Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

An Exa11ple of What Ordinary Life is Like [LKTCP 2021]

zredinov

Semprot Baru
Daftar
1 Dec 2013
Post
36
Like diterima
238
Bimabet
"Bayangin, ketika lo lagi asik jalan kaki di trotoar kota, mendadak di depan lo ada bapak-bapak lompat ke jalanan yang bener-bener lagi ramai. Tanpa lihat kanan-kiri, tanpa perhitungan sama sekali. Badannya langsung kena hantam keras oleh mini bus yang lagi melaju kencang, terpental beberapa meter, yang bahkan percikan darahnya sampe mengenai pejalan kaki lainnya.."

"Atau.. bayangin juga.. ketika lo lagi asik makan di warung tenda belakang apartemen.. eehhh, ada potongan tubuh seorang wanita, jatuh dari atas, terus..."

"Kilaa, stop.."

"Please deh, stop.."

"Yahhh, Rereee.."

"Ayolah, kejadian-kejadian yang serem gitu ngga usah lo ceritain muluu.."

"T-Tapii kaann.."

Rere melotot, membuat Kila langsung terdiam. Gadis itu tetap lanjut menulis, meski kali ini masuk ke dalam mode sunyi, tanpa membacakan apa yang sedang ia tulis.

But wait, kalian jangan salah sangka dulu..

Apa yang Kila ceritakan barusan, bukanlah cerita yang mengada-ada. Sejak tiga tahun lalu, Nagara memang sedang dilanda krisis, akibat serangan virus yang oleh mereka, para scientist dunia, sebut dengan SCD-70, Suicidal 70%. Virus yang membuat para penderitanya berpeluang besar untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri secara tiba-tiba.

Lalu, apa yang terjadi saat ini?

=======

AN EXA11PLE OF

WHAT ORDINARY LIFE IS LIKE

==============​

SLICE // 1 :

KILA


Kila masih menulis, tapi kini menulis yang lain, juga dengan menggunakan aplikasi yang lainnya. Protes bertubi-tubi dari Rere akhirnya membuat gadis mungil itu memutuskan untuk mengalah, menutup PenCake, tempat dimana ia biasa menulis cerita-cerita fiksi bikinannya, sebelum diposting ke platform berbagi karya tulis yang untuk sementara ini aksesnya ditutup oleh pemerintah dari orang-orang yang masih tinggal di Ibu Kota Lama.

Di atas chatbox warna hijau yang dibukanya tersemat nama kontak: MAMA :*, Kila melanjutkan ketikan chat-nya, sambil melihat ke luar jendela, mengamati pos penjaga yang tak seramai biasanya.

"Hari ini masak apa, Bu?"

"Ibu, Gio, dan Fani gimana? Sehat kan?"

"Fani sudah betah di sekolah yang baru? Sudah dapat banyak teman baru?"

Centang satu.

Dua tahun lalu, mega proyek pemerintah untuk memindahkan ibu kota Nagara dari Batavia di Yavadvipa, ke Penajam di Varunadvipa telah mendekati tahap akhir, dan untuk mempercepatnya, mereka menjual hak guna, dan hak kelola ibu kota yang lama kepada pihak swasta asing.

Kila, bersama dengan nyaris sekitar tiga perempat populasi warga tersisa yang tinggal di Ibu Kota Lama, terkena imbas dari kebijakan pemerintah tersebut. Mereka belum diijinkan untuk keluar dari Ibu Kota Lama, dengan berbagai alasan. Salah satu diantaranya, mereka adalah penyintas, maupun penderita SCD-70 yang belum benar-benar “bersih”.

Saat ini, Kila menempati Satya Wasa, bekas hotel yang telah banyak berubah, untuk beralih fungsi menjadi Gedung Isolasi dan Rehabilitasi Pasien SCD-70. Kila hanya tinggal satu kamar berdua bersama dengan Rere, teman sekamar yang didapatnya secara random berdasar urutan masuk, sesuai aturan dari pengelola gedung yang membatasi penggunaan satu kamar hanya untuk maksimal dua pasien, dan “satu tamu untuk memenuhi kebutuhan khusus”.

Kila mendapat berbagai fasilitas pengobatan dan terapi gratis sampai sembuh nanti, namun pembatasan yang diberlakukan di sana juga lumayan ketat, termasuk akses komunikasi keluar-masuk yang menyebabkan Kila tidak bisa berkomunikasi secara bebas dengan keluarganya di kampung.

Satu-satunya cara yang bisa dimanfaatkannya adalah dengan menggunakan aplikasi chatting ilegal yang didapatnya dari salah seorang kenalan lama, yang juga owner resto langganannya, meski Kila harus mengalami delay waktu yang cukup menjengkelkan saat sedang berkirim terima pesan dari keluarganya, juga resiko sanksi berat yang mungkin didapatnya andai ketahuan oleh petugas keamanan.

“Whaaaaa, lapeeerrr..” pekik Kila tiba-tiba mengejutkan Rere.

Gadis itu mengangkat tangan tinggi-tinggi, membuat kaos putih cekak yang hanya menutupi bagian dadanya ikut terangkat, menyibak sebagian payudara tanpa bra yang berukuran di atas rata-rata gadis dengan tubuh mungil sepertinya. Kila tak memedulikan beberapa orang yang melihatnya dari dua gedung lainnya, termasuk cowok berambut ikal seleher yang sering memperhatikannya dari lantai 5, gedung A.

“Dihh.. pamer tete?” ledek Rere yang kini berdiri di samping Kila.

“Ihhh, enggaaa..” Kila buru-buru menurunkan tangan, dan menutupi bagian tubuhnya, “Yaa mau gimana lagi, emang ngga boleh dipasang tirai kaannn..”

“Yauda sih, jangan ngambek.. jelekk..” Rere tersenyum, mengelus kepala Kila, lalu menarik pergelangan tangan penuh bekas luka gadis yang telah dianggapnya seperti adik sendiri itu lembut, “Yuk, mandi dulu.. keburu waktunya makan siang..”

“Yuuuk..”

Keduanya beranjak menuju kamar mandi, satu-satunya ruangan yang memiliki privasi di sana.

“Hari ini pesen makanan di BurgerBondz ga?” tanya Rere, yang cepat-cepat menutup pintu setelah Kila masuk.

“Engga ih, kasian tau Ka Avond, kalo direpotin mulu suruh kesini lagii..” Kila menjawab sambil membayangkan sesosok pria gendut, dengan wajah selalu tersenyum, yang setia mengendarai skutik pink tiap kali berkunjung ke Satya Wasa untuk menemuinya.

Kila dan Avond menjadi pasangan teman yang cukup akrab, sejak berkenalan melalui aplikasi streaming LimeLive, salah satu sumber penghasilan utama Kila selama berada di Batavia. Kila adalah salah seorang host paling populer di aplikasi itu, dan Avond menjadi salah seorang top spender, yang juga setia menjaga room Kila agar selalu aman dari gangguan hate comment dan spam tidak menyenangkan sebagian viewers-nya.

Keduanya sama-sama harus tertahan tinggal di Ibu Kota Lama, meski dengan status yang berbeda. Kila adalah pasien SCD-70 yang masih memiliki potensi mengalami gangguan halusinasi berat, sedangkan Avond telah menjadi penyintas, meski belum diijinkan keluar dari Ibu Kota Lama karena masih harus menunggu hasil tes hingga beberapa minggu kedepan.

Kila harus menjalani rangkaian rehabilitasi di Satya Wasa, dan Avond memutuskan untuk kembali melanjutkan bisnis burgernya hingga hari terakhirnya di Ibu Kota Lama, yang entah berapa lama lagi baru tiba.

“Ahh iya ya, soalnya si kecil bawel yang satu ini emang banyaaaaak banget maunya..” goda Rere sambil melepas ikat rambutnya.

“Hihhh..”

Kila dan Rere memiliki perbedaan yang sangat timpang, tak hanya soal fisik, tapi juga karakter keduanya sangat bertolak belakang.

Kila bertubuh mungil, tinggi badan hanya sekitar seratus lima puluhan centimeter, namun memiliki payudara yang cukup besar. Sedangkan Rere, dengan tubuh kurus dan tinggi badan yang cukup menjulang, memiliki payudara cup a yang selalu menjadi bahan ledekan Kila.

"Mau live ga?" Rere bertanya saat tangannya menyilang pada bagian bawah kaos.

"Emang bakal ada yang nonton? Siang-siang gini?"

"Adaaa, lah.. ga semua orang suka nonton tayangan acara seremonial Nagara, tau.."

"Tapi kan, kali ini penting.."

Rere urung melepas kaosnya, lalu mencubit sepasang pipi chubby Kila, "dih, ga percayaan amat si.."

"Aduduhhh, sakiiit.." Kila coba membalas Rere dengan berusaha menggelitik pinggangnya, namun perempuan yang dulu biasa bekerja sebagai dancer itu dengan gesit menghindar.

"Weeekk.."

"Hihhh, iyaa, iyaaa, bentar ku ambil hape dulu.." Kila cepat-cepat berlari mengambil ponselnya, dan dalam sekejap kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Gadis itu menyalakan aplikasi LocaLive, yang kini menjadi satu-satunya aplikasi bebas live streaming yang dilegalkan penggunaannya di Ibu Kota Lama, login, lalu memulai siaran langsung tanpa aba-aba.

"Udah mulai.." kata Kila berbisik.

"E-eh, langsung?"

"Iyaaa, emang mo nunggu apa lagii? Masa mau mandi dandan dulu.."

Rere tertawa mendengarnya, dia bercermin sejenak sambil merapikan rambut sebahunya dengan menggunakan jari.

"Ada orang?"

"Adaa.."

Keduanya bercakap dengan suara masih berbisik. Mata Kila mengikuti gerak angka pengunjung siarannya yang masih terus bertambah. Saat menyentuh angka dua ratus orang, Kila langsung mengarahkan kamera pada Rere yang hanya mengenakan bra dan celana dalam.

"Haaiiiii.. rame ga niiihh? Ramein dooong, ada Rere yang mau live mandii loooh.." godanya.

"Wahhh, belum lima menit udah dua ratusan aja.." Rere berbasa-basi pada penonton, meski dia tau live streaming Kila memang selalu cepat ramai karena popularitasnya.

"Yuk, sawer dulu yuk.. biar Kila bisa makan enakkk selama masih tinggal di siniii.. nanti Rere show mandi pake gaya pinguin dehhh, demi kalian.." Kila berbicara dengan kamera masih menyorot pada Rere.

Dalam kondisi normal, selain ramai pengunjung, live streaming Kila juga selalu ramai dengan komentar rusuh viewersnya, yang selalu enggan bersabar untuk menunggu Kila melepas setiap helai pakaiannya dengan melancarkan berbagai komentar provokatif untuk memancing gadis yang memiliki tahi lalat tepat di bawah mata kirinya itu. Tapi LocaLive berbeda, pemerintah menutup akses viewers untuk mengirimkan komentar pada host.

Menit demi menit berjalan, Kila dan Rere tak memiliki banyak waktu, hanya ada sekitar dua puluh menit sebelum waktu makan siang di ruang makan bersama.

"Berapa?"

"Udah lumayan, lima belas M.."

"Hehh, cepet amat?"

"Aukkk, ya kan kita udah lamaaa banget ngga live bareng di kamar mandi berdua gini.."

"Ahhh, masuk akal.."

Kila dan Rere tertawa lega melihat gift demi gift berjatuhan di room mereka. Ponsel Kila diletakkannya di meja cermin, gadis itu kini bergabung dengan Rere tertangkap frame LocaLive.

"Ayuukkk gaiiiss.. kita live ngga lama niiihh, yuk, yuk, sepuluh M lagi Kila bakalan ikut Rere mandiii, janjiii.."

Kila menahan tawa melihat ekspresi Rere setelah mendengar perkataannya barusan.

"Yeee, si bawel sialan, napa sini yang jadi diumpanin muluuu.." protes Rere sambel menyikut pinggang Kila.

"Kakak kuuu sayaaang, nanti hasilnya fifty-fifty dehh.."

=====

SLICE # 2 :

VANYA


Hanya ada dua wanita, dari sekitar dua puluhan driver pengantar makanan yang tiba pagi ini. Satu wanita berhijab berusia tiga puluhan, satu lagi wanita berambut panjang dengan highlight merah mengenakan jaket kuning yang baru memasuki usia empat puluh tahun beberapa hari lalu. Keduanya memarkir kendaraan bersebelahan, menyerahkan tanda identitas penduduk dan kunci motor pada petugas penjaga portal, lalu menerima kartu akses masuk sebagai pengganti.

“Kok tumben dikirim sendiri?” sapa Tisha, yang berjalan bersebelahan dengan Vanya menuju pos pemeriksaan utama.

“Iya nih, mbak.. Mas Aji lagi ngga enak badan dari kemarin.. harus bener-bener istirahat total dulu..” jawab Vanya tersenyum kecut.

“Lohh.. Mas Aji sakit apa, Van?”

“Biasa lah, mbak.. Demam, lumayan tinggi, untungnya udah ngga musim Covid lagi kayak dulu..”

Tisha dan Vanya berjalan sejajar, sambil membawa beberapa box makanan pesanan penghuni Satya Wasa. Keduanya sama-sama belum memiliki ijin untuk meninggalkan Ibu Kota Lama, maka keduanya pun masih terus menjalankan usaha makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sembari menunggu memperoleh ijin untuk kembali ke kota asal masing-masing. Kebetulan, lokasi warung milik Tisha dan Vanya, cukup berdekatan, hingga membuat keduanya saling mengenal meski tak terlalu dekat.

“Hmm hmm.. Iya bener..” Tisha mengangguk-angguk, "semoga Mas Aji lekas sembuh ya, Van.."

"Iya mbak, makasih doanya.."

“Oya, Vanya ke gedung berapa?”

“Gedung C, lantai 7.. Mbak Tisha?”

“Loh samaan, Van.. lantai 6..”

“Ahhh, lega rasanya jadi bisa barengan..”

Keduanya tiba di depan pintu utama menuju gedung C. Satya Wasa terdiri dari tiga gedung yang membentuk shape diamond, dengan taman yang cukup rindang di tengah, dan gerbang tinggi panjang di bagian depan. Masing-masing memiliki kategori pasien yang berbeda, gedung A untuk mereka yang baru masuk dan masih harus menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apakah mereka masuk ke dalam kategori pasien tingkat ringan, atau berat.

Gedung B untuk para pasien fase lanjutan, yang memiliki resiko paling tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri, dan gedung C untuk penyintas yang masih memiliki potensi untuk mengalami halusinasi berat dengan resiko rendah bunuh diri.

“Mbak Tisha emang selalu kirim sendiri ya?” tanya Vanya sambil menyerahkan makanan yang dibawa kepada petugas untuk dimasukkan ke dalam lorong pemeriksaan. Wanita itu menjadi pusat perhatian para driver laki-laki yang nampak mengagumi kecantikannya.

“Iya nih, si Yoga udah ga mau bantu-bantu ngurusin warung..” Tisha menggandeng tangan Vanya, untuk sama-sama menghadap kepada petugas yang satunya.

“Dia lagi sibuk.. asik belajar ilmu ketuhanan bareng kelompok Nagaraja..” tambah Tisha setelah pemeriksaan mereka berdua selesai.

"Vanya pernah dengar tentang Nagaraja, hati-hati loh Mbak.. orang-orang Tuanku yang langganan di warung sering ngomongin mereka.."

"Loh, kenapa?"

"Katanya, anak-anak Nagaraja banyak yang berbahaya.."

Keduanya masuk ke dalam lift yang sama, hanya berdua, karena lift untuk pria dan wanita di Satya Wasa memang sengaja dipisah sejak awal.

"Bahaya kenapa sih Van?" tanya Tisha setelah pintu lift tertutup.

"Katanya, sebagian besar anak-anak Nagaraja itu pro pemerintah.. Mbak Tisha tau sendiri kan, pemerintah kita gimana?"

"Kayanya nanti mau aku awasin aja dulu deh, Van.."

Lampu indikator dalam lift menunjukkan angka enam, pintu terbuka, Tisha meninggalkan Vanya sendirian setelah berpamitan.

"Makasih yaa, Van.. nanti pulang aku tungguin di parkiran.."

Vanya tersenyum mengangguk, lift yang dinaikinya kembali berjalan naik, dan akhirnya membawa wanita itu tiba di lantai tujuh. Dicarinya ruang nomor 712, dan setelah ketemu, Vanya cepat-cepat menekan bel.

Riiiiinnggggg..

Riiiiiiinnnggggggg..

Seseorang membuka pintu, dan membuat Vanya terkejut setengah mati. Sesosok yang berdiri dihadapannya kini adalah laki-laki yang dulu sempat tujuh tahun berpacaran dengannya, dan menghilang begitu saja tanpa kabar bak ditelan bumi.

Mata Vanya sontak berkaca-kaca, wanita yang berpakaian dengan tema warna cokelat susu itu tak kuasa menahan tangisnya.

"E-Ethan.."

=====

SLICE # 3 :

BADRUS


“Coklat..” bisik Pak Badrus, menirukan rengekan si bungsu, Yuna, saat dulu meminta dibelikan susu coklat kesukaannya.

“Coklat, coklat, susu coklat..”

Pria berusia setengah abad itu berjalan sempoyongan keluar kamar, sementara itu di belakangnya, teman sekamar Pak Badrus yang berusia jauh lebih muda, Hadi, menatap cemas. Diambilnya telepon darurat yang menempel di belakang pintu. Hadi coba menekan angka 0, nomor singkat yang seharusnya bisa digunakan oleh para pasien untuk menghubungi petugas yang berjaga di lobi utama, sebelum kemudian menghubungkan mereka, dengan perawat atau dokter yang tersedia.

Tak ada nada sama sekali. Sesuai seperti apa yang dipikirkan oleh Hadi. Dia masih mengingat peraturan jam aktif telepon darurat yang hanya akan menyala pada tiga periode waktu tiap hari. Sayangnya, jam pertama telah lewat, dan jam berikutnya masih harus menunggu sedikit lebih lama lagi.

Hadi masih dicengkeram oleh rasa cemas dan takut secara bersamaan, meski Pak Badrus, dengan pisau yang digenggamnya erat, yang entah dari mana didapatnya, telah menghilang dari pandangan. Pada akhirnya dia hanya terdiam, dan tak mampu berbuat apapun, Hadi kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Langkah limbung Pak Badrus berlanjut, kali ini melewati pintu dua kamar yang berada di ujung, paling dekat dengan tangga.

“Ehh Pak Badrus.. mau kemana?” sapa Tisha, sambil merapikan kemeja kuningnya yang sedikit berantakan, saat baru keluar dari kamar Ali dan Kunto. Tisha tak lupa untuk kembali memakai jaket, setelah selesai mengaitkan dua kancing kemeja teratas yang sebelumnya masih terbuka.

Pak Badrus sama sekali tak mengacuhkan Tisha. Pria itu masih lanjut berjalan, sambil sesekali meracau sendiri.

“Ssshh..” seorang pria berseragam hijau berkacamata yang berdiri di depan kamar satunya meminta Tisha untuk diam, sembari mengibaskan tangannya penanda menyuruh perempuan itu untuk bergegas pergi.

Tisha mengangguk setelah melihat pisau yang digenggam Pak Badrus, lalu berjalan mengendap, menjauh dari pria tua yang sempat beberapa kali memesan makanan di warungnya.

Sedangkan pria berkacamata yang masih mengamati gerakan Pak Badrus mengeluarkan kalung dengan simbol Asclepius dari dalam kemeja, menciumnya, dan membacakan beberapa doa, memohon agar Dewa Hermes dalam kepercayaannya, menuntun Pak Badrus di kehidupan kekal nanti, dan memberi pesan yang baik untuk mereka semua yang masih hidup di Satya Wasa.

Pak Badrus terus berjalan, terus menaiki tangga, melewati lantai demi lantai dengan langkah kaki yang terasa berat, dan baru berhenti setelah dia tiba di rooftop.

Angin yang berhembus cukup kencang tak mengurangi rasa sakit pada kepalanya. Pak Badrus melangkah maju. Apa yang dilihatnya sejauh mata memandang hanyalah lautan cokelat, dan seorang gadis kecil yang berdiri bertumpu pada potongan pintu mobil, ditengah, terombang-ambing, menatapnya dengan raut sedih dari kejauhan.

“Y-Yuna..” Pak Badrus berjalan kearah Yuna, melewati lautan cokelat yang sejak tadi membuat langkahnya menjadi berat.

Baru berjalan beberapa langkah, muncul pusaran cokelat mengelilingi Yuna. Pusaran itu berputar makin cepat, makin tinggi, menciptakan bentuk menyerupai tubuh manusia berukuran besar yang siap menerkam Yuna dengan jemari tangannya yang tajam.

“Yunaa!!!” Pak Badrus berteriak marah, dia berlari dengan berani ke tengah lautan cokelat, berusaha menyelamatkan putri yang paling disayanginya. Dengan satu gerakan, diangkatnya pisau yang sejak tadi berada dalam genggaman, sambil melompat..

=====

SLICE # 4 :

WASUKI


Braakkkkk!!!

Tubuh Wasuki terpelanting ke tanah merah setelah menerima pukulan telak dari Tuanku. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu mengusap pipi kanannya dengan punggung tangan, sambil melihat Tuanku dengan raut wajah penuh amarah.

Dua dari belasan pria yang berada di sana buru-buru menghampiri, memastikan sahabatnya tak kenapa-kenapa, lalu membantunya untuk berdiri.

“Saka.. Ananta..” Tuanku tersenyum melihat gerakan sigap dua bawahannya, “Yaa, yaa.. saya tahu, kalian bertiga ini memang sahabat sejak kecil..”

“Tapi, sebagai petinggi Nagaraja, coba pikirkan lagi.. apakah yang dikatakan Wasuki tadi sudah tepat?”

“Tentu tidak!!! Tuanku..” jawab Ananta cepat, kemudian beringsut berdiri dan sedikit membungkuk memberi hormat pada Tuanku, “Maafkan kekhilafan sahabat kami..”

“Saya akan memastikan.. kami bertiga, dan anak-anak Nagaraja yang lain, akan tetap ikut.” tambahnya.

“Ta..” baru Wasuki hendak kembali berbicara, dengan cepat Saka segera membekap mulutnya.

“Ga gini caranya..” bisik Saka, yang menarik Wasuki untuk ikut berdiri, kemudian turut memberi hormat yang sama.

“Nanti.. tunggu dulu..” bisiknya lagi.

Tuanku berjalan mendekat, menepuk pundak Saka dan Ananta, “Bagus..”

Pria yang mengenakan pakaian serba putih itu kemudian menepuk sedikit lebih keras kepala Wasuki, “Kalian harus pastikan anak ini tidak mengacaukan semuanya..”

“Siap!!!” jawab Saka dan Ananta bebarengan.

Tuanku lalu berjalan meninggalkan mereka untuk menemui para pemimpin dari beberapa kelompok yang setuju untuk beraliansi dengannya. Di usianya yang telah menginjak angka enam puluh lima tahun, Tuanku adalah tokoh penuh kharisma yang sangat disegani di Ibu Kota Lama, tak hanya sebagai pemuka agama, tapi juga sebagai tetua yang memiliki hubungan erat dengan sejarah perkembangan Batavia.

Hari ini adalah hari yang disebut-sebut oleh Tuanku akan menjadi Hari Sapu Lebu. Pembersihan kota dari dosa, oleh para pejuang-pejuang Batavia yang masih berpegang teguh pada tradisi dan adat lama.

“Ahh, Raka.. dari Wrehaspati..” sapa Tuanku pada seseorang yang berdiri tepat ditengah dua orang bertubuh tinggi tegap yang membawa sepasang bendera putih dengan kaligrafi tulisan warna kuning: बृहस्पति.

“Salam, Tuanku..” balas Raka, sambil memberi hormat.

“Maaf, ada sedikit gangguan.. anak-anak Nagaraja itu, memang masih perlu banyak belajar..” kata Tuanku sambil mengambil salah satu bendera बृहस्पति, kemudian menyerahkannya pada salah seorang bawahan yang mengikutinya, untuk diletakkan berderetan dengan bendera kelompok lainnya.

“Sudah pernah saya bilang, Tuanku tak perlu repot-repot turun tangan, biar saya yang akan mengawasi mereka..” ujar Raka, yang dijawab singkat melalui satu anggukan kepala dari Tuanku.

“Ada total empat belas, seharusnya lebih dari cukup untuk membereskan utara, timur, dan selatan.. sebagian besar petugas keamanan akan berada di pusat kota, untuk mengikuti perayaan peresmian Penanajam sebagai ibu kota yang baru..” gumam Tuanku pada dua orang kepercayaan yang berjalan mengapitnya, saat berlalu meninggalkan Raka.

Senyum pria itu merekah, melihat beberapa kelompok yang telah datang. Hari ini, Tuanku berhasil mengumpulkan tiga kelompok besar, Wrehaspati, Sani, dan Ketu, serta sebelas kelompok kuat lain yang lebih kecil, termasuk Nagaraja.

“Kalian harus percaya..”

“Tuanku udah bener-bener kehilangan akal sehatnya..”

Sementara di salah satu sudut Gedung Nawagraha, Wasuki masih berusaha meyakinkan dua sahabatnya.

“Kita ga mungkin ngikut gitu aja, ini salah, ini bakal jadi dosa yang harus kita tanggung seumur hidup kalo sampe bener-bener ngebunuh mereka semua..”

Ananta mendekatkan kepalanya pada Wasuki, berbicara dengan nada serius "Was, semua bukti yang dikumpulin orang-orang Tuanku, udah lebih dari cukup.."

"Kurir-kurir yang dikirim Tuanku sudah memberi banyak kesaksian, gedung-gedung Isolasi dan Rehabilitasi itu memang sumber masalahnya.. kita harus bereskan, selagi mendapat momentum seperti hari ini.." tambahnya.

"Tapi, kalian harus ingat, Nagara memang harus bertahan dari virus ini.."

"Was!!! Buka mata lo, virus ini ga ada.. seperti kata Tuanku, itu cuma akal-akalan pemerintah untuk melegalkan segala kemaksiatan di sini!"

Saka yang mulai khawatir perdebatan dua sahabatnya akan berujung pada pertengkaran yang lebih besar, akhirnya turut menyumbang suara, "sudahlah, jangan malah berkelahi sendiri.."

"Kita ikuti dulu, lalu lihat nanti saat sudah berada di lokasi.." ujarnya, "lagi pula, Was, Tuanku bukan orang kemarin sore.. beliau adalah orang besar, kita semua tau itu.. kali ini coba kita lihat lebih dekat dulu, ya?"

Wasuki menggeleng-gelengkan kepala pelan, mulai putus asa dengan apa yang mungkin akan terjadi hari ini.

=====

SLICE # 5 :

DHANI


“Maka dari itu.. untuk menghindari terjadinya mutasi varian virus yang baru, maupun gejala depresi, halusinasi, dan kecemasan yang lebih parah.. Demi keamanan, dan percepatan pemulihan kesehatan warga, juga perekonomian Nagara..”

“Presiden, atas rekomendasi kami, menghimbau seluruh warga di Ibu Kota Lama, untuk sementara ini tidak melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis, yang memiliki kandungan vaksin berbeda, sampai tim Kementrian Kesehatan memberikan informasi berikutnya..”

“Itu bener-bener pengumuman paling kampret sih..”

Dua orang penghuni kamar nomor 601 sedang bercakap, menikmati es kopi dengan dua citarasa yang sangat berbeda, sambil menunggu tamu mereka berdua tiba.

"Hhahaha.." Angga tertawa melihat kekesalan Dani, "gue tau, gue tau.. lo pasti bakalan sebel banget kan dengernya.. makanya pengumuman itu gue rekam, gue sengaja simpenin, khusus buat lo.. hahaha.."

"Elah si anjeng.. lagian si Reno, Reno kampret itu terlalu banyak cakap cok.. udah belagak macam presiden kali dia.." Dani mengomel sambil mengaduk es kopi susu kesukaannya, “kali ini kira-kira bawa oleh-oleh apaan nih, cewek pilihan lu yang mau datang?”

“Rhinovac lagi? atau mungkin bisa dapet Astrojp? Jangan Euro Sieben deh, ga bisa dimasukin..”

“Wah, kalo sampe Rhinovac lagi sih anjeng..”

“Hahaha.. apa aja lah, Dan.. asal bukan Delfindoze..”

“Ahh iya sih, kampret, bener juga..”

Angga adalah pengguna vaksin Rhinovac, sedangkan Dani yang divaksin belakangan, mendapat Astrojp. Keduanya adalah sepasang sahabat karib yang kebetulan mendapat kamar yang sama setelah dulu dinyatakan positif menjadi pasien SCD-70.

Berbeda dengan kebanyakan pasien yang lebih memilih memanfaatkannya untuk memesan makanan enak atau jasa pijat dan terapi, mereka berdua biasa menggunakan jatah kunjungan "kebutuhan khusus" untuk memesan wanita penghibur, meski keduanya mengerti, siapapun yang datang tidak akan bisa mereka ketahui terlebih dahulu jenis vaksin apa yang telah didapatkan sebelumnya.

Pengumuman oleh tim Kementrian Kesehatan setengah tahun lalu tadi cukup membuat Dani kesal, karena dia mendapat jenis vaksin Astrojp yang kuantitasnya sangat sedikit, berbanding terbalik dengan Rhinovac yang disuntikkan pada Angga.

Selama ini, nyaris delapan puluh persen wanita penghibur yang datang adalah pengguna Rhinovac, sedangkan lima belas persen berikutnya Astrajp, baru sisanya Euro Sieben.

Riiiiinnggggg..

Bel pintu berbunyi, Angga bergegas menuju pintu untuk membukakan, sedangkan Dani yang mulai kehilangan semangat akibat selalu mendapatkan wanita penghibur pembawa Rhinovac dalam enam kali kunjungan berturut-turut sebelumnya, lebih memilih untuk kembali menikmati es kopi susunya yang masih tersisa setengah gelas..

"Ka Angga kan? Room 601 gedung C.."

Tanya seorang gadis cantik yang berdiri di depan pintu.

"E-eh, iya, iya.. Ayana ya?" Angga gelagapan karena gadis yang ditemuinya saat ini memiliki tingkatan paras cantik yang menurutnya, mungkin bisa berada di satu tingkat lebih tinggi dari bidadari Svarga.

"Iya ka.. Ayana, panggil Ayi aja ya.."

Angga mengangguk, lalu mempersilahkan Ayana untuk masuk. Jantung pria itu kini berdegup kencang, Ayana bahkan lebih cantik dibanding dua gadis yang berada di kamar sebelah. Foto yang dipasangnya di media iklan jasa, juga sama persis seperti aslinya, berbeda pengalaman dengan banyak wanita-wanita penghibur yang dia datangkan sebelumnya.

"Dan!! ini Ayi udah dateng, jan bengong mulu lo.." Angga menepuk punggung Dani yang berdiri membelakanginya, melihat hijau taman Satya Wasa.

"Udah sana cok, sanaa.. buruan.." Dani masih melihat luar, kali ini matanya menangkap adanya sesosok pria tua berdiri di atap gedung C, "pasti Rhinovac lagi.."

Angga tertawa melihat kelakuan temannya, sementara Ayana membuka sling bag tosca yang dibawanya, mengambil selembar kartu yang dulu didapatnya setelah vaksinasi kedua, menunjukkannya ke depan.

"Maaf ka, tapi Ayi bukan pembawa Rhinovac, vaksin Ayi.. Astrojp.."

=====

SLICE # 6 :

AYANA


Setelah selesai dengan Ayana, Dani bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Angga menikmati kecantikan Ayana, yang saat ini masih bertelanjang bulat, membersihkan cairan kewanitaan dan peluh yang bercampur di area selangkangannya dengan tissue.

"Lo umur berapa sih Ay? Cakep amat astaga.." goda Angga yang makin memberanikan diri mendekati Ayana.

"Rahasia dong.. inget himbauan pemerintah, batasin informasi pribadi pada orang asing yang ngga dikenal sebelumnya.. jawab Ayana sambil meledek, menjulurkan lidahnya.

"Gue tambahin duitnya nih.. dua kali lipat.. tapi blowjob gue.. mau ya? Please.."

Ayana terkekeh melihat ekspresi wajah memelas Angga. Gadis itu meninggalkan ranjang, masih dengan bertelanjang. Dia mengalungkan tangannya di leher Angga, menarik tubuh Angga lembut agar menempel pada tubuhnya, membuat kenyal sepasang payudaranya yang berukuran pas dapat dirasakan dengan jelas oleh tubuh Angga.

"Uuuuu.. kasian amat si ka.." Ayana merajuk manja, diciumnya bibir Angga, membuat pria itu terkejut.

Saat Angga akan balas melumat bibir Ayana, gadis rambut bob sebahu itu langsung menarik diri, sedikit memberi jarak diantara tubuh mereka berdua.

"Jangan.."

"Jangan kelamaan, ka.."

"Inget, ijin aku di sini bukan ijin menginap, cuma ijin kunjungan.."

"Langsung masuk aja mau?"

"Tapi, aku mau kasih tau dulu.. kartu yang tadi itu punya adik kandung aku, namanya sama Ayana.."

"Cuma bedanya, vaksin punyaku sebenarnya.."

"Delfindoze.."

=====

SLICE #7 :

JOAN


“San.. San..”

“Gawat, kali ini beneran gawat..”

Joan yang sejak tadi duduk di dekat jendela untuk menunggu Kila dan Rere keluar dari kamar mandi nampak panik. Dia melihat dua mobil box berhenti di depan gerbang, lalu menurunkan sekitar delapan belas pria berpakaian serba putih yang membawa senjata tajam.

"Apaan Jo.. hhoaammm.. ngantuk amat hari ini gue.." Sanada menguap sebelum duduk, lalu mengusap-usap kepala, "gue udah bosen ya, kalo lo suruh liat Rere sama Kila telanjang di gedung seberang.."

"Bukan itu cuk!" Joan masih bermain dengan teropongnya, "coba liat.." cowok berambut ikal sebahu itu memberikan teropongnya pada Sanada.

Setengah ogah-ogahan, Sanada akhirnya mau menghampiri Joan di tepi jendela, melihat apa yang dikatakan rekan sekamarnya itu memang benar.

Kini Sanada melihat orang-orang berpakaian serba putih itu membagi kelompoknya ke dalam tiga bagian.

"Jo, jo.." raut wajah Sanada yang tadinya nampak sedang malas, berubah cepat menjadi lebih serius, "gawat, rumor yang pernah dibilang pengirim burger dua hari lalu, ternyata benar.."

Joan menelan ludah, lalu bergerak keliling kamar, berusaha mencari benda apa saja yang bisa digunakan mereka berdua sebagai alat untuk mempertahankan diri andai terjadi hal-hal diluar kendali.

"San, Kila gimana dong.."

"Kita ga bisa kesana, Jo.. inget, ada kalung peledak ini.. udah, doain aja ga ada hal buruk terjadi.."

=====

SLICE # 8 :

YOGA


“Mas Was, yakin?”

Seorang pemuda enam belas tahun berkulit cokelat menatap Wasuki khawatir. Tangan kanannya masih memegang Buding penuh darah, yang sarung pelindungnya tertinggal entah dimana. Empat penjaga di gedung C tumbang olehnya, dan kini Wasuki malah meminta anak itu berbalik menggunakan senjatanya untuk melindungi orang-orang di dalam gedung.

“Percaya sama gue, Yog.. percaya sama gue..” Wasuki memegang pundak Yoga, menatapnya tajam, “Tuanku, udah gila.. kita, orang-orang Nagaraja, ga boleh hanyut sama arus, ngikutin kegilaannya gitu aja..”

“Tapi, Mas..” ucap Yoga meragu.

Kini ia ada di persimpangan, siapa yang akan diikutinya, Tuanku, atau Wasuki? Mengikuti Tuanku, akan membuat Buding peninggalan ayahnya makin bersimbah darah, dan hati kecil Yoga merasa, itu adalah hal yang salah, pikirannya banyak sependapat dengan Wasuki. Tapi, berada di pihak Wasuki pun, mungkin bukan hal yang tepat, karena itu berarti Yoga harus melawan kelompoknya sendiri.

“Yog..”

“Di dunia kita ini.. Penyihir, ilmu hitam, atau bahkan kutukan itu.. udah ngga ada..”

"Ini urusan medis, biar pemerintah selesaikan.."

Yoga akhirnya mengangguk, tanda setuju dengan Wasuki, tugas mereka sekarang adalah mengejar Ananta dan Saka, yang lebih dahulu pergi ke lantai atas.

"Kita harus hentikan mereka berdua, Yog.."

=====

SLICE # 9 :

RERE


Kila menangis melihat Rere ditelanjangi, lalu diseret ke bawah, menuju taman. Orang-orang Wrehaspati sukses mengumpulkan tujuh orang penyintas dengan vaksinasi delfindoze dari gedung C, termasuk Rere. Sementara itu kelompok yang masuk ke dalam gedung A dan B belum nampak keluar.

"Wah, orang-orang delfindoze memang cantik-cantik, ya.. sesuai apa yang dikatakan Tuanku.. para penyihir dunia ini, memang selalu menyaru bak seorang bidadari" Raka melihat satu persatu wajah hasil perburuannya sambil menyalakan rokok, "tapi sayang, kalian harus diberesin.."

Raka berjalan, kemudian berhenti tepat di depan Vanya, "Tuanku pernah bilang, banyak perempuan bersuami, yang main-main dengan laki-laki lain, termasuk mantan pacarnya.."

"Saya beruntung sepertinya, bisa mendapat satu.."

Putra kandung pemimpin Wrehaspati itu menatap Vanya dengan mata penuh kebencian. Wanita itu hanya mampu menangis, tangannya diikat, mulutnya yang sejak tadi berteriak setelah tubuhnya dipaksa telanjang, telah disumpal oleh sobekan baju yang tadi dikenakannya.

Raka mengelus leher jenjang Vanya, kemudian mengambil sebilah pedang panjang dari tangan bawahannya. Pria itu mengambil ancang-ancang untuk bersiap menebas kepala Vanya.

"Lepasin dia anjing!!!" Rere yang posisinya tepat berada di samping Vanya berteriak, membuat seluruh mata kini tertuju padanya.

"Wah, wah, ada lesbian sok galak ternyata.." balas Raka, yang kini berjalan ke arah Rere, dan mengayunkan pedangnya kencang ke arah leher teman sekamar Kila itu.

=====

SLICE # 10 :

REJAKA


“Gimana, Ren? Berapa persen?”

“Masih belum sampai lima puluh persen, Pak.. hanya sekitar tiga puluh lima persen..”

“Tchh..”

Reno menemani Presiden Rejaka berada di Ruang Pengawas, memantau ratusan monitor yang menampilkan berbagai kejadian yang sedang terjadi di masing-masing kamar dari tiap Gedung Isolasi dan Rehabilitasi Pasien SCD-70 yang tersebar di beberapa kawasan di Ibu Kota Lama.

“Ini nggak bagus, Ren..” ujar Presiden Rejaka sambil mengusap dagunya dengan ibu jari, "kita mulai kehabisan waktu.."

"Tapi grafik kesembuhannya masih merangkak naik, Pak.. meski memang belum terlalu jauh.. masalahnya terletak di mutasi virus dan bentuk gejala halusinasi yang benar-benar unpredictable" Reno menunjukkan beberapa tabel statistik dengan menggunakan tablet, "sisa waktunya masih enam bulan lagi, sebelum kontrak dengan Tiongkok selesai.. kita bisa percepat, namun.."

"Pasti akan mengorbankan lebih banyak orang." timpal Presiden Rejaka.

Reno tak memberikan tambahan. Pria itu lebih memilih untuk diam, menunggu kata-kata berikutnya yang mungkin keluar dari mulut Presiden Rejaka.

Dia mengikuti orang nomor satu di Nagara itu berjalan-jalan berkeliling, tertegun sejenak saat melihat beberapa pertunjukan adegan yang tak diharapkannya. Seorang gadis yang terus berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan berbagai macam cara, dua orang sahabat saling membunuh di dalam kamar yang sempit, hingga seorang istri yang malah tertawa bersama dengan sorang teman kamarnya, ketika melihat suaminya melompat dari atap gedung seberang.

"Nggak bisa dibiarin, Ren.."

"Kalau gerak virus ini makin nggak karuan, ini lebih nggak baik lagi untuk Nagara.." Presiden Rejaka mengusap dahinya yang berkeringat, sebelum mengambil keputusan besar yang bisa sangat berpengaruh untuk kelangsungan hidup rakyatnya.

"Jalankan fase berikutnya, kita kebut sampai tuntas.."

=====

SLICE # 11 :

ADENIA


Saat terbangun, Adenia hanya melihat langit-langit kamar yang terasa asing untuknya, juga wajah seorang gadis bertubuh mungil yang sama sekali tak pernah dia kenal sebelumnya.

“Heiii, sudah bangun?” sapa gadis itu ramah.

Adenia tak menjawab, dia hanya melihat sekilas, adanya banyak bekas luka pada pergelangan tangan gadis itu. Adenia berusaha duduk sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat berat. Di lehernya melingkar gelang metal warna perak dengan lampu kecil yang menyala hijau di tengah. Susah payah, gadis berwarna rambut blonde itu berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

Jerit tangis, dan teriakan panik disekitarnya lamat-lamat terdengar, bersamaan dengan bayang-bayang kekacauan yang terjadi di sepanjang jalan Tunjungan. Pelan-pelan, Adenia mengingatnya, kejadian mengerikan saat festival budaya di Kota Pahlawan.

“Adi.. Revan..” Adenia memanggil nama pacar dan adiknya lirih.

Ingatannya sampai pada titik saat ada dua orang yang mengenakan hoodie dan topeng smiley putih, menembaki kerumunan warga yang sedang menikmati parade kostum dan tari dari berbagai negara.

Mereka berdua berlarian, dan terus menembak secara membabi buta, hingga saat senapannya ditujukan ke arah Adenia, Revan buru-buru beringsut maju kedepan, memeluk, melindungi kakaknya satu-satunya. Tubuh Revan yang jauh lebih besar, sukses menjaga Adenia dari hujan peluru, namun tidak dengan dirinya sendiri.

Melihat Revan tumbang setelah melindungi Adenia, Adi berusaha sekuat tenaga berlari mendekati sang penembak untuk menghajarnya. Usaha yang sia-sia, karena setiap gerakan Adi terhambat oleh orang-orang yang berlarian berusaha menyelamatkan diri. Beberapa peluru menghentikan gerakannya, menyisakan Adenia yang kemudian perlahan mulai kehilangan kesadaran.

“Heiii, mengingat sesuatu?” gadis mungil yang duduk tepat didepannya menatap Adenia cemas, meski dia tak berhenti melahap setiap gigitan burger yang tadi pagi dipesannya.

Adenia mengangguk putus asa, tatapannya kosong. Membuat sang gadis mungil yang sejak tadi memperhatikannya beranjak berdiri setelah burgernya habis tak bersisa.

“Hemmm..”

Gadis mungil itu mengambil telepon darurat di belakang pintu, lalu menekan angka 0. Dalam beberapa dering, terdengar suara seorang pria mengangkat teleponnya.

“Ya?”

“Haloo.. Kila, di kamar 603..”

“Pasien dengan tag nama Adenia, udah bangun..”

Gadis itu langsung menutup telepon setelahnya, berjalan menuju ranjang, mengambil ballpoint dan buku catatan, sebagai pengganti smartphone yang kini haram digunakan di dalam kawasan Satya Wasa, lalu mulai menulis sambil merebahkan diri.

“Ga ngerti hari yang ke berapa..”

“Tapi, kalo ada orang baru gini di kamar..”

“Biasanya, Kila udah sampai di awal chapter yang baru..”
 
nitip bangku ya hu. mau mampir2 nanti :D :D
 
ini keknya karya paling kacau diantara para peserta lain, wkwkwk.. :bata:

ss ga ada, cerita ga kelar, tiap part kelewat dikit, dll dll... :D

tapi ga ada alasan buat itu, yang penting bisa post dulu.. semoga bagian lengkapnya bisa wa beresin buat rilis di kemudian hari.. :ampun:

* thanks to oom mimin, oom modwill, oom jurijuri, dan juga peserta yang lain.. :)
 
Konsepnya bagus, sayang kurang detil di awal mula virus menyebar, ganti plotnya cepet bgt, kayak dikejar KRL, endingnya gak bener2 tamat, wkwkwkkkk Ethan Vania yang ditunggu2 malah gak nongol, pembaca kecewa deh.

Rating 4/10
No hurt feelin' bro
Lanjutin di cerbung oke nihh
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd