Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Wih mantep suhu. Ane suka nih cerita yg kaya gini,main pelan dan bikin kondisi yang bagus dulu ga tergesa gesa langsung ngewe.
 
Part 4

“Halo Jinan?”

“Halo, Dim. Lo kemana aja sih? Gak diangkat-angkat.”

“Ehe, maaf. Tadi baru dijalan.”

“Oh, yaudah... Gini, besok lo habis kuliah ada kegiatan gak?.”

“Gue kosong, gimana?” Aku membuka kunci rumah.

“Nah, temenin gue ke toko musik, ya.”

“Hah? Toko musik?”

“Iya, jadi gini, Dim. Gue mau beli gitar akustik, tapi gue kan enggak tau kan gimana cara milihnya. Maksudnya yang bagus gitu. Makanya besok gue minta tolong lo nemenin gue ke toko musik, pilihin yang kira-kira pas lah buat gue. Gue bingung minta temenin siapa lagi. Cuma lo sih yang gue kenal paham banget soal ginian.”

“Ohh... oke oke, bisa gue.”

“Jam 4 ya? Bisa?”

“Bisa kok.” Aku duduk di sofa, meletakkan kunci kontak di meja.

“Okee, makasih ya Dim, ntar gue kabarin lagi. Daah.”

“Sama-sama, dah...”

Panggilan itu berakhir, aku meletakkan smartphone itu di samping kunci kontakku. Tiba-tiba hatiku berbunga, aku menampar pipi, mencubiti tangan. Bukan, ini bukan mimpi! Gadis cantik idolaku itu... memintaku menemaninya... AAAAKKKK!!!

DUG

Lututku menghantam bawah meja. Aku meringis, itu sakit. Sepertinya aku terlalu gembira. Bahkan smartphone dan kunci kontakku sampai bergeser dari posisinya.

Aku menoleh kearah karpet. Ingatan di kepalaku tiba-tiba memutar adeganku bersama Cindy beberapa jam lalu. Aku masih tidak menyangka, dari gadis yang polos dan kaku, ternyata dia orang yang unik.

Tapi kenapa Cindy... mau? Apa dia... menyukaiku?

Aku menggeleng cepat, menyadarkan diri dari delusi ini. Aku berdiri lalu menggulung karpet yang masih berbau cairan Cindy tadi. Walau sudah tidak terlalu menyengat, tapi ya, tentu akan jadi masalah jika Hary atau orang lain nanti menciumnya.

***​

Aku duduk di sofa, memainkan jariku diatas layar smartphoneku, menekan satu per satu tuts hitam yang bergerak dari atas layar yang menghasilkan nada-nada agar terangkai sebuah lagu. Game Piano Tiles ini menjadi senjataku untuk membunuh waktu. Walau terlihat membosankan, namun aku menikmati permainan ini. Kau harus mencobanya juga. Selain memang aku suka dengan game berbau musik, hanya ini game yang aku punya di smartphoneku.

Teeett

Aku salah menekan tuts, permainan terhenti. Aku menoleh kearah jam dinding, sudah pukul setengah lima. Jinan belum juga sampai. Oh iya, jadi sore ini, kami sepakat agar Jinan yang menjemputku dengan mobil, dan nantinya aku yang menyetir ke lokasi toko musiknya, agar aku tidak harus bolak-balik karena lokasi toko musik yang berlawanan dengan lokasi rumah Jinan.

Tin Tin

Ah, itu pasti dia. Aku bergegas mengenakan varsity warna merahku dan berjalan keluar. Mobil Honda Jazz warna biru milik Jinan itu sudah bersiap di depan gerbang, aku berjalan mendekat setelah memastikan pintu dan gerbang terkunci. Jinan keluar dari pintu kursi kemudi.

gECXnrsY_o.jpg

Dia terlihat keren dengan hoodie putih, celana jeans dan sepatu Nike yang senada dengan hoodienya itu. Dia juga memakai kacamata dengan frame warna hitam. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai keluar dari dalam kerudung hoodie itu. Wajah natural tanpa make-upnya sudah cukup membuat hatiku berdebar.

“Oi, Dim. Ngelamun aja.”

“Eh, apa? Enggak kok.”

“Apaan enggak-enggak, haha. Ngelamunin siapa lu?”

“Udah udah, ayo buru.” Aku menarik pelan bahunya, agar dia menyingkir dari depan pintu itu. Sialan, Jinan wangi banget anjir.

“Ah, pasti ngelamunin Cindy nih, hihihi.” Dia berlalu ke depan mobil menuju pintu penumpang.

“Ih enggak! Gue enggak ngelamunin dia!” protesku dengan kepala yang masih mencuat keluar sedangkan setengah tubuhku sudah berada didalam mobil. Jinan menutup mulutnya, aku bisa dengar dia terkekeh.

Dan kami pun berangkat menuju toko. Jinan yang membuka pembicaraan setelah 15 menit perjalanan kami hanya diam mendengarkan lagu yang terputar dari mp3 player di dashboard mobil Jinan.

“Dim.”

“Iya?”

“Sibuk apa lo sekarang?”

“Nyetir.” Jawabku polos.

“Bukan itu bego! Maksudnya kan sekarang lo udah gak ikut oganisasi jurusan lagi nih, nah lu sekarang ngapain aja tiap hari. Tolol!”

Aku terkekeh mendengarnya kesal seperti itu.

“Hahaha, sabar buk. Ya, gue habis kuliah di kontrakan aja sih. Internetan, baca-baca novel. Gitu-gitu sih, kenapa?”

“Lo emang gak kepikiran ikut organisasi lain gitu apa?”

“Emang kenapa sih?”

“Enggak... kan lo dulu pas satu departemen sama gue di organisasi jurusan kan kinerjanya bagus tuh, gue juga tau lo orangnya cekatan, tanggungjawab, ya gitu lah. Tapi gue masih bingung lo mutusin buat enggak lanjut di organisasi jurusan pas akhir semester kemarin. Alesan lo waktu itu juga enggak masuk akal sih. Lo sebenernya kenapa?”

“Ha? Ya emang gue males aja.”

“Gak mungkin. Lo ada masalah ya disana?”

“Enggak.”

“Bener?”

“Iya, Jinan Safa Safira... gue males aja lanjut, udah. Pengen fokus kuliah aja.”

“Ooohhh.... okedeh. Hihihi, dasar, orang kayak lo bisa males juga ya.”

“Sebenarnya... bukan itu alasanku. Sepertinya, bukan sekarang saatnya aku cerita... Atau malah... tidak akan aku ceritakan kepadanya atau siapapun. Hanya aku dan ‘gadis itu’ yang tahu masalah itu... Kejadian malam itu... tak akan aku lupakan...”

Aku dan Jinan sempat tergabung dalam organisasi jurusan. Kebetulan kami berada dalam satu departemen yang sama, kami di dalam departemen yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Jadi kami yang mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah, kunjungan ke panti asuhan, mengajar anak jalanan, dan lain-lainnya.

Pada saat itu ada dua anggota lain selain kami yang menjadi ‘eksekutif muda’, istilah yang dipakai untuk kami, mahasiswa baru yang masuk organisasi itu. Sekarang pun, keduanya memutuskan tidak lanjut, sehingga tersisa Jinan seorang yang kini menjadi kepala departemen, sementara membawahi 3 anggota dari mahasiswa semester 3 dan akan ditambah dari mahasiswa baru nantinya. Hahaha, padahal dulu akulah yang digadang-gadang bakal menjadi kepala departemen.

“Jinan.”

“Kenapa Dim?”

“Lo ada budget berapa nih buat gitarnya?” Aku mengganti topik.

“Gue bawa dua juta sih, gimana?”

“Okedeh, bisa dapet sih gitar yang menurut standar gue bagus.” Aku menginjak rem perlahan, lampu lalu lintas didepan itu menyala merah. “Tapi kok lu pengen beli gitar? Emang lu bisa main?” lanjutku penasaran.

“Hehe, enggak tau sih gue kemasukan apa, tiba-tiba aja gue pengen nyoba jadi pemain musik, gak cuma dengerin doang. Gatau deh ntar gimana gue bisa mainnya enggak. Haha. Keluarga gue kan enggak ada yang punya darah seni.”

“Yang penting niat sama lo giat latihan, Nan. Bakat itu cuma mempercepat belajar doang, kok.”

Lampu pun berubah hijau, aku perlahan menginjak pedal gas.

“Hahaha... okedeh. Lo dulu belajar sampe bisa berapa lama emang?”

“Emm... gue? Gue sih kalo kunci-kunci dasar gitu sampe bisa bunyiin paling sebulan.”

“Gila. Lu yang punya bakat musik aja lama banget. Gimana gue entar.”

“Dih, itu juga gara-gara gue males latihan, Nan.... tenang, kalo lo mau gue bisa kok ngajarin.”

“Serius?”

“Iye.”

“Lu pasti minta bayaran mahal deh, yakin.”

“Eh, enggak, gratis kalo temen mah. Gue juga enggak mau buka les-lesan musik formal juga.”

“Hahaha,”

“Lagian, kalo bisa main gitar. Cowok-cowok pasti pada antri tuh buat dapetin lo, hehe. Udah cantik, bisa main gitar pula. Beuh... idola para cowok.”

“Apaan sih, Dim. Sa ae lu!” Dia memukul bahuku sambil tertawa, aku pun ikut tertawa bersamanya. “Emm, masih jauh ya, Dim?” Lanjutnya.

“Enggak kok, tuh tokonya.” Aku mendorong dagu.

Kami sampai di toko musik yang terletak diantara apotik dan toko busana itu, aku biasa membeli senar atau aksesoris lain disini. Katanya sih, memang tempat ini toko musik yang recommended.

gitar.jpg

Kami disambut dengan deretan alat-alat musik yang tertata rapi. Di bagian depan toko ini tersedia gitar, bass, biola, ukulele dan berbagai macam aksesoris, sedangkan drum dan piano memiliki ruangan tersendiri dibagian belakang toko ini.

Aku membimbingnya ke bagian gitar-gitar akustik. Terpajang rapi di dinding dan beberapa ditaruh di stand gitar. Aku mengedarkan pandang ke semua gitar yang dipajang disana. Mencari-cari model gitar yang aku cari. Cort, Gibson, Ibanez, Takamine, dan Aha! aku temukan gitar itu.

“Tuh, Nan. Biasanya sih, Yamaha APX 500II itu yang jadi best seller. Emang enak sih suaranya, model body gitarnya tipis jadi menurut gue pas buat dimainin sama lo.” Aku menunjuk kearah model gitar warna vintage white yang terpajang di pojok kanan atas. Jinan mengangguk.

yamaha-apx500ii-white-800x800.jpg

“Coba ya?” Tawarku.

“Oke.”

“Mas.” Aku mengangkat tangan kanan kearah pegawai toko ini. Dia mengambil tangga dan menyerahkan gitar itu.

“Nih, coba dulu.”

Jinan agak kebingungan saat aku menyerahkannya, dia masih kikuk dengan itu.

“Eh, gimana mainnya?” Dia duduk di kursi yang ada didekatnya, memposisikan diri layaknya seorang yang siap memainkan gitar.

“Gini, ini namanya kunci C.” Aku menundukkan badan, membimbing jari-jarinya menekan senar-senar itu agar membentuk akor C. Sial... sepertinya tidak seharusnya aku menyentuhnya, kulitnya halus sekali. ARGH!

“Jangan ngaceng disini bangsat!” teriakku dalam hati.

“Ih, keras juga ya.” Responnya saat mencoba menekan senar berukuran 0.12 itu.

“I-iya soalnya emang segitu ukurannya, bisa diganti sih sama yang lebih kecil. Enggak terlalu sakit jadinya.” Jelasku. Jinan mencoba menggenjreng gitar itu.

“Iiihh... kok enggak bunyi?” Dia cemberut saat tak ada satu nada pun yang terdengar.

“Haha, ya namanya baru pertama. Lagian, kuku jari kanan lo kepanjangan.”

Mas-mas pegawai toko itu terlihat menahan tawa melihat tingkah kami. Jinan masih saja terus mencoba menggenjreng gitar itu dengan kunci yang sama, kadang memetik satu per satu senarnya, atau dia bertanya padaku bentuk akor lainnya. Setelah beberapa saat, dan aku memastikan kondisi gitar ini bagus, aku bertanya padanya.

“Gimana?”

“Yaudah deh, ini aja. Gue juga suka putihnya. Cocok juga sih sama badan gue.”

“Maksudnya?”

“Ya pas aja, pas dimainin sama gue.”

“Harga gimana? Cocok ga?”

“Satu delapan lima ratus,” Jinan melihat tabel harga yang digantung di headstock gitar.

“Harga normal sih itu,” Jelasku sambil ikut melihat tabel harga itu.

“Yaudah, deh.”

“Oke oke.” Aku menoleh kebelakang. “Mas, ini deh.” Aku menunjuk gitar itu kepada pegawai toko yang kelihatannya tidak terlalu tua dari kami. Dengan sigap ia menerima gitar itu dan membawa ke kasir, kami mengekorinya.

“Semuanya satu juta delapan ratus lima puluh ribu, mbak.” Kata petugas kasir itu pada Jinan. Ia menyerahkan sembilan belas lembar uang seratus ribu rupiah yang sudah ia siapkan pada perempuan kasir itu.

Ting!

Mesin kasir itu berdering lalu kotak berisi uang itu ditarik, perempuan kasir itu meletakkan uang-uang tadi kedalamnya, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribu rupiah dan menyerahkannya pada Jinan setelah struk belanja itu selesai dicetak.

Jinan menjinjing softcase berisi gitar itu dengan wajah sumringah.

“Cieh, gitar baru. Mau ngamen dimana nih, mbak?” godaku yang sudah menunggunya dari jauh.

“Ih, apaan sih Dim. Gajelas.” Jinan mencubit lengan kiriku. Aku meringis kesakitan. Sial, dia serius mencubitku. Aku mengelus-elus bagian bekas cubitannya itu.

Aku membuka pintu mobil, duduk di kursi kemudi. Jinan pun menyusul duduk di sampingku setelah menaruh gitar itu di kursi belakang.

“Lu udah makan?”

“Udah kok, Dim. Kenapa lu laper?”

Krucukk...

Tiba-tiba perut Jinan berbunyi. Wajahnya memerah.

“Eh.”

“Hahahahaha! Jinan Jinan, pake boong segala. Dah, gue traktir makan ya, gue laper juga nih.” Aku menyalakan mesin mobil.

“I-iya deh...” Dia menyembunyikan wajahnya di kerudung hoodie yang ia tutup dengan tangannya. Aku gemas dengan tingkah lucunya itu.

“Oke.”

***​

Singkat cerita, aku dan Jinan menyerah setelah 4 warung makan yang kami sambangi sudah close order, dan beberapa warung pun sangat penuh. Akhirnya kami sepakat untuk pulang saja dan makan di tempat masing-masing dan kini kami sampai di depan kontrakanku. Malam sudah larut juga ternyata.

“Huft... maaf ya Nan, malah enggak jadi makan.”

“Enggak apa-apa Dim, makasih ya udah nemenin gue...”

“Yops,” Aku membuka pintu.

Namun saat kaki kananku menapak aspal dan bersiap keluar, Jinan menarik lengan kiriku sehingga aku kembali duduk di posisiku.

“Kenapa Ji-” Ucapanku terhenti karena dia dengan bibir seksinya itu tiba-tiba melumat bibirku.

OH SHIT MAN WHAT’S SHE DOING?!


To be continued...
 
Terakhir diubah:
Kwntaaaaanggg kzl



Mantap hu gaaaasss terussss.



Anjay guitar snob ternyata suhunya
 
Cerita yg kaya gini favorit bgt sih haha, alias mantab cinhap jinan ~ lanjut trus suhuu
 
Hmm Jinan Hapsari Maharani sama Cindy Safa Safira leh ugha... Ngalir terus mantap. Pertahankan kekentanganmu (?)
 
Waduh KENTAAAAANGGGG hahaha jangan lama lama hu lanjutannya~ rutinin dong hahaha
 
Bimabet
Part 4

“Halo Jinan?”

“Halo, Dim. Lo kemana aja sih? Gak diangkat-angkat.”

“Ehe, maaf. Tadi baru dijalan.”

“Oh, yaudah... Gini, besok lo habis kuliah ada kegiatan gak?.”

“Gue kosong, gimana?” Aku membuka kunci rumah.

“Nah, temenin gue ke toko musik, ya.”

“Hah? Toko musik?”

“Iya, jadi gini, Dim. Gue mau beli gitar akustik, tapi gue kan enggak tau kan gimana cara milihnya. Maksudnya yang bagus gitu. Makanya besok gue minta tolong lo nemenin gue ke toko musik, pilihin yang kira-kira pas lah buat gue. Gue bingung minta temenin siapa lagi. Cuma lo sih yang gue kenal paham banget soal ginian.”

“Ohh... oke oke, bisa gue.”

“Jam 4 ya? Bisa?”

“Bisa kok.” Aku duduk di sofa, meletakkan kunci kontak di meja.

“Okee, makasih ya Dim, ntar gue kabarin lagi. Daah.”

“Sama-sama, dah...”

Panggilan itu berakhir, aku meletakkan smartphone itu di samping kunci kontakku. Tiba-tiba hatiku berbunga, aku menampar pipi, mencubiti tangan. Bukan, ini bukan mimpi! Gadis cantik idolaku itu... memintaku menemaninya... AAAAKKKK!!!

DUG

Lututku menghantam bawah meja. Aku meringis, itu sakit. Sepertinya aku terlalu gembira. Bahkan smartphone dan kunci kontakku sampai bergeser dari posisinya.

Aku menoleh kearah karpet. Ingatan di kepalaku tiba-tiba memutar adeganku bersama Cindy beberapa jam lalu. Aku masih tidak menyangka, dari gadis yang polos dan kaku, ternyata dia orang yang unik.

Tapi kenapa Cindy... mau? Apa dia... menyukaiku?

Aku menggeleng cepat, menyadarkan diri dari delusi ini. Aku berdiri lalu menggulung karpet yang masih berbau cairan Cindy tadi. Walau sudah tidak terlalu menyengat, tapi ya, tentu akan jadi masalah jika Hary atau orang lain nanti menciumnya.

***​

Aku duduk di sofa, memainkan jariku diatas layar smartphoneku, menekan satu per satu tuts hitam yang bergerak dari atas layar yang menghasilkan nada-nada agar terangkai sebuah lagu. Game Piano Tiles ini menjadi senjataku untuk membunuh waktu. Walau terlihat membosankan, namun aku menikmati permainan ini. Kau harus mencobanya juga. Selain memang aku suka dengan game berbau musik, hanya ini game yang aku punya di smartphoneku.

Teeett

Aku salah menekan tuts, permainan terhenti. Aku menoleh kearah jam dinding, sudah pukul setengah lima. Jinan belum juga sampai. Oh iya, jadi sore ini, kami sepakat agar Jinan yang menjemputku dengan mobil, dan nantinya aku yang menyetir ke lokasi toko musiknya, agar aku tidak harus bolak-balik karena lokasi toko musik yang berlawanan dengan lokasi rumah Jinan.

Tin Tin

Ah, itu pasti dia. Aku bergegas mengenakan varsity warna merahku dan berjalan keluar. Mobil Honda Jazz warna biru milik Jinan itu sudah bersiap di depan gerbang, aku berjalan mendekat setelah memastikan pintu dan gerbang terkunci. Jinan keluar dari pintu kursi kemudi.

0


Dia terlihat keren dengan hoodie putih, celana jeans dan sepatu Nike yang senada dengan hoodienya itu. Dia juga memakai kacamata dengan frame warna hitam. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai keluar dari dalam kerudung hoodie itu. Wajah natural tanpa make-upnya sudah cukup membuat hatiku berdebar.

“Oi, Dim. Ngelamun aja.”

“Eh, apa? Enggak kok.”

“Apaan enggak-enggak, haha. Ngelamunin siapa lu?”

“Udah udah, ayo buru.” Aku menarik pelan bahunya, agar dia menyingkir dari depan pintu itu. Sialan, Jinan wangi banget anjir.

“Ah, pasti ngelamunin Cindy nih, hihihi.” Dia berlalu ke depan mobil menuju pintu penumpang.

“Ih enggak! Gue enggak ngelamunin dia!” protesku dengan kepala yang masih mencuat keluar sedangkan setengah tubuhku sudah berada didalam mobil. Jinan menutup mulutnya, aku bisa dengar dia terkekeh.

Dan kami pun berangkat menuju toko. Jinan yang membuka pembicaraan setelah 15 menit perjalanan kami hanya diam mendengarkan lagu yang terputar dari mp3 player di dashboard mobil Jinan.

“Dim.”

“Iya?”

“Sibuk apa lo sekarang?”

“Nyetir.” Jawabku polos.

“Bukan itu bego! Maksudnya kan sekarang lo udah gak ikut oganisasi jurusan lagi nih, nah lu sekarang ngapain aja tiap hari. Tolol!”

Aku terkekeh mendengarnya kesal seperti itu.

“Hahaha, sabar buk. Ya, gue habis kuliah di kontrakan aja sih. Internetan, baca-baca novel. Gitu-gitu sih, kenapa?”

“Lo emang gak kepikiran ikut organisasi lain gitu apa?”

“Emang kenapa sih?”

“Enggak... kan lo dulu pas satu departemen sama gue di organisasi jurusan kan kinerjanya bagus tuh, gue juga tau lo orangnya cekatan, tanggungjawab, ya gitu lah. Tapi gue masih bingung lo mutusin buat enggak lanjut di organisasi jurusan pas akhir semester kemarin. Alesan lo waktu itu juga enggak masuk akal sih. Lo sebenernya kenapa?”

“Ha? Ya emang gue males aja.”

“Gak mungkin. Lo ada masalah ya disana?”

“Enggak.”

“Bener?”

“Iya, Jinan Safa Safira... gue males aja lanjut, udah. Pengen fokus kuliah aja.”

“Ooohhh.... okedeh. Hihihi, dasar, orang kayak lo bisa males juga ya.”

“Sebenarnya... bukan itu alasanku. Sepertinya, bukan sekarang saatnya aku cerita... Atau malah... tidak akan aku ceritakan kepadanya atau siapapun. Hanya aku dan ‘gadis itu’ yang tahu masalah itu... Kejadian malam itu... tak akan aku lupakan...”

Aku dan Jinan sempat tergabung dalam organisasi jurusan. Kebetulan kami berada dalam satu departemen yang sama, kami di dalam departemen yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Jadi kami yang mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah, kunjungan ke panti asuhan, mengajar anak jalanan, dan lain-lainnya.

Pada saat itu ada dua anggota lain selain kami yang menjadi ‘eksekutif muda’, istilah yang dipakai untuk kami, mahasiswa baru yang masuk organisasi itu. Sekarang pun, keduanya memutuskan tidak lanjut, sehingga tersisa Jinan seorang yang kini menjadi kepala departemen, sementara membawahi 3 anggota dari mahasiswa semester 3 dan akan ditambah dari mahasiswa baru nantinya. Hahaha, padahal dulu akulah yang digadang-gadang bakal menjadi kepala departemen.

“Jinan.”

“Kenapa Dim?”

“Lo ada budget berapa nih buat gitarnya?” Aku mengganti topik.

“Gue bawa dua juta sih, gimana?”

“Okedeh, bisa dapet sih gitar yang menurut standar gue bagus.” Aku menginjak rem perlahan, lampu lalu lintas didepan itu menyala merah. “Tapi kok lu pengen beli gitar? Emang lu bisa main?” lanjutku penasaran.

“Hehe, enggak tau sih gue kemasukan apa, tiba-tiba aja gue pengen nyoba jadi pemain musik, gak cuma dengerin doang. Gatau deh ntar gimana gue bisa mainnya enggak. Haha. Keluarga gue kan enggak ada yang punya darah seni.”

“Yang penting niat sama lo giat latihan, Nan. Bakat itu cuma mempercepat belajar doang, kok.”

Lampu pun berubah hijau, aku perlahan menginjak pedal gas.

“Hahaha... okedeh. Lo dulu belajar sampe bisa berapa lama emang?”

“Emm... gue? Gue sih kalo kunci-kunci dasar gitu sampe bisa bunyiin paling sebulan.”

“Gila. Lu yang punya bakat musik aja lama banget. Gimana gue entar.”

“Dih, itu juga gara-gara gue males latihan, Nan.... tenang, kalo lo mau gue bisa kok ngajarin.”

“Serius?”

“Iye.”

“Lu pasti minta bayaran mahal deh, yakin.”

“Eh, enggak, gratis kalo temen mah. Gue juga enggak mau buka les-lesan musik formal juga.”

“Hahaha,”

“Lagian, kalo bisa main gitar. Cowok-cowok pasti pada antri tuh buat dapetin lo, hehe. Udah cantik, bisa main gitar pula. Beuh... idola para cowok.”

“Apaan sih, Dim. Sa ae lu!” Dia memukul bahuku sambil tertawa, aku pun ikut tertawa bersamanya. “Emm, masih jauh ya, Dim?” Lanjutnya.

“Enggak kok, tuh tokonya.” Aku mendorong dagu.

Kami sampai di toko musik yang terletak diantara apotik dan toko busana itu, aku biasa membeli senar atau aksesoris lain disini. Katanya sih, memang tempat ini toko musik yang recommended.

gitar.jpg

Kami disambut dengan deretan alat-alat musik yang tertata rapi. Di bagian depan toko ini tersedia gitar, bass, biola, ukulele dan berbagai macam aksesoris, sedangkan drum dan piano memiliki ruangan tersendiri dibagian belakang toko ini.

Aku membimbingnya ke bagian gitar-gitar akustik. Terpajang rapi di dinding dan beberapa ditaruh di stand gitar. Aku mengedarkan pandang ke semua gitar yang dipajang disana. Mencari-cari model gitar yang aku cari. Cort, Gibson, Ibanez, Takamine, dan Aha! aku temukan gitar itu.

“Tuh, Nan. Biasanya sih, Yamaha APX 500II itu yang jadi best seller. Emang enak sih suaranya, model body gitarnya tipis jadi menurut gue pas buat dimainin sama lo.” Aku menunjuk kearah model gitar warna vintage white yang terpajang di pojok kanan atas. Jinan mengangguk.

yamaha-apx500ii-white-800x800.jpg

“Coba ya?” Tawarku.

“Oke.”

“Mas.” Aku mengangkat tangan kanan kearah pegawai toko ini. Dia mengambil tangga dan menyerahkan gitar itu.

“Nih, coba dulu.”

Jinan agak kebingungan saat aku menyerahkannya, dia masih kikuk dengan itu.

“Eh, gimana mainnya?” Dia duduk di kursi yang ada didekatnya, memposisikan diri layaknya seorang yang siap memainkan gitar.

“Gini, ini namanya kunci C.” Aku menundukkan badan, membimbing jari-jarinya menekan senar-senar itu agar membentuk akor C. Sial... sepertinya tidak seharusnya aku menyentuhnya, kulitnya halus sekali. ARGH!

“Jangan ngaceng disini bangsat!” teriakku dalam hati.

“Ih, keras juga ya.” Responnya saat mencoba menekan senar berukuran 0.12 itu.

“I-iya soalnya emang segitu ukurannya, bisa diganti sih sama yang lebih kecil. Enggak terlalu sakit jadinya.” Jelasku. Jinan mencoba menggenjreng gitar itu.

“Iiihh... kok enggak bunyi?” Dia cemberut saat tak ada satu nada pun yang terdengar.

“Haha, ya namanya baru pertama. Lagian, kuku jari kanan lo kepanjangan.”

Mas-mas pegawai toko itu terlihat menahan tawa melihat tingkah kami. Jinan masih saja terus mencoba menggenjreng gitar itu dengan kunci yang sama, kadang memetik satu per satu senarnya, atau dia bertanya padaku bentuk akor lainnya. Setelah beberapa saat, dan aku memastikan kondisi gitar ini bagus, aku bertanya padanya.

“Gimana?”

“Yaudah deh, ini aja. Gue juga suka putihnya. Cocok juga sih sama badan gue.”

“Maksudnya?”

“Ya pas aja, pas dimainin sama gue.”

“Harga gimana? Cocok ga?”

“Satu delapan lima ratus,” Jinan melihat tabel harga yang digantung di headstock gitar.

“Harga normal sih itu,” Jelasku sambil ikut melihat tabel harga itu.

“Yaudah, deh.”

“Oke oke.” Aku menoleh kebelakang. “Mas, ini deh.” Aku menunjuk gitar itu kepada pegawai toko yang kelihatannya tidak terlalu tua dari kami. Dengan sigap ia menerima gitar itu dan membawa ke kasir, kami mengekorinya.

“Semuanya satu juta delapan ratus lima puluh ribu, mbak.” Kata petugas kasir itu pada Jinan. Ia menyerahkan sembilan belas lembar uang seratus ribu rupiah yang sudah ia siapkan pada perempuan kasir itu.

Ting!

Mesin kasir itu berdering lalu kotak berisi uang itu ditarik, perempuan kasir itu meletakkan uang-uang tadi kedalamnya, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribu rupiah dan menyerahkannya pada Jinan setelah struk belanja itu selesai dicetak.

Jinan menjinjing softcase berisi gitar itu dengan wajah sumringah.

“Cieh, gitar baru. Mau ngamen dimana nih, mbak?” godaku yang sudah menunggunya dari jauh.

“Ih, apaan sih Dim. Gajelas.” Jinan mencubit lengan kiriku. Aku meringis kesakitan. Sial, dia serius mencubitku. Aku mengelus-elus bagian bekas cubitannya itu.

Aku membuka pintu mobil, duduk di kursi kemudi. Jinan pun menyusul duduk di sampingku setelah menaruh gitar itu di kursi belakang.

“Lu udah makan?”

“Udah kok, Dim. Kenapa lu laper?”

Krucukk...

Tiba-tiba perut Jinan berbunyi. Wajahnya memerah.

“Eh.”

“Hahahahaha! Jinan Jinan, pake boong segala. Dah, gue traktir makan ya, gue laper juga nih.” Aku menyalakan mesin mobil.

“I-iya deh...” Dia menyembunyikan wajahnya di kerudung hoodie yang ia tutup dengan tangannya. Aku gemas dengan tingkah lucunya itu.

“Oke.”

***​

Singkat cerita, aku dan Jinan menyerah setelah 4 warung makan yang kami sambangi sudah close order, dan beberapa warung pun sangat penuh. Akhirnya kami sepakat untuk pulang saja dan makan di tempat masing-masing dan kini kami sampai di depan kontrakanku. Malam sudah larut juga ternyata.

“Huft... maaf ya Nan, malah enggak jadi makan.”

“Enggak apa-apa Dim, makasih ya udah nemenin gue...”

“Yops,” Aku membuka pintu.

Namun saat kaki kananku menapak aspal dan bersiap keluar, Jinan menarik lengan kiriku sehingga aku kembali duduk di posisiku.

“Kenapa Ji-” Ucapanku terhenti karena dia dengan bibir seksinya itu tiba-tiba melumat bibirku.

OH SHIT MAN WHAT’S SHE DOING?!


To be continued...


Gambar jinannya ga ke load suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd