Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
Teaser bagi yang masih nungguin cerita ini hehe
DRAP DRAP DRAP DRAP

"Hahhh hahhh hahhhh"

Langkah kakiku terus kupercepat walau tenaga dalam tubuhku sudah nyaris habis. Mayat-mayat hidup itu terus mengejarku tanpa rasa lelah, walaupun gerakan mereka lambat namun jumlahnya cukup banyak dan terus menuju kearahku.

Keringat dalam tubuhku terus bercucuran deras, tenggorokanku terasa kering, perutku nyeri dan rasa lapar mulai menyerang. Suara-suara erangan buas mulai terdengar menggema di hutan ini. Panik dan ketakutan mulai merasuki diriku.

KRAKKKK

"AGGHHHHHH"

Kakiku tersandung akar pohon, tubuhku terhempas ke tanah. Aku mengaduh kesakitan yang bersumber dari kakiku, aku langsung menatap kedepan dan melihat tiga mayat hidup sedang menuju kemari!

Aku berusaha untuk berdiri namun rasa sakit di kakiku mengalahkan segalanya. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mahkluk itu.

Untungnya aku membawa sebuah senjata shotgun dan pisau di pinggangku, kuambil senapan tersebut dan kupompa, memastikan terdapat peluru didalamnya. Dengan hati-hati kubidik senapan itu kearah kepala salah satu mayat hidup yang posisinya paling dekat denganku, dengan menghela napas pendek kutekan pelatuk senjata ini.

BLAM

AHHHHHHHH

Hentakan senjata shotgun itu kencang sekali sehingga tanganku terasa nyeri sekali dan nyaris saja senjata itu terpental andai peganganku tidak mantap. Peluru itu melesat dan mengenai kepala mayat hidup, bagian tubuh itu pecah berkeping-keping memuncratkan darah dan serpihan-serpihan merah muda yang aku yakin itu adalah bagian otaknya. Aku sangat ketakutan melihat pemandangan ini.
Episode 21 coming soon, dan bakal f**ked up kayaknya :Peace: dan selanjutnya ane akan apdet reguler seperti biasa
 
Teaser bagi yang masih nungguin cerita ini hehe
DRAP DRAP DRAP DRAP

"Hahhh hahhh hahhhh"

Langkah kakiku terus kupercepat walau tenaga dalam tubuhku sudah nyaris habis. Mayat-mayat hidup itu terus mengejarku tanpa rasa lelah, walaupun gerakan mereka lambat namun jumlahnya cukup banyak dan terus menuju kearahku.

Keringat dalam tubuhku terus bercucuran deras, tenggorokanku terasa kering, perutku nyeri dan rasa lapar mulai menyerang. Suara-suara erangan buas mulai terdengar menggema di hutan ini. Panik dan ketakutan mulai merasuki diriku.

KRAKKKK

"AGGHHHHHH"

Kakiku tersandung akar pohon, tubuhku terhempas ke tanah. Aku mengaduh kesakitan yang bersumber dari kakiku, aku langsung menatap kedepan dan melihat tiga mayat hidup sedang menuju kemari!

Aku berusaha untuk berdiri namun rasa sakit di kakiku mengalahkan segalanya. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mahkluk itu.

Untungnya aku membawa sebuah senjata shotgun dan pisau di pinggangku, kuambil senapan tersebut dan kupompa, memastikan terdapat peluru didalamnya. Dengan hati-hati kubidik senapan itu kearah kepala salah satu mayat hidup yang posisinya paling dekat denganku, dengan menghela napas pendek kutekan pelatuk senjata ini.

BLAM

AHHHHHHHH

Hentakan senjata shotgun itu kencang sekali sehingga tanganku terasa nyeri sekali dan nyaris saja senjata itu terpental andai peganganku tidak mantap. Peluru itu melesat dan mengenai kepala mayat hidup, bagian tubuh itu pecah berkeping-keping memuncratkan darah dan serpihan-serpihan merah muda yang aku yakin itu adalah bagian otaknya. Aku sangat ketakutan melihat pemandangan ini.
Episode 21 coming soon, dan bakal f**ked up kayaknya :Peace: dan selanjutnya ane akan apdet reguler seperti biasa
Selalu ditunggu hu.. semoga segera update
 
Teaser bagi yang masih nungguin cerita ini hehe
DRAP DRAP DRAP DRAP

"Hahhh hahhh hahhhh"

Langkah kakiku terus kupercepat walau tenaga dalam tubuhku sudah nyaris habis. Mayat-mayat hidup itu terus mengejarku tanpa rasa lelah, walaupun gerakan mereka lambat namun jumlahnya cukup banyak dan terus menuju kearahku.

Keringat dalam tubuhku terus bercucuran deras, tenggorokanku terasa kering, perutku nyeri dan rasa lapar mulai menyerang. Suara-suara erangan buas mulai terdengar menggema di hutan ini. Panik dan ketakutan mulai merasuki diriku.

KRAKKKK

"AGGHHHHHH"

Kakiku tersandung akar pohon, tubuhku terhempas ke tanah. Aku mengaduh kesakitan yang bersumber dari kakiku, aku langsung menatap kedepan dan melihat tiga mayat hidup sedang menuju kemari!

Aku berusaha untuk berdiri namun rasa sakit di kakiku mengalahkan segalanya. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mahkluk itu.

Untungnya aku membawa sebuah senjata shotgun dan pisau di pinggangku, kuambil senapan tersebut dan kupompa, memastikan terdapat peluru didalamnya. Dengan hati-hati kubidik senapan itu kearah kepala salah satu mayat hidup yang posisinya paling dekat denganku, dengan menghela napas pendek kutekan pelatuk senjata ini.

BLAM

AHHHHHHHH

Hentakan senjata shotgun itu kencang sekali sehingga tanganku terasa nyeri sekali dan nyaris saja senjata itu terpental andai peganganku tidak mantap. Peluru itu melesat dan mengenai kepala mayat hidup, bagian tubuh itu pecah berkeping-keping memuncratkan darah dan serpihan-serpihan merah muda yang aku yakin itu adalah bagian otaknya. Aku sangat ketakutan melihat pemandangan ini.
Episode 21 coming soon, dan bakal f**ked up kayaknya :Peace: dan selanjutnya ane akan apdet reguler seperti biasa
yang ditunggu tunggu nih wkwkwk
mantap lanjutkeun suhu:aduh:
 
Teaser bagi yang masih nungguin cerita ini hehe
DRAP DRAP DRAP DRAP

"Hahhh hahhh hahhhh"

Langkah kakiku terus kupercepat walau tenaga dalam tubuhku sudah nyaris habis. Mayat-mayat hidup itu terus mengejarku tanpa rasa lelah, walaupun gerakan mereka lambat namun jumlahnya cukup banyak dan terus menuju kearahku.

Keringat dalam tubuhku terus bercucuran deras, tenggorokanku terasa kering, perutku nyeri dan rasa lapar mulai menyerang. Suara-suara erangan buas mulai terdengar menggema di hutan ini. Panik dan ketakutan mulai merasuki diriku.

KRAKKKK

"AGGHHHHHH"

Kakiku tersandung akar pohon, tubuhku terhempas ke tanah. Aku mengaduh kesakitan yang bersumber dari kakiku, aku langsung menatap kedepan dan melihat tiga mayat hidup sedang menuju kemari!

Aku berusaha untuk berdiri namun rasa sakit di kakiku mengalahkan segalanya. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mahkluk itu.

Untungnya aku membawa sebuah senjata shotgun dan pisau di pinggangku, kuambil senapan tersebut dan kupompa, memastikan terdapat peluru didalamnya. Dengan hati-hati kubidik senapan itu kearah kepala salah satu mayat hidup yang posisinya paling dekat denganku, dengan menghela napas pendek kutekan pelatuk senjata ini.

BLAM

AHHHHHHHH

Hentakan senjata shotgun itu kencang sekali sehingga tanganku terasa nyeri sekali dan nyaris saja senjata itu terpental andai peganganku tidak mantap. Peluru itu melesat dan mengenai kepala mayat hidup, bagian tubuh itu pecah berkeping-keping memuncratkan darah dan serpihan-serpihan merah muda yang aku yakin itu adalah bagian otaknya. Aku sangat ketakutan melihat pemandangan ini.
Episode 21 coming soon, dan bakal f**ked up kayaknya :Peace: dan selanjutnya ane akan apdet reguler seperti biasa
Shotgun,wah selamat yg di kasih shotgun sama dino
 
Everything's got a moral
Only you can


Find

Fuck

Or

KILL IT


*****

Dear Diary.......

Sepertinya aku sudah lama tak menulis di buku ini. Jadi aku sempatkan untuk melakukannya sekarang......

Kamu pasti tak percaya.....

Kalau aku selamat......

Namun sayang, hanya aku dan Kak Dino yang selamat dari kejadian itu.....

Aku masih belum bisa melupakan lapangan golf itu......

Yang awalnya aku tak menyangka kalau tempat itu bisa disulap menjadi sebuah tempat tinggal.....

Semua karena Kak Dino dan teman-temannya

Namun semua itu sudah tinggal kenangan.....

Aku masih ingat betul saat melihat gerombolan mayat hidup dalam jumlah besar menyerang tempat tinggalku disaat kami mati-matian melawan orang-orang yang berusaha merebut rumah kita

Aku tak mengerti.....

Kenapa mereka bertempur satu sama lain?

Padahal kita bisa hidup bersama dengan orang-orang itu, tanpa saling menembakkan senjata.....

Aku tahu mereka sudah menyiksa kak Dino, merendahkan dan memanfaatkan Rachel dalam situasi itu. Mereka orang jahat....

Tapi aku sama sekali tak ingin membunuh seseorang apapun alasannya....

Dear diary....

Aku sedih sekali karena kehilangan semua teman-temanku....

Termasuk Fidly, jujur aku mulai menyukai dia.....

Tapi, aku tak boleh terus bersedih. Aku harus kuat.

Mungkin ini adalah takdirku, setidaknya aku bisa selamat dari kejadian itu....

Aku sudah lelah menangis...
.​


*****

SURVIVE

DRAP DRAP DRAP DRAP

"Hahhh hahhh hahhhh"

Langkah kakiku terus kupercepat walau tenaga dalam tubuhku sudah nyaris habis. Mayat-mayat hidup itu terus mengejarku tanpa rasa lelah, walaupun gerakan mereka lambat namun jumlahnya cukup banyak dan terus menuju kearahku.

Keringat dalam tubuhku terus bercucuran deras, tenggorokanku terasa kering, perutku nyeri dan rasa lapar mulai menyerang. Suara-suara erangan buas mulai terdengar menggema di hutan ini. Panik dan ketakutan mulai merasuki diriku.

KRAKKKK

"AGGHHHHHH"

Kakiku tersandung akar pohon, tubuhku terhempas ke tanah. Aku mengaduh kesakitan yang bersumber dari kakiku, aku langsung menatap kedepan dan melihat tiga mayat hidup sedang menuju kemari!

Aku berusaha untuk berdiri namun rasa sakit di kakiku mengalahkan segalanya. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan mahkluk itu.

Untungnya aku membawa sebuah senjata shotgun dan pisau di pinggangku, kuambil senapan tersebut dan kupompa, memastikan terdapat peluru didalamnya. Dengan hati-hati kubidik senapan itu kearah kepala salah satu mayat hidup yang posisinya paling dekat denganku, dengan menghela napas pendek kutekan pelatuk senjata ini.

BLAM

"AHHHHHHHH"

Hentakan senjata shotgun itu kencang sekali sehingga tanganku terasa nyeri sekali dan nyaris saja senjata itu terpental andai peganganku tidak mantap. Peluru itu melesat dan mengenai kepala mayat hidup, bagian tubuh itu pecah berkeping-keping memuncratkan darah dan serpihan-serpihan merah muda yang aku yakin itu adalah bagian otaknya. Aku sangat ketakutan melihat pemandangan ini.

GGRRAHHHHH

Masih ada dua mayat yang tersisa, kupompa-kan kembali shotgun ini dan membidik salah satu dari mereka.

BLAM

Tembakanku kembali tepat sasaran, mayat hidup itu terhempas ke tanah dan tewas seketika, namun karena hentakan yang sangat keras tanganku kembali terasa sakit. Aku berusaha untuk bangun dan melawan mayat hidup satunya.

GGRRRHHHHH

"AGHHHHHHHH"

Tanpa kuduga mayat hidup itu merangsek maju dan mendorongku kembali jatuh ke tanah. Mahkluk itu menindih tubuhku sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku meronta-ronta berusaha untuk lepas dari cengkramannya namun sia-sia, tenagaku sudah terkuras habis sedangkan mahkluk itu tenaganya seperti tak pernah habis.

Mayat itu menatap mataku dengan pandangan yang buas sekali, aku bisa melihat warna merah yang memenuhi bagian pupil. Mulutnya terbuka lebar dan sedikit darah menetes membasahi pakaianku.

GGRAAAHHHHH

BRAKKKK

Tiba-tiba kepala mayat hidup itu terhempas kesampingku seperti terpukul sesuatu, genggaman tangannya terlepas sehingga aku bisa meloloskan diri dan merangkak menjauhi mayat hidup. Sosok manusia itu menghantam benda seperti pentungan kearah kepala mayat itu berkali-kali hingga tewas.

Sosok itu bergerak membukakan kain jaket yang ia kenakan. Betapa terkejutnya saat aku melihat wajahnya, wajah yang sangat aku kenal.

"Gaby!"

"Anin....."

Aku tak sedang bermimpi, sosok manusia yang ada didepanku sekarang adalah benar-benar Anin.

"Ya ampun Gab, kamu selamat....." Anin tampak sangat bahagia melihatku.

"Ughhhh...." aku sedikit mengaduh saat Anin membantuku untuk berdiri.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Anin.

"Tadi sempat kesandung, tapi aku gak apa-apa kok" balasku lemah. Kami saling menatap satu sama lain, aku masih tak menyangka Anin selamat dari peristiwa di lapangan golf itu. Dengan sadar aku memeluk erat tubuhnya, air mataku mulai keluar membasahi kedua mataku.

"Hiks... hiks.... Anin..... aku senang bisa ketemu kamu lagi...." ucapku lirih.

"Iya Gaby.... aku juga" balas Anin dengan haru. Kami berpelukan cukup lama.

"Mereka.... mereka selamat?" tanyaku saat kami melepas pelukan.

Raut muka Anin berubah, ia memalingkan wajahnya dari pandanganku. Aku tak mengerti maksudnya.

"Gaby, kita harus pergi dari sini sekarang....." kata Anin.

"Tapi, kamu belum jawab pertanyaan aku..."

"Aku ceritakan nanti Gab, yang penting kita harus pergi sekarang" benar kata Anin, kami mendengar suara-suara mayat hidup yang cukup dekat dari lokasi ini sehingga kami harus cepat-cepat pergi. Anin membantuku berjalan karena kakiku masih terasa sakit.

*****



"Lihat apa yang aku bawa Lang...."

"Ya Tuhan. Gaby!"

Aku terkejut sekaligus senang melihat Galang, Toni dan Fidly menghampiriku. Dia langsung memelukku erat dan kubalas pelukan mereka.

"Sandi.... Nadila..... yang lainnya dimana Lang?" tanyaku kepada Galang. Raut mukanya berubah menjadi masam.

"Maafkan aku Gaby.... mereka tak selamat dalam kejadian itu....."

Tubuhku langsung lemas mendengar jawaban Galang, air mataku mulai keluar. Tangisku pecah.

"Hiks... hiks.... kenapa ini harus terjadi... hiks.... hiks....."

"Gaby....." Suara Anin terdengar dan berusaha untuk menenangkanku. Aku belum bisa menerima semua ini yang ditandai dengan tangisanku yang semakin menjadi-jadi.

"Enggak.... enggak mungkin. Mereka pasti selamat kan Nin?? hiks... hiks...."

"Gaby.... kamu harus mengikhlaskan mereka...." Anin memelukku erat sekali dan ia juga menangis. Suasana cepat menjadi haru dan dingin, kami saling berpelukan erat untuk menenangkan diri. Jujur aku belum bisa menerima kepergian mereka.

*****

Malam ini udara begitu dingin menusuk kulit. Tak ada canda tawa dan obrolan disini, mereka hanya membisu tanpa arti. Aku sengaja untuk menjauh dari mereka dan duduk bersandar di pohon besar, air mataku belum berhenti mengalir mengingat teman-temanku. Aku beruntung sekali bisa bertemu dengan mereka. Kalau saja aku tak bertemu mereka entah bagaimana nasibku sekarang.

Aku merasa lemah, kalah menghadapi dunia aneh ini.

Nadila...... maafkan aku karena aku tak bisa melindungimu.

Maafkan aku.....

"Gaby....."

Aku menoleh kearah sumber suara, Anin berjalan mendekatiku dan duduk disampingku. Raut wajahnya tampak dingin tanpa ekspresi.

"Anin"

"Sebaiknya kamu jangan jauh-jauh dari sini Gab, terlalu berbahaya" ucap Anin.

"Aku gak apa-apa Nin, tolong tinggalkan aku sendiri" balasku tanpa menatapnya.

"Gaby...."

"Nin, tolong....."

"Aku tak akan tinggalkan kamu" Anin berkata bersikeras menolak permintaanku.

Aku hanya terdiam sambil terus melihat ke tanah. Kuambil seonggok tanah itu dan melemparkannya kedepan.

"Gaby...."

Anin memanggilku namun entah kenapa aku enggan untuk membalasnya.

"Gaby, tolong bicaralah padaku....." ucap Anin memohon, namun entah kenapa aku justru emosi mendengarnya.

"TOLONG JANGAN GANGGU AKU NIN!!" dengan sadar aku membalas dengan nada tinggi yang membuat Anin terkejut. Air mataku kembali keluar membasahi kedua bola mataku.

"Gaby....."

"Hiks... hiks... aku gagal melindungi Nadila, dia sudah tiada sekarang dan itu semua gara-gara aku....." kulimpahkan emosiku kepada Anin, ia tertegun menatapku.

"Dia satu-satunya yang tersisa dari hidupku selama ini Nin, setelah aku kehilangan semuanya karena wabah ini....." tambahku dengan suara terisak. Aku tak dapat menahan rasa tangis ini.

Anin langsung memelukku erat sekali, awalnya aku ingin melepaskannya namun timbul sedikit rasa nyaman dari pelukannya.

Hatiku sangat terpukul saat mengetahui kalau mereka tak selamat dalam peristiwa itu. Bayang-bayang kengerian itu masih terpatri dalam diriku. Mereka benar-benar biadap menyerang lapangan golf itu dan menghancurkannya.

Air mataku kembali keluar mengingat semua ini, tak dapat kutahan lagi aku terisak menangis dalam pelukan Anin. Kenapa nasibku seperti ini? apa salahku selama ini?

"Hiks... hiks.... kenapa ini harus terjadi Anin...." isakku.

"Iya Gab, aku juga gak nyangka mereka semua sudah tiada....." balas Anin yang juga mulai terisak. Kami masih berpelukan erat selama beberapa saat, menumpahkan air mata kami masing-masing.

"Gaby, kamu harus kuat. Kita tak akan melupakan mereka yang sudah mengorbankan nyawa demi rumah kita" ucap Anin sambil menghapus air matanya sendiri. Aku tertegun mendengarnya.

"Kita masih hidup sekarang dan kamu pasti menyadarinya. Galang, Toni, Fidly, aku dan kamu. Kita bisa hadapi ini bersama-sama"

"Anin, makasih....." balasku, kuusap air mataku yang membasahi bagian pipi dan mata. Dia benar, aku harus kuat menghadapi ini semua.

"Kalian gak apa-apa?" Galang menghampiri kami sambil membawa senapan laras panjangnya. Kami menggangguk bersamaan.
"Kita harus istirahat, besok kita harus jalan lagi dan keluar dari hutan ini" kata Galang. Aku dan Anin saling mengangguk.

Esok paginya, kami berjalan menyusuri hutan ini lebih dalam, sama sekali tanpa peta maupun kompas hanya menggunakan insting semata. Kami sendiri tak membawa perbekalan apa-apa, makanan, minuman. Kupegang perutku yang kosong, aku mulai merasa lapar namun aku berusaha untuk menahan rasa ini. Anin tampak waspada sambil menoleh-noleh memperhatikan situasi di hutan ini.

"Nin, kamu masih kuat?" tanyaku padanya.

"Iya masih kok, kamu sendiri?"

"Emmm iya"

Entah sudah berapa lama kami berjalan, tanpa terasa hari sepertinya sudah menjelang sore. Langkah kaki kami semakin pelan tak seperti sebelumnya, semua tenaga yang kami simpan nyaris terkuraa habis. Rasa lapar dan dahaga terus menyerang kami termasuk diriku.

"Ah, ada sungai" Toni sedikit berteriak sambil tangannya menunjuk kearah sana.

"Iya Ton, akhirnya....."

Kami melepaskan dahaga yang sudah sangat terasa dengan air sungai ini, tak peduli dengan tingkat kejernihannya namun aku rasa air sungai ini bersih dan segar. Kutenggak air ini sebanyak-banyaknya hingga kerongkonganku tak terasa kering.

"Hmmm coba saja kalau ada alat pancing, kita bisa tangkap ikan di sungai ini" kata Fidly yang berada disampingku.

"Iya Fid, kita butuh makanan juga" balasku.

"Mungkin disekitar sini ada hewan yang bisa dimakan, aku coba cari dulu" Fidly mengambil senjata crossbownya dan bergegas untuk pergi.

"Aku ikut Fid....."

"Gak usah Gab, aku bisa sendiri kok" Fidly menolak permintaanku.

"Gak apa-apa Gaby, dia memang orangnya kayak gitu kok" kata Anin.

Kami memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai ini sambil menunggu Fidly mencari makanan. Kubersihkan kedua kakiku dengan air sungai ini, terasa dingin dan segar sekali. Tanpa pikir panjang kubasuh juga wajah dan rambutku berkali-kali.

Dan kesabaran kami membuahkan hasil. Fidly tiba dengan membawa dua ekor kelinci, tentu saja dalam kondisi mati. Galang dan Anin mencari ranting-ranting kayu dan dedaunan kering, sedangkan aku dan Toni membersihkan pisau kecil dengan air sungai untuk memotong kelinci itu. Namun sejujurnya aku tidak tega untuk melakukannya karena sebelumnya aku tak pernah memakan kelinci.

"Belum pernah ya Gab?" kata Fidly, ia sepertinya tahu bahwa aku ragu untuk melakukan ini.

"Maaf...."

"Yaudah biar aku aja yang motongin, sini pisau kamu"

"Tapi Fid...."

"Udah gak apa-apa kok, nanti kamu tinggal makan aja"

Singkatnya kami menyantap daging kelinci yang sudah terlebih dahulu dibakar seadanya. Aku menatap keratan daging yang sedikit menghitam, bau asap tercium jelas. Awalnya aku ragu untuk memakannya, kulihat Anin mengunyah daging itu sedikit, mungkin ia juga mengalami hal yang sama sepertiku. Namun aku cepat sadar kalau aku harus makan untuk memulihkan tenaga yang sudah terbuang banyak.

Dengan perlahan kugigit kecil keratan daging itu dan mengunyahnya pelan-pelan. Rasanya hambar, mengingat kami langsung membakar daging itu setelah dipotong dan dicuci, tak ada bumbu masak disini tak seperti saat di lapangan golf dulu. Lidahku bereaksi untuk menolak makanan itu namun aku paksa saja untuk menelannya. Setelah kutelan aku ambil botol air minum dan meneguknya hingga tersisa setengah.

"Enak Gab?" tanya Anin yang berada disampingku.

"Emmm ya begitulah Nin....."

"Rasanya beda banget ya, ada gosong-gosongnya gitu" ucapnya. Aku menggangguk saja.

"Ya mau gimana lagi, hanya ini yang bisa kita makan" balasku.

Aku melihat Fidly yang memakan daging itu dengan lahapnya, sepertinya ia sudah terbiasa dengan alam bebas ini. Aku sudah pernah mendengar ceritanya yang ia harus hidup sendirian di hutan sebelum bertemu Dino dan kawan-kawannya. Karena hal itu juga aku menjadi tertarik dan ingin belajar lebih banyak kepadanya tentang bertahan hidup di alam ini.

Kemudian kami melanjutkan berjalan kembali memasuki hutan setelah kami mendengar suara-suara erangan mayat hidup yang letaknya tak jauh dari sungai ini. Tanpa tujuan. Hanya bisa berharap kami dapat keluar dari hutan ini.

Beberapa jam berlalu dan aku masih berjalan pelan bersama teman-temanku. Raut wajahku kusut tanpa ekspresi, rasa putus asa mulai terasa dalam diriku. Pikiran ini mulai kacau, bagaimana nanti kalau misalnya kami tak selamat?

Tidak Gaby, kamu harus terus berpikir positif.

Aku pasti bisa lalui ini semua!

Tak terasa langkah kaki ini membawa kita tiba di sebuah rumah kecil yang tentu saja sudah ditinggal penghuninya. Dalam hati aku merasa senang, kita bisa beristirahat di rumah ini atau mungkin tinggal disini untuk sementara waktu. Galang menyuruh kami untuk menyiapkan senjata masing-masing.

Yang aku heran, bagaimana bisa ada rumah didalam hutan ini. Mengingat disekitar sini tak ada jalan aspal yang bisa dilewati kendaraan.

Aku dan Anin bersiap untuk membuka pintu masuk rumah, ternyata pintu itu terkunci. Galang mengambil ancang-ancang untuk bersiap mendobrak pintu itu.

BRAKK

Setelah pintu terbuka, aku berjalan pelan memeriksa seluruh ruangan yang sangat berantakan dan kotor sekali. Sesekali aku menutup hidungku karena cukup banyak debu, untung saja tak ada mayat hidup didalam.

"Aman Lang" sahutku.

"Oke, kita bermalam dulu disini" balasnya.

"Dan pasti, tempat ini harus dibersihkan Gaby" kata Anin.

"Iya Nin, kotor banget ini"

*****

Malam ini aku tak dapat memejamkan mata entah kenapa sebabnya. Aku berjalan pelan menuju keluar rumah ini. Namun saat tanganku akan meraih gagang pintu, Anin memegang tanganku berusaha untuk mencegahku.

"Kamu mau kemana?" tanya Anin.

"Aku..... aku gak bisa tidur Nin" balasku.

"Terus?"

"Yaa, aku pengen keluar bentar nyari udara aja...."

"Kamu gila Gab, gak kedingingan napa......"

"Gak masalah. Kamu mau ikut gak? kalau enggak biar aku sendiri aja"

"Emm yaudah deh....."

Kami terdiam menikmati udara malam yang teramat dingin, kugosok-gosok kedua telapak tanganku hingga tercipta semacam gesekan yang menimbulkan panas, walau itu masih belum cukup untuk melawan rasa dingin ini. Perutku terasa kosong sekali tanpa makanan didalam, aku tahu kalau manusia bisa bertahan tanpa makanan selama tiga hari, tanpa minuman selama dua hari. Dan ini yang kami lakukan sekarang, tubuhku lemas sekali tanpa secuil tenaga.

Tampaknya kegelisahanku diketahui oleh Anin, ia langsung melontarkan pertanyaan padaku.

"Laper ya Gab?" tanyanya. Aku tak membalas.

Selama ini aku dan Anin tak memiliki hubungan yang dekat, hanya dua kali saja aku pernah ngobrol sama dia itupun juga hanya sebentar. Mungkin ini kesempatanku untuk bisa akrab dengannya.

"Emm Nin?"

"Iya?"

"Gimana ya, aku bingung mau ngobrol ke kamu kayak gimana hehe" ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Yaudah ngobrol aja, apapun aku jawab kok" balas Anin santai.

"Hmmm, sejak kapan kamu bisa pakai senjata api Nin? Selama ini aku lihat kamu paling menguasai dalam hal itu" kataku memulai obrolan.

"Aku diajarin Galang sih sebenarnya, tapi sebelum itu aku memang suka sama senjata api.... dari video game haha" balasnya.

"Dulu sebelum wabah ini, aku sering streaming game Gab. Lumayan terkenal sih sampai pernah diajak ikut tim e-sport" tambahnya.

"Wah keren Nin, berarti kamu gamer ya?"

"Iya hehe. Oh iya kamu juga bisa pakai senjata api Gab, belajar dari mana?"

"Aku pernah ikut pelatihan senjata api saat masih kerja jadi wartawan dulu"

"Ohhh, kamu pernah mejeng di tv berarti?"

"Iya, lumayan sering haha. Kamu gak pernah nyadar?"

"Gak, aku jarang banget nonton tv wkwk"

Kami tertawa bersama memecah kesunyian malam ini. Ternyata dia ramah juga untuk diajak mengobrol, aku dan Anin kembali bercengkrama membahas topik apa saja yang terbit dari pikiranku dan Anin selalu membalasnya dengan ramah. Tak lama berselang kami semakin akrab satu sama lain.

"Gab"

"Iya Nin?" balasku.

"Senjata yang kamu bawa itu, aku kenal banget siapa yang punya" ucap Anin.

"Iya, ini senjatanya Dino. Sebelum pertempuran itu dia sempat meminjamkan senjata ini padaku...." balasku datar. Entah kenapa aku jadi kepikiran padanya.

"Aku akan merindukan dia Nin. Aku berhutang budi padanya" tambahku.

"Aku juga Gab, dia sudah menyelamatkan nyawaku dulu. Sebelum ketemu kamu dan Nadila, aku bersama Galang dan Dino diserang oleh sekelompok orang yang ingin menguasai tempat berlindung kami, dan disaat itu aku tertembak"

Aku terkejut mendengar cerita Anin, aku sama sekali tak tahu kejadian mereka sebelumnya.

"Dino dan Aya berusaha untuk menyelamatkan nyawaku saat itu. Entah bagaimana cara mereka melakukannya, ternyata aku selamat walau tanganku mungkin tak akan sama seperti sebelumnya" Anin memelorotkan sedikit kerah bajunya dan memperlihatkan bekas luka tembak pada bahunya. "Dan kamu tahu siapa orang yang bersikeras untuk mencari rumah sakit waktu kamu terluka dulu? Dino dan Aya...."

Anin mengusap matanya yang sedikit berlinangan air mata. Ia teringat akan masa-masa itu.

Kami terdiam cukup lama. Sesekali angin malam menerpa kami dan menimbulkan rasa dingin, suara-suara jangkrik terdengar riuh sekali mengisi senyapnya malam yang semakin larut. Setelah aku mendengar cerita Anin entah kenapa aku kepikiran oleh seseorang.

Sandi.

Memoriku kembali berputar saat pertama kali aku bertemu dia. Sandi ramah sekali padaku dan sesekali kami saling ngobrol ringan dan tertawa bersama. Karena ia juga aku mengetahui nasib pacarku, Billy yang ternyata adalah sahabatnya selama wabah ini.

Kejadian aneh di apotik bersamanya semakin membuatku terasa nyaman padanya. Dalam lubuk hatiku aku masih tak mengerti kenapa aku melakukan hal itu padanya.

Kenapa kamu cepat sekali tiada, Sandi....

Aku ingat saat kamu menyatakan perasaanku malam ini di dekat sungai. Sebenarnya aku menolaknya bukan karena tidak suka padanya, waktunya saja yang tidak tepat. Seandainya saat pertempuran itu kita menang, aku akan kembali membujuk dia dan aku pasti menerimanya.

Namun itu tak akan terjadi.

Aku merasa bersalah padanya.

Tanpa sadar aku menitikkan air mata mengingat semua kejadian itu.

"Gaby, kenapa kamu nangis?" ucap Anin yang sepertinya tahu kalau aku sedang menangis.

"Hiks.... hiks.... seandainya waktu bisa diputar lagi ya Nin...."

"Iya Gab, seandainya saja..... aku kangen sama mereka....."

Kami berpelukan erat di malam yang semakin larut dan dingin ini. Kulimpahkan air mataku pada pelukan Anin yang nyaman sekali, ia mengusap-usap punggungku berusaha untuk menenangkanku. Beberapa saat kemudian kami melepaskan pelukan dan saling menatap. Kulihat kedua mata Anin yang bulat berlinangan air mata, ia berusaha tersenyum padaku.

Tiba-tiba saja ia menggerakkan kepalanya dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Anin mencium bibirku dengan lembut dan penuh perasaan. Awalnya aku ingin mencabutnya namun entah kenapa aku terhanyut pada ciumannya.

"Emmmmpph emmmmm"

Tanpa sadar aku bergumam dalam ciuman ini dibarengi juga dengan Anin. Gesekan bibir ini berubah menjadi lumatan. Lidah Anin masuk kedalam mulutku dan menari-nari disana. Aku mencoba untuk membalasnya sehingga lidah kami saling bertautan.

Sungguh awkward, tapi entah kenapa aku menyukainya.

Dan pada akhirnya kami mencabut bibir masing-masing. Anin menatapku dalam tanpa mengucapkan satu kata pun begitu juga denganku yang masih tak percaya apa yang aku lakukan barusan.

"Maaf Gab, aku...."

"Iya Nin aku ngerti kok...." balasku tersenyum padanya.

"Biar kamunya gak sedih lagi, makanya aku cium kamu hehe" kata Anin tersenyum padaku. "Yuk ah tidur, besok kita jalan lagi"

"Iya Nin, aku udah ngantuk dari tadi"

*****

Esok pagi, setelah bersiap-siap kami meninggalkan tempat ini dan melanjutkan perjalanan. Untungnya terdapat jalan tanah sehingga kami mengikutinya, semoga saja jalan ini mengarah ke jalan raya dan mencari mobil yang bisa dikendarai. Sepanjang perjalanan aku memakan buah jeruk dari Fidly, aku heran ia dapat menemukan buah yang bisa dimakan di sekitar rumah itu. Buah jeruk ini sudah cukup mengenyangkan perutku dan mengisi tenaga yang akan digunakan dalam perjalanan tanpa tujuan ini.

Kurasakan sepatu yang kukenakan mulai terasa tak nyaman, aku baru sadar kalau robekan sepatu ini mulai membesar akibat benturan di kakiku sebelumnya. Aku harus berjalan perlahan agar robekan sepatu ini tidak membesar.

Cukup lama kami menyusuri jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan tak ada mayat hidup atau binatang liar yang mengganggu kami, Galang berada didepan bersama Anin sedangkan aku, Toni dan Fidly berada dibelakangnya mengawasi keadaan sekitar. Karena merasa tak nyaman kugulungkan rambutku dan mengikatnya.

Sepertinya kami menemukan sebuah jalan lagi, dalam hati kecilku muncul harapan walau tidak besar. Kami langsung mempercepat langkah. Ternyata jalan setapak ini mempertemukan kami ke jalanan kereta api. Aku, Anin dan Fidly memeriksa keadaan sekitar saat Galang dan Toni melihat-lihat jalan kereta api ini.

"Kita coba lalui jalan kereta ini" kata Galang sambil menunjuk sebuah papan penanda.

"Lalu kita akan kemana Lang?" tanyaku.

"Entahlah, yang penting kita harus jalan terus. Tidak bisa kita berjalan didalam hutan. Mayat-mayat hidup banyak tersebar disana" balasnya. Aku hanya menggangguk dibarengi dengan yang lain. Aku mencoba untuk percaya sama Galang sebagai pemimpin grup ini.

Kami berjalan menyusuri rel kereta, sepanjang perjalanan kami tak menemukan satupun mayat hidup atau binatang liar yang menyerang. Dalam hati aku merasa bersyukur sekali tak ada halangan dalam perjalanan tanpa tujuan ini. Aku harap dengan menyusuri rel kereta ini, setidaknya kami dapat menemukan tempat yang bisa ditinggali atau semoga saja ada permukiman orang-orang yang selamat dari wabah mengerikan ini.

Kuangkat kepalaku kearah langit yang mendung, sinar matahari menutupi awan itu sehingga kami tak merasa kepanasan. Entah jam berapa sekarang.

"Gab, mau minum?" Toni menyodorkan botol air minum kepadaku.

"Iya, makasih" kuraih botol itu dan kuteguk air didalamnya secukupnya.

"Hmmm, semoga saja nasib kita baik Gab" kata Toni.

"Iya Ton, semoga saja. Jujur aku sudah lelah dengan semua ini...."

Tak terasa kami berjalan meyusuri rel kereta ini hingga akhirnya kami menemukan sebuah terowongan.



"Kamu yakin Lang?" tanya Anin ragu dan aku juga merasakan hal yang sama.

"Tak mungkin kita mundur lagi Nin, kita harus jalan terus. Ini yang harud kita lakukan sekarang" ucap Galang. Terowongan itu gelap sekali dan kami hanya memiliki satu buah senter. Kuambil senapan shotgun ini yang entah berapa peluru yang masih tersisa, kami harus bersiap untuk menghadapi bahaya yang mungkin ada didalam terowongan itu.

"Kalian siap?" tanya Galang kepada kami.

"Iya Lang, kami siap" ucapku.

Terowongan ini mungkin cukup panjang untuk dilalui namun hal itu tak mengurungkan niat untuk terus berjalan sampai tujuan.

*****

COLD HEART

"Aku pengen potong rambut"

"Kenapa sayang?"

"Emmm gimana ya.... aku pengen aja. Kamu gak mau ya aku potong rambut?"

"Emm, aku mau aja sih. Kebetulan aku pernah potongin rambut temen hehe. Tapi kenapa sayang?"

"Dani, aku ingin menghapus semua kenangan masa laluku. Aku ingin menjadi orang yang.... emmm.... seperti terlahir kembali"

"Aku juga merasa bukan wanita yang sempurna seperti yang kamu biasa ucapkan Dan....."

"Aku pernah lumpuh....."

......

......

......​

SRAKKK

SRAKKK

SRAKKK

"Awasi posisi kalian, mereka ada dimana-mana"

Kupegang pisau besar ini dengan erat, mayat-mayat hidup terus bermunculan dari segala arah. Suara erangan khas mereka terdengar di segala arah, diperparah dengan kabut yang cukup tebal menyelimuti kami.

Salah satu mayat hidup berjalan cepat kearahku, kutusukkan pisau ini tepat di atas kepala mahkluk itu hingga tewas. Namun ini belum selesai, masih banyak mayat-mayat hidup yang mulai bermunculan di kabut.

"Aya, aku bantu...." Sandi menghampiriku dan memposisikan diri disampingku.

"Makasih San"

"Ayo, kita harus melawan mereka. Jaga jarak supaya kamu tidak diserang mereka"

Dengan susah payah kami berhasil mengalahkan mereka semua. Kabut itu juga berangsur-angsur menghilang. Tubuhku terasa lelah sekali, terdapat bercak-bercak darah mayat hidup pada pakaianku, aku tak memperdulikan hal itu sekarang.

Ya. Aku dan kawan-kawanku berhasil kabur dari lapangan golf yang sudah porak-poranda karena pertempuran itu.

Aku, Citra, Nadila, Andi, dan Sandi.

Awalnya Citra menemukanku di tanah lapang, aku tak ingat apa-apa sebelumnya. Aku dan Citra berlari masuk ke dalam hutan, tak disangka dalam perjalanan kami menemukan Nadila, Andi dan Sandi dalam kondisi selamat.

Namun aku menyadari bahwa teman-teman yang lain tak selamat dalam kejadian itu.

Dan juga aku teringat kalau Dani tewas.

"Aya, kamu gak apa-apa?" tanya Citra, aku kagum dengan keberaniannya melawan mayat-mayat itu, tak seperti aku yang terkadang masih takut melawan mereka.

"Iya Cit, aku gak apa-apa kok"

"Kamu bawa Nadila, kita harus jalan terus sekarang mumpung kabut ini sudah mulai hilang" kata Citra.

Kami tergopoh-gopoh berjalan memasuki hutan lebih dalam, suara-suara mayat hidup masih terdengar keras di belakang kami sehingga kami harus terus mempercepat langkah, tenagaku mulai terkurah habis dan hanya rasa lapar dan dahaga yang mulai menyerang.

"Ahhhhhhh" Nadila tersandung akar pohon dan terjatuh. Aku langsung memegang tubuhnya dan membantunya kembali berdiri.

"Ayo Nad, kita harus cepat"

GRRRHHHHHHAHHHH

RRRRGGGGHHHHHHH

Akhirnya setelah susah payah kami berhasil lolos dari mayat-mayat itu. Aku berjalan lunglai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Kulihat Citra menghampiri Nadila untuk mengecek kondisinya. Nadila tampak sangat ketakutan dilihat dari raut wajahnya, ia tak siap untuk menghadapi kondisi hidup mati ini dan sebenarnya aku juga mengalami hal yang sama, namun kusembunyikan rasa itu.

Malam harinya, kami harus bermalam diluar hutan karena kami tak berhasil menemukan bangunan yang bisa ditempati. Udara dingin terasa sekali menusuk kulit dan sesekali hembusan angin semakin memperparah keadaan. Sandi dan aku sedang berusaha untuk membuat api unggun dari ranting-ranting pohon yang kami temukan. Persediaan makanan dan minuman sangat menipis sehingga kami harus berhemat.

Kusantap makanan yang kami simpan. Hanya sebungkus biskuit yang sudah pasti tak mengenyangkan perut, namun ini sudah lebih dari cukup ketimbang tidak makan sama sekali.

"Nad, kamu gak makan?" kudengar Citra sedang membujuk Nadila untuk makan namun tak ada respon darinya. Wajahnya kusut tanpa ekspresi, aku tahu dia masih syok dan sedih karena kehilangan kekasihnya, Dino.

"Ini makananku buat kamu aja Nad, ayolah dimakan" kata Citra lagi.

"Udah gak usah dipaksa Cit, nanti dia bakal makan sendiri" ucapku.

"Jangan gitu Ay, kamu gak kasihan lihat Nadila?" balas Citra.

"Yaudah deh terserah"

Entah kenapa aku merasa tidak enak melihat ekspresi Nadila. Aku beranjak sedikit menjauhi mereka, kusantap kembali biskuit ini sambil melihat-lihat sekeliling hutan. Kebetulan bulan bersinar terang di langit sehingga hutan ini tampak sedikit terang, perutku sudah terasa sedikit kenyang, kuraih botol air minum dan kutenggak sedikit.

"Aya, kamu jangan sendirian disini. Kita tak boleh terpisah" Andi mendekatiku dan duduk disampingku.

"Udah gak apa-apa. Aku ingin sendiri An" balasku.

"Terlalu berbahaya, Ay"

"Tolong Andi, aku ingin sendiri sekarang" nada bicaraku sedikit meninggi. Ia tampaknya mengerti.

"Yaudah Ay, kalau itu maumu. Hati-hati" Andi berdiri dan berjalan meninggalkanku. Aku hanya tersenyum kecut melihatnya.

Sudah cukup lama aku berada disini, melamun tanpa memperdulikan gigitan nyamuk yang mulai menyerang tubuhku. Bayang-bayang wajah Dani masih terbesit dalam pikiranku, aku masih tak bisa menerima kepergiannya yang sangat tragis. Air mataku keluar mulai membasahi kedua mataku.

"Hiks.... hiks..... Dani..... hiks......"

Kututup wajahku dengan kedua tanganku, aku menangis sekuat-kuatnya disana mengekspresikan semua emosiku.

Kenapa jalan hidupku seperti ini?

Kenapa?

Dani.....

*****

Esok pagi, kami kembali melanjutkan perjalanan yang dipimpin oleh Citra dan Sandi. Mereka tampak sibuk mendiskusikan tujuan kita. Aku sendiri mulai merasa tak yakin dengan mereka karena selama perjalanan kita hanya terus masuk ke hutan lebih dalam, bisa dikatakan kami hanya berjalan tanpa tujuan.

"Cit, kalau menurutku kita cari sungai aja"

"Kenapa kak?"

"Kita bisa susuri tepi sungai dan mengikuti alurnya. Siapa tahu dengan cara ini kita bisa menemukan permukiman Cit. Itu menurutku sih" kata Sandi.

"Itu ide bodoh San. Tak akan ada permukiman disana" kataku menyanggah obrolan mereka.

"Enggak Ay, aku yakin pasti ada permukiman disana" Sandi tampak tak terima dengan sanggahanku.

"Sepanjang perjalanan apa yang kita temukan San? Mayat hidup dan mayat hidup! perjalanan ini sia-sia, kita hanya mencari mati saja!"

"Aya, cukup!" Citra memegang bahuku.

"Apaan sih Cit...."

"Kita ikuti idenya kak Sandi. Aku yakin sama dia Aya" kata Citra, aku ingin menolaknya namun untuk kali ini aku menggangguk tanda setuju padanya.

Kami akhirnya menemukan hilir sungai setelah berjam-jam berjalan. Sungai itu cukup kecil namun airnya jernih untuk bisa diminum, dengan cepat aku berjalan menuju tepi sungai dan meraih sedikit air dari tanganku. Kuminum air tersebut sebanyak-banyaknya hingga dahaga ini hilang. Tak lupa kubasuh wajah dan rambutku hingga basah, rasanya segar sekali mengingat sudah dua hari tubuh ini tidak terbasuh air. Kulihat mereka juga melakukan hal yang sama, Nadila yang sebelumnya hanya murung kini tampak sedikit tersenyum saat wajahnya terbasuh air.

(Okay, okay. Ane awalnya ingin memperjelas kalau mereka tidak "mandi". Abaikan saja ya hehe. It just a fiction :) )

"Air sungainya bisa diminum Cit" ucapku pada Citra.

"Iya Ay, kita bisa ambil air ini. Beruntung banget kita"

"Coba kalau ada baju ganti, aku bisa mencuci bajuku disini" ucap Citra. Aku hanya menggangguk saja.

Singkatnya kami memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai yang tenang ini, didukung dengan cuaca yang tidak terlalu cerah dan berawan. Citra dan Nadila tampak sedang asyik mengobrol entah apa yang mereka bahas. Andi dan Sandi juga demikian sehingga tinggal aku sendiri yang masih berada di tepian sungai. Kucelupkan kedua kakiku kedalam air, terasa segar sekali.

Karena bosan kupakai kembali sepatuku dan berjalan kearah Citra dan Nadila yang sedang berpelukan.

"Cit, aku lihat-lihat sekeliling dulu. Gak jauh kok"

"Iya Ay, hati-hati"

Kuambil pistolku yang tergeletak tak jauh dari lokasi mereka. Kulangkahkan kakiku kearah hutan, sebenarnya aku ingin sedikit jauh dari mereka karena entah kenapa aku merasa sedikit tak nyaman oleh mereka. Kuperhatikan sekeliling hutan ini, hanya terdapat pohon-pohon rimbun dan hijau, sesekali tampak burung-burung yang asyik berkicau satu sama lain. Aku sangat menikmati suasana alam ini, hati dan pikiranku terasa nyaman sekali.

Kuhirup udara ini dalam-dalam, menimbulkan rasa segar pada sistem pernapasanku, aku tersenyum.

"Indah sekali" ucapku sendiri.

Entah sudah sejauh mana aku melangkahkan kakiku, mungkin sudah cukup jauh dari lokasi mereka namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cukup mahir untuk menghafal semua jalan yang kulalui di hutan, sebelumnya aku pernah belajar hal itu saat masih di pramuka dulu.

"Apa itu? seperti padang rumput"

Karena penasaran kulangkahkan kakiku menuju tempat yang sepertinya adalah padang rerumputan. Benar dugaanku, tempat ini cukup luas dan terdapat banyak sekali bunga-bunga putih yang bermekaran indah. Aroma harum tercium di hidungku.



"Ah, bagus banget" gumamku.

Kupegang salah satu bunga itu dan mengelusnya pelan. Aku tak menyangka di hutan selebat ini ada padang rumput yang ditumbuhi bunga-bunga. Aku duduk dan menaruh pistolku ke tanah.

Aku hanya melamun saja setelahnya.

Bayang-bayang Dani kembali muncul dalam pikiranku saat kuambil salah satu bunga itu. Wajahnya memang tak bisa aku lupakan. Memoriku kembali berputar saat kejadian di rumah sakit, aku berusaha untuk bertahan hidup sendiri dari mahkluk-mahkluk itu. Saat itu aku benar-benar putus asa dan harapan karena tak ada satupun orang yang mau menolongku. Beruntung saat aku terkepung di salah satu bangunan aku diselamatkan oleh seorang pemuda, Dani.

Setelah itu kami bersama-sama bertahan hidup dan saling mengenal satu sama lain. Dani orangnya baik, ramah dan terus melindungiku sebelum akhirnya kami bertemu dengan kelompok Galang saat itu.

Hari berganti hari, aku sadar bahwa aku memang mencintainya begitu juga dia. Namun sayang kebersamaan kami tak berlangsung lama.

Tanpa terasa air mataku kembali menetes mengingat semua masa lalu itu yang tinggal kenangan. Pertempuran melawan orang-orang itu mengubah segalanya termasuk aku. Aku kehilangan semuanya, teman-temanku dan dia......

"Hiks... hiks.... hiks......" isak tangisku tak bisa dibendung lagi.

"Kenapa ini harus terjadi....."

Entah kenapa dalam diriku tumbuh rasa amarah setelah mengingat-ingat kejadian itu. Mereka benar-benar jahat! kehidupan dan harapanku sirna karena mereka!

"AAAHHHHHHH......" dengan sadar kucabut semua bunga-bunga didepanku. Rasa sedih dan marah bercampur menjadi satu. Semakin lama rasa itu semakin kuat, bunga-bunga didepanku sudah hancur berantakan beserta tanahnya. Aku bersujud sambil terus menangis, tak peduli suara tangisanku didengar oleh mayat hidup yang mungkin ada disekitar sini.

"Hiks... hiks... hiks.... huhuhu....."

Kurasakan angin sedikit berhembus kencang mengenai tubuhku. Aku kembali duduk sambil menyeka air mataku yang membasahi wajah. Bunga-bunga yang tidak aku rusak tampak melambai-lambai diterpa angin seakan-akan berusaha untuk menenangkanku, aku sadar apa yang aku perbuat barusan.

"Maafkan aku bunga....."

"Aghhhhh......"

Aku dikejutkan oleh sebuah suara manusia yang letaknya tak jauh dari sini. Tanpa pikir panjang kuambil pistol yang tergeletak didekatku dan berjalan hati-hati mendekati sumber suara.

"Siapa kamu?" tanyaku tegas sambil memegang pistolku.

"Aku.... jangan tembak aku....."

"Hei jangan bergerak!" kusigapkan todongan senjataku kearah sosok lelaki yang tampaknya mengaduh kesakitan.

"Tolong aku......" ucap laki-laki itu lirih. Sepertinya ia memang terluka saat kulihat salah satu kakinya terdapat luka yang cukup besar.

"Kenapa kakimu?" tanyaku.

"Aku.... ughhhhh.... aku tersandung sesuatu sebelumnya, kakiku..... uhhhhh....."

Terbit rasa iba dalam diriku, melihat orang asing ini terluka parah. Kuturunkan pistol ini dan berusaha untuk membantunya berjalan.

"Terimakasih, ugh......" katanya.

"Tak perlu, biarkan aku mengecek lukamu"

Kuperiksa kakinya yang terdapat luka yang memang cukup besar, darah segar tampak mengucur membasahi celananya.

"Kamu punya benda yang bisa dibuat untuk mengikat? aku harus menghentikan pendarahan" kataku kepada sang lelaki.

"Ugh..... di tasku ada kain......"

Tanpa pikir panjang kuambil tasnya dan mencari sebuah kain, kuambil benda itu dan merobeknya panjang, kain itu langsung kuikatkan pada pinggir luka kuat-kuat supaya darah itu tidak terus mengalir.

"Terimakasih, aku tak tahu bagaimana nasibku kalau saja tak ada yang menolongku....." kata sang lelaki, aku hanya tersenyum.

"Kau beruntung" ucapku datar. Entah kenapa instingku mengatakan kalau dia bukan orang baik, kuselipkan pistolku kedalam saku celana untuk berjaga-jaga.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Siapa kamu?" tanyaku.

"Aku.... namaku Zaki, kalau kamu?"

"Aya"

"Ughhhhh, sebelumnya aku bersama dua temanku namun mereka tak selamat karena mayat-mayat hidup itu" kata lelaki yang bernama Zaki itu. "Kalau kamu? apa kamu penduduk desa disekitar sini?"

Awalnya aku ingin menjawab bahwa aku bersama teman-temanku yang kabur kedalam hutan akibat pertempuran itu, namun firasatku mengatakan bahwa aku harus berbohong padanya.

"Iya, aku salah satu penduduk desa yang letaknya tak jauh dari sini. Aku selamat dari serangan mayat hidup yang menyerang desaku sebelumnya" jawabku.

Kami terdiam cukup lama menikmati padang bunga ini. Udara dingin sedikit menusuk kulit akibat hembusan angin kecil yang tak ada habisnya.

"Hmmmm, sebelumnya kenapa kamu dan teman-temanmu masuk ke hutan ini?" tanyaku penasaran padanya.

"Aku.... sebelumnya aku dan teman-temanku tinggal di sebuah komunitas yang dipimpin oleh seseorang yang dipanggil "Boss". Kami terlibat dalam pertempuran melawan sekelompok orang yang tinggal di lapangan golf, kami harus merebut tempat itu karena itu merupakan wilayah kami....."

DEG

Jantungku berdegup keras, amarah yang sebelumnya mereda kini kembali naik. Dia merupakan salah satu orang yang menyerang lapangan golf itu. Tangan kiriku kugenggam kuat sekali mengekspresikan amarah dalam diriku. Tanpa pikir panjang kuambil pistol dari sakuku.

Sudah pasti dia sudah membunuh teman-temanku dan menghancurkan rumahku!

"Hufffttt..... setelah mendengar lapangan golf itu, aku teringat sesuatu" ucapku tenang.

"Apa?" tanyanya.

"Kamu tahu siapa aku sebenarnya?"

"Si...siapa kamu? apakah kamu salah satu anggota yang tinggal di lapangan golf itu?" tanyanya dengan gemetar, aku tahu dia sangat ketakutan sekarang. Kutodong pistol yang kugenggam tepat di bagian kepalanya.

"Tepat sekali"

KLIK

DOR

*****

CALMING

DOR

Aku terkejut mendengar suara tembakan yang mungkin letaknya tak jauh dari sini. Nadila dan kak Sandi juga kaget mendengarnya.

"Aya.... Aya dimana?" tanyaku panik menyadari kalau dia tak ada disini.

"Kayaknya dia jalan kemana gitu, tak jauh dari sini" kata kak Sandi. Firasatku langsung mengatakan bahwa itu mungkin dia.

"Cit, kamu mau kemana?" tanya Nadila sambil memegang tanganku.

"Aya mungkin dalam bahaya, aku harus segera nyusul dia" aku berdiri dan sedikit berlari menuju posisi Aya.

Terlihat Aya sedang berdiri di dekat padang bunga yang sudah rusak, dan aku terkejut melihat sesosok laki-laki yang tergeletak di tanah dengan luka tembak pada kepalanya. Tanpa pikir panjang aku bertanya padanya.

"Aya, apa yang terjadi?"

Dia menoleh kearahku, raut wajahnya tampak dingin, terdapat sedikit bercak darah di bagian pipinya.

"Aya, kenapa?" tanyaku balik karena ia tak merespon. Jujur aku cukup khawatir dengan kondisi Aya mengingat ia sudah kehilangan kak Dani, kekasihnya.

"Orang brengsek ini salah satu anggota yang menyerang lapangan golf kita. Jadi aku bunuh saja dia" Aya akhirnya menjawab walau dengan nada dingin, dan tentu saja aku kaget mendengarnya.

"Bisa jadi sisa-sisa anggotanya masih ada disekitar sini dan memburu kita, Citra....." tambahnya.

"Gak mungkin Ay, kita sudah berjalan cukup jauh. Tak mungkin mereka mengejar kita....."

"Kita harus bunuh mereka semua Citra, gara-gara mereka kita kehilangan tempat tinggal dan teman-teman kita...." Aya menatapku tajam, entah kenapa namun aku bisa merasakan terdapat aura api dalam dirinya.

"Aya, kita tak boleh gegabah. Kita harus pergi dari sini sekarang" ucapku tegas.

"Dani meninggal karena mereka, Citra. Kamu kehilangan Dino juga karena mereka. Apa kamu tak menyadarinya, hah?? aku tahu kamu juga merasakan hal sama seperti aku!" Aya membentakku sambil menggenggam pistolnya. Aku menyadari bahwa ia sudah tak bisa dikontrol.

Dan juga saat ia mengatakan nama itu, entah kenapa aku emosi mendengarnya, tangan kananku menggenggam erat. Sepertinya aku harus melakukannya.

Maafkan aku, Aya.

PLAK

Kutampar pipi Aya dengan sekuat tenaga, tubuhnya terjatuh ke tanah.

"Aya, maaf....."

Dia menepis tanganku saat aku ingin membantu mengangkat tubuhnya, ia menatapku dingin seakan-akan tak terjadi apa-apa.

"Aku bisa sendiri....." ucap Aya.

"Aya, aku minta maaf sudah menamparmu...."

"Aku memang pantas dapatkan ini Citra" balasnya lalu meninggalkanku sendiri. Kulihat orang yang sudah tewas dengan luka tembak di kepalanya. Kuperiksa tas yang berada didekatnya, syukurlah ada beberapa kaleng makanan disana dan dua buah pistol. Kuambil tas itu dan meninggalkan orang itu sendiri.

"Aya, Citra. Apa yang terjadi?" kak Sandi menghampiriku. Aku langsung menarik tangannya.

"Ada mayat hidup di lokasi Aya tadi, beruntung ia bisa menghabisinya" kataku bohong. Aku tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya kepadanya.

"Kita harus pergi dari sini kak, mungkin mahkluk itu masih ada disekitar sini" tambahku.

Hari sudah menjelang malam dan kami tak menemukan satupun tempat yang bisa kami gunakan untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah sekali setelah sekian lama berjalan tanpa tujuan. Rasa lapar dan dahaga mulai terasa, Nadila yang dari tadi berada di sampingku mulai mengeluh kepadaku.

"Citra, kita harus kemana sekarang?" tanyanya dengan nada lemah.

"Aku tak tahu...."

"Kamu sudah berkali-kali jawabnya seperti itu. Aku lelah dengan semua ini Citra...." ia membalasnya dengan sedikit emosi.

"Nad, kita tak ada pilihan lain sekarang......"

"Eh Cit, gimana kalau kita bermalam disini? Terlalu berbahaya kalau kita terus jalan pas malam" kata kak Sandi yang berjalan mendekatiku.

"Iya kak, kita bermalam disini dulu"

Singkatnya kami beristirahat didekat pohon besar. Udara dingin mulai menusuk kulit, untungnya kami masih memiliki persediaan makanan dan minuman untuk mengusir rasa lapar dan dahaga, namun saat aku periksa makanan dan minuman itu tinggal sedikit sehingga mau tak mau kita harus mencari lagi besoknya.

Kak Sandi dan kak Andi sedang mengumpulkan beberapa ranting kayu dan kemudian membakarnya sedangkan aku dan Nadila mengambil bungkus makanan dan minuman dari tas. Aku tak mengerti kenapa Aya tidak membantu kami, ia sedang duduk menyendiri tak jauh dari lokasi kami. Tampak ia mengambil sebuah bungkus rokok yang aku yakin berasal dari lelaki yang ia bunuh, lalu Aya menghidupkan rokok itu dan mengisap pelan sampai terbatuk-batuk.

Karena penasaran kuhampiri Aya, ia tak menyambutku saat kudekati dia.

"Aya, kamu gak apa-apa?" tanyaku. Ia tak menjawab dan terus menatap batu besar didepannya. Mukanya tampak masam dan tanpa ekspresi.

"........"

"Ayo Ay, kamu gak boleh jauh-jauh dari sini. Terlalu berbahaya...."

"Aku sudah kehilangan segalanya, Citra....." ucap Aya lirih.

"Aya..... kita semua merasa kehilangan, tidak hanya kamu...."

"Dan apa yang harus kita lakukan sekarang Cit? berjalan tanpa tujuan di hutan ini?" tanyanya menatapku. Kulihat air matanya mulai membasahi kedua bola matanya, aku sangat iba melihat kondisinya.

"Aya.... kita harus kuat hadapi ini semua" kataku.

"Ngomong kayak gitu memang gampang Citra, apa kamu bisa?"

"Pasti bisa, kita tak boleh kayak gini terus Aya. Kita harus kompak!" ucapku tegas.

"Terserah kamu Cit, tolong tinggalkan aku sendiri" balasnya tersenyum sambil kembali mengisap rokok itu.

Kutinggalkan dia dan berjalan kembali ke arah Nadila yang sedang melamun menatap api unggun. Kuhampiri dia dan duduk disampingnya.

"Kamu gak tidur Nad?" tanyaku padanya.

"Gak ngantuk Cit"

"Kau harus istirahat. Besok kita jalan lagi" ucapku sambil mengelus punggungnya.

"Citra, sampai kapan kita begini terus? Aku.... aku tak sanggup lagi...."

"Nad, kamu tak boleh menyerah. Kita pasti bisa hadapi ini bersama-sama...."

"Tapi bagaimana kalau itu tak terjadi? aku tak mau mati sia-sia Citra...."

"Sstttt, jangan ngomong seperti itu. Jangan sampai prasangka buruk itu mengganggumu. Kamu akan jadi lemah nanti" balasku.

"Kamu bener-bener mirip Dino ya"

Aku sedikit tersentak mendengar jawabannya.

"Kenapa Nad? kenapa kamu membandingkan aku sama dia?"

"Sebelumnya dia pernah mengatakan hal yang sama padaku saat di lapangan golf" ucapnya. Air matanya mulai keluar sepertinya ia teringat kembali padanya.

"Hiks... hiks.... Dino.... kenapa kamu tinggalin aku sih... hiks...." ia mulai menangis. Kupeluk tubuhnya dan berusaha menenangkannya.

"Nad, kamu harus ikhlaskan dia ya" kataku. Sebenarnya berat sekali untuk mengucapkannya karena aku juga merasa kehilangan dia. Aku teringat dengan ucapan kak Dino sebelum pertempuran itu yang ternyata itu adalah ucapan terakhirnya.

"Aku titip Dila ya, jaga dia baik-baik"

"Iya kak, aku akan jaga Nadila. Aku janji dia tak akan kenapa-napa"

"Terima kasih, Citra"

Kubendung air mataku yang nyaris keluar. Aku tak boleh menangis di hadapan Nadila, aku harus kuat!

Kami melepas pelukan dan kuusap air mata Nadila yang membasahi pipinya.

"Kita hadapi ini semua bersama-sama ya, aku janji akan terus melindungimu meskipun nyawa taruhannya"

"Citra, apa itu tak merepotkanmu? Selama ini aku selalu berbuat buruk padamu...."

"Udah gak usah dipikirin, kita teman kan? hehe"

*****

"Citra, kamu yakin? aku temenin kamu...." kata kak Sandi.

"Udah gak apa-apa kak, kamu tidur aja biar aku yang jaga tempat ini

"Yaudah kalau itu maumu Cit, tapi kalau udah gak kuat bangunin aku aja. Aku siap jaga nanti"

"Iya kak"

Malam ini aku yang menjaga mereka istirahat, aku duduk di sebuah batu besar tak jauh dari lokasi mereka. Udara dingin cukup menusuk kulit walau aku sudah mengenakan jaket hitam milik kak Dino yang aku pinjam sebelumnya.

Ah, aku jadi teringat kembali pada masa itu dimana aku bertemu dengan kak Dino untuk pertama kalinya. Jalan tol. Dia sedang memeriksa sebuah mobil saat aku dekati dengan menodongkan pistol kepadanya. Akhirnya kami saling mengenal dan akrab sebelum bertemu dengan kelompok kak Galang. Setelah itu juga jalan hidupku berubah dari dulunya aku bersenang-senang menjadi berusaha untuk bertahan hidup dari dunia ini.

Kak Dino mengajariku cara bertahan hidup dan aku senang akan hal itu. Aku jadi mengerti bagaimana menggunakan senjata api yang benar dan cara membunuh mayat hidup tanpa kesulitan. Aku belajar banyak hal dari dia.

Kurasakan air mata ini akan keluar dan tak bisa kubendung lagi saat mengingat kak Dino. Aku terisak menangis sambil kututupi wajahku.

Kak Dino.....

Kenapa kamu pergi secepat ini? Setelah semua yang kita lalui bersama.....

******

PEACE

Jemariku tampak sudah lelah untuk menulis semua yang terekam di kepalaku. Halaman ini sudah penuh dengan tulisan-tulisan, aku tersenyum melihatnya.

Buku harian ini, adalah satu-satunya yang tersisa setelah kak Dino yang telah menolongku pada waktu itu. Untungnya saat itu, aku sempat mengambil buku harianku dan memasukkannya kedalam tasku sehingga aku masih bisa menulis semuanya yang terjadi, setidaknya.

Kak Dino tampak murung melihat bara api. Ia tak mengucapkan satu kata pun dari tadi. Awalnya aku ingin berbicara padanya namun niat itu kuurungkan.

"AAAGHHHHHHH......" aku terkejut saat melihat kak Dino berteriak kencang. Aku tahu dia benar-benar sedang emosi, sejujurnya baru pertama kali aku melihat kak Dino dalam kondisi seperti ini. Ia memukulkan tangannya ke tanah mengekspresikan emosinya sehingga aku merasa sedikit takut padanya.

"Kakak....."

"APAAN, HAH!!"

Aku terkejut melihat respon kak Dino yang berubah sama sekali, seperti orang asing bagiku. Tatapan matanya juga tak seperti biasanya, seolah-olah seperti ada aura merah pada dirinya.

Air mataku tanpa sadar keluar, jujur aku tak suka melihat tatapan kak Dino sekarang, kupalingkan wajahku ke arah berlawanan, aku berusaha untuk tidak menangis walau pada akhirnya usahaku sia-sia.

"Hiks... hiks....."

"Melati..... maaf, aku tadi....." kurasakan pundakku dipegang oleh kak Dino dengan lembut. Nada ucapannya sudah kembali seperti semula, aku menoleh kearahnya dengan mata sembab.

"Kak....." ucapku lirih.

"Maaf sudah buat kamu nangis, Mel" balasnya lembut sekali. Dalam hati aku merasa senang melihat kak Dino berubah seperti yang kukenal selama ini.

"Aku kesulitan mengontrol emosiku...."

"Iya gak apa-apa kak, aku paham sama kondisi kita" balasku sambil menyeka air mata yang masih membasahi bola mataku.

Kami terdiam cukup lama sambil melihat bara api yang masih menyala di malam yang dingin ini. Tubuhku sedikit menggigil merasakan sensasi dingin sehingga aku mengalungkan kedua tanganku dan bergerak sedikit mendekati bara api.

"Kamu kedinginan? ini pakai aja jaketku" kata kak Dino.

"Kakak nggak kedinginan?" tanyaku.

"Udah gak apa-apa, pakai aja"

"Kak, aku gak mau kak Dino kedinginan juga...." sanggahku.

"Aku kuat sama udara dingin Melati, udah pakai aja ini" kak Dino memberikan jaket itu kepadaku, kupakai pakaian ini yang ternyata ukurannya cukup besar. Tampaknya kak Dino menperhatikanku dari tadi.

"Kamu kenapa Mel? lapar?" tanyanya. Aku menatap wajahnya kembali.

"Emmm, enggak kak. Aku ngantuk malahan" balasku.

"Yaudah kamu tidur aja. Aku akan jagain kamu...."

"Tapi kak, kamu juga harus istirahat" kataku.

"Udah gak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan ini"

Aku hanya menggangguk, kututup kedua mataku dan beberapa menit kemudian semuanya menjadi gelap.

*****

"Kak, tujuan kita kemana sekarang?"

"Entahlah Mel, aku bingung"

Pagi harinya kami langsung kembali berjalan menyusuri hutan yang lebat ini. Beruntung aku masih memiliki persediaan makanan di tasku walau itu hanya sebuah biskuit dan makanan kalengan. Aku tahu kami harus menghemat persediaan ini supaya tak cepat habis. Kak Dino menggenggam pisau besar untuk berjaga-jaga kalau ada mayat hidup yang menyerang. Selama perjalanan kami hanya diam saja menikmati setiap langkah kaki ini.

Aku mulai kelelahan yang ditandai dengan langkah kakiku yang semakin pelan. Kak Dino menghampiriku.

"Kamu capek?"

"Emmm, enggak kak. Kita jalan terus aja"

"Kalau capek kita istirahat dulu"

"Udah kak, lanjut aja"

"Beneran?"

"Iya kak"

Namun kak Dino masih tak percaya dengan ucapanku. Sejujurnya aku tak ingin merepotkan dia.

"Tasmu aku bawa aja"

"Iya kak, berat banget lumayan"

Kami kembali berjalan menyusuri hutan berharap kami bisa menemukan jalanan yang bisa dilalui. Entah aku tak ingat sudah sejauh mana perjalanan ini. Sebelumnya kami harus menghadapi mayat hidup yang cukup banyak dan nyaris saja kami terpojok, namun kak Dino dengan sabar mengajariku cara melawan mayat itu sehingga kami berhasil melawan mereka.

"Mel, kayaknya ada papan jalan"

"Iya kak, kita kesana yuk"

"Baiklah"

Kami mempercepat langkah kaki menuju kearah papan jalan itu. Ternyata papan itu adalah petunjuk jalan menuju sebuah pedesaan. Dalam hati aku sangat senang melihat ini.

"Kak, kita selamat ya" kataku kepada kak Dino.

"Semoga saja, ayo kita kesana ikuti jalan setapak ini"

Setelah cukup lama berjalan akhirnya kami menemukan sebuah desa yang sangat kecil sepertinya yang di sekelilingnya masih terdapat pohon-pohon yang rimbun sekali. Desa ini sudah tak ada penduduknya saat kulihat semua kondisi rumah-rumah yang kita lalui.

Kak Dino dan aku berjalan menuju sebuah rumah kecil yang tentu saja sudah ditinggal penghuninya. Ia mencabut pisau besar dari sakunya, untuk berjaga-jaga seperti biasa. Kak Dino memeriksa rumah itu dari luar, sepertinya aman-aman saja.



"Ah, pintunya terkunci Mel" kata Kak Dino saat ia berusaha untuk membukakan pintu.

"Dobrak aja kak"

"Iya, ni aku mau dobrak" kak Dino mengambil ancang-ancang lalu kakinya melesat mendobrak pintu itu hingga akhirnya terbuka.

"Ughhh sakit" ia mengaduh kesakitan.

"Kakak gak apa-apa?" tanyaku cemas.

"Hehe cuma kecetit doang, nanti ilang sendiri sakitnya"

Kami memasuki rumah itu yang ternyata kotor sekali dan berdebu, kututup mulut dan hidungku dengan telapak tanganku. Yah, sepertinya kita harus bersihkan rumah ini sebelum kita tempati nanti.

"Ya ampun kak, debunya banyak banget" keluhku. Jujur aku memang tak sreg melihat ruangan yang kotor.

"Iya Mel, kita bersihkan dulu"

Cukup lama kami membersihkan semua isi rumah ini, debu-debunya cukup sulit untuk dibersihkan mungkin karena sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Setelah susah payah akhirnya tempat ini bersih juga walaupun aku masih merasa belum yakin hehe.

Hari tampaknya berlangsung cepat sekali, tanpa sadar hari sudah menjelang malam. Kak Dino menutup pintu erat-erat supaya tak ada mayat hidup yang masuk. Kami sedang menyantap makanan dan minuman yang masih tersisa, dengan disinari oleh lilin yang aku temukan.

"Udah kenyang Mel?" tanya kak Dino.

"Hmmm belum kak, tapi gak apa-apa kok ini sudah cukup" balasku.

"Besok kita cari makanan ya, aku yakin pasti ada kebun atau kolam yang ada ikannya. Kita bisa ambil ikan disana" kata kak Dino. Aku hanya menggangguk tanda setuju.

"Hmm kasurnya masih enak dibuat tidur Mel" ucap kak Dino sambil memeriksa sebuah kasur yang terbuat dari kapuk.

"Iya juga kak"

"Kamu tidur disini aja, biar aku nanti tidur di lantai"

"Tapi kak, kasurnya muat untuk berdua kok...."

"Biar kamu nyaman, aku di bawah aja"

"Tapi kak...."

"Udah gak apa-apa"

Kulepas celana jeans ini yang menyisakan celana pendek yang aku rangkap sebelumnya. Kubaringkan tubuhku terlentang. Akhirnya kami bisa istirahat di tempat yang semestinya, aku benar-benar senang akan hal itu.

"Udah ngantuk?"

"Iya kak, aku tinggal tidur dulu ya...."

"Hehe selamat tidur Melati...."

CUP

Ia mendekati kepalaku dan mencium keningku dengan lembut sekali, entah kenapa aku merasakan nyaman pada tubuhku. Ia tersenyum di hadapanku.

Senyuman yang aku kenal selama ini....

Kak Dino....

Makasih.....

21. Separated

CREDITS ROLL


"Mas kamu gak capek?"

"Enggak kok, masih kuat hehe"

"Beneran? mending aku yang gantian nyupir, biar mas bisa istirahat dulu"

"Hmmmn yaudah deh, tapi ingat pelan-pelan aja ngegasnya. Biar hemat bensin"

"Siap"

"Oh iya mas, kira-kira kita bisa sampai kesana?"

"Semoga saja, hanya ini satu-satunya harapan kita untuk bisa selamat dari wabah ini"

"Berapa jauh lagi?"

"Kalau aku lihat di peta sih sekitar 40 km dari lokasi kita. Tapi sial juga sih ini jalanannya jelek banget"

"Tapi mas, kalau misalnya kita....."

"Hei, jangan putus asa dulu. Kita akan berjuang untuk sampai kesana. Aku yakin kita bisa sampai kesana...."

"I...iya mas, semoga saja....."
 
Terakhir diubah:
Trivia

Welcome to the breakdown, we'll breakdown all the messed up shit.....

Eh salah server wkwk.

Sebelumnya ane mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah menyemangati ts untuk terus melanjutkan serial ini sampai benar-benar selesai hehe.

Good news is, jelas, cerita ini akan berlanjut terus lebih tepatnya akan ada penambahan 10 episode sehingga totalnya menjadi 30. Akan ada tokoh baru walau tak terlalu signifikan untuk jalan ceritanya hehe.

Bad news is, setelah mikir-mikir ane putuskan untuk mengakhiri cerita ini sampai part 2 saja. Awalnya akan ada 6-7 part di serial ini dan plot besar part 3 sudah ane buat namun karena beberapa alasan hal itu tak akan terjadi. Silahkan kopas cerita ini kalau pengen dijadiin arsip pribadi wkwk.

I need to move on, because i think this story is not good enough.

Ok, let's start:

1. Separated dalam bahasa indonesia artinya "terpisah" mengacu pada kelompok Dino yang saling terpisah dan bertahan hidup.

2. Episode ini..... jujur ane agak struggle untuk nulisnya mungkin karena sudah lama gak nulis wkwk. Banyak sekali revisi-revisi di sana-sini. Diantaranya:
- awalnya episode ini lebih panjang dari yang ane aplod. Mungkin sekitar 14k
- banyak sekali adegan/scene yang ane cut terutama bagian-bagian yang dirasa tak perlu seperti adegan Nadila dan Citra yang lebih panjang seharusnya.
- dan juga ada salah satu POV yang ane cut juga yaitu POV Rachel. Sebenarnya isinya hanya sebatas flashback saat ia merelakan tubuhnya untuk digangbang sama anak buah si Boss demi melindungi adiknya. Yup, ada adegan rape disini yang bisa dibilang cukup brutal.

Dipaksa anal pakai selongsong senjata api, nyepong moncong senjata sampai muntah-muntah, ya seperti itulah.

Kalau penasaran, ane terinspirasi dari film I Spit on The Grave baik versi 1978 maupun remake. Ane ngambil adegan rapenya disana. Silahkan tonton aja filmnya wkwk. (Well, tokoh utamanya kebetulan memiliki nama yang sama wkwk)

At last, dia selamat kok cuma terpisah sendiri aja. Rachel akan kembali muncul di episode 23-24.

Oh iya lupa, kenapa ane ngecut POV Rachel? Alasan klasik, karena kepanjangan dan tidak ada hubungannya sama jalan cerita.

- terakhir, ane juga ngerasa penulisan di episode ini kayaknya sedikit downgrade. Itu menurut ane sih, mungkin untuk pembaca pendapatnya beda dari ane. Silahkan komen saja pendapat kalian hehe.

3. Silahkan cek page 1, ada spoiler dengan nama "Melati's Diary" dan "Music Library". Melati's Diary akan berisikan daftar tulisan-tulisan yang ditulis Melati di buku hariannya. Mulai episode 22 akan ada daftar disana. Isinya tentang penjelasan cerita dari sudut pandang Melati mulai dari awal terjadinya wabah hingga di lapangan golf. Bisa dibilang seperti memperjelas cerita yang tak pernah diceritakan sebelumnya hehe. (Bagian ini terinspirasi dari game Metal Gear Solid V The Phantom Pain, yang menggunakan fitur Casette Tapes untuk memperjelas plot gamenya)
Music Library berisikan lagu-lagu/soundtrack yang ada di cerita ini. Kalian bisa cari lewat YT atau spotipai.

4. Setting episode ini (dan kedepannya) berlokasi di Jawa Tengah

5. Btw, MotoGP musim ini aneh banget ya tanpa kehadiran Marc Marquez, jadi gak ketebak siapa yang akan juara dunia tahun ini. Minggu kemarin sempat down ane gara-gara Embah Rossi jatuh padahal kesempatan emas untuk dapet 200 podium wkwk

Oke cukup sekian untuk sesi trivianya. Seperti biasa, happy reading and have a nice day. Stay safe and stay healthy.

Zeke out.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd