Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Aku Amelia [Hijab Story with No SARA] UPDATE BAGIAN VII! STILL CONTINUES!

BAGIAN VII
JUST OPEN IT, AND FLY WITH ME


Previous:

Aku membuka pakaianku. Aku tersadar, aku tidak menggunakan bra. Sudah pasti putingku terlihat menonjol dari balik tantop yang kupakai. Siapapun yang melihatnya pasti akan sadar bahwa aku tidak menggunakan bra.



Setelah selesai mandi, aku baru ingat, kalau aku tidak bawa pakaian ganti karena terburu-buru tidak enak membuat Iqbal menunggu terlalu lama. Aku mengeringkan badanku, dan melilitkan handuk di tubuhku, aku sempat ragu ingin membuka pintu kamar mandi, tapi ku pikir, tidak apalah, toh Iqbal juga akan paham dan tidak akan macam-macam padaku. Setelah mengumpulkan tekad yang tinggi, aku membuka pintu kamar mandiku, dan terkejutnya aku….



EH, BAL. KAMU NGAPAIN?!















Lama tidak terdengar jawabannya…



Iqbal : Eh, Li. Iya, gue gak enak banget liat kamer lo berantakan, udah gue beresin, tenang aja.
Aku : Ih, jangan gitu. Jadi malu aku tuh…. (blushed).
Iqbal : Gak apa, Li. Eh kok lo pake anduk doang, sih? Buruan ganti baju, masuk angin lo nanti. Gue nyapu dulu, rambut lo pada rontok ke lantai gini. Ganti baju, terus kita berangkat, sarapan bareng (sekilas menatapku, lalu memalingkan wajah).
Aku : (blushed, sambil berjalan kearah lemari untuk mengambil pakaianku) Iya, iya (manyun).

Aku mengambil pakaianku dan masuk kembali ke kamar mandi untuk kukenakan. Terlintas dipikiranku, hmm kalau saja Dimas yang ada disini, sudah pasti habis aku diperkosa olehnya, eh tapi Iqbal beneran gak macem-macem, loh. Manly banget, atau jangan-jangan memang dia tidak tertarik padaku?



EH KOK GUE JADI MIKIRIN DIA SIH?



Setelah berpakaian, aku keluar dari kamar mandi. Iqbal masih sibuk menyapu lantai kamarku. Aku duduk didepan cermin dan mengambil deodorant. Aku memakai deodorant dengan memasukkannya melalui baju bagian bawahku. Setelah itu aku sedikit berdandan, dan memakai kerudung.

Iqbal : Nah kalau gini kan enak. Rapi kamar lo (menaruh sapu diluar kamarku, dan berdiri tersenyum padaku).
Aku : Hmm, padahal aku mau beresinnya nanti (jawabku fokus pada cermin sambil berdandan).
Iqbal : Keburu Belanda jajah Indonesia lagi, baru rapi kayanya nih kamer hahaha.
Aku : Ih gak gitu juga kali, hahaha (aku selesai berdandan, sedikit berkaca sambil merapikan kerudungku).
Iqbal : Udah cantik, kok. Yuk… (menarik tanganku, dia sudah membawa kunci kamarku).

Iqbal menggandengku keluar kamar, menutup dan mengunci pintu kamarku, lalu memberikan kuncinya padaku. Setelah memakai sepatu, tanpa basa-basi Iqbal nyelonong keluar kosanku, menyalakan motornya.

Kami berboncengan menuju kampusku, dan berhenti sebentar tepat di warung bubur depan kampus untuk sarapan bersama. Ketika kami sedang asik makan dan ngobrol, tiba-tiba Damar dan Dwita menyapa kami.

Damar : Hai kalian. Sering sarapan disini juga ya, Li? Kok gue jarang liat?
Aku : Hah? Eh ada Damar? Loh lo udah balik, Ta? Ih! Gak kabarin gue!! (mencubit lengan Dwita).
Dwita : Heeeuuh, nanti gue ceritain (memasang wajah malas bicara).
Iqbal : Eh, hai Mar! Iya gue sering sarapan disini, kebetulan gue tadi berangkat bareng si Lia, mukanya kelaperan banget, jadi gue ajak kesini deh. Darimana lo?
Damar : Oh gitu. Hehehe gue abis dari …… Awwwww! Sakit, Ta!
Iqbal : Hah? Hmm (memasang wajah curiga).
Dwita : Udah ah, gue duluan ya. Ketemu dikelas, ya!
Aku : Ta! Ih! Tunggu!

Aku pergi menyusulnya, dan menggandeng lengannya.

Aku : Kenapa sih lo, Ta? Aneh.
Dwita : Hmm, ntar aja deh gue ceritainnya, kalau gue mood ya.
Aku : Hmm, pasti ada sesuatu deh (gumamku dalam hati).

Kami berdua pun masuk ke dalam kelas, disusul 10 menit kemudian Iqbal dan Damar menyusul. Kelaspun dimulai. Selama kelas kuliahku, aku terus berpikir dengan keadaan Dwita yang yang berbeda. Dwita yang biasanya periang, mendadak jadi sosok yang pendiam hari ini. Ada apa ya dengan Dwita, pikirku.

Enam jam sudah berlalu, aku keluar masuk kelas mata kuliahku. Hari ini lumayan padat dan memusingkan. Belum lagi, sore ini aku janjian bersama teman-teman kelompok penelitianku untuk diskusi persiapan pengerjaan tugas. Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat lulus saja. Lelah.

Aku menuju salah satu kafe didekat kampusku, meet point aku dengan teman-teman kelompokku. Disana sudah menunggu Damar dan Dwita. Mereka terlihat ngobrol dengan serius. Aku menghampiri mereka. Mereka tiba-tiba diam. Hmm, ada apa ya? Gumamku. Tidak lama berselang, Iqbal datang masuk ke dalam. Hari ini dia memakai kaos hitam, dengan luaran jaket jeans biru dongker gelap, dan celana jeans hitam. Dia melemparkan senyumnya pada kami. Dia berjalan mengarah kepada kami, dan membuka tasnya, memberikan laptopnya pada Damar.

Iqbal : Pake punya gue aja, Mar. Kebetulan ini gak gue pake. Gue ada lagi, hasil pemberian bos yang punya kafe tempat gue sering manggung disana (memberikan sebuah laptop pada Damar).
Damar : Eee-eh, iya, Bal. Gak apa nih gue pake dulu?
Iqbal : Iya gak apa. Eh kalian udah pada pesen minum belum? Gue pesenin ya. Nanti kalian mulai aja dulu diskusinya, gue mau “ngamen”dulu disini hehe. Nanti kalau udah selesai, gue ke meja kalian lagi ya (beranjak dari kursi, sambil mengelus pundakku dan tersenyum padaku).
Aku : Oh, kamu sering manggung disini juga? Yaudah, sana. Coba aku mau denger suara kamu hahaha.

Iqbal beranjak dari kursinya, dan menuju ke counter. Disana dia seperti memesan sesuatu, dan segera mengambil gitar lalu duduk di bagian depan kafe. Bagian depan kafe tempat kami disini dibentuk seperti mini panggung setinggi setengah meter, tidak terlalu luas, namun cukup untuk satu band akustik perform disana.

Tidak lama, minuman dan snack kami datang. Titipan, Mas Manis. Kata Mbak yang mengantarkannya pada kami. Damar memulai diskusi kelompok tugas kami. Dia mulai menjelaskan tentang bagaimana nanti kita disana, apa saja yang perlu diteliti, dan hal keilmuan lainnya. Aku sibuk mencatat beberapa hal penting dari diskusi ini. Lalu, ditengah diskusi kami, suara petikan gitar itu mulai terdengar. Iqbal mulai memainkan beberapa lagu. Hmm, suaranya serak-serak basah gitu. Keren banget sih nih cowo. Hmm duuh, kenapa ya kok gue jadi mikirin dia mulu, mana bau parfumnya masih nempel dibaju gue gini. Gumamku.

Jam menunjukkan pukul 18.04. Iqbal dan teman-teman bandnya turun panggung untuk break Maghrib. Ada seorang wanita menghampiri Iqbal, dan mencium pipi kanan-kirinya sambil mengobrol. Iqbal tampak antusias dengan wanita ini. Hmm, siapa dia? Ada hubungan apa dia dengan Iqbal? Ganjen banget, sih nih cewek! Kata hatiku terus menceracau. Tidak lama, Iqbal kembali menghampiri kami, senyum hangatnya seakan menyejukkan hati.

Iqbal : So, udah sampe mana diskusi kita? (tanyanya sambil menyalakan sebatang rokok dan mengambil buku catatannya yang daritadi dia tinggalkan di meja kami).
Dwita :
Damar : Udah sampe di penentuan kapan kita berangkat kesana, Bal. Nanti jangan lupa bawa kamera lo ya, Bal. Biar hasil dokumentasinya bagu.
Iqbal : Hmm, oke. Yaudah diminum kopinya. Diskusi mulu, kering tuh bibir hehehe.
Aku :
Dwita :
Iqbal : Eh, kalian pada kenapa, sih? (wajahnya menoleh padaku).
Aku : Gak apa. Yaudah yuk lanjut diskusi nya.
Iqbal :

Kamipun melanjutkan diskusi kelompok proyek kampus kami. Entah kenapa tiba-tiba mood-ku berubah semenjak melihat wanita itu mencium pipi Iqbal. But, wait! Hei! Aku cemburu? Dia kan bukan siapa-siapaku? Hadeh, Lia! Gak-Gak mungkin gue cemburu! Mungkin ini efek aku menjelang haid kali, ya.

Diskusi kamipun sudah mencapai kesepakatan. Kami akan berangkat dari kampus kami hari Senin pukul 08.00 agar tidak macet dan terlalu lama dijalan. Iqbal mencatat beberapa hal, kemudian izin untuk kembali naik ke panggung. “…tunggu yah, gue manggung dulu, nanti pulangnya gue anter…” bisiknya padaku. Aku menunggunya sambil menikmati secangkir kopi dan mendengarkan alunan-alunan musik yang dilantunkan oleh Iqbal dan teman-temannya. Karena terlalu asik, aku jadi lupa waktu. Dwita pamit izin pulang duluan, tidak enak badan katanya. Sepuluh menit berselang, giliran Damar yang izin pamit. Aku sempat menahan Damar, karena aku tidak suka sendirian, namun Damar tetap pergi terburu-buru. Hingga tinggalah aku sendiri disini.



Pukul 23.00 WIB



Iqbal :
Sekian dari kami, kami pamit undur diri. Jangan lupa ya follow Instagram kami di @SecondFloorIndonesia. Ada banyak cover lagu kami disana. Thank you!

Iqbal berpamitan kepada para tamu di kafe ini, diikuti tepukan tangan yang riuh sekali disana. Aku tidak menyangka, Iqbal memang diidolai di kafe ini. Setelah turun dari panggungnya, Iqbal segera menghampiriku. Dia datang dengan tersenyum, aku pasang wajah datar.

Iqbal : Ehmm, lo kenapa? (tanyanya sambil membakar rokok yang ia rogoh dari kantongnya).
Aku : Gak apa-apa. Ngerokok mulu deh, sakit aja nanti kamu! (jawabku jutek).
Iqbal : Yeee beneran nih gue nanya, lo kenapa? (dia mematikan rokoknya, dan membereskan seluruh barang bawaannya).
Aku : Gak apa-apa. Kan aku udah bilang! (jawabku kesal).
Iqbal : Hmm, iya-iya, gak apa-apa deh. Tri, Putriii! Gue mesen es coklat yang manis banget ya satu! (jarinya telunjuknya mengarah mengisyaratkan angka satu ke bartender di counter).
Aku : ...
Iqbal : (menatapku tersenyum).
Aku :
Iqbal : (masih menatapku tersenyum) Lo kenapa sih? Aneh deh. Mau balik?
Aku : Hmm…
Iqbal : Yaudah tunggu (jawabnya sambil mengeluarkan handphone-nya dari tas dan mulai fokus pada layar handphone-nya).

Tidak lama, seorang pramuniaga menyajikan segelas es coklat di meja kami. Spesial katanya sambil tersenyum pada Iqbal.

Iqbal : Hmm, tuh minum es coklatnya. Katanya sih coklat bisa ngembaliin mood seseorang (katanya tanpa menoleh padaku dan fokus pada handphone-nya).
Aku : Hmm, mau pulang jam berapa? (tanyaku jutek).
Iqbal : Eh udah mau pulang? Oh, gara-gara gue lama ya? Maaf ya, Li.
Aku : Gak kok. Mau pulang jam berapa? (tanyaku lagi tanpa menatapnya).
Iqbal : Yaudah, lo abisin dulu tuh coklat, baru kita balik.
Aku : Gak mau!
Iqbal : Kalau lo gak abisin, gue yang bakal ngabisin, tapi gue gak akan mau bicara sama lo lagi, Li (dia menatapku dengan tatapan serius).
Aku : Eeee-eh. Iya-iya aku abisin.

Suasanapun jadi dingin sekali. Ada sekita 15 menit kami diam, tidak saling bicara. Iqbal mengalihkan suasana dengan terus fokus pada handphone-nya. Aku terdiam berpikir, ih! Gue kenapa ya? Iqbal, kan gak punya salah sama gue, kok gue bete tiba-tiba ya sama dia. Aku menyeruput es coklat manis itu sampai habis.

Iqbal : (menoleh kepadaku, tatapannya dingin sekali)
Aku : Apa? (aku menatapnya takut).
Iqbal : Udah? Yuk cabut (berdiri dan menggandengku pulang).

Diluar kafe, Iqbal memasangkanku helm, lalu memakaikan jake jeansnya padaku. Katanya biar gak kedinginan. Iqbal menyalakan motor, dan kamipun pergi meninggalkan kafe itu menuju kosanku. Sepanjang perjalanan, kami hening. Yang terdengar hanya suara motor dan lalu lintas sekitar. Jalanan sangat sepi malam itu.

Sesampainya di kosan, Iqbal turun dari motornya, dan menggandengku menuju kamarku. Melewati kamar Dwita, terdengar samar-samar suara desahan. Hmm, lagi ada Bang Bowo, nih kayaknya, pikirku. Iqbal seakan acuh pada suara itu. Aku membuka kunci pintu kamarku.

Aku : Makasih ya, Bal.
Iqbal : Sama-sama. Oke, udah aman, ya. Gue balik dulu. See you! (dia berpamitan padaku tanpa tersenyum).
Aku : TUNGGU! (aku menarik tangannya).
Iqbal : Ha? (menoleh kepadaku).
Aku : Hmm, cewe yang tadi di kafe, hmm yang cium kamu itu, pacarmu? (tanyaku menunduk, tanpa berani menatapnya).
Iqbal : Hmm, Riska? Hahaha, dia anaknya tanteku, dia yang mengenalkanku pada manejemen kafe tempat kita ngongkrong tadi. Gak mungkin gue pacaran sama sepupu gue sendiri. Hahaha dasar aneh lo, Li.
Aku : Hmm, bener?
Iqbal : (tangannya memegang pundakku, dia menatapku dalam lalu tersenyum) Bener, Lia. Bukan siapa-siapa kok.
Aku : Ooo-ooh, okay (aku masih menunduk tidak berani menatapnya).
Iqbal : Yaudah, gue pamit, ya.
Aku : Eee-eh, iya. Hati-hati (aku mulai berani menatapnya, dan tersenyum).

Tanpa sadar, wajahnya berada dekat dengan wajahku. Aku dapat merasakan nafasnya. Iqbal kembali mendekatkan wajahnya, bibirnya hanya beberapa mili senti dengan bibirku. Aku menutup mataku, aku mulai terhanyut suasana. Secara alami, aku membuka bibirku, dan berusaha mendekatkan bibirku pada bibirnya, dan ……

CUPPPPPP!!



Bibir Iqbal mendarat dikeningku. Aku kaget setengah berpikir.



Dia nyium kening gue?
Gue kiraaaaa…….




Tanpa berkata apapun, Iqbal melepas tangannya dipundakku, tersenyum, lalu perlahan pergi dari hadapanku. Aku masih beku didepan pintu. Gue ini kenapa, sih? Apa jangan-jangan gue….Ah! Gak mungkin, gak mungkin, kataku dalam hati. Aku masih ke dalam kamar, mandi, dan tidak lama aku terlelap tidur.

...

...

...


Hari Senin pun tiba. Sekitar pukul 07.00 pagi aku sudah siap packing keperluanku selama disana. Tas ranselku terasa gemuk, berat sekali. Aku memang orang yang selalu mempersiapkan segalanya, bahkan terkadang terasa berlebihan, tapi jika tidak begitu, aku merasa tidak nyaman saja.

Ketika aku sedang memakai jaket, Iqbal datang mengetuk pintu kosanku yang terbuka.

Iqbal : Hai, Li. Udah siap?
Aku : Loh? Barang bawaan kamu cuma segitu? (tanyaku melihat Iqbal yang hanya menjinjing tas pundak kecil, dan tas kamera).
Iqbal : Hmm, iya. Cuma tiga hari, kan? Hehehe.
Aku : Iya, sih. Tapi masa gak ganti baju? Jorok!
Iqbal : Gantilah. Gue bawa tas ransel juga kok, tapi gak segede punya lo! Hahaha, tas gue udah gue titipin di Damar. Katanya dia dapet pinjaman mobil dari saudaranya.
Aku : Oh, jadi kita naik mobil kesananya?
Iqbal : Gue sih naik motor, biar akses gue gampang kalau mau kemana-mana (jawabnya sambil menggendong tas ranselku). Nanti gue titip tas gue di mobil, ya. Sekalian tas kamera gue juga. Dijaga, Li. Awas sampe ilang hahahaha.
Aku : Ih, sini tasnyaaa! Bia aku aja yang bawa.
Iqbal : Udeh, gue aja. Badan lo pendek, nanti tambah pendek bawa barang berat begini. Yaudah yuk, Li. Udah ditungguin anak-anak.

Aku dan Iqbal bergegas menuju kampus. Seperti biasa, di perjalanan, kami sedikit mengobrol tentang diri kita masing-masing. Harum tubuh, aroma khas parfumnya benar-benar memikat. Ingin rasanya aku memeluk Iqbal dari belakang. Sesampainya di gerbang kampus, terlihat Damar dan Dwita sedang sedikit berdebat. Anehnya, begitu kami menghampiri mereka, mereka tetiba terdiam. Seakan tidak sedang membahas apa-apa.

Aku : Hai kaliaaannn!
Dwita :
Damar : Ee-eh, Li, Bal. Hai.
Aku : (merangkul Dwita) Lo kenapa sih, Ta? Dari kemarin mood lo lagi jelek. Diem mulu. Ada apa? (tanyaku berbisik).
Dwita : Nanti aja kalau udah sampe disana, gue cerita sama lo.
Aku : Yaudah iya (memanyunkan bibir).
Iqbal : So, kita berangkat jam berapa?
Damar : Sekarang aja, yuk. Biar gak macet.
Iqbal : Ini tempatnya udah sesuai sama yang lo share di groupkan, Mar?
Damar : Udah, Bal. Yaudah, gue berangkat ya. Yuk, Li, Ta.
Aku : Bal, kamu disini aja, kenapa harus naik motor, sih? (protesku).
Iqbal : Hehehe, gak apa-apa. Yaudah lo masuk, berangkat. Hati-hati ya.

Aku duduk dibelakang bersama tas-tas mereka, sedangkan Dwita duduk bersebalahn dengan Damar yang menyetir di depan. Kami pun berangkat, diikuti Iqbal menyusul dengan motor dibelakang. Perjalanan kami berlangsung selama beberapa jam. Jalanan saat itu sedang ramai sekali, bahkan tol menuju tempat kami pun macet. Aku sempat jenuh. Aku memutuskan mengabari Dimas bahwa aku dan teman-temanku sedang menuju ke daerah Banten.

Aku : Diiiimmm!
Dimas : Apeeee? Mau nagih utang? Ntar ye, Li. Gue belom sanggup nih.
Aku : Ih bukan! Gue cuma mau ngabarin, gue sama temen-temen gue otw ya kesana. Sambut kita! Awas lo!
Dimas : Loh jadi hari ini? Ok. Nanti share location ya tempat lo, biar gue bisa nyamperin lo.
Aku : Iye bawel!

Aku merasakan mobil yang kami tumpangi berhenti. Tidak terasa, ternyata kami sudah sampai ditujuan dengan selamat. Ternyata aku tertidur sepanjang perjalanan. Terlihat wajah Damar letih setelah beberapa jam menyupiri kami. Kami pun bergegeas mengeluarkan barang-barang dan masuk ke sebuah rumah kontrakan milik saudaranya Damar. Rumahnya minimalis, semi modern. Ada 3 buah kamar tidur yang cukup nyaman dengan kipas angina di masing masing ruangan kamar, ada 1 kamar mandi yang terletak di bagian belakang dekat dapur. Lumayan nyaman, ditambah lagi suasana pedesaan dengan pemandangan sawah yang terhampar luas didepan rumah kontrakan kami.

Damar : Nanti kalian cewe-cewe di kamer yang ini ya (menunjuk kamar yang terletak ditengah-tengah antara kamar pertama dan kamar ketiga).

Aku dan Dwita masuk ke dalam kamar, dan mengunci pintu kamar itu.

Aku : Nyaman ya, Ta. Asik banget tempatnya.
Dwita : Li, gue mau cerita… (katanya tanpa merespon kata-kataku tadi).

Dwita menceritakan keadaan dirinya, dan alasan kenapa tiba-tiba dia menjadi sosok yang berbeda. Aku sangat kaget dengan apa yang diceritakan Dwita. Seakan tidak percaya, aku meyakinkan diri lagi dengan bertanya kepadanya tentang kebenaran cerita tersebut. Dwita mengangguk. Dia bicara, semua yang dia katakana 100% benar, dan dia menyesal. Hmm, baiklah. Aku memeluk erat Dwita. Aku mencium keningnya. Everything will be ok, Ta, kataku. Dwita kembali memelukku, erat sekali. Terasa, airmata menetes dipundakku. Aku menenangkannya. Hmm, penasaran apa yang Dwita ceritakan kepadaku? Terus nantikan kisah-kisahku selanjutnya ya. Hehehe.







Sekitar pukul 16.00 suara motor terdengar didepan rumah kami. Iqbal akhirnya sampai disini. Dia mematikan motornya, dan langsung menghampiri kami yang tengah berada di beranda depan rumah. Dia membuka sepatunya, dan langsung merebahkan diri di lantai.

Iqbal : Hoaaahhhh! Akhirnya nyampe jug ague. Gila lo, Mar. Jauh banget!
Damar : Hehehe, sorry, Bal. Lagian, lo gue suruh bareng sama gue malah gak mau.
Aku : (berdiri tepat diatas kepalanya) Ngapain, sih tiduran dibawah gitu? Mau masuk angin kamu?
Iqbal : Eh Lia. Hahahaha, capek banget, Li (bangkit dari rebahannya, dan membuka jaketnya).
Aku : Yaudah, minum air putih dulu sana, terus mandi, debu semua pasti badan kamu, tuh (omelku).
Iqbal : Oke oke, Ibu Kost! Hahahaha, eh Mar, kamer gue yang mana?
Damar : Kamar lo yang ujung ya deket dapur. Sorry, kamar paling kecil itu. Gue didepan ya, soalnya gue dititip barang-barang uwa gue.
Iqbal : Paling kecil? Yaelah, santai. Yaudah gue mau beberes barang-barang dulu. Ta, nih titipan lo (memberikan sebotol kopi kemasan).
Dwita : Kok lo belinya cuma satu, sih. Wooo. Yaudah beberes dulu sana, thanks, loh.
Iqbal : Ya, gue gak tau kalau pada mau juga. Udah ah, gue mau beberes sama istirahat dulu.

Iqbal begegas ke kamarnya untuk istirahat. Badannya terlihat lemas sekali, wajahnya pucat kusam. Entah kenapa, aku khawatir sekali dengannya. Aku berinisiatif untuk membuatkannya teh manis hangat. Setelah jadi, aku masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Dia sudah tertidur tidak menggunakan baju, hanya celana jeansnya saja yang masih terpakai. Aku meletakan teh manis hangat itu di meja samping ranjangnya. Aku memperhatikan wajahnya. Damai sekali dalam lelap. Wajah manis itu terlihat lelah, badannya berkeringat. Sejenak aku berpikir untuk mengelap keringatnya, tapi kuurungkan niat itu.


Malam, 20.12


Aku dan teman-temanku berkumpul diruang tamu untuk membahas rencana kerja besok. Damar dengan sangat serius menjabarkan beberapa hal terkait apa yang akan kami lakukan di pabrik tersebut. Aku dan Dwita mulai mencatat beberapa hal. Iqbal masih mandi. Dia baru saja terbangun pukul 19.00 tadi. Kepalanya pusing, katanya.

Dwita : Jadi, besok kita jam 9 harus sudah berangkat, ya?
Damar : Jam 9 harus sudah disana, Ta. Jadi, kira-kira kita berangkat dari sini jam 8an biar gak telat.
Aku : Hmm, tapi kan kamar mandinya cuma satu. Harus bangun pagi-pagi dong (jawabku memanyunkan bibir).
Dwita : Hahaha, Li. Gampang kit amah. Mandi bareng aja juga beres.
Aku : Ih apa sih, Ta (jawabku berbisik sambil mencubit lengannya).
Damar : Eee-eh iya. Kalian mandi bareng aja, sama-sama cewe ini kan (jawabnya gugup).
Dwita : (menatap Damar tajam).
Aku : Hmm, iya deh.
Damar : Ooo-oke, oh iya. Bahan-bahan pertanyaan dan kerangka step untuk penelitian besok udah dibawa, kan? Ada yang kurang?
Dwita :
Aku : Udah semua, kok punya Dwita. Gue udah print juga kemarin di kampus. Nih, Ta (memberikan beberapa bundle kertas kepadanya).
Dwita : Iya, Li. Thanks.
Iqbal : Eh, lagi pada bahas apa, nih? (jawabnya sambil mengeringkan rambut).

Dengan bertelanjang dada, dan hanya menggunakan celana pendek, Iqbal berjalan kearah ruang tamu tempat kami berdiskusi. Dia duduk tepat disampingku sambil mengeringkan rambut. Dia mengambil kertas bertuliskan konsep penelitian kami dimeja, dan membacanya dengan seksama. Harum wangi sabun dibadannya tercium sangat maskulin sekali. Aku sempat tidak konsentrasi pada diskusi ini. Mataku sesekali melirik perutnya yang berbentuk. Iqbal memang kurus, tapi badannya berbentuk. Perutnya yang sedikit berotot, dengan tattoo tulisan arab dilengan atas kirinya membuat dadaku berdegup kencang setiap kali aku meliriknya.

Segera tersadar, akupun kembali fokus pada diskusi kami. Aku menginstruksikan beberapa hal ke Damar dan Dwita terkait apa saja yang kubutuhkan untuk membuat laporan penelitian nanti. Aku juga menjelaskan foto apa saja yang kubutuhkan ke Iqbal. Sekitar dua jam kami berdiskusi. Mataku sudah lelah. Aku memutuskan untuk pamit undur diri duluan. Badanku terasa tidak enak, punggungku pegal sekali. Mungkin aku masuk angin. Aku melangkah ke kamar, mereka masih terdengar diskusi. Tidak butuh waktu lama untukku tertidur.

Esok paginya, aku terbangun dengan badan lemas. Badanku seperti tidak ada tulang. Rasanya malas sekali untuk bangun. Kepalaku pusing. Tapi aku harus bersiap-siap untuk menjalankan aktifitasku. Aku hanya menggunakan tanktop biru tanpa bra, dan celana pendek. Aku mengeluarkan handuk dan perlengkapan mandiku dari tas. Aku tutupi bagian dadaku dengan handuk. Aku keluar dari kamarku. Terlihat Iqbal dan Damar sudah segar dan rapi di ruang tamu. Mereka tampak berdiskusi serius. Aku berjalan menuju kamar mandi. Kuketuk pintu kamar mandinya.

Aku : Ta?
Dwita : Iye, Li. Bentar (membukakan pintu kamar mandi).
Aku : Belum kelar lo mandi, Ta? (masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya).
Dwita : Hehehe, belom. Baru kelar boker, gue.
Aku : Pantesan bau hahaha (sambil membuka pakaianku dan menggantungkannya di belakang pintu kamar mandi).
Dwita : Sexy banget sih lo, Li (katanya berbisik dan memelukku dari belakang).
Aku : Ta, ih! Ada Iqbal sama Damar di ruang tamu (kataku berbisik sambil berusaha melepaskan pelukannya).
Dwita : Ah! Gak peduli gue (bisiknya kembali tepat dikupingku, dan menciumnya).

Dwita terus menciumi kupingku dari belakang sambil memelukku. Tangannya mengelus pelan di perut dan selangkanganku. Aku terus berusaha melepas pelukannya, namun aku tidak sanggup. Badanku lemas. Tangan Dwita sudah mulai nakal meremas gemas payudaraku. Bibirnya menciumi leherku. Badanku terasa semakin lemas, namun birahiku terasa perlahan meninggi.

Dwita membalikkan badanku, mencium bibirku.

Aku : Hmmm, Ta. Udah yah. Gak enak, gua gak tahan. Nanti kedengeran mereka, loh (bisikku dikupingnya).
Dwita : Hmmm, tenang, Li. Ehmmm.

Dwita melepas pelukan dan ciumannya padaku. Dia menyalakan keran untuk mengisi bak kamar mandi. Kini, suara deras air yang mengalir dari keran itu sepertinya cukup untuk meredam suara nakal kami dari dalam kamar mandi.

Dwita kembali meremas payudaraku dan menciumiku. Aku membalas ciumannya, dan mulai kembali meremas payudaranya. Tangan kiri Dwita mulai mengelus vaginaku. Aku mengeluh keenakan. Mataku sudah mulai terpejam. Aku perlahan meregangkan kedua pahaku agar Dwita dengan mudah memainkan klitorisku. Dia dengan tetap mencium bibirku memasukkan dua jarinya kedalam lubang senggamaku. Basah banget, Li, heehehe, ucapnya. Semakin dalam jarinya didalam vaginaku, semakin kencang remasanku di payudaranya. Dwita memojokkanku hingga aku berada dipinggir bak kamar mandi. Naik, Ta. Pintanya padaku. Aku duduk diatas bak kamar mandi, Dwita mulai berjongkok dibawaku. Dia menjilati vaginaku. Aku tidak tahan lagi. Desahan kecilku keluar dari mulutku. Aku menarik kepala Dwita erat. Sesekali kujambak pelan rambutnya. Ah! Ahhmm, enak, Ta, erangku. Dwita terus menjilati vaginaku, klitorisku dihisapnya. Kurasakan desiran-desiran air kenikmatan mengalir di vaginaku. AAhhmm, Ta! Enaaaakk banggghheeettt! Desahku.







Damar : Woy! Lama banget! Udah jam berapa nih? (katannya mengetuk pintu kamar mandi dengan keras).
Aku : Ehhmm, Iii-iya, Mar! Sebentar hmmm lll—lllaagi (jawabku sekenanya).
Dwita : (masih menjilati vaginaku)
Aku : Ta, ahhmmm, uu-udaahh yukk. Damar udah, aahhh, ahhh, Daa-maaar, hmm udah ketok pintu (pintaku pada Dwita dengan terbata-bata).

Dwita menyudahi apa yang dia lakukan padaku.

Dwita : Sialan Si Damar! Tapi gue masih pengen, Li. Hmmm (Dwita mencium bibirku).
Aku : Lanjut malem kan bisa, Ta. Udah yuk.
Dwita : Hmm oke deh. Yaudah lo siap-siap. Thanks ya, Li

Aku turun dari bak kamar mandi, dan mulai mengguyur badanku. Sembari menyirami kepalaku dengan air, terlintas tiba-tiba sebuah pertanyaan, apakah aku sudah berubah? Apa aku menikmati permainanku dengan Dwita? Ini salah, tapi aku nyaman setiap kali Dwita memperlakukanku seperti itu. Ah! Pikiranku kacau. Aku sesegera mungkin menyelesaikan mandiku.

Seselesainya aku mandi, dan bersiap untuk berangkat, aku langsung menuju ke ruang tamu untuk bertemu teman-teman sekelompok kerjaku. Damar memberikan beberapa instruksi, dan kamipun berangkat bersama menuju pabrik tersebut.

Sesampainya di pabrik yang kami tuju, kami disambut seorang wanita yang menggunakan pakaian khas pabrik dengan helm putih di kepalanya. Namanya Astri. Seorang wanita muda berumur 24 tahun, berambut panjang agak kecoklatan, badannya langsing dengan tinggi kira-kira 165 cm. Dia memperkenalkan diri sebagai HSE Officer di pabriknya. Dia memberikan kami induksi dan menjelaskan beberapa hal yang boleh dan tidak boleh kami lakukan di pabrik tersebut. Dia lalu memberikan helm keselamatan khusus tamu dan mengantarkan kami ke ruangan HRD dipabrik tersebut.

Astri : Permisi, Pak. Ini tamu bapak sudah datang. Boleh saya persilahkan masuk?
??? : Oh iya, silahkan.
Damar : Om Rudi? Apa kabar? (memasuki ruangan dan memeluk hangat HRD tersebut).
Rudi : Ah, Mar! Udah lama gak ketemu ya? Oh ini kelompokmu?
Damar : Iya om. Perkenalkan, ini Lia, yang ini Dwita, dan yang ini Iqbal (melepaskan pelukannya, dan tersenyum pada kami memperkenalkan).
Rudi : Oh hai kalian. Selamat datang di pabrik PT. Surya Kencana Makmur. Semoga kalian enjoy ya penelitiannya disini. Oh iya, kalian sudah diinduksi?
Kami : Salam kenal, Pak.
Astri : Oh, tentu saja sudah, Pak.

Kami sedikit mengobrol dengan Pak Rudi diruangannya. Sesekali Pak Rudi melirikku dan tersenyum hangat. Dari perkenalan singkatnya, aku ketahui dia seorang bapak berumur 42 tahun, dengan satu istri dan dua anak yang masih kecil. Dia sudah 4 tahun menjadi HRD Manager di pabrik ini. Dia seorang tipe atasan yang dicintai oleh bawahannya, dilihat dari cara dia berkomunikasi dan berinteraksi dengan kami. Dia menjelaskan secara general bagaimana sistem keselamatan dan kesehatan pegawai disini, dia juga sedikit menjelaskan alur pendaftaran kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan pegawainya.

Sekitar 20 menit waktu berlalu, akhirnya Pak Rudi mempersilahkan kami untuk memulai melakukan kegiatan penelitian disini. Aku dan teman-temanku keluar dari ruangannya dan mulai menjalankan tugas kami masing-masing. Aku dan Dwita mulai berjalan menuju salah satu lorong tempat para pekerja beristirahat. Dwita mulai berkomunikasi dengan para pekerja disana. Aku merekam proses wawancara ini menggunakan handphoneku. Pekerja disana sangat welcome dan antusias kepada kami.

Ditengah penelitian kami, aku merasa badanku semakin tidak fit. Lemas sekali rasanya. Aku dudukkan diri. Dwita sempat memberikan minuman kepadaku, dan bertanya tentang kondisiku.

Dwita : Kayanya lo sakit deh, gue telepon Iqbal ya minta dia anter lo pulang (katanya sambil membuka handphone-nya).
Aku : Gak apa, Ta. Santai. Gue kuat kok. Masuk angin kayanya.
Dwita : Ya iya, lo sakit. Bentar. Bal, lagi dimana?
Iqbal : ….
Dwita : Lo kesini ya. Gue ada di Section B1. Bawa kunci mobilnya si Damar. Anter Lia pulang, ya.
Iqbal :

Tidak lama berselang, Iqbal terlihat khawatir dan panik. Dia berjalan cepat ke arah kami.

Iqbal : Lo gak apa-apa, Li? Yuk pulang.
Aku : Gak apa-apa. Bentar, duduk disini dulu ya, Bal.
Iqbal : Oke. Nanti gue anter pulang (dia duduk didepanku sambil membersihkan lensa kameranya).
Dwita : Yaudah, nih gue jalan muter-muter dulu sama Pak Burhan (salah satu pekerja disana). Anterin si Lia ya, Bal. Sore lo kesini lagi, jemput kita.
Iqbal : Iya, nanti gue anter (tanpa menoleh ke Dwita dan masih membersihkann lensa kameranya).

Dwita pun bergegas pergi bersama pekerja itu. Setelah dia meninggalkan kami berdua. Aku mulai berterima kasih kepada Iqbal karena sudah baik mau peduli padaku. Iqbal tidak menjawab apa-apa. Dia mengarahkan kameranya padaku, dan mulai memotretku.

Iqbal : Nah, udah agak jernih nih lensa gue.
Aku : Ih, foto-foto. Ngefans ya? Hehehe
Iqbal : Hmm, gimana? Mau balik sekarang? (sambil memperlihatkan hasil fotonya padaku).

Aku : Ih gendut banget! Apuuuusss!
Iqbal : Hahaha, nanti aja di rumah. Yaudah, yuk balik.
Aku : Iya, yuk. Gak enak badan banget aku tuh.
Iqbal : Oke (memasukan kameranya kedalam tas, dan merangkulku menuju mobil Damar).

Iqbal mengantarkanku pulang. Setelah kami sampai di rumah kontrakan yang kami sewa selama penelitian ini. Iqbal merangkulku menuju kamar. Wangi tubuhnya lagi-lagi membuatku sangat nyaman. Aku masuk kedalam kamar dan menutup pintu. Aku mengganti bajuku dengan baju berbahan manset hitam agak tipis agar aku nyaman beristirahat. Aku mulai merebahkan tubuhku ke Kasur. Wangi tubuh Iqbal belum hilang dari ingatanku. Aku berusaha memejamkan mata, tapi aku tidak bisa. Jantungku berdegup kencang. Berharap, Iqbal menemaniku disini sampai aku terlelap. Tiba-tiba, Iqbal mengetuk pintu kamarku, membawa segelas susu putih hangat.

Iqbal : Nih, diminum ya, nanti.
Aku : Iya, Bal. Nanti aku minum. Hmm, Bal?
Iqbal : Iya, Li? Kenapa? (jawabnya sambil menarik selimut yang kupakai sampai ke menutupi bagian dadaku).
Aku : Makasih ya, Bal. Udah baik sama aku.
Iqbal : Iya, sama-sama (tersenyum padaku).
Aku : Bal, disini aja. Temenin aku ngobrol.
Iqbal : Eh? Iii-iya, Li (tanpa menatapku).

Akupun mengobrol dengan Iqbal. Iqbal kini duduk disamping tempatku merebahkan diri. Iqbal membuka jaketnya, dan memijat kepalaku.

Iqbal : Pusing kepala lo?
Aku : Lumayan, Bal. Hehehe, makasih ya.
Iqbal : Iya, sama-sama. Cepetan sembuh, nanti kalau lo sakit, laporan penelitian kita gak beres hahaha.
Aku : Iya ya. Butuhnya cuma buat ngerjain laporan, wuu (jawabku membelakanginya).
Iqbal : Eh bukan gitu, Li. Hehe, gue khawatir kalau lo sakit (sambil memijat pelan punggungku).
Aku : Iya iya. Hmm, enak, Bal. Punggungku emang pegel dari kemarin.
Iqbal : Jelas enak, lah. Hehehe. Yaudah, tengkurep sana lo.

Aku merasa senang diperlakukan sangat baik oleh Iqbal. Aku membalikan badanku, dan tidur tengkurap. Tangan Iqbal mulai memijat punggungku. Sangat enak sekali. Pijatan-pijatan Iqbal terasa sangat terasa pas untuk punggungku. Sesekali dia memijat bagian belakang bahuku.

Iqbal : Li, tali bh lo buka aja ya. Gak nyaman nih gue.
Aku : Eee-eh, bh-ku? Hmm, ii-iya, Bal.

Aku membuka kait bra-ku tanpa mengubah posisi tengkurapku. Iqbal mulai kembali memijat punggungku. Tangannya mulai berani masuk dalam kaos mansetku dari belakang. Hangat tangannya terasa menyentuh kulit punggungku. Dia memijatku sangat lembut. Membuatku nyaman terhadap apa yang dilakukannya. Dia berhenti sebentar dan izin keluar ke kamar mandi. Aku mengiyakan. Aku masih tertidur tengkurap. Tidak lama, dia kembali masuk ke dalam kamar dan kembali memijatku. Sekita 15 menit dia memijat, dia mulai berani menaikkan bajuku. Aku diam saja menikmati pijatannya. Aku memang merasakan pijatannya berubah. Dari keras, menjadi sentuhan-sentuhan lembut. Tangannya sesekali meyentuh pinggiran payudaraku. Aku tidak curiga sama sekali, karena kupikir itu ketidaksengajaan.

Aku makin menikmati pijatan-pijatan lembut Iqbal dipunggungku. Tangannya memijat pelan dari atas hingga turun kebawah. Tiba-tiba, dia menyentuh bagian atas bokongku. Dia mengelus pelan tanpa bersuara sedikitpun. Aku masih diam. Semakin lama elusannya semakin terasa enak. Aku menikmatinya. Dia mulai berani menyusup kedalam celanaku dari belakang. Awalnya aku masih diam, sampai akhirnya dia berusaha menurunkan celanaku.

Aku : Bbb-bal. Ngapain kamu?
Iqbal : Eee-eh, Li. Kirain udah ketiduran. Hmm, sorry, Li. Gu-guee mau mijet bagian sini (sambil tetap mengelus bokongku dan menurunkan sedikit celanaku).
Aku : Ehmm, iii-iya, Bal.

Iqbal kembali memijat bagian bokongku, sesekali meremasnya. Desiran-desiran nafsu mulai ku rasakan. Nafasku mulai memburu. Aku menikmatinya sekali. Iqbal masih fokus memijat bokongku. Karena celana dalamku ikut tertarik pada saat Iqbal menurukan celanaku, aku yakin akan sangat jelas bagi dia untuk melihat bokongku dengan sempurna.

Tiba-tiba, Iqbal membalikkan badanku. Betapa kagetnya aku melihat dia tidak memakai pakaian. Dia hanya menggunakan celana dalam. Penisnya sangat terlihat menonjol dibalik celana dalam itu. Matanya terlihat sayu. Dia tidak banyak bicara. Matanya menatapku dalam-dalam. Tangannya mulai menarik celanaku kebawah. Aku sempat menahannya. Jangan, Bal, aku mohon, pintaku. Aku tahu, aku sangat menginginkannya. Akupun memang sangat tertarik pada Iqbal. Tapi aku sadar, dia bukan siapa-siapa. Dia bukan pacarku. Akupun tidak tahu, apakah memang Iqbal benar-benar tidak punya pasangan saat ini?

Iqbal hanya diam saja mendengar pintaku. Dia tetap berusaha melepaskan celanaku. Aku kembali menahannya, namun kali ini pertahananku agak sedikit kulonggarkan. Tidak butuh waktu lama dan tenaga ekstra bagi Iqbal untuk melepaskan celanaku. Kini terpampanglah vaginaku yang berbulu dihadapan mata Iqbal. Lagi-lagi Iqbal tidak berkata apa-apa. Tanganku berusaha menutupi bagian vaginaku. Kakiku dikangkangi olehnya. Dibuka perlahan. Aku hanya bisa menatap matanya. Dia mulai mengangkat baju dan bra putih yang kugunakan. Matanya semakin sayu melihat payudaraku. Dia tersenyum padaku, aku balas senyumnya dan menutup mataku seakan memberi isyarat aku membolehkannya melakukan sesuatu padaku.

Iqbal mulai meremas payudaraku. Remasannya begitu terasa lembut, tangannya bergeriliya ke vaginaku yang sudah kubuka begitu saja. Tanganku diangkatnya ke atas. Lalu dia kembali meremas payudaraku. Perlahan dia turunkan kepalanya. Dia mulai menghisap putting payudaraku. AAAAHHH!!! Desahku. Iqbal menjilati putingku, menghisapnya. AAAHH!! Baaaall, aaahhhhh!!! Aku makin tidak bisa mengontrol desahanku. Tangannya sesekali meremas payudaraku. Dia terus menjilati dan menghisap payudaraku. Tangan kirinya pun kini mulai mengelus pelan vaginaku. Jari tengahnya terasa masuk ke lubang senggamaku. Vaginaku mulai basah. Terasa sangat enak sekali. AAH!! AAHHH!!!! BAAALLL!!! Aku udah basah, bangettt! Desahku. Iqbal masih saja diam. Dia fokus pada payudaraku. BAAALL!!! AAHHH!! AKU MAU KELUUUAARRRR!!! Aku berteriak agak kencang sambil memeluknya. Iqbal makin mengencangkan kocokan jarinya di dalam vaginaku. AAHH!! AAHHH!!!!!!! Terasa mengalir cairan vaginaku keluar membasahi jarinya. Iqbal hanya tersenyum.

Lalu dia berdiri disampingku, dan mengeluarkan penisnya. Kini dihadapanku terpampang penis miliknya. Iqbal diam saja. Dia tidak seperti Ali, pacarku yang sering menginstruksikanku ini itu ketika sedang berhubungan. Aku menatap penisnya. Tanpa kusadari tanganku mulai meraih penisnya. Mengocok penis itu pelan. Iqbal mulai menikmati kocokanku. Sesekali kantung bawah penisnya ku remas pelan. Iqbal mencium bibirku. Aku membalas ciumannya. Lidahnya beradu dengan lidahku. Tanganku mengocok lebih cepat lagi. Ciuman kami terasa sangat romantis.

Iqbal melepaskan ciumannya padaku. Dia kembali meremas payudaraku. Aku tidak tahan lagi melihat penis itu. Aku segera mendekatkan bibirku pada penisnya. Aku menciumi kepala penisnya, sedikit menjilatinya. Tiba-tiba Iqbal menarik penisnya, dan memakai celana dalamnya dengan benar lagi menutupi penisnya. Aku kaget. Menatap wajahnya.

Aku : Hmm, eh! Kkk-keenapa, Bal?
Iqbal : Li, gue minta maaf. Gak seharusnya kita gini (katanya sambil menutup tubuhku dengan selimut).
Aku : Ttaapi, aku gak apa-apa, Bal. Jujur, hmm, aku emang suka sama kamu, Bal (jawabku terbata-bata ragu, menatap matanya).
Iqbal : Iya, gue tau dari sikap lo ke gue. Gue juga suka sama lo. Tapi gue gak mau rusak rasa suka gue dengan kita ngelakuin hal kaya gini. Gue mau jaga lo. Sorry, gue udah ngelakuin hal diluar nalar. Maafin gue.
Aku : Jadi, kamu suka juga sama aku? Jadi, hmm kita gimana sekarang? (tanyaku ragu).
Iqbal : Gue gak tau, Li. Yang jelas, gue saat ini mau jadi orang yang selalu ada buat lo, dan selalu jaga lo. Lo pake baju lo, benerin baju lo. Terus istirahat. Gue bakal tungguin lo disini. Jangan bahas apa-apa dulu. Lo pikirin baik-baik dulu tentang hal ini. Gue ke ruang tamu dulu. Istirahat ya (mencium keningku, dan mencium bibirku dengan romantis).

Aku hanya diam saja mendengar jawabannya. Aku merapikan pakaian yang melekat pada tubuhku. Aku merebahkan diri lagi di Kasur. Pikiranku melayang kemana-mana. Aku bingung dengan perasaan ini. Benarkah aku menyukai Iqbal? Atau aku hanya terbawa suasana saat ini? Lalu bagaimana perasaanku terhadap Ali? Benarkah kini aku sudah bisa melupakan ali? Ah! Aku bingung! Pikiranku berkecamuk.

...

...

...


Bersambung…
(Ps: Lanjut? Ok! Just wait there, and enjoy it!)

BACK TO INDEX
Sesi keren nh..👍👍..smp keluar nubi...aseem..mandi dah mtar sahur...😄😄😄
 
kentaaaaannnngggg....biji biru neh suhu udh tinggal ekse malah di hold wkwkwkwk
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd