Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Hai... maaf menghilang wkkwkw. Pikiran baru fokus ke tugas akhir :(( jadi ya... Aurora sama Paranada mandeg hehe...

Makasih ya yg masih nungguin cerita ini, huhuhuhuhu. Kemungkinan malam ini update ya, hehe

“Anjing emang.” Iwan tiba-tiba menyikut lenganku begitu Jinan sudah turun.

“Apaan sih?”

“Itu, temen lo mantep banget anjing.”

“H-hah? Jinan?”

“Iya lah goblog. Lo merhatiin gak sih? Dia pernah make celana ketat gitu kan, pahanya keliatan mantep banget njir. Pantatnya keliatan sekel. Bodinya juga lumayan. Mukanya cakep juga njir, galak-galak gitu. Cobain tuh Dim entotin dia.”
 
Hai... maaf menghilang wkkwkw. Pikiran baru fokus ke tugas akhir :(( jadi ya... Aurora sama Paranada mandeg hehe...

Makasih ya yg masih nungguin cerita ini, huhuhuhuhu. Kemungkinan malam ini update ya, hehe

“Anjing emang.” Iwan tiba-tiba menyikut lenganku begitu Jinan sudah turun.

“Apaan sih?”

“Itu, temen lo mantep banget anjing.”

“H-hah? Jinan?”

“Iya lah goblog. Lo merhatiin gak sih? Dia pernah make celana ketat gitu kan, pahanya keliatan mantep banget njir. Pantatnya keliatan sekel. Bodinya juga lumayan. Mukanya cakep juga njir, galak-galak gitu. Cobain tuh Dim entotin dia.”
"c0B4iN tUh D1m eNt0Tin di4" wkwkwk belum tau aja jam terbangnya dimas 😂
 
Part 3

Aku mematung, begitupun mereka berdua. Anin dan Iwan terdiam di pinggir bak mandi. Iwan perlahan mencabut penisnya yang menancap di vagina Anin, sementara gadis itu juga buru-buru mengeluarkan kaos yang menyumpal mulutnya.

Sial...

Payudara padat bulat dengan puting kemerahmudaan, rambut yang berantakan, kulit yang mengkilap karena keringat, juga paha dan pantatnya yang berisi, sempat terlihat juga vagina bersihnya yang juga kemerahmudaan walau langsung ia halangi dengan tangannya. Tak kusangka Anin kini membuatku pusing. Celanaku juga mulai terasa sempit.

“Dim-“

“Ssstt... udah, gapapa, lanjutin aja,” kataku dengan suara pelan memotong Iwan yang kurasa akan menjelaskan. “Tapi gue pipis dulu.”
Aku menerobos mereka berdua, dan langsung aku kucurkan semua air kencingku yang tertampung sejak tadi.

“A-ahmph?!”

Sontak aku menoleh kebelakang begitu mendengar Anin tersentak. Iwan sudah menancapkan lagi penisnya, Anin yang menempel di tembok itu membekap mulutnya sendiri.

Bangsat juga ni orang...

Gerakan maju mundur Iwan itu lantas membuat payudara padat Anin terlihat berguncang naik-turun. Jantungku semakin berdegup cepat, penis ini juga terasa semakin keras. Aku membuang pandang, kemaluanku langsung aku kembalikan ke kandang cepat-cepat setelah selesai kencing, dan buru-buru meninggalkan mereka yang masih bercinta.

Aku menghela nafas saat tiba di kamar, tiga lembar tisu lantas aku ambil dari tasku. Setelah berbaring dan menutupi badan dengan selimut, aku keluarkan penisku yang sudah setengah tegang dan mulai mengocoknya pelan, sembari aku menutup mata membayangkan tubuh Anin yang telanjang tadi.

Tubuhnya yang padat berisi namun posturnya yang tidak terlalu tinggi membuatnya terlihat cukup sekal. Kemaluanku semakin tegang ketika aku membayangkan memainkan kedua puting kemerahmudaannya dengan mencubit dan memutar-mutarnya pelan dari belakang, sembari penisku yang sudah keras aku gesek-gesekkan ke pantatnya yang montok.

“Ooohh... Aninn... “

Kemudian tanganku meremas-remas kasar payudara bulat padat miliknya. Tetap terasa lembut dan kenyal saat aku mainkan kedua gundukan itu. Kubayangkan pula nikmatnya desahan gadis itu yang membuatku semakin cepat mengocok batang kemaluanku didalam selimut itu.

“Aahh... Mmhh... Terus Diimmhh...”

Fantasiku berlanjut dengan memposisikan pantatnya agak naik, sehingga lubang vaginanya itu dapat dijangkau oleh penisku, dan perlahan, aku masukkan batang kemaluanku itu kedalam lubang kewanitaannya itu dari belakang.

“Ooohh... Mmhh... G-genjot D-dimmhh...!!”

Semakin liar, aku maju mundurkan pinggangku, membobardir vagina Anin yang aku bayangkan masih sempit dan nikmat itu. Hangat namun juga sudah basah sehingga penisku semakin lancar memberikan kenikmatan disana. Pantat sekal yang kini agak mengkilap karena keringatnya itu tak lupa aku tampar-tampar dan remas.

“Aaakkhh... Diimmhhh...!!!”

“Mmmhh... Aniinnhh... g-gue keluarrr!!”


Ya, tak lama setelah itu, aliran sperma sudah mulai memuncak. Segera tisu yang aku siapkan tadi aku posisikan.

Crot
Crot
Crot

“Hhh... Anin enak banget anjir....”


Setelah melampiaskan hasratku, aku rapikan lagi celanaku, dan tisu yang menampung semua spermaku tadi lantas aku buang di luar, tidak lucu jika pagi nanti seseorang mencium bau khas ini di keranjang sampah didalam posko.

Tepat saat aku keluar dari kamarku, Anin, yang sudah berpakaian lengkap, akan membuka pintu kamar yang ada diseberang. Itu adalah kamarnya bersama Okta dan Vanka. Dia menyadariku, dan langsung menghampiriku cepat.

“E-eh Nin-“

Tiba-tiba dia menarik tangan kananku, gadis itu membawaku ke ruang depan.

“Lu, jangan bilang siapa-siapa.”

“I-iya,”

“Ini rahasia kita sama Iwan doang. Pokoknya lu diem, atau laporan-laporan lu enggak bakal gue kerjain,” ancamnya sambil menunjukku dan memberikan tatapan yang serius.

“O-oke, oke.” Jawabku sambil memberikan gestur ‘tenang’ untuknya dengan kedua tanganku.

“H-hah? Itu apaan?”

Gawat, aku lupa dengan tisu itu.

“O-oh, ingus. Hehe, gue pilek.”

“Mana ada anjir, bau amis gitu. Lu coli bayangin gue y-.”

Aku langsung membekap mulutnya begitu suara Anin mulai mengeras. Aku tidak mau teman-teman terbangun.

“Sssttt... udah, udah. Enggak penting ini apa, oke? Udah lo tidur aja sana.”

“Hhh... emang lu ya.”

“Hah? Ap-“

Tiba-tiba saja, gadis dihadapanku ini menangkap dan menarik leher belakangku, kemudian melumat bibirku perlahan. Aku yang tidak menduga hal itu darinya, tidak membalas lumatannya dan hanya bisa memejamkan mata.

“Mmhah...”

Beruntung itu hanya berlangsung sekitar empat detik

“Hhh...”

“M-maksud lo apa, Nin...?”

“Bonus. Biar lu tutup mulut,” Anin berlalu masuk. Meninggalkanku yang masih bengong dan jantung yang berdegub cepat.

“O-oke...”

Setelah aku membuang tisu itu dan kembali ke kamar, terlihat Iwan sudah terlelap di ranjangnya yang ada diatas. Ya, disini kami disediakan dua tempat tidur tingkat sederhana. Tempat tidurku ada dibawah milik Iwan.

Aku yang sudah sangat lelah dan mengantuk ini juga akhirnya kembali berbaring dan terlelap. Melupakan apa yang barusan aku perbuat dengan Anin.

***
Keesokan harinya, acara di balai desa ternyata hanya berlangsung sebentar, sehingga sebelum tengah hari, kami sudah berada di posko lagi. Sekarang, aku dan Iwan sedang berada di balkon lantai dua, tempat kami biasanya menjemur pakaian. Iwan mulai membuka pembicaraan denganku.

“Ya... lo tau kan, dia sering gue temenin kemana-mana, dia juga sering curhat sama gue tentang cowoknya. Intinya dia baru capek sama KKN ini. Dia ngurus laporan-laporan sendirian, kegiatan-kegiatan desa. Intinya, ya, dia butuh ‘hiburan’ gitu,” Iwan, yang bersandar di pagar semen itu menghembuskan asap rokok ke udara.

“Dan lo yang dia mintain ‘nyenengin’ dia gitu?”

“Hhh... ya, gitu lah intinya.”

“Anjir.”

“Enak banget tot. Masih sempit memeknya.”

“Ye ****** jangan kenceng kenceng anjir.”

“Oh iya, ahaha. Ya gitulah, tapi katanya dia udah pernah gituan sama pacarnya. Jadi ya gue bukan yang merawanin dia.”

“Lo, bisa-bisanya sih anjir.”

“Hhh... ya gimana ya? lo kaga capek juga apa, Dim? Gue juga begituan sama dia buat lepas penat gue juga selama KKN ini.”

“Ya capek sih capek, tapi... hhh... hadeehhh. Udah berapa kali lo?”

“Ini yang kedua. Padahal yang pertama aman-aman aja. Eh yang ini lo bangsat pake mergokin.”

“Ye kontol, gue kan juga kaga tau. Lagian lo sih, main di kamar mandi yang udah ketauan pintunya rusak kaga bisa dikunci,”

“Ya mau dimana lagi.”

“Disini kan bisa.”

“Dingin ****** kalo malem.”

“Oh iya.”

“Heh, tapi makasih lho, baik banget lo udah diem kaga tereak-tereak waktu itu.”

“Y-ya... gimana ya.... Daripada lo berdua pusing belum kelar. Lagian, kalau sampai temen-temen lain pada tau juga bakal kacau KKN kita. Udah mau selesai juga.”

Iwan diam tak menjawab, hanya kembali menhembuskan asap rokok itu.

“Terus... lo jadian sama Anin sekarang?”

“Kagak... Tapi gue sebenernya terserah Anin, sih. Dia masih tetep sama cowoknya ya gak apa apa.”

“Yaelah-“

“Eh? Ngapain lu berdua?”

Aku dan Iwan kompak membalik badan, menemukan si empunya suara. Ternyata si Jinan yang berkaus putih dan becelana pendek selutut. Dia sedang membawa seember cuciannya.

“Emm...”

“Lah, gue kira lu udah berhenti rokok, Dim?” Dia meletakkan ember warna birunya, dan mengambil sehelai pakaiannya yang sudah diperas.

“Oh, iya, emang. Gue nemenin si Iwan doang,” jelasku.

“Oooh...”

Jinan mulai menjemur jaket KKNnya yang basah. Sedangkan aku dan Iwan kembali membalik badan.

“Eh, temen lo ini boleh juga, Dim.”

“Hah?” Aku tidak terlalu jelas mendengarnya karena Iwan sedikit berbisik.

“Ah anjir, ntar aja.”

Iwan menghabiskan hisapan terakhir batang rokoknya itu, sementara aku sesekali melirik kearah Jinan yang masih menjemur pakaiannya yang lain itu. Rambutnya yang basah itu bergerak sedikit terkena angin yang berhembus pelan.

“Eh, Wan, Dim,” Kata Jinan tiba-tiba dengan menjinjing embernya beberapa saat setelahnya. “Besok lu berdua sama Desy Lisa giliran belanja ya.”

“Ooh, oke.”

“Oke.”

“Yaudah, duluan.”

“Yok,” jawabku padanya yang kini berjalan meninggalkan kami kebawah.

“Anjing emang.” Iwan tiba-tiba menyikut lenganku begitu Jinan sudah menghilang.

“Apaan sih?”

“Itu, temen lo mantep banget anjing.”

“H-hah? Jinan?”

“Iya lah ******. Lo merhatiin gak sih? Dia pernah make celana ketat gitu kan, pahanya keliatan mantep banget njir. Pantatnya keliatan sekel. Bodinya juga lumayan. Mukanya cakep juga njir, galak-galak gitu. Cobain tuh Dim entotin dia.”

Aku tertawa dalam hati mendengarnya.

“Gila lo ya. Udah njir gak usah macem-macem sama dia.”

“Kenapa?”

“Ya... gapapa. Gue sama dia udah deket banget temenan, banyak yang udah gue lewatin juga sama dia sama pacar gue. Gue gak mau macem-macem dah pokoknya.” Aku bersandar di dinding semen itu pada kedua lenganku.

“Ciaahh, gak usah sok alim dah. Temen cewek KKN kita cakep cakep semua lho. Gak ada satupun yang bikin lo sange emang?”

“Ya terus kenapa? Gak ada yang secakep pacar gue, tot.”

“Bacot, hahaha,” Iwan kembali menyalakan sebatang rokoknya. “Oh iya, ngomong-ngomong. Okta suka sama lo.”

“Hah?” Tentu saja aku terkejut mendengarnya.

“Iya, Anin yang cerita ke gue. Dia pernah curhat ke Anin kalau dia suka sama lo.”

Aku terdiam. Kemudian menghelakan nafas pelan dan menggeleng.

“Heh serius cok. Bisa nih kesempatan lo ngentotin dia. Lumayan loh dia juga.”

“Gak.” Tolakku.

“Teteknya bulet padet gitu. Bodinya juga lumayan lah ya. Bayangin dah pentilnya yang masih pink-pink gitu. Memeknya pasti juga masih bersih tuh.”

“Enggak, Wan. Gue enggak mau macem-macem.”

“Yaelah, Dim. Yang penting pacar lo enggak tau, kan?”

“Kan ada Jinan disini, njing. Bisa dibunuh gue sama dia. Pun kalau gak ada Jinan juga di kelompok ini gue juga gak bakal ngelakuin gituan. Lo juga ati-ati aja kalau mau gituan lagi anjir. Sampe ketauan Jinan, mampus lo berdua.”

“Hahaha. Yaudah, terserah deh. Yang penting lo udah tau lah Okta suka sama lo.”

“Kapan emang dia bilang?”

“Katanya Anin sih dari minggu kedua kita KKN.”

“Hmm.”

Jika memang itu benar, pantas saja ciuman itu terjadi...

“Gimana? Gue bantuin bilang ke dia kalo lo mau ngentot?”

“Gausah cok. Gak peduli juga gue dia suka gue apa enggak. Hati gue udah ada yang ngisi. Gue gak mau macem-macem dah. Titik.” Tampikku.

Ya, walau aku sepakat dengan Iwan soal indahnya payudara Okta juga tubuhnya yang cukup seksi, tapi tidak. Aku tidak akan melakukannya.
“Hahaha, bucin bucin.” Iwan tertawa sembari menyikut lenganku lagi.

Tak lama setelahnya Iwan mematikan rokoknya, lalu mengajakku turun. Sudah waktunya makan siang.

***
Ruang tengah, malam hari.

Aku, Vanka, Okta dan Rere sedang sibuk dengan laptop masing-masing. Karena ada revisi format dari dosen secara tiba-tiba, laporan kami terpaksa juga harus dirubah. Dan karena Anin yang selama ini mengerjakannya secara kolektif, Jinan meminta agar laporan ini dikerjakan individu.

Desy dan Jinan ada didalam kamar, Anin sedang mandi, sedangkan sisanya sedang pergi keluar.
“Kemana lo, Re?”

“Laper. Bikin mie,” jawabnya yang sudah berdiri meninggalkan laptopnya di kursi.

“Sekalian dong, Re!” Pinta Vanka, dengan antusias.

“Dih, ogah.”

“Iiihh, Rere!” Vanka meletakkan laptopnya juga, lalu mengikuti Rere menuju dalam dapur.

Ya, tinggal aku dan Okta yang ada di ruangan ini. Tidak ada percakapan diantara kami. Layar laptop menjadi tempat mata kami fokus. Aku tidak mempedulikan dirinya yang duduk di arah jam dua, sampai akhirnya aku teringat perkataan Iwan, soal Okta yang menyukaiku.

Tiba-tiba mataku perlahan melirik kearahnya. Terlihat dia yang dikuncir kuda itu masih terpaku pandangnya di layar itu. Karena posisinya menghadap ke depan dan laptopnya ia pangku di pahanya, dua bola mata ini tak sengaja melihat payudaranya yang tercetak jelas dibalik kaos warna birunya itu. Aku menelan ludah.

“Dim.” Tiba-tiba Okta berucap, tapi tidak menoleh kearahku. Aku gelagapan.

“A-ah, iya? Kenapa?”

“Gue liat yang bagian tabel bab tiga dong. Itu gimana ya?”

“O-oh itu, gin-“

“Liat dong,” Okta berdiri, lalu berpindah duduk disebelahku sambil masih membawa laptopnya. Jarak kami hanya sekitar 1 sentimeter.

Aku yang masih panik itu mengarahkan kursor dengan jari yang agak bergetar. Menampilkan bagian yang Okta maksud.

“Gini sih gue, tapi bel-“

Okta langsung merendahkan tubuhnya. Dan itu membuat payudaranya yang empuk itu menyentuh lenganku. Aku menelan ludah lagi. Sepertinya dia sengaja melakukan ini, agar buah dadanya ini bersentuhan denganku.

“Ta.”

“Oh, iya. Thanks, Dim,” dan tak lama, dia menarik dirinya, lalu kembali ke posisinya semula. Dia bahkan seolah tidak peduli dengan apa yang barusan dia lakukan.

Sial, celanaku jadi terasa sempit karena dua gundukan itu...

Beruntung Jinan dan Desy datang tak lama setelahnya. Aku jadi tidak harus berdua lagi dengan perempuan ini.

***
Aku mengusap wajahku yang basah. Menenangkan diri sambil mengatur nafas. Satu lagi hariku dengan berlinang air mata. Sepertinya, semenjak perjodohan ini datang, memang bukan kebahagiaan yang mengikutinya untukku. Semua tidak berjalan sesuai rencanaku.

Yah... aku rasa, pada akhirnya memang ini yang bisa aku lakukan.

Aku mengambil gawaiku, mencari sebuah kontak di aplikasi WhatsApp. Perlahan, aku mulai percakapanku dengannya.

[Kak Jinan...] 22.15

22. 18 [Iya, Cin? Kenapa?]
22.18 [Tumben,]

[Lagi sama kak Dimas?] 22.19

22.20 [Enggak, dia di kamar kayaknya. Tadi habis
ngerjain laporan bareng, sih. kenapa?]
22.20 [Sori, Cin. Sinyal jelek.]

[Ooh...] 22.20
[Gini kak, aku mau minta tolong...] 22.20
[Eh tapi jangan ke kak Dimas ya, kak...] 22.20


22.22 [Gimana gimana?]
Aku menghembuskan nafas berat.

[Habis KKN, aku mau putusin kak Dimas...
habis itu, tolong kak Jinan gantian jagain dia ya...] 22.23





To be Continued...
 
Terakhir diubah:
[Habis KKN, aku mau putusin kak Dimas...
habis itu, tolong kak Jinan gatian jagain dia ya...
niatnya cuma mau komen
"baca dulu hu"

saat sampai di kolom post, kok baca kalimat diatas
duh kok nyesek ya
pliss lanjutkan....
 
Bimabet
Saran, Dim...
Jangan 'hehe' sama Anin waktu KKN
Karna pasti akan makin kangen sama Mbul (kan mereka sama-sama Mbul)
*saran macam apa ini
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd