Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA 10nen Zakura [LKTCP 2020]

praharabuana

Guru Besar Semprot
Daftar
20 Oct 2015
Post
2.497
Like diterima
892
Lokasi
Bojongsoang, Kab. Bandung
Bimabet


10NEN ZAKURA


Maruyama Kōen, Kyoto, April 2009


“Sejujurnya, aku ingin tetap di sini, denganmu,” bisikku di telinga kirinya. “Tapi, aku tahu, itu tidak mungkin.”

“Aku juga menginginkan hal serupa,” balasnya, sambil tersenyum. “Tapi, jika kamu tetap di sini, aku tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Aku mengerti,” ucapku disertai anggukan kepala. “Tadi itu... hanyalah sekadar keinginanku, yang tak perlu diwujudkan.”

“Sabar, ya,” tanggapnya. “Sepuluh tahun itu...”

“Lama,” potongku. “Tapi, biarlah kita menunggu lama, sepuluh tahun, demi kebahagiaan yang kelak akan kita dapatkan setelahnya.”

Ia tersenyum.

“Sepuluh tahun lagi, kita berjumpa,” sambungku. “Di sini, di bawah naungan pohon sakura. Merayakan kembali kebersamaan kita.”


juunengo ni mata aou
kono basho de matteru yo
ima yori mo motto kagayaite...


(Let's meet again 10 years from now
I'll be waiting here
Shining brighter than I do right now...)



- AKB48 – 10nen Zakura –


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Januari 2018


“Ibu rindu Inaya,” gumam Ibu.

Hesti tersenyum. “Tahun depan Inaya pulang ke Indonesia, Bu.”

“Rasanya tidak sabar, harus menunggu dia pulang, setahun lagi,” ujar Ibu. “Tapi, apa mau dikata? Ibu hanya bisa menunggu.”

Hesti mengangguk.

“Untung ada kamu, Nak,” sambung Ibu. “Kalau kamu tidak ada, entah bagaimana nasib Ibu sepeninggal Bapak.”

Hesti kembali tersenyum, kali ini disertai semburat sendu pada sungging senyumnya tersebut. “Andai tidak ada aku, pasti ada orang lain yang akan memerhatikan Ibu.”

“Ibu tahu,” tanggap Ibu. “Tapi, adakah orang yang sudi memerhatikan Ibu, layaknya kamu memerhatikan Ibu?”

Lagi-lagi, Hesti tersenyum.

“Kamu memang anak baik,” lanjut Ibu. “Pantas jika Inaya menyayangimu.”

“Inaya juga baik, Bu,” timpal Hesti. “Karenanya aku nyaman berdekatan dengannya.”

“Kalau tidak karena dekat dengan Inaya, mungkin kamu tidak akan mau menemani Ibu, ya?” tebak Ibu.

Hesti hanya tertawa kecil.


Ketika Bapak meninggal, Inaya sudah bermukim di Jepang selama enam tahun. Kontrak kerja yang mengikat memaksa Inaya untuk bertahan di sana, tidak boleh pulang hingga empat tahun berikutnya, meski untuk alasan melayat ayahnya yang meninggal.

Hesti-lah yang menjadi ‘penghubung’ antara Inaya dan ibunya. Ibu yang gagap teknologi, tidak mampu berkomunikasi lewat dunia maya. Padahal, dunia maya itulah satu-satunya media yang mumpuni untuk dapat tetap menjaga komunikasi dengan seseorang nun jauh di seberang samudera.

Beruntung, Hesti selalu siap membantu Ibu dan Inaya. Kapan pun Inaya menghubunginya, untuk kemudian disambungkan dengan Ibu, Hesti akan siap sedia. Selain bertetangga, kedekatan antara dirinya dan Inaya membuat hal tersebut menjadi tidak terlalu sulit untuk dilakukan.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Minato-ku, Tokyo, di hari yang sama,


Stres yang dialami orang-orang dari kelas pekerja, adalah hal yang wajar di Jepang. Hasil kerja yang harus sempurna, jam kerja yang terkadang panjang, hingga kurangnya waktu untuk refreshing, menjadi tiga hal saling berkaitan yang dialami para pekerja, dan jelas akan memicu stres.

Dulu, Inaya tidak mau memercayai fenomena itu. Yang ada di benaknya, Jepang adalah surga. Belakangan, setelah mulai bermukim dan mencari uang di Negeri Matahari Terbit tersebut, Inaya tahu bahwa yang berpendapat Jepang adalah surga, hanyalah para pelancong mancanegara.

Jepang menjadi surga bagi para pencari destinasi wisata. Namun tidak bagi para pencari harta.


Petang ini, sepulang kerja, di kepala Inaya terbersit niat untuk mencari pelarian atas stres yang membelitnya. Sekadar tekanan akibat pekerjaan, bukan yang lain. Sepanjang yang disadarinya, Inaya tidak memiliki masalah di luar pekerjaan, yang berpotensi membuatnya stres.

Ia tahu, bahwa niatnya tersebut sedikit melanggar nasihat sang ibunda di Tanah Air,

”Niatkan keberangkatanmu ke Jepang hanya untuk bekerja. Bukan untuk sekadar bersenang-senang, lalu kembali ke Indonesia tanpa membawa apa-apa. Kamu tentu ingin kembali dengan bahagia, bukan?”

Ya, Inaya ingin kembali ke Indonesia sebagai orang kaya. Bukan miliuner, namun dengan saldo tabungan dari menyisihkan sebagian penghasilan yang mumpuni untuk membuka sebentuk usaha. Tidak muluk-muluk, cukup untuk membuka kedai kopi kecil yang mempekerjakan dua orang barista pun Inaya sudah senang.

Niat tersebut membutuhkan komitmen kuat, di tengah gaya hidup hedonis yang menggodanya saat tinggal jauh dari pengawasan keluarga. Namun, stres yang melanda, memaksanya untuk melanggar nasihat Ibu.


Sekali saja, ya, Bu, batin Inaya. Malam ini saja, aku ingin menghibur diri. Bukan rutinitas, Bu...


Yang dipilih Inaya sebagai lokasi hangout adalah klub malam di Roppongi, sebuah distrik yang sepanjang petualangannya di Jepang belum pernah dijejakinya itu. Namun, sekali lagi, tekanan yang mendera dirinya berhasil membuatnya melakukan hal yang belum pernah dilakukannya.

Klub malam pilihannya dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 350 meter dari Roppongi Station, atau yang dilafalkan warga lokal sebagai Roppongi-eki tersebut. Berbagi gedung dengan restoran bergaya Egyptian dan sebuah bar, klub malam tersebut berada di lantai tiga.

Dengan event ticket sebesar ¥1,000, ia pun memasukinya. Dentuman industrial music dengan beat cepat pun sontak menyeruak di kedua telinga Inaya.


sotto me wo tojite
Be quiet!
yume no sono iriguchi ga
mieru deshou?

PARTY!
subete wo wasurete!
PARTY!
karada ugokashichae!
PARTY!
saa tanoshimimashou!
PARTY!
yoru wa kore kara da yo!


(Quietly close your eyes
Be quiet!
Can you see
The entrance to the dream?

PARTY!
Forget everything!
PARTY!
Move your body!
PARTY!
Well, let's have fun!
PARTY!
Tonight, from here on out!)



- AKB48 – PARTY ga hajimaru yo -


Inaya tidak berniat untuk turun ke lantai dansa, seperti dilakukan sekira hamper seratusan orang yang telah berada di sana. Tujuan utamanya adalah mendatangi bar, dan memesan minuman.

Lalu, minuman apa yang dipesannya? Vodka based, banana margarita, Kir Royale atau Manhattan whisky? Bukan semuanya. Inaya memilih untuk minum cranberry juice, yang tidak memabukkan. Minuman tersebut bahkan masuk soft drink list, bersama coke, air mineral dan ice coffee.

Alasan pemilihan tersebut, adalah karena ia teringat ucapan salah seorang temannya, ketika di Indonesia,

”Kalau kamu ingin minum minuman keras, ajaklah minimal satu orang rekan yang tidak pernah mabuk. Jadi, ketika kamu akhirnya mabuk, rekanmulah yang akan mengantarmu pulang.”

Dan saat ini, Inaya memasuki klub malam tanpa seorang pun rekan. Tentu saja, mabuk bukanlah pilihan bijak.


Lalu, sepuluh menit kemudian, Inaya beranggapan bahwa semesta telah mengizinkannya untuk mabuk, dengan mengirim seorang rekan minum.

Sumimasen,” sapa seseorang, sambil duduk di bangku sebelah kirinya. “Indonesian?”

Sontak Inaya menoleh, dan mendapati seorang lelaki berpakaian cukup rapi dan berwajah, ehm... tampan. “Hai, watashi wa Indonesia hito desu.”

“Senangnya...” gumam lelaki itu.

“Eh?” ujar Inaya. “Kamu... juga Indonesian?”

Lelaki itu mengangguk, sambil menyunggingkan senyum. Sejurus kemudian, tangan kanannya terjulur. “Heri.”

“Inaya,” balas Inaya, sambil menyambut ajakan berjabat tangan dari lelaki di sebelah kirinya itu.


Dari sudut matanya, Inaya dapat menangkap bahwa lelaki yang baru dikenalnya itu memerhatikan gelas berisi cranberry juice di hadapannya.

“Kalau untuk sekadar minum juice, cukup dengan mencari jidōhanbaiki,” seloroh Heri. Yang dimaksud dengan jidōhanbaiki, adalah mesin penjual otomatis, yang memang banyak sekali ditemukan di Jepang. “Tidak usah repot-repot masuk klub malam.”

Inaya merengut. “Kalau untuk sekadar ingin mengejek, tidak usah repot-repot berkenalan denganku.”

“Maaf jika ucapanku membuatmu tersinggung,” Heri menangkupkan kedua telapak tangan sebatas dadanya. “Tapi, aku tidak bercanda. Kamu sudah berada di sini, mubazir jika hanya memesan juice. Seribu yen bukanlah uang sedikit, lho!”

Inaya agak tertegun, meski akhirnya menganggukkan kepala.

“Bagaimana kalau dimulai dengan bir botol?” tawar Heri.

Dimulai dengan bir botol?” ulang Inaya, dengan memberi penekanan pada kata ‘dimulai’. “Berarti, akan ada jenis minuman keras lainnya yang kuminum malam ini?”

Heri tertawa, sambil mengangkat bahu.


Pada akhirnya, Inaya memang memesan bir botol, setelah terlebih dahulu menghabiskan cranberry juice-nya. Bir yang dipesannya, adalah produk lokal merek terkenal, yang akhir-akhir ini breweries headquarter-nya di Sumida-ku kerap menjadi latar belakang foto para wisatawan. Dan itu pula alasan Inaya memilih merek tersebut: karena terkenal.

Sementara, Heri memilih merek yang berbeda. Bukan salah satu dari dua merek lokal yang tersedia di bar, melainkan produk mendunia yang pabrik pengolahannya berpusat di Zoeterwoude, Belanda. Ia mengaku, ini adalah merek bir favoritnya, bahkan sejak masih bermukim di Indonesia.

Yah... apapun itu, baik Inaya maupun Heri tentu punya alasan tersendiri terhadap pilihan mereka. Terkadang alasannya terdengar sepele, namun terkadang sarat romantisme bahkan sentimentil.


Inaya dan Heri saling menuangkan isi botol ke dalam gelas lawan minumnya. Kemudian, bersama-sama mengangkat gelas dan menyentuhkannya satu sama lain, berseru “Kanpai!” dan barulah meminumnya.

Heri menandaskan isi gelas di tangannya dalam sekali teguk. Namun, tidak dengan Inaya, yang butuh proses dan usaha untuk menghabiskan birnya.

Sumimasen,” gumam Inaya. “Aku sudah lama tidak minum alkohol.”

“Tidak apa-apa,” Heri tersenyum. “Salahku sendiri yang memaksamu untuk minum bir. Kamu ingin berhenti?”

Daijoubu desu,” jawab Inaya, juga ikut tersenyum. “Aku hanya butuh sedikit adaptasi saja.”

“Jangan memaksakan diri,” ingat Heri. “Kamu boleh berhenti minum, kapan pun kamu mau, kok!”

Inaya menganggukkan kepala, masih dengan disertai sungging senyuman di bibirnya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Inaya tidak memaksakan diri agar mampu mereguk berbotol-botol minuman beralkohol. Ia membiasakan diri, berusaha membuat tubuhnya toleran terhadap asupan alkohol yang agak berlebih. Berkali-kali Heri mencegah dan melarang Inaya untuk menambah minuman. Sebanyak itu pula usahanya mentah.

Maka, dua jam selepas tengah malam, Inaya keluar dari night club dalam keadaan mabuk. Tentu saja, Heri membarenginya.


“Sudah tidak ada layanan kereta api yang beroperasi, saat ini,” ujar Heri. “Terpaksa kita harus menumpangi taksi.”

“Patungan, ya,” gumam Inaya. “Ongkos taksi mahal.”

Heri tertawa renyah, meski akhirnya mengangguk pertanda setuju. Dijamin, ia merasa geli, karena wanita yang dipapahnya masih mampu mengingat soal mahalnya ongkos taksi, meskipun tengah mabuk.


Ya, ongkos taksi memang mahal, apalagi di Tokyo.

Total uang yang harus dikeluarkan seseorang untuk menempuh jarak antara Roppongi, Minato-ku dan Higashioi, Shinagawa-ku, dengan menggunakan Odeo Line dan Asakusa Line adalah ¥380. Dengan taksi, berdasarkan aplikasi taxi fare finder, ongkosnya adalah ¥4,820. Lebih dari dua belas kali lipat, Saudara-saudara!

Oh, ya, satu lagi. Tarif taksi pada pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi akan dikenakan sebanyak dua kali lipat. Nani?? Ya, dua kali lipat. Artinya, saat turun nanti, mereka harus membayar ¥9,640. Tarif yang mengajak miskin, tentunya.

Maka, pulanglah sebelum tengah malam, agar tidak ketinggalan jadwal kereta terakhir. Namun, dalam kasus ini, bar mulai beroperasi pukul sembilan malam, nyaris mustahil jika Inaya mesti keluar bar dua jam kemudian. Jadi, mau tidak mau, taksi adalah satu-satunya opsi transportasi publik. Berjalan kaki? Delapan kilometer bukan jarak yang sedikit.


Opsi berikutnya adalah menunggu berjam-jam di Roppongi-eki, hingga pukul lima pagi, saat kereta Odeo Line mulai beroperasi lagi. Tapi, keduanya tentu enggan melakukannya, di tengah suhu udara bulan Januari yang rendah.

Atau, --ini opsi yang agak ‘ekstrem’--, Inaya dan Heri menunggu di hotel seputaran stasiun, dengan sewa kamar ¥4,000. Ya, ekstrem. Karena opsi semacam ini berpotensi disertai bermacam ‘efek samping’, andai mereka berduaan saja di sebuah ruang tertutup.


Kesimpulannya, naik taksi dengan ongkos patungan adalah opsi terbaik yang dapat mereka ambil.


Layaknya area yang menjadi sentral hiburan malam, menemukan taksi kosong di sekitar bar bukanlah perkara sulit. Beberapa taksi parkir berjajar di seberang bar, dengan lampu di kap atas yang menyala. Heri menarik lengan kiri Inaya, dan mengajaknya menghampiri taksi yang parkir di posisi terdepan.

Pintu belakang terbuka otomatis. Heri mendorong pelan punggung Inaya, isyarat bagi wanita itu untuk masuk kabin taksi. Tak lupa, telapak tangan kanan Heri memegangi ubun-ubun Inaya, sebagai upaya berjaga-jaga andai kepalanya terantuk bingkai atas pintu.

“Terima kasih,” lirih Inaya, sembari menatap Heri.

Selanjutnya, Heri memasuki kabin taksi, dan duduk di sisi kiri Inaya.

“Higashioi no A**i apāto, onegaishimasu,” ucap Heri, menyebutkan nama apartemen, ditujukan kepada sang sopir taksi.

Hai,” jawab si sopir pendek, sambil telunjuk tangan kirinya menekan tombol argometer di dashboard. Angka “¥420” langsung tertera pada display.


Mobil berjalan dengan cukup laju, karena dinihari begini, lalu lintas lengang. Setidaknya, perhitungan argometer tidak akan membengkak akibat angka yang terus berjalan padahal mobil sedang berhenti akibat terjebak macet. Estimasi tarif sudah sangat tinggi, apalagi jika harus bertambah lagi?

Oya, sebenarnya tarif bisa lebih rendah daripada yang dijelaskan di atas. Tapi, berhubung sedang ada pekerjaan perbaikan di dekat persimpangan Ninohashi, rute jadi harus memutar ke arah timur, melintasi distrik Shibaura. Jarak pun membengkak hingga 12,6 kilometer, padahal jika melewati area Azabu, jaraknya hanya 7,5 kilometer.


Inaya membaringkan kepalanya di bahu kanan Heri. Wanita itu terlihat tidur, tapi Heri tahu, Inaya tetap terjaga. Tingkat kesadaran yang jauh berkurang akibat asupan alkohol dalam jumlah cukup kolosal, membuat Inaya memilih untuk memejamkan matanya.

“Kamu bermalam di rumahku,” gumam Inaya.

“Tidak,” jawab Heri.

“Itu perintah, Heri,” ujar Inaya. “Bukan pertanyaan.”

“Tidak bisa, Inaya,” tolak Heri. “Kita tidak bisa melakukan itu.”

Sekkususuru?” tanya Inaya, disambung dengan tawa kecil. “Kenapa kita tidak bisa melakukannya?”

“Kamu meracau,” tukas Heri. “Kamu sedang mabuk, dan mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang...”

“Ya, aku mabuk,” sela Inaya. “Tapi, aku masih bisa secara sadar mengajakmu bermalam di apartemenku.”

“Kamu menyadari konsekuensinya?” tanya Heri lagi.

“Iya, Heri,” Inaya mengangguk lagi. “Aku menyadarinya.”

Heri menghela napas.


CHACHA
sukoshi yotta mitai
karada yosete aruku shiodome atari

CHACHA
yokaze ga kimochi ii
dokoka e tsuretette
kaeritakunai

sonna wagamama wo
yasashiku shikaru hito
omochikaeri shite choudai


(CHACHA
I think I'm a little tipsy
I walk close to you, near Shiodome

CHACHA
The night breeze feels nice
Take me somewhere
I don't want to go home

I want someone who will
gently scold that kind of selfishness
I want him to take me home)



- Ohori Megumi – Amai kokansetsu -


Ya, lagu yang merupakan solo single milik Ohori Megumi, member AKB48 dari generasi kedua itu, mendadak tersirat di kepala Heri. Di dalam kabin taksi, mengantarkan seorang wanita mabuk yang membaringkan kepala di bahu kanannya, melintas di dekat Shiodome.

Cukup relevan dengan lirik lagu berjudul “Amai kokansetsu” yang tengah diingatnya saat ini, bukan?

Mendadak pula, libido Heri beranjak naik. Karena teringat busana serta dance seksi Meetan di video klip “Amai kokansetsu”? Ataukah karena... membayangkan apa yang akan dilakukannya bersama Inaya, di Higashioi? Entahlah.


Wanita di sebelahnya ini tidak tergolong sebagai wanita dengan kategori atraktif. Bukan pula wanita berpenampilan seksi. Ia cantik, dan sekilas Heri dapat melihat, tubuhnya pun menarik. Inaya punya cukup modal untuk dapat membuatnya dilirik pria.

Namun, tampaknya Inaya lebih memilih untuk menyembunyikan kelebihan tersebut, di balik sapuan makeup dan busana yang sederhana. Selain itu, kesederhanaan pun ditunjukkan Inaya dari pembawaannya yang cenderung kalem. Wanita itu tidak banyak bicara, terkesan seperlunya.

Lalu, setelah segala kesederhanaan yang selama berjam-jam ditampilkannya itu, mendadak Inaya mengajaknya untuk bermalam di apartemennya. Tentu saja, Heri terkejut.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Heri membaringkan tubuh Inaya di atas ranjang. Wanita itu hanya bergumam tak jelas, dengan kelopak mata yang tetap terpejam. Mungkin, pengaruh alkohol membuatnya nyaris tak punya daya untuk sekadar membuka mata.

Inaya minum banyak. Untuk seseorang yang mengaku sudah lama tidak mengonsumsi minuman beralkohol, porsi yang ditenggaknya memang berlebihan. Heri sudah menduga, bahwa pada akhirnya, dirinyalah yang harus mengantarkan Inaya pulang.

Yang tidak sempat ia duga, adalah ajakan Inaya untuk bermalam di apartemen tersebut.


Heri bangkit, dan beranjak menjauhi ranjang.

“Jangan pergi,” ujar Inaya, memaksa Heri untuk menghentikan langkahnya. “Sini...”

Heri kembali naik ke atas ranjang, kemudian mendekatkan bibirnya dengan telinga kiri Inaya. “Aku tidak akan pergi.”

“Jangan bohongi aku,” tegas Inaya. “Janji?”

Heri mengangguk.

“Awas...” lirih Inaya.

“Aku berjanji, tidak akan pergi,” ucap Heri. “Aku hanya ingin membersihkan tubuh, sebelum beristirahat.”

Inaya bergumam, dengan kata-kata yang tak mampu ditangkap telinga Heri.

“Boleh kupakai kamar mandinya?” tanya Heri.

Inaya hanya mengangguk, sebagai bentuk jawaban.


Sepuluh menit kemudian, Heri telah selesai membersihkan tubuh. Dilihatnya Inaya tertidur. Atau berpura-pura tidur? Entahlah.


Ia duduk di tepi ranjang, sembari memerhatikan Inaya. Sesaat, ia teringat pada adegan film porno yang pernah ditontonnya. Adegan yang menggambarkan seorang wanita tertidur pulas dalam kondisi mabuk, kemudian seluruh busana yukata di tubuhnya dilucuti hingga telanjang, dan akhirnya disetubuhi.

Di hadapannya kini tergeletak tubuh seorang wanita mabuk, meskipun tidak mengenakan yukata. Dan tadi, di dalam kabin taksi, wanita itu telah melontarkan sinyal bahwa dirinya siap untuk disenggamai. Kapan pun, Heri dapat melakukan ‘reka ulang’ atas adegan porno yang pernah ditontonnya tersebut.

Namun, ia memilih untuk tidak melakukannya. Heri malah turut membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan menyisakan jarak dengan tubuh Inaya. Beruntung, ranjang tersebut cukup lapang, queen size, hingga keduanya tidak perlu berhimpitan untuk dapat berbaring di atas ranjang yang sama.


Hmm... padahal, segera saja kautindih tubuh Inaya, Heri! Tidak harus tersedia ruang yang lapang untuk bersetubuh, ‘kan? Tanggung, wanita itu sudah menyalakan lampu hijau.

Jika hanya untuk sekadar memejamkan mata bersama, tanpa melakukan hal-hal yang ‘membahayakan’, camping saja di Kamikochi bareng nenekmu!


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Pagi hari, Inaya terjaga. Dilihatnya sosok Heri terbaring di sebelah kanannya, dengan terdapat jarak puluhan sentimeter di antara mereka. Lalu, sontak ia memeriksa kondisi tubuh dan pakaiannya. Tak ada yang berubah.

Heri tidur sepanjang malam? terkanya di dalam hati.

Cukup penasaran, ia pun merogohkan telapak tangan kirinya ke dalam busana bawahnya. Menyentuh area selangkangannya, dan mendapatinya dalam keadaan yang tak berubah. Sama sekali tidak terasa sesuatu yang lengket pada kemaluannya, apalagi rasa ngilu atau pegal, layaknya dirasakan setelah dipenetrasi alat kelamin lelaki.


Inaya bangkit dan turun dari ranjang. Tujuannya adalah kamar mandi. Semalaman ia membiarkan tubuhnya yang cukup berkeringat, tanpa dibasuh air, lalu tidur begitu saja. Rasanya risih sekali.

Padahal, semenjak bermukim di Tokyo, ia sudah terbiasa mandi pada malam hari, seusai beraktivitas. Seperti halnya para warga Jepang, yang tidak selalu mandi pagi, namun bisa menghabiskan waktu yang lama saat mandi di malam hari.

Lagi-lagi, kelopak mata yang berat untuk terbuka akibat pengaruh alkohol, menjadi alasannya.

Itukah yang membuat Heri enggan menyentuhku? hatinya menduga. Karena dia lebih menyukai bersetubuh dengan wanita yang sudah wangi?

Mungkin saja. Yaa... meskipun tubuh manusia cenderung bersimbah keringat usai bercinta, namun, alangkah nyamannya jika memulai semuanya dengan tubuh resik dan wangi, bukan?


Karenanya, hal pertama yang dilakukan Inaya setelah turun dari ranjang, adalah memasuki kamar mandi. Ia jengah dengan kondisi kebersihan tubuhnya yang berada di titik nadir itu.


Cukup lama, Inaya berada di kamar mandi. Menyabuni dan menempatkan tubuhnya di bawah guyuran shower dengan air hangat. Tanpa alasan yang spesifik, ia tidak mengisi bath tub untuk berendam di dalamnya. Membersihkan tubuhnya dengan siraman shower pun sudah cukup untuk membuatnya nyaman.

Terkadang, jika sedang ingin mandi di pagi hari, sebelum berangkat kerja, Inaya hanya menggunakan shower. Alasannya hanya satu: efisiensi waktu. Berendam di bath tub terasa melenakan, dan sontak membuatnya lupa waktu, dan dapat berujung pada keterlambatan dirinya tiba di tempat kerja.

Pagi ini, di hari libur kerja ini, Inaya bisa leluasa memanjakan tubuh di kamar mandi, tanpa perlu memikirkan waktu. Logisnya, hal tersebut dilakukan di dalam bath tub, bukan sambil berdiri.

Sayangnya, kepala Inaya terlalu malas untuk berpikir, hanya demi menentukan metode mandi yang logis atau tidak.


Saat keluar, Inaya dikejutkan dengan keberadaan Heri yang berada tepat di depan pintu kamar mandi, meskipun tubuhnya menghadap ke arah pintu keluar apartemen. Lelaki itu pun tampak sama terkejutnya.

“Sedang apa?” tegur Inaya.

Heri menatap Inaya, lalu menggeleng sembari tersenyum.

“Kenapa?” tanya Inaya lagi.

“Tidak,” Heri menggeleng lagi. “Kamu akan tertawa, jika kujelaskan.”

“Jelaskan,” minta Inaya. “Kamu akan kuhargai, karena telah sukses membuatku tertawa, sepagi ini.”

Heri tergelak.

“Jelaskan,” ulang Inaya, dengan nada yang terdengar lebih tegas.

“Aku terbiasa untuk memeriksa keadaan di luar tempat tinggalku, segera setelah terbangun,” jelas Heri. “Hmm... kebiasaan sejak masih tinggal di Indonesia. Karenanya, aku langsung mendekati pintu, setelah bangun tidur.”

Inaya hanya mengangguk.

“Kamu tidak berniat untuk tertawa?” tanya Heri.

“Apakah kebiasaanmu itu merupakan hal yang lucu?” Inaya balik bertanya.

Heri mengedikkan bahu. “Menurutku, akan terasa lucu jika hal itu juga kulakukan itu di tempat tinggalmu.”

“Sedikit absurd, sih,” gumam Inaya. “Tapi, tidak cukup layak untuk ditertawakan.”


“Kamu sendiri,” ujar Heri. “Baru selesai menunaikan hutang mandi semalam?”

Inaya tertawa, sembari mengangguk.

“Cantik,” puji Heri. “Wajahmu segar, terlihat jauh lebih baik dibandingkan ketika tertutupi makeup.”

“Kamu...” Inaya sedikit menundukkan wajah. “Bilang saja, ’Lebih baik dibandingkan ketika sedang mabuk’!”

Heri tertawa.

“Itukah yang membuatmu enggan menyentuhku?” lanjut Inaya. “Karena semalam aku terlihat menjijikkan?”

“Aku menyentuhmu, ‘kan?” tanggap Heri. “Kamu tidak ingat, aku yang memapah dan membaringkanmu di atas ranjang?”

“Bukan itu,” ucap Inaya pelan. “Kamu tidak... menyentuhku. Tidak melakukan sesu...”

“Menggerayangi dan menyetubuhimu?” cetus Heri lugas. “Aku tidak mau bersenggama dengan wanita yang tak berdaya di bawah pengaruh alkohol. Lalu, di pagi hari, kamu tidak mampu mengingat semua yang kulakukan.”

Inaya tertawa kecil. “Ya, aku hanya akan tahu, dari jejak air mani yang tertinggal di selangkanganku.”

“Kaulakukan itu setelah terbangun, ya?” tebak Heri. “Memeriksa selangkanganmu?”

Inaya tertawa lagi, sambil mengangguk.


“Aku ingin membersihkan tubuh,” ujar Heri. “Boleh kupakai kamar mandinya?”

Inaya mengangguk. “Silakan. Mau kupinjamkan handuk?”

“Aku punya,” jawab Heri, seraya mengeluarkan compact towel dari saku kanan celananya.

“Saking compact-nya, sampai bisa kamu masukkan saku, ya,” seloroh Inaya.

Heri tertawa.

“Ya sudah,” putus Inaya. “Mandi dulu, sana. Kutunggu di meja makan.”

Heri mengangguk.


Inaya membalikkan tubuh, melangkah ke arah meja makan yang terletak di dekat area tidur itu. Dari sudut matanya, ia melihat Heri juga berbalik, memasuki kamar mandi.

Eh... aku lupa! batinnya. Aku harus membuang sampah.

Ia pun kembali berbalik ke arah dapur, yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi, tepat setelah pintu apartemen. Dan tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Heri, yang entah mengapa, justru berada di sana, alih-alih di dalam kamar mandi.

Adegan selanjutnya, mirip adegan di film televisi. Tubuh Inaya yang mengarah ke lantai, berusaha dicegah lengan kanan Heri. Namun tidak berhasil, karena pada akhirnya, keduanya malah terjatuh, meski tidak terlalu keras.

Posisi Inaya telentang, sementara Heri tepat di atas tubuhnya, dengan tangan kanan melingkari punggung si wanita. Dan... ini yang ganjil. Telapak tangan kiri Heri hinggap di buah dada kanan Inaya.

Adegan pun berubah menjadi mirip adegan film semi porno.


Sumimasen,” ucap Heri spontan.

Inaya menjawab dengan anggukan. “Iie.”


Namun, beberapa detik selanjutnya, keduanya sama-sama tidak beranjak dari posisi tersebut. Inaya malah sedikit mendesah lirih, karena merasakan telapak tangan kiri Heri menekan payudara kanannya, seperti disengaja. Membuat permintaan maaf dari bibir Heri menjadi terkesan ambigu.

Lelaki yang tengah menindihnya itu meminta maaf karena tanpa sengaja menjatuhkan Inaya? Atau meminta maaf karena telah lancang menyentuh salah satu bagian vital di tubuh sang wanita?

Sejurus kemudian, Heri mencumbu bibir Inaya. Sebentar saja. Namun sudah cukup untuk membuat Inaya tahu, apa maksud dari ‘Sumimasen’ yang barusan diucapkan lelaki itu.


“Bukankah kamu akan membersihkan tubuh?” tanya Inaya, sembari tangan kirinya melakukan gerakan dorongan terhadap dada Heri.

“Sebaiknya ditunda,” jawab Heri. “Nanti saja, selesai bercinta.”

Inaya menelan ludah. “Sekarang, Heri?”

“Nanti saja, selesai bercinta,” Heri mengulangi jawabannya.

“Maksudku, sekarang kita... bercinta?” Inaya memperjelas pertanyaannya.

Heri menyunggingkan senyum, sebagai bentuk jawaban.


Heri kembali mengecup bibir Inaya, kali ini disertai remasan tangan kirinya yang lebih intens terhadap payudara kanan wanitanya.

“Heri...” gumam Inaya, sambil kembali berusaha mendorong dada Heri.

“Kenapa?” tanya Heri. “Kamu menolak?”

“Bukan,” Inaya menggeleng. “Jangan di sini. Nanti aku sakit punggung.”

Heri tertawa geli.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Perangai Heri yang lembut saat bercinta, sungguh membuat Inaya terbuai. Memang, sangat sedikit pria yang pernah mencicipi tubuhnya, karena ia bukanlah wanita yang terbiasa ‘mengobral’ diri. Inaya terbilang minim pengalaman soal persetubuhan, yang artinya, minim pula pengalaman dirinya perihal gaya bercinta lelaki.

Namun, bukan hanya Inaya, rasanya wanita mana pun di dunia ini akan tersanjung dengan perlakuan Heri yang terkesan penuh penghargaan itu.


Percumbuan Inaya dan Heri berlangsung dengan tempo lambat. Tak ada ketergesaan dalam setiap rangsangan yang dilancarkan pihak lelaki. Dimulai dari melucuti yukata di tubuh Inaya dengan sopan, hingga akhirnya telanjang. Lalu, ia mengecupi area kepala, turun ke dada, perut, dan berakhir di pangkal paha.

Dan Heri selalu berlama-lama pada setiap masing-masing area tersebut. Gaya lambat tersebut disukai Inaya. Ia justru merasa ngeri jika lawan mainnya bersikap agresif, apalagi cenderung kasar. Heri tidak begitu, karenanya Inaya merasa sangat menikmati percumbuan ini.

Bagi Inaya, esensi dari bersenggama adalah merasakan kenikmatan. Mungkinkah dirinya akan meraih kenikmatan bercinta, andai hatinya diselimuti kekhawatiran atas kekasaran gaya bercinta pasangannya?


Maka, adalah wajar jika Inaya sudah berhasil mengalami orgasme, ketika belum sampai sepuluh menit lidah dan bibir Heri mencumbui area genitalnya. Perlakuan lembut sang lelaki telah menuntun otaknya untuk mencapai puncak kenikmatan secara psikis, sebelum diakhiri dengan orgasme fisis.


“Cepat sekali, Inaya,” ucap Heri.

“Enak, sih...” gumam Inaya, tersipu. “Aku tidak mampu menahannya lagi.”

“Mau orgasme lagi?” goda Heri.

Inaya mengangguk, masih dengan sipu di wajahnya.


Kali ini, Heri menggunakan jari tengah tangan kirinya untuk menstimulasi rongga kemaluan Inaya. Sementara, organ oralnya yang semula menggelitiki pangkal paha sang wanita, kini bertugas merangsang area buah dada Inaya.

“Pelan-pelan...” ingat Inaya, ketika menurutnya jemari Heri bergerak sedikit kasar.

Heri menatap Inaya, sejenak berhenti menggerakkan jari tengahnya tersebut. “Kamu sudah tidak virgin, ‘kan?”

“Iya,” jawab Inaya, sambil menganggukkan kepala lirih. “Tapi... sudah sembilan tahun aku tidak bersenggama.”

Wakatta,” Heri tersenyum. “Butuh adaptasi lagi, ya.”

Inaya kembali mengangguk. “Setelah beberapa menit, mungkin aku sudah bisa membiasakan diri lagi.”


Dan, ya, tensi gerakan jari tengah Heri mendadak jadi lambat.

“Iya... begitu, Heri,” lirih Inaya. “Itu terasa.”

“Enak?” tanya Heri.

Inaya hanya mengangguk pelan.


Memang lambat. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan gerakan serupa pada adegan film porno, yang bertempo cepat, cenderung kasar dan terkesan brutal. Namun, hal itu tetap berhasil membuat Inaya merintih menahan kenikmatan.

Heri menyasar titik-titik rangsang terbaik pada dinding vagina Inaya, tidak sekadar mengandalkan tempo cepat dan torsi tinggi. So, meskipun gerakan jarinya lambat, dijamin Inaya akan terangsang hebat.

Terlebih, pada waktu bersamaan, rangsangan pun diterima kedua puting dada Inaya, masing-masing oleh bibir dan jari tangan kanan Heri. Alhasil, baru sebentar saja menerima finger f*ck, gelinjang tubuhnya makin liar. Kemudian mendadak terdiam, sebelum akhirnya melepaskan desah napas panjang.


Inaya tergolek lemas. Dua kali orgasme dengan jarak cukup berdekatan, lumayan menguras tenaga. Terlebih, sudah sekian lama dirinya tidak bercinta.

Sementara, Heri berbaring miring menghadapi Inaya, di sisi kanannya. Seolah memberi waktu bagi sang wanita untuk rehat sejenak.


“Aku mudah orgasme,” bisik Inaya di telinga kiri Heri.

“Mau lagi?” tanya Heri.

“Nanti,” jawab Inaya. “Sekarang giliran kamu.”

Heri menggeleng.

“Kenapa?” tanya Inaya.

“Wanita bisa segera turn on kembali, setelah orgasme,” jelas Heri. “Tidak semudah itu untuk lelaki, ‘kan?”

“Aku tidak tahu,” tanggap Inaya, menahan senyum. “Aku belum pernah menjadi laki-laki.”

Heri melotot. Tangan kanannya terulur cepat ke arah buah dada kiri Inaya, kemudian tiba-tiba mencubit puting tegak di tengahnya. Pemiliknya mendesah.

“Jadi, kusimpan orgasmeku untuk nanti,” lanjut Heri. “Sekali saja.”

“Aku saja yang berkali-kali orgasme, ya?” kelakar Inaya.

Heri menatap Inaya lekat-lekat. “Bisa?”

“Disentuh sedemikian rupa olehmu,” jawab Inaya. “Siapa yang tidak akan berkali-kali orgasme?”

Heri tertawa.


Keduanya saling tatap, tanpa sedikit pun bicara. Ya, hanya saling tatap. Namun, justru tatapan mata itulah yang membuat Inaya dan Heri seolah tengah berbincang.

Lalu, saling diam itu usai, seiring pertanyaan Heri,

“Sekarang?”

“Boleh,” Inaya mengangguk. “Tapi, jangan langsung main kasar, ya.”

“Iya,” giliran Heri yang mengangguk, sambil tersenyum. “Kalau sentuhan lembut saja bisa membuatmu dua kali orgasme, untuk apa aku membuang energi dengan seks kasar, apalagi brutal?”

“Terima kasih pengertiannya,” tanggap Inaya. Kedua tangannya terulur, untuk memegangi kedua pipi Heri. “You are so gentle.”

Heri kembali tersenyum.


Inaya mendorong dada Heri dengan kedua telapak tangannya, hingga lelaki itu kini telentang. Lalu, ia duduk di atas perut bawah Heri, kemudian melengkungkan punggung agar dapat mencumbui wajah sang lelaki. Seiring hal tersebut, jemari kedua tangannya melucuti dua buah kancing poloshirt Heri.

Selanjutnya, Heri justru melepaskan sendiri poloshirt-nya, dan kini ia pun telanjang dada. Tubuhnya tidak bidang layaknya binaragawan. Bahkan otot perut pun nyaris tak terlihat. Sedikit lemaklah yang tampak, menandakan bahwa tubuh Heri cukup berisi, meskipun tidak sampai obesitas.

“Boleh kulucuti celanamu?” tanya Inaya, sembari sedikit beringsut, hingga kini ia bersimpuh di antara kedua tungkai kaki Heri.

“Silakan,” Heri mengangguk. “Aku tidak mungkin menyetubuhimu sambil mengenakan celana, ‘kan?”

“Jangan bercelana,” Inaya tertawa pendek. “Yang penting berkondom.”

“Setuju,” tanggap Heri, juga tertawa. “Kamu punya?”

Inaya mengangguk.


Di Jepang, seorang wanita menyimpan persediaan kondom di tas atau lemari di tempat tinggalnya adalah hal yang wajar. Juga merupakan hal yang wajar jika seorang wanita di Jepang terpaksa membuang kondom yang belum sempat dipakai, akibat kedaluarsa.

Seperti Inaya, yang selalu menyimpan stok kondom di tas atau lemari pakaian. Dan entah sudah berapa buah kondom yang terpaksa dibuangnya saat kedaluarsa. Maklum, sembilan tahun dirinya nihil bercinta.


Cukup sekian intermezzo tentang kondom. Kita kembali ke suasana ruang tinggal Inaya.

Ada perasaan khawatir yang dirasakan Inaya, mengingat ini adalah momen yang sudah lama tidak dialaminya. Sembilan tahun. Dan kali ini, ia berkesempatan untuk melihat kembali organ tubuh lelaki bernama penis, meskipun sejak belasan menit lalu, alat vital tersebut sudah dapat ia rasakan ketegangannya, berkali-kali menyentuh perut dan pahanya.

Namun, di balik rasa khawatir, tersembul perasaan excited dalam menyambut persetubuhan ini. Karena ia tahu, bersenggama itu nikmat, terlebih jika dilakukan dengan penuh kerelaan, seperti pagi ini.


Sambil berusaha bersikap toleran terhadap berbagai perasaan yang hadir di hatinya, Inaya mulai memelorotkan celana jeans Heri hingga tanggal, kemudian melemparkannya secara sembarang. Sembulan batang kemaluan yang mengeras di balik helai cawat hitam, cukup untuk membuatnya tertegun.

Lalu, sejurus kemudian, Inaya menarik lepas cawat hitam tersebut. Batang penis yang sejauh ini ditutupinya, sontak mencelat. Inaya menelan ludah. Bukan. Bukan soal dimensinya yang membuat dirinya menelan ludah, melainkan karena itu adalah alat kelamin lelaki.

Baik besar ataupun kecil, panjang ataupun pendek, penis tetaplah penis.


Kini, Heri sudah sepenuhnya tanpa busana. Sama seperti Inaya, yang telah bugil sejak belasan menit sebelumnya. Cerita apa lagi yang diharapkan terjadi di antara dua insan berlawanan jenis kelamin, telanjang di sebuah ruangan tertutup, selain persenggamaan?


Inaya mengempaskan tubuhnya hingga telentang di sisi kiri Heri. Kemudian, tangan kanannya menarik bahu kiri sang lelaki. Gesturnya jelas: mempersilakan Heri untuk mulai menyebadaninya.

“Kamu di atas,” ujar Heri, sambil berusaha menarik tubuh Inaya.

Nani?” cetus Inaya. “Aku malu, Heri...”

“Kamu di atas,” ulang Heri. “Maka kamu bisa mengatur tensi sesuai keinginanmu. Disesuaikan dengan kemampuan vaginamu. Kamu tidak ingin merasa kesakitan, ‘kan?”

Inaya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.


Ya, pada akhirnya, Inaya memosisikan tubuhnya di posisi woman on top, meskipun sambil menahan rasa malu dan risih. Setelah penis Heri melesak masuk ke dalam rongga vaginanya, ia menggoyangkan tubuhnya, naik turun, dengan tempo sedang. Namun, Inaya sama sekali enggan menatap Heri.

“Tatap aku, Inaya,” ucap Heri.

Inaya menggeleng.

“Kenapa?” tanya Heri.

Kore wa hazukashīdesu,” lirih Inaya. “Ini memalukan, Heri.”

Enjoy it, Inaya,” Heri tersenyum. “Tidak ada yang bilang jika ini memalukan.”

Inaya hanya mengangguk.


Seiring waktu, Inaya mulai merasakan sensasi kenikmatan. Suatu hal yang lebih mudah dicapai wanita saat memosisikan diri di atas tubuh lelaki, karena memiliki kontrol penuh atas semuanya.

Dan deraan rasa nikmat tersebut membuat Inaya dapat melupakan rasa malunya. Terbukti, gerakan tubuhnya mulai meningkat, yang praktis membuat batang kemaluan Heri menghunjam liang vaginanya dengan tensi yang makin cepat dan keras pula.

Tubuh dan hati Inaya mulai mampu bersikap adaptatif terhadap persetubuhan pertama dalam sembilan tahun terakhir tersebut.


Sementara itu, di bawah, Heri menyaksikan pemandangan yang sangat menggairahkan. Tubuh Inaya yang terbilang indah, bergerak erotik, memadukan gerakan antara maju dan mundur serta naik dan turun, sekehendak wanita itu. Seirama dengan kedua bongkah buah dadanya yang bergoyang sensual.

Meski ukuran buah dada Inaya tidaklah seatraktif milik Matsushita Saeko, Himeno Yuuri, apalagi Tanaka Hitomi, namun payudara tetaplah payudara. Salah satu organ tubuh wanita favorit mata lelaki, termasuk di mata Heri.

Lalu, desah dan rintihan dari bibir Inaya yang terdengar makin intens dan nyaring, seiring rasa risih wanita itu yang makin memudar, ditangkap telinga Heri sebagai rangsangan erotis nan kolosal. Dan semua tahu, bahwa terkadang rangsangan auditif bisa menjadi pemicu hebat terhadap gairah seks seseorang.

Semua itu berbaur menjadi sebuah kesatuan yang serasi. Kesimpulannya sederhana saja: Inaya seksi. Dan kesimpulan tersebut berimbas pada libido Heri yang makin menggelegak. Jujur, ia kepayahan. Heri tidak mengira, Inaya yang di sesi foreplay terkesan malu-malu dan tampak memendam kekhawatiran, nyatanya mampu pula mendominasi.


Hanya itu? Tidak.

Puncak pesona Inaya adalah ketika wanita itu tengah menyambut orgasme. Gerakan pinggulnya menjadi makin cepat dan liar, begitu pula rintihan yang makin nyaring. Sejenak Heri mengucap syukur, bahwa persetubuhan ini terjadi di sebuah apartemen di Shinagawa, bukan kamar kost di Gegerkalong. Maka, tak usahlah keduanya menahan jeritan nikmat.

Ketika orgasme benar-benar tiba, sesaat tubuh Inaya menggeliat binal, sebelum kemudian mendadak terdiam. Hanya kedutan-kedutan ringan. Dan sama sekali tak ada suara yang terlantun dari bibirnya. Hanya sengal napas tak beraturan.

Di mata Heri, proses meraih puncak kenikmatan yang dialami Inaya, adalah pemandangan yang indah tak terperi.


Inaya menjatuhkan tubuhnya ke arah depan hingga dadanya bersentuhan erat dengan dada Heri. Sang lelaki segera mendekap tubuh indah tersebut.

“Enak, Sayang?” bisik Heri.

Inaya hanya mengangguk.

“Mau lagi?” tanya Heri lagi.

Kembali Inaya mengangguk.


Lalu, secara mendadak, tanpa melepaskan lingkaran tangannya terhadap tubuh Inaya, Heri menggoyangkan pinggulnya, dan berimbas pada penisnya yang masih bersarang di dalam vagina wanita itu, bergerak keluar dan masuk dengan tempo sedang. Rintihan erotis Inaya pun terdengar lagi.

“Mau kupenetrasi lebih cepat?” tanya Heri.

Inaya mengangguk lirih. “Tapi, please... jangan kasar, ya.”

“Iya, Sayang,” tanggap Heri. “Kamu tenang...”

“Jangan pakai ‘Sayang’,” protes Inaya. “Nanti hatiku kena.”

“Itulah yang kuharapkan, Inaya,” balas Heri. “Hatimu kena, dan akhirnya meleleh.”

Inaya mengerang manja.


Perlahan, intensitas penetrasi penis Heri pada rongga kemaluan Inaya meningkat. Tidak secara drastis, tentunya. Bertahap saja, sambil memberikan ruang bagi si wanita untuk beradaptasi terhadap gaya bercinta yang lebih liar.

Namun, peningkatan intensitas tersebut berjalan secara pasti. Mungkin Inaya tidak menyadarinya, betapa kini rongga kemaluannya telah dihunjam cukup kasar. Tampaknya, rasa nikmat yang melanda sekujur tubuhnya mengalahkan rasa sakit yang ada.

Hingga akhirnya Inaya berujar, cukup tegas, “Yamete kudasai.”

“Kenapa?” Heri menghentikan gerakan pinggulnya.

Itai,” lirih Inaya. “Kamu terlalu kasar. Sakit, Heri...”

“Tahan sakitnya, sebentar saja,” Heri merapikan rambut-rambut liar di kening Inaya. “Sesaat lagi, kamu pasti terbiasa.”

Inaya tidak menjawab.


Heri melanjutkan penetrasinya yang sejenak tertunda itu. Dan ia mempertahankan torsi cepat, seperti sebelumnya. Rintihan kesakitan terdengar lagi, dilantunkan Inaya. Tapi kali ini, Heri bergeming. Ia bertahan dengan gaya bercintanya saat ini.

‘Keteguhan’ Heri pun menunjukkan hasil. Lambat laun, gestur dari rintih kesakitan itu berubah, menjadi lebih mirip rintih nikmat. Lagi-lagi, Inaya berhasil beradaptasi dengan gaya bercinta yang berbeda. Beradaptasi dengan gaya yang sejak awal dikhawatirkannya.

“Enak?” tanya Heri.

“Sakit,” jawab Inaya.

“Tapi enak, ‘kan?” tanya Heri lagi.

“Enak, tapi sakit,” Inaya keukeuh.

“Pikirkan enaknya, jangan rasa sakitnya,” minta Heri. “Kamu kepingin orgasme lagi, ‘kan?”

Inaya mengangguk pelan.

“Maka, nikmatilah rasa sakit itu,” pungkas Heri, sebelum kembali menggoyangkan pinggulnya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Orgasme terakhir Inaya pagi ini, alias yang keempat, dialaminya hampir bersamaan dengan ejakulasi yang diraih Heri. Posisinya standar saja, missionary style. Namun efeknya tidak sestandar posisi tersebut.

Inaya lebih dulu mencapai puncak. Lalu, kedutan-kedutan erat di dinding vaginanya, imbas dari orgasme tersebut, membuat Heri tak kuasa lagi membendung deraan rasa nikmat. Ia bergegas mencabut batang penisnya, membuka kondom dan melepaskan ejakulasinya. Seputar buah dada Inaya menjadi area tersemburnya cairan sperma sang lelaki.


Nah, puncak kenikmatan bercinta alias orgasme telah diraih keduanya. Lalu apa lagi?


Selanjutnya, adalah kepuasan batin.

Ini terjadi karena tak ada satu pun di antara mereka yang lantas bangkit dari tempat tidur, selepas pergumulan tersebut. Bahkan, menyaput lelehan sperma di dada Inaya pun dilakukan Heri menggunakan poloshirt-nya.

“Nanti kucuci kilat, supaya bisa dikenakan ketika kamu pulang,” ujar Inaya. “Sementara, pakai bajuku saja, ya.”

“Tidak berpakaian pun sah-sah saja,” canda Heri. “Tokh, kita memang akan telanjang seharian ini.”

Inaya melotot.


Peneliti bilang, konon, salah satu momen di mana manusia berada pada tingkatan paling jujur adalah setelah bercinta dan orgasme. Dan dalam kasus antara Inaya dan Heri, yang melakukan seks pranikah, fase selepas orgasme dapat menjadi penentu ke mana hubungan mereka akan berlanjut, meskipun tidak mutlak seperti itu.

Riset yang sama juga menjelaskan bahwa jika setelah bercinta, si lelaki tidur sebelum pasangannya, hal itu mungkin merupakan taktik untuk menghindari percakapan mengenai komitmen dan masa depan hubungan.

Sebaliknya, pihak wanita merasakan kebutuhan yang kuat untuk tidur di sisi pasangannya, sebagai sebuah strategi untuk mengurangi risiko dirinya akan ditinggalkan demi wanita lain, suatu saat nanti.

Sebagai catatan, riset mungkin tidak berlaku bagi pasangan yang sejak awal memang berniat untuk melakukan sex for fun atau one night stand.


Yang terjadi pada Inaya dan Heri, justru sebaliknya. Keduanya sama-sama membuka perbincangan, selepas bercinta. Bukan hanya itu, mereka pun saling tatap begitu lekat. Yang tak mereka lakukan adalah berpelukan, mungkin akibat merasa tak nyaman dengan basah keringat di tubuh masing-masing.


“Heri,” gumam Inaya. “Kamu sudah membuatku orgasme sampai empat kali. Tapi, aku tidak pernah tahu, di mana kamu berdomisili.”

Heri tertawa. “Apakah itu penting?”

“Jelas,” jawab Inaya. “Karena aku harus tahu, ke mana aku bisa mencarimu, untuk minta pertanggungjawaban.”

“Aku pakai kondom,” tegas Heri. “Kamu tidak akan hamil, kecuali ada lubang sebesar peniti.”

Inaya tertawa.

“Jadi, pertanggungjawaban apa yang kamu minta?” lanjut Heri.

“Pertanggungjawaban,” ucap Inaya. “Kalau ternyata, selepas malam ini, aku ingin berjumpa lagi denganmu.”

Heri terlihat terkejut.

“Bukan melulu demi seks, ya,” ujar Inaya. “Camkan itu. Kita bisa berjumpa untuk... berbincang atau berjalan santai ke suatu tempat. Atau apapun.”

“Aku berharap hal yang sama,” tanggap Heri. “Tapi, aku terlalu segan untuk mengucapkan itu. Beruntung, kamu lebih dulu mengutarakannya.”

“Sekadar mengucapkan saja kamu segan,” timpal Inaya. “Menelanjangiku, kamu tidak merasa segan, ya?”

Heri tertawa. “Tidak sengaja, Inaya. Kita bertabrakan, lalu jatuh. Dan…”

Uso!” umpat Inaya. “Ketika kita terjatuh, tidak ada bagian yukata-ku yang tersingkap, lho!”

“Iya, sih…” Heri terkekeh. “Kamu tetap menggairahkan, meskipun yukata-mu masih rapi. Apalagi kalau ditelanjangi.”

Inaya melotot, meski tak urung tertawa juga.


“Aku ingin tahu,” ucap Inaya. “Selama tadi menyetubuhiku, apakah kamu sempat membayangkan sosok wanita lain?”

Heri tercekat. “Pertanyaanmu ganjil.”

“Mungkin,” ujar Inaya. “Tapi, jawab saja, Heri. Jujur, tak usah ditutupi. Aku tidak… aku akan berusaha untuk tidak marah, apapun jawabanmu.”

“Aneh,” Heri menggelengkan kepala. “Aku tidak mengerti, apa esensi dari pertanyaanmu.”

Inaya hanya tersenyum.

“Sebentar,” Heri menatap Inaya dalam-dalam. “Seorang lelaki di masa lalumu yang membayangkan sosok wanita lain saat sedang menyetubuhimu?”

“Membayangkan sosok lelaki lain,” ralat Inaya.

I see,” gumam Heri, sembari menganggukkan kepala. Lalu, mendadak ia tertegun. “Nani?”

Inaya menatap Heri dengan gestur bertanya.

“Lelaki lain?” Heri mempertegas pertanyaannya. “Lelaki itu membayangkan sosok lelaki lain, saat sedang menyetubuhimu?”

Inaya mengangguk lirih. “Ternyata dia seorang gay. Coba kamu pikir, Heri. Mengetahui bahwa kekasih kita berfantasi dengan wanita lain saja sudah cukup menyakitkan hati. Apalagi kalau…”

“Jangan dilanjutkan, andai itu menyakitkan,” sela Heri.


Ponsel berdering, menghentikan perbincangan mereka.

“Punyamu?” tanya Inaya, menatap Heri.

Heri mengangguk. “Pasti teman se-dormitory, sesama WNI. Sebenarnya, kami berniat untuk jogging bersama.”

“Dasar...” Inaya tertawa kecil. Ditepuknya bahu kanan Heri. “Yosh, cepat jawab panggilan itu.”


Heri bangkit, setengah tergesa memburu ke arah meja makan, di mana ponselnya tergeletak selama semalaman tadi.

Nya engké heula, atuh!” seru lelaki itu, ditujukan pada ponsel yang terus berdering. “Teu sabaran pisan!”

Nani?” ujar Inaya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Ternyata dia…?”


Tak sampai lima menit, Heri kembali ke area tidur.

“Sesuai tebakan,” lelaki itu nyengir, sambil duduk bersila menghadapi Inaya yang masih berbaring di atas ranjang. “Yang meneleponku adalah teman se-dormitory, yang awalnya akan jogging bersamaku. Kubilang saja, kalau aku batal jogging karena sedang bersama...”

“Kamu Sundanese?” tanya Inaya, tak menggubris penjelasan Heri.

Heri menatap Inaya, kemudian mengangguk. “Kenapa?”

“Bandung?” tanya Inaya lagi.

Heri kembali mengangguk.

“Daerah mana?” kejar Inaya.

Chotto matte,” Heri menatap Inaya, makin lekat. “Jangan bilang, kamu juga berasal dari Bandung.”

“Bojongsoang,” beritahu Inaya.

Yokatta,” gumam Heri. “Aku dari Cihampelas. Kita tidak berasal dari daerah yang sama. Kalau kita sedaerah, mungkin sudah sejak belasan tahun lalu, kita berjumpa dan berkenalan. Lalu ML di kamar tidurmu.”

Inaya melotot. “Kamu tidak takut digeruduk Pak RT?”

“Ya sudah, di kamarku saja,” balas Heri. “Aku tinggal bersama nenekku. Dan beliau sudah pikun.”

Inaya menggelengkan kepala.


Jodoh seseorang sudah digariskan, bahkan sebelum roh dihembuskan ke dalam jasadnya. Nah, meski sudah digariskan, namun jalan cerita yang dialami seseorang untuk dapat berjumpa dengan jodohnya, selalu menarik untuk disimak. Entah sudah berapa juta kisah yang terinspirasi dari tema dasar bernama ‘jodoh’.

Tentu saja, kisah yang terjalin di antara Inaya dan Heri pun menarik. Mereka berasal dari kota yang sama, Bandung. Namun, nyatanya butuh cerita yang panjang untuk membuat mereka berjumpa, di tempat yang sangat jauh dari tempat asalnya.

Apakah mereka memang berjodoh, seperti yang sudah digariskan bahkan sebelum roh dihembuskan ke dalam jasad masing-masing? Sampai detik ini, ya, mereka berjodoh. Tapi, tidak ada yang tahu, bentuk perjodohan seperti apa yang terjalin di antara mereka.

Sekadar teman dekat, tanpa ikatan, namun intens bercinta? Atau saling mengikat komitmen untuk membawa hubungan ke arah pelaminan, lalu bubar jalan di ujung cerita? Atau… benar-benar menikah dan cerai lagi, satu setengah tahun kemudian?


Tapi, hingga detik ini, kisah perjumpaan mereka memang unik dan kental aroma kebetulan.

Lazimnya, Inaya dan Heri dipertemukan dalam sebuah acara yang diinisiasi staf KBRI untuk Jepang, misalnya. Atau berjumpa di acara buka puasa bersama yang digelar pentolan-pentolan paguyuban TKI, misalnya. Atau, jika mesti mengambil contoh di luar dunia TKI, Inaya dan Heri bertemu di sebuah toko seratus Yen di Shibuya, misalnya.

Yang terjadi, mereka malah berjumpa di sebuah night club. Sebuah tempat yang, mungkin, merupakan prioritas paling buncit untuk dikunjungi para TKI. Tempat yang kurang lazim.

Namun, jika jodoh sudah bicara, tak ada lagi hal yang tak lazim, bukan? Semua menjadi mungkin.


Tanpa sengaja, Inaya memergoki Heri yang tersenyum sendiri. Rasa ingin tahunya sontak tergelitik.

Dō shita no?” selidiknya.

Heri menggelengkan kepala. “Takjub, mungkin. Mmh… jauh merantau ke Jepang, berjumpa seorang wanita, yang ternyata berasal dari negara yang sama. Bahkan kota yang sama. Kenapa kita tidak berjumpa dan berkenalan di kota asal kita saja, ya?”

“Tidak ada yang tahu, jalan hidup seseorang,” tanggap Inaya, sambil tersenyum. “Taruhlah kita berjumpa di Bandung, tanpa disengaja. Di sebuah mal elektronik, misalnya. Akankah perjumpaan itu berujung seperti yang kita alami pagi ini?”

Heri mengedikkan bahu.

“Bisa jadi, kita berjumpa di tengah situasi pelik,” lanjut Inaya. “Di pos sekuriti mal elektronik. Aku melaporkan dompet yang dicopet, dan kamu sebagai copet yang tertangkap.”

Heri mendelik.

Sorry…” gumam Inaya, sambil menahan senyum. “Itu hanya sekadar contoh.”

“Dengan aku sebagai tokoh antagonisnya, begitu?” timpal Heri.

Inaya terkekeh.

“Yah… meskipun sebenarnya contoh tersebut tidaklah mustahil terjadi, kok,” sambung Heri, lalu tertawa getir. “Kalau tidak memaksakan diri untuk mendaftar dan berjuang lolos seleksi keberangkatan ke Jepang, mungkin saat ini aku benar-benar menjadi copet.”

“Kita punya alasan serupa sebagai latar belakang keberangkatan ke Jepang,” tutur Inaya. “Meningkatkan kualitas hidup.”

“Meskipun untuk itu, kita mesti kehilangan kebersamaan dengan keluarga,” timpal Heri.

Inaya mengangguk lirih.


Selanjutnya, suasana menjadi sendu. Mungkin, inilah yang dirasakan oleh semua tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di negeri orang, ketika teringat keluarga di Tanah Air. Inaya dan Heri terbilang beruntung, karena belum berkeluarga. Bayangkan, bagaimana perasaan mereka yang harus meninggalkan pasangan hidup dan putra-putrinya, selama bertahun-tahun.


“Kenapa kamu menangis?” ucap Heri lembut, sembari tangan kanannya menyentuh wajah manis Inaya.

“Aku rindu ibuku,” jawab Inaya, di sela isak tangis lirihnya.

“Semua orang Indonesia yang bekerja di sini, merasakan hal serupa, Inaya,” tanggap Heri. “Bahkan juga aku, yang sudah tak punya ibu.”

“Beda, Heri,” gumam Inaya. “Semalam, aku baru saja melanggar peringatan ibuku. Beliau berpesan, bahwa aku harus fokus bekerja. Fokus dengan tujuanku berangkat ke Jepang. Kemarin, aku bertindak liar.”

Wakatta,” tanggap Heri. “Tapi, tentu kamu punya alasan kuat, hingga memutuskan untuk datang ke night club, ‘kan?”

“Aku stres,” jawab Inaya. “Tekanan di tempat kerja itu berat, mungkin kamu juga merasakannya. Yaa... aku tahu, bekerja di mana pun akan selalu ada tekanan. Tapi, ketika tekanan itu terasa berat, aku bisa mencurahkannya pada ibuku. Di sini?”

Heri menanggapi dengan senyuman.

“Akhirnya, aku memutuskan untuk refreshing ke night club,” sambung Inaya. “Stresku memang berkurang, tapi aku jadi merasa bersalah pada ibuku. Aku rindu ibuku.”


Heri menarik kepala Inaya, dan membenamkannya di bahu kirinya. Imbasnya, isak tangis wanita itu pun jadi makin nyaring.

“Aku akan menjagamu, Inaya,” bisik Heri. “Aku akan selalu bersamamu.”

Inaya hanya mengangguk.

“Aku akan membuatmu tak lagi menyesali tindakanmu datang ke night club, semalam,” janji Heri lagi.

Kembali, Inaya hanya mengangguk.


Suasana memang melankolis dan sendu. Namun, pada hakikatnya, Inaya dan Heri masih dalam kondisi sama-sama tanpa busana. Kapan pun gairah keduanya dapat terpantik, seperti apapun suasana yang melingkupinya.

Terbukti, diawali dengan dekapan terhadap kepala Inaya, selanjutnya Heri malah mencumbui wajah sang wanita. Lalu, adegan berkembang menjadi makin panas. Hingga akhirnya Inaya tersadar, ketika bibir Heri hinggap di puting dada kanannya.

“Aku yang rindu ibuku,” ujarnya. “Kenapa justru kamu yang nyusu?”

Heri pun menghentikan aksinya, dan menatap Inaya.

“Puting susu wanita yang belum jadi seorang ibu, lagi,” tambah Inaya.

“Suatu hari, kamu akan menjadi seorang ibu, kok,” tanggap Heri, sambil tersenyum. “Ibu dari anakku.”

Inaya mengerang manja.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Dua bulan kemudian,


Tokyo di bulan Maret, selalu menarik minat wisatawan asing. Cuaca di Jepang secara umum memang menghangat, seiring datangnya musim semi. Jauh berbeda dengan suhu pada satu atau dua bulan sebelumnya. Meski angin kencang kerap berembus, namun masih cukup bersahabat.

Dan satu lagi hal menarik dari Tokyo dan Jepang di bulan Maret. Ya, bunga sakura. Hampir di seantero negeri, sakura dari berbagai spesies bermekaran, indah sekali. Banyak digelar matsuri, alias festival, yang berkaitan dengan sakura. Atau, yang paling mudah, adalah hanami atau menikmati keindahan bunga di taman-taman umum, sambil menggelar tatami dan makan. Mirip dengan tradisi botram-nya orang Sunda.


Tokyo di bulan Maret, adalah masa-masa berseminya perasaan khusus di hati Inaya, terhadap Heri. Hubungan dekatnya dengan sang lelaki menghangat, berbanding lurus dengan menghangatnya suhu udara di Jepang, seiring datangnya musim semi.

Dan Inaya beruntung, mengalami peningkatan fase kedekatannya dengan Heri di tengah lingkungan yang, --menurut banyak wisatawan--, sangat romantis. Setidaknya, kedekatan ini dapat ia jadikan sebagai ajang ‘pemulihan’ dari stres yang melanda di tempat kerja.


Sejauh ini, Heri konsekuen dengan janjinya, dua bulan lalu,

“Aku akan menjagamu, Inaya. Aku akan selalu bersamamu.”

Meskipun tidak selalu berjumpa setiap harinya, sang lelaki membuktikan janjinya. Heri selalu ada saat diminta untuk ada. Selalu hadir kala Inaya memanggilnya. Dan selalu merespons ketika Inaya menghubunginya.

Sikap Heri menguatkan paradigma, bahwa idiom ‘menjagamu’ dan ‘selalu bersamamu’ tidak selalu berarti posesif. Bukan berarti mengekang. Inaya di Shinagawa-ku dan Heri di Mitaka-shi, jaraknya membentang. Namun sikap Heri tidak menjadikan jarak membentang tersebut sebagai rintangan.

Terbukti, hubungan keduanya justru makin menghangat.


Malam ini, sepulang kerja, Heri menampakkan diri di depan pintu apartemen Inaya. Seperti biasa, lengkap dengan senyum lebar di bibirnya, yang di mata Inaya tertangkap sebagai senyum tengil itu. Dan seperti biasa pula, tanpa salam terlebih dahulu, lelaki itu akan langsung bertanya tentang kabar Inaya,

Ogenki desu ka?”

Tanpa menjawab ‘Genki desu’ seperti layaknya dilakukan orang Jepang, Inaya akan menggamit lengan Heri, dan mengajaknya masuk.


Kali ini, Inaya menambahkan sebuah kalimat,

Anata ga inakute sabishīdesu.”

Artinya adalah sebuah pernyataan yang mengungkapkan rasa rindu.

"Hontō ni?” goda Heri.

Inaya mengerucutkan bibir. “Logikakan saja. Kapankah terakhir kali kamu datang ke sini, sebelum sore ini?”

“Maaf...” gumam Heri, kentara dengan nada sesal, disertai sorot mata murung. Namun, sejurus kemudian, berubah menjadi sorot mata jahil. “Tiga hari lalu. Cuma tiga hari.”

“Tiga hari,” ujar Inaya. “Konversikan ke satuan menit. Banyak, ‘kan?”

Gusti...” Heri menjatuhkan kepala dengan gestur putus asa. “Baru saja aku datang, sudah diomeli.”

“Tidak suka?” Inaya melotot galak. “Sana, protes ke Kokkai-gijidō.”

“Ya sudah,” tanggap Heri sambil berbalik.

“Kamu sudah siap mati?” rutuk Inaya.

Heri menghela napas.

“Masuk, Heri,” ucap Inaya tegas, kemudian berlalu. “Sekarang juga. Nanti miso-nya telanjur dingin.”

“Eh?” seru Heri.


Sejurus kemudian, Inaya merasakan tubuhnya direngkuh seseorang dari arah belakang. Siapa lagi, selain Heri.

“Kamu mengira bahwa aku memang benar-benar marah, ya?” seloroh Inaya, sembari menahan tawa.

Setengah paksa, lelaki itu membalikkan tubuh Inaya agar menghadapinya.

“Aku tidak punya cukup alasan untuk bersikap marah padamu,” ucap Inaya.

“Intinya, kamu ingin membuat kejutan, dengan memasakkan sesuatu untukku,” tebak Heri. “Tapi, dengan terlebih dahulu menjahiliku. Begitu?”

Inaya mengangguk.

“Dasar iseng,” tukas Heri. “Dakara sukidayo.”

Inaya tersipu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Heri hanya memerhatikan Inaya, yang sibuk menyiapkan makan malam yang sengaja dibuatnya untuk disantap berduaan saja dengannya. Tadi, ia menawarkan bantuan, namun sang wanita menolaknya.

“Tamu duduk manis saja,” ujarnya.

Dan itulah yang dilakukan Heri. Duduk manis menghadapi meja makan, yang perlahan, satu demi satu, dihiasi sajian makan malam.


Tuhan... batin Heri. Ternyata aku menyayangi Inaya.

Bukan karena Inaya rela disetubuhinya, di hari kedua perkenalan mereka. Sekali lagi, bukan karena itu! Heri berani bersumpah, andai di pagi itu mereka tidak bercinta, rasa sayang terhadap Inaya akan tetap melingkupi hatinya.

Jika dirunut, dan dipikirkan dalam-dalam, rasa tersebut tumbuh saat menangkap kekeruhan pada sorot mata Inaya. Bola mata wanita itu memang indah, namun Heri melihat aroma ganjil di sana. Alih-alih antipati, perasaan tertarik justru hadir di hatinya.

Lalu, pagi itu, seusai bercinta, Heri mendengar penuturan Inaya. Tentang lelaki di masa lalunya yang punya orientasi seksual menyimpang. Tentang janji dan kerinduannya terhadap sang ibunda. Ia pun dapat menarik kesimpulan, mungkin hal tersebut yang membuat keruh sorot mata Inaya.

Pagi itu, Heri melontarkan janji,

“Aku akan menjagamu, Inaya. Aku akan selalu bersamamu.”

Dan dua bulan berselang, tak secuil pun terbersit niat untuk melanggar janji itu. Dan tak secuil pun terbersit keinginan untuk menyakiti hati Inaya.


“Kenapa melamun?” tegur Inaya, yang ternyata telah duduk di sisi lain meja makan.

Heri menatap Inaya, dan tersenyum. “Aku teringat janjiku di pagi itu.”

“Kamu menyesal, telah membuat janji seperti itu?” tanya Inaya.

“Sama sekali tidak,” jawab Heri. “Tokh kelak, janji serupa akan kulontarkan pada istriku. Dan berlaku sepanjang sisa hidup, malah.”

“Lalu, kenapa tiba-tiba kamu teringat janjimu?” tanya Inaya lagi.

“Mengingat janji itu, membuatku berpikir tentang perasaanku,” tutur Heri. “Aku...”

“Makan, yuk!” potong Inaya, dengan pipi memerah. “Nanti kita lanjutkan kembali obrolan ini.”

Heri hanya mengangguk.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Inaya gobl*k! rutuk Inaya di dalam hati. Kamu tahu? Heri akan mengungkapkan perasaannya, kenapa malah kamu potong?

Ya, sikap lelaki di hadapannya sontak berubah. Kentara bahwa kini Heri menjadi lebih pendiam, seolah memendam kekalutan di kepalanya. Hmm... siapa pun akan kesulitan untuk mengungkapkan perasaan istimewa di hatinya. Terlebih jika hal tersebut merupakan perasaan yang jujur dan tulus. Butuh usaha lebih untuk mengumpulkan keberanian.

Lalu, seenaknya kamu memotong ucapannya, yang mungkin sudah dipikirkannya sejak masih berada di Mitaka-shi, sambung kata hati Inaya. Inaya baka!


Beruntung, tampaknya mood bicara yang hilang tidak tertular pada selera makan. Heri tetap melahap makan malam yang dimasak Inaya. Padahal menunya sederhana, hanya berupa yakimeshi alias nasi goreng ala Jepang, tiga potong chicken katsu dan semangkuk miso.

Sekilas saja, dari gestur tubuh Heri, Inaya dapat menebak bahwa lelaki itu menyukai masakannya. Yah... meskipun komentarnya singkat sekali,

Umai.”

Heri mungkin benar-benar kehilangan mood bicara. Dan semua terjadi karena Inaya.

Inaya baka! kembali, hatinya merutuk.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Seluruh porsi makan malam yang disediakan Inaya untuknya telah tandas. Sungguh, rasanya lezat. Hmm... satu lagi nilai positif yang berhasil Heri temukan dari sosok Inaya.

Sementara, di seberang meja, wanita berwajah manis itu tinggal menghabiskan miso-nya. Menyusul yakimeshi dan chicken katsu sudah lebih dulu bersarang di rongga perutnya.


Tapi, lupakan sejenak tentang rasa masakan Inaya.

Yang ada di benak Heri adalah kebungkaman wanita itu. Dan ia tahu persis, Inaya membungkam semenjak dirinya terlebih dahulu bungkam. Dan ia juga tahu, bahwa Inaya pasti tahu, hal apa yang membuatnya bungkam.

Semua adalah salahmu sendiri, Inaya, ujar hati Heri. Kamu pasti memahami bagaimana beratnya mengungkapkan perasaan terhadap seseorang yang disukai. Lalu, ketika keberanian itu memuncak, kamu buyarkan begitu saja.


Heri kesal? Tentu saja.

Tapi, di sisi lain, ia merasa tak tahan untuk terlalu lama kesal terhadap Inaya. Lagi-lagi, perasaan ganjil yang hadir di hatinya, menjadi alasan.


Dari sudut matanya, Heri bisa melihat gestur terkejut di tubuh Inaya, saat ia mendadak bangkit. Dan rasa terkejut berubah menjadi gestur salah tingkah, ketika Heri mengitari meja makan dan tiba-tiba berlutut di samping kanannya.

Gochisousama deshita,” ucap Heri, menatap Inaya lekat-lekat.

Inaya mengangguk. Hanya mampu mengangguk, sebagai bentuk jawaban.

“Inaya,” gumam Heri. “Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Wanita itu makin salah tingkah, dan hanya mematung. Lalu, kecupan tiba-tiba Heri di pipi kanannya, membuat Inaya mendadak menyandarkan tubuhnya dengan lemas pada kursi.

“Kamu kenapa?” tanya Heri.

“Aku tidak tahu,” jawab Inaya. “Tapi... terima kasih karena sudah menyayangiku. Hontou ni arigatou.”


Heri berusaha untuk mengerti dengan yang dirasakan Inaya. Karenanya, ia memilih untuk menjauh sejenak. Dan pilihannya adalah membuka refrigerator kecil di dapur.

“Stok bir kalenganmu kosong, ya?” serunya.

“Oh... iya, Heri,” jawab Inaya, setengah berseru.

“Akan kubeli di konbini di seberang jalan,” ujar Heri. “Kamu mau dibelikan sesuatu?”

Inaya bergumam tak jelas, kemudian menggeleng.

“Menambah stok kondom, mungkin?” goda Heri.

Inaya melotot.


Heri bersiap untuk keluar dari ruang tinggal Inaya. Namun panggilan sang wanita membuatnya mengurungkan niat.

“Mau dibelikan apa?” tanya Heri.

“Heri,” gumam Inaya, yang masih berdiri di sisi meja makan. “Aku ingin... pelukanmu.”

Heri tersenyum, kemudian mengangguk.


Dan sesuai permintaan sang wanita, ia pun mendekap Inaya. Pelukan terbaik yang mungkin dapat ia berikan. Hanya pelukan, tak lebih. Belasan detik kemudian, Heri melepaskan dekapannya.

“Terima kasih, karena sudah membuat duniaku jungkir balik,” lirih Inaya.

“Balasan dariku,” tanggap Heri. “Karena kamu sudah lebih dulu menjungkirbalikkan duniaku.”

Inaya tersenyum.

“Aku ke konbini dulu,” pamit Heri.

Inaya mempersilakan dengan anggukan kepalanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kebahagiaan melingkupi hati Inaya, segera setelah Heri berkata,

Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Hal yang wajar. Ketika kita menaruh hati terhadap seseorang, kemudian orang tersebut menyatakan perasaannya, sangat pantas jika kita bahagia. Heri membuat Inaya benar-benar bahagia, dengan pernyataannya tersebut.

Saat ini, lelaki yang membuatnya benar-benar bahagia itu sedang keluar sejenak. Pergi ke konbini di seberang gedung apartemen, untuk membeli bir kalengan. Dalam situasi normal, tentu Inaya akan ikut serta. Namun, kali ini, situasinya menjadi absurd. Inaya justru tak mau ikut, demi menenangkan hatinya yang melambung sangat tinggi hingga lapisan langit teratas.


Lalu, ponselnya berdering. Inaya melirik layar, dan mendapati sederet angka yang diawali dengan kode +62. Dari Indonesia! Jelas, ia akan segera menjawabnya.

Dan saat suara di seberang sana menyapa, Inaya segera tahu, bahwa hatinya mungkin akan kembali menukik, jatuh kembali ke permukaan tanah. Atau bahkan... terempas hingga melesak ke dalam tanah.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Begini penggalan dialog via sambungan telepon dari Indonesia tersebut,

"Janji apa?" bantah Inaya. "Aku tidak pernah menjanjikan sesuatu kepadamu."

"Semudah itu kamu melupakannya?" ujar Ganjar.

"Melupakan apa?" cetus Inaya. "Janji apa yang pernah kubuat, hah?"

"Janji bahwa '
Sepuluh tahun lagi, kita berjumpa’,” jelas Ganjar. “Di sini, di bawah naungan pohon..."

"
Ngaco, kamu!" potong Inaya. "Sudah, ya. Aku capek meladenimu."

"Inaya!" seru Ganjar.

"Kututup, ya," tegas Inaya. "Selamat malam."



Tanpa menanti jawaban Ganjar, Inaya memutus sambungan telepon tersebut. Kemudian menyakui ponselnya, di saku kiri celana katunnya.


"Siapa?" tanya Heri, yang ternyata sudah kembali dari konbini, dan berada di dekatnya. "Kamu terdengar kesal."

"Bukan siapa-siapa," jawab Inaya, dengan disertai senyum yang agak dipaksakan.

"Bukan siapa-siapa?" tanya Heri lagi.

"Bukan siapa-siapa," ulang Inaya. "Daijoubu desu."

Heri hanya mengangguk pelan.


"Kamu mendapatkan apa yang dicari?" tanya Inaya.

Kembali, Heri hanya mengangguk.

"Kamu kenapa?" selidik Inaya.

Heri tersenyum. "Sungguh, yang tadi bicara denganmu lewat sambungan telepon, bukan siapa-siapa?"

"Kamu tidak percaya?" tanya Inaya.

"Ya, aku tidak percaya," jawab Heri. "Kamu mengenalnya, bukan sekadar 'bukan siapa-siapa'. Iya, 'kan?"

Inaya hanya menatap Heri lekat-lekat.

"Iya, 'kan?" desak Heri.

Inaya bergeming.

"Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita," lanjut Heri. "Tapi, tanggung sendiri resikonya."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Banjaran, Kabupaten Bandung, di waktu yang sama,


Hesti bilang, "Kamu hanya berdelusi."

Ganjar tidak peduli. Ia selalu yakin bahwa Inaya akan mencari dirinya, sepulang dari Tokyo, setahun lagi. Hanya akan mencari dirinya, bukan orang lain.

Kenapa?

Karena Inaya sudah berjanji. Janji yang diucapkan sang wanita, beberapa saat sebelum memulai petualangannya di Negeri Matahari Terbit. Janji yang diucapkan sang wanita, untuk mengamini janji yang terlebih dahulu diikrarkan Ganjar.

Intinya sederhana, bahwa keduanya saling menyimpan janji untuk menanti hingga sepuluh tahun ke depan, ketika Inaya selesai menjalani magang di Jepang, yang merupakan program kerjasama antarnegara, dan dapat kembali ke Indonesia.

Mereka akan kembali berjumpa, merayakan kebersamaan mereka.

Dan setiap kali Ganjar mencetuskan obrolan perihal janji tersebut, Hesti selalu mengatakan, “Kamu hanya berdelusi.”


Ya, di mata Hesti, mustahil Inaya menjanjikan hal seperti yang dijelaskan di atas. Mustahil Inaya akan mencari Ganjar, sepulang dari Jepang. Kelak, Inaya akan kembali ke Indonesia, dan melanjutkan hidupnya.

Ganjar tidak ada dalam proyeksi masa depan Inaya. Hesti meyakini hal itu, dan tak henti berusaha meyakinkan Ganjar tentang hal itu. Tak henti berusaha menyadarkan Ganjar dari delusinya.

Namun sekali lagi, Ganjar tidak peduli.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, 2 hari kemudian,


Malam belum terlalu larut, ketika ponsel yang biasa ia geletakkan di atas meja tulis itu melantunkan ringtone. Hesti bergegas bangkit dari posisi rebahnya, dan memburu ke arah meja tulis.

Layar ponsel menampilkan sederet nomor tak dikenal, yang diawali dengan angka +81. Ia pun dapat segera menerka, siapa yang menghubunginya. Dan terkaan tersebut membuatnya begitu bersemangat menjawabnya.

Moshi moshi,” sapa Hesti dengan nada riang.

Terdengar suara tawa, di seberang sana. “Moshi moshi, Hesti.”

Konbanwa, Inaya-san,” sapa Hesti lagi.

Kembali, terdengar tawa di seberang sana. “Wilujeng wengi.”

“Kamu ingin bicara dengan ibumu?” tanya Hesti. “Kalau iya, aku akan segera ke rumahmu.”

“Oh, tidak perlu,” jawab Inaya. “Aku justru sangat ingin bicara denganmu.”

“Baiklah,” Hesti tersenyum, tentu saja takkan terlihat oleh Inaya. “Seriuskah?”


Sejenak, tak ada jawaban dari Inaya. Dan Hesti tidak berusaha mendesak sahabatnya untuk segera memberikan jawaban. Ia hafal, bahwa bisa saja Inaya berubah pikiran dan lantas urung bicara, saat terlalu didesak.

Pertemanan yang telah terjalin hampir sepanjang hidup mereka, membuat Hesti dan Inaya dapat mengerti tabiat satu sama lain.


“Hesti,” gumam Inaya, setelah terdiam beberapa jenak.

“Iya, Inaya?” tanggap Hesti pelan.

“Apakah sikapku jahat terhadap Ganjar?” tanya Inaya.

“Ganjar?” Hesti balik bertanya. “Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Ganjar?”

Kembali, tak ada jawaban dari Inaya.

“Tiga hari lalu,” sambung Hesti. “Aku berjumpa Ganjar, tanpa sengaja. Dia...”

"Ganjar membicarakanku?” potong Inaya.

“Ya, dia membicarakanmu,” jawab Hesti. “Hmm... let me guess. Setelah bertemu aku, kemudian membicarakan tentangmu, Ganjar menghubungimu? Dan kamu merasa terganggu? Benar begitu?”

“Benar,” jawab Inaya.

“Yang dibahas Ganjar, masih tentang janji itu?” selidik Hesti.

“Iya,” jawab Inaya lagi. “Aku tidak pernah menjanjikan sesuatu, seperti yang selalu diucapkannya.”

“Yakin, kamu tidak pernah menjanjikan apa-apa?” desak Hesti.

Lagi-lagi, tak ada jawaban dari Inaya.


Hesti selalu menganggap bahwa Ganjar hanya berdelusi, soal janji tersebut. Di matanya, Inaya tidak mungkin menjanjikan hal itu terhadap Ganjar. Okelah, di masa sekolah dulu, Inaya dan Ganjar memang pernah terlibat kedekatan, meski tidak pernah tercetus ucapan dari kedua pihak, bahwa mereka berpacaran.

Lalu, segera setelah menyelesaikan studi tingkat menengah atas, Inaya memutuskan untuk merantau. Tak tanggung-tanggung, ke Jepang. Kedekatan dirinya dengan Ganjar pun terhenti, setidaknya begitulah yang dapat terlihat oleh kedua mata Hesti. Ia tidak pernah tahu, apa yang terjadi di balik semua yang terlihat olehnya.

Namun, dari gelagatnya, Hesti merasa bahwa Inaya meninggalkan Tanah Air tanpa menyisakan unek-unek apapun terhadap Ganjar. Lalu, selama bermukim di Tokyo, Inaya tak pernah membicarakan Ganjar, kebalikannya dengan sang lelaki. Meskipun, sekali lagi, Hesti tidak pernah tahu, apa yang terjadi di balik semua yang terlihat olehnya.


“Inaya,” ucap Hesti. “Saranku, selama tidak berpotensi mengganggu atau membahayakanmu secara fisik, abaikan saja ucapan Ganjar. Lain hal jika ternyata dia berani mengejarmu ke Tokyo, misalnya, barulah kamu...”

“Ganjar berpotensi membahayakan kedekatanku dengan seseorang, Hesti,” sela Inaya. “Aku tidak...”

“Kamu punya kekasih?” giliran Hesti yang menyela. “Hei... ingatlah pesan ibumu, Inaya.”

“Lelaki ini... berbeda,” lirih Inaya. “Tapi, oya... dia bukan kekasihku.”

“Bukan kekasihmu,” ulang Hesti. “Tapi, kamu sangat dekat dengannya. Bahkan sudah...”

“Iya,” potong Inaya. “Kami sudah melakukannya.”

“Dan... saat bercinta itukah yang membuatmu menilai bahwa lelaki ini berbeda?” terka Hesti.

“Penis lelaki sama saja,” Inaya tertawa kecil. “Sama-sama harus ereksi jika ingin digunakan untuk mempenetrasi.”

Hesti ikut tertawa.

“Bedanya,” sambung Inaya. “Lelaki ini bisa ereksi, tanpa harus terlebih dahulu berfantasi berhubungan seks dengan lelaki lain.”

Hesti agak tertegun, meski kemudian berkata, “Tidak usah diingat-ingat lagi, Inaya.”


“Dua hari yang lalu itu,” tutur Inaya, setelah menghabiskan belasan detik dalam diam. “Ganjar menghubungiku ketika aku sedang bersama teman dekatku. Mmm... tepatnya, ketika teman dekatku sedang pergi ke konbini di seberang gedung apartemen.”

Konbini?” gumam Hesti.

“Minimarket, Hesti,” jelas Inaya, mengundang gumaman Hesti. “Dan aku masih bicara dengan Ganjar, ketika teman dekatku kembali dari konbini.”

“Dia mempertanyakan itu?” tanya Hesti.

“Ya, dia bertanya,” jawab Inaya. “Dan aku enggan menjelaskannya. Teman dekatku terlihat gusar.”

“Memang dilematis, ya,” tanggap Hesti. “Ketika belum ada hubungan resmi di antara kalian, sudah dihadapkan dengan kehadiran pihak lain. Kamu khawatir dia lantas menjauh, ya, saat menerima penjelasanmu soal Ganjar.”

“Begitulah,” ucap Inaya lirih.


“Mulai sekarang, kamu harus selektif dalam menerima panggilan telepon dari nomor-nomor dengan kode awal +62,” ingat Hesti.

“Mana mungkin?” bantah Inaya. “Meskipun nomor ponsel Ganjar sudah tersimpan di phonebook, saat dia menelepon, angka yang muncul di layar akan jadi berbeda, Hesti. Misalkan, kuabaikan semua panggilan masuk dari Indonesia, bagaimana jika ternyata kamu yang meneleponku?”

“Sebelum menghubungimu, aku akan berkabar lewat media e-mail,” usul Hesti. “Setelah kamu menjawab ‘oke’, aku akan langsung menghubungimu. Bagaimana?”

“Boleh juga idemu,” tanggap Inaya.

Subarashii aidea desu ne!” ujar Hesti dengan terbata. “Ide yang luar biasa, ‘kan?”

Inaya tertawa.

“Kenapa kamu tertawa?” cetus Hesti. “Salah, ya?”

“Tidak salah,” jawab Inaya. “Hanya pelafalanmu yang kurang pas, jadi terkesan lucu.”

Hesti cemberut.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Terdengar bel berdering, pertanda bahwa seseorang menekan tombol di bagian kanan bingkai pintu. Inaya sontak bangkit dan melangkah dengan bergegas ke arah pintu. Diintipnya situasi di luar, lewat door viewer. Hal yang lazim dilakukan di negeri ini.

“Ada tamu, Hesti,” ujarnya. “Mmm... teman dekatku.”

“Benarkah?” tanggap Hesti, di seberang sana. “Ya sudah, selamat bersenang-senang.”

“Hesti!” rutuk Inaya, sembari kemudian tertawa kecil.

Sambungan telepon pun diputus.


Inaya membuka pintu, disertai senyum lebar di wajahnya. Dan di koridor, tepat di depan pintu, Heri segera tersenyum. Mungkin, hal tersebut adalah refleks, ketika melihat senyum di bibir Inaya.

“Aku masih boleh datang ke sini, ‘kan?” tanya Heri.

“Boleh,” jawab Inaya. “Justru aku yang sempat merasa sangsi, bahwa kamu sudi datang lagi ke sini. Masuk, Heri.”

Heri pun melangkah masuk.


Di dekat tempat tidur, di atas karpet bercorak bunga anggrek dengan dominasi warna merah, keduanya duduk bersila saling berhadapan. Mengingat keterbatasan luas ruangan, tak ada area spesifik untuk menerima tamu. Sesukanya saja. Di area tempat tidur atau dapur pun bisa.


“Aku minta maaf perihal dua hari lalu itu,” tutur Inaya, membuka obrolan. “Aku akan...”

“Lupakan saja, Inaya,” potong Heri. “Tokh, aku pun tidak memikirkannya.”

“Sungguh?” yakin Inaya.

“Aku sudah berada di sini,” ujar Heri. “Berarti, tak ada masalah lagi, ‘kan?”

Inaya mengangguk pelan.

“Satu pertanyaan saja, dan ini penting,” sambung Heri.

“Penting?” tanya Inaya, menatap Heri lekat-lekat.

“Penting,” ulang Heri. “Aku berencana bepergian ke suatu tempat, besok pagi. Pertanyaannya adalah, maukah kamu ikut denganku?”

“Besok aku juga libur, sih,” tanggap Inaya. “Tapi... ke mana?”

“Sekali lagi,” Heri tak menggubris pertanyaan Inaya. “ Maukah kamu ikut denganku?”

“Aku mau, Heri,” jawab Inaya. “Tapi, ke mana?”

“Kamu mau,” gumam Heri. “Berarti, aku bisa pulang sekarang.”

“Eh?” seru Inaya. “Nande?”

“Sampai jumpa besok pagi,” Heri tersenyum singkat. “Kujemput kamu.”

Inaya hanya sanggup mengangguk.


aishiaeru kakuritsu
tenmongakuteki da ne
unmei ga hikiyoseru you ni
kotae wa mirai ni...

doko ni ite mo
nani wo shite mo
sugu ni omotte shimau no yo
doko ni ite mo
nani wo shite mo
tadaima renaichuu



(The chances of a love encounter
Are like astronomy
As though brought together by fate,
The answer is in the future…

No matter where I am
No matter what I do
soon I'll totally think about it
No matter where I am
No matter what I do
I'm back in the middle of love)



- AKB48 – Tadaima Renaichuu –


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Keesokan harinya,


Heri sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang tujuan keberangkatan mereka. Lelaki itu mengingatkan, selepas meninggalkan apartemen,

”Kamu aman bersamaku, karena aku tidak pernah berniat mencelakakanmu. Jangan pernah protes, jangan banyak bertanya. Kamu akan menyukainya.”

Saat Heri mengajaknya naik Keikyu Main Line, alias Keikyū-honsen dalam bahasa setempat, dari Tachiaigawa-eki menuju Shinagawa-eki, Inaya masih bisa mengerti. Shinagawa Station memang seolah menjadi ‘gerbang’ menuju area lain, karena dilintasi enam line kereta komuter dan satu rute Shinkansen, yang melibatkan tiga operator.

Pertanyaan mulai hadir di benaknya, ketika Heri membawanya keluar lewat West Exit, dan memasuki area Shinkansen. Dan pertanyaan di benaknya itu diejawantahkan dalam kalimat secara lisan,

”Aku sedang terlibat sindikat penculikan, ya?”

Jawaban Heri adalah ulangan dari jawaban yang dilontarkan lelaki itu, selepas keluar dari apartemen,

”Jangan pernah protes, jangan banyak bertanya.”

Inaya pun menyerah.


Bersama Heri, Inaya pun merasakan sensasi menumpangi bullet train, untuk kali pertama sepanjang perantauannya di Negeri Sakura. Tidak lama, tidak sampai setengah jam. Karena berdasarkan jadwal, durasi perjalanan dari Shinagawa-eki hingga tiba di Odawara-eki adalah 26 menit.

Chotto matte!

Odawara-eki? Yang dimaksud adalah Odawara Station yang terletak di kota Odawara, Kanagawa Prefecture, bukan? Ya, benar. Ah... itu ‘kan jauh! Tepat sekali, lebih dari 70 kilometer ke arah barat daya dari Prefektur Tokyo.

Inaya sedang diculik.


Namun, tak ada minibus dengan kaca dicat gelap di pelataran parkir Odawara-eki, lazimnya digunakan gerombolan penculik. Bahkan, Inaya tidak sempat menjejakkan kakinya di luar area stasiun, karena Heri mengajaknya menumpangi rangkaian kereta berbentuk unik yang hanya terdiri dari tiga gerbong. Hakone Tozan Line, alias Hakone Tozan Tetsudō-sen. Dalam bahasa Indonesia ‘tozan’ artinya mendaki gunung.


Terdapat jeda sekitar 20 menit hingga keberangkatan, yang dimanfaatkan keduanya untuk duduk-duduk di waiting room, di platform 11. Saat itulah Inaya berhasil menebak tujuan Heri,

“Kita akan berendam di onsen, ya?”

Heri menganggukkan kepala. “Kamu akan menyukainya.”

“Ya, aku pasti menyukainya,” balas Inaya.

Yokatta,” gumam Heri, sambil tersenyum.

“Tapi, hmm...” bisik Inaya. “Kamu tidak sedang berencana mengumpankanku pada sekelompok lelaki yang gemar meng-gangbang wanita, ‘kan?”

Bakageta,” Heri tergelak. “Kamu terlalu obsesif pada adegan film porno.”

Inaya tertawa kecil.

“Akulah satu-satunya lelaki yang berhak menyentuhmu, Inaya,” ucap Heri lirih. “Hanya aku.”

“Kamu posesif, ih!” seloroh Inaya.

Heri kembali tertawa.


“Heri,” gumam Inaya. “Bolehkah aku bertanya?”

“Silakan,” jawab Heri. “Tentang apa?”

“Aku tahu, biaya perjalanan dan akomodasi mahal,” tutur Inaya. “Kamu membongkar celengan semarmu, ya?”

“Celengan semar,” Heri tergelak. “Biayanya berkali lipat dari biaya hidupku sehari-hari. Tapi, kamu tidak perlu repot-repot berhitung, Inaya. Aku gembira dengan perjalanan ini, terlebih kulakoni bersamamu. Kamu gembira?”

Inaya mengangguk.

Yokatta,” ucap Heri. “Anggaplah perjalanan ini sebagai wujud permintaan maafku.”

“Mestinya aku yang meminta maaf,” tukas Inaya.

Daijoubu,” Heri tersenyum. “Ketika sudah melibatkan perasaan, siapa yang seharusnya meminta maaf akan menjadi hal yang sumir.”

Inaya tersipu.

“Dan sejujurnya aku menyesal,” sambung Heri.

“Menyesal?” tanya Inaya, menatap Heri seolah minta penjelasan.

Heri mengangguk. “Aku menyesal telah marah padamu. Karena aku yang rugi sendiri, ketika memutuskan untuk menghilang darimu. Makanya, baru dua hari menghilang, aku sudah kembali lagi.”

“Kamu…” ujar Inaya, sembari menundukkan kepala, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Padahal, aku mengira, hanya aku yang merasa kehilangan. Ternyata..."

"Aku juga," sela Heri, sambil tersenyum.

"Yang bicara di telepon itu," jelas Inaya. "Dia adalah..."

"Tidak usah dibicarakan," kembali Heri menyela. "Suatu saat, mungkin aku akan minta penjelasan soal itu. Tapi bukan sekarang."

"Kamu tidak mau perjalanan kita terganggu akibat terpengaruh oleh penjelasanku, ya?" terka Inaya.

Heri mengangguk. "Aku sudah tidak memikirkannya lagi, karenanya aku kembali datang padamu. Dengan kamu bercerita, pikiran buruk bisa jadi datang lagi. Iya, 'kan?"

"Iya, sih..." tanggap Inaya.

"Makanya, kamu jangan dulu bercerita," sambung Heri. "Nanti saja."


Keduanya saling diam, cukup lama. Seolah kehabisan bahan pembicaraan. Hingga kemudian suara di loudspeaker menyadarkan mereka untuk segera bersiap.

"Ikuzo," ujar Heri, seraya bangkit. Tangan kanannya terulur, menanti tangan Inaya untuk menyambutnya.

Inaya hanya tersenyum.


Saat melangkah agak bergegas ke peron,

"Kamu sangat jarang memegang ponsel, saat bersamaku," ucap Heri. "Itulah yang membuatku yakin untuk kembali padamu."

Inaya agak tertegun, lalu akhirnya tersenyum. Dipereratnya genggaman tangan kanannya terhadap lengan kiri Heri.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Lebih dari satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah guesthouse di distrik bernama Gora, bagian dari kota kecil Hakone. Dari bentuk bangunan dan fasilitas yang secara sekilas terlihat, Inaya tahu, ini bukan guesthouse biasa, melainkan berada di tingkat luxe guesthouse.

“Kamar yang akan kita tempati, punya onsen tersendiri?” tanyanya dengan berbisik.

Heri menjawab dengan anggukan kepala.

“Sewanya pasti mahal,” tebak Inaya.

“Tidak apa-apa,” tanggap Heri. “Lebih baik membayar lebih mahal, ketimbang membiarkanmu berendam di kolam air panas publik, dan tubuh telanjangmu dipelototi semua orang.”

“Hmm... sekali lagi,” Inaya menahan senyum. “Kamu posesif, ih!”

Heri terkekeh.


Yang dipilih Heri adalah Annex Senshin, yang merupakan kelas kamar menengah di guesthouse tersebut. Lebih mewah daripada standard room, namun di bawah suite room. Belakangan, Inaya tahu bahwa uang yang harus dikeluarkan Heri untuk menyewa annex tersebut selama semalam adalah ¥137,000!

Fasilitasnya memang terbilang lumayan. Luasnya adalah 20 meter persegi, dilengkapi meja makan berkaki rendah dan tempat tidur berupa futon mat. Penghuni pun diberi ‘jatah’ makan malam dan sarapan di kaiseki restaurant, yang punya konsep penyajian masakan tradisional Jepang.

Dan... ini yang menarik. Annex room yang disewa Heri punya kolam air panas open air, yang menyediakan pemandangan apik ke arah Myojingatake. Dengan begitu, seperti yang lelaki itu katakan, tubuh telanjang Inaya takkan menjadi konsumsi publik.


“Rasanya aku akan nyaman di sini,” ucap Inaya, setelah selesai berkeliling sekilas di annex tersebut.

“Pastinya,” tanggap Heri. “Sewanya mahal. Masa’ kamu tidak nyaman?”

Inaya tertawa kecil.

“Silakan pilih,” ujar Heri. “Mau berendam terlebih dahulu, atau berjalan-jalan di seputar Gora?”

“Aku boleh memilih opsi lain?” tanya Inaya.

Heri menatap Inaya, seolah minta penjelasan.

“Aku ingin... tidur,” tutur Inaya. “Tubuhku lelah, Heri. Tidur satu atau dua jam, mungkin cukup untuk memulihkan tenaga.”

“Perasaan gembira tetap tak mampu menghapuskan rasa lelah, ya,” seloroh Heri.

Inaya mengangguk dengan gestur mengiba.

“Ya sudah,” Heri tersenyum. “Tidurlah sejenak.”

Ikanaide,” lirih Inaya. “Tetaplah denganku, di sini.”

Heri kembali tersenyum. Direngkuhnya kepala Inaya, kemudian dengan sekilas dan singkat, dikecupnya kening wanita itu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dua bulan.

Belum lama berlangsung perkenalan antara dirinya dan Inaya, namun perasaan di hati Heri telah berkembang tanpa mampu dibatasinya. Sulit sekali dibendung. Hari demi hari, meski tak selalu dihiasi dengan sebentuk perjumpaan, namun bayangan tentang imaji wanita itu selalu hadir di benaknya.

Mungkin ini tak boleh terjadi. Mungkin tak semestinya perasaan asing bergerak sepesat ini. Durasi perkenalan yang relatif prematur menjadi salah satu alasan, mengapa Heri 'dilarang' untuk membebaskan perasaan hatinya berkembang terlalu liar. Butuh waktu, Heri. Butuh waktu untuk memantapkan pilihanmu, menjadikan Inaya sebagai 'satu-satunya' dalam hidupmu.

Tapi, makhluk bernama 'waktu' selalu berhubungan dengan relativitas. Kata bernama 'singkat' atau 'lama', selalu bermakna ambigu bagi masing-masing pihak.


Mungkin, Heri menganggap bahwa perkenalannya dengan Inaya baru berlangsung sebentar saja. Dua bulan berhubungan dekat belum layak untuk diarahkan menuju tahap yang lebih serius.

Namun, sebaliknya, bisa jadi Inaya justru menganggap Heri sebagai lelaki yang lamban, karena tidak juga membawa kedekatan ini ke jenjang yang lebih jauh, meski telah terjalin selama dua bulan.

Waktu adalah relatif, bukan?


Kini, wanita yang telah berhasil mengguncang hatinya itu tengah berada di dalam dekapannya. Tertidur nyenyak, sejak hampir dua jam lalu. Inaya benar-benar kelelahan. Hingga tadi, sebentuk percumbuan ringan pun tak mampu mengubah niat awal sang wanita untuk beristirahat.

Heri malah dicemberuti, ketika memaksakan diri.

"Sabar, dong..." rutuk Inaya. "Hari masih panjang, 'kan?"


Ya, hari masih panjang. Saat ini bahkan langit masih terang, meski mulai redup. Sementara, mereka punya waktu hingga esok siang, ketika jadwal check-out tiba. Terlalu beresiko bila Heri memaksakan kehendaknya, kemudian berujung pada rusaknya mood Inaya.

Maka, hampir dua jam lalu itu, Heri berhenti mencumbui sang wanita. Dan tak lama setelahnya, dengkuran halus terlantun dari bibir Inaya.


Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Itulah kalimat yang terlontar dari bibirnya, beberapa hari lalu. Kalimat yang diucapkannya sambil berlutut di samping Inaya, setelah berusaha keras mengumpulkan keberanian dan mengalahkan rasa malu. Kalimat yang menurut pengakuan jujur sang wanita, sukses membuat dunia Inaya jungkir balik.

Namun, itu hanyalah sebaris kalimat, yang mudah untuk diucapkan, tapi belum tentu mudah pula untuk diaplikasikan ke dalam bentuk perbuatan. Heri ingin Inaya tahu, bahwa rasa sayangnya melebihi batasan kalimat. Heri ingin membuktikannya.


Heri merasakan gerakan kecil yang dilakukan Inaya. Spontan, ia melirik wajah manis wanita itu. Ternyata, Inaya terjaga, entah sejak berapa lama.

“Kamu sudah bangun,” ucap Heri pelan. Dikecupnya kening Inaya lembut.

“Iya,” Inaya tersenyum. “Kamu tetap terjaga selama aku tidur?”

Heri mengangguk. “Siapa yang akan menjagamu, kalau aku juga tidur?”

“Kamu...” lirih Inaya. “Dilarang menggombali seseorang yang baru saja terbangun. Percuma. Nyawanya belum sepenuhnya kembali.”

Heri tertawa pendek.


“Kita akan berendam air panas?” tanya Inaya.

Heri mengangguk. “Tapi, sebelum berendam, lebih baik kita makan malam.”

“Nanti, ya,” tolak Inaya halus. “Wajahku kentara menunjukkan bahwa aku baru saja bangun tidur. Sebaiknya kita mandi dan berendam dulu.”

“Wajahmu tetap manis, kok,” puji Heri. “Tidak perlu mandi dulu.”

“Kamu menyukaiku,” tanggap Inaya. “Makanya bisa memuji wajahku yang kusut begini.”

“Pujian dari siapa lagi yang kamu harapkan, selain yang diucapkan kekasihmu?” tanya Heri.

“Iya, sih,” Inaya nyengir. “Tapi setidaknya, beri aku waktu untuk sedikit berhias. Aku juga berhak tampil cantik saat bersanding denganmu.”

Heri memberikan izin berupa anggukan kepala.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir satu jam kemudian, akhirnya Inaya tahu, mengapa Heri ngotot mendahulukan makan malam, daripada mandi dan berendam air panas.


Pada awalnya, Inaya sangat tertarik dengan tampilan dari sajian wagyū kaiseki yang dipilihkan Heri. Cantik benar. Wanita itu bahkan sempat berkelakar,

“Kok aku jadi malas makan, ya?”

“Kenapa?” tanya Heri dengan nada heran.

“Penyajiannya terlalu indah,” jawab Inaya. “Aku jadi tidak tega merusaknya.”


Lalu, pandangan mata Inaya tertumbuk pada secarik kertas kecil yang menempel di batang stem gelas anggur.

“Kita menikah, yuk,” gumamnya, membaca tulisan pada secarik kertas kecil itu. “Gusti…”

Tentu, Inaya melemparkan pandangan pada Heri yang berada di seberang meja. “Kamu yang…”

“Iya, aku,” potong Heri. “Maaf, hanya berupa kertas kecil. Semua ini adalah implementasi sekadarnya dari ide yang mendadak muncul ketika menatapmu yang sedang tertidur.”

“Kapan, Heri?” tanya Inaya.

“Ketika kamu sedang tertidur,” jawab Heri.

“Maksudku, kapan kita menikah?” Inaya meluruskan arah pertanyaannya.

“Nanti, sepulang dari Jepang, tahun depan” jawab Heri. “Karena kebetulan kontrak kita berakhir di tahun yang sama.”

Inaya mengangguk.

“Memang masih lama,” lanjut Heri. “Tapi, biarlah menunggu lama, yang penting sudah ada kejelasan tentang arah kedekatan kita.”


Inaya tidak lantas menanggapi penuturan Heri. Ia harus berpikir, dan bukan sembarang berpikir. Ini adalah tentang masa depan, dan tentang bersama siapa dirinya akan mengarungi masa depannya tersebut.

“Harus kutanggapi sekarang juga, ya?” gumam Inaya.

“Jika kamu belum bisa menanggapinya sekarang, tidak mengapa,” jawab Heri, tersenyum. “Aku mengerti.”

Inaya menghela napas panjang.

“Cara penyampaian dari niatku itu memang kurang meyakinkan, ya?” tanya Heri dengan nada menyesal. “Hanya lewat secarik kertas kecil. Sementara lelaki lain…”

“Bukan itu, Heri,” potong Inaya. “Aku tidak melihat kertas kecilnya, melainkan makna tulisannya. Sungguh, bukan itu yang membuatku sulit untuk memutuskan.”

Heri hanya mengangguk.

“Bagaimana kalau kita santap dulu makan malam ini?” ujar Inaya. “Aku berjanji, kamu akan mendapatkan jawabannya, sebelum kita kembali ke annex.”

“Ah… wakarimashita,” tanggap Heri, masih juga sambil mengangguk. “Kamu terlalu lapar, hingga akhirnya sulit berpikir. Iya, ‘kan?”

Inaya tertawa kecil.

“Kamu terkadang kocak, Inaya,” ucap Heri. “Dakara sukidayo.”

Inaya melotot, sebagai usaha untuk menyembunyikan sipu malu yang sontak hadir di wajah manisnya.


Adalah wajar jika suasana yang terjalin di antara Inaya dan Heri menjadi tidak sehangat sebelumnya. Keduanya menyantap makan malam yang mewah dan sarat nuansa tradisional Jepang khas sajian kaiseki tersebut, lebih sering dengan kebungkaman. Masing-masing sibuk dengan berbagai pemikiran di kepalanya.

Suasana menjadi tidak nyaman? Tentu saja.


Lalu, Inaya menunjukkan gestur bahwa dirinya telah selesai makan. Disusul Heri, beberapa jenak kemudian.

“Heri…” gumam Inaya. “Akan kuputuskan.”

Heri menatap Inaya. Tampak jelas jika pandangan matanya melebar.

“Aku mau,” ucap Inaya, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. “Aku mau menikah denganmu.”


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Lega dan bahagia. Dua perasaan itulah yang sontak melingkupi hati Heri, segera setelah Inaya berujar,

”Aku mau. Aku mau menikah denganmu.”

Hmm… perasaan seperti inikah yang melanda setiap lelaki yang ajakan menikahnya diterima sang wanita? Dan… Heri tak sanggup membayangkan, apa yang akan dirasakan lelaki itu, andai jawaban dari kekasihnya adalah hal sebaliknya.


Heri nyaris tak mampu melangkah dengan gestur yang wajar, saat bersama Inaya berjalan dari restaurant menuju annex. Ia tidak mengerti. Jawaban menggembirakan dari bibir Inaya diterima oleh telinganya, diresapi oleh hatinya, namun justru melemahkan sendi-sendi di tungkai kakinya.

“Kamu kenapa?” tanya Inaya, sambil menghentikan langkahnya, dan menarik lengan kanan Heri, agar sang lelaki juga berhenti berjalan. “Seperti orang yang penyakit asam uratnya mendadak kambuh.”

Heri tertawa pendek, kemudian menggelengkan kepala.

“Kamu baik-baik saja?” tegas Inaya lagi, kali ini seraya beringsut dan berdiri tepat di hadapan Heri.

Heri mengangguk pelan.

“Kamu terlalu bahagia, ya?” terka Inaya, sambil merengkuh kedua pipi Heri. “Tubuhmu mendadak lemas karena terlalu bahagia.”

Heri hanya tersenyum.

“Aku merasakan hal yang mirip, ketika kamu membuatku orgasme,” sambung Inaya. “Hmm… jangan-jangan, kamu juga orgasme.”

Heri tertawa.

“Sini, coba kucek,” ujar Inaya, sembari tiba-tiba mengayunkan tangan kanannya dan berusaha menyentuh area pangkal paha Heri.

“Jahil sekali, kamu!” Heri melotot. “Dakara sukidayo.”


Inaya menjinjitkan kaki, kemudian secara tiba-tiba mengecup bibir Heri. Lelakinya itu merespons dengan balas melumat bibirnya. Kecupan berubah menjadi cumbuan. Melupakan fakta bahwa saat ini mereka sedang berada di koridor terbuka yang menghubungkan area kaiseki restaurant dengan area guesthouse, termasuk annex yang mereka inapi.

Sumimasen,” ucap seorang wanita berbusana yukata biru tua, yang kebetulan melintas dari arah area guesthouse menuju area spa.

Inaya dan Heri pun sontak melepaskan pagutan terhadap bibir lawan mainnya. Lalu, dengan kikuk, keduanya mengangguk pada wanita berbusana yujata biru tua itu, yang tampaknya merupakan staf guesthouse. Terlihat dari logo di bagian dada kiri yukata-nya.


“Kamu sudah bisa berjalan dengan wajar?” tanya Inaya.

Heri mencoba menggerakkan kedua kakinya secara bergantian. Lalu ia mengangguk.

“Siap-siap,” ingat Inaya. “Ayo kita berlari, supaya cepat sampai annex.”

Belum sempat Heri memberikan persetujuan atau penolakan, lengan kanannya sudah telanjur ditarik kuat-kuat oleh Inaya.

Ikuzo!” pekik Inaya.

Heri hanya menggelengkan kepala, sambil mengimbangi kecepatan lari wanitanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Shinjuku-ku, setahun kemudian, April 2019,


Memang benar, apa yang diceritakan pada artikel-artikel online tentang kecantikan bunga sakura jenis ‘somei’ dan ‘kanzan’ yang bersemi di Shinjuku Gyo-en, pada bulan April tersebut. Hesti berkesempatan menyaksikannya langsung, meski untuk itu, ia harus berkorban biaya perjalanan yang menjadi lebih mahal.

Namun, keinginannya yang besar untuk menyaksikan matsuri bunga sakura di Tokyo, membuat Hesti rela menghabiskan uang lebih banyak. Padahal, ia tahu, pada akhirnya dirinya pun akan menyaksikan hal serupa di Kyoto.

Selain demi bunga sakura, Hesti sangat ingin menyambangi Shinjuku Gyo-en serta area di sekitarnya, yang disaksikannya menjadi latar belakang tempat film-film animasi berjudul ‘The Garden of Words’, ‘Kimi no Na wa’ dan ‘5 Centimeters per Second’, ketiganya karya Shinkai Makoto, salah satu film animator favoritnya.


Satu lagi alasan Hesti memilih untuk terlebih dahulu mengunjungi Tokyo, alih-alih terbang langsung dari Jakarta ke Kyoto dalam satu paket. Ya, Inaya. Ia ingin menjumpai tetangga dan sahabatnya sejak kanak-kanak itu. Niatnya untuk menjumpai Inaya bahkan mungkin lebih menggebu daripada tujuan kedatangannya ke Maruyama Kōen.

Hmm… kira-kira, bagaimana reaksi Inaya, ya? batinnya bertanya-tanya. Ketika mendapati aku sudah berada di depan pintu apartemennya.

Lho, memangnya Hesti tahu di mana Inaya tinggal? Sahabatnya itu memang tidak pernah memberitahukan alamat tinggalnya secara spesifik, selain menyebutkan nama Shinagawa-ku. Tapi, Hesti kenal seseorang bernama Risa, yang kebetulan juga mengenal dan tinggal di apartemen yang sama dengan Inaya.

Pada Risa-lah Hesti memperoleh alamat lengkap apartemen Inaya. Bahkan, nanti, Risa-lah yang akan ditemuinya lebih dulu, untuk diarahkan ke ruang tinggal Inaya.


Mengapa Inaya tidak pernah memberitahukan alamat apartemennya secara lengkap pada Hesti?

“Memangnya, andai kuberitahukan alamat lengkapnya, kamu akan menyambangi apartemenku?” cetus Inaya, kala itu. “Tidak, ‘kan?”

Asumsi yang sangat wajar. Shinagawa-ku terletak ribuan kilometer dari Bojongsoang. Rasanya mustahil jika Hesti akan mendadak menghubungi Inaya, dan berkata,

”Sebentar lagi aku datang ke apartemenmu. Mau kubawakan lumpia basah?”

Selain itu, Inaya tidak pernah mengetahui cerita tentang janji temu yang akan Hesti lakukan, suatu hari pada musim semi 2019, di Maruyama Kōen, Kyoto. Maka, ‘Hesti datang ke Jepang’ merupakan sesuatu yang tak pernah hadir di dalam prediksinya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Higashioi, Shinagawa-ku, 80 menit kemudian,


Dua jam lalu, lewat percakapan di media e-mail, Risa memaparkan rute termudah yang dapat ditempuh untuk tiba di apartemen yang ditinggalinya. Dan Hesti terus mengingatnya.

Ke Shinjuku Station, naik Saikyō Line di platform 1, hitung setiap kereta berhenti, bersiaplah setelah tiga kali berhenti, dan turun saat kereta berhenti di perhentian selanjutnya. Nama stasiunnya Oimachi.

Nah, dari Oimachi Station, Risa meminta Hesti untuk berjalan kaki menuju apartemen, dengan rute yang ditunjukkan oleh aplikasi peta. Risa pun memberikan titik koordinat gedung apartemen tersebut, disertai sebuah informasi tambahan, ruang tinggal Inaya berada di lantai enam.


Dan kini, tibalah Hesti di depan gedung apartemen Inaya. Saatnya untuk menghubungi tetangga dan sahabatnya itu, dan mengejutkannya.


Butuh enam kali nada sambung, sebelum panggilannya dijawab.

Moshi moshi,” sapa suara di seberang, yang tentu saja, itulah Inaya.

Moshi moshi,” balas Hesti, sambil menahan senyum. “Inaya?”

Chotto matte,” gumam Inaya. Lalu diam sejenak. “Hesti?”

“Iya, ini aku,” jawab Hesti.

“Kamu… sebentar,” ujar Inaya pelan. “Kenapa nomor teleponnya diawali kode +81?”

Hesti tertawa. “Karena aku sedang berada di Jepang. Tepatnya, di depan gedung apartemenmu.”

Uso!” terdengar Inaya mengumpat. “Kamu pasti berbohong.”

“Aku serius,” yakin Hesti. “Hmm… aku tahu alamat tempat tinggalmu dari Risa.”

“Kamu kenal Risa?” nada suara Inaya terdengar tak percaya.

“Dia temanku ketika kursus Bahasa Inggris,” jelas Hesti. “Oke, obrolan kita lanjutkan nanti. Sekarang, kamu yang akan menjemputku ke bawah? Atau… aku harus naik sendiri?”

“Biar aku yang menjemputmu, Hesti,” jawab Inaya. “Kebetulan, kekasihku baru akan pergi.”

“Ternyata aku mengganggu persenggamaan kalian, ya?” goda Hesti. “Pantas kamu butuh waktu untuk menjawab panggilan teleponku.”

“Hesti!” bentak Inaya, diiringi tawa. “Tunggu sebentar, ya. Aku akan menjemputmu.”


Lima menit kemudian, terlihat Inaya keluar dari pintu gedung bersama seorang lelaki. Jantung Hesti berdegup kencang. Sangat kencang. Dan sekujur tubuhnya serasa dilolosi, saat kedua insan tersebut berjarak sekira enam meter darinya, dan ia dapat melihat dengan jelas sosok mereka.

“Hesti!” pekik Inaya, seraya kemudian memburu ke arah Hesti, dan segera mendekapnya erat. “Tak kusangka kamu akan datang ke sini.”

“Heri…” gumam Hesti sangat pelan.

“Eh?” seru Inaya dengan nada heran. “Memangnya aku pernah memberitahukan namanya padamu, ya?”

Hesti hanya tertawa pendek.


Lalu, di mana dan sedang apakah Heri?

Lelaki itu hanya berdiri mematung, menatap Inaya dan Hesti secara bergantian. Ekspresi wajah Heri, sulit untuk didefinisikan.


“Kenapa, Heri?” tanya Inaya. Lalu menatap Hesti. “Hesti… ada apa?”

Heri bergeming, sementara Hesti hanya menggeleng pelan.

“Ada apa dengan kalian?” tanya Inaya dengan suara nyaring, lebih mirip jeritan tertahan. “Ada apa di antara kalian?”

Heri menatap Hesti. “Aku mencintai Inaya.”

“Aku tahu,” tanggap Hesti pendek.

Gusti…” keluh Inaya putus asa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tanpa alasan yang spesifik, Inaya meminta Heri untuk pulang ke Mitaka-shi. Wanita itu memilih caranya sendiri untuk menyelesaikan kekisruhan tersebut.

“Biarkan aku dan Hesti yang menyelesaikannya,” ujar Inaya, tadi. “Kehadiranmu malah akan menambah permasalahan.”

Heri mengangguk setuju. Ia hanya berujar,

“Aku tidak pernah tahu bahwa kalian saling kenal, bahkan bersahabat. Dan… sungguh, aku tidak pernah punya niat untuk berselingkuh dari Hesti. Hingga akhirnya aku berjumpa Inaya.”


Tinggallah Inaya bersama Hesti. Tetangga sekaligus sahabatnya sejak kanak-kanak itu nyaris tidak bicara, sejak memasuki ruang tinggal Inaya. Hal yang beralasan.


“Kamu berpacaran dengan Heri?” tanya Hesti, memulai perbincangan.

“Kamu berpacaran dengan Heri?” tanya balik Inaya, mengulangi kalimat Hesti.

“Tidak,” jawab Hesti. “Kami hanya bertukar janji untuk berjumpa lagi pada musim semi tahun ini, di Maruyama Kōen.”

“Kyoto?” tanya Inaya lagi.

Hesti mengangguk pelan.

“10nen Zakura,” gumam Inaya. “Inikah alasannya mengapa kamu sering menyebutkan judul lagu tersebut? Kamu memang memiliki janji untuk berjumpa dengan seseorang, sepuluh tahun kemudian, alias tahun ini, di bawah pohon sakura. Janji dengan Heri.”

Hesti mengangguk lagi.

“Luar biasa,” tanggap Inaya.


“Kamu sendiri, Inaya,” ujar Hesti. “Berpacaran dengan Heri?”

“Tidak,” Inaya menggeleng. “Tapi… Heri akan menikahiku, sekembalinya kami ke Indonesia.”

Hesti sontak tertawa. Tawa yang terdengar begitu getir di telinga Inaya.

“Andai aku tahu bahwa Heri memiliki janji denganmu,” lirih Inaya. “Aku tidak akan bersedia dinikahinya.”

“Dan aku yakin,” tanggap Hesti. “Heri takkan pernah berniat menikahimu, andai dia tahu bahwa kita bersahabat.”

“Tapi dia telah berselingkuh darimu,” timpal Inaya. “Itu esensinya.”

“Dia tidak akan berselingkuh, andai tidak pernah berjumpa denganmu, Inaya,” balas Hesti. “Aku tahu, Heri merasa kesepian di sini. Dan aku juga tahu, kamu merasakan hal serupa. Lalu kalian berjumpa, dan saling mencintai. Tidak ada yang bisa kusalahkan, karena justru akulah yang bersalah.”

“Kamu bersalah?” Inaya menatap Hesti dengan gestur heran. “Di sini, justru kamulah korbannya, Hesti.”

“Aku bersalah, karena tidak berselingkuh, seperti yang kalian lakukan,” tutur Hesti. “Padahal, aku juga kesepian karena ditinggal kekasih yang merantau. Kesalahanku adalah tidak berselingkuh saat merasa kesepian.”

Inaya mendadak tak punya daya untuk menanggapi penuturan Hesti. Kalimat yang barusan diucapkan sahabatnya tersebut, adalah balasan telak atas apa yang dilakukannya bersama Heri, meskipun mungkin Hesti tidak berniat menjadikan ucapan tersebut sebagai sebentuk balasan.


"Kamu mencintai Heri," ucap Hesti. "Karenanya kamu bersedia dinikahinya, kelak."

"Kamu juga mencintai Heri," balas Inaya. "Karenanya kamu mau bertukar janji, dan menyimpannya selama sepuluh tahun."

"Tapi, Heri lebih menginginkanmu," tegas Hesti. "Bukan aku. Aku kalah telak. Menikahlah, Inaya, jangan pedulikan aku."


Inaya tidak kuasa menanggapi. Dan Hesti terlihat enggan bicara lebih banyak lagi. Praktis, belasan menit berikutnya diisi dengan kesenyapan. Hingga Hesti berkata,

“Izinkan aku datang ke tempat tinggal Heri, sekarang juga.”


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Juli 2020,


Lebih dari setahun lalu, ketika keduanya kembali ke Indonesia dalam kontingen kepulangan yang berbeda, komitmen dipertegas. Keduanya saling mengunjungi dan berkenalan dengan keluarga pasangannya. Tak butuh waktu lama untuk menghasilkan tanggal pernikahan.

Ditetapkanlah tanggal 11 April sebagai hari sakral, sekira dua pekan sebelum memasuki bulan puasa.


Lalu, dunia dilanda virus yang (konon) berbahaya. Memaksa mereka untuk menunda pernikahan tersebut hingga tanggal yang tak dapat dipastikan. Namun, niat mulia tak boleh terlalu lama ditunda. Selain itu, aib dapat mendera kapan saja.

Maka, setelah tiga bulan tertunda, mereka pun melangsungkan pernikahannya.


Hesti menjadi satu-satunya pihak di luar keluarga, yang diberi kesempatan untuk menghadiri resepsi sangat terbatas tersebut. Betapa tidak. Baik Inaya maupun Heri harus berterima kasih pada Hesti. Tanpanya, mereka mungkin takkan pernah bersatu.

Betapa Hesti memiliki jiwa besar, dengan merelakan lelaki yang dicintainya memilih wanita lain, yang merupakan sahabatnya sendiri. Berjiwa besar dengan mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan sahabatnya.

Dan yang lebih mengagumkan, Hesti turut membantu kelancaran proses persiapan pernikahan hingga tiba di hari digelarnya resepsi sangat terbatas itu.

“Apapun yang terjadi, Inaya adalah sahabatku,” alasannya.


omoide wa itsu no hi ka utsukushii yuuhi to shite
watashi no ashimoto terasu deshou
anata no kao ya koe ga chizu ni naru
doko ni ite mo
tomo yo



(Maybe someday these memories will become a beautiful sunset
They will illuminate my path
Your face and your voice will guide me,
and we'll be friends no matter where we are)



- AKB48 – Omoide no Hotondo -


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Terakhir diubah:
Langganan detik terakhir..... Wkwkwk
Yah... nggak ada niat untuk 'mempertahankan tradisi', sih..
Memang sempat ada rintangan di RL, Om.. untunglah masih bisa selesai, meskipun di detik akhir.. sesuai tradisi, hehe
 
Kalo Heri yang dicampakkan ending nya pake lagu Baka Mitai, tapi karena Ganjar dan Hesti yang dicampakkan maka ending bisa dengan Manusia Bodoh dari Ada Band:ngeteh:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd