Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Arsella Hasna Hilyani [No Sara] [Update #48]

Status
Please reply by conversation.
Part 15a - Fani Side Story
Tag: Eksibisionis, BJ, HJ



------====°°°°°°°°====------
POV Orang Ketiga


Matahari beranjak semakin meninggi memberikan terangnya. Setiap sudut bumi ia beri cahaya hangatnya. Kecuali di sudut salah satu gedung dimana dua insan sedang bertabu ria.

Cloopp.. Cloooppp.. Clooopppp..

"Urrrghhh.. emutan bibirmu makin enak, Dek.. Urrghhh.." erang si lelaki.

Tubuhnya menyandar di tembok. Di depannya sedang berjongkok seorang akhwat dengan gamis lengkap dan hijab syar'i nya namun sungguh kontras karena mulutnya sedang ia gunakan untuk menghisap batang yang seharusnya haram baginya.

"Urrghhh.. Iya, teruss.. Pake lidahnya, Dek.. Iyaah gituuu.. Uuurrghhh.." erangnya.

Sang wanita seolah semakin semangat mengetahui lawan mainnya keenakan seperti itu. Makin ia mainkan penis keras di mulutnya itu. Sambil bibirnya menghisap batang yang maju mundur di dalamnya, ia gunakan lidahnya untuk menyapu urat-urat yang mengelilinginya.

Tak pelak si lelaki pun semakin mengerang dan menggelinjang keenakan. Seluruh aliran darahnya kini seolah memusat pada batang pusakanya yang semakin keras itu. Nafsunya makin meninggi saat sesekali ia melihat ke bawah, menyaksikan ekspresi si gadis yang juga nampak sange dengan pipi yang makin mengempot.

Saat kemudian dering hape berbunyi menganggu aktifitas tak pantas itu.




"Halo assalamualaikum.."
...

"Iya, kamu kesini sekarang ya, Eko.. Kamu tau Fakultas Psikologi kan? yang sebelahnya Masjid Kampus itu lho.. Kamu tunggu sebentar di perpustakaannya ya.."
...



Begitulah perintah Bagas kepada Eko, supir kantornya. Karena masih memegang hape, Bagas lalu sekalian beralih menelepon. Hingga terdengar nada sambung dari ujung sana.





"Halo, assalamualaikum Umi.."
....

"Iya, ini Abi dah di deket Maskamp kok Umi.. Nanti Abi susul ke situ ya, Umi.."
....

"Ya.. Waalaikumsalam.."
....






Setelah menutup teleponnya, Bagas kini bisa fokus dengan bribikan akhwat di depannya ini yang tidak lain adalah sahabat dekat dari istrinya.



73e1ed1353751265.jpg

Fani

Fani yang menyadari Bagas sudah menyelesaikan teleponnya itu juga melanjutkan sepongan bibir mungilnya. Penis Bagas mulai hilang timbul di dalam bibir pink itu.

Clop.. Clooppp.. Clooopppp..

"Urrghhh.. Kamu mainin memekmu pakai mainan yang kamu bawa tadi, Dek.." kata Bagas memberi perintah di sela-sela emutan bibir Fani di penisnya.

Fani pun hanya memberi isyarat anggukan karena bibirnya tersumpal batang keras Bagas. Dan kemudian tangan Fani turun ke bawah melewati gamisnya dan masuk menuju selangkangannya. Mainan yang dimaksud Bagas ternyata adalah semacam dildo kecil.

Yang cukup mengejutkan, ternyata Fani membawanya dengan menyumpalkannya di lubang anusnya. Hingga saat Bagas memberi perintahnya tadi, Fani harus menarik buttplug itu. Plopp..

Sedetik kemudian, Fani menggunakan buttplug itu untuk ia gesek-gesekkan di bibir kemaluannya yang perawan sambil terus menyepong kontol Bagas. Fani seolah sudah mengerti keinginan dan fantasi Bagas. Bahkan kini Fani memiliki banyak koleksi buttplug dan dildo-dildoan di kamarnya yang ia dapatkan dari Bagas ataupun ia membelinya sendiri. Tentunya untuk menuntaskan nafsu birahinya saat ia sedang tinggi. Rahasia kecil yang bahkan Sella sebagai sahabatnya pun tak tau.

Sambil berjongkok, ia merasakan vaginanya kini sudah sangat basah hingga lendir kemaluannya menetes ke bawah karena Fani juga sudah melepas celana dalamnya begitu sampai tempat ini tadi. Sensasi geli-geli nikmat membuat birahi Fani makin meninggi. Makin ia gesek-gesek bibir vaginanya, makin liar juga ia menghisap penis Bagas.

Clopp.. Cloppp.. Clooppp...

Bagas pun sekuat tenaga menahan agar tak buru-buru sampai. Dia yang sibuk sekali akhir-akhir ini karena pekerjaannya membuatnya jarang menuntaskan nafsunya termasuk dengan istrinya sendiri. Semalam sebetulnya ia punya agenda meranjang dengan Sella, tapi tak kesampaian. Sehingga sebentar saja kontolnya itu diservis oleh bibir mungil Fani membuatnya tak kuat bertahan lama.

Fani pun semakin kuat menyedot-nyedot penis Bagas, memaju-mundurkan kepalanya yang terbalut jilbab syar'i. Apalagi tangannya semakin aktif menggesekkan buttplug di belahan memeknya, membuatnya tak kuat menahan laju birahinya hingga empotannya pun semakin kencang di kontol Bagas. Matanya juga sesekali melirik ke atas, memberi tatapan nakal dan binal pada Bagas.

Dua insan yang tak memiliki ikatan halal itu semakin larut pada birahinya. Tak memedulikan tabir iman yang seharusnya menjaga mereka. Bahkan tak memedulikan lagi kalau mereka saat ini sedang berada di ruang publik, di samping gedung kampus tempat seharusnya moral dan etika dijunjung.

Perbuatan tabu antara keduanya semakin lama semakin menjadi-jadi. Dulu Fani malu-malu ketika bertatapan dengan lawan jenis, namun kini ia tak lagi peduli kalau harus melayani Bagas, tuannya itu, di tempat umum. Awalnya memang terasa canggung, namun entah mengapa Fani seolah melumrahkan ini semua.

Tentunya asal apa yang mereka lakukan tak terlihat oleh orang lain. Sudah tak terhitung berapa kali keduanya berasik-masuk di tempat umum. Malahan Fani seolah memiliki sensasi lain saat harus bermesum di ruang terbuka seperti ini. Campuran antara rasa takut dan penasaran. Meski Fani masih perawan, namun tak menghalangi perbuatan mesumnya dengan suami sahabatnya itu.

Seperti saat pagi ini dia diminta berjongkok dan mulai menyepong kontol keras Bagas, tak ada lagi sebersit penolakan. Kepalanya dengan lihai maju mundur di depan selangkangan Bagas.

Clopp.. Clooppp.. Cloopppp..

Bagas seolah bagaikan majikan bagi Fani. Meskipun bagi Fani, Bagas adalah sosok yang memiliki tempat spesial di hatinya. Dengan Bagas, Fani tak lagi memiliki batas ketabuan. Ekspresi mesum nya bisa ia tuntaskan saat bersama Bagas.

Setiap jengkal tubuh lelaki Bagas seolah menjadi sasaran rasa penasaran Fani hingga tak segannya ia untuk bereksplorasi. Seperti saat ini saat ia menggelitik penis Bagas sambil mengempot dan menghisap-hisap batang keras itu.

Sesekali juga Fani mendorong kepalanya hingga mentok. Wajah cantiknya sampai menempel di selangkangan Bagas. Kontol Bagas-pun menusuk hingga ujung mulutnya, lalu Fani diamkan kepalanya sampai matanya memerah, sebelum ia tarik kepalanya lagi tepat sebelum kehabisan nafas. Sesuatu yang malu ia lakukan dengan suaminya kelak.

Beberapa lama kontol kerasnya bersarang di himpitan lembutnya bibir Fani itu akhirnya membuat Bagas tak kuat juga dan mengerang hebat.

"Urrrggghhh.. keluar aku, Dek.."

Crott.. Croottt.. Croootttt..

Banyak sekali cairan kental Bagas yang keluar dari ujung lubang kencing kontolnya akibat memang sudah beberapa hari terakhir tertahan di testikelnya. Fani dengan lihai segera menjalankan tugasnya dengan mengurut lembut kontol Bagas, mengeluarkan isinya hingga tetes terakhir. Ujung penis Bagas masih bersarang di lembutnya bibir Fani.

Pejuh yang keluar itu langsung tertampung di mulut Fani. Tanpa diduga, Fani tak langsung menelan sperma itu melainkan ia kumur-kumur sambil kepalanya mendongak ke atas menghadap Bagas. Matanya menggoda saat memainkan sperma itu di mulutnya layaknya bintang bokep.

Sungguh tak masuk akal saat wanita yang kesehariannya tampil alim dan tak pernah absen liqo' itu kini sedang berjongkok di depan selangkangan pria yang bukan mahramnya dan sedang berkumur-kumur dengan sperma lelaki itu layaknya yang biasa ia lakukan saat berwudhu.

Glekk..

Fani lalu menelan semua sperma Bagas itu dan memasang senyum manis di wajahnya seperti bintang film biru yang lazim menelan sperma lawan mainnya. Inisiatif-inisiatif mesum yang ia lakukan demi membuat Bagas senang. Ia seolah sedang menunjukkan bahwa ia bisa memuaskan tuannya itu.

Bagas lalu menarik Fani hingga berdiri. Tubuh sang akhwat perawan itu lalu ia balik hingga menghadap dinding. Pantat Fani lalu ia tarik hingga sedikit menungging, sebelum kemudian Bagas menyingkap gamis Fani sebatas punggungnya. Nampaklah paha hingga pantat Fani yang putih mulus tak berpenghalang lagi itu. Bagas lalu mulai meremas-remas pantat Fani.

"Hhsss.. Hhmmpphh.." Fani mendesis pelan saat pantatnya digrepe-grepe dari belakang seperti itu.

Nafsu sudah mendominasi tubuhnya hingga ia melupakan semua iman dan norma yang harusnya ia jaga teguh. Tubuhnya yang beberapa hari juga tak dijamah Bagas seolah menagih pelampiasan. Ia ingin merasakan kerasnya penis Bagas di lubang belakangnya.

Tapi Bagas sepertinya hanya ingin bermain-main dengan pantat Fani. Dengan gemasnya, tangannya meremas-remas bongkahan putih mulus itu hingga lama kelamaan mulai nampak memerah. Tangan Bagas lalu merambat turun menuju tengah selangkangan sang gadis.

Nampaklah bibir perawan yang sungguh rapat berwarna pink itu. Seandainya Bagas tak menahan diri, sudah sejak beberapa saat lalu ia membuka segel perawan Fani. Vagina berhias bulu-bulu halus tipis di sekitarnya itu pasti menggoda setiap lelaki yang melihatnya.

Namun Bagas masih terlalu berat memikirkan masa depan Fani hingga ia tak tega untuk menuruti nafsunya itu. Dengan buttplug yang tadinya menyumpal pantat Fani lalu Bagas gunakan untuk kini menggesek-gesek belahan bibir vagina Fani.

"Hmmmppphh.. Ssshhhh.."

Mata Fani terpejam sambili bibirnya tak malu-malu untuk mendesah seiring buttplug dingin itu yang menoel-noel sisi luar vaginanya itu. Lendir demi lendir kenikmatan terus keluar menandakan birahi Fani yang makin meninggi. Peluh semakin banyak keluar membuat lengket badannya yang terbalut gamis dan jilbab syar'i.

Selama beberapa lama Bagas memanjakan vagina Fani dengan menggesek-gesek liang surgawi sang akhwat. Birahi yang kian membara membuat Fani semakin dekat dengan klimaksnya, hingga ternyata Bagas menghentikan rangsangan buttplug itu di vagina Fani.

Waktu yang kian siang membuat Bagas berfikir untuk mengakhiri momen ini selain dia memang ada janji dengan istrinya, akibat kesalahan yang ia lakukan semalam di ranjang Bagas dan Sella. Di samping hari yang semakin terang membuat lorong kampus yang mereka diami itu akan semakin ramai dan malah menimbulkan masalah seperti yang pernah mereka alami di kolam renang tempo hari.

Bagas lalu memindahkan buttplug itu menuju pantat Fani. Ia masukkan lagi buttplug itu mengisi lubang pembuangan Fani.

"Hooooouuuhhh.." lenguh panjang Fani saat Bagas memasukkan buttplug itu kedalam lubang anusnya secara perlahan seolah menikmati momen ini sebelum berakhir.

Bagas kemudian membenahi celana dalam Fani, menaikkanya ke atas menutupi selangkangan Fani dengan buttplug yang masih tertancap di dalam pantat Fani. Gamis Fani kemudian ia rapikan juga sebelum Bagas ikut berdiri.

Nafas Fani masih terengah-engah akibat nafsu yang masih belum terlampiaskan. Bagas yang mengerti itu membiarkan Fani untuk menuntaskan lelahnya terlebih dahulu sebelum berpamitan dengan sang akhwat dan kemudian beranjak dari tempat itu.

Bagas lalu berjalan dari lorong itu dan saat berbelok di ujungnya, ia mendapati Eko sedang menunggu di situ.

"Eh kamu, Ko.." kata Bagas, "Ko, anterin temennya Ibuk pulang ke rumahnya ya, di Kotabaru.." Eko lalu mengangguk, yang tak lama kemudian Fani muncul menyusul di belakang Bagas.

"Eh, kamu bawa dokumen kontrak yang aku minta tadi to?" tanya Bagas ke Eko, "Habis kamu antar Fani, kamu anterin dokumen itu ke Dirman ya, biar dia follow up."

"Asiap, Bos." balas Eko.

Eko sempat menyiratkan senyum, yang membuat Bagas sedikit mengernyit. Bagas curiga ini Eko sudah lama sampai sini tapi sedari tadi dia diam saja menunggu.

"Awas jangan macem-macem lho.. Ini bukan perempuan kaya yang biasa kamu ajak buat nemenin kamu.." kata Bagas berbisik di telingan Eko. Yang lagi-lagi dibalas anggukan oleh Eko sebelum Bagas berlalu berlawanan dengan Eko yang juga beranjak dari tempat itu.

Fani berjalan mengikuti Eko di belakangnya menuju parkiran. Hingga keduanya masuk ke dalam mobil operasional yang memang digunakan Eko. Fani duduk di belakang, sementara Eko berada di kursi kemudi menjalankan Mobil yang lalu berlalu dari kampus itu.

Sepanjang perjalanan Fani yang terlihat kelelahan itu nampak memejamkan mata hingga ia tak menyadari Eko yang sesekali memerhatikan Fani lewat kaca spion tengah di atas dahboard mobil itu. Terlebih lagi Eko memerhatikan Fani yang duduknya agak gelisah, seperti ada sesuatu yang didudukinya hingga membuatnya tak nyaman.

Yang tentu saja karena ada buttplug yang menyumpal lubang pantat Fani. Apalagi Fani yang sedang terpejam itu masih membayangkan seandainya Bagas tadi memberinya kepuasan alih-alih membuatnya kentang seperti ini. Tatapan Agus tentunya dominan ke arah dada Fani. Fani yang duduk ya gelisah seperti itu membuat gamisnya sesekali menampakkan asetnya yang membusung indah dari balik kain itu. Tak pelak sambil mengendalikan setir, celana

"Bu, ini rumahnya yang dibelakang Padmanaba itu bukan ya?" tanya Agus memecah kesunyian.

"Eh.. Iya, Mas.. Bener.." jawab Fani. Tak terasa mobil yang mereka kendarai sudah dekat dengan tujuannya. "Mas, berhenti di pos satpam dulu ya.."

"Oh iya, baik Bu.." kata Eko sopan.

Mobil pun tak lama sampai di ujung kompleks di lingkungan dengan nuansa mewah itu.

"Saya turun ke pos Satpam dulu ya, Mas.." kata Fani, "kalau Masnya mau balik nggakpapa kok, saya sendiri aja jalan kaki ke rumah.."

"Saya anterin aja, Bu. Saya tadi dititipin amanah sama Pak Bagas buat nganter sampai rumah soalnya tadi.." balas Eko sopan meski hatinya menyiratkan maksud lain.

"Oke, deh.. Bentar ya mas kalau gitu.." kata Fani.

Fani lalu berjalan ke sebarang ruas jalan itu menuju pos satpam.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam, eh Mbak Fani.. Mau ambil kunci ya, Mbak?.." kata lelaki di pos satpam yang memakai papan nama di seragamnya bertuliskan 'Suprapto'

"Iya, biasa Pak.. Tadi Mbak Yuni nitipin nggak ya, Pak?"

"Iya, nih Mbak.." kata Suprapto yang kemudian menyerahkan serenteng kunci kepada Fani.

"Makasih ya, Pak" balas Fani. "Yaudah saya duluan ya, Pak.. Syukron, Pak.. Assalamualaikum.."

"Iya, Mbak.. Waalaikumsalam.." jawab Suprapto.

Matanya sangat berbinar-binar saat berinteraksi dengan Fani tadi sebelum Fani berbalik keluar dari Pos Satpam itu. Harinya yang membosankan untuk sesaat tercerahkan saat bisa berinteraksi dengan bidadari berjilbab secantik Fani tadi hingga pandangannya tak bisa lepas dari wajah ayu sang akhwat. Suprapto sudah lama memendam kekaguman akan sosok Fani itu. Di tengah arus pergaulan anak-anak muda di lingkungan ini, tapi Fani terlihat teguh memegang prinsipnya yang ia lihat dari penampilannya yang selalu tertutup rapat. Entahlah itu rasa kagum atau nafsu yang muncul akibat pancaran paras cantik Fani itu.

Fani yang sudah berlalu itupun kembali masuk ke mobil Eko. Mobil itu lalu berjalan masuk ke dalam kompleks yang nampak sepi dengan pagar-pagar rumah yang menjulang tinggi setinggi-tingginya. Hingga mobil itu sampai di depan pagar rumah Fani.

Fani kemudian turun dari mobil itu dan segera masuk ke dalam rumahnya. Ia segera naik ke lantai dua ke lantaumenuju kamarnya karena sesungguhnya ia ingin segera ganti baju. Sudah tak nyaman dengan keringat yang membuat basah gamisnya itu.

Di dalam kamarnya, Fani kini mendapati dirinya di depan cermin. Terpantul dari kaca itu sesosok akhwat dengan baju lebarnya, namun tak bisa menutupi keindahan tubuhnya, terutama area dadanya yang tak berlapis apapun dibalik gamis itu. Sangat wajar jika sepanjang perjalanan tadi Eko melirik ke arah Fani menyaksikan gundukan kembar yang seolah meminta keluar dari gamisnya itu.

Fani menghembuskan nafas panjang. Dirinya merasa lega akhirnya sampai juga ia di kamarnya. Di pantatnya tersumpal buttplug sebagai tanda perpisahan dari Bagas tadi yang membuatnya tak nyaman sepanjang perjalanan tadi.

Merasa tak enak di area selangkangannya, Fani kemudian menunduk, tangannya meraih celana dalamnya dari balik gamisnya. Kemudian ia menarik turun celana dalamnya lepas melewati betis jenjangnya. Saat ia pegang celana dalamnya, kain tipis itu terasa sangat becek.

Dirinya baru sadar bahwa sedari tadi memeknya mengeluarkan lendir kenikmatannya sendiri. Nafsu yang tadi tertahan dan belum tertuntaskan tadi pagi membuat birahinya masih hangat tersisa. Membayangkan seandainya Bagas tadi menuntaskan rangsangannya untuk membawa Fani menuju klimaksnya.

Beruntungnya kini Fani berada di kamarnya, tak perlu sungkan untuk berfantasi sendiri. Bahkan satu tangan Fani ternyata sudah meremas teteknya sendiri. Mulutnya mulai mendesis pelan seiring benaknya yang terbang membayangkan Bagas sedang mengeksploitasi dirinya seperti biasanya.

Saat sedang asik sendiri seperti itu, tiba-tiba Fani merasakan tubuhnya dipeluk erat dari belakang. Untuk sesaat Fani merasa fantasinya menjadi nyata dan membayangkan Bagas benar-benar sedang menjamah tubuh seksinya itu.

Sebelum kemudian nalar Fani kembali dan segera menengok ke belakang. Alangkah terkejutnya ia saat menyadari bahwa yang sedang memeluknya dari belakang adalah Eko. Sebelum sempat berteriak, Eko sudah menutup mulut Fani dengan tangan kasarnya.

Rontaan dan jeritan Fani pun hanya menjadi gumaman tak bermakna saat tubuh sang Akhwat itu didekap oleh tubuh besar hitam si lelaki di belakangnya.

"Mas, apa-apaan ini? Lepasin saya..!" jerit Fani saat tangan Eko berpindah turun.

Tak memedulikan rontaan dan jeritan Fani, Eko mulai kurang ajar saat dengan beraninya mulai menggrepe-grepe tubuh Fani. Tentu saja sasaran utamanya adalah toket gede Fani.

"Percuma teriak-teriak,Mbak.. Rumahe kosong ngene, dan daerah sini juga kan sepi banget to.." kata Eko terkekeh.

Remasan tangannya makin kuat di tubuh Fani. Satu tangannya memeluk perut langsing Fani, sementara tangan lainnya meremas-remas toket Fani bergantian kiri dan kanan. Meski terlapis gamis dan jilbab syar'i, namun tubuh seksi sang akhwat itu seolah tak berlapis apapun apalagi tak ada dalaman lain di baliknya.

Ukuran buah dada Fani yang super besar itu seolah memang meminta diremas dan dijamah seandainya tak tertutup apapun.

"Hehe, Mbaknya seksi banget sih.. Pake jilbab tapi kok susunya njeplak gitu.." kata Eko, "Ternyata bener dugaan saya, kalau Mbak Fani nggak pakai kutang.."

"Mas udah, Mas.. Hiks.." Fani mulai sesenggukan mendapati nasibnya di kamarnya sendiri itu. Jantungnya berdebar-debar makin kuat diliputi rasa takut.

Dirinya belum pernah mendapati kondisi semenakutkan ini di dekapan lelaki lain. Terakhir ia mendapati nasib tragis saat disekap oleh Broto. Tapi saat itu Broto dan kawan-kawannya belum menyentuhnya. Kini ia harus mengalami lagi ketakutan itu, bahkan lebih parah karena Eko sudah berani menjamah tubuhnya secara langsung.

Eko kemudian mendorong tubuh Fani. Hingga tubuhnya itu kemudian jatuh terbaring di kasurnya. Benaknya bercampur rasa takut dan penyesalan kenapa dia harus sendirian di rumahnya saat ini.

Mendapati sang akhwat terbaring telentang, Eko seketika mengangkat kaki Fani yang masih memberi hentakan perlawanan meski kalah dengan tenaga Eko. Eko langsung menyingkap gamis Fani hingga sebatas pahanya. Nampaklah kaki jenjang Fani yang masih terbungkus kaos kaki sampai betisnya.

Mata Eko langsung terkesiap menyaksikan mulusnya paha putih Fani. Tak menyiakan waktu, Eko menyingkap lagi gamis Fani sebatas perutnya. Voila! Selangkangan Fani yang tak terhalang apapun itupun langsung tersaji untuk dinikmati mata Eko.

Bulu-bulu halus menghiasi sekitar selangkangan sang akhwat membentuk indah tampilan bibir kemaluan perawannya yang tembem itu. Sambil masih memegangi kaki Fani dengan dua tangannya menahan perlawanan dan berontaknya kaki Fani, Eko mendekat mencoba melihat lebih jelas bibir bawah Fani yang nampak sangat rapat itu. Hingga Eko bisa melihat ada sesuatu yang juga menyumpal lubang anus Fani.

"Hiks.. Mas jangan, Mas.. Saya masih perawan.." rengek Fani di tengah rontaan tak berartinya.

"Hah? Nggak mungkin.. Perawan kok ini ada mainan di pantatnya, Mbak?" kata Eko

Satu tangan Eko kemudian ia gunakan untuk melepas celana panjangnya sendiri. Nampaknya ia sudah tak sabar menikmati sang gadis. Terbukti dari celana dalamnya yang mumbul akibat desakan isi di dalamnya.

"Hiks.. Beneran, mas.. Ampun.. Saya baru mau nikah bulan depan.."

Fani menangis makin pilu, wajahnya tiba-tiba makin membiru. Dia tak mau keperawanannya hilang saat ini kepada lelaki asal-asalan seperti ini. Tubuhnya merinding melihat Eko yang tinggal mengenakan celana dalam itu meskipun masih memakai baju.

Eko ternyata muncul rasa ibanya. Ia tak tega juga melihat badan Fani yang gemetaran seperti itu. Tak ada enaknya menikmati perempuan yang ketakutan seperti itu. Satu tangan Eko yang memegang betis Fani juga merasakan badan si akhwat itu yang semakin terasa dingin. Pertanda memang dia takut beneran.

"Oke, oke Mbak.. Nggak usah nangis gitu.."

"Hiks.. Hiks.." Fani masih sesenggukan.

Eko kemudian mundur, melepaskan pegangannya dari betis Fani. Fani mulai berani membuka matanya perlahan.

"Tapi ini saya udah ngaceng ik Mbak.. Piye, dong?" kata Eko tetap mesum.

Fani tak menjawab apa-apa, dan masih terduduk di pinggiran kasur setelah bangun dari berbaringnya tadi. Isaknya masih terdengar meskipun pelan.

Tak diberi respon apapun, Eko kemudian berjalan ke samping menuju lemari Fani. Ia langsung membuka-buka lemari Fani. Saat ia buka, ia melihat gaun putih panjang layaknya gaun pengantin menggantung di tengah lemari Fani.

"Weh, kamu beneran mau nikah to ini, Mbak?" Komentar Eko. Ia lalu melanjutkan memeriksa lemari Fani. Setiap laci lemari kayu itu ia buka, seperti seorang perampok yang sedang menggeledah rumah jarahannya.

Itu juga yang ada di benak Fani. Fani membiarkan saja Eko mengobrak-abrik lemarinya mungkin mencari barang berharga di dalamnya. Biarlah ia mendiamkan lemarinya digasak, asal bukan kehormatannya yang dirampas.

Eko masih membuka setiap laci lemari Fani, hingga ia membuka satu laci yang isinya cukup membuatnya tertarik. Di dalamnya ia temukan kumpulan buttplug, vibrator, dan dildo milik Fani. Eko pun lalu tersenyum kembali dengan simpul mesum di wajah bopengannya.

Fanipun seketika langsung lemas, mendapati Eko menemukan barang-barang mesum pribadinya itu yang berusaha ia simpan di laci rahasianya. Bahkan Sella sahabatnya sendiri yang sering datang menginap tak mengetahui laci itu menyimpan dildo-dildo itu.

"Hmm.. Oke, Mbak.. Saya janji nggak akan ngontholin Mbak Fani, tapi Mbak Fani harus ikutin semua kata saya.." kata Eko.

Fani seketika merasakan ketakutan meliputi dirinya lagi. Tapi kemudian ia merasa lebih takut lagi ketika ia membayangkan harus diperawani Eko. Membayangkan skenario-skenario itu membuat Fani terdiam.

"Gimana, Mbak? Kalau Mbak nggak mau ikutin kata saya, ya Mbak Fani akan saya perkosa.." kata Eko mengancam lagi.

Fani yang merasa tak punya pilihan yang lebih baik pun hanya mengangguk perlahan.

Di sisi lain, sebetulnya yang dilakukan Eko hanyalah gertak belaka. Ia sebenarnya juga tak berani nekat seperti itu. Ia masih takut dengan Bagas, si bosnya, takut dengan konsekuensi ketika ia bertindak nekat menggasak Fani.

Eko ini hanyalah anak kampung yang merantau di kota ini, dan ikut Bagas sebagai sopir di kantornya sudah sejak lama. Dia terlalu berhutang kepada Bagas hingga tak berani mengkhianati perintah Bosnya itu. Meskipun saat ini ia sedikit melanggar larangan Bosnya akibat nafsunya yang muncul, meskipun belum bertindak terlalu jauh.

Jika memang ia tak bisa merasakan memek Fani, tak apalah baginya masih bisa jajan ke pelacur lain seperti yang ia biasa lakukan. Lebih baik seperti itu daripada jika ia ketauan nekat menggarap Fani dan kemudian malah dipecat Bagas, kehilangan sumber penghasilannya dan harus pulang ke kampungnya. Setidaknya ia masih bisa sedikit bermain-main dengan akhwat cantik yang sedang terduduk di depannya ini.

"Oke, Mbak Fani harus ikutin saya dan ikutin semua perintah saya, seenggaknya buat hari ini aja, karena saya udah ngaceng ini, dan saya butuh pelampiasan.." jelas Eko lagi

Fani diam saja, tak mau mengiyakan atau menolak perintah Eko. Ekopun lalu berjalan menuju lemari Fani lagi. Dia ambil beberapa potong baju Fani dari dalam lemari itu, kemudian ia berjalan menuju kasur Fani, dan meletakkan baju-baju itu di kasur itu.

"Hiks.. Ini buat apa, Mas..?" kata Fani sambil menyeka pipinya ketika bulir air mata masih menetes.

Di sebelahnya ia melihat semua adalah baju yang diambil eko adalah baju kesehariannya di rumah, ada tanktop, kimono, dan beberapa celana dalam. Ada juga jilbab lebar yang diambil Eko.

"Jadi, sekarang Mbak Fani harus ikutin semua perintah saya ya.." kata Eko lagi, "Yang pertama, Mbak Fani sekarang lepas baju.. Semuanya..!!"

"Hiks.." diamnya Fani masih sesenggukan.

"Nggak usah nangis lagi dong, Mbak.. Saya kan udah janji nggak akan apa-apain.. Gampang kan, tinggal ikutin semua apa yang saya minta, cuma hari ini aja kok.." kata Eko.

Fani sesungguhnya masih enggan menuruti perintah lelaki kampung itu. Namun di sisi lain ia juga paham kalau ia tak punya pilihan lain, apalagi ketika Eko memberinya kode untuk segera melepas bajunya.

Fani kemudian mulai melepas jilbabnya dengan masih terduduk. Ia buka penutup kepalanya terlebih dahulu, karena tak mungkin ia buka gamisnya yang tak ada lagi penutup di baliknya. Meskipun kepalanya adalah aurot yang harus ia tutupi, ia lebih memilih itu daripada Eko harus melihat badannya. Siapa tau ada keajaiban yang membuat ini semua berakhir sebelum saat Fani harus membuka bajunya, begitu harap Fani.

Mata Eko terkesiap saat melihat gadis cantik di depannya yang tak lagi memakai jilbabnya. Rambut Fani yang hitam lurus sebahu itu benar-benar sempurna memahkotai wajah ayunya. Fani sempat khawatir saat membuka jilbabnya Eko akan menjadi kasar. Namun ia hanya melihat lelaki itu ngowoh menyaksikan dirinya yang melepas jilbabnya.

Hal yang tak disangka Fani adalah tiba-tiba ia merasakan sensasi lain di tubuhnya. Melihat lelaki di depannya itu terpana melihat wajahnya, apalagi nanti jika melihat tubuhnya. Memikirkan itu membuat Fani merasa sedikit bangga.

Selama beberapa saat Fani hanya diam. Ia masih sedikit enggan untuk melanjutkan melucuti pakaiannya sendiri di hadapan lelaki asing.

"Ayo lanjutin,Mbak.. Kok berhenti.." kata Eko setelah selesai dari rasa terpananya.

Fani yang tak punya pilihan lain pun perlahan bangun dari duduknya di tepi kasur itu. Tak ada jalan lain selain ia kini harus melepas gamisnya. Tangannya lalu menuju ke belakang punggungnya. Ia raih ujung resleting gamisnya yang berada di tengkuknya sebelum kemudian ia menarik turun resleting itu. Semua ini dilakukan Fani sepelan mungkin.

Ia masih berharap ada mukjizat yang menyelamatkannya dari ini semua. Di depannya Eko ternyata cukup sabar menunggui Fani. Ia seolah sedang melihat aksi slow-motion dari akhwat cantik yang bersiap melepas baju di hadapannya.

Ketika resleting itu lepas, gamis berkain halus itupun langsung mulai melorot dari tubuh Fani. Namun tangan Fani ia tangkupkan di dadanya, sehingga baju itu tak jadi melepas membuka tubuhnya. Fani masih enggan, dan berharap untuk terakhir kalinya kalau ia tak harus telanjang di depan Eko.

Eko yang girang karena gamis Fani itu sedang jatuh langsung kecewa karena Fani menahan dengan tangannya. Seketika itu juga ia kembali memberikan kode kepada Fani untuk melepaskan pegangan tangannya di gamis itu.

Tak punya daya upaya lain, Fani pun dengan amat perlahan melepaskan genggamannya sebagai usaha terakhir memegangi gamisnya untuk menutupi tubuhnya. Dan kemudian sang hukum alam bernama gravitasi-pun membantu Eko memuluskan niatnya. Terpampanglah tubuh putih dan mulus Fani saat gamis itu jatuh sepenuhnya di lantai kamarnya.

Eko girang bukan kepalang. Rasa frustasi dan penasarannya karena sedari tadi menunggu itu akhirnya terbayar saat gadis cantik di depannya ini polos tanpa busana, walaupun tangan Fani berusaha menutupi dada dan selangkangannya.

Namun tangan mungil Fani itu tak bisa menutupi buah dada bulat dan besar yang membusung indah itu. Eko langsung paham kenapa Bosnya bisa-bisanya terpikat pada gadis ini. Toket super besar dan indah itu memang tak pernah gagal memancing semua birahi lelaki, termasuk bosnya.

Eko memanglah bukan lelaki alim, dia sering menyewa pelacur jalanan. Dan parahnya lagi Eko dengan terang-terangan kadang mengajak Bagas untuk ikut serta. Bagas tentu saja menolak, dan awalnya marah dengan kelakuan Eko itu. Buat Bagas, istrinya di rumah lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan lahir batinnya. Meski marah dengan Eko, namun lama kelamaan ia membiarkan saja Eko dengan kebiasaan bejatnya itu. Karena meskipun mesum seperti itu, Eko adalah karyawan yang amanah dan nurut di mata Bagas, oleh karena itu Bagas masih mempertahankan Eko sampai sekarang.

Di lingkungan kerja mereka, sering sekali Bagas diiming-imingi entertainment semacam itu, namun Bagas selalu profesional dan menolak dengan halus tawaran-tawaran itu. Eko yang menjadi supir pribadi Bagas tentu tau karakter Bagas yang seperti itu. Eko pun memiliki rasa simpatik pada bosnya itu. Berkali-kali ia ajak bosnya itu untuk mencicipi perempuan lain, namun Bagas tetap teguh pada prinsipnya. Ia kagum dengan setia dan rasa cinta si bosnya itu kepada istrinya.

Hingga pagi tadi, Eko terkejut saat mengintip dan mendapati Bagas sedang di-blowjob oleh seorang wanita lain yang bukan istrinya. Tak tanggung-tanggung saat ia melihat si perempuan yang memakai jilbab syar'i dan baju kurung lebar, hampir senada seperti yang biasa dipakai oleh istri bosnya. Ia tak menyangka ternyata Bagas bisa luluh juga kepada perempuan lain. Ia jadi penasaran kepada siapa sosok yang bisa membuat Bagas sampai menyeleweng seperti itu.

Dan kini, perempuan itu sedang telanjang di hadapannya. Matanya terkesima menyaksikan bidadari seindah Fani sedang bugil di depannya. Tak pernah ia lihat perempuan dengan tubuh seseksi itu sebelumnya. Sungguh tak ada bandingannya dengan perempuan yang selama ini ia sering sewa.

Fani kemudian mulai menunduk ia menuju betisnya untuk melepas kaos kakinya. Lebih tepatnya ia tak ingin berdiri mematung saja dan mencoba menutupi aset di tubuhnya dengan menunduk seperti ini, melepas kaos kakinya adalah cara agar ia tak jengah dipandangi Eko seperti itu.

Namun naasnya, saat menunduk akan melepas kaos kakinya, Fani malah mempertontonkan buah dadanya yang menggantung. Seolah ingin jatuh, dua buah dada besar dan kencang itu benar-benar menggoda Eko yang berada di depan Fani.

"Nggak usah dilepas kaos kakinya, Mbak.." kata Eko.

Eko kemudian menuju kasur Fani, tempat ia menaruh banyak pakaian Fani yang ia ambil dari lemarinya tadi. Eko kemudian memilah, tempat ia menaruh banyak pakaian Fani yang ia ambil dari lemarinya tadi.

"Ini.. Pakai ini, Mbak.." Eko memberikan satu kimono yang biasa Fani pakai untuk tidur, dan jilbab yang tak terlalu lebar yang biasa Fani pakai sehari-hari di rumahnya.

Fani segera mengambil baju itu dari tangan Eko. Ia segera memakai kimono itu dengan cepat. Sudah terlalu jengah ia harus telanjang di depan lelaki asing itu. Meski tak menutupi semua kulit tubuhnya layaknya gamis yang biasa ia pakai, setidaknya ada kain penghalang yang menutupi badan mulusnya itu.

Fani kemudian memakai jilbab pink bergo yang diberikan Eko juga. Jilbab itu hanya bisa menutupi sebatas lehernya. Belum lagi kimono nya yang tak begitu muntupi, sehingga sebagian kulit dadanya terlihat jelas dengan tulang selangka yang terlihat seksi di bawah lehernya itu. Dan ketika Fani menarik ujung kimononya agar semakin menutupi tubuhnya, tonjolan di dadanya malah makin terlihat kian membusung. Belahan dadanya makin jelas menunjukkan garisnya di sela-sela patahan kain kimono itu.

"Nah, sekarang Mbaknya keluar ke situ tuh.." kata Eko menunjuk balkon di luar pintu kaca di samping kamar Fani. "Nanti Mbak boleh masuk kalau saya bilang masuk.."

"Ih, enggak ah, Mas.. Malu.. Keliatan dari jalan.." kata Fani. Lantai dua balkon kamar Fani itu memang cukup terlihat dari jalan meski ada pagar yang mengelilingi balkonnya.

"Hehe, kenapa malu, Mbak? Badan seksi kaya Mbak Fani ini nggak usah merasa malu dong.. Kan seneng harusnya kalau badan seksinya diliatin orang.." kata Eko memberikan racun mesum pada Fani.

Fani lalu menggeleng-gelengkan kepalanya kuat, berusaha menolak perintah dan kata-kata motivasi Eko itu, meski kata-kata Eko itu mulai terputar-putar di benaknya.

"Lagian sepi kok, jam segini orang-orang kan pada di rumah semua.. Nggak lama deh, saya janji.." kata Eko.

Fani masih geleng-geleng.

"Ini aja nih, pakai masker ini.." kata Eko yang mengambil masker yang kebetulan berada di atas meja rias Fani.

Fani masih terdiam.

"Ayo, Mbak.. Mending mana, ikutin apa kata saya, Mbak cuma keluar kesitu sebentar, atau saya entotin.."

Kata-kata Eko itu langsung menusuk benak Fani. Ia kembali tersadar bahwa di posisinya ini ia tak punya nilai tawar sama sekali. Tak punya pilihan lain, Fani lalu mengambil masker itu dari tangan Agus dan memakainya. Hingga kini dari wajahnya, hanya mata yang berhias bulu lentiknya itu yang terlihat.

Eko lalu menunjuk balkon lagi, memberi kode kepada Fani untuk segera menjalankan apa yang Eko minta. Fani kemudian dengan perlahan berjalan menuju pintu kaca itu. Ia buka kunci pintu kaca itu, kemudian ia geser pintu kaca itu.

Fani kemudian keluar melewati pintu itu, namun hanya berdiri di tepi dinding kamarnya.


"Agak ke tengah dong, Mbak.. Masak di pojokan gitu.."

Fani lagi-lagi menggeleng pelan, sebelum Eko memberikan perintah lagi. Fani pun perlahan berjalan hingga menuju sisi tangah balkon itu. Ukuran balkon itu tidaklah begitu luas, hanya sekitar 4 x 4 meter. Berdiri di tengahnya membuat Fani merasakan dirinya cukup terekspose.

Jantung Fani berdebar-debar kencang. Baru kali ini ia dengan sengaja hampir telanjang hanya mengenakan kimono tipis dan jilbabnya di ruang terbuka. Fani rasanya ingin menangis, tapi tak bisa karena deg-degan yang ia alami. Semoga saja ini opsi yang sepadan daripada jika ia harus disetubuhi Eko.

Dan yang tak ia kira, ia malah merasakan sensasi lain. Bulu kuduknya berdiri merasaakan sensasi aneh itu. Ia memang takut dan berharap tak ada yang melihatnya berdiri hampir bugil seperti itu, namun sisi lain dari dirinya muncul rasa penasaran bagimana kalau ada yang melihatnya seperti ini. Ia membayangkan yang tidak-tidak hingga tubuhnya merasakan sedikit percikan birahi. Puting buah dadanya perlahan mulai mengeras, tercetak dibalik kimono tipisnya.

Fani belumlah lama berdiri mematung di bawah terik matahari itu, namun sebentar saja bagi fani terasa lama sekali saat ia harus mempertontokan sebagian besar kulitnya itu, hal yang tak lumrah ia lakukan.

Tak diketahuinya, ternyata ada petugas PLN yang sedang berjalan melewati rumah Fani. Dan untuk sesaat si pemuda pedagang asongan itu sempat melihat ke arah lantai dua rumah Fani.

Meski cukup berjarak dari tempat ia berdiri, tapi cukup terlihat ada sesosok perempuan yang hanya memakai kimono seperti sedang berjemur di atas balkon rumah itu. Kimono kecil itu tak bisa menutupi tonjolan di dada Fani karena ukuran buah dada Fani yang super gede itu. Bahkan kalau dilihat dari dekat, puting Fani semakin tercetak jelas dibalik kain itu.

Petugas pencatat meteran itupun untuk sesaat mencoba mengamati lebih jeli ke atas. Pagar yang menghalangi balkon itu membuatnya tak yakin apa yang ia lihat. Siapa tau dia hanya berhalusinasi karena terik matahari, dan seharian dia berjalan dari rumah ke rumah untuk mencatat meteran.

Tepat saat itu, Eko memberi Fani kode untuk masuk ke dalam kamarnya lagi. Tak mengambil waktu lebih lama, Fani segera masuk kembali ke dalam kamarnya dengan cepat. Petugas listrik yang diluar itu lantas celingak celinguk saja tak percaya apa yang ia barusaja lihat. Dia yakin telah melihat sesosok bidadari berjilbab yang hampir telanjang namun saat matanya mencoba lebih jauh mengamati, tak lagi ditemuinya sosok itu.

Fanipun langsung merasa lega telah kembali ke kamarnya. Degupan jantungnya kembali normal, meskipun ia kembali merasa jijik karena ada Eko di kamarnya itu. Yang tak ia sadari, ada semacam perasaan puas di dalam diri Fani karena baru saja mempertontonkan tubuhnya yang hampir telanjang di luar ruangan barusan. Padahal dia barusan melakukan dosa. Ini dosa karena ia barusaja memamerkan auratnya di, tapi toh Eko juga sudah melihat badan telanjangnya. Begitu bisikan setan di telinganya.

Waktu yang beranjak siang membuat Eko terpaksa harus melanjutkan pekerjaannya, karena bagaimanapun ia masih terikat tanggung jawab, apalagi ini bukanlah hari libur. Ia teringat tugas dari bosnya untuk mengantarkan dokumen.

"Pakai ini, Mbak.." kata Eko memberikan secarik celana dalam tipis dan kecil itu.

Fani segera mengambil dan memakainya. Secuil apapun pakaian yang ia terima ia langsung pakai. Ia masih memiliki harga diri untuk menutupi tubuh indahnya meski itu hanya sekian senti.

"Sekarang Mbak Fani ikut saya ya, tapi pakai baju gitu aja.. Saya harus nganter berkas ke orang kantor.." kata Eko.

"Eh, enggak ah, Mas.. Saya ganti gamis dulu.." elak Fani.

"Udah gitu aja, Mbak.. Mbak Fani di nunggu dalem mobil aja kok.." kata Eko.

Dahi Fani berkernyit, ia berusaha mencerna perintah Eko itu. Hatinya masih bimbang apakah ia masih harus mengikuti semua permintaan Eko. Ia kira Eko hanya ingin "bermain-main" di rumahnya saja. Namun kini ia harus mengikuti Eko untuk keluar dari zona nyamannya.

"Ayok, udah ditungguin nih saya.." Eko memegang tangan Fani, dan menarik Fani untuk keluar kamar. Sebelum keluar, Eko sempat mengambil beberapa dildo dan vibrator yang sudah ia siapkan sebelumnya dari atas kasur, dan memasukannya ke dalam sakunya

Tak punya pilihan, Fani pun pasrah mengikuti Eko berjalan keluar kamar dan menuju mobil kantor Eko. Entah mengapa Fani tak lagi menolak saat Eko menggengam pergelangan tangannya, padahal beberapa waktu sebelumnya Fani begitu ketakutan saat Eko menyentuh kulitnya. Kini ia diam dan menurut saja saat tubuhnya digiring turun dari lantai dua rumahnya.



Part 15 "Breakout" to be continued..
 
Finally... Wkwkwk
Makasih banyak suhu

Tapi ga tau bilang gimana sih kalo sampe perawan Fani ampe diambil ama cowo ga jelas... Perawan Fani cuma milik Diki,, kalo bisa buat Bagas sih... Wkwkwk
:Peace::Peace:
 
Terakhir diubah:
Finally... Wkwkwk
Makasih banyak suhu

Tapi ga tau bilang gimana sih kalo sampe perawan Fani ampe diambil ama cowo ga jelas... Perawan Fani cuma milik Diki,, kalo bisa buat Bagas sih... Wkwkwk
:Peace::Peace:
Hehe... Like this...

Ditunggu update selanjutnya hu, Ajib dah pokoknya
Yang part 15 ini agak selo dulu ya....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd