Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
24. The Line

Fear


Kedua mataku terbuka perlahan saat merasakan tubuhku sudah cukup lama untuk istirahat, udara dingin masih terasa walau aku sudah mengenakan jaket. Citra masih tertidur lelap sekali disampingku, ia sepertinya kelelahan setelah melawan mayat-mayat hidup yang sempat menyerang kelompok kami kemarin. Semakin lama aku semakin kagum pada dia yang selalu melindungiku, namun tetap saja aku merasa malu karena selalu bergantung padanya.

Kuregangkan tubuhku berkali-kali sampai terdengar suara tulang yang bergesekan. Kuhirup dalam-dalam udara pagi hari yang sangat segar ini.

Pandanganku tiba-tiba tertuju pada seekor kucing kecil yang sedang berjalan menuju kemari. Kucing itu lucu sekali namun tubuhnya cukup kotor entah kenapa, karena tertarik kudekati kucing itu dengan perlahan.

"Pus pus, sini pus"

Namun kucing kecil itu bergerak mundur saat kudekati, sepertinya ia kelaparan saat kulihat tubuhnya yang kurus dan kotor itu. Aku merasa kasihan karenanya dan memutuskan untuk memberikannya makanan.

Teman-temanku masih tidur sepertinya, aku tahu makanan itu disimpan oleh Aya di tasnya, tanpa pikir panjang kuambil tasnya dan mengambil sekerat daging burung yang masih tersisa saat makan malam kemarin, mungkin segini sudah cukup.

Aku berjalan kembali ke tempat kucing yang masih terdiam sambil menjilati kakinya.

"Pus pus, ini ada makanan buat kamu" ucapku sambil mendekatinya. Awalnya kucing kecil itu berjalan mundur sambil mendesis ketakutan, kuberikan daging burung itu kearahnya. Kucing itu mendekati daging yang tergeletak ditanah dan mengendusnya sesaat lalu memakannya dengan lahap. Hewan itu tampak senang dengan makanan yang kuberikan, kuberanikan diri untuk mendekatinya dan mengelus kepalanya, kucing itu tidak terkejut dan terus memakan makanan itu.

"Lucu banget sih, kamu pasti kepisah sama ibumu ya" ucapku.

"Meong" kucing itu mengeong seolah-olah menjawab ucapanku, lalu ia mendekatiku dan mengeluskan kepalanya pada kakiku.

"Emmmm, kamu suka aku ya? hehe" ucapku sambil mengelus kepalanya. Sudah lama aku tak mengelus kucing semenjak wabah ini terjadi, dahulu aku suka sekali memelihara beberapa kucing bahkan kukasih nama-nama yang menurutku lucu dan menarik. Mungkin aku bisa memelihara kucing ini.

"Nadila!" tiba-tiba Aya memanggilku lalu berjalan mendekat, aku menoleh dan melihatnya.

"Aya, kamu udah bangun....."

"Kenapa kamu ambil makanan tanpa seijinku?" tanya Aya dengan nada emosi. Mendengarnya saja aku jadi sedikit tersentak.

"Maaf Ay, aku....."

"Ya ampun Nad, makanan itu untuk kita. Kenapa kamu kasih ke kucing?" Aya terkejut saat melihat daging burung yang aku ambil dimakan dengan lahap oleh kucing kecil itu. Aya langsung mengusir kucing itu hingga ia berlari ketakutan, melihat sikapnya aku menjadi emosi.

"Kok diusir sih Ay?"

"Kamu yang bodoh, makanan itu sudah susah payah kita cari"

"Tapi Ay, aku mau nolongin kucing itu. Kasihan dia...."

"Tolol banget kamu Nad..." Aya mengumpat padaku yang membuatku semakin emosi, entah kenapa timbul keinginan untuk menampar wajahnya.

"Eh ada apa sih?" Sandi dan Citra berjalan mendekati kami yang sedang beradu mulut.

"Citra, aku tadi ambil makanan sedikit doang buat kukasih kucing tapi Aya malah mengusirnya" kataku kepada Citra.

"Orang kayak gini sebaiknya kita usir aja Cit, menyusahkan aja....."

"Aya, cukup!" Citra memegang tangan Aya "Kamu jangan sekali-kali menyakiti Nadila, tahan emosimu Ay" ucapnya lagi. Aya melepaskan genggaman tangannya lalu pergi begitu saja.

"Nad...." ucap Citra. Aku yang masih emosi karena Aya langsung berkata padanya.

"Aku cuma kasih makanan sedikit aja, emang salah aku nolongin kucing itu...."

"Itu gak salah, tapi sebaiknya kamu ijin dulu ke Aya bukannya asal ngambil Nad" kata Citra, aku menunduk menyesali perbuatanku yang menyebabkan Aya marah.

"Jangan kamu ulangi lagi ya, makanan itu penting untuk kita" ucap Citra lembut, berbeda dengan Aya yang menggunakan nada tinggi tadi.

"Iya Citra, maafkan aku...."

"Kak Sandi, abis ini kita jalan lagi. Kalian makan dulu sama bersih-bersih ya" perintah Citra.

*****

Singkatnya, kami kembali melanjutkan perjalanan yang entah kemana tujuannya. Citra dan Sandi memimpin kelompok kecil ini, sepanjang perjalanan kami hanya terus menyusuri hutan lebat ini tanpa menemukan satupun bangunan rumah atau jalan yang mungkin bisa kita lalui. Untungnya tak banyak mayat hidup yang harus dilawan hanya beberapa buah saja dan dengan mudah kita lawan. Citra terus mengajariku dengan sabar cara melawan mayat itu dengan senjata tajam, lama-lama aku jadi terbiasa menghadapi mahkluk itu walaupun rasa takut ini tetap tertanam dalam diriku.

Kulihat sekilas Aya yang membawa ransel berisi makanan, sepertinya ia masih marah padaku. Ia juga tampak kesulitan membawa tasnya sendiri.

"Aya, aku bawain ya" ucapku padanya. Namun ia tak menoleh dan terus berjalan. Aku kembali mengikutinya dan menawarkan bantuanku.

"Biar aku aja Ay, kamu kayaknya kesusahan bawa tas itu...."

"Udah ah, aku aja!" balasnya kembali dengan nada tinggi seperti sebelumnya.

"Tapi Ay...." kata-kataku terputus saat Aya berjalan meninggalkanku yang kecewa karena sikapnya. Citra menghampiriku dan memberikan botol air minum padaku.

"Nad, kamu jangan ganggu Aya dulu ya, biarkan aja" ucap Citra.

"Aku cuma ingin bantu dia Cit, apa aku salah?" balasku sebal.

"Bukan gitu, dia sedang labil akhir-akhir ini Nad. Kamu harus ngerti" ucap Citra. "Yaudah kita jalan lagi yuk"

"Citra, tujuan kita sebenarnya kemana?"

"Entahlah Nad, aku sebenarnya juga bingung memikirkan hal itu....."

"Aku sudah lelah menghadapi ini semua Citra...."

"Nadila, kita bisa hadapi ini semua kamu jangan putus asa dulu. Aku akan terus melindungimu dan teman-teman lainnya, aku janji" kata Citra mantap, aku semakin kagum padanya.

"Tapi Cit, aku jadi gak enak sama kamu...."

"Udah gak apa-apa kok"

Selama ini memang Citra adalah satu-satunya orang yang terus melindungiku dari berbagai macam bahaya, salah satunya adalah mayat hidup, ia tak pernah sekalipun mengeluh karenanya.

Kami kembali berjalan menyusuri hutan yang tak ada ujungnya sama sekali, cuaca siang ini cukup terik sehingga aku merasakan gerah dan air keringat mulai keluar sedikit membasahi pakaianku.

"Nad, kamu gak apa-apa kan? kalau capek bilang aja" ucap Andi yang berjalan disampingku.

"Aku gak capek kok, tenang aja" ucapku berbohong. Sejujurnya kedua kakiku sudah cukup lelah untuk berjalan apalagi jalan yang kita lewati sedikit mendaki.

"Tasnya aku bawa aja Nad" ucap Andi, aku hanya mengangguk sambil melepaskan tas ransel ini dan memberikannya kepada Andi.

"Makasih" ucapku datar yang dibalas dengan senyumannya. Cukup jarang aku sama Andi saling ngobrol satu sama lain mungkin karena aku sendiri lebih dekat dengan Citra. Sedangkan dengan Aya, entah kenapa ia seperti tak terlalu suka denganku, padahal aku sendiri tidak pernah melakukan hal buruk padanya selain kejadian barusan.

GGRRRRRRHHHHHH

Kami terkejut saat mendengar suara mayat hidup yang tiba-tiba saja terdengar cukup dekat. Dengan cepat Andi dan Sandi mencabut senjata tajamnya dan bersiap melawannya. Rasa takut ini kembali menyerang diriku namun sebisa mungkin aku tahan, tak bisa aku terus menerus takut dalam kondisi ini.

GRRRAAAHHHHHHHH

SRAAKKKKK

Salah satu mayat hidup yang muncul dari belakang posisi kami, Andi dengan cepat menebas kepala mayat itu hingga putus, hampir saja mayat itu menyerangku jika aku tak cepat menghindarinya. Namun sayangnya tak hanya satu saja, beberapa mayat hidup mulai bergerombol dan mengelilingi kelompok kami.

"Ambil posisi melingkar! jangan sampai mahkluk itu menerobos tempat ini!" Sandi berteriak memerintahkan kami mengambil posisi itu. Aku yang masih merasa ketakutan menuruti perintahnya, Citra menggandeng tanganku untuk tetap dekat padanya.

"Nad, tetap dibelakangku ya. Kita bisa hadapi ini" ucap Citra penuh keyakinan dan aku hanya mengangguk saja. Kuambil pisau yang tidak terlalu besar di pinggangku dan menggenggamnya erat-erat. Kuhela napas dalam-dalam untuk bersiap melawan mahkluk itu.

"Oke, kita terus berjalan dan tetap dalam posisi ini"

"Iya kak"

SRAKKKKK

SRAKKKKK

SRAKKKKK

Mayat-mayat itu mulai bergerak kearah posisi ini dan kami melawannya. Kulihat Andi dan Aya dengan berani menebas kepala mahkluk itu hingga tewas seketika, begitu juga dengan Sandi dan Citra. Sedangkan aku sendiri hanya terus berjalan menempel di belakang Citra dengan memegang pisau ini tanpa sekalipun melawan. Di titik inilah aku menyadari betapa pengecutnya diriku.

Tidak Nadila, tidak! kamu bukan pengecut!

Aku harus melawan rasa takut ini! Harus bisa!

Suara-suara mayat hidup itu terus terdengar dan memenuhi rongga telingaku. Entah kenapa aku seperti menemukan energi baru yang memudarkan rasa takut ini, kupejamkan mata sejenak untuk memastikan kalau rasa takut ini akan hilang sepenuhnya.

......

......

......

GGGRAAAHHHHHHHH

Mendengar suara mayat hidup yang sangat jelas, kubuka kedua mataku dan melihat salah satu mayat hidup lolos dari posisi ini dan berjalan menyerangku. Dengan sadar kutusukkan pisau ini tepat kearah dahi mayat hidup yang menyerangku. Tubuhnya terjatuh dan tewas didepanku, kucabut kembali pisau itu dan memercikkan darah yang menyembur membasahi lenganku. Waktu seperti berhenti begitu saja saat melihat mayat hidup yang sudah kubunuh.



"Nadila......"

"Nad....."

"NADILA..... hei, kamu gak apa-apa?" Citra memegang pundakku.

"Iya Cit, aku gak apa-apa....."

GRRAAAHHHHHHH

"Aaahhhhhhhhh......." Aya berteriak kencang saat salah satu mayat hidup mendorong tubuhnya hingga jatuh ke tanah. Dengan cepat aku bergerak menuju kesana dan berusaha menyingkirkan mayat yang menindih tubuh Aya.

"Hhhgggggg"

Beruntung mayat itu mungkin memiliki bobot yang ringan sehingga dengan mudah bisa kusingkirkan, tanpa pikir panjang kulesakkan pisau ini kearah kepala mayat itu berulang kali hingga benar-benar mati.

SRAKKK

SRAKKK

SRAKKK

Aku menghela napas panjang setelah berhasil menghabisi mayat itu, tubuhku sedikit bergetar saat menyadari rasa takut ini kembali berusaha menguasai diriku. Darah yang keluar dari luka itu seakan-akan menyihirku untuk terus melawan rasa takut ini.



"Nadila....." terdengar suara lirih Aya.

"Eh, emmmm. Kamu gak apa-apa Ay?" aku tersadar mendengar ucapannya.

"Iya, makasih Nad" ucapnya.

"Ayo kawan, kita harus jalan terus. Mayat-mayat itu masih ada disekitar sini" Sandi menyuruh kami untuk pergi dari tempat ini, aku langsung berdiri dan membantu Aya untuk berdiri lalu pergi meninggalkan tempat ini.

Kami terus berjalan dengan cepat mengikuti Sandi dan Citra. Kami terus menghabisi mayat-mayat yang berusaha mengejar kami, rasa lelah dan kucuran peluh mulai membasahi diriku namun kuabaikan saja dan terus melawan mahkluk itu. Pada akhirnya kami berhasil lolos dari mereka namun kami terus berjalan cepat.

"Hahhh hahhh hahhh, kalian tak apa-apa?" ucap Sandi kepada kami.

"Iya aku hahhh hahhh.... gak apa-apa" ucapku. Citra mendekatiku dan memelukku dengan erat.

"Kita berhasil Nad...."

"Iya Cit"

*****

Setelah cukup lama berjalan kami tiba di sebuah stasiun kereta kecil yang tentu saja sudah tidak digunakan, kami berjalan perlahan memasuki tempat itu dengan penuh kewaspadaan.



"Nad, kamu tetap bersamaku ya"

"Emm, oke"

Kami berjalan pelan memeriksa stasiun kereta yang sudah terbengkalai ini, cukup banyak gerbong-gerbong kereta yang terparkir di sana-sini termasuk gerbong penumpang. Kami memutuskan untuk berpencar untuk memeriksa seluruh tempat ini. Aku, Citra dan Andi memeriksa bangunan stasiun ini sedangkan Sandi dan Aya berjaga-jaga diluar.

Kondisi stasiun ini tampak sangat kotor dan berdebu, bahkan banyak sekali rumput-rumput liar yang tumbuh di lantai. Kugenggam pisau ini dengan erat untuk berjaga-jaga kalau ada mayat hidup yang harus dihabisi, tanganku masih berlumuran darah mayat itu dan menimbulkan bau anyir namun aku abaikan saja.

"Kak, gimana?" ucap Citra kepada Sandi yang sedang membuka lemari tempat karcis kereta.

"Tak ada yang bisa kita gunakan Cit, kosong semua" balas Sandi.

"Cit, aku coba periksa tempat itu" kataku sambil menunjuk kearah pintu.

"Nadila, hati-hati"

Aku berjalan perlahan menuju pintu yang aku tunjuk tadi, dengan hati-hati kupegang gagang pintu itu dan membukanya perlahan. Sepertinya tak ada mayat hidup didalam sini, karena gelap kuhidupkan senter yang kubawa.

"Ah, makanan" ucapku sendiri saat menemukan beberapa bungkus makanan yang tersimpan di lemari. Kuperiksa bungkus snack dan melihat tanggal kadaluarsanya. Sialan, tanggalnya sudah lewat sehingga makanan ini tak mungkin bisa dimakan.

Aku kembali menyusuri ruangan ini dan mencari benda atau makanan yang bisa dimakan, namun aku terkejut saat melihat salah satu benda yang cukup besar. Aku tersenyum senang melihat benda ini dan langsung memberitahukan mereka.

"Citra, aku nemukan galon air" kataku.

"Benarkah? syukurlah kalau gitu" balas Citra senang. "Beruntung banget ada air minum disini"

"Kayaknya ruangan yang aku periksa itu tempat penyimpanan makanan Cit, sebenarnya ada beberapa bungkus snack tapi sudah kadaluarsa"

"Kita masih ada persediaan makanan kok, cukup untuk beberapa hari kedepan. Ayo Nad, kita ambil galonnya" pinta Citra yang kubalas dengan anggukan.

*****

Malam harinya kami memutuskan untuk bermalam di bangunan stasiun. Aku, Citra dan Aya sedang sibuk mengambil beberapa makanan dalam ransel sedangkan Andi dan Sandi sedang membuat api unggun dari kayu-kayu kering yang mereka temukan tak jauh dari tempat ini. Setelah api unggun itu jadi kami menyantap makanan yang sudah dihangatkan terlebih dahulu, kulahap makanan itu untuk mengembalikan energi yang sudah terkuras habis akibat pertempuran tadi. Kulihat Aya berjalan mendekatiku dan duduk disampingku, raut wajahnya tampak lebih ramah dari sebelumnya.

"Nadila...."

"Eh, Aya. Ada apa?" tanyaku ramah.

"Aku.... aku minta maaf karena sudah kasar sama kamu tadi pagi...." ucap Aya "Aku tak bisa ngendaliin emosiku Nad, aku minta maaf....."

"Udah gak apa-apa Aya, aku udah maafin kamu kok" balasku. Aya tersenyum mendengar ucapanku lalu memelukku erat.

"Terima kasih juga sudah nolongin aku Nad...."

"Hehe kita kan temen Ay, harus saling tolong menolong"

"Iya ya haha" Aya melepas pelukannya dan tampak matanya sembab oleh air matanya.

"Mungkin kita bisa cari kucing di sekitar sini Nad, terus kita pelihara" kata Aya sambil mengusap air matanya.

"Hmmm bisa juga Ay, tapi apa emang ada kucing disini? hahaha"

Kami tertawa bersama sambil menyantap makanan, aku senang melihat Aya yang sudah kembali akrab denganku.

*****

Malam sudah semakin larut namun kedua mata ini tak bisa terpejam, entah kenapa aku masih teringat dengan peristiwa tadi. Aku masih tak menyangka bisa melawan mayat-mayat itu.

"Nad, belum tidur ya?" terdengar suara Citra yang tampaknya juga belum tidur sama sepertiku.

"Iya, susah merem" balasku. Citra membetulkan posisi tidurnya dan sekarang ia menatapku.

"Kamu hebat Nad, bisa ngelawan mayat-mayat itu tadi"

"Emmm entahlah Cit, sepertinya ada naluri yang mulai tumbuh dalam diriku" kataku. Citra tampak penasaran sepertinya.

"Kamu mirip denganku Nad, pas pertama kali wabah ini menyerang aku juga benar-benar takut sama mayat hidup" kata Citra. "Jangankan membunuh, melihatnya aja aku sudah takut banget. Namun lama-lama aku mampu terbiasa menghadapi mereka" tambahnya.

"Citra, aku jadi keinget Dino...." kataku sambil membetulkan posisi tidurku. "Waktu kamu sama Dino, apa aja yang kalian sudah hadapi?"

Citra terkejut mendengar perkataanku, ia terdiam sejenak.

"Dia.... dia yang mengajariku cara bertahan hidup Nad, hingga aku bisa melawan mahkluk itu sampai sekarang" ucapnya lirih, aku menyadari kalau ia memang menyayangi Dino, begitu juga aku.

"Aku kangen Dino, juga Gaby....." kataku lirih, air mata ini mulai mengalir tanpa aku sadari.

"Iya Nad, aku juga kangen sama teman-teman kita...."

"Susah banget ngelupain dia Cit, semakin aku berusaha untuk lupa justru hati ini semakin tersayat....." aku mulai terisak namun berusaha untuk tidak menangis.

Kami terdiam cukup lama mengingat semua kenangan dari teman-teman yang sudah mendahului kami.

Udara dingin mulai berhembus menimbulkan rasa dingin walau aku sudah mengenakan jaket, sesekali kugosok kedua telapak tanganku berusaha untuk memberikan rasa hangat namun tetap saja udara dingin itu terus menerus menyerang tubuhku.

"Dingin ya Nad" ucap Citra.

"Iya hehe"

"Aku peluk ya biar anget"

"Eh...."

Belum selesai aku berkata, Citra mendekatkan tubuhnya dan kami saling bertatapan. Ia tersenyum kearahku.

"Udah gak apa-apa"

"Tapi Cit...."

Tangannya mulai bergerak melingkari perutku, rasa geli mulai menerpa diriku, aku yang masih merasa canggung berusaha untuk melepaskan tangannya namun ia terus memelukku dengan erat. Sebenarnya aku tidak marah dengannya namun hanya merasa canggung saja.

Kedua wajah kami kembali saling bertatapan, mata Citra yang sendu itu seakan-akan menyihirku.

"Kenapa? kamu belum pernah dipeluk cewek ya?" tanyanya lembut.

"Emmm, pernah sih tapi gak sering aja" balasku.

"Hehe, tapi badanmu udah kerasa hangat?" tanyanya lagi.

"Iya Cit, badan kamu hangat" balasku malu, lambat laun aku mulai terbiasa dengan pelukan darinya yang terasa semakin nyaman. Aku membalasnya dengan melingkarkan tanganku kearah pinggangnya sehingga kami benar-benar saling berpelukan. Dengusan napasnya sedikit terasa pada kulit wajahku.

"Biasanya kalau pas malam-malam gini kalau gak bisa tidur ngapain aja Nad?" tanya Citra.

"Emmm, iseng-iseng main gitar sampai ngantuk" jawabku.

"Ohh gitu"

"Dan kamu?"

"Kadang baca-baca buku, dengerin lagu, main hp sampai ngantuk haha" Citra tertawa pelan. "Kamu kangen ya main gitar Nad?"

"Iya Citra, udah dua kali gitarku hilang selama ini....." ucapku datar.

"Nanti kalau sempat, aku akan carikan gitar lagi untuk kamu"

"Benarkah? tapi dimana?" tanyaku senang mendengarnya.

"Ya semoga saja besok kita bisa keluar dari tempat ini. Syukur-syukur bisa nemukan kota kecil gitu" balasnya.

"Makasih Cit" ucapku sambil memeluk tubuhnya lebih erat. Aku tersenyum bahagia, dan dengan sadar kukecup bibirnya beberapa saat. Citra tampak terkejut dengan perbuatanku.

"Nadila, kenapa?" tanyanya heran saat bibir kami terlepas.

"Emmm, maaf...." balasku malu karena sudah sengaja mencium bibirnya, namun entah kenapa dalam hati aku senang melakukannya.

Kami terdiam cukup lama sambil terus berpelukan, kedua mata Citra berputar-putar seperti kebingunan sedangkan aku hanya melihatnya saja tanpa berkata-kata. Tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa kami, semakin mendinginkan kedua tubuh kami. Dengan refleks kueratkan pelukannya dan Citra melakukan hal yang sama.

"Makin dingin Cit" ucapku.

"Peluk aja yang kenceng Nad..."

"Kan udah kenceng ini, tapi masih dingin...."

"Iya juga sih, aku juga ngerasa"

"Emm, Citra?"

"Iya Nad?"

Ucapanku terhenti, apa aku harus melakukan hal itu lagi?

"Aku.... aku boleh cium kamu lagi?"

Awalnya Citra terkejut mendengar perkataanku, ia terdiam sejenak sepertinya sedang memikirkan hal itu.

"Ngggg, Nad? kamu emppphhh"

Kucium bibirnya kembali tanpa mendengar ucapannya barusan, dengan sadar bibirku bergerak-gerak menyusuri permukaan bibirnya dengan perlahan. Seperti tadi, Citra terkejut dengan perbuatanku yang tiba-tiba ini namun lambat laun ia membalas kecupan bibirku. Hembusan napasnya yang pendek itu menerpa wajahku, sepertinya ia menikmatinya.

Tangan kananku terlepas dari pelukannya dan mulai mengelus pipinya lembut. Suara desahan pelan mulai terdengar sayup-sayup dari celah bibir kami yang berpagutan. Kami mulai hanyut dalam cumbuan bibir dan rasa hangat mulai terasa dalam tubuhku. Karena penasaran kujulurkan lidahku kedalam rongga mulut Citra dan berusaha menari-nari bersama lidahnya yang masih pasif, sepertinya ia mulai keenakan yang ditandai dengan tubuhnya yang mulai bergerak-gerak menggesek tubuhku dalam pelukannya.

Kedua mata kami terpejam menikmati setiap cumbuan bibir dan tarian lidah kami selama beberapa saat. Entah kenapa suasana malam ini berubah menjadi mesra, rasa dingin yang menyerang tubuh kami sudah mulai memudar diganti dengan rasa hangat yang menjalar. Karena napas yang mulai menipis kami melepaskan bibir, juntaian air liur terbentuk memanjang saat bibir kaki terlepas. Kuseka bibirku yang terlapisi air liur dengan punggung tanganku.

Kami terdiam beberapa saat sambil saling menatap satu sama lain.

"Enak?" tanyaku dengan memasang senyuman pada bibirku.

"Emmm, iya" balasnya datar namun dengan nada senang.

"Aku tak mau kehilangan kamu, Citra" ucapku lirih sambil mengencangkan pelukan tubuhnya. Kedua matanya membulat sedikit berkaca-kaca mendengar perkataanku.

"Aku juga Nad, aku tak mau kehilangan kamu" balasnya. "Kita hadapi ini bersama-sama ya. Buang rasa takutmu mulai sekarang"

"Iya Cit, aku janji"

"Hehe, tidur yuk. Aku udah mulai ngantuk"

"Dih, pas udah ciuman malah ngantuk. Dasar hehe" kucubit pinggangnya karena gemas.

"Ihhh Nadila, sakit"

"Hihihi"

*****

Pagi hari setelah memakan makanan yang masih ada, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sandi memutuskan untuk mencoba mengikuti jalur rel kereta, menurutnya kita bisa menemukan kota dengan mengikuti rel ini. Aku dan kawan-kawan yang lain setuju dengan rencana Sandi.



Sudah cukup lama kami berjalan menyusuri rel kereta ini, namun seperti biasa kami belum menemukan satupun bangunan ataupun jalan raya yang bisa kami lewati. Kami sempat menemukan sebuah kereta api yang berhenti pada jalur kereta ini dan kami terkejut ada beberapa mayat hidup yang keluar dari salah satu gerbong. Berkat kerjasama kelompok kami dapat melawan mereka dengan cukup susah payah. Aku sendiri sudah mulai berani melawan mayat-mayat itu dan menghabisinya beberapa buah. Rasa takut yang terpendam dalam diriku sudah sirna diganti dengan rasa benci terhadap mayat hidup, setiap percikan darah yang tercipta dari sabetan pisauku semakin memacu adrenalinku.

Ah satu lagi,

JLEB

Awalnya kudorong mayat hidup wanita itu hingga ia menempel pada gerbong kereta lalu dengan cepat kutusukkan pisauku kearah kepala mayat itu hingga tewas.

"Ayo Nad, kita harus jalan lagi" bujuk Citra yang kubalas dengan anggukan.

Perjalanan ini semakin tak menentu saja, di depan cukup banyak mayat-mayat hidup yang berjalan menghalangi kami sehingga sekali lagi kami harus melawan mereka. Sekarang justru aku sendiri yang melindungi Citra saat ia kesulitan melawan mahkluk itu.

Percikan darah, peluh dan lelah menyelimuti kelompok ini namun kami tak akan menyerah untuk terus bertahan hidup.

*****

"Kak Sandi, kayaknya disana ada jalan raya deh"

"Sepertinya iya Cit, ada palang pintu kereta. Ayo kawan kita jalan kesana"

Aku dan teman-temanku telah sampai di palang pintu kereta api dan juga menemukan jalan raya yang sangat sepi. Kami memeriksa setiap kendaraan yang terbengkalai di sisi jalan untuk mengais barang-barang yang mungkin masih bisa digunakan.

"Kamu nemukan apa Ay?" tanyaku penasaran saat Aya menjebol bagasi mobil dan membuka tas besar.

"Pakaian sih ini" balas Aya. "Sama ada beberapa obat-obatan dan botol minum" tambahnya.

"Mereka pasti sengaja ninggalin barang-barang disini" ucapku.

"Ya mungkin aja Nad, yang penting kita beruntung bisa dapet pakaian hehe" balasnya. "Wah, ada cardigan Nad" Aya mengambil sebuah cardigan berwarna hitam dan menunjukkannya kearahku.

"Kayaknya bagus sih ini" kataku kalau melihat merek yang tertanam pada pakaian itu.

"Udah lama banget gak pakai ini Nad haha" tawa Aya sambil mencoba mengenakan cardigan itu. Ia tampak cantik sekali dengan pakaian baru yang ia temukan.

"Ini Nad coba aja" Aya melepaskan cardigan itu dan memberikannya padaku. Aku langsung mencoba mengenakan pakaian itu.

"Gimana?" tanyaku kepada Aya.

"Bagus, cantik haha" balas Aya dengan tawanya yang khas.

"Eh, kalian ngapain? nemuin apa aja?" celetuk Citra berjalan mendekati kami.

"Ini Cit, ada banyak pakaian disini" ucap Aya.

"Ya ampun Nad, kamu cantik banget pakai cardigan itu" puji Citra.

"Biasa aja Citra haha, aku jadi malu"

Setelah memasukkan barang-barang itu ke tas ransel, kami berjalan menyusuri jalan raya ini. Untung saja tak ada mayat hidup yang menyerang kami sehingga perjalanan ini bisa dibilang lancar-lancar saja. Kedua kakiku mulai terasa lelah namun kutahan dengan sekuat tenaga melihat teman-temanku yang sepertinya belum merasakan lelah.

Entah sudah berapa kilometer kami menyusuri jalan aspal ini, kuteguk botol air minum yang masih tersisa untuk menghilangkan rasa dahaga ini.

"Citra, kayaknya di depan ada bangunan sepertinya bekas pabrik. Kita coba kesana gimana?"

"Hmmm gimana ya, terserah kakak aja"

"Oke, kita coba kesana sekalian istirahat dulu....."

GGGRRAHHHHHH

GGGRRRJHHHHH

Kami terkejut mendengar suara mayat hidup yang sepertinya berjumlah cukup banyak, mahkluk-mahkluk itu tiba-tiba saja muncul sisi kanan dan kiri dan berjalan bergerombol mendekati kami. Aku terkejut melihat mereka yang benar-benar berjumlah banyak, rasa panik mulai melanda diriku.

"AYO, KITA HARUS JALAN TERUS KE BANGUNAN ITU. KITA PASTI BISA MENGHINDARI MEREKA" teriak Sandi. Kami berusaha berlari mengikuti dia hingga akhirnya kami sampai di sebuah pagar yang mengelilingi bekas pabrik ini.

Sandi berusaha membukakan pagar ini namun sialnya pagar tersebut terkunci dengan gembok besar yang tak bisa dilepas. Mayat-mayat itu semakin dekat berjalan kearah kami, kucabut kembali pisau besar dari pinggangku untuk bersiap melawan mereka walau aku cukup pesimis karena jumlah mereka yang banyak.

"Kak, coba tembak aja gemboknya" ucap Citra.

"Senjataku pelurunya abis Cit...." balas Sandi panik.

"Aku masih punya San, pakai aja" Andi menyodorkan senjata api laras panjangnya "kayaknya masih ada sedikit peluru"

"Oke, kalian minggir dulu. Aku tembak gemboknya"

Sandi mengokang senjata api itu lalu menekan pelatuknya berulang kali, suara senjata api itu terdengar cukup keras sehingga aku harus menutup kedua telingaku.

DOR

DOR

DOR

CLANG

"Akhirnya, ayo cepat kawan" Sandi menendang pintu pagar itu dan menyuruh kami untuk masuk. Ia menembakkan senjatanya berulang kali saat beberapa mayat hidup mulai berjalan cepat kearah kami. Sandi langsung menutup pintu pagar itu setelah membereskan beberapa mayat hidup.



"Ayo, ikuti aku"

Kami berjalan cepat mengikuti Sandi, ia mendobrak salah satu pintu bangunan itu lalu kami masuk kedalam. Suara-suara mayat itu masih terdengar cukup keras diluar, aku berjalan di belakang Citra dengan sikap waspada sambil membawa senjata tajamku.

BRAKKK

"HEI KALIAN, ANGKAT TANGAN!" tiba-tiba kami terkejut saat mendengar suara yang cukup keras, sosok manusia itu menodongkan senjata apinya kearah kami lalu diikuti dengan orang-orangnya yang juga menodongkan senjata apinya.

"Ka... Kalian...." sosok itu berkata saat berjalan mendekati kami, aku tak tahu kenapa. Sandi tampak terkejut melihat siapa sosok itu.

"Sandi...."

"Gaby...."

_________________________​

Brave

"Gaby, awas belakang kamu!"

Aku berteriak saat melihat salah satu mayat hidup lolos dari pandangannya dan mulai menyerang Gaby. Ia terkejut dan langsung menghindari serangannya, lalu aku melangkah maju dan mengayunkan senjataku ini kearah kepala mayat hidup itu hingga jatuh terhempas. Kupukulkan kepala itu berulang kali hingga nyaris hancur untuk memastikan mahkluk itu benar-benar mati.

"Kamu gak apa-apa Gab?" tanyaku kepada Gaby.

"Iya, aku gak kenapa-napa. Makasih Nin"

SRAKKK SRAKKK

SRAKKK SRAKKK

Suasana disini semakin mencekam saja, kami terjebak di sebuah ruangan yang dipenuhi mayat-mayat hidup saat memeriksa bangunan yang dulunya adalah gedung losmen kecil. Sepertinya mayat-mayat itu memang sudah lama terjebak disini. Kami saling bekerja sama melawan mahkluk itu namun tenaga mereka seperti tak ada habisnya, tidak seperti kita yang bisa merasakan lelah karena habis tenaga.

"Ahhhhhhhhh" saat melawan salah satu mayat hidup aku mendengar teriakan Toni yang terpojok saat melawan mahkluk itu. Dengan cepat aku berlari menuju kesana.

"Anin, kamu minggir" ucap Gaby sambil mengangkat senjata shotgunnya kearah mayat-mayat yang menyerang Toni.

BLAM

Gaby menembakkan shotgunnya dengan satu tembakan, mungkin karena jenis pelurunya yang berbeda dari biasanya sehingga tiga mayat hidup yang menyerang Toni itu langsung terhempas jatuh. Ia dengan cepat menancapkan pisau besarnya kearah kepala mayat yang masih hidup hingga tewas. Gaby menghampiriku sambil membawa shotgunnya.

"Pelurumu tinggal berapa Gab?" tanyaku.

"Empat kayaknya" balas Gaby tegang.

"Dihemat aja Gab, sebisa mungkin kita lawannya pakai senjata tajam aja"

"Iya Nin, amunisi kita benar-benar tipis sekali. Aku terpaksa nembak tadi buat nolongin Toni....." balasnya sambil menghampiri Toni yang masih syok karena kejadian tadi.

"Anin, kita harus pergi dari sini. Mayat-mayat itu terlalu banyak kita tak bisa menghabisi mereka semua" Galang memegang tanganku, aku mengangguk tanda setuju.

"Gaby, Toni kita harus pergi sekarang" perintahku kepada mereka. Kami berlari berusaha keluar dari bangunan ini, kulihat Galang dan Fidly menembakkan senjata apinya kearah kerumunan mayat hidup.

Kelompok kami kembali memasuki hutan setelah berlari cukup jauh dari bangunan itu. Rasa lelah yang teramat sangat menyerang seluruh tubuhku begitu juga mereka, kepalaku mulai terasa pusing karena kelelahan dan tubuhku terhempas ke tanah. Gaby yang menyadari hal itu langsung memegang tubuhku yang nyaris ambruk.

"Anin.... Anin kamu kenapa?" terdengar suara sayup-sayup Gaby yang panik melihat kondisiku, pandangan mata ini mulai berangsur-angsur gelap.

......

......

......

Mungkin aku sudah cukup lama pingsan saat membuka kedua mataku, wajah Gaby dan Galang langsung terlihat jelas dan tampaknya mereka cemas melihatku.

"Ughhhh, pusing....." aku mengeluh saat mencoba untuk berdiri. Gaby langsung mencegahku.

"Jangan berdiri dulu Nin, ya ampun" ucap Gaby cemas. "Lang, kamu punya air minum?" tanyanya, Galang mengambil satu botol air yang sepertinya tinggal sedikit.

"Anin, ini minum dulu" ucap Galang.

"Tapi... ini tinggal dikit Lang...." balasku lemah.

"Udah gak apa-apa, yang penting adalah kondisi kamu sekarang" kata Galang, kuambil botol air minum itu dan kuteguk beberapa kali. Kuhirup napas dalam-dalam berusaha untuk memulihkan tenagaku. Gaby masih terlihat cemas melihatku.

"Nin, kamu gak......"

"Enggak kok, aku cuma kelelahan aja" balasku memotong omongan Gaby, aku yakin ia akan bilang kalau aku tergigit mayat itu.

"Hahhh syukurlah kalau begitu. Kamu istirahat dulu aja Nin" ucapnya.

"Tapi, kita harus jalan terus Gab. Kita tak akan aman kalau berdiam disini" kataku.

"Anin, gak usah khawatir. Kita ada di bangunan seberang. Aku sudah cek semua tempat ini dan aman" kata Galang sambil mengelus pipiku, aku merasa nyaman dibuatnya dan mengangguk.

"Oke, karena hari sudah mau gelap kita bermalam dulu disini"

*****

Malam harinya kami menyantap makanan yang tersisa, sebenarnya persediaan makanan ini sudah sangat menipis sehingga mau gak mau kami harus berbagi makanan tersebut. Memang tak ada jalan lain, kita harus kembali mencari makanan besoknya.

"Ini Nin, separo buat kamu" ucap Gaby sambil menyodorkan daging bakar kepadaku.

"Udah Gab buat kamu aja" aku menolaknya.

"Aku udah cukup Nin, udah terima aja" Gaby terus merajukku "kamu kelelahan tadi, harus banyak makan, ayo Nin terimalah" tambahnya. Aku hanya mengangguk saja dan mengambil keratan daging itu lalu memakannya.

Setelah makan kami beristirahat di bangunan bertingkat yang dulunya adalah bekas rumah penduduk sekitar sini. Setelah kulihat sekeliling rumah ini cukup terawat dan memiliki perabotan yang bagus.

"Hmmm mewah juga, ada tv layar gede juga" ucapku sendiri saat melihat sebuah televisi yang cukup besar. Karena gelap kuhidupkan senter, aku kaget saat melihat Gaby yang juga sedang melihat-lihat isi rumah ini.

"Ngapain Gab?" tanyaku penasaran.

"Lihat-lihat doang, sama kayak kamu" ucapnya santai sambil membuka lemari yang ternyata kosong.

"Mungkin di rumah ini ada pakaian yang bisa kita pakai Nin, lumayan" tambahnya.

"Iya juga sih, aku udah gerah pakai baju ini"

Kami berjalan memasuki kamar tidur yang cukup berantakan dan berdebu, aku sampai menutup mulutku supaya debu itu tidak menghambat saluran pernapasanku. Gaby mencoba untuk membuka lemari besar namun sayangnya terkunci.

"Biar aku buka" ucapku. Kuambil pisau besar dari pinggangku dan menusukkannya ke celah pintu lemari, lalu dengan sekuat tenaga kudorong pisau itu berharap pintu lemari itu dapat terbuka

KRAK

"Akhirnya kebuka juga"

Kucabut pisauku yang ternyata sedikit bengkok akibat perbuatanku, Gaby memeriksa lemari itu dan menemukan beberapa pakaian yang masih tertata rapi. Tak hanya itu saja, ia juga menemukan beberapa pakaian dalam wanita lengkap dengan bra, aku tersenyum senang melihatnya.

"Kamu mau pilih baju yang mana Nin?" tanya Gaby.

"Terserah yang penting bisa dipakai haha" balasku.

Singkatnya kami berdua sibuk memilah-milah pakaian mana yang akan kita pakai. Sepertinya Gaby lebih selektif memilih mungkin karena ukurannya. Sedangkan aku sendiri tak masalah asal tidak kekecilan, setelah merasa yakin Gaby melepaskan bajunya tepat dihadapanku menampilkan bra berwarna hitam yang masih menempel lalu mengenakan pakaian yang baru. Jujur aku sedikit terkesima melihat tubuhnya yang cukup bagus dan indah.

"Kenapa Nin? hehe" kekeh Gaby sadar kalau aku dari tadi memperhatikannya.

"Eh, gak apa-apa kok" balasku lalu mengambil salah satu baju.

"Enak sih ini, agak longgar tapi" ucap Gaby, ia mengenakan baju berkerah berwarna kuning. Ia tampak cantik dengan baju barunya. Lalu kulepaskan baju ini dan memakainya dengan yang baru, kaos oblong berwarna merah polos. Agak ngepas sebenarnya.

"Gimana?" tanyaku pada Gaby.

"Bagus" balasnya.

"Kita enak banget ya, nyari baju tinggal ambil doang. Gak kayak dulu harus beli pakai uang"

"Haha benar juga. Beruntung banget kita"

Singkatnya kami mengepak semua pakaian yang tersisa kedalam tas besar lalu memberikannya kepada Galang. Ia terlihat senang dengan temuan kita lalu mencoba semua pakaiannya. Toni dan Fidly mengambil baju berkerah sama seperti Gaby sedangkan Galang mengambil kaos oblong.

Malamnya hujan turun cukup deras namun aku tak dapat memejamkan mata. Sebelumnya kami sempat melakukan hubungan badan sebelum tidur namun mungkin karena kelelahan Galang keluar lebih cepat, walau begitu aku bisa memakluminya. Kulihat Galang sudah tertidur lelap disampingku dengan guratan bibirnya yang datar. Mungkin aku harus kembali memeriksa rumah ini untuk menimbulkan rasa kantuk, siapa tahu disini masih ada barang-barang yang mungkin berguna bagi kelompok kami.

Kuambil pisauku yang sedikit bengkok lalu berjalan perlahan keluar ke ruang tamu. Dengan senter ini kusinari beberapa tempat yang belum sempat diperiksa, karena penasaran kubuka pintu ini dengan perlahan. Ah, ternyata sebuah kamar tidur yang ukurannya lebih kecil dari yang temukan tadi. Sepertinya ini adalah kamar untuk anak-anak saat kulihat beberapa mainan yang berserakan di lantai. Aku tersenyum kecil melihat salah satu boneka beruang yang lucu dan menggemaskan, teringat saat sebelum bencana ini aku suka mengoleksi bermacam-macam boneka.

Setelah merasa bosan kututup pintu kamar ini dan berjalan meyusuri selasar rumah.



"Apa itu?" kataku sendiri saat menemukan sebuah pintu di pojok selasar. Karena penasaran kudekati pintu itu dan mencoba untuk membukanya. Ternyata tak dikunci.

Tanpa pikir panjang kumasuki ruangan didalam. Hanya ruangan kosong tanpa satupun benda-benda, namun setelah kusinari dengan senter aku menemukan sebuah pintu kecil yang tertanam di lantai. Sebelumnya aku tak pernah melihat pintu jenis ini, kucoba untuk membuka pintu aneh ini dengan perlahan.

"Anin"

"HHAH"

Aku terkejut saat mendengar suara yang berasal dari luar pintu. Saat kusinari ternyata Gaby.

"Anjing Gab, kaget aku....."

"Kamu ngapain disini?" tanya Gaby berjalan mendekatiku.

"Dan kamu juga ngapain disini?" tanyaku balik.

"Aku tadi lihat kamu keluar, jadi aku ikutin kamu dah" balas Gaby.

"Yaelah, kamu gak tidur?" tanyaku.

"Gak bisa tidur Nin, awalnya aku mau bangunin kamu buat ngobrol-ngobrol tapi kamunya malah jalan-jalan"

"Okelah, sama berarti"

"Hmmm itu apa Nin?" tanyanya.

"Entahlah, aku belum pernah melihat pintu ini sebelumnya. Aku mau periksa kedalam, kamu mau ikut gak?"

"Yaudah deh"

Aku coba untuk membuka pintu itu namun cukup berat, sehingga kami bersama-sama berusaha membuka pintu itu dan berhasil. Tampak undakan tangga didalam, sepertinya ini adalah ruangan bawah tanah. Kami berjalan dengan perlahan masuk ke dalam. Suasana didalam cukup mencekam entah kenapa, namun tak menggentarkan rasa ingin tahuku untuk memeriksa ruangan bawah tanah ini.

"Nin, gelap banget"

"Tenang aja, kalau takut gandeng tanganku nih" ia langsung mengenggam tanganku.

"Hmmm kira-kira disini ada apa aja?" tanya Gaby.

"Entahlah"

Ruangan bawah tanah ini memiliki dua pintu yang tertutup rapat, aku memutuskan untuk membuka salah satu pintu di sisi kiri. Kucoba untuk membuka pintu itu dan langsung masuk kedalam, ternyata ini adalah gudang. Terlihat barang-barang bekas dan beberapa kardus yang menumpuk di sisi ruangan ini. Tempat ini cukup berdebu dan sedikit berbau busuk.

"Ughh bau banget Nin" keluh Gaby sambil menutup mulutnya.

"Yaudah deh disini gak ada apa-apa. Kita cek pintu satunya.

Singkatnya kami keluar dari ruangan itu dan menuju ke pintu terakhir, saat kucoba untuk membuka ternyata pintunya terkunci. Karena penasaran kucoba untuk mendobrakkan pintu itu dengan kakiku. Awalnya cukup susah namun dengan sekuat tenaga kutendang pintu itu keras-keras.

BRAKKK

"Ughhhh bau banget. Apa itu?"


Kami terkejut saat kusinari tempat itu menggunakan senter, tiga manusia yang tergantung dengan seutas tali. Pemandangan yang sungguh mengerikan, aku tak pernah melihat hal ini sebelumnya. Yang membuat kami lebih terkejut salah satu mayat yang menggantung itu adalah seorang anak perempuan yang masih sangat muda. Tiba-tiba Gaby berlari keluar ruangan dengan cepat.

"HOEEKKKK UHUKKKK"

Ia memuntahkan isi perutnya berkali-kali, sepertinya ia tak kuat melihat mayat-mayat yang menggantung itu. Setelah selesai muntah ia mengelap mulutnya dengan punggung tangannya dan menatapku penuh rasa takut.

"Uhukkk, aku kaget tadi Nin" keluhnya sambil memegang perutnya.

"Ya salah sendiri kamu ikut aku, jadi gini kan" balasku sambil menenangkan Gaby. Setelah Gaby merasa tenang kami kembali masuk kedalam, mayat-mayat itu sepertinya sudah mati setelah kuperiksa. Bau busuk tercium tajam menandakan mayat itu sudah ada disini cukup lama. Gaby hanya terpaku melihatku.

"Kenapa mereka mengakhiri hidup seperti ini Nin?" tanya Gaby.

"Entahlah, mungkin mereka lelah"

"Lelah kenapa?"

"Bertahan hidup. Mereka sepertinya tak tahan dengan dunia baru ini makanya mereka mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini" jelasku. "Kita beruntung tak memiliki pemikiran seperti mereka Gab, kita terus berjuang untuk bertahan hidup"

"Kamu benar Anin....." ucap Gaby.

"Yuk kita keluar dari sini, tak ada barang-barang yang bisa diambil"

*****

"Lang, tadi malam aku sama Gaby menemukan ruang bawah tanah" kataku kepada Galang sambil memasukkan barang-barang kedalam tas.

"Hah? Lalu apa yang kamu temukan?" tanyanya.

"Tiga mayat manusia yang menggantung dengan tali, sepertinya mereka pemilik rumah ini" jelasku kepada Galang. Ia tampak terkejut mendengarnya.

"Ya Tuhan, kenapa mereka harus mengakhiri hidup seperti itu?"

"Aku tak peduli Galang, kita beruntung nasib kita tak seperti mereka" kataku. Galang tersenyum padaku dan mengelus pipiku.

"Iya kamu benar Nin, kita tak akan menyerah untuk melawan dunia ini" ucapnya yang kubalas dengan anggukan. Kucium bibirnya selama beberapa saat, ia tersenyum menatapku.

Singkatnya kami keluar dari rumah ini dan melanjutkan perjalanan yang sebenarnya kami tak tahu kemana tujuan sebenarnya. Kata Galang kita akan mencari tempat berlindung yang benar-benar aman dari mayat hidup yang sayangnya sampai sekarang kita tak menemukan tempat itu. Beruntung sepanjang perjalanan tak ada satupun mayat hidup yang mengganggu kelompok kami.

Aku melihat Fidly yang sedang memasang anak panah pada senjata crossbownya sambil terus berjalan. Dia termasuk yang paling pediam dari kelompok kami dan lebih sering menyendiri, namun ia bisa memburu hewan yang bisa dimakan untuk kami.

"Kuperhatiin kamu diem mulu dari tadi Fid" ucapku padanya. Fidly menoleh kearahku dan tersenyum saja.

"Ya kamu tau sendiri Nin, aku kayak gini orangnya" balasnya datar.

"Ngobrol aja Fid, gak usah menyendiri mulu. Ada aku sama Gaby kok hehe" kataku. Fidly hanya menggangguk saja mengiyakan ajakanku.

Setelah cukup lama berjalan kami tiba di sebuah kota kecil yang tentu saja sudah tak berpenghuni. Kendaraan-kendaraan tergeletak begitu saja di tengah jalan dan juga terdapat dua buah kendaraan militer. Galang memutuskan untuk memeriksa kendaraan itu untuk mengambil senjata api atau mungkin peluru yang bisa kita ambil. Aku dan Gaby sendiri sedang berusaha membuka bagasi mobil.

Setelah bagasi itu terbuka, aku dan Gaby menemukan beberapa tas ukuran besar dan langsung membukanya. Ternyata ada beberapa pakaian yang masih terlipat rapi.

"Baju lagi Gab"

"Iya Nin, lumayan kita ambil aja"

"Kayaknya kita kebanyakan bawa pakaian deh Nin...."

"Dahlah gak apa-apa, kita ambil apapun yang bisa dipakai"

GGRRRHHHHHH

GGRRAAHHHHH

"Lang, suara mayat hidup....." aku berlari menuju posisi Galang yang sedang memasukkan sesuatu kedalam tasnya.

"Kita harus pergi dari sini....."

Kami berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu, namun berharap kami lolos dari mereka ternyata salah. Mayat-mayat itu berjumlah cukup banyak dan keluar dari segala arah! Kami seketika mulai panik melihat gerombolan mayat-mayat itu.



"Kita tak boleh berhenti, kita harus jalan terus"

GGRAAHHHHHHH

GRRRRHHHHHHH

Kami terus berjalan cepat mengikuti Galang yang sepertinya sedang mencari tempat yang aman. Dia menunjuk kearah sebuah bangunan bekas pabrik dan memberitahukan kepada kami.

"Ayo, kita jalan kesana"

GGGRRRHHHHHHH

GGGRAAAHHHHHH

Kami terkejut melihat banyak sekali mayat hidup yang bergerombol dan berjalan menuju kearah kami. Galang memerintah kami untuk membentuk posisi melingkar

"Ayo, kita masuk ke pabrik itu" teriak Galang, kami hanya mengikuti saja sambil terus mengambil sikap waspada. Mayat-mayat itu terus berjalan cepat kearah kami.

"Ahhhhhh" Gaby terjatuh karena tersandung sesuatu, dengan cepat kubantu dia untuk kembali berdiri.

"Aku gak apa-apa Nin, tapi makasih"

Kami tiba di sebuah pintu yang cukup besar, untungnya pintu tersebut tak terkunci. Galang membukakan pintu itu dengan cepat lalu menyuruh kita untuk masuk kedalam. Ia dan Toni langsung menutup pintu tersebut dan mengganjalnya dengan pipa besi yang terletak tak jauh dari pintu. Kami terengah-engah mengambil napas setelah lolos dari kerumunan mayat hidup itu.



"Hahhh hahhh, untung saja" ucapku.

"Iya Nin, hampir saja" balas Fidly. Kulihat Gaby memegang kaki kanannya dan sedikit mengaduh. Kuhampiri dia sambil mencoba untuk memeriksa kakinya.

"Gak ada yang luka kok, cuma agak nyeri aja" balas Gaby, aku hanya menggangguk.

GGRRRRHHHHHH

GGERRAAHHHHH

BRAK

BRAK

BRAK



Mayat-mayat itu sepertinya tak kehilangan akal, mereka mulai memukul-mukul pintu itu berusaha untuk masuk kedalam. Sejujurnya aku mulai merasakan takut dan panik mendengar suara-suara mayat hidup yang kelaparan itu namun dengan sekuat tenaga kulawan rasa itu. Kuambil senjata api yang tersimpan dalam tas dan memeriksa pelurunya yang ternyata tinggal sedikit.

"Sial, bagaimana kita bisa lolos dari mereka?" keluhku.

DOR

DOR

DOR

Kami terkejut mendengar suara tembakan senjata api yang sepertinya berasal dari belakang bangunan ini.

"Galang, aku denger suara tembakan tadi" ucapku kepadanya.

"Iya, pasti ada orang yang menuju kemari"

"Aku coba periksa ke belakang gimana?" tanyaku lagi.

"Oke baiklah, Toni, Gaby. Kalian ikut Anin ke belakang"

Singkatnya kami memasuki pintu belakang dan memeriksa setiap ruangan didalam. Tak ada apa-apa selain puing-puing dan beberapa benda yang tak bisa kami gunakan. Kugenggam senter untuk menyinari tempat ini yang cukup gelap. Tiba-tiba kami mendengar suara pintu didobrak yang letaknya tak jauh dari posisi kami. Tanpa pikir panjang aku, Toni dan Gaby berjalan cepat menuju kesana.

Aku terkejut saat melihat beberapa sosok manusia yang berjalan menuju kemari, setelah memastikannya menggunakan senter ini, kutodongkan senjata api ini sambil berteriak.

"HEI KALIAN, ANGKAT TANGAN"

Toni dan Gaby juga melakukan hal yang sama, sosok manusia itu tampak terkejut dan berjalan mundur sambil menodongkan senjata apinya.

"Anin, tunggu....." Gaby menurunkan senjata apiku dan berjalan sedikit mendekat kearah sosok manusia itu.

"Ka.... kalian...."

"Sandi...."

"Gaby....."

Aku benar-benar terkejut melihat siapa sosok manusia itu. Mereka adalah teman-teman kami yang ternyata selamat. Aku dan Toni mendekat kearah mereka dan berpelukan satu sama lain, air mataku mengalir bahagia melihat mereka yang benar-benar selamat dan hidup.

"Citra... hiks.... hiks....." isakku saat memeluk Citra erat-erat. Ia juga menangis bahagia.

"Anin... hiks... hiks.... kita gak nyangka bisa ketemu lagi" balasnya terisak.

"Dino.... Melati....?"

Citra hanya menggeleng dengan air matanya yang masih keluar. Aku kembali memeluknya.

"Aku tak menemukan dia Nin...."

"Kamu yang tabah Cit..."

Lalu aku menghampiri Aya yang terlihat bahagia melihatku kembali dan kami saling berpelukan.

"Ya ampun Anin..... hiks.... hiks....."

"Kita ketemu lagi Ay"

"Dani.... Dani udah gak ada, aku melihatnya sendiri....." ucap Aya.

"Maafkan aku Ay, kamu harus tabah ya...."

GGGRRAAHHHH

GGRRRHHHHHH

BRAK

BRAK

BRAK

Suara mayat hidup terdengar jelas sekali bercampur dengan suara hantaman, mahkluk itu berusaha masuk kedalam bangunan ini. Dengan cepat kami berjalan menuju posisi Galang. Ia tampak senang bahagia melihat kawan-kawan kami yang selamat. Reuni ini tidak berlangsung lama, mayat-mayat hidup di luar terus berusaha untuk masuk kedalam bahkan jumlahnya semakin banyak. Kami semua dilanda rasa panik melihat pintu utama yang sebentar lagi akan dijebol oleh mayat-mayat hidup itu.

Apa yang harus kita lakukan sekarang?

CREDITS ROLL

 
Trivia

Ding dong!

Apdet lagi hehe, gimana? actionnya berasa banget tidak? silahkan kritik dan sarannya, ane akan senang hati dengerin pendapat kalian hehe

1. The Line dalam bahasa Inggris artinya "jalan". Judul ini memiliki makna bahwa mereka terus mengikuti "jalan" dan pada akhirnya mereka bertemu kembali
2. Akhirnya Anin mendapat jatah POV orang pertama, dengan demikian semua tokoh wanita disini sudah dapat POV orang pertama, kecuali Saktia yang perannya masih sebatas supporting character
3. Latar waktu episode ini terpecah jadi 2 bagian; beberapa hari sebelum episode "Saktia" dan pada hari yang sama di episode tersebut.
4. Untuk pertama kalinya sejak episode 2, Dino tak muncul sebagai tokoh utama. Dan juga untuk pertama kalinya semua tokoh wanita utama kembali berkumpul setelah terakhir di episode 20
5. Untuk tokoh fiksi utama ada di tag cerita ini yaitu Aya, Anin, Citra, Nadila dan Gaby, yang lain masih jadi tokoh sampingan (Fidly, Melati, Rachel, Saktia)
6. Latar tempat utk episode 23-25 ada di kota Majenang, Cilacap.

Thank you for reading this episode and i will see you on the flip side. Stay safe and stay healthy

Zeke out,
 
Selalu buat update yg seru suhu...jadi makin setia nikmatin dan mantengin update selanjutnya
Makasih updatenya suhu :beer:
Makasih apdetnya hu
Sangat puas dgn adegan actionnya Anin hihihi
Siap hehe semoga terus terhibur ya :banzai:

ditolongin kelompok Dino Mel ya?
Dino ketemu kelompoknya lagi
otw reunian keluarga besar
Gak akan semudah itu haha
 
Makasih suhu @metalgearzeke , tiap apdet selalu bikin habis kata2, amazing n sempurna banget, mulustrasinya pass banget, selalu bikin nagih gak sabar nunggu apdete. Ter the best lah suhu satu ni...
Terimakasih agan sudah sempatin baca cerita ini hehe, ane terus usahain biar cerita ini bisa cepet tamat:banzai:
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd