak kamu sudah tiada. Tapi aku kembali pulang ke negeri ini demi kamu dan demi janji pada Bapak. Sekarang semua terserah kamu. Mau jadi apa kamu?”

Jun mendengus. Suaranya kini lebih tenang dan lembut, “Lepaskan aku.”

Tangan sang Datuk berkelebat.

Jun terbebas.

Pemuda itu melangkah sempoyongan untuk mengambil baju yang sejak tadi belum ia kenakan. Setelah memakai baju, Jun melangkah ke arah pintu. Ia melirik ke minuman keras yang ada di atas meja. Tadinya hendak ia habiskan bersama Vyna. Jun mengambil botol miras itu dan melemparnya ke arah tong sampah. Ia mengeluarkan sedikit Ki sehingga botol itu tidak sampai benar-benar pecah.

Ia melirik ke arah sang Datuk yang masih terus menatapnya.

Keluar untuk kembali bebas dan kabur dari semua masalah, atau masuk untuk belajar bekerja keras, bertanggung jawab, dan menghadapi masa lalu?

Jun menghela napas panjang.

Tiba-tiba saja ia membalikkan badan.

Pemuda itu berlutut di hadapan sang pria tua, tangan dikatupkan dengan jari-jemari saling terkait menghunjuk ke atas sementara wajahnya menunduk ke bawah.

“Datuk… bersediakah mengangkatku sebagai murid?”

Datuk Darah Raksa terdiam.

Ia mengangguk sembari mengelus rambut Jun.





.::..::..::..::..::.





.:: DULU, SESUDAH KEMUDIAN





Jun mengikuti langkah Datuk Darah Raksa untuk sampai di sebuah lokasi pelataran yang luas berbataskan pagar bebatuan dua lapis membentuk kawasan tertutup. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah tanah lapang beralaskan rumput di bawah langit sore bercahaya lembayung. Di ujung pelataran, terdapat sebuah bangunan batu yang menjulang tinggi hampir sepuluh meter.

Sebuah candi.

“Tempat apa ini?”

Datuk tertawa. “Ini candi.”

“Lah gimana sih? Ya sudah tahu kalau ini kawasan candi. Sudah pasti ini bukan warung pecel lele, Datuuuk. Maksudnya ini candi apaan? Memangnya ga papa nih kita ada di sini? Takutnya kenapa-kenapa.”

“Karena kita berada di kawasan Simbarasa, maka candi ini juga sering disebut dengan nama Candi Simbarasa. Candi ini diperkirakan berdiri di masa Wangsa Syailendra dan ada hubungannya dengan Candi Prambaru yang kurang lebih empat kilometer dari sini.”

“Bukannya ini tempat beribadah?”

“Kalau pikiran bersih dan datang dengan kepasrahan tidak akan ada masalah. Pastikan kita minta ijin dengan baik untuk menggunakan pelataran dengan hati yang murni. Karena biar bagaimanapun tempat ini adalah tempat suci dan kita akan menggunakannya untuk melatih kemampuan diri, bukan untuk merusak apalagi mengganggu. Ayo kita minta ijin dulu.”

Datuk mempersilakan Jun duduk di sebelahnya sebelum masuk ke kawasan berpagar batu. Dia lalu mengajak pemuda itu untuk berdoa sejenak sesuai dengan apa yang baru saja ia sampaikan. Keduanya menundukkan kepala setelah bersila, memejamkan mata, menyatukan telapak tangan di depan dada, dan mulai berdoa.

Setelah meminta ijin, Datuk dan Jun berdiri dan masuk ke dalam ruang lapang berpagar batu. “Sebelum kita, para pendahulu-pendahulu kita juga sudah sering menggunakan tempat ini sebagai lokasi berlatih ilmu kanuragan yang aku kuasai. Aku dulu belajar di sini, sebagaimana guruku, gurunya, dan kakek-kakek guru sebelumnya. Yang harus kamu lakukan saat berlatih di sini… adalah belajar mendengarkan.”

“Mendengarkan?”

“Mendengarkan. Tapi bukan dengan telinga. Dengarkan dengan hati, dengan perasaaan, dengan seluruh keberadaanmu sebagai manusia seutuhnya. Dengarkan alam berbicara.”

Jun terdiam. Meski antara paham dan tak paham, Jun tahu ada metafor dalam kalimat sang Datuk. Memang tidak semua harus selalu dimengerti secara teori melainkan juga harus dirasakan dengan hati. Ada pengartian dan pengejawantahan yang seimbang antara pemahaman dan pengetahuan, antara pikiran dan perasaan, antara olah laku dan olah batin.

Datuk Darah Raksa meletakkan semua peralatan yang dia bawa-bawa dari rumah di atas tanah. Lalu memejamkan mata selama beberapa menit sebelum akhirnya memulai melakukan gerakan yang sepertinya sengaja dipelankan supaya Jun bisa memperhatikan dan mempelajarinya. Gerakannya lembut meski kepalannya menggenggam kencang dan tegas, gerakan gemulai itu mudah dipahami, seperti riak-riak aliran air yang mengikuti tiupan angin.

“Ilmu kanuragan adalah kerja keras. Kerja keras yang dilakukan secara beruntun dan berulang-ulang untuk bisa menguasainya. Butuh pengorbanan dari segi waktu dan tenaga untuk memahaminya secara sempurna. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk belajar ilmu kanuragan. Entah itu seorang penjual siomay ataupun tukang gulali. Entah itu anak kecil maupun orang tua. Semua punya kesempatan yang sama, termasuk begundal semacam kamu. Heheh.” Datuk Darah Raksa tertawa.

Pria tua itu lantas menggerakkan badan dan tangan dengan gerakan lembut gemulai mengikuti terpaan angin.

Jun mengikuti gerakan sang Datuk, “Ini? Apakah ini yang disebut Tai-chi?”

“Betul. Hanya untuk gerakan luar saja. Ilmu kanuragan ini sebenarnya tambal sulam, bisa dikombinasikan dengan gerakan apa saja untuk gerakan luar. Kamu akan paham nanti kenapa ilmu kanuragan yang aku ajarkan padamu ini bisa seperti itu. Apapun jurus luar yang kamu kuasai, tenaga dalam yang kamu miliki akan menjadi pembeda kemampuan dengan lawan.”

“Apa nama ilmu kanuragannya?”

Matahari Menjemput Rembulan.” Datuk Darah Raksa tersenyum, “Bersiaplah.”

Jun tidak paham apa maksud sang Datuk sampai kemudian pria tua itu meletakkan tangannya di pundak sang pemuda. Saat itulah aliran tenaga dahsyat mengalir dengan kencang ke dalam tubuh sang pemuda. Dia terbelalak dan tersengal-sengal!

Aliran tenaga dalam ini!

Ini luar biasa!

Sang Datuk menarik tangannya, lalu berdiam sejenak sebelum kembali membuka mata. “Aku memberikan sebagian tenaga dalamku supaya kamu bisa mengikuti apa yang aku lakukan dengan arus tenaga dalamku. Aku tahu kamu sudah bisa membaca arus Ki dari orang di sekitarmu. Sekali lagi, pahami arusnya, bukan tiru. Seluruh ilmu ini bukan untuk ditirukan mentah-mentah, tapi dipahami. Dengarkan dengan keseluruhan daya upayamu dan padukan dengan kemampuan luarmu yang terus dikembangkan tanpa wujud. Jika kamu memahami dan menguasainya maka kamu akan dapat mengalahkan semua orang.”

Jun mengangguk-angguk. “Saya akan berusaha, Guru…”

Itulah kali pertama Jun memanggil Datuk Darah Raksa dengan sebutan Guru. Sang pria tua tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Sekarang perhatikan...”





.::..::..::..::..::.





Datuk Darah Raksa terbatuk-batuk. Saat Jun hendak mengambilkan minum, Pria tua itu menggelengkan kepala. Dia justru menunjuk-nunjuk ke arah Jun. “Sudah… sudah… aku tidak apa-apa. Ada… ada yang harus kamu pelajari lebih lanjut. Karena kamu… kamu tidak bisa seperti ini terus. Ada yang harus luruskan…”

“Guru… Guru kan sedang sakit… harus minum obat… saya ambilkan ya obatnya? Supaya…”

Datuk Darah Raksa menggeleng sembari memegang dadanya. “Tidak. Tidak. Ini tidak boleh ditunda lagi. Waktuku tidak banyak. Aku tahu waktuku sudah tidak banyak… Ada yang harus kamu ketahui…”

Sang Datuk terbatuk-batuk kembali.

Jun menunduk. Dia akhirnya mengangguk. Dia tidak akan bisa memaksa sang guru jika hal tersebut tidak dikehendaki.

“Aku ingin kamu tahu karena inilah yang menjadi pembeda. Mana orang yang akan menjadi seorang petarung dan bisa menemukan jalan hidupnya, serta mana yang akan menjadi seorang pecundang yang akan tersesat selamanya, yang akan jadi kaum terjajah, yang kalah, dan yang menyerah. Kamu harus menghindarinya. Akan ada satu tahapan hidup di mana kamu akan menghadapi cobaan hidup dan berada di putaran roda terbawah, tapi itu sebuah tantangan, dan hadapi kekalahan dengan kepala tegak.”

Jun menyeka wajahnya, ada keringat dan air mata. Dia tahu sang guru sedang memaksakan diri untuk bicara. Wajah pria tua itu sudah tersengal-sengal dan keringatnya menetes dengan deras.

“Pelajari gerakannya, tetapi cari yang tanpa gerakan pun bisa kamu kuasai. Ini penting. Dengarkan suara yang tanpa suara. Pelajari, gunakan, pelajari, terapkan, pelajari, kuasai, pelajari, lupakan, pelajari, temukan jalanmu sendiri.” Datuk Darah Raksa terengah-engah di setiap kata. “Seperti musisi yang mampu memetik gitar tanpa menghapalkan kunci demi kunci, seperti seorang pelukis yang mampu menggambar hanya berbayang angan. Demikian juga olah diri.”

“Paham, Guru.”

“Jangan pula lantas berhenti. Luar dan dalam harus seimbang dalam kesatuan. Jadilah air. Tidak ada yang lebih lembut dari air, tapi air mampu mengikis batu. Air tidak melawan batu, air berkitar di sekeliling batu. Tanpa bentuk, tanpa wujud, tanpa nama, tapi terus bergerak, terus hidup...”

Kembali sang Datuk terbatuk-batuk.

Jun menunduk.





.::..::..::..::..::.





.:: HINGGA AKHIRNYA



Jun menepuk nisan kayu yang ada di depannya. Sebuah nisan sederhana. Tidak ada tanggal lahir, tidak ada tanggal meninggal. Hanya nama panggilan tercatat dengan cat putih luntur yang ditulis seadanya pada papan terpancang. Hanya sebagai penanda nama sang pengguna tanah sejati untuk abadi. Nama itu pun bukan nama asli, karena tidak ada yang tahu siapa nama sesungguhnya dari sang pemilik jazad yang kini terkubur dan tenang di bawah langit biru.

Pandangan Jun beralih dari atas, ke Gunung Menjulang, dan akhirnya ke nisan. Ia mengelus nisan kayu itu. Ada perjumpaan, sudah pasti ada perpisahan. Demikian juga perjumpaan dan perpisahan yang penuh kesan dan warna bersama sosok yang kini sudah dimakamkan di bawah nisan, sosok dengan julukan Datuk Darah Raksa.

Jun menghela napas panjang.

Julukan hanyalah sekedar julukan. Mereka sebenarnya bukan siapa-siapa di bawah Gunung Menjulang, di bawah naungan langit biru. Mereka hanyalah insan yang dimainkan roda jaman. Kadang di atas, kadang di bawah, kadang harus bertahan, kadang harus mempercepat. Kini saat roda sang guru telah terhenti, Jun merasa bahwa dia harus berlari dua kali lebih cepat.

Datuk Darah Raksa sang guru sudah pasti bukan seorang ksatria, bukan pula durjana. Namanya tidak harum, tidak juga terkenal. Tidak membahana, tidak pula busuk ditelan jaman. Gurunya hanyalah seorang pria sederhana dengan kemampuan luar biasa yang tidak dikenal oleh siapa-siapa.

Sekali lagi Jun menepuk nisan. “Selamat beristirahat, Guru. Aku berjanji akan selalu memegang teguh janjiku untuk membersihkan dan mengembalikan nama baikmu. Beristirahatlah dalam tenang. Akan kubuat semua orang ketakutan dengan ilmu kanuragan maha dahsyat yang telah Guru ciptakan.”

Jun lalu berdiri dan berjalan dengan tenang, menghirup udara yang segar, tangan masuk ke saku celana. Dingin terasa di kawasan yang mungkin jaraknya sekitar enam sampai tujuh kilometer dari puncak Gunung Menjulang ini.

Dari pemakaman umum Kalipenyu sampai ke Gardu Pandang jaraknya tidak terlampau jauh, bisa ditempuh dengan cepat dan mudah cukup hanya dengan berjalan kaki saja. Udara yang sejuk dan kabut yang mulai tersibak membuat pemandangan cerah terlihat hingga ke atas Gunung Menjulang. Barisan awan membentuk renda raksasa yang menangkup sisi-sisi ujung gunung bagaikan mahkota yang mengitari dengan anggun.

Jun memastikan dirinya berada di gazebo Gardu Pandang. Dari posisinya dia bisa melihat pemandangan yang indah, tebing yang melindungi sungai Kalipenyu di bawah dan Gunung Menjulang yang bagaikan sosok rakshasha tersenyum nan terlelap di sampingnya, sebuah pemandangan dahsyat yang amat ia kagumi. Pemandangan agung yang mengecilkan posisinya sebagai manusia yang sebenarnya tidak apa-apa tapi sok tahu di hadapan kuasa alam yang menunaikan perintah Sang Maha Megah dan Maha Besar.

Penampilan pemuda itu kini sudah sangat berubah, ia tidak lagi tampil ala-ala anak punk seperti dahulu. Ilmu kanuragan yang ia pelajari membuat rambutnya yang jigrak kini berwarna keperakan. Ditambah dengan pakaian serba putih, mulai dari bandana, kaus yang dikenakan, hingga celana dan sepatu. Sungguh pantas dijuluki Ksatria Rambut Perak.

Seseorang bertubuh besar mendekatinya.

Jun sudah tahu siapa yang datang tanpa perlu memalingkan wajah ke belakang. Pemuda yang rambutnya berwarna perak itu pun menyilangkan tangan di depan dadanya untuk bersidekap dan menebarkan senyum lebar.

“Sudah ditemukan apa yang dicari?” tanya Jun tanpa menengok.

“Sudah. Seperti biasa, orang itu tidak mau cerita banyak. Merepotkan saja. Setelah berbincang-bincang dari hati ke hati dengan kepalanku barulah kita berdua bisa ngobrol dengan lebih enak dan jelas. Runtut dari A ke Z, runtut semua urutan penjelasannya. Mungkin sebelumnya dia rikuh, ga enak hati mau curhat,” ujar sang pria tegap di belakang Jun.

“Begitu ya?”

“Ayo jalan. Bos mau ketemu denganmu.”

“Oh? Ada apa memangnya?”

“Ada Pertarungan Antar Wakil yang ingin beliau cermati. Antara DoP dan Sonoz. Lokasi di UTD, mabes Talatawon. Kamu pasti akan bisa makan banyak di sana. Ada Rao si Hyena Gila dan Simon sang Pemuncak Gunung Menjulang.”

“Sonoz dan DoP ya. Menarik sekali. Boleh tuh. Kita pamit sama Bos Syam dulu, X. Beliau masih ada di hotel kan?”

“Masih,” pria yang dipanggil dengan nama X mengangguk.

Jun dan sang teman segera melangkah beriringan menyusuri jalanan Lokasi Wisata Kalipenyu yang asri dan indah untuk menuju ke hotel dan villa yang sebenarnya dimiliki oleh pimpinan mereka. Sudah sejak semalam keduanya menginap di sini untuk menemani sang Bos bersantai.

“Tempat ini menyenangkan kalau sedang menyegarkan. Bau tanah kering yang terkena hujan memang sensasi tersendiri. Seger dan adem,” ujar X.

Petrikor.”

“Hm?”

“Bau hujan yang pertama kali membasuh bumi yang kamu maksud itu ada istilahnya, yaitu petrikor. Kalau dalam bahasa Inggris disebut petrichor, pakai ch. Kata itu sendiri merupakan serapan dari bahasa Yunani. Petri artinya batu sedangkan ichor artinya cairan yang mengalir di pembuluh para dewa.”

“Begitu ya. Wasu. Dasar manusia wiki.”

Jun tertawa sembari melihat ke arah Gunung Menjulang yang besar dan segar.

Perjalanan keduanya mencapai sebuah tanah lapang luas yang digunakan sebagai taman bermain anak-anak. Ada beberapa peralatan permainan seperti jungkat-jungkit dan swing di sana. Tempat yang luas juga indah itu rupanya dimanfaatkan pula sebagai lokasi foto-foto, termasuk sepasang anak manusia yang tengah melakukan foto pre-wedding dengan bantuan seorang fotografer yang terlihat profesional.

Pasangan yang sedang melakukan foto pre-wed itu nampak sangat berbahagia. Senyum terhias di wajah sang pria dan wanita yang hendak menikah. Kebahagiaan menghiasi wajah keduanya, saling rangkul, saling peluk, saling menyayangi satu sama lain. Sebagaimana pasangan yang saling mencinta dan bersiap memasuki pernikahan hingga akhir masa.

Sang fotografer menggunakan kameranya untuk mengambil gambar-gambar secara natural dengan lihai. Kameranya besar dan apik, caranya mengambil gambar menggunakan angle yang unik dan menarik. Pasti akan menjadi foto yang indah nantinya.

Jun berhenti sejenak untuk melihat kegiatan foto pre-wedding yang berlangsung sederhana itu.

Bukan karena ia tertarik pada adegan foto yang romantis juga apik itu… tapi lebih kepada calon mempelai wanita sendiri. Ia terhenti karena ia mengenalinya.

Itu kan…

Jun mengejapkan mata, apakah dia tak salah melihat? Karena wanita itu terlihat jauh lebih cantik dan lebih indah dari yang pernah ia ingat. Rambutnya yang panjang dibuat sedikit berombak di ujung-ujungnya, supaya bisa sesuai dengan pakaian berenda warna putih yang membuatnya anggun dan tambah jelita. Dia memang selalu cantik, tapi hari ini dia terlihat lebih cantik dari apapun kapanpun.

Ada sesuatu yang mungkin dinamakan pintu rindu tiba-tiba terbuka dalam diri Jun, ia sebelumnya tak pernah menyadari hal itu sampai kemudian ia ternyata harus kehilangan. Kita memang tidak akan pernah tahu siapa yang sebenarnya berharga sampai kita tak lagi berhadapan dan harus melepaskan.

Tangan pemuda itu menjorok ke depan, hendak memanggil sang calon mempelai wanita. “Lin...”

Satu kenyataan mengetuk di dalam sanubari sang pemuda, memberitahukannya sesuatu yang sebenarnya sudah dia ketahui. Tentang masa depan dan tentang sesuatu yang telah hilang untuk selama-lamanya. Tak perlu menjadi ilmuwan untuk menjadi paham. Jun menurunkan tangan dan menunduk sesaat, lalu berbalik arah dengan santai untuk menyusul X sambil menyunggingkan senyum di bibir. Ia kembali melesakkan tangan ke dalam saku celana dan berjalan dengan tenang seolah-olah tidak ada suatu apa.

Ia tak pernah lagi menengok ke belakang.

Ia juga tak akan pernah lagi berjumpa dengan sang wanita yang mengisi relung hatinya itu hingga suatu saat kelak. Saat ini, Jun tak lagi peduli. Entah kelak.

Hari ini cukup dingin di kawasan Kalipenyu, seperti sudah sepantasnya tempat ini dingin dan sejuk. Badan Jun menjadi sedikit hangat ketika X mengajaknya berbincang ringan.

Hanya beberapa kata yang terucap dalam batin Jun untuk menenangkan hatinya dan itu tidak ia ucapkan untuk dirinya sendiri.

Jun tersenyum dan bersiap menapak menuju masa depan yang meski masih tak menentu tapi seperti sudah tergambar untuknya, untuk itu dia harus meninggalkan semua kenangan dan beban masa lalu. Jer basuki mawa beya, kesejahteraan membutuhkan pengorbanan. Jika dia ingin lebih hebat dari siapapun, dia harus melalui semua ini dengan belajar ikhlas, belajar tanpa penyesalan.

Sakit? Pasti.

Belajar.

Semoga berbahagia, Lin. Selamat tinggal.

Jun berjalan bersama dengan X menuju arah sebuah hotel yang di halaman parkirnya berderet beberapa mobil berwarna hitam pekat. Tak jauh dari hotel, terdapat sebuah makam yang tadi ia kunjungi.

Sekali lagi Jun menengok ke arah ke makam.

Tenanglah Guru.

Aku akan berdiri di puncak kejayaan seperti harapanmu
.

Tunggu saja.





JALAK – KISAH SISIPAN 3
STILL I’M SURE WE’LL LOVE AGAIN
SELESAI.


Tribute to KCKBX, FRBD KGD.
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd