Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Pokoknya klo dimas sm cinhap endingnya g bersama, kupotong kuku author sampe pendek bgt biar klo megang sesuatu atau ngetik jarinya ngilu2 gt:(( :(( :(( :((
 
Kasian sebetulnya kalo liat Cinhap sama Dimas jadi begitu, tapi justru saya penasaran apakah author berani buat Cinhap bener2 gak sama Dimas lagi atau enggak :baca:
 
Ini kalau Cinhap gak jadi sama Dimas terus Season 1 kemaren sama aja sia-sia dong

Cinhap wajib sama Dimas pokoknya
 
Belum nih hu... ga sabar soalny cindy sama jinan lagi cantik cantiknya wkwk....
 
Part 3.5



“Mmpgh..!! Hhnggmhp!!!”

“Hhh... gimana?! Hah?! Enak kan?!”

Laki-laki ini semakin kencang mehujamkan penis kerasnya itu ke vaginaku yang ia dapatkan secara paksa. Semua celanaku sudah ia lucuti.

“MmgNhH!!!”

Sedangkan aku yang sudah kacau ini menggeleng. Air mata sudah deras keluar dan membasahi pipiku. Kedua tanganku diikat dengan jaket milikku, mulutku disumpal saat akan berteriak minta tolong tadi. Bajuku terangkat, membuat payudaraku dengan mudahnya ia remas dan mainkan setelah ia berhasil mencongkelnya dari bra milikku. Sekarang, aku sudah tidak bisa apa-apa. Hanya bisa pasrah tubuhku ini dinikmati olehnya, laki-laki yang tidak pernah aku harapkan datang ke kehidupanku.

Semua ini, berawal dari ajakannya kemarin malam, ketika mas Brian selesai mengantarku sampai ke rumah...

***​

“Emm... dek, besok... aku jemput sekitar jam 10 ya,” ucapnya dari balik kaca yang diturunkan setengah.

Aku hanya tersenyum kecil sambil mengangguk padanya.

“Udah ya, dek. Istirahat.”

“Iya, mas.”

“Selamat ulang tahun ya,” Sebuah senyuman melengkung lebar di wajahnya. Entah sudah berapa kali ucapan itu keluar dari mulutnya.

“Hehe... iya, mas. Makasih ya hari ini.”

“Dah,”

“Dah, mas. Hati-hati.” Ucapku padanya, yang sedang menutup kaca mobil itu, sembari melambaikan tangan dari balik pagar rumah ini.

Tanpa menunggu mobilnya pergi jauh, aku langsung masuk kedalam rumah. Terlihat ibu sedang mencuci piring di dapur, dan ayah yang sedang menonton siaran berita televisi.

“Udah pulang?”

“Udah.” Jawabku singkat pada ayahku, lalu langsung berlalu masuk kedalam kamarku.

Aku tak menyalakan lampu kamarku. Tas selempang ini aku lempar keatas kasur, disusul dengan tubuhku yang langsung aku benamkan di tempat empuk nan nyaman itu. Aku mengangkat wajahku dari bantal, membalik tubuh dan berbaring menatap langit-langit.

Aku menghela nafas, entah mengapa hari ulang tahunku kali ini terasa biasa saja. Mungkin karena orang itu sedang jauh dariku. Aku mengambil gawaiku didalam tas, mengecek pesan-pesan yang mungkin masuk. Namun, tak kutemukan namanya itu diantara ucapan-ucapan yang masih aku terima.

“Ah... dia bilang disana susah sinyal.” Pikirku.

Namun, kak Jinan bisa menghubungiku tadi. Itu berarti, ada kemungkinan dia juga bisa menghubungiku, kan?

“Hhh...” aku kembali menghela nafas, kemudian meletakkan kasar smartphoneku.

“Kamu kemana sih, kak...”

Aku mengubah posisi badanku miring ke kanan.

Ah ya... aku baru ingat...

Aku melepas cincin pertunangan itu dari jari kiriku, lalu asal aku letakkan di meja kecil samping kasurku.

Kemudian perlahan, rasa kantuk ini kembali datang. Kedua mataku sedikit demi sedikit mulai berat. Sampai akhirnya, aku terlelap karena lelah juga...

.

.

.

Drrtt...

Drrttt...

Drrttt...

.

.

.

Drrtt...

Drrttt...

Drrttt...

.

.

.


Aku membuka mata perlahan, smartphoneku bergetar. Dengan mata yang masih kriyip-kriyip, aku melihat layar itu.

Kak Dimas ♥

“Ya ampun... jam segini banget... hehehe...”


Dia menghubungiku dengan video call, segera aku bangun dan menyalakan lampu kamar. Aku yang semula sangat lelah dan ketiduran tadi, mendadak menjadi semangat lagi.

“Hhhaaallooo gembul! Hahaha!”

Jujur, aku senang sekali melihat wajah ceria itu lagi.

“Iiiissshhh... kak Dimas mah... kenapa jam segini sihhh...” jawabku dengan suara serak, agak manja. Aku masih mengucek-ucek mataku.

“Hahaha, udah tidur ya? maaf, maaf.”

“Iiisshhh, kirain lupa! Nyebelin ah!”

“Hehehe, selamat ulang tahun, Auroraku.”

“Ehehe... iya...”

“Udah gede. Sehat terus, tambah cantik, hehe. Pokoknya yang terbaik selalu buat kamu, gembul.”

“Hhh... makasih kak Dimas. Hehe.”

“Hadiahnya tunggu aku selesai KKN, ya.”

“Yaelah. Santai kali kak. Fokus KKN dulu aja, ya, hehe.” aku merebahkan diri ke kasur. “Lah, itu kakak dimana? Serius ke balai desa jam segini?!” Aku mengeryitkan dahi, aku tau betul lokasi itu. Kak Dimas pernah menghubungiku lewat video call juga disana sebelumnya.

“Iya dong, hehe. Sinyal bagus banget disini doang, kan.”

“Sendiri kesitu?”

Dia mengangguk.

“Tengah malem gini?! iiihh... kakak mah, bahaya!”

“Bahaya apanya? Tuh tuh, disini tapi ada yang lagi jaga di pos ronda kok. Tenang aja.” Kak Dimas memutar kameranya, menunjukkan pos ronda yang terang di seberang sana, dan ada dua orang bapak-bapak sedang berjaga.

“Iihh, ya ampun kakk... makasih ya... hehe...”

Dan kami lanjut ngobrol, meredakan rindu kami berdua. Aku turut bersyukur dia sehat dan selama KKNnya semua lancar, tertawa geliku dibuatnya ketika mendengar dia dicubit kak Jinan tadi dan menunjukkan bekas cubitan itu di kedua lengannya. Hampir setengah jam kami berbincang dan aku rasa aku harus menyudahinya. Khawatir kak Dimas pulang semakin larut.

“Ehehe... sayang kak Dimas.”

“Iyaa.”

“Eh, kak Dimas...”

“Iya, sayang?”

“Makasih ya... kak, serius, ehehe... Aku... seneng bangett...”

“Iiyaa. Semangat ya, sayang.”

“Makasih kakakk, langsung pulang posko!” tak henti-hentinya aku melambaikan tangan dan memberi love sign dengan dua jariku.

“Iyaa.”

Panggilan itu berakhir. Senyumanku merekah tak cepat mereda. Laki-laki itu memang selalu bisa membuatku tersenyum bahagia.

“Hhh...” Aku meletakkan gawai itu di meja kecil disamping kasurku. Namun, moodku kembali jatuh. Seharusnya aku tidak meletakkan benda itu disana. Cepat aku menarik laci, mendorong cincin itu masuk lalu menutup kembali laci itu rapat-rapat...

***​

Keesokan harinya, siang hari di villa milik mas Brian. Dia mengajakku kemari untuk mengambil dokumen miliknya, aku juga tidak tahu dokumen apa yang ia maksud. Malah sekarang dia memberiku semacam tour di villanya ini. Ini pertama kalinya aku kemari. Aku cukup kagum dengan bangunan bernuansa klasik ini, heran kenapa tempat seperti ini tidak dihuni. Mas Brian bilang ia kemari sesekali untuk beristirahat. Memang pemandangannya lumayan bagus dari sini.

Sekarang kami berada di sebuah kamar di lantai dua, dengan balkon disebelah kirinya. Interiornya bisa dibilang cukup sederhana. Ada beberapa bingkai lukisan kecil di dinding bercat putih ini. Ada satu kasur queen size, dengan dua bantal. Aku duduk di pinggir kasur ini, sementara mas Brian sedang berdiri menatap keluar balkon.

“Ini dek, bisa jadi kamar kita besok.”

Aku menelan ludah.

Tidak. Itu tidak akan terjadi.

“Emm... tapi aku boleh tanya sesuatu enggak?” Dia membalik badan dan menatapku. “Jawab jujur ya.”

“Apa, mas?”

“Itu... kak Dimas sayang... di kontak kamu, siapa?”

Aku bengong, mematung. Jantungku serasa berhenti. Bagaimana dia bisa tau soal kak Dimas di kontakku?!

“Hhah...? kak Dimas?”

“Iya,” mas Brian berjalan perlahan menuju tempatku.

“Temen.”

“Oh iya. Aku juga inget. Ada simbol lovenya juga disana. Yakin cuma temen?” Tanyanya singkat, dan aku yang malah panik ini tidak bisa memikirkan jawaban apapun. Aku menelan ludah, dan tidak berani menatapnya yang sudah berdiri di sebelah kiriku.

“Dek...” mas Brian mengangkat daguku perlahan, sehingga akhirnya mata kami bertemu.

“D-dia... emm...”

“Kalau gitu, cepet sekarang liatin kontaknya.”

Aku terdiam. Menciptakan kesunyian sejenak. Sampai-sampai aku bisa mendengar degub kencang jantungku ini.

“Mana heh?!”

Plak!

Sebuah tamparan keras darinya secara tiba-tiba, membuatku terhempas ke kasur.

“Kamu bilang... udah enggak punya pacar! Kamu pikir aku enggak tau isi chattinganmu sama si Dimas itu? Hah?!” Bentaknya padaku, yang tidak ingin mengangkat tubuh ini. Wajahku aku pendamkan di kasur, dengan pipi yang perih karena tamparannya, dan mataku yang mulai panas.

Aku masih tidak tahu, bagaimana dia bisa tau soal kak Dimas dan membaca chatku dengannya. Dugaanku hanya semalam saat aku tertidur di mobil, mas Brian pasti mengambil smartphoneku. Yang jelas, aku sudah ketahuan...

“Aku sengaja diemin kemarin. Pengen tau seberapa jujur kamu! Tapi sekarang?! Liat! Kamu bahkan enggak mau jujur sama calon suamimu send-“

“MEMANGNYA MAS ITU CALON SUAMI YANG AKU MAU?!”

Aku membalas membentaknya, dan dia langsung menangkap pipiku, menekannya kuar-kuat. Beberapa rambut depanku yang berantakan menutupi wajahku, aku berusaha menyingkirkan tangannya itu, namun energi kedua tanganku masih belum cukup kuat melawannya.

“Heh... emangnya aku kurang apa... Aku bisa ngasih apapun yang kamu mau! Lagian, itu cincin udah ada di jari kamu!”

Aku menggeleng, dan dengan satu hentakan yang cukup kuat, aku berhasil menyingkirkan tangannya dari wajahku.

“Enggak! Dari awal memang aku enggak setuju sama semua ini! Aku kepaksa!”

“Heh... terus kamu mau apa? Pernikahan ini enggak mung-“

“MUNGKIN!”

Aku menarik cincin itu dari jariku, lalu akan meleparkannya sejauh mungkin. Sayang, tangan mas Brian cepat menahan tanganku.

Plak!

Dan kembali, satu tamparan aku dapatkan tanpa sempat aku hindari. Cincin itu spontan jatuh dari tanganku setelah tamparan itu. Karena tanganku yang masih ditahannya, tubuhku tidak sampai roboh ke kasur lagi. Air mataku semakin tumpah.

Belum sempat aku menarik wajahku, mas Brian lebih dulu mendorongku dengan kuat ke kasur, membalik badanku, dan langsung menangkap kedua tangaku dan menahannya jadi satu. Situasi yang begitu menyudutkan ini membuatku tidak sempat berbuat apapun, badanku tiba-tiba terasa lemas, hingga mas Brian berhasil mengikat kedua tanganku itu dengan jaket yang sempat aku pakai tadi.

Selesai dengan mereka, dia membalik badanku lagi. Dia menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi wajahku. Entah mengapa, tatapan matanya kini menjadi mengerikan.

“M-mas... mas Brian mau ngapain...” ucapku bergetar. Jantungku kini berdegup sangat cepat.

“Hhh...”

Dia lantas dengan cepat melepaskan kaos yang ia pakai, dan itu sudah cukup membuatku berpikir, apa yang akan dia lakukan.

“J-jangan!” Aku mengangkat tubuhku cepat, namun mas Brian langsung mendorongku lagi sebelum sepat aku menghindarinya ke samping.

“Tolommpgh!! Hmngghh!!”

Dia terlebih dulu menyumpalkan kaosnya itu ke mulutku. Jantungku berdegub lebih cepat, nafasku menjadi pendek. Aku menatap wajah mas Brian yang sudah merah itu dengan penuh rasa takut.

“Ssstt... kamu itu... punya aku...”

Mataku membulat setelah ucapan itu ia bisikkan ke telingga kananku. Bau badannya terasa kuat, dan nafasnya yang panas sungguh terasa di posisi ini. Jujur, aku merinding. Otakku sudah penuh dengan pikiran yang tidak tidak.

Laki-laki ini kini dengan cepat menggerakan tangannya untuk membuka kancing celana jeansku. Tentu saja, aku meronta dan melawan. Pinggangku aku gerakkan asal dan erangan kasar terus aku hasilkan sebagai penolakan.

Plak!

Plak!


Namun dua tamparan keras aku dapatkan darinya di kedua pipiku. Dan itu cukup membuat perlawananku terhenti. Kepalaku terdiam di posisi menoleh ke kanan, rambut depanku berantakan dan menutupi wajahku yang sudah basah dengan air mata. Sementara itu, mas Brian berhasil melepaskan celana jeansku, bersama dengan celana dalam yang aku kenakan.

Aku yang masih berusaha melawan ini merepatkan pahaku lekat, membuatnya agak kesulitan untuk dibuka oleh mas Brian.

“Ssstt, heh, heh!”

Dengan sekali gerakan dan tenaga yang kuat, dia berhasil membuka selangkanganku lebar-lebar, mereka tertahan oleh sikunya, dan mas Brian perlahan membuka bibir vaginaku.

“Mmp-Hngmhh...”

Aku mendongak ketika merasakan lidahnya mulai berkeliaran di lubang itu. Jari-jariku dibawah sini bergerak-gerak, mataku merem melek, berusaha menahan desahan yang sebenarnya bisa aku hasilkan. Selagi ia melumuri vaginaku dengan air liurnya, kedua tangan mas Brian secara bergantian mengelus-elus pahaku yang tak tertutup apapun itu. Telapak tangannya itu seolah tak ingin melewatkan satu sentipun kulit putih mulus pahaku. Entah rasa apa yang aku rasakan saat ini. Jijik, kotor, takut, risih, semua bercampur.

“Hmngghh...!”

Aku tersentak. Begitu lidah itu mulai bersentuhan dengan klitorisku, desahan ini tak bisa aku tahan, walau suara ini tetap tertahan karena kaos yang menyumpal mulutku. Tak henti-hentinya dia membuatku merem melek, dia terus bermain dengan bagian sensitif itu, bahkan gigi-giginya juga sempat bertemu disana. Gerakan lidah itu semakin liar ketika masuk lebih dalam lagi dan bergerak-gerak disana.

Aku mengejan, kedua pahaku reflek menutup dan menahan kepalanya. Sementara jilatan liar itu terus mas Brian berikan, aku sudah tidak bisa menahannya lagi.

“Mmgphh...”

Orgasme ini tak dapat lebih lama kutahan, aku menyemburkan cairan itu, dan, sepertinya mereka tepat melumuri wajah mas Brian. Kedua kakiku yang lemas itu langsung jatuh ke lantai. Dengan mata sayu aku menatapnya, mas Brian mengusap lalu menelan semua carianku yang menempel di wajahnya. Dia tampak berseri, namun bagiku, itu menyeramkan.

“Gimana...? enak...?”

Aku menggeleng.

Dan bagai tanpa jeda, kedua tangannya lalu menarik kaosku keatas. Aku yang semula ingin melawan, namun rasa perih di pipi yang masih terasa ini mengurungkan niatku. Dan karenanya, kini kedua payudaraku sudah berhasil ia lihat, mas Brian tampak berbinar menyaksikan bagian tubuhku yang masih terbungkus bra itu. Mengetahui apa yang akan ia lakukan selanjutnya, aku memejamkan mata, kedua tangannya itu kini mulai meremas-remas kedua gundukan itu.

“Hhh... gede juga ya... hhh...”

“Mmgph...?!” Aku kembali tersentak. Tiba-tiba saja wajah mas Brian merunduk melekat di leherku. Tiupan tiupan tipis ia berikan disana, dilanjutkan dengan kecupan kecil di beberapa bagian, serta gigitan-gigitan kecil di telingaku, sementara kedua tangannya masih riang dengan kenyalnya payudaraku. Tubuhnya yang menindihku ini membuat tonjolan di celananya kini aku rasakan menggesek-gesek di bibir vaginaku. Aku merinding, diam menatap pilu ke atas. Mas Brian sudah kesetanan, aku tidak bisa menghentikannya. Tubuhku sepenuhnya sudah dalam kendalinya.

Hiks... hiks...

Aku...

Aku... cuma ingin bahagia....


Kini kedua tangannya cepat mencungkil payudara kananku keluar dari bra, lalu kedua jarinya mencubit, memilin-milin puting kecoklatanku itu. Sentuhan-sentuhan itu membuatnya semakin mengeras. Tanpa perlawanan, aku membebaskan mas Brian mencumbu sisi lain leherku, dan kini tangan kanannya ikut mencungkil payudara kiriku, lalu melakukan hal yang sama dengan tangan kirinya tadi disana.

Semua rangsangan ini lantas membuat tubuhku tidak bisa diam. Aku menggeliat karena putingku yang risih karena permainan jari-jari itu, serta tiupan tiupan nafas yang terus berhembus di leherku. Nafas kasar penuh nafsu mas Brian terdengar dengan jelas. Hawa panas ruangan ini turut membuat tubuhku yang sangat gerah ini bermandikan keringat. Bercampur dengan bau badan dan keringat milik mas Brian.

Puas dengan leherku, wajahnya kini berpindah ke dadaku. Bibir itu kini bertemu dengan putingku yang sudah keras mencuat. Isapan penuh nafsu itu memaksaku untuk kembali mendesah. Geli-geli basah aku rasakan disana, sementara putingku yang satunya masih dipilin-pilin oleh jarinya, baru kemudian selang beberapa saat, mulutnya berganti kesana. Isak tangisku yang sejak tadi keluar tidak membuatnya berhenti.

Lalu untuk kesekian kalinya, aku tersentak, ketika dua jari kirinya tiba-tiba masuk kedalam lubang vaginaku selagi mas Brian bermain-main dengan payudaraku. Pelan mereka bergerak maju mundur menusuk lubang hangat itu. Dan tak lama setelah mereka menyentuh G-spotku, orgasme keduaku datang.

Gerakan tangannya itu berhenti dibawah sana, namun hisapan di payudaraku masih berlanjut walau hanya sebentar. Kemudian mas Brian mengangkat tubuhnya, berdiri dengan gagahnya setelah merasa sudah berhasil menikmati seluruh tubuhku. Aku berhasil mengeluarkan kaos penyumpal itu setelah sejak tadi berusaha. Dengan nafas yang tak karuan, keringat yang sangat membuatku tidak nyaman, apalagi dengan posisi tanganku yang masih tertindih dibawah sini, aku menatapnya pilu. Memohon belas kasihan padanya untuk menghentikan semua ini.

“Hiks... m-mas... udah... ak-“

Dengan cepat aku dibekap dengan tangan kanannya, lalu kembali meletakkan kaos lengan panjang itu ke mulutku. Namun kini, dia mengikatnya kuat. Sudah dipastikan aku tidak dapat mengeluarkannya.

Sekarang, tubuhku benar-benar terasa lemas. Ingin rasanya aku mati saat ini. Semua ini belum berakhir. Mas Brian mulai membuka kancing celananya. Aku yang sudah remuk ini langsung memejamkan mata. Tahu hal terburuk yang akan terjadi tak lama setelah ini.

Gelap gulita. Aku lekat menutup mata. Hanya rintihan ketakutanku serta nafas kasar mas Brian yang aku ditangkap telingaku.

“Hngh...”

Rintihanku semakin keras ketika merasakan kedua tangannya membuka dan mengangkat kedua pahaku.



Kak Dimas...

Maaf...



“HnGhH...!!”

Penis tegang nan benar-benar keras itu masuk memenuhi dalam vaginaku yang sudah sangat basah karena orgasmeku tadi. Aku merasakan penis yang nyaris seluruhnya masuk itu diam tak bergerak sama sekali, bahkan sampai beberapa saat setelahnya. Aku bahkan tidak merasakan pergerakan dari tubuh mas Brian.

“Hngh?!”

Namun tiba-tiba saja, dengan tangan kanannya, mas Brian mencekikku. Aku yang sudah pasrah dan benar-benar diselimuti ketakutan itu tetap menutup mata.

“Hhh... kamu udah pernah ya ternyata...” Dia berkata tepat di hadapanku, setidaknya itu yang bisa aku rasakan karena aku masih menutup mata.

Aku hanya diam, mengatur nafas yang mulai membuat dadaku panas ini.

“Hhh... nakal juga ya kamu...”

Dia menarik tangannya dari leherku, dan aku terbatuk kecil.

Dan tak berselang lama...

“Mmpgh..!! Hhnggmhp!!!”

Mas Brian langsung kencang mehujamkan penis kerasnya itu ke vaginaku.

Plok

Plok

Plok


Kedua paha kami saling berbenturan, penis itu dengan mudahnya bergerak maju mundur disana. Aku mendongak, merintih pilu.

“Hhh... gimana?! Enak?! Hah?!”

Tanpa ampun, dia terus memompa penisnya itu, sambil kedua tangannya menyusuri pinggangku dan berhenti di payudaraku dan kembali meremasnya kasar. Dua buah dada yang sudah membesar dengan puting yang keras itu, seakan masih belum puas, dengan liarnya mas Brian remas dan pilin-pilin.

Plok

Plok

Plok


“Ooohhh... hhh.. ssshhh...”

Terdengar desahan penuh nafsu itu dari mulut mas Brian. Diikuti dengan genjotannya yang semakin lama semakin kencang.

Dan tak berselang lama, aku mendapat orgasme ketigaku. Disusul dengan mas Brian yang mencabut penisnya. Terdengar suara kocokan penisnya itu, semakin dekat, semakin dekat, dan...

Crot

Crot

Crot


Pasrah, aku terima cairan lengket itu. Mereka menempel di pipi, dahi, rambut, juga hidungku. Nyaris seluruh wajahku terlumuri.

Nafasku sengal. Sangat sengal. Energiku benar-benar telah dikuras, nyaris tak bersisa. Kepalaku terasa pusing.

Perlahan, dalam kegelapan ini, aku rasakan kesadaranku mulai melayang. Deru nafas mas Brian, serta nafasku yang semula sangat jelas ku dengar, kini perlahan menghilang.

***​

Aku tercekat. Mataku membulat. Seluruh badanku terasa dingin tiba-tiba. Mas Brian menunjukkan sebuah video di smartphonenya.

“Kalau sampai kamu sendiri belum putusin dia, atau laporan soal kejadian ini tadi ke siapapun itu. Siap-siap videomu sama si Dimas ini kesebar...”

Badanku bergetar. Aku meringkuk, membenamkan kepalaku didepan pahaku yang menyatu. Dia pasti sudah menggeledah seisi smartphoneku selagi aku pingsan tadi. Tak kusangka dia berhasil menemukan video pribadiku itu. Aku sudah kalah.

“Gimana ya... kalau sampai orangtuamu tau soal video ini...”

Dia terasa berjalan mendekatiku.

“J-jangan... hiks... jangan, mas...” Aku mempereat dekapan tanganku.

Aku bisa dibunuh kedua orangtuaku jika mereka melihat videoku sedang berhubungan badan dengan kak Dimas itu.

“Oke... jadi kamu tau kan apa yang harus dilakuin...?”

Dia membuka telapak tanganku, lalu menyerahkan lagi cincin pertunangan itu.

“Cepet beres-beres. Aku anter kamu pulang. Udah malem.”





To be Continued...
 
Brian jahat juga ya ternyata

Alias

Mbul yang selalu tersakiti :aduh::aduh:
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Udah ketebak sih sebenernya si Brian ini baik diluar doang, Aduh ini Mbul kenapa disiksa Mulu ya disini
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd