Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Jinan mantapp
Hehehe

Menyesal kamu tidak menerobos hujan deras demi pulang DIMAS :pandaketawa::pandaketawa:
Menyesal dan terbakar

Sange masih inget Cindy nih kak Dims :alamak:
Kan sayang Mbul~

saya siap membantu suhu, haha

buat jinan gak nyangka aja sih bakal ke adegan lesbian
nice update suhu
Ashiaapp

Adegan yg itu emang juga enggak terencana sih heuheu

abis ini dimas bukannya bisa nolongin malah ditusbol

:lol::lol:
Waduh serem :kacau:

mengejutkan ya kakak
Sepertinya begitu, hehe

Ditunggu updatenya suhu :)
Ditunggu ya masih proses ini, suhu
 
Part 15



Sekitar 30 menit sebelum kedatangan Dimas.



Ketiga laki-laki itu terengah, sambil memandang puas pada gadis yang sudah mereka gagahi. Terutama Andi, dia malah mendapat sesuatu yang lebih memuaskan ketimbang rencana awalnya. Rizal dan Aldo, teman Andi pun merasakan hal yang sama. Ketimbang membuat seorang laki-laki babak belur, mereka lebih puas membuat penis mereka dimanjakan oleh tubuh seorang gadis seperti saat ini.

“Jam berapa nih?” Tanya Aldo, yang merebahkan tubuh di sofa.

“Setengah lima.” Jawab Rizal, yang bersandar di sisi kiri sofa sambil melihat jarum jam yang tertampil di layar smartphonenya. “Gimana, Ndi? Tuh cewek mau diapain lagi?”

“Ya lu pada udah puas belum?” Kata Andi, yang masih berdiri memandangi Cindy yang terkulai lemas di karpet itu. “Gue mah belum.”

Laki-laki itu merubah posisi Cindy menjadi terlentang, jadilah kedua payudara itu menjulang semakin membakar gairah Andi. Batang penis yang perlahan mengeras lagi itu ia kocok-kocok pelan. Ia membuka selangkangan gadis itu lebar-lebar, pupilnya kembali membesar selepas melihat lipatan bibir vagina Cindy yang indah.

“Zal, rekam sini.”

“Ckckck, Ndi, Ndi. Nafsuan banget sih. Udah kasihan tuh cewek udah pingsan gitu.” Ledek Rizal sambil geleng-geleng dan tersenyum kecil.

“Ya elah, buat oleh-oleh nih video. Bisa dipake terus. Itung-itung bonus buat lo pada yang udah bantuin gue dari kemarin kemarin.”

“Atau sebarin aja, Ndi. Hahaha!” Timpal Aldo yang terduduk di sofa sekarang.

“Ya ya itu ntar deh gimana gampang, haha! Sini Zal buru.”

“Sabar cuk.” Laki-laki dengan rambut yang tersemir kuning emas sebagian itu pun bangkit dan mengatur posisi didekat Andi, mencari sudut yang pas untuk merekam adegan. Sementara itu, Andi mulai menggesek-gesekkan kepala penisnya di bibir vagina Cindy. Aldo hanya geleng-geleng melihat kelakuan temannya itu.

“Udah belom?” Kedua paha Cindy ia angkat.

“Udah nih.” Rizal mulai merekam dari sisi kanan Andi.

“Sip.” Sejurus selepas ia berkata demikian, batang kemaluan yang sudah tegang sepenuhnya itu Andi dorong, kembali memenuhi lubang kewanitaan Cindy. Ini yang ketiga kalinya dan rasa nikmat yang ia rasakan tidak berganti. Walau keperawanan itu tidak bisa ia renggut, namun Andi masih puas dengan semua yang telah ia lakukan ini.

Plok.

Plok.

Plok.

Tanpa merasa lelah, Andi masih sangat bertenaga saat menghentakkan pinggul dan menghantam selangkangan Cindy itu. Sesekali tangannya bergerak meraba erotis kulit paha mulus gadis itu. Bagian yang menjadi salah satu daya tarik Cindy itu memberi sensasi tersendiri bagi kulit tangannya saat saling bertemu. Memang sejak SMA, Andi sudah memperhatikan betapa indahnya payudara Cindy. Namun hari ini, ia baru menyadari, betapa indahnya semua lekuk tubuh gadis itu. Tiap detik ini pun tak ia sia-siakan.

Andi merendahkan tubuhnya, meraih beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Cindy dan merapikannya. Sambil terus menusuk-nusukkan penisnya, Andi memandang wajah Cindy yang sudah berantakan itu, dengan rambut yang acak-acakan, dan sperma yang masih terlihat melekat di beberapa titik wajahnya. Senyum penuh kepuasan melengkung lebar di wajah Andi.

Tangan kanannya kini beralih memainkan payudara Cindy. Sentuhan-sentuhan halus ia berikan di sekitaran puting yang tak kalah menggoda itu. Rizal pun mengarahkan kamera smartphonenya, menangkap tubuh atas Cindy yang telanjang itu, tak terkecuali payudaranya yang kini mulai diremas-remas kasar oleh Andi. Dan tak ayal melihat tubuh telanjang Cindy itu membuat penisnya yang tadinya sudah beristirahat kembali tegang, apalagi saat kedua payudara itu berguncang karena sodokan Andi yang semakin cepat.

Tangan kirinya meninggalkan gawai itu, membiarkan tangan kanannya seorang yang memeganginya. Rizal meraih penisnya, lalu mengocoknya hingga berdiri tegap lagi. Perlahan namun pasti, jari-jari kirinya yang telah membentuk lubang itu ia gerakkan maju mundur di penisnya.

Perlahan, paha Cindy ia turunkan. Tangan Andi pun kini dua-duanya bergerak menyusuri tiap senti tubuh Cindy. Dengan kesadaran Cindy yang masih belum kembali, ia dengan leluasa menikmati tubuh gadis itu tanpa perlawanan sama sekali. Beberapa menit berlalu, dan penis itu masih saja dimanjakan dengan vagina Cindy yang serasa menggigit dan memijitnya. Sesekali Andi berhenti, sekadar menarik nafas dan membiarkan penis itu merasakan hangatnya liang kewanitaan itu.

Aldo, yang sejak tadi hanya duduk di sofa dan mengocok penisnya, kini mendekati mereka. Bukan karena ingin ikut eksis di kamera, namun ia ingin membuang sperma yang ia rasakan akan segera menyembur itu ke badan Cindy.

“Awas, Ndi.” Kocokan di penisnya itu semakin kencang. “Eerrghh..”

Crot. Crot. Aldo mendongak. Sensasi orgasme yang ia rasakan selepas sperma itu keluar dan mendarat di perut Cindy benar-benar nikmat. Sisa sperma yang jatuh ke jarinya pun ia usapkan ke badan Cindy hingga bersih, baru kemudian ia hempaskan lagi tubuhnya ke sofa.

“Huft, gila. Lemes gue, Ndi.”

“Lemah anjir Do! Ahahaha!”

Andi, yang kini mulai berkeringat lagi itu masih terus menusuk-nusukkan penisnya, menolak untuk menyudahi dengan cepat. Kedua tangannya kini terbuka selebar bahu, menopang tubuhnya yang sebenarnya mulai kelelahan. Di tengah-tengah sodokannya itu, Rizal, temannya, akhirnya menyerah.

Crot. Crot. Crot. Wajah Cindy menjadi sasaran semburan sperma itu.

“Ya elah ini lagi sama aja.”

“Huft, hahaha! Enak anjir lagian.”

“Puas lo? Haha-“

“Nggh...”

Lenguhan tipis tiba-tiba terdengar dari Cindy. Dan itu cukup untuk menghentikan sodokan Andi.

“K-kak Dimas...” Lenguhan itu berlanjut, namun mata Cindy masih lekat. Ia mengigau ditengah Andi sedang menikmati tubuhnya.

Dan nama yang tersebutkan itu, membuat Andi mengigit bibir bawahnya penuh emosi. Kedua tangannya beralih memegangi erat pinggul Cindy. Tak lama, sodokan cepat ia lancarkan ke vagina Cindy. Luapan emosinya tertuang tiap kali penis itu ditusukkan, seolah tak peduli kalau sampai harus melukai lubang itu. Nafas Andi semakin berat. Dan pada akhirnya tubuhnya tidak bisa menahan lagi sperma yang siap tertembak itu setelah sekian menit.

“Nnggh...”

Crot. Crot. Crot.

Untuk ketiga kalinya, sperma itu ia tembakkan kedalam lubang vagina Cindy. Ia pastikan tidak ada sedikitpun sperma yang tertinggal di kepala penisnya.

“Puas lo perek...” Ucap puas Andi pada gadis itu.

Berbarengan dengan itu, Rizal menghentikan rekamannya.

“Mantab lah Ndi. Ahahaha!”

Andi perlahan mencabut penisnya setelah memastikan ia telah memuntahkan semua spermanya didalam sana.

“Udah ayo balik.”

“Hahaha, udah puas lo?”

“Udah.”

“Yaelah muka lo jadi sepet gitu kenapa cuk? Haha!” Tanya Rizal yang mengekori Andi menuju sofa.

“Bacot. Udah ah.” Andi memunguti semua pakaiannya yang tergeletak di lantai. Begitupun dengan Rizal. Aldo sudah lebih dulu berpakaian.

“Eh, Ndi. Tapi janji lo nraktir minum jadi kan? Tau lah gimana usaha gue sama Aldo ngikutin mereka kan?” Rizal mengenakan celana jeansnya.

“Iye iye.” Jawab Andi, yang juga sudah memakai celananya.

“Ini btw cowoknya kemana, ya? ceweknya ditinggal sendiri kayak gini. Hahaha!”

“Tau, tolol emang. Kejebak ujan kali. Masih deres banget gini kan.”

“Terus, Ndi? Rencana awalnya enggak jadi dong?” Tanya Rizal yang sedang memakai kaosnya.

“Enggak usah. Gini aja udah puas gue ngasih pelajaran ke mereka.”

Andi yang sudah berpakaian lengkap itu sekali lagi menghampiri Cindy setelah memunguti semua pakaian gadis itu.

“Ngapain lagi lu anjir?” Tanya Aldo.

“Ngasih oleh-oleh tambahan ke Dimas.” Celana dalam milik Cindy yang sudah basah dengan liur itu ia sumpalkan lagi ke mulut gadis itu. Dilanjutkan dengan membalikkan tubuh Cindy.

“Diapain?” Tanya Rizal, yang sudah mengemasi semua barangnya.

“Ini ntar lu foto. Kirim aja ke Dimas. Seru kayaknya.” Andi menangkap kedua tangan Cindy kebelakang, kemudian mengikat mereka dengan bra milik Cindy. Dan terakhir, kaos Cindy yang sudah robek itu ia pakai untuk mengikat kedua kaki gadis itu.

Sret. Sret. Kedua sisi kaus itu ia tarik membuat sebuah simpul, mengikat erat kedua kaki Cindy.

“Dah, buru foto.” Andi pun berdiri, membiarkan Rizal mengambil beberapa gambar gadis itu.

Cekrek. Cekrek. Cekrek.

“Sip. Udah.”

“Oke, ayo bal-“

“WOI ITU CINDY PADA LO APAIN BANGSAT!!!”

Mereka bertiga sontak menoleh kearah pintu, dan mendapati seorang laki-laki tengah berlari kearah mereka dengan tangan yang mengepal erat.

***​

Dhuak!

Satu tinjuku berhasil menghenai perut dan merobohkan salah satu dari mereka. Dan tak berselang lama, kembali aku luapkan pukulan penuh emosi itu pada laki-laki lain yang ada di depanku bagai seorang yang sedang kerasukan. Entahlah, aku merasa ini bukan diriku. Emosi yang mengontrol tubuh ini sekarang.

Buk!

Pipi kanannya menjadi sasaran kepalan tangan kananku tanpa sempat ia tangkis hingga ia roboh dan smartphonenya itu terjatuh. Tersisa satu lagi yang masih berdiri di sebelah kiriku. Ketika tangannya menyentuh bahuku, reflek aku tangkis kuat dengan tangan kiriku, dan akhirnya, tangan kananku menangkap lehernya lalu menekan tubuhnya ke dinding. Mataku membulat ketika menyadari wajah laki-laki ini tidak asing bagiku.

Dia adalah mantan Cindy semasa SMA.

“Itu Cindy lo apain bangsat?! Jawab!”

“Wah wah, Dimas Putra. Kemana aja lo tadi anjing?! Pacar lo itu udah gue buat keenakan sama temen gue!”

Tidak, muntahan di karpet itu bukanlah tanda Cindy menikmatinya. Apalagi dengan keadaannya yang diikat dan disumpal seperti itu.

“ITU DIA LO SIKSA ANJIR!”

“Hahah... terserah apa kata lo... yang jelas, memeknya lonte lo ini enak banget!”

Aku tersentak. Dibuatnya tidak bisa berkata-kata karena perkataannya barusan.

“Apalagi... pas crot didalem. Tiga kali lagi. Nikmatnya cok. Lo... belum pernah pasti kan? Hahah-“

Dhuak!

Satu bogem mentah di pipi kanannya sukses membuatnya bungkam. Cukup puas melihat darah segar keluar dari mulutnya. Entah pengakuannya itu benar adanya atau tidak, yang jelas, itu sangat-sangat melukai hatiku. Penuh sesak panas dengan emosi, itulah yang kurasakan di dadaku sekarang. Aku tahu betul siklus menstruasi Cindy.

Aku melangkah ke laki-laki pemengang smartphone setelah mendorong Andi ke sofa. Dia yang belum bisa berdiri itu aku cengkeram kerah bajunya.

“Sekarang...” Aku menarik tubuhnya dan melakukan hal yang sama seperti Andi. “Lo hapus semua foto atau video yang tadi lo ambil.” Kataku serius. Memandang tajam kearahnya penuh intimidasi sambil menyerahkan smartphone miliknya.

“I-iya bang.”

“Cepet.” Cengkramanku di bajunya itu semakin erat, begitupun dengan doronganku ke tubuhnya yang sudah tertahan di dinding. Aku memperhatikan jari-jarinya yang bergerak di layar itu. Mataku menangkap beberapa foto sebelum terhapus. Aku menahan nafas. Tidak tahu bagaimana jika semua foto itu tersebar. Juga video yang barusan ia hapus. Jika aku sempat melihat video itu, entah apakah aku bisa menahan diri lebih dari ini atau tidak.

“Udah?”

Laki-laki itu hanya membalas dengan anggukan. Dan tak lama aku melepas cengkramanku dan mendorongnya kearah dua temannya itu.

“Udah puas kan lo semua?” Aku memandangi mereka bertiga yang berbaring lemah. Menyedihkan. “Lo. Andi. Denger baik-baik ya... Cindy pernah cerita ke gue, gimana rasanya dia kecewa sama lo karena katanya lo selingkuh. Dan lo tau? Dia itu sebenernya cinta banget sama lo. Tapi maaf maaf aja. Cindy sekarang punya gue. Dan dengan perbuatan lo ini, lo kira dia bakal balik ke elo? Enggak.... Ini malah ngebuat lo lebih rendah dari gue.” Kataku sambil merendahkan tubuhku, dan mengeluarkan celana dalam yang menyumpal mulut Cindy yang masih belum sadar itu. Melihat beberapa bercak sperma di wajah dan badannya itu membuatku hancur.

“Mbul... maaf...”

“...Sekarang, lo semua balik. Tapi inget... kalau sampai Cindy ini kenapa-kenapa. Siap-siap aja lo bertiga gue cari.” Mereka bertiga yang terlihat kesakitan itu pelahan berdiri. Wajah Andi yang paling pucat diantara mereka, dan yang sebenarnya ingin sekali aku buat babak belur saat ini juga.

“Hidup lo bakal enggak tenang habis ini, Dim.”

“Oh, gue takut itu yang bakal lo alamin, njing.” Tatapku pada Andi yang barusan membuang pandang. Dan melangkah cepat keluar dengan dua bajingan yang lain.

Aku kembali menatap getir kearah Cindy yang terkulai lemas dan berantakan itu.

“M-mbul...?” Bra yang mengikat tangannya aku lepas, berikut dengan kaus robek yang mengikat kakinya. Itu cukup membuatku pilu. Apalagi setelah aku melihat bercak sperma yang menempel di bibir vaginanya.

“Ya ampun... Mereka udah ngapain kamu...”

“Mbul...?”

Aku masih berusaha memanggilnya saat membopongnya ke kamar. Keadaannya yang telanjang saat ini sama sekali tidak membuat nafsuku naik seperti biasanya. Dan kau tahu? Ingin rasanya aku membunuh diriku sendiri saat ini.

Sampai ia terbaring di kasur pun tidak ada respon sama sekali. Untuk sementara, aku menutup tubuhnya dengan selimut. Jariku menggeser dan menggulung layar, mencari kontak orang yang ingin ku hubungi. Segera jariku menekan ikon telepon begitu menemukan namanya.

“Halo, Dim?”

“Nan. Gue minta tolong.” Aku meraih beberapa lembar tisu.

“Tolong apa?”

“Tolong ke apotek, beliin sekotak pil KB darurat.”

“Lah lu hab-“

“Nan, plis jangan banyak komentar dulu. Gue jelasin di kontrakan. Oke?” Sambil menjelaskan, aku membersihkan sperma yang melekat di wajah Cindy.

“O...oke.”

“Gue tunggu ya. Tolong banget Nan. Makasih.”

Tanpa menunggu jawabannya, panggilan itu aku akhiri.

Selepas memastikan wajahnya bersih, aku mengelus pelan pipinya. Dan sekali lagi, aku memanggilnya.

“Mbul...”

Aku melihat pergerakan di kelopak matanya. Mulutku terbuka, jantungku berdegub cepat, dan mataku membulat ketika mendapati kedua mata Cindy itu perlahan terbuka.

“K-kak Dimas...”

Suaranya parau. Tangan kanannya aku genggam erat, betapa dinginnya kulit itu saat aku sentuh. Aku menatapnya pilu, namun kedua matanya itu memancarkan kegembiraan. Perlahan tangan kirinya mengalung ke belakang leherku, aku yang paham akan gerakannya itu lantas mengangkat pelan badannya dan memberinya sebuah pelukan hangat.

“Kakak kemana...” Pelukannya semakin erat. Seolah tak mau jauh dari ragaku itu.

“M-maaf...”

“Kak... aku... hiks...”

“I-iya, mbul. Aku disini... udah, udah...” Aku mengelus-elus pelan punggungnya. Mataku semakin terasa berair. Aku bisa merasakan betapa takutnya dia saat ini. Semakin yakin mereka bertiga benar-benar telah memperlakukannya dengan kasar.

“Kak Dimas... hiks... Jangan tinggalin aku lagi ya... hiks...” Ucapnya bergetar.

Aku terpukul. Tidak kusangka setelah semua yang telah aku perbuat, dia benar-benar masih memberikan kepercayaan padaku. Aku menggulung bibir, air mataku jatuh bebas tanpa aku halangi.

“Iya. Aku janji. Aku janji.” Janji itu sungguh-sungguh aku ucapkan untukknya. Akan kupastikan, ini adalah terakhir kalinya, ia memohon seperti itu.

Setelah beberapa saat, perlahan pelukannya semakin renggang. Dan aku menahan tubuhnya, perlahan membaringkan lagi badannya. Aku pandang lagi wajahnya yang pucat, sambil memegang erat tangan kanannya.

“Kakak... nangis...?”

Aku membuang muka, dan mengusap air mataku dengan kaos yang ku kenakan.

“Ehehe... enggak kok.” Aku tersenyum sebisaku.

“Kakak... udah ketemu mereka...?”

“An-di sama temen-temennya?” jari telunjuk kiriku menyeka air matanya yang masih jatuh.

“Kakak enggak diapa-apain kan...?”

“Cindy, aku mohon... bukan aku yang harus kamu khawatirkan...”

“Hhh... enggak kok.”

“Ehehe... syukur deh.”

“Ayolah... jangan beri aku senyum palsu itu... aku tau bagaimana hancurnya jiwamu saat ini...”

“K-kamu mau mandi? Aku siapin air hangat.”

“Eng... enggak usah kak... aku mau tidur dulu aja, hehe.”

“Serius...?”

Dia mengangguk mantap.

“Ehe... Aku enggak apa-apa kok.”

“Mbul...” Aku menatapnya khawatir. Jelas ia sedang berusaha menyembunyikan ketakutannya.

“Udah, kak. Hehe. Aku istirahat dulu, ya... Udah tenang kak Dimas pulang disini jagain aku...”

Aku tersenyum kecil, mengusap punggung jari kanannya, kemudian mengecup area yang mulai menghangat itu.

“I-iya... iya...”

***​

Suara mesin mobil itu menghentikan tanganku yang sedang mengelap tubuh Cindy dengan handuk kering. Saat ia tertidur, aku mengusap-usap tubuhnya dengan air hangat, membersihkan tubuhnya.

Aku berjalan keluar berbarengan dengan suara pintu mobil yang ditutup setelah menyelimuti tubuh Cindy.

“Dim, lo kenapa sih?” Jinan menyerahkan sekotak pil sesuai permintaanku.

“Hhh... Nan. Cindy...”

“Kenapa Cindy? Kok lu pucet gitu?”

“Dia... di... diperkosa.”

Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi terkejutnya itu.

“Hah?! S-seriusan, Dim.”

“Iya, Nan.”

“Terus sekara-“

“Sssttt... udah tenang. Dia baru istirahat. Untuk sementara ini, biar dia gue yang urus, ya... tolong kasih tau Aya juga soal ini. Ntar gue kasih tau lo kalau kondisinya udah baikan. Oke?”

Jinan membuang pandang dan menggigit bibir bawahnya.

“Lu tau siapa pelakunya?”

“Orang yang sama yang ngelempar batu ke kontrakan gue waktu itu, dia si mantannya Cindy pas SMA.”

“Lu apain dia?”

“Sementara tadi masih kena pukul... Buat selanjutnya, biar gue ngomong ke Cindy.... Soalnya emang, dia udah keterlaluan sebenernya...”

“Terus pil ini...”

“Ya... lu tau lah keadaannya.”

“Astaga...” Tangan kirinya mengusap lengan kanannya.

“Oke? Jangan bilang siapa-siapa dulu, kecuali Aya, ya... lo satu-satunya orang yang bisa gue percaya sekarang, Nan. Bantu gue ya...”

“Hhh... oke.” Dia menepuk bahuku. “Tetep kuat ya, Dim. Bilang apa-apa kalau butuh bantuan...” Jinan sebentar memberiku sebuah pelukan.

Thanks, Nan...”

Pelukan yang berlangsung cepat itu cukup membuatku tenang.

“Gue pamit ya.”

“Hati-hati.”

***​

“Kak Dimas...”

Aku menoleh ke belakang. Akhirnya aku bisa melihat wajahnya yang terlihat lebih segar dari tadi sore itu. Sepertinya baju hangatku itu memang agak kebesaran untuknya...

“Iya?”

“Emm... aku laper. Hehe.” Pintanya malu-malu.

“Mau apa? Nasi goreng? Apa aku masakin telur?” Tawarku sambil beranjak dari kursi itu.

“Mie rebus aja deh kak. Masih ada?”

“Oh, masih. Masih. Aku bikinin dulu ya.”

Dia menggangguk cepat.

Dan aku bergegas menuju dapur.

“Kak.”

“Iya?” Hanya kepalaku yang masuk kedalam kamar setelah baru saja badanku berada diluar pintu kamar.

“Err... enggak jadi. Hehe. Maaf.”

Aku hanya tersenyum lebar. Sepertinya dia masih bingung. Terhitung sudah sekitar 6 jam sejak dia tertidur. Selama itu juga aku tidak berani membangunkannya untuk meminum pil darurat itu. Mungkin setelah ini, akan kuberikan pil pencegah kehamilan itu untuknya. Tuas kompor itu aku putar, api pun menyala memanasi panci teflon yang sudah berisi air itu. Sementara menunggu mendidih, aku siapkan mangkuk, sebutir telur dan sebungkus mie rebus instan rasa ayam bawang dari dalam lemari penyimpanan.

“Eh? Kemana?” Aku bergegas menghampiri Cindy yang kudapati sedang berjalan keluar kamar.

“Mau pipis kok, kak. Hehe. Udah enggak apa-apa.” Dia menahan tanganku yang siap memegangi tubuhnya. Ia tersenyum, meyakinkanku bahwa tubuhnya sudah agak baikan.

“Oh, i-ya iya. Maaf.”

Walau agak gontai, aku membiarkannya berjalan sendiri menuju kamar mandi, dan aku kembali ke dapur.

***​

“Kenapa, kak?”

Cindy berhenti mengunyah begitu mendapatiku sedang memandangnya.

“Eh? Enggak apa-apa. Hehe.”

“Mau?”

“Enggak, enggak. Aku kan udah makan tadi, hehe.” Aku yang duduk di kursi itu menggoyangkan tangan.

“Oohh, yaudah.” Dia lanjut menyantap mie instan itu.

Aku membalik badan, menggapai pelan tas kresek yang berisi pil darurat itu. Agak melegakan diri dengan menghelakan nafas.

“Kak Dimas.”

“Iya? Oh udah?” Aku lantas menerima mangkuk itu setelah berbalik badan. Baru kemudian, aku bangkit berdiri setelah meletakkan mangkuk itu di meja. “Mbul...”

“Iya, kak?”

“Emm, ini. Diminum ya.” Aku menyerahkan dua butir pil pencegah kehamilan itu. Cindy tampak kebingungan dengan pil itu.

“Ini... apa, kak?”

“Pil pencegah kehamilan...”

Wajah berseri itu perlahan berubah menjadi pucat. Sepertinya dia kembali teringat akan kejadian itu. Dia yang sempat terdiam itu akhirnya mengambil dua pil itu dari tanganku. Tanpa ragu langsung ia masukkan kedalam mulutnya, dan segera meneguk air yang aku berikan setelahnya.

“Mbul... enggak apa-apa kalau belum mau cerita. Aku bakal selalu siap dengerin semuanya.” Aku mengusap-usap pucuk kepalanya pelan, tidak mau membuat rambutnya berantakan seperti yang biasa aku lakukan. Matanya tidak menoleh kearahku, dia masih terlihat ragu. “Oke?”

Dia membalas dengan anggukan, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya setelah itu. Dan, Cindy masih menghindari kontak mata denganku.

“Udah? Istirahat lagi aja ya.” Aku menarikkan selimut itu sampai menutupi pahanya. Sebelum aku beranjak, dia menarik tanganku, dan kembali mendekap raga ini lekat. Degub jantung kami bertemu. Hangat tubuhnya bisa aku rasakan. Tak ada kata yang terucap ditengah pelukan 10 detik itu. Cindy memberiku senyuman lebar selepas pelukan itu dan langsung berbaring memunggungiku.

***​

Sudah terhitung 3 hari setelah kejadian sore itu, dan selama itu pula, Cindy memilih diam di dalam kontrakanku ini ketimbang pergi keluar. Beruntung dosen-dosen mata kuliah kami di hari itu sedang ada acara di tempat lain, sehingga perkuliahanku hanya diberikan tugas saja. Dan pada malam ini, akhirnya Cindy buka suara akan kejadian itu. Dia yang masih agak bergetar saat bercerita itu tidak secara detail menceritakan kejadian itu. Hanya tiga orang datang, lalu menyetubuhinya. Bahkan ia sempat bercerita, mulut, vagina, dan anusnya dimasuki penis secara berbarengan. Aku sebisa mungkin menahan luapan emosi yang kembali sesak di dadaku. Tidak menyangka mereka bisa setega itu memperlakukan Cindy. Aku pun juga ingat bagaimana mereka menfoto dan merekamnya dengan keadaan telanjang itu. Bagaimana aku menemukan bekas muntahan di karpet, dan pakaian-pakaian Cindy yang mereka gunakan untuk mengikatnya.

“Oke, sekarang... gimana mereka?”

“Udah, kak. Enggak usah dibawa ke polisi. Aku udah maafin mere-”

“Enggak. Enggak bisa. Aku yang enggak bisa terima.”

Aku mengenggam erat kedua tangannya.

“Kak Dimas... Udah...”

“Mbul, kamu yakin?”

“Iya kak. Biar lah. Udah selesai sampai sini. Mereka enggak tau apa yang mereka lakuin. Lagian, aku yakin mereka enggak bakal ganggu lagi.”

“H-ah...?”

“Soalnya...” Tangan kirinya menarik daguku, berbarengan dengan itu, wajahnya mendekat, dan dalam jarak yang sangat dekat, bibir lembut itu mengecup bibirku. Tanpa ada nafsu sama sekali. “...Udah ada kakak.” Ucapnya selepas ciuman singkat itu.

Pelukan erat lantas ia berikan padaku. Sebelum sempat aku membalas pelukannya, ia lebih dulu melepaskan kalungan tangannya. Aku menahan nafas, melihat pancaran mata yang berseri itu. Bahkan ia kembali menorehkan senyum tulus itu padaku setelah menarik wajahnya.

“Cindy... terimakasih...”

***​

3 minggu setelah kejadian sore itu.

Bazzar Budaya FIB 2016.



Aku berdiri diatas panggung yang aku rindukan. Tiga buah lagu telah aku bawakan. Riuh tepuk tangan penonton dari berbagai fakultas universitas ini kembali terdengar. Aku cukup takjub dengan perkembangan penonton dari tahun sebelumnya, yang didominasi oleh mahasiswa fakultas ini saja. Senyumku kembali merekah ketika menemukan wajah itu diantara kerumunan penonton. Cindy, dengan wajah yang kembali cerah seperti biasanya sedang berdiri disana bersama Aya, sahabatnya.

“Terimakasih Bazzar Budaya! See you next time!” Seruku menutup penampilan di malam hari itu.

“Cek, cek. Dimas turun, Reza Brian siap naik panggung. Put, 48Akustik tolong suruh siap-siap ya.” Koordinasi Jinan selaku korlap pada Pucchi yang mengurus backstage lewat HT.

“Semangat, Jinan. Hehe.”

“Haha! Sa ae lu. Sana backstage. Langsung balik?”

“Enggak. Sampe selesai ntar.”

“Sip. Cindy tadi di tengah sama Aya. Udah lihat kan lu?”

“Udah kok. Ntar gue kesana.”

“Sip. Kerja dulu gue.”

Aku melangkahkan kaki meninggalkannya.

“WOI ANJENG ITU ADA YANG NGEROKOK DEKET PANGGUNG! KEAMANAN GIMANA SIH?!” Umpatnya melalui benda itu. Aku yang mendengar itu hanya geleng-geleng kepala. Jinan tetaplah Jinan.

***​

“Langsung balik, kak?”

“Enggak, Put. Aku ke depan panggung nyusul Cindy.” Jawabku pada gadis berambut pendek itu. Teman baru Cindy, Jinan, dan Aya selepas kami akhirnya bisa bertemu beberapa hari yang lalu. Aku cukup terkejut saat dia bercerita memutuskan untuk berpisah dengan Tama setelah kejadian di apartemen itu. Jujur, sebenarnya ada rasa bersalah di diriku waktu itu, bahkan sampai saat ini. Walau sebenarnya, keputusan itu adalah yang terbaik menurutnya.

“Oh, oke oke.”

“Pucchi! 48Akustik mana kok belum ke belakang panggung?!” Tanya Jinan dengan sedikit emosi terdengar dari HT yang dipegang gadis itu.

“Eh I-iya kak bentar mereka lagi siap-siap.”

“Suruh cepet.”

“Iya.”

Aku melihatnya membuang nafas.

“Hahaha. Yang sabar sama Jinan.” Gitarku telah terkemas kedalam softcase. Aku menjinjing tas itu dan bersiap meninggalkan backstage.

“Iya, kak. Hahaha.”

“Yaudah. Duluan ya. Semangat.”

“Oke, kak Dim.” Dia melambaikan tangan padaku yang telah keluar dari sana.

***​

Minggu sore, stasiun kereta.



“Wah, makasih ya, mas.” Ucapnya setelah menarik kopernya yang baru saja aku keluarkan dari bagasi mobil Jinan.

“Siap.” Pintu bagasi itu aku tutup, dan kemudian kaki ini melangkah menghampiri mereka bertiga.

“Kabar-kabar lu kalau ke Jakarta lagi.”

“Haha, siap. Mbak. Kalian lah ayo main ke Palembang kapan-kapan.” Ajak Aya tak kalah antusias.

“Bayarin ya pesawatnya?” Cindy ikut nimbrung.

“Ye. Tekor, Cin. Hahaha!”

“Udah? Enggak ada yang ketinggalan?”

“Ah, enggak mas Dimas. Yaudah deh, aku pamit dulu ya, semua.”

Jinan, yang berada paling dekat dengannya jadi orang pertama yang ia peluk.

“Cindy.”

“Hati-hati ya, Ay. Kabar-kabar kalau udah sampai.”

Mungkin inilah pelukan yang paling membuatku tersenyum. Kedua sahabat yang sempat bertengkar itu pada akhirnya bisa kembali lagi. Terlihat juga senyum di wajah Jinan.

“Salam buat Amel pas pulang ya, Cin.”

“Oh, siap. Hahaha. Kapan ke Purwokerto lagi? Dia nanyain terus.”

“Ya... kapan-kapan deh. Main lagi bertiga, hahaha!”

Tepukan di bahu Cindy mengakhiri salam perpisahan itu. Dan kemudian Aya mengulurkan tangannya padaku.

“Pulang dulu ya, mas.”

“Oke. Hati-hati, ya.” Aku berjabat tangan dengannya, ikut membalas senyum manis yang sama saat kami menjemputnya waktu itu disini. “Eh, enggak foto nih kalian?”

“Oh iya iya! Ayo foto dulu dong.” Ucap Cindy antusias, yang langsung merangkul Aya.

“Mana sini aku fotoin.”

“Nih, Dim. Hape gue aja.”

Aku menerima gawai yang sudah ia bukakan aplikasi kamera itu. Bagai seorang fotografer handal aku sok-sokan mencari angle yang pas untuk mengabadikan mereka. Gadis-gadis yang sudah memberikanku pengalaman dan pelajaran yang berharga. Semua kejadian yang telah kami lalui telah membawaku pada dua hal dengan Cindy, sama-sama menerima kekurangan yang ada, namun juga tetap saling memperbaiki kesalahan.

Keakraban mereka bertiga kembali lagi, hubungan pertemananku dengan Tama dan Pucchi masih baik sampai sekarang, juga Cindy yang pada akhirnya memilih tetap bersamaku saat ini. Dan Andi? Entahlah, si brengsek itu tidak pernah mengusik kehidupan kami lagi. Semoga dia sudah menyadari perbuatannya pada Cindy. Sepertinya, ini waktu yang sudah pas untuk menutup cerita ini kan?

Ketiga gadis itu terlihat merapikan rambut masing-masing, tidak ingin terlihat berantakan di foto ini. Dan setelah kurasa mereka siap, aku mulai aba-aba.

“Satu, dua, ti..***.”

***​

“Kak Dimas belum ngantuk?”

Aku mendapati kepalanya yang nonggol dari balik kamar itu. Konsentrasiku pada film malam itu sontak menghilang.

“Eh? Iya nih. Mau nunggu film habis dulu.”

“Ye... inget masih ada UAS besok. Aku males bangunin kakak kalau kesiangan.”

“Hahaha. Iya iya, Mbul. Bentar lagi kok ini.”

“Yaudah deh. Aku duluan ya.” Dan kepala itu pun hilang masuk kedalam kamarku, atau sekarang, bisa juga disebut kamar kami. Hehe.

Aku melihat jam dari layar smartphone, sudah pukul 23.35. Dan mataku sepertinya sudah tidak bisa diajak bertahan lagi. Setelah beberapa saat, televisi yang menayangkan film lawas itu pun aku matikan. Kemudian masuk kedalam kamar setelah memastikan pintu depan terkunci dan mematikan lampu tengah.

Senyum tipis melengkung di wajahku yang agak miring ketika mendapati Cindy sudah tertidur pulas menghadap tembok dengan selimut yang menutupi sampai pinggulnya. Perlahan aku menutup pintu, dan naik keatas kasur tanpa membangunkannya dari tidur. Badan ini aku posisikan miring ke kiri, dan tangan kananku merangkul pelan di bawah dadanya. Perlahan, kantuk ini semakin membawaku tenggelam dalam lelap.

.

.

.

As elegant as aurora in the night sky...

You’ve been the light for me...







THE END
 
Haloooo

Terimakasih sudah membaca cerita As Elegant As Aurora sampai di part terakhir ini suhu-suhu sekalian :) terimakasih juga untuk like dan komentar-komentarnya :)

Maaf jika update sering tersendat dan kualitas tulisan yang enggak bagus, hehe. Semoga terhibur dengan cerita ini. Kritik dan saran bisa kok diberikan buat saya untuk kedepannya :) silahkan DM ^^

Sampai jumpa lagi ^^



BlueTitan​
 
Congratulations for a nice ending.
Gw berharap sih ceritanya sampe nikah tapi nyatanya udah berakhir, yaudahlah

MASIH GAK TERIMA SAMA PARA BANGSAT YG MERKOSA CINDY
:marah::marah::marah:

Astaga gua baper dah MBUL :hua:
 
Walaupun sesi baku hantamnya kurang tapi anda berhasil menutup cerita ini dengan baik.
Congrats
 
Selamat suhu ngikutin ceritanya dari awal banget. Suka banget sama ceritanya..
Ditunggu karya selanjutnya hu
 
Ditutup dengan cukup baik. ga banyak basa-basi, langsung ke inti, dan di akhir, hidup mereka ga banyak berubah dari biasanya. cuman ngelanjutin kehidupan normal aja, tapi entah kenapa tetep bisa keliatan bagus endingnya. Ditunggu naik pelaminan ya, Dim.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd