Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Arsella Hasna Hilyani [No Sara] [Update #48]

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Tetap kangen sella ... sampai ke ubun2
🏵🌸🌺🌼🌷🌹
 
Ga kerasa udah setahun ikutin mbak sella, makasih banyak hu untuk ceritanya. Semoga tetep sehat, banyak inspirasi, banyak waktu luang buat lanjut cerita mba sella & mba fanny
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 17a
Tag:
Blowjob, Masturbation, Affair, VCS



Gemericik air shower terdengar menembus dinding kamar mandi di hadapanku ini yang memang tidaklah tebal. Aku berdiri sambil membawa handuk dan alat mandiku, sambil menunggu giliranku. Hingga pintu di depanku terbuka, dan keluarlah Najla setelah menyelesaikan bilasnya.

Tak terlalu lama aku mandi karena masih ada beberapa sahabatku yang antri. Sampai aku selesai bersih-bersih ku dan berganti lagi dengan gamis warna merah maroon lagi. Di gazebo samping kolam kulihat sudah tak ada lagi kawan-kawanku. Kemana ya mereka? Mungkin menunggu di depan. Akupun bergegas keluar pintu kolam ini.

Aku kini bisa tenang untuk kembali renang. Lelaki kurang ajar bernama Agus yang mata dan kelakuannya tak bisa dijaga itu sudah tak ada lagi di sini. Infonya, dia diberhentikan oleh Ummu Nida sendiri karena performa kerjanya. Entah bagaimana caranya Mas Diki bisa mengatur agar itu terjadi.

Terlebih, kami tak bisa melewatkan kesempatan ini. Pasalnya, ini adalah kali terakhir kami beraktivitas bareng Ustadzah Azizah, sebelum beliau berpisah dari kami. Aura kesedihan masih sesekali menyelimuti majelis yang kami ikuti. Dan benar saja, di depan sana beberapa kawanku saling berpelukan melepas sendu bersama seorang sosok Ustadzah idaman hati.

"Sudahh.. Sudaaahhh.. Nggak usah berlebihan gitu sedihnya.. Adinda, Dini, sudah ya meweknya.." kata Ustadzah.

"Huwaaa.. Hiks hikss.." diberi tau seperti itu malah makin mewek kedua gadis itu.

Akupun ikut-ikutan ngumpul di situ bersama teman-temanku. Melepas rasa untuk mungkin terakhir kalinya di kolam renang ini. Satu persatu dari kamipun pamit. Hingga hanya menyisakan Ustadzah Azizah, Aku dan Fani.

"Ukhti Fani, Afwan ana besok nggak bisa ikut acara lamarannya ya.. harus packing-packing barang-barang rumah.." kata Ustadzah.

"Oh iya, Ustadzah, tafadhol.. minta doa restunya aja ya, Ustadzah.."

"Kalau itu sih pastii.." jawab Ustadzah

"Lagian mau nikah panjang banget prosesinya.." timpalku.

"Hahaha.. Iya ya, kak.." kata Fani tertawa mengiyakan, "maklum anak Sultan, resepsinya aja berkali-kali.." timpalnya lagi menyunggingkan alisnya.

"Nggak masalah kok.. yang penting tetep syar'i kan prosesinya, Say?" tanya Ustazah.

"Woiya jelas dong.. Semua saran dan bimbingan Ustadzahku yang cantik ini pasti tak kerjain.. Udah aku delegasikan semuanya ke Anggun selaku EO dadakan, hihihi.."

Dan kemudian Ustadzah mengucap salam dan berlalu ke mobilnya.

"Kak Sella, hari ini jadi main ke tempatku kan?" tanya Fani, "Nemenin Anggun siap-siapin buat besok.."

"Iya, say.. Insyaallah.. Tapi aku harus ke dokter dulu ya, agak nantian ke rumahmunya.."

"Siipp.. Amaan.." balasnya dengan senyum dengan lesungnya yang makin membuatnya tambah manis dan cantik itu.

"Eh, Say.. Nanti setelah merit pas kamu udah pindah, ada rencana mau aktivitas apa?"

"Belum kepikiran, Kak.. yang jelas kaya yang Ustadzah Azizah selalu bilang: semulia-mulianya istri adalah yang ada di rumah.. Hehe.. Palingan ya di rumah aja sih, Kak.."

"Hehe.. Solehah banget ya Ukhti satu ini.. beruntung deh yang bakalan jadi suaminya.. Udah siap belum buat malam pertama nanti??.." balasku.
Muka Fani langsung memerah dan menggerakkan tangannya.. "Aiiiih.. kok dicubit sih lenganku.. Huufftt.."

Kamipun bersenda gurau sesaat sebelum Fani berlalu menuju mobilnya dan pulang. Tak berapa lama menunggu aku lihat mobil Mas Bagas yang memasuki pelataran masjid kampus ini yang kental dengan nuansa hijau karena pepohonannya. Sosok laki-laki ganteng yang berada di balik kemudi itu lalu melambaikan tangannya ke arahku.


6dd7be1350878273.jpg

Arsella Hasna Hilyani


90c3971350878298.jpg

Fani







------====°°°°°°°====------




"Hmm.. Iya sih.. Ini nggak ada masalah sih di keduanya.." kata Dr. Zahra.

Matanya tajam berhias bulu matanya yang lentik dibalik frame kacamata bulatnya itu. Tangannya membolak-balik dokumen-dokumen rekam medis milikku dan milik Mas Bagas. Jilbab warna hitamnya kontras dengan wajahnya yang putih bersih, seputih jas dokternya yang ia pakai. Aku sebenarnya ketar-ketir juga mendengarkan diagnosa nya, tanganku berkeringat dingin memegang lengan Mas Bagas.

Mas Bagas juga memegangi tanganku sambil tetap menyorotkan raut tenang, seolah memberitauku semua akan baik-baik saja. Jemarinya mengusap-usap lembut di atas jemariku. Meskipun aku juga tau kalau sebenarnya tidak ada masalah dengan kesehatan reproduksiku.

"Iya.. Hasil spermanya bagus dari Bapaknya. Dari Ukhti juga sehat-sehat aja.." kata Dokter.

"Diterusin aja ya ikhtiarnya.. Jadi memang ada case beberapa sel telur itu cenderung memiliki window ovulasi yang cepat. Yang kalau keduluan atau kelewatan dari window itu akan susah dibuahi. Satu-satunya cara ya sering-sering campur buat Antuma.. gitu ikhtiarnya.. saya belum mau pakai cara ivf atau bayi tabung, karena Ukhti Sella ini rahimnya sehat-sehat aja kok.." dr. Zahra menjelaskan.

"Yuk kita cek dalam.." kata Dr. Zahra.

Akupun lalu berbaring di bed prakteknya untuk di-usg. Layar monitor yang terpampang di atas memperlihatkan sisi dalam organ reproduksiku, sambil dr. Zahra menjelaskan.

"Ehh.. ini kayaknya lagi subur nih.." kata Dr. Zahra, "kapan terakhir jima' ?" tanyanya.

Aku langsung memucat diam. Mas Bagas juga diam. Tak ada yang menjawab pertanyaan Dokter, karena memang sudah agak lama terakhir kali aku berhubungan dengan Mas Bagas. Entah itu karena aktivitasku atau kesibukan Mas Bagas.

"Bapaknya kapan terakhir keluar?" tanya Dokter sambil tangannya masih menggerak-gerakkan tongkat USG itu.

"Mmm.. Anuuu.. mm.. udah agak lama sih Dok.." jawab Mas Bagas gugup.

"Yaudah.. malem ini ya.. pokoknya malem ini harus campur kalian.." kata Dokter.

Mukaku memerah lagi menahan malu ketika dokter berucap seperti itu. Rasanya baru kali ini ada orang lain yang menyuruh kami untuk jima' seperti itu. Dokter masih melanjutkan penjelasannya hingga beberapa waktu sebelum aku dan Mas Bagas selesai konsultasi. Kami berjalan keluar bilik kliniknya. Di luar sudah banyak yang menunggu giliran. Dr. Zahra ini memang terkenal di kalangan akhwat meskipun aku baru tau juga.

Semua pasiennya kulihat memakai jilbab syar'i lebar, beberapa diantaranya memakai cadar. Kamipun lalu berlalu beranjak pergi dari klinik nya. Mas Bagas harus ke kantornya lagi, sementara aku sudah janji akan ke rumah Fani. Mas Bagas mengantarku terlebih dahulu ke rumah Fani.

Di sepanjang perjalanan di mobil, aku memegang lengan Mas Bagas. Entah kenapa, anjuran dokter tadi untuk kami bercinta membuat darahku langsung berdesir. Sepertinya aku memang sedang masa subur nih. Mas Bagas sesekali membalas memegang jemari tanganku sambil tetap menyetir. Hingga sampailah mobil ini di depan rumah Fani.

"Umi mau Abi jemput nanti?"

"Enggak usah, Umi mau diantar Anggun aja nanti, udah janjian juga mau main sekalian ke rumah nanti.."

"Ooohh.. Iya.." balas Mas Bagas.

Tanganku masih menggenggam lengan Mas Bagas. Enggan rasanya melepas tangan itu. Rasanya aku ingin bercinta sekarang, saat ini juga dengannya. Seandainya saja dia tak perlu kembali ke kantornya.

"Umii.. Kok bengong.. hehehe.. Jangan capek-capek ya bantuin acara lamarannya.. sisain energinya buat nanti malam.." kata Mas Bagas sambil tersenyum yang menyiratkan makna.

Aku langsung melted melihat suamiku dan senyumnya itu. Aku lalu cium tangannya sebelum aku turun dari mobil. Mas Bagas kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mencium pipiku. Aku bisa merasakan dengus hidungnya, menghirup aroma nafasnya. Seketika itu juga tubuhku rasanya bergetar. Hatiku deg-deg-ser seketika. Ahh.. masa subur ini benar-benar menyiksaku.

Akupun lalu balas mencium pipinya. Saat aku mencium pipinya, mata Mas Bagas tajam menatap mataku yang hanya berjarak beberapa senti saja. Tatapan matanya benar-benar seperti anak panah yang meruntuhkan gerbang pertahananku. Hatiku makin syahdu ditatap seperti itu. Mas Bagas memajukan kembali wajahnya dan ternyata kemudian bibirnya ia tempelkan di bibirku.

Aku merasakan bibir hangat itu menyentuh bibirku. Tak tau kapan terakhir bibir kami bertemu. Bibirnya untuk sesaat hanya diam. Akupun hanya diam juga. Tapi kemudian bibirnya mulai ia gerakkan melumat bibirku. Jantungku rasanya ingin lepas.

Ciuman intim seperti ini!! Entah kapan terakhir kami melakukannya.

"Hmmpphh.. Abi kangen bibir Umi yang seksi ini.."

"Hhgghhh.. sama Abi.. Abi kemana aja sihh.. Umi ditinggal terussshh.. Emmpphh.." balasku.

"Hmmpphh.. Maafin Abi ya, Umi.. Abi janji akan segera akhiri semuanya.." katanya.

Apa maksudnya akhiri semuanya? Apakah soal pekerjaannya? Apakah soal hubungannya dengan Fani di belakangku? Entahlah. Aku hanya larut pada birahi karena lumatan dan pagutan bibir suamiku yang kurindukan ini. Bibirku tak mau kalah dan ikutan membalas pagutan dan ciumannya.

Tanganku tiba-tiba refleks menyeberang ke jok pengemudi, dan bertengger di atas celana kerja Mas Bagas. Kurasakan ada benda keras yang mendesak celananya dari dalam, tak betah untuk dikekang. Apa lagi kalau bukan kemaluannya. Batang perkasa yang begit kurindukan. Memegang dari luar dan membayangkannya membuatku makin terbakar birahi.

Untuk sesaat kami saling bertukar lidah dengan penuh kasih sayang. Tubuhku rasanya memanas hebat. Aku rindu sentuhan Mas Bagas setelah beberapa saat lamanya ia tidak menjamahku. Hingga kami dikagetkan dengan suara klakson mobil. Rupanya mobil Mas Bagas mengganggu lalu lalang masuknya mobil ke garasi rumah Fani.

Kami mengakhiri ciuman kami. Aku merasakan vaginaku mulai lembab. Entah karena terangsang barusan, atau karena memang aku sedang ovulasi.

"Diterusin nanti lagi di rumah ya, Umi.." kata Mas Bagas.

"Iya, Abi.. Abi juga jangan capek-capek ya kerjanya.. pulangnya jangan malem-malem.."

"Iya, Umiku yang paling cantiikk.."

"Hiihhh.. Gomball.." kataku yang padahal suka.

"Mmmm.. Abii.."

"Iya, Umi.."

"Abi cinta nggak sama Umi..?? Apa Umi nggak cukup ya buat Abi??"

"Eh, Kok Umi nanya gitu sih.."

Aku hanya diam.

"Umi.. Umi tu segalanya buat Abi.. Hati Abi cuma buat Umi seorang. Dan selamanya cuma ada Umi.."

"Hmmm.. janji ya, Abii.."

"Iya dong.."


Diinn.. Diinn..

Kudengar bunyi klakson lagi dibelakang mobil Mas Bagas. Aku pun lalu turun dari mobil ini.

"Assalamualaikum Umi.."

"Waalaikumsalam Abi.."





------====°°°°°°°====------
POV third person


Tangannya memilah-milih baju di depannya. Bajunya banyak tergantung di wardrobe di hadapannya itu tapi entah mengapa ia tak bisa juga memutuskan. Lebih tepatnya hatinya dag-dig-dug karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan lelaki itu, meskipun untuk sesaat saja.

"Duuhh.. pakai yang mana ya.." pikirnya.

Hatinya bimbang. Apakah ia akan memakai gamis seperti biasanya, ataukah dia akan bervariasi menggunakan pakaian model lain. Beberapa lama berfikir hingga tak ia sadari detik demi detik berlalu habis oleh kebimbangannya. Lengannya pada akhirnya mengambil piyama rumahan model baju lengan panjang dan celana panjang dengan warna merah muda yang senada. Tak lupa jilbab rumahannya ia ambil juga, sama warna pinknya.

Pakaian yang ia ambil kemudian ia taruh di kasurnya. Ia bersiap memakai pakaiannya itu. Ia lepas handuk yang membelit tubuh telanjangnya. Nampaklah tubuh sintal seorang gadis. Tubuh yang pasti membuat setiap lelaki menelan ludah. Cermin besar di kamarnya itu merekam setiap lekuk sempurna sang gadis.


ME58ZTZ_o.gif

Wajah ayu dengan lesung indah menghiasi putih wajahnya. Matanya yang lentik, yang kini sedang menampakkan sorot bahagia bak menanti sosok pangerannya. Belum lagi tubuhnya yang juga sempurna. Buah dada ekstra besar yang membusung indah dan pantatnya yang masih kencang membulat seksi itu.

Sang gadis itupun memakai satu demi satu pakaian yang ia sudah pilih tadi. Tubuh itu mulai terbaluti lagi kain mulai dari celana dalam, kemudian celana panjangnya. Matanya sekilas kemudian melirik ke arah kaca. Tubuh atasnya masih telanjang. Ia tersenyum sendiri, senyum penuh harap agar aset yang dia miliki itu bisa menyenangkan sosok yang sedang ia tunggui.

Tok.. Tok.. Tok..

"Dek Fani... Assalamualaikum.."

Suara berat terdengar oleh Fani mengikuti ketukan di pintu kamarnya.

"Ehh.. Kok udah dateng sih.. jam berapa ini..??" batinnya..

"Iya, Mas.. Waalaikumsalam.. sebentar yaa.." katanya sedikit menaikkan volume.

Ia segera memakai baju piyama dengan semua kancingnya ia rekatkan dengan penuh terburu-buru. Terakhir ia memakai jilbabnya, dan kemudian segera berjalan cepat menuju pintu kamarnya karena ia sendiri juga sudah tak sabar. Ia buka pintu itu, dan nampaklah sosok lelaki tegap yang tingginya sekitar sejengkal dua jengkal lebih tinggi darinya.

"Assalamualaikum, Dek.."

"Waalaikumsalam, Mas.. maaf nunggu lama ya barusan tadi.."

"Hehehe.. Nggakpapa, Dek.. semua waktu buat menunggu nggak ada apa-apanya kalau yang ditunggunya adalah sesosok bidadari surga.."

"Gombal.." kata Fani lirih sembari tersipu mendengar pujian dan gombalan lelaki itu. Salah satu yang ditunggu Fani adalah pujian dan sanjungan dari mulutnya. Entah mengapa, Fani merasa senang saja diperlakukan seperti itu. Tak peduli itu picisan sekalipun.

"Apa kabar, Dek..?"

"Baik, Mas.. Alhamdulillah.. Lancar tadi di jalan, Mas?"

...

Dan keduanya pun terlibat obrolan kecil yang tertukar dari bibir keduanya. Pandangan Fani awalnya menunduk. Lelaki di depannya belumlah ia kenal lama. Tapi seiring kata yang saling tertukar dari keduanya, matanya mulai berani beradu pandang dengan mata si lelaki. Jantungnya berdegup cepat saat matanya beradu dengan sorot tajam mata lawannya. Hatinya langsung berbunga-bunga seketika.

Sambil beradu pandang, sesekali si lelaki nampak memandangi ke arah bawah dagu Fani. Fani sempat berfikir sesaat, hingga ia pun mulai menyadari. Ia baru ingat, ia lupa tak memakai Bra!!

Pipinya langsung bersemu merah kembali. Baju piyama yang ia pakai cukup ketat hingga mampu mencetak bentuk buah dada besar sempurna itu. Fani agak kikuk juga karena ia tadi yang memilih memakai baju ini, hanya saja ia lupa memakai bra. Tapi bagi lelaki di depannya, ini adalah anugerah.

Biasanya ia hanya melihat Fani memakai gamis tertutup dan sangat longgar. Hampir tak bisa menampakkan lekuk tubuh indahnya. Ia hanya bisa melihat sisi lain Fani dari momen bertukar pesan di aplikasi wasap itu. Tapi kini matanya secara langsung disuguhi pemandangan yang cukup membuat darahnya mengumpul di selangkangannya.

Sambil mengobrol, Fani menyadari juga kalau tatapan mata si lelaki sesekali tertuju ke dadanya. Tapi Fani tak merasa ada pelecehan atau kemesuman dari si lelaki. Obrolan-obrolannya masih normal saja sehingga Fani pun tak mempermasalahkan lagi penampilannya.

"Rame ya rumahnya, Dek..?"

"Hihi iya, Mas.." jawab Fani.

"Oiya, ini contoh ukuran cincinnya, Dek.. Tadi kata Anggun, aku diminta kasih langsung ke Dek Fani.. Nanti dipilih mana yang pas ya.."

"Iya, Mas.. nanti tak coba dulu ya.." kata Fani sambil menerima seikat berisi banyak cincin plastik dengan berbagai ukuran.

Waktu serasa begitu cepat berlalu bagi Fani. Hatinya masih berhias bunga bermekaran membersamai percakapan mereka. Tak ia sangka ia bisa jatuh hati kepada seorang lelaki secepat ini. Ia berharap pilihannya 'MENGIYAKAN' pinangannya merupakan jalannya yang tepat untuk dipertemukan dengan jodohnya.






------====°°°°°°°====------
POV Sella


Mobil yang lalu lalang ini ternyata dari para vendor untuk acara lamaran Fani. Di depan sudah kulihat banyak riasan dengan tulisan nama lengkapnya, Raden Ajeng Fania Alina Suryoningrum. Aku masuk ke dalam dan sesaat takjub mendapati lantai bawah rumah mewah Fani yang begitu tampak asing karena dekorasi di sana sini. Keluarga ningrat memang harus heboh kalau menggelar acara seperti ini.

Beberapa ruangan yang tidak terpakai difungsikan sebagai tempat para vendor untuk menaruh barang-barang mereka.

Dukkk..

"Eh.. Maaf, Mbak.."

Ada mas-mas yang tak sengaja menyenggol pantatku yang membuatku menoleh ke belakang. Lelaki kurus yang memakai seragam seperti seragam rumah makan. Akupun hanya menganggukkan kepalaku, mengiyakan permintaan maafnya. Aku juga sih yang berdiri di tengah jalan seperti ini.

Lelaki ini sempat memerhatikanku, terutama dadaku. Layaknya lelaki seperti biasanya. Padahal aku sudah memakai baju gamis longgar, tetap saja matanya jelalatan memandangi dadaku. Memang sekelihatan itukah gundukan si kembarku ini? Aku yang risih dilihatin seperti itu langsung beranjak pergi.

Kulangkahkan kakiku ke lantai dua. Lantai dua ini seperti nya area off limit buat acara besok. Tak tampak ada dekorasi sama sekali. Mungkin biar tetap ada privasi di rumah ini. Aku langsung menuju kamar Fani dan kuketuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Kuucap salam dan kuketuk lagi, tak ada jawaban lagi. Setelah tiga kali usaha dan tak ada balasan, akupun memberanikan membuka handel pintu kamarnya.

"Lho.. mana Fani, kok nggak ada di kamarnya.."

Akupun kembali turun. Tak enak juga kalau sendirian di lantai dua padahal bukan yang punya rumah. Aku melihat Anggun sedang sibuk mengurus ini itu.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.. Eh, Kak Sella.. Pakabar kak?"

"Sehatt. Alhamdulillah Anggun gimana? Udah mulai mual2nya?"

"Hehe.. mual sih dari dua minggu udah berasa.. makanya dibawa aktivitas gini, biar teralihkan, kak. Daripada cuma bengong ngurus OL shop.."

"Hooo.. Iyaa.. Eh, liat Fani nggak?" tanyaku.

"Ada kok tadi.. lagi muter-muter juga kali ya.."

"Ooh.. yaudah deh.."

"Kak.. Sorry ya, aku lagi urus katering dulu ini.."

"Eh iya.. lanjut.." balasku.

Anggun lalu kembali sibuk. Kali ini ia sedang berbicara dengan lelaki kurus yang tadi menabrakku. Lagi-lagi matanya jelalatan kembali memandangiku. Akupun pergi menjauh. Aku duduk di sofa panjang di sudut salah satu ruang tengah ini.

Aku yang mungkin kelelahan setelah renang tadi tak bisa menahan tubuhku hingga aku makin menyandar miring di sofa ini. Rasa lelahku membuatku memaksa untuk mulai memejamkan mataku.






------====°°°°°°°====------
POV third person



".. Iya.. Dari situ terus ngidul terus sampai Sayidan, terus balik lagi deh.."

"ooh.. Ya mirip, Mas.. Cuman kalau aku lewat Lempuyangan sih pulangnya.. Hampir tiap sabtu pagi lho aku lari.. Kok nggak pernah ketemu ya kita.." kata Fani.

"Hehe.. Ya belum jodoh, Dek… Baru dipertemukan sekarang.."

Dan hanya dibalas senyuman dari gadis berparas manis itu.

...

Lantunan kalimat saling tertukar diantara bibir sepasang manusia itu. Keduanya bercerita, tentang kesukaan masing-masing, hobi masing-masing, dan cerita lain yang bisa mereka tukar. Tutur kata si lelaki mengalir menanggapi cerita Fani, sambil sesekali juga berkomentar masih dengan sopan diselingi canda dan pujian akan paras ayu Fani. Itu juga yang membuat Fani mudah nyambung dengan lelaki ini.

Tak pernah ada sebelumnya sejarah Fani bisa seterbuka ini dengan lawan jenis, walaupun tentunya tidak semuanya ia ceritakan. Tapi seputar dirinya yang bisa ia bagi, rasanya baru kali ini ada lelaki yang mau mendengar ceritanya sebanyak ini. Apalagi memang dasarnya Fani ini cerewet, sungguh beruntung saat ada telinga yang siap menampung semua cerita itu. Terlebih lagi itu adalah dari kaum lawan jenis.

Wajah cantiknya kini tak malu lagi mendongak. Tatapan matanya tak sungkan lagi menatap bola mata si lelaki yang memang lebih tinggi hingga ia mendongak seperti itu. Ustadzah nya selalu mengingatkan untuk menundukkan pandangan kepada lawan jenis. Tapi kini biarlah ia menabrak dulu saran itu.

Tatapan si lelaki yang tajam tetapi lembut itu mampu meluluhkan Fani. Ia seperti diliputi suasana teduh seiring obrolan demi obrolan yang terjadi. Meski kakinya berpijak di lantai rumahnya, benak Fani seperti terbang melayang membayangkan masa depan yang ia kayuh dengan lelaki di depannya ini.

Waktu berlalu begitu tak berasa bagi Fani. Sudah lebih dari empat puluh menit keduanya bertukar kata yang sesekali diselingi tawa dan canda di depan pintu kamar Fani. Tak ada lagi kecanggungan yang ia rasakan. Sampai pada saat Fani merasakan pegal di kakinya. Lelaki di depannya juga sudah menunjukkan gestur untuk berpamitan.

Mata lelaki itu masih sesekali memandangi dada Fani. Awalnya tadi Fani merasa malu, tapi lama-lama ia biarkan juga, toh tidak terjadi apa-apa. Tatapan kelelakiannya itu lambat laun meluruhkan semua perisai pertahanan Fani. Fani sesekali merasakan desiran birahi juga. Ada rasa gatal menyeruak dari area intimnya.

Hingga tibalah permintaan pamit dari mulut si lelaki. Fani hanya mengiyakan. Ia masih waras dan memilih berhati-hati. Berlama-lama ditatapi dengan tatapan yang menghanyutkan seperti itu Fani khawatir bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan juga.

Tiba-tiba ada sosok laki-laki yang keluar dari salah satu kamar di lantai dua ini dan melewati dua insan yang sedang berbincang itu.

"Mbak.. Aku pakai mobilnya ya nanti.. mau main ke rumah temen.."

"Main aja, kamu.. Urusin tuh masa depanmu.." balas Fani.

"Hidihh.. Ayu-ayu kok pedes sih mulutmu, Mbak.. Aku kan sedang menikmati masa mudaku iki.." katanya.

"Dasar pengangguran.." kata Fani.

"Dasar cerewet.." balasnya, "Mas, nanti kalau dia jadi istrimu, tolong dididik biar nggak bawel gitu ya.." katanya yang langsung berlalu turun.

"Asemmm..!!" kata Fani yang tak terdengar olehnya.

"Pengangguran, Dek..?" tanya Diki.

"Iya.. Fajar habis lulus SMA nggak langsung kuliah.. katanya lagi kontemplasi.. Mbuh kontemplasi apaan.."

"Hahaha.." respon nya.

"Oiya, Mas.. Bukunya udah selesai tak baca.. Bagus bangett.. Aku ambilin dulu ya.." kata Fani.

"Boleh, Dek.."





------====°°°°°°°====------
POV Sella



"Ouugghh.. Abiii.. Iyyahhh.." desahku..

"Emmpphh... Iyaaah, remes tetek Umi.. Houugghhh.. Umi kangen Abi.. Emmpppphhh.."

Rangsangan tangannya begitu lembut kurasakan mengusap dan memijat dadaku. Dua bongkahan besar yang membusung ini ia mainkan dengan intens. Aku yang terbaring pasrah ini begitu menikmati sentuhan yang sudah lama kurindukan itu.

Mataku terpejam menikmati setiap momen ini. Tangan Mas Bagas terasa berbeda, agak sedikit terasa tulang belulang di jari itu. Tapi itu tak mengurangi lecutan birahi yang menjalariku. Aku merasakan di bawah sana, sesuatu mulai membecek. Satu tangannya lalu turun menuju daerah intimku.

"Ouuugghhh.."

Aku melenguh panjang saat tangannya mulai mengusap selangkanganku. Lalu semakin turun menuju Miss V ku yang memang benar sudah lembab. Gesekan jemarinya itu makin jauh membakar birahiku. Mataku terpejam, sementara tanganku mengepal. Gelombang puncakku kurasakan hampir mendekatiku hanya gara-gara jamahan tangannya di dada dan selangkanganku.

KOMPRAANGG..!!

Apa itu? Seperti suara piring pecah. Aku yang terpejam ini membuka mataku. Perlahan-lahan hingga cahaya terang masuk ke mataku, kulihat langit-langit rumah Fani dan itu menyadarkan aku bahwa aku baru saja bermimpi. Hufft.

Tubuhku berbaring di sofa tempatku tadi duduk menyender. Tapi tunggu, ada yang aneh dengan gamisku. Jilbabku sudah tersingkap dan ada tanda kusut di sekitar dadaku dan kemaluanku. Aku langsung bangkit duduk. Tak ada siapa-siapa di sekitarku. Rumah Fani sudah sepi. Rupanya aku tertidur cukup lama.

Ehh. Resleting gamisku yang berada di depan ini sudah turun dan karena jilbabku menyampir, maka tampaklah tulang selangka yang melintang di atas dadaku dan sebagian belahan tetekku. Bra hitam yang kupakai pun ikutan mengintip sedikit dari balik resleting itu. Perasaanku tadi aku tak lupa mengancingkan resletingku deh.

Aku segera membenarkan lagi baju gamis dan jilbab merah maroon yang kupakai. Tak lagi kulihat Anggun di sekitar sini. Aku segera naik ke lantai dua lagi. Siapa tau Fani sudah kembali ke kamarnya. Saat aku coba ketok pintu kamarnya masih tak ada jawaban. Aku lalu membuka pintunya yang tak terkunci ini, juga masih tak kutemukan batang hidung sahabat cantikku itu.

Kemana sih ini anak..

Aku lalu beranjak lagi. Entah mengapa aku merasa haus. Aku lalu berjalan ke ujung lantai dua ini yang kutahu adalah dapur. Saat aku hampir sampai di dapur itu, aku mendengar suara yang terdengar tak asing. Suara kecap-kecap mulut yang sedang mengulum sesuatu. Aku memberanikan diri untuk pelan-pelan melongoknya.

Clop.. Clopp.. Cloppp..

Itu.. Itu Mas Diki. Dia sedang berdiri. Di depannya ada sesosok perempuan sedang berjongkok. Posisi perempuan itu menyamping membelakangiku, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi kalau kutebak itu Fani, dari jilbab nya yang lebar itu. Tapi jilbab itu bermotif bordiran bunga di tepiny. Setauku semua jilbab Fani polos saja, tak ada yang bermotif. Entahlah, mungkin itu jilbab baru beli.

Kepalanya seperti maju mundur di depan selangkangan Mas Diki. Lagi ngapain itu, Fani?

Ah, bodohnya aku. Tentu saja dia sedang menservis kemaluan Mas Diki dengan mulutnya. Aku kadang lupa kalau sahabatku yang terlihat kekanak-kanakan itu sekarang sudah 'dewasa'.

Sudah sejauh ini kah hubungan mereka? Sampai-sampai berbuat mesum di tempat yang rawan orang lewat ini, padahal mereka belum menikah. Kepala Fani makin cepat maju mundur di depan selangkangan Mas Diki. Mas Diki juga merem melek, tak menyadari aku yang mengintip ini.

Dari sebelah sini aku bisa melihat sedikit wajah Fani. Tapi yang terlihat cukup jelas adalah batang kemaluan Mas Diki yang keluar masuk di dalam bibir tipis Fani itu. Eh, tunggu. Bibir itu sedikit lebih tebal daripada biasanya. Itu Fani bukan sih..??

Mas Diki mengerang sesekali saat penisnya ia tekan dalam-dalam. Dengan patuhnya, Fani menerima semua batang itu hingga habis tak terlihat. Darahku seketika berdesir menyaksikannya. Entah mengapa kemaluanku ikutan mulai geli saat mengintip seperti ini. Pandanganku tak bisa lepas dari penis dengan urat-urat yang sangat jelas milik Mas Diki.

Dan tanpa bisa kucegah tanganku bergerak sendiri menuju selangkanganku, dan mulai mengusap-usap kemaluanku dari luar gamisku.





------====°°°°°°°====------
POV third person



Bibirnya ia gigit ke bawah. Entah mengapa tubuhnya menghangat di dalam kamar yang padahal cukup sejuk itu. Tangannya memegang selangkangannya dari luar celana panjangnya. Tak ia sadari ia malah asik sendiri di dalam gelombang birahi.

Matanya sedari tadi terpejam. Dan saat ia membuka matanya, ia lihat pantulan tubuhnya di cermin yang tinggi di tengah lemarinya itu. Alangkah terkejutnya, ternyata puting buah dadanya sudah mengeras dan tercetak di balik baju piyama nya.

Bajunya yang tak begitu longgar itu mencetak bentuk indah bulatan buah dada Fani yang ekstra besar itu. Dan putingnya yang tercetak jelas membuat makin seksi dan menggoda meski dibalik piyama berkancing itu. Pantas saja dari tadi Mas Diki memandangi dirinya, batinnya. Bukan salah dia juga karena Fani yang memilih memakai baju ini.

Sudah beberapa kali tubuhnya memanas, darahnya berdesir ketika berinteraksi dengan Diki. Padahal itu sebatas mengobrol saja. Tapi gestur gerak badannya dan tatapan lelakinya itu entah mengapa menusuk jauh ke hati Fani. Fani membiarkan perasaan mengambil alih otaknya itu.

Fani kemudian mengambil buku di atas meja kamarnya. Ia lalu kembali lagi keluar kamarnya. Namun tak ada siapa-siapa di luar kamarnya.

"Mas Diki kemana yaaa..?"

Matanya celingak-celinguk, tak mendapati sosok yang dicarinya itu. Langkahnya agak maju. Kepalanya menoleh ke kanan ke kiri dan lorong lantai dua itu tak ia dapati sesosok lain selain dirinya. Wajahnya langsung berubah menyorotkan kekecewaan.

Ia berniat mengambil sebentar buku yang dipinjamnya di atas meja. Tapi ternyata barusan ia malah larut dalam birahinya sendiri. Tangannya sempat menggesek-gesek kemaluannya dari luar yang entah ia lakukan berapa lama. Dan setelah sadar, dan mengambil bukunya ternyata Diki sudah tak di depan pintu.

Rasa sesal hadir di hatinya. Kenapa dia harus lupa sesaat tadi dan malah asik sendiri. Benaknya memaklumi jika Diki harus pergi karena mungkin menunggu Fani yang terlalu lama di dalam padahal hanya mengambil buku yang ia pinjam. Ia kecewa padahal berharap masih bisa bertemu sebelum keduanya harus berpisah betulan.

Saat akan kembali ke kamarnya, Fani seperti mendengar sesuatu. Seperti seseorang yang sedang berlari dan terengah-engah. Makin mempertajam pendengarannya, suara itu makin jelas dan Fani yakin itu bukan cuma perasaannya saja. Fani melangkahkan kaki ke lantai dua ini menjauhi kamarnya, dan suara itu makin jelas.

Suara lelaki yang terengah-engah. Dia kini yakin suara itu dari kamar mandi yang berada di samping kamarnya. Ini kamar mandi yang biasa digunakan oleh bersama, Fani sendiri jarang ke situ karena kamarnya punya kamar mandi sendiri. Ia melihat pintu kamar mandi hanya tertutup setengah saja.

Dengan langkah pelannya, ia makin mendekat. Rasa penasaran mengiringinya. Kepalanya terlebih dahulu yang bisa melihat ada apa gerangan di dalam kamar mandi itu. Rautnya kini berubah menjadi terkejut saat melihat lelaki yang dicarinya sedang berada di kamar mandi dan sedang coli sendiri. Itulah asal suara berat yang ia dengar tadi.

Mulut Fani langsung membentuk huruf O membersamai rasa kagetnya. Di dalam, ia melihat Diki sedang mengocok sendiri kemaluannya. Matanya terpejam. Satu tangannya yang lain memegang hape. Ketika tangan itu bergerak-gerak, layar hape itu bisa terlihat oleh Fani. Diki sedang memandangi gambar yang dikirim oleh Fani semalam.

Fani terkesiap dengan masih membuka mulutnya. Ia melihat kemeja Diki sudah dilepas semua kancingnya, menampakkan dada bidangnya yang berkulit gelap itu. Memperhatikan itu, langsung membuat Fani seolah haus. Ia menelan ludah sendiri, terlihat dari leher putihnya yang tertutup jilbab

Mata Fani lalu mengarah turun. Dan untuk beberapa saat mata Fani terkunci di selangkangan Diki memerhatikan tangan Diki yang mengurut sendiri penisnya semakin waktu semakin cepat, hingga dari mulutnya mulai mengerang semakin keras. Penisnya mulai berkedut semakin cepat.

"Urrrggghhhhhh.."

Fani yang menyaksikan itu entah mengapa juga ikut deg-degan. Ia sedikit banyak tau kapan waktu batang kemaluan seorang lelaki akan mencapai puncaknya. Kemaluan Fani terasa mulai sedikit gatal. Otot tangannya mulai mengendur hingga buku yang ia pegang itu langsung jatuh di lantai, yang berbatasan dengan lantai kamar mandi.

Brakkk..

Diki membuka mata dan menyadari ternyata sudah ada Fani di sebelahnya. Rasa kaget ternyata tak bisa mengalahkan nafsunya yang sudah memuncak itu dan memiringkan badannya ke arah Fani.

"Urrghhhhh..Dek Fani sejak kapan di situu.. Urrrgghhhhh.. keluaarrrr akuu.."

Crottt... Crottt... Croottt..

Semburan itu mengarah ke badan Fani, yang diikuti jeritan sang gadis.

"Kyaaaaaaaa..!!!"

Fani langsung kembali ke kamarnya. Segera ia tutup pintu kamarnya dan duduk di pinggir kasurnya. Jantungnya berdegup kencang. Rasa penasaran, rasa malu, hawa nafsu, banyak rasa yang bercampur di dirinya saat ini.

Yang jelas, tubuhnya masih merasakan desiran-desiran syahwat. Ia merasakan punggung tangannya ditempeli sesuatu. Dan saat ia lihat, ternyata ada bercak lendir kental di punggung tangannya yang halus itu. Semburan Diki tadi mengenai punggung tangan Fani. Ketika ia lebih memerhatikan lagi, ceceran sperma Diki mengenai piyama Fani juga.

Dia tadi tak begitu aware karena langsung terbirit-birit ke kamarnya menahan malu. Mendapati ada bercak benih-benih dari calon suaminya itu membuat desiran syahwatnya makin meninggi. Ia angkat punggung tangan kirinya. Dan nafsu membuatnya menjulurkan lidahnya dan menjilati sperma itu.

Sluurrpp..

Bibirnya ikut menyucupi dan merasakan sperma kental itu. Beberapa detik berlalu hingga sperma itu tak lagi menyisa di punggung tangan kirinya. Tapi bibir dan lidahnya masih menjilati punggung tangannya, seolah benar-benar tak ingin menyisakan apapun.

Tangan kanannya lalu bergerak menuju dadanya, dan mulai meremas-remas sendiri toket jumbo itu dari luar piyama warna pink itu. Matanya terpejam menikmati rangsangan yang ia lakukan sendiri.

"Hmmppphhhh.."

Mulutnya mendesis seiring tangannya yang makin kuat meremas toketnya.Tangan kirinya yang sudah selesai ia jilati dari sisa sperma Diki itu lalu bergerak turun dan ikut membantu meremas bulatan indah itu yang sebelah kiri. Tubuhnya makin memanas, area intimnya di bawah sana ia rasakan makin gatal dan mulai lembab.

Di depan kamar mandi tadi, pandangannya untuk sesaat beradu dengan batang kemaluan Diki. Meskipun hanya beberapa saat, tapi memori itu tertanam di benaknya amat lekat. Ia seolah bisa melihat urat-urat batang panjang yang sedikit bengkok itu. Menggambar itu di benaknya makin membuat badan Fani panas dingin. Memeknya kian basah. Hingga saat sedang asik 'menyentuh tubuh' sekalnya itu sendiri, ia dikagetkan suara ringtone.

Tuiitt.. Tuiiitt.. Tuiittt..

Dering hapenya berbunyi yang cukup nyaring menusuk telinganya karena ia taruh hapenya di kasur di sebelahnya. Fani lalu berusaha mengambil hapenya. Ketika meraih layar hapenya, tak sengaja ia malah menekan tombol accept pangilan video yang masuk.

Raut mukanya langsung berubah menjadi suram saat melihat lelaki yang muncul di layar hapenya. Ia masih menyisakan rasa kesal akibat interaksi terakhir keduanya.

"Ada apa, Mas?"

"Kok dingin gitu? Yang mesra dong.." balasnya

"Enggak mau.. mau apa video call?"

"Mau lihat puteri cantik ini dong.. sama mau minta maaf.. lagi.." kata Bagas.

"Iya.. Yaudah aku lagi sibuk, Mas.. nanti lagi teleponnya.." kata Fani bersiap mengakhiri panggilan itu

"Eh.. entar dulu.. Dimaafin nggak nih aku??" tanya Bagas.

"Iya, dimaafin.. Udah yaa.."

"Kok buru-buru amat.. Lagi ngapain e kamu?" tanya Bagas.

"Emm.. Anu.. Mm lagi nggak ngapa-ngapain, Kok.. Banyak tamu di rumah.. Udah yaa.."

"Kaya nggak tulus gitu maafin akunya, Dek.." kata Bagas.

Pandangan Bagas memperhatikan baju Fani. Ia melihat ada yang berbeda terutama di area dada Fani.

"itu bajumu kok kusut di bagian dada.." tanya Bagas, "Hehe.. Habis masturbasi ya kamu.. Mbayangin aku nggak??.."

"Enak aja.. Enggak pernahh.. Weekk.." potong Fani.

"Eh, itu di bibirmu kok ada putih-putih.." tanya Bagas setelah memperhatikan lebih jelas bibir tipis Fani.

'Jangan-jangan kamu habis mesum sama Masmu itu ya.." selidik Bagas.

"Enggak,. Dia orangnya enggak mesum.,. Nggak kayak kamu.." kata Fani.

"Hehe.. Cieee.. Iya Deh.." goda Bagas.

"Udah ah.." kata Fani.

"Eh.. ntar dulu.. aku dimaafin nggak ini?" tanya Bagas.

"Iyaa. dimafin.."

"mana buktinya??" tanya Bagas.

"Haah? Bukti apaan sih?"

Tok.. Tok..Tok..

Fani mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk.

"Dek Fani, assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.. Iya Mas Diki..Bentar ya.." kata Fani membalas salam.

"Udah ya, Mas.. aku matiin vidcall nya.." kata Fani ke layar hapenya.

"Hehe.. kamu dicariin calonmu itu ya?? tapi aku belum terima bukti kalau kamu maafin aku nih.." kata Bagas.

"Hiiih.. Bukti appan sih? kok pakai bukti-buktian segala.." kata Fani.

"Hehehe.. gini aja, bukti kalau kamu udah maafin aku.. Kamu godain calonmu itu, tapi aku liatin ya.. Kamu sembunyiin hapemu biar nggak keliatan.."

"Ih kok Gitu... emoh ah.."

Fani tak mau secara terang-terangan menggoda Diki. Selain karena belum halalnya hubungan mereka, Fani juga menjaga imej nya sebagai seorang akhwat di depan mata calon suaminya itu. Paling jauh mereka hanya flirting yang 'menyerempet' di wasap saja.

"Udah sana.. kamu ditungguin itu lho, Dek.. Kamu taruh hapenya dulu sana.."

Tanpa bisa menolak lagi, Fani lalu menaruh hapenya di meja kamarnya, di samping tumpukan buku.

"Masuk Mas, nggak dikunci.." kata Fani ke arah pintu.




------====°°°°°°°====------



"Dek... maaf ya yang tadi.." katanya.

Kamar mewah yang layaknya hotel bintang lima atau mungkin lebih mewah itu sesaat diliputi keheningan. Gadis cantik yang masih terduduk di pinggir kasurnya sendiri itu hanya diam. Ia juga tak sepenuhnya menyalahkan Diki, sehingga tak perlu juga menurutnya untuk Diki meminta maaf. Di tengah keheningan itu, lalu Fani membuka mulut.

"Nggakpapa, Mas.." kata Fani.

Suasana canggung melingkupi keduanya setelah beberapa saat sebelumnya keduanya berbincang mengalir.

"Emang nggak bisa nunggu sampai pulang di rumah, Mas?" kata Fani.

Gadis itu berusaha untuk membuat suasana tak kikuk.

"Iya, Dek.. nggak kuat aku.." kata Diki.

Raut mukanya memancarkan rasa sesal. Hal barusan tadi mungkin membuat Fani menaruh imej buruk terhadap Diki. Ia tak punya alibi lain untuk diberikan kepada Fani selain jawaban sejujurnya bahwa ia memang tak kuat lagi menahan birahinya. Biarlah jika Fani kecewa. Lebih baik kecewa sekarang daripada nanti-nanti.

Sebenarnya normal saja, respon alami dari seorang lelaki. Di hadapannya ada calon istrinya, dan sejak awal bertemu lagi di hari ini, Diki disuguhi oleh penampilan yang menggoda. Dengan piyama merah muda yang tak bisa menyembunyikan bentuk sempurna bidadari itu, membuat pacuan nadinya mengumpul di batang kemaluannya. Fani seksi sekali, hingga membuat Diki tak kuat lagi.

Di pinggir kasurnya, sambil pantat sekalnya masih menempel di tepi kasur itu, pandangan Fani sejajar dengan celana Diki. Arah matanya langsung menuju ke celana Diki yang nampak menggembung. Dan untuk detik-detik berikutnya, Fani memutar kembali memori beberapa saat lalu saat matanya melihat kemaluan Diki secara langsung.

Diki pun kini berubah sedikit bingung. Fani malah melihat tajam ke arah celananya. Tadinya Diki takut dan khawatir Fani akan marah dan mengusirnya, tapi si gadis malah diam memerhatikan area selangkangan Diki. Raut muka Fani nampak berbeda kali ini jika dibandingkan saat mengobrol tadi. Ada sorot penuh hasrat dari raut itu.

Bibir Fani yang tipis dan seksi itu sedikit terbuka. Pipinya sedikit mulai bersemu merah sembari pandangannya tak ia lepaskan dari celana Diki. Baru kali ini Diki melihat air muka Fani yang seperti itu.

"Kamu penasaran ya sama yang tadi kamu liat?" tanya Diki spontan.

Ia sengaja memancing Fani. Dan gadis yang di depannya itu masih hanya diam. Pandangan Fani seperti melamun, entah memikirkan apa sambil melihat selangkangannya. Muka Fani itu sungguh sangat menggemaskan dan kembali membangkitkan birahi Diki. Lelaki itu akhirnya mengambil langkah berani.
Ia menarik turun resleting celananya dan mengeluarkan isi di dalamnya.

Sreeett..

"Eh lho.. kok dikeluarin.." kata Fani yang akhirnya bersuara.

Nadanya menyiratkan keengganan tapi pandangannya tak ia alihkan. Sorot mata lentiknya tetap menuju arah selangkangan Diki dan kini sedikit terbelalak menyaksikan belalai gelap menyembul keluar diantara resleting celana itu.

Fani memandangi batang kemaluan Diki itu. Ia perhatikan masih sedikit berisi batang itu, padahal barusan memuntahkan isinya dan berceceran di baju piyama Fani.

"Kok masih bangun.. Udah keluar kan padahal.." tanya Fani polos.

"Hehe.. Nggak cukup sekali Dek kalau aku.."

Diki kini sudah tak ragu lagi untuk blak-blakan. Rasanya, tak ada yang bisa ia tutup-tutupi lagi, toh tadi calon istrinya itu sudah memergokinya sedang melancap. Lagipula, Diki juga tak ingin suasana semakin awkward, ia biarkan untuk mengungkapkan ekspresinya. Kalaupun Fani tak nyaman, pasti dirinya akan diusir.

"Emang Mas Diki sering begituan..?" kata Fani.

"Hehe.. Ya kalau pas lagi pengen, Dek.. Daripada jajan di luar, malah dosa dan bisa bawa penyakit to.." kata Diki lagi-lagi memancing.

Diki masih sedikit ragu, ini Fani sengaja ingin menjebaknya untuk mengetahui seberapa mesum dirinya kah? Tangan Diki bergerak ke arah selangkangannya. Batang penisnya mulai ia kocok perlahan.

"Kenapa tiba-tiba pingin?" tanya Fani.

"Jujur, biasanya kalau lagi mikirin kamu.." balas Diki.

"Iih.. kok gitu.." balas Fani spontan.

Kini Diki mulai yakin kalau Fani benar-benar tidak marah akan aksinya ini. Tidak ada tanda yang benar jelas kalau Fani menginginkan Diki untuk pergi. Penisnya semakin menegang dan kini ia tak lagi malu untuk beronani di depan Fani. Toh Fani malah nampak menikmati.

"Hmm.. Mas Diki suka apanya..?" tanya Fani balik.

"Semuanya dek.. Kamu cantik.. Kamu ramah.. Semua kualitas terbaik baik fisik maupun karakter ada padamu, Dek.." kata Diki, "Kamu makhluk terindah yang pernah aku lihat."

"Hiih.. gombal.." tukas Fani.

"Lhooo.. ini buktinya nih.." kata Diki sambil memegang penisnya, "Kalau kamu nggak semenarik itu, Konthol ku kan pasti lama ngaceng lagi. Tapi karena kamu, Dek. Bisa kaya gini. Cuma gara-gara kamu aja.."

Jika biasanya hanya via teks saja keduanya bertukar "flirtation", kali ini Fani mendengar bahasa sevulgar itu dari mulut Diki secara langsung. Kembali, Fani tak mempermasalahkan ucapan Diki itu, dia menganggap itu pujian baginya dan malah membuat Fani makin penasaran. Fani merasakan desiran yang muncul di dadanya saat matanya memandangi penis yang makin tegang itu. Birahi kembali lagi setelah tadi terhenti karena Bagas menelepon video.

Yang tak disadari Fani, langkah Diki senti demi senti semakin mendekat ke arah Fani. Jarak keduanya semakin pendek. Fani masih mematung memperhatikan batang tegang di selangkangan Diki yang sedang dikocok oleh Diki sendiri. Fani sedang membandingkan penis Diki yang terekam di otaknya tadi dengan penampakan sesungguhnya yang kini bisa ia lihat langsung.

Cahaya terang yang masuk ke kamar Fani itu membuat pandangannya lebih jelas menampakkan bentuk penis Diki, dibandingkan saat di kamar mandi tadi. Golakan birahi lambat laun makin meninggi menerpa Fani.

"Dek..." kata Diki.

"Hmm.."

"Dek.."

"Iya, Mas.."

"Mau bantuin Aku nggak?" kata Diki yang masih menggerakkan genggaman tangannya di penisnya sendiri.

"Mmm.. bantuin gimana, Mas?"

"Bajunya buka dikit boleh?.." pinta Diki, "Kaya yang semalem aja, nggak lebih.."

Fani untuk sesaat terdiam. Nafsu syahwat yang mulai meliputinya kemudian membuatnya menyibakkan jilbab mininya ke belakang. Nampak baju piyamanya utuh dengan kancing teratas di bagian kerahnya tidak menyatu. Fani kemudian melepas satu kancing di bawahnya.

Diki semakin cepat menggerakkan tangannya maju mundur mengocok kontolnya sendiri. Akhirnya ia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri putihnya kulit dada Fani yang mengintip dari balik piyama itu. Tak tergambar di benak Diki semenakjubkan itu kulit dada Fani yang bening sebening mata air di Cangkringan, Merapi.

Bahkan jauh lebih indah daripada yang ada di foto yang ia gunakan tadi sebagai materi bacolnya. Meskipun ini bukanlah pertama kali Diki melihatnya. Dulu ketika Diki menyelamatkan Fani di hotel saat disekap Broto cs, ia pernah melihat badan Fani yang tersingkap. Kala itu cahaya kamar hotel begitu remang.

Tapi kini, cahaya siang yang menyorot lewat jendela kamar Fani membuat puas mata lelaki Diki. Garis belahan dada Fani nampak menyembul malu-malu. Kancing bawahnya serasa tak bisa menahan dua toket super besar itu untuk keluar dari sarangnya. Pantulan mentari siang makin menyinari secuil keindahan kulit Fani itu yang malah makin mengkilap karena Fani yang ternyata mulai berkeringat.

Fani juga sepertinya kegerahan karena desiran-desiran birahi yang muncul. Duduknya sesekali ia geser. Bibir bawahnya sesekali ia gigit saat menyaksikan aksi coli calon suaminya di depannya itu. Dan tidak berhenti disitu, karena satu kancing di bawahnya begitu tak nyaman menopang bongkahan semangka kembar itu, lalu kini Fani melepas satu lagi kancing baju piyamanya.

Tesst.

Diki langsung melotot dan makin semangat mengocok kontolnya. Dari empat kancing yang ada, tiga sudah terlepas. Diki dapat melihat side boobs Fani yang indah menggoda karena tak ada penghalang lain selain baju piyama yang Fani pakai. Toket kembar dengan ukuran luar biasa itu langsung membusung indah saat kancing tadi dilepas oleh Fani. Fani memang hanya melepas kancing, tanpa membuka belahan piyamanya, tapi itu sudah cukup bagi Diki untuk menikmati keindahan bentuk sempurna buah dada Fani.

Diki bisa melihat sekilas areola Fani yang berwarna merah muda itu menyembul di sisi paling ujung baju piyama yang dipakai Fani.

"Dek.." kata Diki.

Fani hanya melirik ke atas untuk sesaat mendengar sapaan itu.

"mau dong diludahin kontholku.." kata Diki.

Fani lagi-lagi hanya diam. Kemudian mulutnya bergerak mengumpulkan liurnya sebelum ia ludahkan. Karena jarak selangkangan Diki yang kian mendekat, tak perlu effort lebih bagi Fani untuk melontarkan lumatan liur itu.

Cuihh..

Sambil meludah Fani sedikit menunduk agar tepat mengenai kontol Diki.

"Urrrggghhhh.." erang Diki.

Erangannya itu bukan hanya karena sipatan ludah Fani. Tapi karena sang gadis yang menunduk tadi, membuat Diki melihat keindahan buah dada Fani lebih dalam. Sekilas barusan, Diki bisa menyaksikan puting Fani yang merah muda itu nampak mengeras dan menyembul di batas baju piyama nya. Posisinya yang menunduk membuat puting itu menggoda malu-malu.

"Lagi dong dek.." kata Diki.

Cuihh.. Cuiihh..

"Urrrgghhhh.."

"Enak ya emangnya, Mas??" tanya Fani polos.

"Banget,... Sensasinya beda.." kata Diki.

Fani kini tak lagi memundurkan badannya. Tubuhnya masih menunduk berusaha memperhatikan batang penis yang kian mengeras itu lebih dekat. Diki makin gemas dengan tingkah Fani itu yang seolah menggoda dirinya. Nafsu nya makin memuncak, batang kemaluannya mulai berkedut-kedut.

"..Apalagi kalau bibirmu ditempelin kesini, Dek.." kata Diki.

Fani tak membalasnya.

"Mau, Dek?" tanya Diki.

Fani masih terdiam.

"Mau ya??"

Fani masih tak menjawabnya, namun, dari bibir tipisnya itu ada gerakan sedikit membuka. Bibir itu lalu mulai ia gerakkan maju. Diki merasa itu kode kalau Fani menerima permintaannya tadi, dan segera memajukan pinggulnya hingga ujung kepala penisnya menyentuh ujung bibir tipis Fani.

Cupph.

"Uggghhh.. dek.."

Diki makin semangat mengocok penisnya sendiri. Fani juga ikutan terbawa birahi akibat rangsangannya barusan. Kemudian lidah Fani ia keluarkan menjulur walau tak begitu panjang, hingga lubang kencing Diki bersentuhan dengan hangatnya daging basah tak bertulang itu.

Fani tak menggerakkan bibirnya, dan hanya diam menjulurkan lidahnya. Tapi Diki yang menggerakkan sendiri batang penisnya. Ia sapukan kepala penisnya di sekitaran bibir tipis dan lidah Fani itu. Cairan precum yang keluar membasahi bibir seksi itu, tapi Fani tak mempermasalahkannya. Selama beberapa waktu Diki melakukan itu, sambil mengocok makin cepat penisnya.

Fani sendiri makin gelisah juga. Ada kegatalan yang menyeruak di bawah sana yang membuat memeknya semakin banjir. Celana dalamnya sudah basah ia rasakan menembus celana panjangnya. Tangannya memegang sprei, kemudian beralih menekan selangkangannya dari luar celana, kemudian beralih ke sprei lagi, begitu seterusnya sambil duduknya makin tak tenang. Hawa nafsu sudah hinggap di kedua insan itu.

Gerakan di pinggul Fani itu membuat Diki makin leluasa menikmati dada Fani. Saat bergerak-gerak seperti itu membuat baju piyama yang dipakai Fani tergerak, hingga puting toket Fani makin jelas terlihat oleh Diki. Seolah-olah Fani memang sengaja menggoda calon suaminya itu. Penis Diki sudah mulai berkedut kencang, tanda kalau dia tak kuat juga.

"Dek, kancingnya boleh dilepas semuanya? Udah keliatan juga dari tadi.. Ini mau keluar nih.."

Fani yang mungkin gerah dan kepanasan juga, lalu melepas satu kancing terakhirnya. Piyama berbahan satin halus itupun jatuh di kedua sisinya. Badan Fani di bagian depan tak lagi tertutupi apapun. Toket besar dan kencang itu hampir tak terhalangi apapun dan menampakkan hampir semuanya termasuk areola dan puting merah muda nya yang kini terekspose bebas.


ME58ZSO_o.gif

"Uuurrrggghhhhhh... Hhhhhhhhhhggggghhhhhhhh..."

Diki mengernag sambil makin cepat meloco hingga beberapa detik setelahnya munculah cairan kental dari kepala jamur yang berkedut hebat itu.

Crot.. Crott.. Croootttt...

Semburan demi semburan itu membasahi toket Fani sebagian besarnya. Sisanya membasahi celana dan baju piyama Fani. Fani yang sedikit memundurkan badannya, membuat Diki bisa menikmati dengan jelas tubuh atas Fani. Perut Fani yang langsing tak berlemak itu begitu kontras dengan lekukan di atasnya yaitu dua bongkah toket yang berukuran besar membusung menantang dengan puting merah mudanya yang mengeras.

Sisa kedutan-kedutan terakhir sperma Diki itu keluar membasahi lantai granit kamar Fani. Tapi disuguhi pemandangan seperti itu sulit rasanya bagi lelaki normal untuk tidak ON. Tak terkecuali Diki. Hasrat nafsunya masih bersisa. Matanya masih melotot memandangi kemolekan tubuh atas calon istrinya itu. Penisnya masih bergerak-gerak walaupun setengah lemas.

Fani pun sebenarnya merasakan letupan birahi hebat. Sejak sedari tadi, ia menahan birahinya di hadapan Diki agar tak kebablasan. Duduknya serba tak nyaman. Lendir cinta mengalir membasahi celana menembus sprei di ujung kasurnya. Apalagi barusan tubuhnya disemprot pejuh seperti itu sesungguhnya membuat Fani makin panas dingin.

Fani melihat ada sedikit keanehan di mata Diki. Matanya tampak kosong dan menatap tajam tubuhnya. Fani bukannya tidak tau, tapi tetap saja merasa ada yang beda dari tatapan itu. Diki lalu berjalan mendekat sambil pandangannya penuh kehampaan seperti itu. Fani mulai sedikit risau. Mulutnya berucap menegur Diki.

Diki seperti tak sadar. Badannya kian mepet ke arah Fani. Keindahan tubuh Fani mampu menyilaukan akal Diki hingga seperi kesambet seperti itu. Tangan Diki bergerak ke atas, bersiap merengkuh gadis di depannya. Hingga kemudian suara nyaring masuk ke telinga Diki dan menyadarkannya.

"Mas.. Sadarr, Mas.. stop.. jangan mendekat lagi.. Mas plis keluar ya.. kita belum sah, Mas.." kata Fani.

Lelaki itu langsung sadar dari lamunannya akibat menyaksikan sesuatu yang paling indah, paling seksi di depannya barusan.



------====°°°°°°°====------


Begitu memastikan pintu sudah tertutup dari luar, Fani langsung teringat hapenya masih menyala dan ada panggilan video dari Bagas. Ia segera menuju meja dan mengambil hapenya di sebelah tumpukan buku. Fani terkejut karena hapenya menampakkan Bagas dengan pakaian lahirnya.

"Ih kok udah telanjang sih,. Mana itunya yang keliatan.." komentar Fani yang diikuti kekehan Bagas.

Fani mendapati layar di hapenya itu menampakkan batang kemaluan Bagas yang sedang digenggam sendiri dan tangannya naik turun mengurut batang perkasa itu. Darah Fani langsung berdesir. Hasrat birahinya saat adegan live show dengan calon suaminya tadi belumlah tuntas, dan kini nafsu itu terpancing melihat kemaluan lelaki kembali.

Tangan Fani seketika bergerak menuju dadanya dan mulai meremas lembut toketnya sendiri. Ia bisa merasakan sperma Diki yang membasahi badannya dan malah sengaja ia usapkan di toket besarnya itu sambil meremas bongkahan sekal itu. Tangan Fani yang lain masih memegang hapenya.

"Hehe.. Kamu bisa jaim juga ya barusan tadi sama calonmu itu.. Padahal kamu juga udah sange kan, Dek?.."

"Sok tau.. kata siapa aku sange.. Enggak ya.. hhhmmppphh" ucap Fani.

Tangannya masih meremas toketnya bergantian, sambil matanya terpejam menikmati sentuhannya sendiri.

"iya juga nggakpapa.. hahaha.." kata Bagas.

Sambil meremas sendiri bulatan putih tanpa cela itu, Fani juga sesekali melihat layar hapenya. Melihat kontol Bagas yang sudah menegang di ujung sana membuat birahi Fani makin meninggi. Sambil menggigit bibir bawahnya, tangan Fani makin kuat meremas toketnya sendiri. Ia tak peduli ia sedang video call dengan Bagas. Toh Bagas juga sudah mengetahui sisi liar Fani, malahan Bagas yang menjadi mentor Fani selama ini soal urusan permesumam. Mulut Fani tak sungkan untuk mendesah.

"hhmmppphhh.. Emppphhh.."

"ditaruh aja hapenya Dek, biar tanganmu nggak pegang hape.."

Tanpa berfikir dua kali, Fani menaruh hapenya di kasurnya. Bantal tidurnya ia gunakan sebagai penyangga agar hapenya tetap berdiri menampakkan kontol Bagas yang sedang dikocok itu. Satu tangan Fani yang terbebas itu langsung menuju selangkangannya. Melewati dalam celana panjangnya, tangannya langsung menuju area vaginanya dan menemukan celana dalamnya yang sudah basah.

Segera saja ia menstimulus sendiri vaginanya meski dari luar celana dalamnya. Jadilah nampak kini Fani sedang meremas toketnya dengan satu tangannya, dan tangannya yang lain sedang menyusup ke balik celana panjangnya dan bermain-main di sana.

"Hehe.. sange banget ya kamu, Dek.. Sampe grepe-grepe sendiri.."

"Ahh.. Enggak kok.. ini cuma lagi capek.. mau tiduran aja.. Mmhhmm.. Houuhhhh.." Fani masih sok jaim.

Meski begitu, Bagas tentu tau kalau Fani sedang self service sendiri karena godaan yang muncul akibat adegan tadi dengan calon suaminya itu. Bagas hanya tertawa mendengar jawaban Fani itu. Fani sendiri tidak memedulikan Bagas. Ia makin asik merangsang tubuh sintalnya itu sendiri, Fani kini hampir terbaring dengan bantal di punggungnya.

Kakinya lurus di atas kasur mengapit tangannya yang bermain di vaginanya. Toketnya terus ia remas-remas bergantian kanan dan kiri. Di benak Fani masih terbayang penis Diki tadi, dan kini bercampur dengan gambar di depan layar 6inch hapenya itu yang menampakkan kontol perkasa milik Bagas.

Seiring waktu, Fani makin cepat meremas toketnya sendiri. Tubuhnya makin sering menggeliat di atas kasurnya. Tangan kirinya juga makin aktif beraktivitas di balik celana panjangnya.

"Itu lagi colmek ya, Dek.. Hehe.. Kamu sange kan..??"

"Hhhgghhh.. Enggak.. ini lagi gatel ajaahh.. Digaruk doang.. hmmmppphhh.." balas Fani.

Lagi-lagi Bagas tertawa. Fani masih sok jaim yang itu malah membuat Fani semakin cute. Mulutnya bilang tidak, tapi tubuhnya makin kelojotan di atas kasur. Tangannya yang bermain di selangkangannya menghasilkan bunyi kecipak nyaring meskipun dari balik celana dalamnya.

Cpekk..Cpeekkk.. Cpeekkkk..

Fani tak kuasa lagi menahan laju birahinya. Tubuhnya semakin memanas di tengah sejuknya ruangan kamar mewahnya itu. Pantatnya semakin menggeliat hebat, bayangan klimaks sudah di depan mata. Kedua tangannya semakin intens merangsang toket dan memeknya.

"Dek... besok aku ke rumahmu ya... kamu kan udah maafin aku kan.." kata Bagas.

"Aaahhh..Hmmmhh.. Besok aku ada.. ahh.. lamaran, Mas.."

"Ya nggakpapa, sembunyi aja di kamar sebelah kamarmu itu, kaya biasanya.."

Fani tak memedulikan kalimat terakhir Bagas itu dan makin cepat mengobel liang cintanya dari luar celana dalamnya itu. Hingga sepersekian detik kemudian, tubuhnya mulai menyentak-nyentak. Pantatnya ia angkat tinggi membersamai desahan kencangnya.

"Hggghhhhhh.. Mmmmhhhhhggghhhh.. Aaaaahhhhhhhhhhh.. hhhoooooooooooooooouugggghhh.."

Crrtt..Crrrttt.. Crrrrttttt..


ME58ZSY_o.gif

Tubuh Fani langsung lemas setelah bermili-mili cairan orgasme nya keluar membasahi celana dan langsung menodai sprei kasurnya itu.

"Hehehe.. Kamu habis orgasme ya, Dek??" tanya Bagas.

"Hoshh.. Hosshh.. Enggakk.. Akuu habis kecapekan ajaaahh.. Hooshh.. Hoosshh.."

Sambil terengah-engah, orgasm denial dari Fani itu lalu membuat Bagas tertawa dan malah makin tak tahan dengan sikap Fani itu.

"hahaha.. Iya dehh.. Jadi, besok aku ke rumahmu ya.. habis acaramu selesai.."

"Hooshh.. Haahh.. Terserah kamu aja, Mas.. Hosshh.." kata Fani setengah tak peduli.

Ia masih berusaha melepas semua bebannya seiring puncaknya yang ia dapatkan. Birahinya sudah meluap sejak mengintip Diki coli di kamar mandi tadi. Dan kini amat lega rasanya setelah ia bisa melepas puncaknya itu.

Tok.. Tookk.. Toookkk..

"Fannn.. Faaannn.. Kamu di dalemm?" terdengar suara perempuan mengetuk dari luar yang tak lain adalah sepupunya.

"Iya, Beibb.." jawab Fani.

"Ini orang dekornya mau konfirmasi warna paletnya, Beiib.." kata Anggun.

"Oiyaa.. Aku turun bentar lagii.. Pakai jilbab dulu, Beb.. Hosshh.. Hosshh.." jawab Fani dengan nafas masih tersengal-sengal.





------====°°°°°°°====------
POV Sella



"Uuuffhhh.. Masa subur ini benar-benar menyebalkan.." gumamku.

Kusadari satu tanganku bermain-main di selangkanganku dari luar gamis yang kupakai. Tanganku yang lain berpegangan di tembok sambil memegang handbag ku berusaha menopang tubuhku. Melihat adegan mesum di depanku itu makin menyulut gairahku. Sial!

Di depanku kepala Fani masih rajin maju mundur di selangkangan Mas Diki. Penis Mas Diki dengan urat-urat yang begitu jelas itu nampak makin basah akibat liur yang melumuri batang coklat itu. Mas Diki sesekali nampak memberi perintah, tapi aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan itu.

Fani pun nampak menurut saja. Bibir nya bermain di batang itu. Sesekali ia lepas batang panjang itu dari mulutnya dan hanya ia kocok dengan tangannya, sambil lidahnya menjilati kepala penisnya saja. Sesekali juga mulutnya turun menuju biji zakar Mas Diki dan mengulum bergantian biji kembar itu sambil tangannya tetap mengocok penis itu.

Aku di sini semakin aktif menggesekkan tanganku di selangkanganku meski dari luar gamis, sampai-sampai gamis ku mulai lecek. Masa subur yang datang ini membuat tubuhku makin sensitif. Meskipun area intimku itu berlapis cd dan celana legging, tapi gesekan tanganku ini cukup terasa.

Vaginaku mulai lembab entah sejak kapan.

Adegan oral seks di depanku juga semakin panas. Kini Mas Diki sedang mendeepthroat wajah Fani. Tangan Mas Diki memegangi kepala Fani. Ia goyangkan pinggulnya hingga penis itu keluar masuk secara cepat selama beberapa kali lalu diakhiri dengan ia tekan dalam-dalam penis itu di akhir genjotannya. Hingga kulihat tak ada lagi penis nya yang tersisa.

Tangan Mas Diki mencengkeram kuat jilbab itu sambil kepalanya mendongak ke atas, merasakan semua batangnya ludes habis di dalam kerongkongan akhwat itu. Selama beberapa saat Mas Diki mendiamkan batang itu tertelan dalam-dalam. Hingga kepala Fani bergerak-gerak menunjukkan gestur seperti kehabisan nafas.

Mas Diki lalu menarik penisnya setelah beberapa saat tadi tertanam di mulut Fani. Ia tarik sebatas kepala penisnya untuk kemudian ia lakukan genjotan cepat beberapa kali dan diakhiri dengan batangnya yang ia tanam dalam-dalam kembali. Beberapa kali mulut dan wajah Fani menjadi sasaran genjotan liar penis berurat itu.

Beruntung sekali Mas Diki bisa mendapatkan calon istri yang mau disetubuhi secara liar di wajahnya seperti itu. Aku saja masih enggan jika diminta deepthroat seperti itu.

Semakin liarnya adegan persetubuhan oral itu membuatku makin cepat juga menggesek-gesek jariku di selangkanganku. Dari sini, hanya suara kecipak peraduan bibir Fani dan selangkangan Mas Diki yang terdengar. Aku bisa merasakan vaginaku kian lembab. Cairan cintaku keluar tanpa aba-aba membuat basah CD dan celana panjang di balik gamisku.

Melihat adegan di depanku yang makin panas itu makin menyulut birahiku. Ingin rasanya aku juga bisa melepas klimaksku di sini. Tapi kemudian sebersit akal sehat muncul di otakku. Ini adalah lorong yang tempat orang lalu lalang. Sekian kali aku teledor dan terjebak di skenario mesum, membuatku menjadi lebih hati-hati.

Aku akhiri permainan tanganku sekaligus sesi intip mengintip ini. Aku balikkan badanku menuju hall utama lantai 2 ini. Tanganku lalu bergerak mengambil hapeku dan mulai mengetik pesan.


👧: Assalamualaikum.. Abii.. Jemput Umi di rumah Fani ya.. sekarang..!!

🧑: Waalaikumsalam
🧑: Kenapa Umi?

👧: Abi cuti aja ya hari ini... Pliiissss..

🧑: Umi kenapa? Enggak kenapa-kenapa kan?

👧: Umi kangeeennn Abiii.. Kepengennnn....

🧑: Owalaaahh.. hehehe..
🧑: Kirain.

👧: Udah sini..
👧: Cepetan jemputtt..

🧑: Iya, Kanjeng Ratu...
🧑: Meluncurrr..
🧑: Umi siap-siap Abi bolak balik di kasur nih ya berarti....

👧: Udah buruaann.. cepett..!!!

🧑: Iyeesss.. nggak tahan yaaa..??
🧑: Hehehe...

Sambil berjalan, ketika aku sedang bertukar pesan dengan kekasihku itu, aku dikejutkan oleh suara yang datang dari tangga menuju lantai dua ini.

"Eh.. Kak Sella, udah lama nunggu Kak?.."

"Lho.. Fani.. Eh.. Lho.. Kamu..." kataku tergagap.

"Lah loh lah loh.. kenapa e, Kak?"

"Sek.. sek.. bentar.. kamu barusan dari lantai satu, Say?" tanyaku.

"Iya.. habis ketemu orang dekor.. bareng Anggun.." balas Fani, "Kenapa e, Kak? Kok kayak habis liat setan gitu.."

"Eh.. kalau Fani di lantai satu, terus tadi yang di dapur lantai dua siapa dong??" gumamku.

Saat aku sedang menerka dan berfikir ini, aku dikejutkan lagi oleh suara yang datang dari belakangku.

"Lho ini kok pada ngobrol di depan tangga gini.. Fani, Sella di ajak masuk ke kamarnya dong, Dek.."

"Iya, Mah.. nggak tau nih.. Kak Sella kaya lagi linglung gitu.." balas Fani.

Aku tau suara itu, dan saat aku menoleh ke belakang, benar! Itu Tante Anisa. Gamis itu, jilbab itu. Jilbab dengan ujung bordiran motif bunga. Pantas aku tak pernah melihat Fani memakainya, ternyata itu milik Tante Anisa. Berarti.. yang di dapur yang kuintip tadi.. Yang tadi dengan patuh menelan habis penis panjang ituu..??


5356411350878261.jpg

Anisa

Saat Tante Anisa berjalan kian mendekat ke arah kami, samar-samar aku melihat lendir kental di ujung bibir tipis merekah Tante Anisa. Aku cukup tau lendir apa itu. Benakku kalang kabut mencerna hal yang kulihat ini sampai aku tak bisa berkata-kata dan bibirku terbuka. Benarlah kalau yang sedang asik menyepong di dapur tadi adalah Tante Anisa.!

Mas Diki..!!!!!










Part 17 "Changeover" to be continued...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd