Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA 10nen Zakura [LKTCP 2020]

cerita yg kaya gini nih keren... walau ngga ngerti bahasa jepang nya....
 
Detik² terakhir para subes upload cerita..

Mantap nian..

Ijin baca ya kang..

Semoga juara..
:ampun:
Silakan, Hu.. semoga berkenan dengan cerita alakadarnya ini..

:ampun:
 
smooth buanget kang

i love it!

hatur nuhun atas cerita yg menghibur :ampun:
 
😭👏

Susah untuk berkata-kata lagi. Manis-manis bangsat..

Tapi keren banget asli. Fix bakal vote ini sih - makasih banget hu @praharabuana atas ceritanya :mantap:
Sama-sama, Hu.
Senangnya ada yang terhibur dengan cerita ini :)
 
huuh atuh tong ngerakeun , :Peace:

era ku ngaran atuh... abot kungaran didinya mah

bongan ngaranna "kang PraBu" hahaha:D
Heuheu... nya bener, Kang..beurat ku ngaran euy...
Padahal mah tong disingkat jadi 'PraBu' atuh ngaran ane, meh teu beurat.. haha
 
Kalo Heri yang dicampakkan ending nya pake lagu Baka Mitai, tapi karena Ganjar dan Hesti yang dicampakkan maka ending bisa dengan Manusia Bodoh dari Ada Band:ngeteh:
Haha.. disesuaikan dengan domisili si korban ya, Hu..

Btw.. sukses buat ceritanya, ya :ampun:
 
Dua bulan kemudian,


Tokyo di bulan Maret, selalu menarik minat wisatawan asing. Cuaca di Jepang secara umum memang menghangat, seiring datangnya musim semi. Jauh berbeda dengan suhu pada satu atau dua bulan sebelumnya. Meski angin kencang kerap berembus, namun masih cukup bersahabat.

Dan satu lagi hal menarik dari Tokyo dan Jepang di bulan Maret. Ya, bunga sakura. Hampir di seantero negeri, sakura dari berbagai spesies bermekaran, indah sekali. Banyak digelar matsuri, alias festival, yang berkaitan dengan sakura. Atau, yang paling mudah, adalah hanami atau menikmati keindahan bunga di taman-taman umum, sambil menggelar tatami dan makan. Mirip dengan tradisi botram-nya orang Sunda.


Tokyo di bulan Maret, adalah masa-masa berseminya perasaan khusus di hati Inaya, terhadap Heri. Hubungan dekatnya dengan sang lelaki menghangat, berbanding lurus dengan menghangatnya suhu udara di Jepang, seiring datangnya musim semi.

Dan Inaya beruntung, mengalami peningkatan fase kedekatannya dengan Heri di tengah lingkungan yang, --menurut banyak wisatawan--, sangat romantis. Setidaknya, kedekatan ini dapat ia jadikan sebagai ajang ‘pemulihan’ dari stres yang melanda di tempat kerja.


Sejauh ini, Heri konsekuen dengan janjinya, dua bulan lalu,

“Aku akan menjagamu, Inaya. Aku akan selalu bersamamu.”

Meskipun tidak selalu berjumpa setiap harinya, sang lelaki membuktikan janjinya. Heri selalu ada saat diminta untuk ada. Selalu hadir kala Inaya memanggilnya. Dan selalu merespons ketika Inaya menghubunginya.

Sikap Heri menguatkan paradigma, bahwa idiom ‘menjagamu’ dan ‘selalu bersamamu’ tidak selalu berarti posesif. Bukan berarti mengekang. Inaya di Shinagawa-ku dan Heri di Mitaka-shi, jaraknya membentang. Namun sikap Heri tidak menjadikan jarak membentang tersebut sebagai rintangan.

Terbukti, hubungan keduanya justru makin menghangat.


Malam ini, sepulang kerja, Heri menampakkan diri di depan pintu apartemen Inaya. Seperti biasa, lengkap dengan senyum lebar di bibirnya, yang di mata Inaya tertangkap sebagai senyum tengil itu. Dan seperti biasa pula, tanpa salam terlebih dahulu, lelaki itu akan langsung bertanya tentang kabar Inaya,

Ogenki desu ka?”

Tanpa menjawab ‘Genki desu’ seperti layaknya dilakukan orang Jepang, Inaya akan menggamit lengan Heri, dan mengajaknya masuk.


Kali ini, Inaya menambahkan sebuah kalimat,

Anata ga inakute sabishīdesu.”

Artinya adalah sebuah pernyataan yang mengungkapkan rasa rindu.

"Hontō ni?” goda Heri.

Inaya mengerucutkan bibir. “Logikakan saja. Kapankah terakhir kali kamu datang ke sini, sebelum sore ini?”

“Maaf...” gumam Heri, kentara dengan nada sesal, disertai sorot mata murung. Namun, sejurus kemudian, berubah menjadi sorot mata jahil. “Tiga hari lalu. Cuma tiga hari.”

“Tiga hari,” ujar Inaya. “Konversikan ke satuan menit. Banyak, ‘kan?”

Gusti...” Heri menjatuhkan kepala dengan gestur putus asa. “Baru saja aku datang, sudah diomeli.”

“Tidak suka?” Inaya melotot galak. “Sana, protes ke Kokkai-gijidō.”

“Ya sudah,” tanggap Heri sambil berbalik.

“Kamu sudah siap mati?” rutuk Inaya.

Heri menghela napas.

“Masuk, Heri,” ucap Inaya tegas, kemudian berlalu. “Sekarang juga. Nanti miso-nya telanjur dingin.”

“Eh?” seru Heri.


Sejurus kemudian, Inaya merasakan tubuhnya direngkuh seseorang dari arah belakang. Siapa lagi, selain Heri.

“Kamu mengira bahwa aku memang benar-benar marah, ya?” seloroh Inaya, sembari menahan tawa.

Setengah paksa, lelaki itu membalikkan tubuh Inaya agar menghadapinya.

“Aku tidak punya cukup alasan untuk bersikap marah padamu,” ucap Inaya.

“Intinya, kamu ingin membuat kejutan, dengan memasakkan sesuatu untukku,” tebak Heri. “Tapi, dengan terlebih dahulu menjahiliku. Begitu?”

Inaya mengangguk.

“Dasar iseng,” tukas Heri. “Dakara sukidayo.”

Inaya tersipu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Heri hanya memerhatikan Inaya, yang sibuk menyiapkan makan malam yang sengaja dibuatnya untuk disantap berduaan saja dengannya. Tadi, ia menawarkan bantuan, namun sang wanita menolaknya.

“Tamu duduk manis saja,” ujarnya.

Dan itulah yang dilakukan Heri. Duduk manis menghadapi meja makan, yang perlahan, satu demi satu, dihiasi sajian makan malam.


Tuhan... batin Heri. Ternyata aku menyayangi Inaya.

Bukan karena Inaya rela disetubuhinya, di hari kedua perkenalan mereka. Sekali lagi, bukan karena itu! Heri berani bersumpah, andai di pagi itu mereka tidak bercinta, rasa sayang terhadap Inaya akan tetap melingkupi hatinya.

Jika dirunut, dan dipikirkan dalam-dalam, rasa tersebut tumbuh saat menangkap kekeruhan pada sorot mata Inaya. Bola mata wanita itu memang indah, namun Heri melihat aroma ganjil di sana. Alih-alih antipati, perasaan tertarik justru hadir di hatinya.

Lalu, pagi itu, seusai bercinta, Heri mendengar penuturan Inaya. Tentang lelaki di masa lalunya yang punya orientasi seksual menyimpang. Tentang janji dan kerinduannya terhadap sang ibunda. Ia pun dapat menarik kesimpulan, mungkin hal tersebut yang membuat keruh sorot mata Inaya.

Pagi itu, Heri melontarkan janji,

“Aku akan menjagamu, Inaya. Aku akan selalu bersamamu.”

Dan dua bulan berselang, tak secuil pun terbersit niat untuk melanggar janji itu. Dan tak secuil pun terbersit keinginan untuk menyakiti hati Inaya.


“Kenapa melamun?” tegur Inaya, yang ternyata telah duduk di sisi lain meja makan.

Heri menatap Inaya, dan tersenyum. “Aku teringat janjiku di pagi itu.”

“Kamu menyesal, telah membuat janji seperti itu?” tanya Inaya.

“Sama sekali tidak,” jawab Heri. “Tokh kelak, janji serupa akan kulontarkan pada istriku. Dan berlaku sepanjang sisa hidup, malah.”

“Lalu, kenapa tiba-tiba kamu teringat janjimu?” tanya Inaya lagi.

“Mengingat janji itu, membuatku berpikir tentang perasaanku,” tutur Heri. “Aku...”

“Makan, yuk!” potong Inaya, dengan pipi memerah. “Nanti kita lanjutkan kembali obrolan ini.”

Heri hanya mengangguk.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Inaya gobl*k! rutuk Inaya di dalam hati. Kamu tahu? Heri akan mengungkapkan perasaannya, kenapa malah kamu potong?

Ya, sikap lelaki di hadapannya sontak berubah. Kentara bahwa kini Heri menjadi lebih pendiam, seolah memendam kekalutan di kepalanya. Hmm... siapa pun akan kesulitan untuk mengungkapkan perasaan istimewa di hatinya. Terlebih jika hal tersebut merupakan perasaan yang jujur dan tulus. Butuh usaha lebih untuk mengumpulkan keberanian.

Lalu, seenaknya kamu memotong ucapannya, yang mungkin sudah dipikirkannya sejak masih berada di Mitaka-shi, sambung kata hati Inaya. Inaya baka!


Beruntung, tampaknya mood bicara yang hilang tidak tertular pada selera makan. Heri tetap melahap makan malam yang dimasak Inaya. Padahal menunya sederhana, hanya berupa yakimeshi alias nasi goreng ala Jepang, tiga potong chicken katsu dan semangkuk miso.

Sekilas saja, dari gestur tubuh Heri, Inaya dapat menebak bahwa lelaki itu menyukai masakannya. Yah... meskipun komentarnya singkat sekali,

Umai.”

Heri mungkin benar-benar kehilangan mood bicara. Dan semua terjadi karena Inaya.

Inaya baka! kembali, hatinya merutuk.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Seluruh porsi makan malam yang disediakan Inaya untuknya telah tandas. Sungguh, rasanya lezat. Hmm... satu lagi nilai positif yang berhasil Heri temukan dari sosok Inaya.

Sementara, di seberang meja, wanita berwajah manis itu tinggal menghabiskan miso-nya. Menyusul yakimeshi dan chicken katsu sudah lebih dulu bersarang di rongga perutnya.


Tapi, lupakan sejenak tentang rasa masakan Inaya.

Yang ada di benak Heri adalah kebungkaman wanita itu. Dan ia tahu persis, Inaya membungkam semenjak dirinya terlebih dahulu bungkam. Dan ia juga tahu, bahwa Inaya pasti tahu, hal apa yang membuatnya bungkam.

Semua adalah salahmu sendiri, Inaya, ujar hati Heri. Kamu pasti memahami bagaimana beratnya mengungkapkan perasaan terhadap seseorang yang disukai. Lalu, ketika keberanian itu memuncak, kamu buyarkan begitu saja.


Heri kesal? Tentu saja.

Tapi, di sisi lain, ia merasa tak tahan untuk terlalu lama kesal terhadap Inaya. Lagi-lagi, perasaan ganjil yang hadir di hatinya, menjadi alasan.


Dari sudut matanya, Heri bisa melihat gestur terkejut di tubuh Inaya, saat ia mendadak bangkit. Dan rasa terkejut berubah menjadi gestur salah tingkah, ketika Heri mengitari meja makan dan tiba-tiba berlutut di samping kanannya.

Gochisousama deshita,” ucap Heri, menatap Inaya lekat-lekat.

Inaya mengangguk. Hanya mampu mengangguk, sebagai bentuk jawaban.

“Inaya,” gumam Heri. “Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Wanita itu makin salah tingkah, dan hanya mematung. Lalu, kecupan tiba-tiba Heri di pipi kanannya, membuat Inaya mendadak menyandarkan tubuhnya dengan lemas pada kursi.

“Kamu kenapa?” tanya Heri.

“Aku tidak tahu,” jawab Inaya. “Tapi... terima kasih karena sudah menyayangiku. Hontou ni arigatou.”


Heri berusaha untuk mengerti dengan yang dirasakan Inaya. Karenanya, ia memilih untuk menjauh sejenak. Dan pilihannya adalah membuka refrigerator kecil di dapur.

“Stok bir kalenganmu kosong, ya?” serunya.

“Oh... iya, Heri,” jawab Inaya, setengah berseru.

“Akan kubeli di konbini di seberang jalan,” ujar Heri. “Kamu mau dibelikan sesuatu?”

Inaya bergumam tak jelas, kemudian menggeleng.

“Menambah stok kondom, mungkin?” goda Heri.

Inaya melotot.


Heri bersiap untuk keluar dari ruang tinggal Inaya. Namun panggilan sang wanita membuatnya mengurungkan niat.

“Mau dibelikan apa?” tanya Heri.

“Heri,” gumam Inaya, yang masih berdiri di sisi meja makan. “Aku ingin... pelukanmu.”

Heri tersenyum, kemudian mengangguk.


Dan sesuai permintaan sang wanita, ia pun mendekap Inaya. Pelukan terbaik yang mungkin dapat ia berikan. Hanya pelukan, tak lebih. Belasan detik kemudian, Heri melepaskan dekapannya.

“Terima kasih, karena sudah membuat duniaku jungkir balik,” lirih Inaya.

“Balasan dariku,” tanggap Heri. “Karena kamu sudah lebih dulu menjungkirbalikkan duniaku.”

Inaya tersenyum.

“Aku ke konbini dulu,” pamit Heri.

Inaya mempersilakan dengan anggukan kepalanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kebahagiaan melingkupi hati Inaya, segera setelah Heri berkata,

Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Hal yang wajar. Ketika kita menaruh hati terhadap seseorang, kemudian orang tersebut menyatakan perasaannya, sangat pantas jika kita bahagia. Heri membuat Inaya benar-benar bahagia, dengan pernyataannya tersebut.

Saat ini, lelaki yang membuatnya benar-benar bahagia itu sedang keluar sejenak. Pergi ke konbini di seberang gedung apartemen, untuk membeli bir kalengan. Dalam situasi normal, tentu Inaya akan ikut serta. Namun, kali ini, situasinya menjadi absurd. Inaya justru tak mau ikut, demi menenangkan hatinya yang melambung sangat tinggi hingga lapisan langit teratas.


Lalu, ponselnya berdering. Inaya melirik layar, dan mendapati sederet angka yang diawali dengan kode +62. Dari Indonesia! Jelas, ia akan segera menjawabnya.

Dan saat suara di seberang sana menyapa, Inaya segera tahu, bahwa hatinya mungkin akan kembali menukik, jatuh kembali ke permukaan tanah. Atau bahkan... terempas hingga melesak ke dalam tanah.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Begini penggalan dialog via sambungan telepon dari Indonesia tersebut,

"Janji apa?" bantah Inaya. "Aku tidak pernah menjanjikan sesuatu kepadamu."

"Semudah itu kamu melupakannya?" ujar Ganjar.

"Melupakan apa?" cetus Inaya. "Janji apa yang pernah kubuat, hah?"

"Janji bahwa '
Sepuluh tahun lagi, kita berjumpa’,” jelas Ganjar. “Di sini, di bawah naungan pohon..."

"
Ngaco, kamu!" potong Inaya. "Sudah, ya. Aku capek meladenimu."

"Inaya!" seru Ganjar.

"Kututup, ya," tegas Inaya. "Selamat malam."



Tanpa menanti jawaban Ganjar, Inaya memutus sambungan telepon tersebut. Kemudian menyakui ponselnya, di saku kiri celana katunnya.


"Siapa?" tanya Heri, yang ternyata sudah kembali dari konbini, dan berada di dekatnya. "Kamu terdengar kesal."

"Bukan siapa-siapa," jawab Inaya, dengan disertai senyum yang agak dipaksakan.

"Bukan siapa-siapa?" tanya Heri lagi.

"Bukan siapa-siapa," ulang Inaya. "Daijoubu desu."

Heri hanya mengangguk pelan.


"Kamu mendapatkan apa yang dicari?" tanya Inaya.

Kembali, Heri hanya mengangguk.

"Kamu kenapa?" selidik Inaya.

Heri tersenyum. "Sungguh, yang tadi bicara denganmu lewat sambungan telepon, bukan siapa-siapa?"

"Kamu tidak percaya?" tanya Inaya.

"Ya, aku tidak percaya," jawab Heri. "Kamu mengenalnya, bukan sekadar 'bukan siapa-siapa'. Iya, 'kan?"

Inaya hanya menatap Heri lekat-lekat.

"Iya, 'kan?" desak Heri.

Inaya bergeming.

"Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita," lanjut Heri. "Tapi, tanggung sendiri resikonya."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Banjaran, Kabupaten Bandung, di waktu yang sama,


Hesti bilang, "Kamu hanya berdelusi."

Ganjar tidak peduli. Ia selalu yakin bahwa Inaya akan mencari dirinya, sepulang dari Tokyo, setahun lagi. Hanya akan mencari dirinya, bukan orang lain.

Kenapa?

Karena Inaya sudah berjanji. Janji yang diucapkan sang wanita, beberapa saat sebelum memulai petualangannya di Negeri Matahari Terbit. Janji yang diucapkan sang wanita, untuk mengamini janji yang terlebih dahulu diikrarkan Ganjar.

Intinya sederhana, bahwa keduanya saling menyimpan janji untuk menanti hingga sepuluh tahun ke depan, ketika Inaya selesai menjalani magang di Jepang, yang merupakan program kerjasama antarnegara, dan dapat kembali ke Indonesia.

Mereka akan kembali berjumpa, merayakan kebersamaan mereka.

Dan setiap kali Ganjar mencetuskan obrolan perihal janji tersebut, Hesti selalu mengatakan, “Kamu hanya berdelusi.”


Ya, di mata Hesti, mustahil Inaya menjanjikan hal seperti yang dijelaskan di atas. Mustahil Inaya akan mencari Ganjar, sepulang dari Jepang. Kelak, Inaya akan kembali ke Indonesia, dan melanjutkan hidupnya.

Ganjar tidak ada dalam proyeksi masa depan Inaya. Hesti meyakini hal itu, dan tak henti berusaha meyakinkan Ganjar tentang hal itu. Tak henti berusaha menyadarkan Ganjar dari delusinya.

Namun sekali lagi, Ganjar tidak peduli.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, 2 hari kemudian,


Malam belum terlalu larut, ketika ponsel yang biasa ia geletakkan di atas meja tulis itu melantunkan ringtone. Hesti bergegas bangkit dari posisi rebahnya, dan memburu ke arah meja tulis.

Layar ponsel menampilkan sederet nomor tak dikenal, yang diawali dengan angka +81. Ia pun dapat segera menerka, siapa yang menghubunginya. Dan terkaan tersebut membuatnya begitu bersemangat menjawabnya.

Moshi moshi,” sapa Hesti dengan nada riang.

Terdengar suara tawa, di seberang sana. “Moshi moshi, Hesti.”

Konbanwa, Inaya-san,” sapa Hesti lagi.

Kembali, terdengar tawa di seberang sana. “Wilujeng wengi.”

“Kamu ingin bicara dengan ibumu?” tanya Hesti. “Kalau iya, aku akan segera ke rumahmu.”

“Oh, tidak perlu,” jawab Inaya. “Aku justru sangat ingin bicara denganmu.”

“Baiklah,” Hesti tersenyum, tentu saja takkan terlihat oleh Inaya. “Seriuskah?”


Sejenak, tak ada jawaban dari Inaya. Dan Hesti tidak berusaha mendesak sahabatnya untuk segera memberikan jawaban. Ia hafal, bahwa bisa saja Inaya berubah pikiran dan lantas urung bicara, saat terlalu didesak.

Pertemanan yang telah terjalin hampir sepanjang hidup mereka, membuat Hesti dan Inaya dapat mengerti tabiat satu sama lain.


“Hesti,” gumam Inaya, setelah terdiam beberapa jenak.

“Iya, Inaya?” tanggap Hesti pelan.

“Apakah sikapku jahat terhadap Ganjar?” tanya Inaya.

“Ganjar?” Hesti balik bertanya. “Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Ganjar?”

Kembali, tak ada jawaban dari Inaya.

“Tiga hari lalu,” sambung Hesti. “Aku berjumpa Ganjar, tanpa sengaja. Dia...”

"Ganjar membicarakanku?” potong Inaya.

“Ya, dia membicarakanmu,” jawab Hesti. “Hmm... let me guess. Setelah bertemu aku, kemudian membicarakan tentangmu, Ganjar menghubungimu? Dan kamu merasa terganggu? Benar begitu?”

“Benar,” jawab Inaya.

“Yang dibahas Ganjar, masih tentang janji itu?” selidik Hesti.

“Iya,” jawab Inaya lagi. “Aku tidak pernah menjanjikan sesuatu, seperti yang selalu diucapkannya.”

“Yakin, kamu tidak pernah menjanjikan apa-apa?” desak Hesti.

Lagi-lagi, tak ada jawaban dari Inaya.


Hesti selalu menganggap bahwa Ganjar hanya berdelusi, soal janji tersebut. Di matanya, Inaya tidak mungkin menjanjikan hal itu terhadap Ganjar. Okelah, di masa sekolah dulu, Inaya dan Ganjar memang pernah terlibat kedekatan, meski tidak pernah tercetus ucapan dari kedua pihak, bahwa mereka berpacaran.

Lalu, segera setelah menyelesaikan studi tingkat menengah atas, Inaya memutuskan untuk merantau. Tak tanggung-tanggung, ke Jepang. Kedekatan dirinya dengan Ganjar pun terhenti, setidaknya begitulah yang dapat terlihat oleh kedua mata Hesti. Ia tidak pernah tahu, apa yang terjadi di balik semua yang terlihat olehnya.

Namun, dari gelagatnya, Hesti merasa bahwa Inaya meninggalkan Tanah Air tanpa menyisakan unek-unek apapun terhadap Ganjar. Lalu, selama bermukim di Tokyo, Inaya tak pernah membicarakan Ganjar, kebalikannya dengan sang lelaki. Meskipun, sekali lagi, Hesti tidak pernah tahu, apa yang terjadi di balik semua yang terlihat olehnya.


“Inaya,” ucap Hesti. “Saranku, selama tidak berpotensi mengganggu atau membahayakanmu secara fisik, abaikan saja ucapan Ganjar. Lain hal jika ternyata dia berani mengejarmu ke Tokyo, misalnya, barulah kamu...”

“Ganjar berpotensi membahayakan kedekatanku dengan seseorang, Hesti,” sela Inaya. “Aku tidak...”

“Kamu punya kekasih?” giliran Hesti yang menyela. “Hei... ingatlah pesan ibumu, Inaya.”

“Lelaki ini... berbeda,” lirih Inaya. “Tapi, oya... dia bukan kekasihku.”

“Bukan kekasihmu,” ulang Hesti. “Tapi, kamu sangat dekat dengannya. Bahkan sudah...”

“Iya,” potong Inaya. “Kami sudah melakukannya.”

“Dan... saat bercinta itukah yang membuatmu menilai bahwa lelaki ini berbeda?” terka Hesti.

“Penis lelaki sama saja,” Inaya tertawa kecil. “Sama-sama harus ereksi jika ingin digunakan untuk mempenetrasi.”

Hesti ikut tertawa.

“Bedanya,” sambung Inaya. “Lelaki ini bisa ereksi, tanpa harus terlebih dahulu berfantasi berhubungan seks dengan lelaki lain.”

Hesti agak tertegun, meski kemudian berkata, “Tidak usah diingat-ingat lagi, Inaya.”


“Dua hari yang lalu itu,” tutur Inaya, setelah menghabiskan belasan detik dalam diam. “Ganjar menghubungiku ketika aku sedang bersama teman dekatku. Mmm... tepatnya, ketika teman dekatku sedang pergi ke konbini di seberang gedung apartemen.”

Konbini?” gumam Hesti.

“Minimarket, Hesti,” jelas Inaya, mengundang gumaman Hesti. “Dan aku masih bicara dengan Ganjar, ketika teman dekatku kembali dari konbini.”

“Dia mempertanyakan itu?” tanya Hesti.

“Ya, dia bertanya,” jawab Inaya. “Dan aku enggan menjelaskannya. Teman dekatku terlihat gusar.”

“Memang dilematis, ya,” tanggap Hesti. “Ketika belum ada hubungan resmi di antara kalian, sudah dihadapkan dengan kehadiran pihak lain. Kamu khawatir dia lantas menjauh, ya, saat menerima penjelasanmu soal Ganjar.”

“Begitulah,” ucap Inaya lirih.


“Mulai sekarang, kamu harus selektif dalam menerima panggilan telepon dari nomor-nomor dengan kode awal +62,” ingat Hesti.

“Mana mungkin?” bantah Inaya. “Meskipun nomor ponsel Ganjar sudah tersimpan di phonebook, saat dia menelepon, angka yang muncul di layar akan jadi berbeda, Hesti. Misalkan, kuabaikan semua panggilan masuk dari Indonesia, bagaimana jika ternyata kamu yang meneleponku?”

“Sebelum menghubungimu, aku akan berkabar lewat media e-mail,” usul Hesti. “Setelah kamu menjawab ‘oke’, aku akan langsung menghubungimu. Bagaimana?”

“Boleh juga idemu,” tanggap Inaya.

Subarashii aidea desu ne!” ujar Hesti dengan terbata. “Ide yang luar biasa, ‘kan?”

Inaya tertawa.

“Kenapa kamu tertawa?” cetus Hesti. “Salah, ya?”

“Tidak salah,” jawab Inaya. “Hanya pelafalanmu yang kurang pas, jadi terkesan lucu.”

Hesti cemberut.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Terdengar bel berdering, pertanda bahwa seseorang menekan tombol di bagian kanan bingkai pintu. Inaya sontak bangkit dan melangkah dengan bergegas ke arah pintu. Diintipnya situasi di luar, lewat door viewer. Hal yang lazim dilakukan di negeri ini.

“Ada tamu, Hesti,” ujarnya. “Mmm... teman dekatku.”

“Benarkah?” tanggap Hesti, di seberang sana. “Ya sudah, selamat bersenang-senang.”

“Hesti!” rutuk Inaya, sembari kemudian tertawa kecil.

Sambungan telepon pun diputus.


Inaya membuka pintu, disertai senyum lebar di wajahnya. Dan di koridor, tepat di depan pintu, Heri segera tersenyum. Mungkin, hal tersebut adalah refleks, ketika melihat senyum di bibir Inaya.

“Aku masih boleh datang ke sini, ‘kan?” tanya Heri.

“Boleh,” jawab Inaya. “Justru aku yang sempat merasa sangsi, bahwa kamu sudi datang lagi ke sini. Masuk, Heri.”

Heri pun melangkah masuk.


Di dekat tempat tidur, di atas karpet bercorak bunga anggrek dengan dominasi warna merah, keduanya duduk bersila saling berhadapan. Mengingat keterbatasan luas ruangan, tak ada area spesifik untuk menerima tamu. Sesukanya saja. Di area tempat tidur atau dapur pun bisa.


“Aku minta maaf perihal dua hari lalu itu,” tutur Inaya, membuka obrolan. “Aku akan...”

“Lupakan saja, Inaya,” potong Heri. “Tokh, aku pun tidak memikirkannya.”

“Sungguh?” yakin Inaya.

“Aku sudah berada di sini,” ujar Heri. “Berarti, tak ada masalah lagi, ‘kan?”

Inaya mengangguk pelan.

“Satu pertanyaan saja, dan ini penting,” sambung Heri.

“Penting?” tanya Inaya, menatap Heri lekat-lekat.

“Penting,” ulang Heri. “Aku berencana bepergian ke suatu tempat, besok pagi. Pertanyaannya adalah, maukah kamu ikut denganku?”

“Besok aku juga libur, sih,” tanggap Inaya. “Tapi... ke mana?”

“Sekali lagi,” Heri tak menggubris pertanyaan Inaya. “ Maukah kamu ikut denganku?”

“Aku mau, Heri,” jawab Inaya. “Tapi, ke mana?”

“Kamu mau,” gumam Heri. “Berarti, aku bisa pulang sekarang.”

“Eh?” seru Inaya. “Nande?”

“Sampai jumpa besok pagi,” Heri tersenyum singkat. “Kujemput kamu.”

Inaya hanya sanggup mengangguk.


aishiaeru kakuritsu
tenmongakuteki da ne
unmei ga hikiyoseru you ni
kotae wa mirai ni...

doko ni ite mo
nani wo shite mo
sugu ni omotte shimau no yo
doko ni ite mo
nani wo shite mo
tadaima renaichuu



(The chances of a love encounter
Are like astronomy
As though brought together by fate,
The answer is in the future…

No matter where I am
No matter what I do
soon I'll totally think about it
No matter where I am
No matter what I do
I'm back in the middle of love)



- AKB48 – Tadaima Renaichuu –


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Keesokan harinya,


Heri sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang tujuan keberangkatan mereka. Lelaki itu mengingatkan, selepas meninggalkan apartemen,

”Kamu aman bersamaku, karena aku tidak pernah berniat mencelakakanmu. Jangan pernah protes, jangan banyak bertanya. Kamu akan menyukainya.”

Saat Heri mengajaknya naik Keikyu Main Line, alias Keikyū-honsen dalam bahasa setempat, dari Tachiaigawa-eki menuju Shinagawa-eki, Inaya masih bisa mengerti. Shinagawa Station memang seolah menjadi ‘gerbang’ menuju area lain, karena dilintasi enam line kereta komuter dan satu rute Shinkansen, yang melibatkan tiga operator.

Pertanyaan mulai hadir di benaknya, ketika Heri membawanya keluar lewat West Exit, dan memasuki area Shinkansen. Dan pertanyaan di benaknya itu diejawantahkan dalam kalimat secara lisan,

”Aku sedang terlibat sindikat penculikan, ya?”

Jawaban Heri adalah ulangan dari jawaban yang dilontarkan lelaki itu, selepas keluar dari apartemen,

”Jangan pernah protes, jangan banyak bertanya.”

Inaya pun menyerah.


Bersama Heri, Inaya pun merasakan sensasi menumpangi bullet train, untuk kali pertama sepanjang perantauannya di Negeri Sakura. Tidak lama, tidak sampai setengah jam. Karena berdasarkan jadwal, durasi perjalanan dari Shinagawa-eki hingga tiba di Odawara-eki adalah 26 menit.

Chotto matte!

Odawara-eki? Yang dimaksud adalah Odawara Station yang terletak di kota Odawara, Kanagawa Prefecture, bukan? Ya, benar. Ah... itu ‘kan jauh! Tepat sekali, lebih dari 70 kilometer ke arah barat daya dari Prefektur Tokyo.

Inaya sedang diculik.


Namun, tak ada minibus dengan kaca dicat gelap di pelataran parkir Odawara-eki, lazimnya digunakan gerombolan penculik. Bahkan, Inaya tidak sempat menjejakkan kakinya di luar area stasiun, karena Heri mengajaknya menumpangi rangkaian kereta berbentuk unik yang hanya terdiri dari tiga gerbong. Hakone Tozan Line, alias Hakone Tozan Tetsudō-sen. Dalam bahasa Indonesia ‘tozan’ artinya mendaki gunung.


Terdapat jeda sekitar 20 menit hingga keberangkatan, yang dimanfaatkan keduanya untuk duduk-duduk di waiting room, di platform 11. Saat itulah Inaya berhasil menebak tujuan Heri,

“Kita akan berendam di onsen, ya?”

Heri menganggukkan kepala. “Kamu akan menyukainya.”

“Ya, aku pasti menyukainya,” balas Inaya.

Yokatta,” gumam Heri, sambil tersenyum.

“Tapi, hmm...” bisik Inaya. “Kamu tidak sedang berencana mengumpankanku pada sekelompok lelaki yang gemar meng-gangbang wanita, ‘kan?”

Bakageta,” Heri tergelak. “Kamu terlalu obsesif pada adegan film porno.”

Inaya tertawa kecil.

“Akulah satu-satunya lelaki yang berhak menyentuhmu, Inaya,” ucap Heri lirih. “Hanya aku.”

“Kamu posesif, ih!” seloroh Inaya.

Heri kembali tertawa.


“Heri,” gumam Inaya. “Bolehkah aku bertanya?”

“Silakan,” jawab Heri. “Tentang apa?”

“Aku tahu, biaya perjalanan dan akomodasi mahal,” tutur Inaya. “Kamu membongkar celengan semarmu, ya?”

“Celengan semar,” Heri tergelak. “Biayanya berkali lipat dari biaya hidupku sehari-hari. Tapi, kamu tidak perlu repot-repot berhitung, Inaya. Aku gembira dengan perjalanan ini, terlebih kulakoni bersamamu. Kamu gembira?”

Inaya mengangguk.

Yokatta,” ucap Heri. “Anggaplah perjalanan ini sebagai wujud permintaan maafku.”

“Mestinya aku yang meminta maaf,” tukas Inaya.

Daijoubu,” Heri tersenyum. “Ketika sudah melibatkan perasaan, siapa yang seharusnya meminta maaf akan menjadi hal yang sumir.”

Inaya tersipu.

“Dan sejujurnya aku menyesal,” sambung Heri.

“Menyesal?” tanya Inaya, menatap Heri seolah minta penjelasan.

Heri mengangguk. “Aku menyesal telah marah padamu. Karena aku yang rugi sendiri, ketika memutuskan untuk menghilang darimu. Makanya, baru dua hari menghilang, aku sudah kembali lagi.”

“Kamu…” ujar Inaya, sembari menundukkan kepala, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Padahal, aku mengira, hanya aku yang merasa kehilangan. Ternyata..."

"Aku juga," sela Heri, sambil tersenyum.

"Yang bicara di telepon itu," jelas Inaya. "Dia adalah..."

"Tidak usah dibicarakan," kembali Heri menyela. "Suatu saat, mungkin aku akan minta penjelasan soal itu. Tapi bukan sekarang."

"Kamu tidak mau perjalanan kita terganggu akibat terpengaruh oleh penjelasanku, ya?" terka Inaya.

Heri mengangguk. "Aku sudah tidak memikirkannya lagi, karenanya aku kembali datang padamu. Dengan kamu bercerita, pikiran buruk bisa jadi datang lagi. Iya, 'kan?"

"Iya, sih..." tanggap Inaya.

"Makanya, kamu jangan dulu bercerita," sambung Heri. "Nanti saja."


Keduanya saling diam, cukup lama. Seolah kehabisan bahan pembicaraan. Hingga kemudian suara di loudspeaker menyadarkan mereka untuk segera bersiap.

"Ikuzo," ujar Heri, seraya bangkit. Tangan kanannya terulur, menanti tangan Inaya untuk menyambutnya.

Inaya hanya tersenyum.


Saat melangkah agak bergegas ke peron,

"Kamu sangat jarang memegang ponsel, saat bersamaku," ucap Heri. "Itulah yang membuatku yakin untuk kembali padamu."

Inaya agak tertegun, lalu akhirnya tersenyum. Dipereratnya genggaman tangan kanannya terhadap lengan kiri Heri.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Lebih dari satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah guesthouse di distrik bernama Gora, bagian dari kota kecil Hakone. Dari bentuk bangunan dan fasilitas yang secara sekilas terlihat, Inaya tahu, ini bukan guesthouse biasa, melainkan berada di tingkat luxe guesthouse.

“Kamar yang akan kita tempati, punya onsen tersendiri?” tanyanya dengan berbisik.

Heri menjawab dengan anggukan kepala.

“Sewanya pasti mahal,” tebak Inaya.

“Tidak apa-apa,” tanggap Heri. “Lebih baik membayar lebih mahal, ketimbang membiarkanmu berendam di kolam air panas publik, dan tubuh telanjangmu dipelototi semua orang.”

“Hmm... sekali lagi,” Inaya menahan senyum. “Kamu posesif, ih!”

Heri terkekeh.


Yang dipilih Heri adalah Annex Senshin, yang merupakan kelas kamar menengah di guesthouse tersebut. Lebih mewah daripada standard room, namun di bawah suite room. Belakangan, Inaya tahu bahwa uang yang harus dikeluarkan Heri untuk menyewa annex tersebut selama semalam adalah ¥137,000!

Fasilitasnya memang terbilang lumayan. Luasnya adalah 20 meter persegi, dilengkapi meja makan berkaki rendah dan tempat tidur berupa futon mat. Penghuni pun diberi ‘jatah’ makan malam dan sarapan di kaiseki restaurant, yang punya konsep penyajian masakan tradisional Jepang.

Dan... ini yang menarik. Annex room yang disewa Heri punya kolam air panas open air, yang menyediakan pemandangan apik ke arah Myojingatake. Dengan begitu, seperti yang lelaki itu katakan, tubuh telanjang Inaya takkan menjadi konsumsi publik.


“Rasanya aku akan nyaman di sini,” ucap Inaya, setelah selesai berkeliling sekilas di annex tersebut.

“Pastinya,” tanggap Heri. “Sewanya mahal. Masa’ kamu tidak nyaman?”

Inaya tertawa kecil.

“Silakan pilih,” ujar Heri. “Mau berendam terlebih dahulu, atau berjalan-jalan di seputar Gora?”

“Aku boleh memilih opsi lain?” tanya Inaya.

Heri menatap Inaya, seolah minta penjelasan.

“Aku ingin... tidur,” tutur Inaya. “Tubuhku lelah, Heri. Tidur satu atau dua jam, mungkin cukup untuk memulihkan tenaga.”

“Perasaan gembira tetap tak mampu menghapuskan rasa lelah, ya,” seloroh Heri.

Inaya mengangguk dengan gestur mengiba.

“Ya sudah,” Heri tersenyum. “Tidurlah sejenak.”

Ikanaide,” lirih Inaya. “Tetaplah denganku, di sini.”

Heri kembali tersenyum. Direngkuhnya kepala Inaya, kemudian dengan sekilas dan singkat, dikecupnya kening wanita itu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dua bulan.

Belum lama berlangsung perkenalan antara dirinya dan Inaya, namun perasaan di hati Heri telah berkembang tanpa mampu dibatasinya. Sulit sekali dibendung. Hari demi hari, meski tak selalu dihiasi dengan sebentuk perjumpaan, namun bayangan tentang imaji wanita itu selalu hadir di benaknya.

Mungkin ini tak boleh terjadi. Mungkin tak semestinya perasaan asing bergerak sepesat ini. Durasi perkenalan yang relatif prematur menjadi salah satu alasan, mengapa Heri 'dilarang' untuk membebaskan perasaan hatinya berkembang terlalu liar. Butuh waktu, Heri. Butuh waktu untuk memantapkan pilihanmu, menjadikan Inaya sebagai 'satu-satunya' dalam hidupmu.

Tapi, makhluk bernama 'waktu' selalu berhubungan dengan relativitas. Kata bernama 'singkat' atau 'lama', selalu bermakna ambigu bagi masing-masing pihak.


Mungkin, Heri menganggap bahwa perkenalannya dengan Inaya baru berlangsung sebentar saja. Dua bulan berhubungan dekat belum layak untuk diarahkan menuju tahap yang lebih serius.

Namun, sebaliknya, bisa jadi Inaya justru menganggap Heri sebagai lelaki yang lamban, karena tidak juga membawa kedekatan ini ke jenjang yang lebih jauh, meski telah terjalin selama dua bulan.

Waktu adalah relatif, bukan?


Kini, wanita yang telah berhasil mengguncang hatinya itu tengah berada di dalam dekapannya. Tertidur nyenyak, sejak hampir dua jam lalu. Inaya benar-benar kelelahan. Hingga tadi, sebentuk percumbuan ringan pun tak mampu mengubah niat awal sang wanita untuk beristirahat.

Heri malah dicemberuti, ketika memaksakan diri.

"Sabar, dong..." rutuk Inaya. "Hari masih panjang, 'kan?"


Ya, hari masih panjang. Saat ini bahkan langit masih terang, meski mulai redup. Sementara, mereka punya waktu hingga esok siang, ketika jadwal check-out tiba. Terlalu beresiko bila Heri memaksakan kehendaknya, kemudian berujung pada rusaknya mood Inaya.

Maka, hampir dua jam lalu itu, Heri berhenti mencumbui sang wanita. Dan tak lama setelahnya, dengkuran halus terlantun dari bibir Inaya.


Watashi wa... anata wo aishite iru.”

Itulah kalimat yang terlontar dari bibirnya, beberapa hari lalu. Kalimat yang diucapkannya sambil berlutut di samping Inaya, setelah berusaha keras mengumpulkan keberanian dan mengalahkan rasa malu. Kalimat yang menurut pengakuan jujur sang wanita, sukses membuat dunia Inaya jungkir balik.

Namun, itu hanyalah sebaris kalimat, yang mudah untuk diucapkan, tapi belum tentu mudah pula untuk diaplikasikan ke dalam bentuk perbuatan. Heri ingin Inaya tahu, bahwa rasa sayangnya melebihi batasan kalimat. Heri ingin membuktikannya.


Heri merasakan gerakan kecil yang dilakukan Inaya. Spontan, ia melirik wajah manis wanita itu. Ternyata, Inaya terjaga, entah sejak berapa lama.

“Kamu sudah bangun,” ucap Heri pelan. Dikecupnya kening Inaya lembut.

“Iya,” Inaya tersenyum. “Kamu tetap terjaga selama aku tidur?”

Heri mengangguk. “Siapa yang akan menjagamu, kalau aku juga tidur?”

“Kamu...” lirih Inaya. “Dilarang menggombali seseorang yang baru saja terbangun. Percuma. Nyawanya belum sepenuhnya kembali.”

Heri tertawa pendek.


“Kita akan berendam air panas?” tanya Inaya.

Heri mengangguk. “Tapi, sebelum berendam, lebih baik kita makan malam.”

“Nanti, ya,” tolak Inaya halus. “Wajahku kentara menunjukkan bahwa aku baru saja bangun tidur. Sebaiknya kita mandi dan berendam dulu.”

“Wajahmu tetap manis, kok,” puji Heri. “Tidak perlu mandi dulu.”

“Kamu menyukaiku,” tanggap Inaya. “Makanya bisa memuji wajahku yang kusut begini.”

“Pujian dari siapa lagi yang kamu harapkan, selain yang diucapkan kekasihmu?” tanya Heri.

“Iya, sih,” Inaya nyengir. “Tapi setidaknya, beri aku waktu untuk sedikit berhias. Aku juga berhak tampil cantik saat bersanding denganmu.”

Heri memberikan izin berupa anggukan kepala.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir satu jam kemudian, akhirnya Inaya tahu, mengapa Heri ngotot mendahulukan makan malam, daripada mandi dan berendam air panas.


Pada awalnya, Inaya sangat tertarik dengan tampilan dari sajian wagyū kaiseki yang dipilihkan Heri. Cantik benar. Wanita itu bahkan sempat berkelakar,

“Kok aku jadi malas makan, ya?”

“Kenapa?” tanya Heri dengan nada heran.

“Penyajiannya terlalu indah,” jawab Inaya. “Aku jadi tidak tega merusaknya.”


Lalu, pandangan mata Inaya tertumbuk pada secarik kertas kecil yang menempel di batang stem gelas anggur.

“Kita menikah, yuk,” gumamnya, membaca tulisan pada secarik kertas kecil itu. “Gusti…”

Tentu, Inaya melemparkan pandangan pada Heri yang berada di seberang meja. “Kamu yang…”

“Iya, aku,” potong Heri. “Maaf, hanya berupa kertas kecil. Semua ini adalah implementasi sekadarnya dari ide yang mendadak muncul ketika menatapmu yang sedang tertidur.”

“Kapan, Heri?” tanya Inaya.

“Ketika kamu sedang tertidur,” jawab Heri.

“Maksudku, kapan kita menikah?” Inaya meluruskan arah pertanyaannya.

“Nanti, sepulang dari Jepang, tahun depan” jawab Heri. “Karena kebetulan kontrak kita berakhir di tahun yang sama.”

Inaya mengangguk.

“Memang masih lama,” lanjut Heri. “Tapi, biarlah menunggu lama, yang penting sudah ada kejelasan tentang arah kedekatan kita.”


Inaya tidak lantas menanggapi penuturan Heri. Ia harus berpikir, dan bukan sembarang berpikir. Ini adalah tentang masa depan, dan tentang bersama siapa dirinya akan mengarungi masa depannya tersebut.

“Harus kutanggapi sekarang juga, ya?” gumam Inaya.

“Jika kamu belum bisa menanggapinya sekarang, tidak mengapa,” jawab Heri, tersenyum. “Aku mengerti.”

Inaya menghela napas panjang.

“Cara penyampaian dari niatku itu memang kurang meyakinkan, ya?” tanya Heri dengan nada menyesal. “Hanya lewat secarik kertas kecil. Sementara lelaki lain…”

“Bukan itu, Heri,” potong Inaya. “Aku tidak melihat kertas kecilnya, melainkan makna tulisannya. Sungguh, bukan itu yang membuatku sulit untuk memutuskan.”

Heri hanya mengangguk.

“Bagaimana kalau kita santap dulu makan malam ini?” ujar Inaya. “Aku berjanji, kamu akan mendapatkan jawabannya, sebelum kita kembali ke annex.”

“Ah… wakarimashita,” tanggap Heri, masih juga sambil mengangguk. “Kamu terlalu lapar, hingga akhirnya sulit berpikir. Iya, ‘kan?”

Inaya tertawa kecil.

“Kamu terkadang kocak, Inaya,” ucap Heri. “Dakara sukidayo.”

Inaya melotot, sebagai usaha untuk menyembunyikan sipu malu yang sontak hadir di wajah manisnya.


Adalah wajar jika suasana yang terjalin di antara Inaya dan Heri menjadi tidak sehangat sebelumnya. Keduanya menyantap makan malam yang mewah dan sarat nuansa tradisional Jepang khas sajian kaiseki tersebut, lebih sering dengan kebungkaman. Masing-masing sibuk dengan berbagai pemikiran di kepalanya.

Suasana menjadi tidak nyaman? Tentu saja.


Lalu, Inaya menunjukkan gestur bahwa dirinya telah selesai makan. Disusul Heri, beberapa jenak kemudian.

“Heri…” gumam Inaya. “Akan kuputuskan.”

Heri menatap Inaya. Tampak jelas jika pandangan matanya melebar.

“Aku mau,” ucap Inaya, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. “Aku mau menikah denganmu.”


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Lega dan bahagia. Dua perasaan itulah yang sontak melingkupi hati Heri, segera setelah Inaya berujar,

”Aku mau. Aku mau menikah denganmu.”

Hmm… perasaan seperti inikah yang melanda setiap lelaki yang ajakan menikahnya diterima sang wanita? Dan… Heri tak sanggup membayangkan, apa yang akan dirasakan lelaki itu, andai jawaban dari kekasihnya adalah hal sebaliknya.


Heri nyaris tak mampu melangkah dengan gestur yang wajar, saat bersama Inaya berjalan dari restaurant menuju annex. Ia tidak mengerti. Jawaban menggembirakan dari bibir Inaya diterima oleh telinganya, diresapi oleh hatinya, namun justru melemahkan sendi-sendi di tungkai kakinya.

“Kamu kenapa?” tanya Inaya, sambil menghentikan langkahnya, dan menarik lengan kanan Heri, agar sang lelaki juga berhenti berjalan. “Seperti orang yang penyakit asam uratnya mendadak kambuh.”

Heri tertawa pendek, kemudian menggelengkan kepala.

“Kamu baik-baik saja?” tegas Inaya lagi, kali ini seraya beringsut dan berdiri tepat di hadapan Heri.

Heri mengangguk pelan.

“Kamu terlalu bahagia, ya?” terka Inaya, sambil merengkuh kedua pipi Heri. “Tubuhmu mendadak lemas karena terlalu bahagia.”

Heri hanya tersenyum.

“Aku merasakan hal yang mirip, ketika kamu membuatku orgasme,” sambung Inaya. “Hmm… jangan-jangan, kamu juga orgasme.”

Heri tertawa.

“Sini, coba kucek,” ujar Inaya, sembari tiba-tiba mengayunkan tangan kanannya dan berusaha menyentuh area pangkal paha Heri.

“Jahil sekali, kamu!” Heri melotot. “Dakara sukidayo.”


Inaya menjinjitkan kaki, kemudian secara tiba-tiba mengecup bibir Heri. Lelakinya itu merespons dengan balas melumat bibirnya. Kecupan berubah menjadi cumbuan. Melupakan fakta bahwa saat ini mereka sedang berada di koridor terbuka yang menghubungkan area kaiseki restaurant dengan area guesthouse, termasuk annex yang mereka inapi.

Sumimasen,” ucap seorang wanita berbusana yukata biru tua, yang kebetulan melintas dari arah area guesthouse menuju area spa.

Inaya dan Heri pun sontak melepaskan pagutan terhadap bibir lawan mainnya. Lalu, dengan kikuk, keduanya mengangguk pada wanita berbusana yujata biru tua itu, yang tampaknya merupakan staf guesthouse. Terlihat dari logo di bagian dada kiri yukata-nya.


“Kamu sudah bisa berjalan dengan wajar?” tanya Inaya.

Heri mencoba menggerakkan kedua kakinya secara bergantian. Lalu ia mengangguk.

“Siap-siap,” ingat Inaya. “Ayo kita berlari, supaya cepat sampai annex.”

Belum sempat Heri memberikan persetujuan atau penolakan, lengan kanannya sudah telanjur ditarik kuat-kuat oleh Inaya.

Ikuzo!” pekik Inaya.

Heri hanya menggelengkan kepala, sambil mengimbangi kecepatan lari wanitanya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Shinjuku-ku, setahun kemudian, April 2019,


Memang benar, apa yang diceritakan pada artikel-artikel online tentang kecantikan bunga sakura jenis ‘somei’ dan ‘kanzan’ yang bersemi di Shinjuku Gyo-en, pada bulan April tersebut. Hesti berkesempatan menyaksikannya langsung, meski untuk itu, ia harus berkorban biaya perjalanan yang menjadi lebih mahal.

Namun, keinginannya yang besar untuk menyaksikan matsuri bunga sakura di Tokyo, membuat Hesti rela menghabiskan uang lebih banyak. Padahal, ia tahu, pada akhirnya dirinya pun akan menyaksikan hal serupa di Kyoto.

Selain demi bunga sakura, Hesti sangat ingin menyambangi Shinjuku Gyo-en serta area di sekitarnya, yang disaksikannya menjadi latar belakang tempat film-film animasi berjudul ‘The Garden of Words’, ‘Kimi no Na wa’ dan ‘5 Centimeters per Second’, ketiganya karya Shinkai Makoto, salah satu film animator favoritnya.


Satu lagi alasan Hesti memilih untuk terlebih dahulu mengunjungi Tokyo, alih-alih terbang langsung dari Jakarta ke Kyoto dalam satu paket. Ya, Inaya. Ia ingin menjumpai tetangga dan sahabatnya sejak kanak-kanak itu. Niatnya untuk menjumpai Inaya bahkan mungkin lebih menggebu daripada tujuan kedatangannya ke Maruyama Kōen.

Hmm… kira-kira, bagaimana reaksi Inaya, ya? batinnya bertanya-tanya. Ketika mendapati aku sudah berada di depan pintu apartemennya.

Lho, memangnya Hesti tahu di mana Inaya tinggal? Sahabatnya itu memang tidak pernah memberitahukan alamat tinggalnya secara spesifik, selain menyebutkan nama Shinagawa-ku. Tapi, Hesti kenal seseorang bernama Risa, yang kebetulan juga mengenal dan tinggal di apartemen yang sama dengan Inaya.

Pada Risa-lah Hesti memperoleh alamat lengkap apartemen Inaya. Bahkan, nanti, Risa-lah yang akan ditemuinya lebih dulu, untuk diarahkan ke ruang tinggal Inaya.


Mengapa Inaya tidak pernah memberitahukan alamat apartemennya secara lengkap pada Hesti?

“Memangnya, andai kuberitahukan alamat lengkapnya, kamu akan menyambangi apartemenku?” cetus Inaya, kala itu. “Tidak, ‘kan?”

Asumsi yang sangat wajar. Shinagawa-ku terletak ribuan kilometer dari Bojongsoang. Rasanya mustahil jika Hesti akan mendadak menghubungi Inaya, dan berkata,

”Sebentar lagi aku datang ke apartemenmu. Mau kubawakan lumpia basah?”

Selain itu, Inaya tidak pernah mengetahui cerita tentang janji temu yang akan Hesti lakukan, suatu hari pada musim semi 2019, di Maruyama Kōen, Kyoto. Maka, ‘Hesti datang ke Jepang’ merupakan sesuatu yang tak pernah hadir di dalam prediksinya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Higashioi, Shinagawa-ku, 80 menit kemudian,


Dua jam lalu, lewat percakapan di media e-mail, Risa memaparkan rute termudah yang dapat ditempuh untuk tiba di apartemen yang ditinggalinya. Dan Hesti terus mengingatnya.

Ke Shinjuku Station, naik Saikyō Line di platform 1, hitung setiap kereta berhenti, bersiaplah setelah tiga kali berhenti, dan turun saat kereta berhenti di perhentian selanjutnya. Nama stasiunnya Oimachi.

Nah, dari Oimachi Station, Risa meminta Hesti untuk berjalan kaki menuju apartemen, dengan rute yang ditunjukkan oleh aplikasi peta. Risa pun memberikan titik koordinat gedung apartemen tersebut, disertai sebuah informasi tambahan, ruang tinggal Inaya berada di lantai enam.


Dan kini, tibalah Hesti di depan gedung apartemen Inaya. Saatnya untuk menghubungi tetangga dan sahabatnya itu, dan mengejutkannya.


Butuh enam kali nada sambung, sebelum panggilannya dijawab.

Moshi moshi,” sapa suara di seberang, yang tentu saja, itulah Inaya.

Moshi moshi,” balas Hesti, sambil menahan senyum. “Inaya?”

Chotto matte,” gumam Inaya. Lalu diam sejenak. “Hesti?”

“Iya, ini aku,” jawab Hesti.

“Kamu… sebentar,” ujar Inaya pelan. “Kenapa nomor teleponnya diawali kode +81?”

Hesti tertawa. “Karena aku sedang berada di Jepang. Tepatnya, di depan gedung apartemenmu.”

Uso!” terdengar Inaya mengumpat. “Kamu pasti berbohong.”

“Aku serius,” yakin Hesti. “Hmm… aku tahu alamat tempat tinggalmu dari Risa.”

“Kamu kenal Risa?” nada suara Inaya terdengar tak percaya.

“Dia temanku ketika kursus Bahasa Inggris,” jelas Hesti. “Oke, obrolan kita lanjutkan nanti. Sekarang, kamu yang akan menjemputku ke bawah? Atau… aku harus naik sendiri?”

“Biar aku yang menjemputmu, Hesti,” jawab Inaya. “Kebetulan, kekasihku baru akan pergi.”

“Ternyata aku mengganggu persenggamaan kalian, ya?” goda Hesti. “Pantas kamu butuh waktu untuk menjawab panggilan teleponku.”

“Hesti!” bentak Inaya, diiringi tawa. “Tunggu sebentar, ya. Aku akan menjemputmu.”


Lima menit kemudian, terlihat Inaya keluar dari pintu gedung bersama seorang lelaki. Jantung Hesti berdegup kencang. Sangat kencang. Dan sekujur tubuhnya serasa dilolosi, saat kedua insan tersebut berjarak sekira enam meter darinya, dan ia dapat melihat dengan jelas sosok mereka.

“Hesti!” pekik Inaya, seraya kemudian memburu ke arah Hesti, dan segera mendekapnya erat. “Tak kusangka kamu akan datang ke sini.”

“Heri…” gumam Hesti sangat pelan.

“Eh?” seru Inaya dengan nada heran. “Memangnya aku pernah memberitahukan namanya padamu, ya?”

Hesti hanya tertawa pendek.


Lalu, di mana dan sedang apakah Heri?

Lelaki itu hanya berdiri mematung, menatap Inaya dan Hesti secara bergantian. Ekspresi wajah Heri, sulit untuk didefinisikan.


“Kenapa, Heri?” tanya Inaya. Lalu menatap Hesti. “Hesti… ada apa?”

Heri bergeming, sementara Hesti hanya menggeleng pelan.

“Ada apa dengan kalian?” tanya Inaya dengan suara nyaring, lebih mirip jeritan tertahan. “Ada apa di antara kalian?”

Heri menatap Hesti. “Aku mencintai Inaya.”

“Aku tahu,” tanggap Hesti pendek.

Gusti…” keluh Inaya putus asa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tanpa alasan yang spesifik, Inaya meminta Heri untuk pulang ke Mitaka-shi. Wanita itu memilih caranya sendiri untuk menyelesaikan kekisruhan tersebut.

“Biarkan aku dan Hesti yang menyelesaikannya,” ujar Inaya, tadi. “Kehadiranmu malah akan menambah permasalahan.”

Heri mengangguk setuju. Ia hanya berujar,

“Aku tidak pernah tahu bahwa kalian saling kenal, bahkan bersahabat. Dan… sungguh, aku tidak pernah punya niat untuk berselingkuh dari Hesti. Hingga akhirnya aku berjumpa Inaya.”


Tinggallah Inaya bersama Hesti. Tetangga sekaligus sahabatnya sejak kanak-kanak itu nyaris tidak bicara, sejak memasuki ruang tinggal Inaya. Hal yang beralasan.


“Kamu berpacaran dengan Heri?” tanya Hesti, memulai perbincangan.

“Kamu berpacaran dengan Heri?” tanya balik Inaya, mengulangi kalimat Hesti.

“Tidak,” jawab Hesti. “Kami hanya bertukar janji untuk berjumpa lagi pada musim semi tahun ini, di Maruyama Kōen.”

“Kyoto?” tanya Inaya lagi.

Hesti mengangguk pelan.

“10nen Zakura,” gumam Inaya. “Inikah alasannya mengapa kamu sering menyebutkan judul lagu tersebut? Kamu memang memiliki janji untuk berjumpa dengan seseorang, sepuluh tahun kemudian, alias tahun ini, di bawah pohon sakura. Janji dengan Heri.”

Hesti mengangguk lagi.

“Luar biasa,” tanggap Inaya.


“Kamu sendiri, Inaya,” ujar Hesti. “Berpacaran dengan Heri?”

“Tidak,” Inaya menggeleng. “Tapi… Heri akan menikahiku, sekembalinya kami ke Indonesia.”

Hesti sontak tertawa. Tawa yang terdengar begitu getir di telinga Inaya.

“Andai aku tahu bahwa Heri memiliki janji denganmu,” lirih Inaya. “Aku tidak akan bersedia dinikahinya.”

“Dan aku yakin,” tanggap Hesti. “Heri takkan pernah berniat menikahimu, andai dia tahu bahwa kita bersahabat.”

“Tapi dia telah berselingkuh darimu,” timpal Inaya. “Itu esensinya.”

“Dia tidak akan berselingkuh, andai tidak pernah berjumpa denganmu, Inaya,” balas Hesti. “Aku tahu, Heri merasa kesepian di sini. Dan aku juga tahu, kamu merasakan hal serupa. Lalu kalian berjumpa, dan saling mencintai. Tidak ada yang bisa kusalahkan, karena justru akulah yang bersalah.”

“Kamu bersalah?” Inaya menatap Hesti dengan gestur heran. “Di sini, justru kamulah korbannya, Hesti.”

“Aku bersalah, karena tidak berselingkuh, seperti yang kalian lakukan,” tutur Hesti. “Padahal, aku juga kesepian karena ditinggal kekasih yang merantau. Kesalahanku adalah tidak berselingkuh saat merasa kesepian.”

Inaya mendadak tak punya daya untuk menanggapi penuturan Hesti. Kalimat yang barusan diucapkan sahabatnya tersebut, adalah balasan telak atas apa yang dilakukannya bersama Heri, meskipun mungkin Hesti tidak berniat menjadikan ucapan tersebut sebagai sebentuk balasan.


"Kamu mencintai Heri," ucap Hesti. "Karenanya kamu bersedia dinikahinya, kelak."

"Kamu juga mencintai Heri," balas Inaya. "Karenanya kamu mau bertukar janji, dan menyimpannya selama sepuluh tahun."

"Tapi, Heri lebih menginginkanmu," tegas Hesti. "Bukan aku. Aku kalah telak. Menikahlah, Inaya, jangan pedulikan aku."


Inaya tidak kuasa menanggapi. Dan Hesti terlihat enggan bicara lebih banyak lagi. Praktis, belasan menit berikutnya diisi dengan kesenyapan. Hingga Hesti berkata,

“Izinkan aku datang ke tempat tinggal Heri, sekarang juga.”


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Juli 2020,


Lebih dari setahun lalu, ketika keduanya kembali ke Indonesia dalam kontingen kepulangan yang berbeda, komitmen dipertegas. Keduanya saling mengunjungi dan berkenalan dengan keluarga pasangannya. Tak butuh waktu lama untuk menghasilkan tanggal pernikahan.

Ditetapkanlah tanggal 11 April sebagai hari sakral, sekira dua pekan sebelum memasuki bulan puasa.


Lalu, dunia dilanda virus yang (konon) berbahaya. Memaksa mereka untuk menunda pernikahan tersebut hingga tanggal yang tak dapat dipastikan. Namun, niat mulia tak boleh terlalu lama ditunda. Selain itu, aib dapat mendera kapan saja.

Maka, setelah tiga bulan tertunda, mereka pun melangsungkan pernikahannya.


Hesti menjadi satu-satunya pihak di luar keluarga, yang diberi kesempatan untuk menghadiri resepsi sangat terbatas tersebut. Betapa tidak. Baik Inaya maupun Heri harus berterima kasih pada Hesti. Tanpanya, mereka mungkin takkan pernah bersatu.

Betapa Hesti memiliki jiwa besar, dengan merelakan lelaki yang dicintainya memilih wanita lain, yang merupakan sahabatnya sendiri. Berjiwa besar dengan mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan sahabatnya.

Dan yang lebih mengagumkan, Hesti turut membantu kelancaran proses persiapan pernikahan hingga tiba di hari digelarnya resepsi sangat terbatas itu.

“Apapun yang terjadi, Inaya adalah sahabatku,” alasannya.


omoide wa itsu no hi ka utsukushii yuuhi to shite
watashi no ashimoto terasu deshou
anata no kao ya koe ga chizu ni naru
doko ni ite mo
tomo yo



(Maybe someday these memories will become a beautiful sunset
They will illuminate my path
Your face and your voice will guide me,
and we'll be friends no matter where we are)



- AKB48 – Omoide no Hotondo -


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
Saya pernah jadi panitia pengiriman Tenaga Magang ke Jepang dgn durasi kerja 3 tahun sesuai usia paspor, tapi cerita mereka tidak seseru cerita ini.
 
Saya pernah jadi panitia pengiriman Tenaga Magang ke Jepang dgn durasi kerja 3 tahun sesuai usia paspor, tapi cerita mereka tidak seseru cerita ini.
Namanya juga kisah fiksi, Hu.. :)
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd