Part VII: Become A Lady In A Night.
Sudah hampir 4 bulan semenjak aku berpacaran dengan Viny, dan rasanya masih sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku juga dapat dibilang overprotektif terhadap Viny. Selain aku membeli sebuah mobil yang biasa digunakan oleh taksi online untuk menjemput Viny, aku juga membeli sebuah HK45. Yah, karena tak mungkin aku membawa AUG A3 ke mana-mana.
Hari ini hari minggu, dan aku berencana untuk mengajak Viny menghadiri kondangan resepsi pernikahan dari anak salah satu pejabat eselon 3 yang ada di kementerianku. Ya, pernikahan anaknya. Padahal atasannya sendiri saja belum menikah, sedih memang.
Setelah menjemput Viny setelah show 2 teater, kami berdua menuju ke lokasi acara yang berada sebuah hotel di kawasan Ancol. Sebuah hotel berbintang yang amat besar. Memang sudah seharusnya sih, anak seorang pejabat negara menikah dengan seorang anak pengusaha sukses. Minimal tamu yang datang punya sederet ruko lah.
Namun sebelum menuju ke lokasi, kami menyempatkan terlebih dahulu untuk mandi dan berganti baju di rumahku. Di sana kami akan bertemu dengan beberapa menteri, pejabat-pejabat penting negara lainnya sepertiku, dan pengusaha-pengusaha ternama, tak mungkin kami datang ke sana dengan wajah lusuh dan bau badan seperti ini. Kami mandi sendiri-sendiri tanpa adanya sex, waktu sudah mepet. Namun penisku sudah lama tidak menyapa vaginanya, sekarang adalah jadwalnya, mana besok dia sudah palang merah lagi, masa skip jatah sekali.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku menunggu Viny di ruang tamu. Aku memakai celana bahan warna hitam dengan baju batik lengan panjang yang dikeluarkan. Kuno? Seperti bapak-bapak? Ya memang, tapi model pakaian seperti ini sudah menjadi ciri seorang pejabat penting negara selain jas. Formal, classy, prestigious, and simple. Aku juga nyaman kok memakainya.
Setelah menunggu sekitar 5 menit, Viny akhirnya selesai juga. Memang perempuan membutuhkan waktu yang lama untuk mempersiapkan dirinya.
“Udah siap yang?”
“Ya udah lah, aku dari tadi nungguin kamu tau.”
“Ayok berangkat, katanya udah telat.”
“Err... Vin... Kamu bisa ganti baju dulu ga?”
Viny sekarang memakai dress berwarna merah. Memang nampak cantik sekali, namun bukan baju itu yang aku harapkan.
“Hah...??? Kenapa? Bukannya kamu ya yang yang ganti baju. Kamu pakai baju kek gitu kek om-om aja.” Jadi cemberut kan dia.
Aku mendekat dan memeluknya dari depan sehingga kini tubuh bagian depan kami menempel dengan erat. Wajah kami hanya terpisah beberapa CM di mana wajahku berada lebih tinggi dibandingkan wajahnya, Viny memang termasuk tinggi untuk ukuran wanita.
“Iya, memang. Namun ini adalah baju yang umum digunakan oleh pejabat negara untuk menghadiri sebuah acara. Sementara itu dress yang kamu pakai tidak umum digunakan istri para pejabat negara untuk menghadiri sebuah acara.” Ucapku perlahan sambil mengelus rambutnya dari belakang.
“Tapi...”
Belum sempat Viny melanjutkan perkataanya, aku langsung melumat bibirnya itu. Lembut sekali! Rasanya pun tak pernah berubah semenjak pertama kali aku mencium bibirnya itu. Tak ada permainan, kami tidak ada waktu untuk melakukannya sekarang. Dua menit kami berciuman, aku melepaskan ciumanku.
“Kamu memakai apapun tetap terlihat sebagai seorang Viny yang cantik dan muda kok.”
“Hmm... Terus aku pakai apa yang?”
“Aku sebenarnya sudah mempersiapkan sebuah kebaya untuk kamu. Aku ambil dulu ya.”
Aku berjalan ke arah kamarku untuk mengambil satu set kebaya berwarna beserta roknya yang sudah aku persiapkan. Memang aku memiliki seorang konsultan busana yang menyiapkan segala pakaian formal untukku, jadi aku perintahkan dia untuk membuat sebuah kebaya untuk Viny, ya kira-kira saja.
"Ini. Aku sudah siapkan kebaya untuk kamu pakai."
"Hmm..."
"Ayolah Vin..."
"Iya iya. Aku ganti baju dulu ya."
Tanpa permisi, Viny langsung membuka dress merahnya itu di hadapanku. Sekarang tubuh Viny hanya tertutupi oleh BH dan celana dalam brenda berwarna putih serupa dengan warna kulitnya. Ini memang bukan pertama kali aku melihat Viny tanpa memakai busana, namun tetap saja tubuh putih nan mulusnya itu tidak pernah gagal untuk membangunkan penisku ini dari tidurnya. Apalagi aku sudah sekitar sebulan tidak diberi jatah. Hadeeehhhh Viny, bikin kepala atas dan bawah pusing saja.
"Ih bangun. Nakal ya kamu." Viny yang sekarang tanpa busana ini malah mengelus-elus penisku ini dari luar celana bahanku. Viny memang.
"Vin. Cepetan kamu ganti baju. Udah mau jam 7."
"Eh iya yang. Maaf deh yang hihi."
Viny memakai kebaya yang telah aku persiapkan. Tentunya aku membantunya dalam memakai kebaya itu. Setelah terpakai, kami saling bertatapan.
"Sudah aku bilang, kamu memakai apapun tetaplah cantik dan muda, seperti Viny yang aku kenal."
"Gombal." Viny memalingkan wajahnya malunya dariku.
"Eh sebentar. Sepertinya ada yang kurang deh."
"Apaan yang?"
"Sebentar ya, aku ke kamar dulu."
Aku lupa bahwa konsultan busanaku juga memberikanku anting yang akan dipakai oleh Viny. Setelah mengambilnya, aku kembali ke Viny.
"Aku lupa Vin kalau ada antingnya. Ini kamu pakai ya."
"Yang..."
"Ga apa-apa. Ini bukan cincin ataupun gelang, jadi tidap perlu khawatir. Ini hanya pemberianku saja. Namun kamu hanya memakai ini untuk acara-acara seperti ini saja ya, ini emas asli."
"Enggak apa-apa nih yang?"
"Ini semua memang buat kamu."
Viny langsung memelukku erat sekitar semenit.
"Yang, pakein." Dengan nada bicara dan ekspresi manjanya.
"Iya iya."
Aku memakaikan anting tersebut kepada Viny. Padahal aku yakin Viny bisa memakainya sendiri, lagi manja aja dia setelah aku paksa dia untuk mengganti pakaiannya. Aku berdiri di samping kanannya, menyeka rambutnya dan memasangkan anting pada lubang tindik yang berada di ujung daun telinganya itu. Aku juga melakukannya untuk telinga kirinya. Aku melaukan ini dengan sedikit terburu-buru, kami tak ingin telat.
"Aww yang... Sakit...!"
Sepertinya memang terlalu terburu-buru.
Setelah beres semua, kami langsung berangkat menuju ke lokasi acara. Tentunya kami memakai Aston Martinku, gengsi lah. Saat berada di perjalanan, Viny berbicara.
"Yang."
"Apa?"
"Aku baru sadar kalau bulan ini aku belum kasih kamu hadiah. Pantesan tadi penis kamu tegang banget pas aku ganti baju." Ya tahu lah apa hadiah itu.
"Yaa masa aku harus minta hadiah sih. Kan aku selalu anggap itu sebagai surprise."
"Yaudah nanti setelah selesai jangan antar pulang dulu ya. Kita berduaan dulu. Aku jadwalnya minggu depan."
"Yakin nih?"
"Emangnya kamu mau skip?"
"Ya enggak sih. Tapi kamunya ga kecapekan?"
"Buat kamu apa sih yang enggak."
Ya whatever lah, yang pasti aku sudah memiliki rencanaku sendiri, hehehe.
Sampai di lokasi, aku mengarahkan mobilku ke lobi hotel yang sudah ramai dengan orang-orang yang sepertinya sedang memandang ke arah mobil ini. Aku keluar terlebih dahulu dari mobil karena aku akan membantu Viny untuk keluar dari mobil layaknya Gentleman, yah pencitraan lah ya. Sementara itu, aku memberikan kunci mobilku kepada petugas Valley yang sudah siap berdiri di depan pintu masuk.
Setelah mengisi buku tamu, kami langsung menyerbu makanan yang telah dihidangkan, lapar. Tangan sudah penuh dengan makanan, kami langsung duduk di sebuah kursi bangku panjang yang cukup untuk dua orang. Konsep pesta pernikahan ini cukup unik, terdapat banyak sekali kursi bangku panjang yang tersebar di dalam ruangan acara, memang kursi itu diperuntukkan untuk para undangan. Cukup bagus konsep seperti ini, selain unik, memang makan sambil berdiri itu buruk, mungkin aku bisa memakai konsep yang sama saat pernikahanku dengan Viny nanti.
"Yang."
"Apa?"
"Nanti kita resepsi pernikahan pakai konsep seperti ini juga ya. Ada banyak bangku di dalam gedung. Biar ga pada capek."
"Ah nanti kita nikahan pakai tenda di jalan depan rumah aja."
"Iihhh." Wajah sebalnya keluar.
Sepertinya Viny juga setuju.
Makananku sudah habis sementara itu Viny masih menyantap makanannya, padahal aku mengambil makanan yang lebih banyak. Ya jadinya aku nungguin dia lah.
"Eh, nak. Apa kabar nak?" Tiba-tiba aku disamperi oleh seorang bapak-bapak. Beliau merupakan seorang pejabat eselon 1 di kementerianku, sama sepertiku.
"Baik pak." Aku pun berdiri, diikuti Viny.
"Dari tadi aku gak lihat kamu. Kamu baru datang nak?"
"Hehe iya pak. Bapak datang ke sini sendirian?"
"Enggak. Istri sama anak bungsu saya sedang mengantri camilan. Eh ini siapa?"
"Hehe masa saya datang ke kondangan sendirian terus pak." Gue ketawa malu-malu.
"Wah kamu sudah punya pacar ya? Namanya siapa ini?" Jelas nanyanya beda sama temen-temen gue yang kek bangsat itu.
"Eh iya pak, nama aku Viny." Ucapnya malu-malu.
"Pacarmu cantik dan manis sekali. Badannya juga bagus dan tinggi. Terlihat pintar juga. Cocok sekali pacarmu ini menjadi istri seorang pejabat tinggi negara sepertimu. Bisa aja kamu dapatnya nak."
"Yah memang sudah takdirnya pak."
"Pasti si Dodo yang ngejar-ngejar kamu ya? Kamu beruntung nak, dulu pernah dia diteror sampai di kantor gara-gara dia nolak cewek." Aib gue
"Pak..."
"Hahaha yaudah ya. Saya mau berkeliling-keliling lagi. Saya tunggu undangannya."
Pria itu meninggalkan kami berdua, sementara itu aku tak mau melihat ekspresi muka Viny sekarang. Entah dia menertawakanku atau malah menunjukkan muka sebalnya lagi.
Setelah Viny menghabiskan makanannya, kami melanjutkan dengan berburu camilan-camilan lainnya yang disediakan dalam acara ini. Tentunya dalam proses berburu kami, kami berpapasan dengan rekan-rekan kerjaku, dan topik bahasannya tidak jauh-jauh dari siapa wanita yang ada di sampingku ini.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Pesta pun sudah sepi. Para pelayan pun sudah mulai bekerja membersihkan gedung sehabis acara. Kami pun memutuskan untuk pulang, tentunya aku tidak mengantarkannya pulang dulu dong.
Aku mengendarai mobil ini menuju ke arah pantai Ancol. Terlihat cukup banyak mobil-mobil yang terparkir di sekitaran bibir pantai, sambil bergoyang-goyang. Setelah mendapatkan tempat yang cukup sepi dan remang, kuputuskan untuk berhenti di tempat itu.
"Yang, kita mau ngapain?!"
"Yaa kita di sini aja."
"Iiihhhhh masa di sini sih!" Mukanya menunjukkan muka sebal bercampur marah.
Tak ku hiraukan ucapannya yang terakhir. Kini aku sedang memeluknya. Tubuh kami sekarang saling memuntir sehingga bagian depan tubuh kami saling menempel. Kepala kami saling bersebelahan, di mana kepalaku kini berada di kebelah kanannya. Setelah beberapa menit berpelukan, aku mulai mengelus-elus rambutnya dengan lembut dilanjutkan dengan bermain dengan lehernya yang jenjang itu.
"Ehmm..."
Kurasakan detah jantungnya yang semakin cepat. Aku terus bermain di lehernya itu.
"Mmmhh... Yang..."
Aku langsung melumat bibirnya yang langsung disambul olehnya itu. Hampir saja aku melewatkan kenikmatan ini. Bibir yang teramat lembut ini selalu terbayang-bayang dipikiranku tiap hari. Membuatku selalu kangen akan rasa manis bibirnya itu. Tentunya aku tak akan melewatkan kesempatan ini. Kurasakan setiap sudut yang ada dalam bibir Viny yang termaat nikmat itu. Ciuman kami bertahan dua menit sebelum kami melepaskannya.
"Yang... Kamu yakin di tempat ini?"
"Yakin. Kamu bisa lihat kan mobil-mobil yang kita lewati tadi? Memang sudah menjadi rahasia umum kok. Aman."
"Kamu sudah pernah yang?"
"Belum sih. Baru pernah diceritain sama temen-temen aja. Soalnya aku maunya sama kamu." Aku mencubit hidung mungilnya itu dengan mesra.
Kami berciuman lagi. Kali ini aku mulai bermain dengan payudaranya. Walaupun masih terbungkus oleh kebaya dan bra yang dia gunakan, namun rasa kenyalnya tak hilang sejak pertama kali aku menyentuh payudara ini. Memang terbaik payudara Viny ini. Dua menit kami berciuman, kini penisku sudah sangat menegang di dalam celana bahan yang aku pakai. Aku melepaskan ciuman kami, sakit rasanya.
"Iiiiiihh udah bangun ya. Langsung aja ya yang."
"Terserah kamu. Kan ini hadiah kamu buat aku."
"Ihhh apaan si."
"Yaudah. Kamu di atas aku ya."
"Iyaa yang. Tapi sempit gini yang.
"
"Eh iya sebentar ya."
Aku atur posisi pengemudi sehingga setir berada di posisi paling jauh, tempat duduk paling rendah, posisi duduk paling mundur, dan penyangga punggung yang cukup rebah. Sudah cukup lah untuk melakukan hubungan seksual.
"Sudah Vin."
Viny melepas kedua sepatu wedges dari kakinya itu lalu mengangkat tinggi rok kebaya yang sedang ia kenakan hingga ke atas pinggulnya. Sementara itu, aku juga sudah melepaskan ikatan celana bahanku dan menurunknnya hingga berada di lutut. Viny lantas langsung naik ke atas posisi tubuhku, di mana kedua kakinya berada di sebelah pinggangku, dan pantatnya duduk di atas kedua pahaku.
JEDUGGG
"Aw..." Viny langsung membenamkan wajahnya di dadaku.
"Pelan-pelan aja Vin."
"Sakiittt yang..."
Viny menahan rasa sakit kepalanya karena kejedot atap plafon mobil. Sementara aku juga sedang menahan rasa sakit di penisku. Vagina Viny yang masih terbungkus celana dalam berwarna putih itu bersentuhan dengan batang penisku yang juga terbungkus dengan celana dalam.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Viny mulai tenang, sementara aku masih menahan rasa sakit akibat konak yang tertahan.
"Yang, mau digesek-gesek aja nih?"
"Eh iya yang. Kamu pasti udah ga sabar ya?"
"Bukan itu Vin, tapi..."
"Oh iya udah tegang banget ya? Duh kasihan."
Viny mengambil posisi bersandar pada lingkar kemudi. Sehingga Viny dapat menurunkan celana dalamku ini.
"Pelan-pelan Vin. Nanti kejedot lagi. Terus jangan sampai klakson bunyi."
Viny melakukannya dengan pelan-pelan. Kedua tangannya kini berada di samping pinggulku dan mulai menarik celana dalamku ini. Walau Viny hanya menariknya hingga setengah pahaku saja, namun sudah cukup untuk membebaskan penisku ini dari kurungan.
Sekarang gantian aku melepas celana dalamnya. Viny mengambil posisi dengan kedua tangannya yang bertumpu pada console tengah dan doortrim. Aku mengaitkan kedua tanganku ke bagian samping celana dalamnya itu lalu menariknya hingga sampai lututnya. Aku perintahkan Viny untuk duduk kembali dan mengangkat kedua kakinya sehingga aku bisa melepaskan celana dalam itu dari tubuh Viny.
"Langsung nih?"
"Iyaa. Aku udah ga tahan yang."
"Ini belum terlalu basah, nanti sakit loh." Tanganku sambil mengelus-elus Vagina yang berwarna merah muda dengan rambut halus itu.
"Tapi aku udah pengen yang."
Yaudahlah. Viny menaikan tubuhnya yang aku sangga pakai tanganku dan mengarahkan penisku ke arah lubang vaginanya. Ketika dia menurunkan badannya...
"MMMHHHHH....!!!!!"
"Ssshhhh... Viny!"
Viny langsung membenamkan kepalanya di dalam dadaku lagi. Walau penisku langsung terbenam di dalam vaginanya, namun terasa amat peret sekali. Aku saya merasa cukup nyeri, apalagi Viny. Kami diam dalam posisi yang cukup lama.
"Vin, bisa dimulai?"
"I.. iyaa yang. Tapi kamu yang gerak ya."
Sebenarnya aku berharap Viny lah yang bergerak. Memang dalam posisi WOT seperti ini, wanita yang lebih mendominasi permainan. Namun tak apa lah.
Aku mulai menaik-turunkan tubuh Viny dengan tanganku yang berada di kedua bongkahan pantatnya yang cukup sekal itu. Walau aku menggerakkan tubuhnya itu dengan perlahan, namun terasa nikmat sekali. Vaginanya itu selalu menjepit penisku dengan rasa yang tak ada duanya.
Lima menit aku menggerakkan tubuhnya, dan aku merasakan tubuhnya yang bergerak sendiri. Viny mungkin sudah mulai tidak merasakan rasa sakit lagi pada vaginanya. Dia terus menaik-turunkan badannya seperti gerakan tanpa sadar yang terus diikuti dengan desahannya yang amat menggoda itu. Gerakannya kini tambah cepat! Penisku terasa di urut di oleh lapisan dinding vagina yang sudah cukup lembab itu. Nafas kami sangat terburu-buru, detak jantung kami sangat kencang. Keringat kami mengucur deras membasahi pakaian kami, padahal sejak dari tadi aku tidak mematikan AC dan mesin mobil.
"Mmmhhhh... Yang.... Sshhhh..."
Penisku sudah terasa gatal! Sebentar lagi penisku akan mengeluarkan muatannya! Namun sepertinya aku harus berusaha menahannya terlebih dahulu, aku tak mau mengecewakan Viny.
"Aahhh.... Yang... Aku mau keluar.... Ehmmm..."
"Iya yang... Hhh... Aku sebentar lagi juga mau keluar... Mmm..."
Gerakan pinggul Viny semakin cepat, hingga dia mencapai puncaknya.
"NGAAAAHHH DOO...."
Viny berteriak histetis, dia sudah mencapai puncaknya. Dia menghentikan gerakannya, dan penisku terasa seperti disembur oleh sebuah cairan hangat. Pertahananku oun akhirnya jebol, aku memuntahkan lima semprotan spermaku dalam vagina Viny. Viny langsung ambruk di dalam pelukanku yang langsung aku tangkap tubuhnya itu, padahal tubuhku sendiri juga merasa lemas.
Kami diam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin ada 15 menit kami berada dalam posidi ini. Rasanya capek sekali! Aku tidak menyangka akan terasa secapek ini. Padahal aku dari tadi di rumah saja, apalagi Viny yang sehabis dari teater, pasti capek sekali. Aku melihat ponselku, dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam.
"Vin... Ayo bangun Vin. Sudah jam 12 malam."
"Mmmhhh... I.. Iya yang... hhh..."
Viny mulai melepaskan dirinya dari dekapanku. Diangkat tubuhnya sehingga penisku tercabut dari vaginanya yang sedari tadi berada di dalam vagina itu. Terlihat beberapa tetes spermaku menetes mengenai jok pengemudi.
"Ahhh...." Desah Viny saat penisku tercabut dari vaginanya.
Viny mulai mengembalikan posisinya di kursi penumpang. Roknya kini sudah diturunkan lagi, walaupun kini dia tidak memakai celana dalamnya lagi yang kini dia masukkan ke dalam tasnya. Sepatu dan rambutnya kini sudah dipakai dan dirapihkan. Sementara itu, aku juga berberes. Setelah membersihkan jok dan penisku dari sisa-sisa pergulatan kami tadi, aku langsung memakai kembali celana dalam beserta celana bahanku.
Semuanya beres, kini kami berjalan keluar dari area Ancol dan menuju ke rumah Viny untuk mengantarkannya pulang. Seperti biasa, Viny tertidur di kursi penumpang. Pergulatan kami tadi sepertinya sangat menguras tenaganya. Setelah sampai, aku membangunkan Viny dan sebelum berpisah kami berciuman seperti biasa. Hari yang cukup melelahkan.