Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah kesana sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, ini Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Sabtu/Minggu ya~
 
Terakhir diubah:
Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, ini Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Sabtu/Minggu ya~

Cindy kabur nih jadinya? Atau malah dibawa lari?!

Duuh jd g sabar
 
Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah kesana sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, ini Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Sabtu/Minggu ya~


jadi tidak sabar mbul gimana :hore:
 
Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah kesana sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, ini Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Sabtu/Minggu ya~


Malem ini lah langsung ~~
 
Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah kesana sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, ini Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Sabtu/Minggu ya~
Mencium aroma apdet
 
Part 6



Perlahan aku langkahkan kaki masuk kedalam kontrakan, semua tas milikku hanya aku seret dan aku letakkan asal di dekat pintu. Setelahnya, aku berpindah menuju kamar. Ada hal yang ingin aku pastikan. Lampu kamar yang kami tempati aku nyalakan, aku sempat terdiam menatap rapinya kasur dengan satu bantal dan selimut disana.

Nafas kasar aku helakan, kemudian aku mendekati lemari pakaian dan perlahan aku buka. Jantungku terasa berhenti berdegub, mulutku terbuka sedikit, mataku masih belum berhenti untuk menyusuri tiap sudut lemari ini. Semua hanyalah pakaianku, tidak ada lagi satupun pakaian Cindy disini. Jaket, kaos, celananya tidak bisa aku tangkap dengan mataku. Koper warna merah jambu miliknya yang biasanya tergeletak di bagian bawah lemari ini juga tidak terlihat.

Dia mengemasi semuanya...

Aku membenamkan wajah ke telapak tangan kananku, dan menutup kembali lemari itu. Dadaku yang sempat mereda kini kembali panas dan sesak, perlahan tubuh ini aku rebahkan di kasur, merubah posisiku menghadap ke kiri, tempat biasanya sosok itu terlelap. Hari ini, besok, atau bahkan selamanya, mungkin tidak ada lagi hangatnya tubuh itu disana. Harumnya kasur ini tidak akan membuatku lupa dengan aroma tubuhnya yang bahkan sekarang aku masih bisa menciumnya.

Pikiranku melayang ketika aku menatap langit-langit.

“Karena aku tunangan.”

Ucapan itu tergiang terus di kepalaku. Juga jari manisnya yang telah tertaut sebuah cincin...

Baru saja aku pulang dan ingin melepas rasa lelah, malah satu kabar pahit yang kudapat. Aku tambah yakin dia benar-benar serius dengan semua ini. Namun dibalik itu, aku sebenarnya ingin bicara lagi dengannya. Aku benar-benar butuh penjelasan darinya...

Dan walau bagaimanapun, yang aku lakukan tadi memang salah. Bentakan dan juga tanganku yang seenaknya saja tadi bukanlah hal semestinya yang harus aku berikan padanya.

Sampai sekarang pun, semua pesan dan panggilanku tidak dibalas olehnya.

“Ckh...” aku melempar ponselku ke kiri.

Tangan kananku aku angkat ke udara, membentuk sebuah capit melintang. Imajinasiku membuat potret wajahnya diatas sana. Kemudian aku tekan-tekan gemas bayangan pipi gembul gadis itu.

“Uuummm, kuk dumus sukiitt.”

“Ckh... hhh... heh... hehehehe....”

Aku terkekeh melihat tingkah penuh hayalku ini, dan tanpa sadar, pipiku kembali basah oleh air mata yang mengalir tiba-tiba.

“Mbul...”

***​

Aku mematikan handphone milikku. Sejenak, aku rasa aku masih belum mau berkomunikasi dengannya dulu. Banyak pesannya tidak aku baca, juga panggilan yang berkali-kali masuk tidak aku angkat. Aku menyandarkan kepala ke kaca mobil, lalu menatap tangan kiriku yang meninggalkan bekas kemerahan karena cengkraman kuat tangannya tadi.

“Kak Ve...”

“Iya?”

“Hhh... cari makan dulu ya...”

Aku mengambil empat lembar tisu.

“Mau dimana?”

“Hhh... ayam geprek, kak.”

“Yang pernah kamu cerita itu?”

“He’em...” Aku mengusapkan tisu yang sudah aku lipat itu ke bawah mataku. Mengusap sisa-sisa air mata yang aku rasa masih tertinggal.

“Cin... itu tangan kamu bener enggak apa-apa?”

“Enggak, kak... enggak luka kok,” aku menepis tangan kak Ve yang mencoba meraih tangan kiriku.

“Hhh... yaudah...”

Aku memandang keluar, lebih tepatnya kearah langit yang sekarang mulai diselimuti awan gelap, penuh rasa menyesal. Aku jadi membenci diriku ini. Seorang yang lemah, selalu menyusahkan juga mengecewakan orang lain. Di situasi seperti ini, apa yang bisa aku lakukan? Hanya menangis...

“Kak Dimas... maaf...”

Tapi setidaknya... setelah ini kak Dimas tetap tidak akan sendiri... Kak Jinan, aku titip dia, ya...

***​

Malam harinya.



Tok.. tok.. tok...

Aku mengetuk pintu rumah yang sudah tidak asing bagiku ini.

Jujur, perasaanku masih campur aduk saat ini. Dia masih belum membalas pesanku. Bahkan aku juga mencoba menghubunginya lagi setelah aku bangun dari tidurku tadi. Padahal aku berharap setidaknya ada 1 balasan dari gadis itu setelah mataku terbuka dan mengecek ponsel.

Kreek...

Dan pintu itu terbuka.

“Ya? cari siapa?” tanya seorang wanita dari baliknya.

Aku menelan ludah.

q1gZo9JQ_t.jpg
YTPDQUfE_t.jpg

Dia... ibunya Jinan... Tante Tara...

Memang aku pernah melihatnya di foto bersama Jinan. Tapi tak kusangka dia jauh lebih cantik jika bertatapan secara langsung....

Dan ini pertama kalinya aku bertemu dengannya karena memang dia dan suaminya sering sekali kerja keluar kota.

Pantes sih Jinan sama adiknya cantik... orang ibunya kek begini...

“O-oh... anu... tante... saya cari Jinan, saya temennya. Tadi udah janjian mau makan sama dia. Jinannya ad-”

“Oohh, kamu si Dimas itu ya?”

“I-iya tante.”

“Aahhh, come in. Jinan baru mandi. Tadi dia udah bilang kok. Sini tunggu dulu di dalem,” tante Tara membuka lebih lebar lagi pintu itu dan mempersilahkanku masuk.

“A-ah, iya tante, makasih.”

Dan aku duduk di sofa ruang tamu ini, bersama tante Tara yang duduk diseberangku.

“Mau minum apa?”

“A-ah... enggak usah tante, malah ngerepotin, hehe. Nanti saya minumnya diluar aja, hehe.”

“Ah, jangan gitu, dong. Air putih ya?”

“Emm... i-iya deh tante.”

“Kei...! Keisya! Tolong ambilin air putih yaa!”

Ah, Keisya. Dia pulang ya?

“Berapaa?” tanyanya dari dalam kamar.

“Satu aja!”

Dan aku melihatnya keluar dari kamarnya, dia sempat tersenyum dan melambaikan tangan padaku.

“Oh, kalian pernah ketemu?” tanya Ibu Jinan setelah melihatku membalas lambaian tangan Keisya.

“Pernah tante. Saya pernah makan bareng Jinan sama Keisya, hehe,” jelasku.

Sekarang tante Tara memberiku senyum kecil dan tatapan tajam. Dan itu membuatku takut.

“Jadi... kalian udah berapa lama?” Tante Tara agak mendorong badannya.

“Emm... a-apanya, tante?”

“Ahahaha! You’re Jinan’s boyfriend, right?”

“EH?! B-bukan tante, kita cuma temen kok, serius, hehe...” Aku melambaikan kedua tanganku, menepis perkataan tante Tara. Dasar, darimana dia bisa menyimpulkan itu?!

“Ahahaha! You’re cute. Terus... ini nanti mau kemana?”

“Mau makan di itu tante, err... Saung Idola. Deket kok. Saya juga sekalian curhat soalnya, hehe.”

“Oh, soal?”

Yaampun... dia ingin tau sekali...

Belum sempat aku menjawab, Keisya datang dengan segelas air putih dan satu botol air minum.

ZvpkohuD_t.jpg

“Lho? Kak Cindy dimana, kak?”

Aarrggg... Kei... jangan sebut dulu nama itu....

“Oh, nanti habis ini dijemput kok, hehe.”

“Ooh,” kemudian gadis berkacamata itu berlalu setelah meletakkan minuman itu di meja.

“Y-yaa... gini tante, sebenernya saya sama, pacar saya baru aja putus tadi siang.”

Oh dear... why?

“Dia, tunangan tante. Hehe.”

Paiiittt....

“Ya ampun...”

“Y-ya. Jadi ini ceritanya saya mau cerita-cerita, ngobrol ke Jinan sama minta saran gitu. ehehe...”

“Ehemm... I’m sorry.” Sekarang tante Tara memasang wajah bersalah dan simpati.

“Ahaha, enggak apa-apa tante,” aku mengambil gelas itu lalu meneguk air putih segar itu.

Di tegukan keduaku, ada suara dari gadis yang kutunggu.

“Dim? Sori ya nunggu lama.”

Gadis itu mengenakan kacamatanya. Hoodie putih dan celana jeans melekat di tubuhnya. Wajahnya terlihat segar dan rambutnya masih sedikit basah.

“Ah, ini dia Jinannya. Dah, sana silahkan, have a good time,” tante Tara berdiri lalu meninggalkan kami berdua.

Aku dan Jinan saling tatap dan membisu untuk beberapa saat.

“Ditanyain apa aja lu sama nyokap gue?”

“Ah, enggak... enggak apa-apa.”

“Serius?”

“Iye iye.. orang ngobrol biasa kok.”

“Ooohh...”

“Udah yuk. Gue butuh ngobrol banyak...”

“Oh, i-iyaudah. Yuk. Moomm! Aku berangkat yaa!”

“Oh iya iya, hati-hati,” tante Tara datang menghampiri kami lagi dari dapur. Jinan mencium tangan ibunya, dan dia memberikan kecupan di kedua pipi Jinan. Aku pun ikut berjabat tangan dengannya untuk pamitan, namun tiba-tiba tante Tara mencium cepat kedua pipiku lalu menarik dan memelukku erat. Payudaranya yang cukup besar dibalik kaos tipis yang dikenakannya itu otomatis menempel di dadaku.

Empuk...

Aku menelan ludah. Beruntung Jinan berdiri dibelakangku, jadi dia tidak menyadari wajahku yang mungkin terlihat panik ini. Karena... penisku mulai bereaksi...

Aku bersyukur lega karena ini berlangsung cepat, aku langsung bergegas keluar begitu tante Tara melepas pelukannya dan aku memberi salam pamit sekali lagi. Jinan juga langsung mengekoriku.

***​

Setelah beberapa menit perjalanan, kami sampai di tempat makan itu. Sepanjang perjalanan tadi, tak ada sedikitpun percakapan diantara kami. Aku memilih berbicara begitu aku sampai disini. Entah Jinan. Sepertinya dia juga canggung untuk membuka pembicaraan, mungkin dia sudah tau tujuanku mengajaknya bertemu sebelum aku mengatakannya.

Kami memasuki tempat makan ini, dan memilih satu meja di bagian samping kanan. Terlihat seorang gadis yang duduk di kursi itu masih menyanyikan sebuah lagu dengan gitarnya di tengah panggung kecil. Ah iya, benar juga. Hari ini adalah jadwalnya penampilan musik akustik.

Singkat cerita, kami sudah memesan makanan dan minuman kami. Dan sekarang, aku masih mengatur nafas dan kata-kata untuk membuka pembicaraan. Lagu When You’re Gone dari Avril Lavigne yang dinyanyikan si musisi kidal itu malah semakin membuatku terbawa suasana.

“Hhh...” aku menghelakan nafas, dan dia sudah memandangku cemas. “Lo sebenernya udah tau kan soal Cindy?”

Mata Jinan jadi tidak fokus padaku, dan sekarang dia sedikit memalingkan wajahnya.

“Nan.”

“Hhh...” Jinan menyelipkan rambutnya ke telinga. “Iya... sebenernya, waktu KKN kemarin, Cindy ngehubungin gue malem malem.”

***​

“Heh. Maksud lo apaan?” Gue langsung keluar nyari sinyal dan nelpon Cindy yang tadi sempat ngirim pesan yang bener-bener bikin gue bingung.

“Aku... Hhh... aku, tunangan, kak.”

“...” Gue diem sejenak. Kabar itu bener-bener bikin gue tambah bingung. Juga, kaget. “Lu seriusan aja, Cin.”

“Ya masak bercanda sih kak Jinan.”

“Hhh... B-bentar. Cerita dulu kenapa bisa lo tunangan.”

Cindy cerita, waktu dia sampai di Purwokerto, dan tiba-tiba dikasih tau kalau dia dijodohin sama orang tuanya, dia yang sempet nolak dan dia malah dapat perlakuan kasar dari ayahnya, juga alasan masa depan dan juga karena orang tuanya itu sendiri.

“Aku udah enggak bisa apa-apa lagi, kak...hiks...”

“Hhh... Cindy...”

“Udah... pokoknya...hiks... jangan bilang kak Dimas. Aku cuma mau bilang itu ke kak Jinan.”

“Lu enggak bakal nyesel apa nantinya? Ini pasti bisa diselesaiin baik-baik kan?”

“Enggak bakal bisa kak...hiks... hhh... mau enggak mau, ini harus dipilih.”

***​

“Cindy mau gue rahasiain ini semua sampai KKN selesai. Dia mau lo fokus KKN dulu. Gue sebenernya juga pengen bilang sama lo waktu akhir-akhir KKN waktu itu... tapi... ya... jujur gue juga bingung harus ngapain, Dim...”

Aku menelan ludah mendengar semua itu dari Jinan. Jika seperti itu ceritanya, itu semua bukanlah kemauan Cindy. Dia dibawah tekanan, dia terpaksa melakukan ini. Dan juga, itu artinya sejak aku menghubunginya sewaktu KKN, semua kegembiraan yang dia ceritakan itu semua bohong... kan...?

“Terus... jangan bilang hari ini tadi lo sama Cind-“

“Iya. Dia bilang kita udahan,” aku menyedot setengah gelas es teh yang tadi sudah datang. “Dia juga ternyata udah ngemasin semua barangnya. Jadi dia bener-bener enggak di kontrakan lagi...” lanjutku.

“Hhh... yaampun...” Jinan menopang dahinya dengan telapak kanannya. “Gue juga enggak tau dia dimana sekarang... dia enggak bilang apapun soal pindahnya dia...”

“Yah... sebenernya semua yang pengen gue tau udah lo kasih. Soalnya sampe sekarang... Cindy gak bales chat gue. Gue mau minta penjelasan dari dia. Aya juga enggak bisa gue hubungin. Pucchi enggak tau apa-apa soal ini. Jadi ya... gue pikir tinggal lo yang tau soal Cindy.”

“Dim... hhh... gue... minta maaf ya...”

“Ngapain minta maaf? Udah enggak apa-apa, Nan.” Dia jadi ngerasa bersalah karena aku pisah sama Cindy, ya?

Sesaat setelahnya, nasi goreng pesananku dan mie rebus kornet milik Jinan tiba.

“Terus sekarang... lo mau gimana, Dim?”

“Yah... kayaknya kalau lo tanya dia dimana sekarang juga enggak bakal dijawab... Mungkin gue sama dia butuh waktu aja dulu. Kalau besok kita ketemu waktu kuliah, yaudah gue coba ngomong baik-baik sama dia.”

Jinan mengangguk setelah mendengar jawabanku sambil mengaduk pelan mie di mangkok itu.

“Tapi dia cuma bilang itu ya? dia ngasih pesen lo apa lagi?”

Jinan menggeleng. “Enggak... cuma bilang jangan bilang ke lo aja.”

“Oohh...”

Aku menghelakan nafas.

“Hahhh... yaudah... sekarang... santai aja dulu. Laper gue dari siang belum makan, hehe,” aku ambil satu sendok nasi goreng itu lalu meniupnya pelan.

“Ckh... dasar... hhe...” Jinan sedikit tersenyum, kemudian meniup beberapa helai mie yang sudah dia tangkap dengan garpu.

Sembari aku menikmati makananku, aku sesekali melirik kearah panggung kecil itu. Si gadis sedang menguncir rambutnya.

“Ah, ya, ini... boleh loh yang disini mau request lagu,” ucapnya melalui microphone sambil merapikan rambutnya. Kemudian dia mengambil sebotol air mineral dan meminum air itu.

Dan tanpa menunggu lama, aku bangkit dari tempatku dan berjalan agak mendekat kearahnya.

“Ah iya, mas?” ucapnya yang sadar aku mendekatinya.

High Hopes-nya Kodaline dong.” Ucapku sambil berhenti melangkah.

“Ah, Kodaline, oke oke, mas! bagus tuh lagunya.” Dia memberiku acungan jempol. Dan aku tersenyum lalu kembali ke tempatku.

“Kodaline... bentar aku cari liriknya dulu ya, hehe.” Ucapnya sambil mengetikkan jari-jarinya di layar smartphone yang ada di holder yang terhubung ke tiang mikrofon itu.

“Kenapa lagu itu?” tanya Jinan setelah aku kembali duduk.

“Ah, gapapa. Cuma lagi suka dengerin lagu itu aja. Hehe.”

Jinan menggeleng sambil tersenyum kecil, kemudian dia melahap lagi mienya yang bahkan aku lihat tidak berkurang sama sekali, dan saat aku mulai melahap lagi nasi gorengku, si gadis pemusik itu memulai memainkan lagu yang aku minta tadi.

***​

“Hadeehh...” aku menyandarkan punggung ke sofa. Hari ini juga aku tidak bertemu Cindy di kampus, walau aku sudah menitipkan pesan pada salah satu temannya, tetap saja aku jadi khawatir akan kabar Cindy.

“Dim, ini gue udah kabarin Aya sama Pucchi. Mereka juga bakal ngabarin kok kalau Cindy udah bales chat.” Jinan duduk disebelahku sambil masih mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Aku yang masih mengusap-usap dahi ini hanya mengangguk pelan padanya.

“Kenapa, Dim...?”

“Hhh... enggak apa-apa, Nan.”

“Udah... Dim...”

“Hh?! N-namphh...”

Tanpa ada peringatan sedikitpun, bibir lembut Jinan kini melumat pelan bibirku. Kedua tangan Jinan menahan kepalaku. Perlahan, dia memberiku rasa rileks saat aku juga membalas lumatan itu. Hangat, dan sedikit manis.

Namun ciuman ini berlangsung singkat karena aku menarik perlahan wajahku menjauh darinya, Jinan juga menghentikan sapuan bibirnya. Kami saling tatap, nafas berat kami sedikit terdengar. Aku tidak tau maksudnya melakukan ini. Aku jadi ingat dia nyaris menciumku saat KKN waktu itu, dan sekarang, apa dia melampiaskannya...?

“Rileks aja dulu, Dim... jangan terlalu dipikir...” Dia menyisir pelan poniku ke kanan dengan tangannya.

Aku tersenyum kecil padanya, kemudian, dia kembali mendekatkan wajahnya dan kamipun kembali saling melumat bibir. Aku tidak terburu-buru, aku nikmati tiap detik ini dengan lembutnya bibirnya itu. Jinan juga sepertinya sama, tidak memberikku gerakan agresif. Sesekali hidung kami bertemu, dan nafas berat kami terdengar saling memburu. Desahan-desahan halus Jinan adalah melodi yang indah di telingaku saat ini.

Detik demi detik berlalu, dagu kami mulai basah karena air liur kami yang tidak terbendung dan semakin agresifnya ciuman kami. Kedua lidah kami bertemu, liur kami berdua pun sudah bercampur. Kecupan-kecupan keras kami memecah keheningan di kontrakanku sore ini.

“Mmhahh...”

Aku dan Jinan sama-sama menarik wajah menyudahi ciuman ini. Mata sayu Jinan yang sudah lama sekali tidak dia perlihatkan padaku akhirnya sekarang kembali aku saksikan. Sekarang dia memberiku senyum nakal, kemudian perlahan tangannya meraih kancing celana jeansku. Aku hanya diam dan mempersilahkan Jinan membuka semua celanaku, hingga penisku yang sudah tegang itu keluar dari sarangnya. Aku merubah posisiku senyaman mungkin dengan membaringkan badanku di sofa dan kepalaku aku sandarkan di bantal ke tangan sofa empuk ini. Jinan sudah berpindah jongkok disamping sofa, dan sekarang dia sudah benar-benar melepas semua celanaku dan meletakkannya di lantai.

Kemudian sekarang, dia mulai mendekatkan tangannya...

“Mngghh...”

Tubuhku berdesir ketika lembutnya kulit tangan Jinan itu menggengam penisku. Dia tersenyum kecil sebelum menggerakkan pelan tangannya itu naik-turun. Setelah beberapa usapan, dia mengganti tangannya untuk mengocok batang penisku itu, kemudian tangan kanan yang ia gunakan tadi kini memijit-mijit testisku. Sentuhan-sentuhan dari Jinan itu, walau kocokannya agak tidak nyaman, namun itu sukses membuatku merem melek.

Jinan semakin membuatku keenakan saat dia mengusap-usap kepala penisku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih begerak naik-turun.

“Mmghhh...” Aku mendongak seiring kocokannya yang semakin cepat. Kakiku bergerak-gerak karena sedikit rasa perih namun juga nikmat yang aku dapatkan. Sesekali dia gabungkan kedua tangannya dan mengocok penisku berbarengan, dan itu adalah sensasi yang berbeda bagiku.

Setelah beberapa detik Jinan mengocok batang kemaluanku yang sekarang sudah mencapai ukuran maksimalnya itu, dia merapikan rambutnya sejenak dengan tangan kirinya. Kemudian perlahan dia membuka mulutnya, lalu dia melahap setengah penisku dan langsung melumurinya dengan liurnya yang hangat.

“Mmppghh...” Dia kembali membuatku mendongak dan merem melek ketika dia mengulum penisku bagai sebuah permen. Dengan mahirnya dia menggerakkan kepalanya naik turun, dengan bibir tipis seksinya, dia memastikan tak ada sedikitpun bagian dari batang penisku yang belum basah dengan ludahnya.

“Mmpgh... Hmmhh...” Jinan terdengar mendesah ditengah liarnya kuluman di penisku itu dan suara decak yang dihasilkan.

Dan setelah memastikan semua bagian sudah terlumuri, tangan kiri Jinan kembali menggengam batang penisku dan mengocoknya. Tentu itu semakin mudah dan halus karena basahnya air liur tadi.

Namun tidak hanya begitu saja, lidah Jinan kini menjilati kepala penisku, dan testisku kembali dimainkan dengan tangan kanannya. Aku menggelinjang karena rangsangan yang ia berikan sekaligus itu. Aku agak mengangkat pinggangku saat lidah Jinan bermain-main di lubang kencingku, itu benar-benar membuatku geli.

“Aarrghh... N-nanhhh... e-enakkh...”

Aku hanya pasrah dengan semua yang ia lakukan padaku. Tidak ada ucapan sedikitpun darinya, hanya suara decak dari mulutnya serta kocokan tangannya yang aku dengar. Aku lantas mendongak dan memejamkan mata. Menikmati semua ini dengan rileks.

Setelah beberapa menit Jinan bermain-main dengan tangannya, kini aku merasakan dia menghentikan semua rangsangannya. Sepertinya tangannya itu kelelahan karena aku yang tidak lekas orgasme.

Lantas aku membuka mata, namun ternyata dia bersiap melahap lagi batang penisku.

“Ngghh...”

Dia membenamkan nyaris seluruh batang penisku kedalam hangat mulutnya. Desir di seluruh tubuhku semakin menjalar ketika dia perlahan mendorong kepalanya, memasukkan batang penisku yang tersisa sebisanya ia lahap ke mulutnya, kemudian dia biarkan mulutnya itu penuh dengan penisku.

Sial.

Jinan menahannya cukup lama, dan itu membuatku menyerah pada akhirnya. Aliran sperma mulai memuncak saat Jinan masih memberiku deepthroat itu.

“Eerrgghh... Nan, gue keluarrr...”

Jinan agak mengangkat kepalanya, dan kemudian.

Crot.

Crot.

Crot.


Aku semburkan semua spermaku kedalam mulut Jinan yang masih menyelubungi penisku. Aku nikmati orgasmeku ini sambil merilekskan tubuhku. Jinan terlihat langsung menelan semua sperma yang sudah tertampung di mulutnya, kemudian dengan lidahnya, dia bersihkan sisa-sisa sperma yang masih menempel di batang penisku sampai kepala penisku yang memerah itu.

“Hhh... banyak banget, Dim,” ucapnya sambil mengelap mulutnya dengan tangan kanannya.

“Hhh... ya... ini gue simpen dari KKN kemarin...hhh....”

“Anjing, pantes...”

Kemudian disaat aku mengatur nafas dan beristirahat, Jinan melepas kaos yang ia kenakan, memperlihatkan dua gundukan yang pas digenggam mengintip dari balik bra warna hitam yang ia kenakan. Mataku membulat, sudah lama sekali aku tidak melihat payudara Jinan itu, masih terlihat indah walau masih tertutup bra. Tak berhenti disitu, sekarang Jinan berdiri, lalu melepas celana jeansnya, menyisakan celana dalam yang berwarna senada dengan branya.

Aku berbinar. Tidak aku sangka mata ini menangkap pemandangan indah. Jinan bahkan belum telanjang sepenuhnya, namun lekuk tubuhnya itu sudah membuat nafsuku naik. Pusarnya yang menggoda di perutnya yang datar, kedua pahanya yang terilihat semakin montok, juga kulit putih mulusnya yang menggoda untuk dibelai. Ah ya ampun... ini hanya pikiranku... atau Jinan memang semakin seksi sekarang?

Aku yang sudah tidak tahan lagi dengan tatapan sayu yang ia berikan itu langsung bangkit berdiri, kemudian menyambar kembali bibir tipis seksinya itu sembari membimbing badannya menuju dinding. Kedua tanganku langsung mengincar pantatnya yang lumayan sekal. Sembari berjalan, kedua tanganku itu meremas-remas pelan kedua bongkahan itu. Jinan yang tampaknya pasrah hanya menuruti tubuhku hingga kini punggungnya menempel ke dinding. Sambil terus berciuman, kedua tanganku yang tadi nakal meremas pantatnya, kini berganti ke dua gundukan lainnya.

“Hngmhh... Mmphh...”

Jinan terdengar mendesah saat dua payudaranya yang masih terbungkus bra ini aku remas-remas pelan. Puas dengan bibirnya, wajahku menelusur leher jenjangnya. Dengan lidahku, aku menjilati lehernya sambil membuang nafas hangatku disana. Aku pun hirup wangi rambutnya juga bau badannya darisana untuk menaikkan gairahku.

“Shh.. aahh...” Jinan mendesis ketika aku kembali naik menuju telinganya. Aku gigit pelan daun telinganya dan aku tiup-tiup bagian belakang telinga itu. Sementara, kedua tanganku kini sibuk membuka kancing branya. Jinan yang tau sepertinya aku agak kesulitan membantu dengan agak mendorong tubuhnya dan membukakan kancing dengan kedua tangannya. Selepas kancing itu, aku tarik tali bra itu hingga pembungkus payudara itu aku biarkan jatuh ke lantai, dan terlihatlah dua payudara bulat Jinan yang pas digenggam itu, dengan putingnya yang kini terlihat mencuat. Namun aku tidak cepat-cepat bermain dengan mereka. Kini aku mengangat kedua tangan Jinan, lalu menahannya dengan tangan kiriku, hingga ketiak putih Jinan yang mulus tecukur itu terekspos.

Aku mulai dengan ketiak kanannya. Wajahku aku benamkan kesana, aku hirup kuat-kuat aroma ketiak itu. Sesekali aku menggeleng-gelengkan wajah hingga Jinan menggelinjang. Lidahku menyapu bagian itu hingga dia semakin bergerak kegelian dan mendesah sedikit bercampur tawa. Kedua tangannya yang mencoba meloloskan diri semakin erat kutekan ke dinding.

“Akhah... J-jangan dijilatinhh... mmphffhh.... geliii..!”

Namun dengan ia memohon seperti itu, aku malah jadi melanjutkannya ke ketiaknya yang satunya. Aku mengulang apa yang aku lakukan disana. Gelinjang Jinan semakin menjadi dan dia tidak bisa menahan tawanya saat aku menjilati lagi ketiaknya.

Puas dengan ketiaknya yang menggoda dan membuat nafasnya terengah, aku lantas melahap payudara kanannya, sementara tangan kananku meremas bagian kirinya, dan tangan kiriku meraba-raba halusnya kulit paha Jinan. Kedua tangannya mengalung di punggungku.

Daging bulat agak padat itu aku hisap kuat-kuat, jari-jari tanganku tidak bisa diam meremas payudaranya dan sesekali mencubit putingnya yang sudah mengeras. Desahan manja Jinan kembali terdengar karena rangsangan yang aku berikan ke tubuhnya. Setiap kali aku menghisap payudaranya, kedua tangannya agak menekan tubuhku, seolah menyuruhku untuk terus mengisapnya.

Mulutku bergantian mengisap puting mungil yang menggemaskan itu, sesekali juga aku gigit kecil dan menariknya hingga Jinan agak tersentak kesakitan.

“Aakkhh! Jangan digigit, njing! Akhh...”

Aku hanya terkekeh kecil mendengarnya merintih kesakitan itu.

Merasa puas dengan payudaranya, kini saatnya aku bermain di wahana selanjutnya. Aku meninggalkan dadanya, kemudian berjongkok. Kedua tanganku meraih celana dalam itu dan karena sudah tidak sabar, cepat aku turunkan. Mataku kembali membulat, selangkangan Jinan dengan rambut-rambut halus yang tidak lebat menghiasi vaginanya adalah satu lagi pemandangan yang membuatku sangat bergairah.

Tanpa aba-aba, aku membenamkan wajahku ke alat vitalnya itu, aroma wangi disana aku hirup kuat-kuat hingga memenuhi rongga pernafasanku. Jinan benar-benar menjaga daerah kewanitaannya ini. Jinan yang sepertinya agak gusar dengan wajahku yang bersentuhan dengan vaginanya itu lantas bergerak-gerak dan agak melebarkan selangkangannya. Kedua tangannya yang kini menggenggam pundakku agak sedikit mencengkeram.

Aku menarik wajahku, lalu memandang keatas. Jinan menggigit bibir bawahnya dengan mata sayunya yang semakin terlihat menggoda. Aku hanya tersenyum, kemudian melanjutkan rangsanganku dengan membuka bibir vaginanya. Warna kemerahmudaan itu semakin membuatku berbinar, keindahannya tidak berubah dari terakhir kali aku melihatnya.

Sayang untuk lama dianggurkan, aku julurkan lidahku, lalu menjilati tiap-tiap bagian vagina cantiknya itu.

“Aakkhh... D-Dimmhh...”

Slrrppp

Sllrrrppp


Bibirku juga tidak mau melewatkan vagina itu.

Jinan agak menundukkan badannya, lidahku kini menyentuh klitorisnya. Kemudian aku bermain-main dengan klitorisnya itu. Lidahku menyapu pelan bagian sensitif itu, sesekali aku masuk lagi kedalam lubang hangatnya dan kembali lagi membelai klitorisnya.

“E-enakkhh Diiimmhhh... Ooohhh...”

Desahannya semakin menjadi ketika aku sedot kuat-kuat vaginanya itu bagai sebuah penyedot debu. Kedua tangannya semakin mencengkeram kuat punggungku dan jujur itu membuatku agak merasa sakit, namun itu tidak sebanding dengan kenikmatan yang aku rasakan lebih besar. Aku selingi sedotanku dengan memasukkan lidahku agak dalam lagi dan menggerak-gerakkannya asal disana, Pahanya terasa bergetar hebat sehingga aku langsung menopangnya dengan kedua tanganku, kemudian tak lama setelahnya,

“Kyaahh..! D-Diimmh! Gue keluaarrr...!!”

Jinan mendapatkan orgasmenya.

Aku yang masih ada didepan vaginanya otomatis terkena semburan cairan cintanya itu. Tanpa ragu aku hisap dan telan semuanya. Setelah kurasa cukup, aku menarik tubuhku, dan Jinan yang lemas itu perlahan merosot dan terduduk menikmati sisa orgasmenya. Wajahnya yang berantakan setelah mencapai puncak itu benar-benar membuatku puas. Nafasnya sengal, mulutnya agak terbuka dan gigi kelincinya itu sedikit terlihat.

Aku bangkit berdiri, begitu juga dengan penisku yang kini sudah bangkit tegang maksimal lagi. Kemudian aku mencari sesuatu, tentu aku tidak akan lupa hal yang selalu aku lakukan jika sudah seperti ini, dan mataku menangkap segulung lakban hitam diatas meja televisi. Setelah melepas kaosku karena gerah, aku meraih lakban itu. Lalu cepat aku menghampiri Jinan yang masih mengatur nafas itu, kedua tangannya aku tangkap dan aku tarik kebelakang.

Sret.

Sret.


Aku mengikat kedua tangannya menjadi satu dengan lakban yang aku putarkan tiga kali. Kemudian aku meraih celana dalamnya, menyumpalkannya lalu melakban mulutnya denga tiga lapis lakban itu agar sumpalan itu sulit keluar dari mulutnya. Jinan tidak melakukan perlawanan sama sekali hingga aku membaringkan tubuhnya ke lantai ini. Wajah memelas ia berikan padaku dan itu semakin membuat nafsuku naik lagi.

Merasa masih ada yang kurang, aku kemudian meraih kacamata Jinan yang ada di meja depan sofa, kemudian mengenakannya pada Jinan. Sempurna. Jinan terlihat tambah seksi sekarang dengan adanya kacamata itu.

“Mmpgh... Hmmphh...” Jinan sedikit menggeliat, mencoba melepaskan ikatan di tangannya.

Segulung lakban itu kembali aku ambil, sekarang aku melipat kaki Jinan, kemudian memutarkan lakban diatas mata kakinya sehingga menempel ke pahanya, aku juga memutar lakban dibawah lututnya sehingga kakinya benar-benar mengunci di posisi itu. Jinan terlihat cemas ketika aku selesai mengikat kedua kakinya itu. Dengan mudahnya aku membuka selangkangannya lebar-lebar. Aku kini memposisikan diri duduk. Lalu dengan jari-jari tanganku, aku buka lagi bibir vaginanya.

“Mmpphh...” Jinan semakin risau dengan menggerak-gerakkan kedua kakinya itu. Aku tersenyum nakal, kemudian perlahan, aku masukkan jari tengah kananku kedalam lubang vaginanya. Babak selanjutnya dimulai.

Desahan-desahan halus Jinan kembali terdengar dari balik mulutnya yang tersumpal itu, aku yang memaju-mundurkan jariku pelan itu juga mengocok penisku yang mengacung tegang meminta untuk diusap. Karena sudah basah, aku jadi mudah menggerakkan jariku itu disana.

Ekspresi Jinan yang pasrah karena diikat ini memang terbaik. Apalagi dengan adanya kacamata itu. Kecantikan alaminya jadi bertambah. Aku juga lebih suka melihatnya memakai kacamata daripada tidak karena ia menggunakan lensa kontak, dan beruntung kali ini dia memakai kacamata.

Aku menambah satu jari lagi disana, kini jari telunjuk dan tengahku menusuk-nusuk lubang hangat itu secara perlahan juga. Lenguhan lembut Jinan kembali terdengar karena sensasi berbeda yang ia dapatkan. Sesekali ia bergerak berusaha melepaskan ikatan lakban di kaki dan tangannya itu. Aku tau dia menikmati situasi seperti ini.

Mulai bosan dengan permainan lambat ini, aku mempercepat tusukan dua jariku di vagina Jinan.

“Mmpgh..! Hmmffph!!”

Ia sempat tersentak, kemudian erangan kasar penuh kenikmatan ia hasilkan karena jari-jariku yang membobardir liang kewanitaannya itu. Tubuh Jinan yang mendapatkan sensasi yang berbeda lagi itu bergetar. Jinan menggeleng-gelengkan kepala sehingga rambutnya berantakan dan sedikit menutupi wajahnya. Aku jadi ikut berdesir melihatnya seperti ini, aku juga sedikit mempercepat kocokanku.

Beberapa menit berlalu dan aku memperlambat gerakanku di vaginanya, aku biarkan dia agak bernafas lega. Erangan kasarnya turut mereda seiring aku yang perlahan berhenti dan mencabut dua jariku. Jinan yang tampaknya kelelahan dengan kakinya kini merubah posisi tidurnya kesamping dan mengatupkan pahanya. Nafasnya kembali terengah.

Namun belum saatnya istirahat, Jinan.

Aku kembali membuka lebar-lebar selangkangannya, lenguhan-lenguhan itu pun kembali terdengar karena dia tau permainanku belum selesai. Kembali aku membuka bibir vaginanya, dan sekarang dua jariku memainkan klirotisnya. Aku putar-putar perlahan, kemudian aku usap-usap halus. Dan itu cukup membuat Jinan mendongak dan melenguh lebih seksi lagi.

Kedua kakinya bergetar hebat karena permainan jari-jariku itu, tubuhnya juga semakin menggelinjang hebat. Aliran spermaku akhirnya hampir sampai di puncaknya karena tidak tahan dengan seksinya Jinan saat ini. Getaran di kakinya semakin kuat, dada Jinan terlihat naik turun, erangan Jinan juga semakin kasar. Sepertinya dia juga akan orgasme.

“Mmpghh...!! Dmmpgh...!!!”

Jinan menyemburkan cairan cinta keduanya dan langsung membasahi lantai dibawahnya. Sementara aku langsung bergerak mendekati wajahnya, dan mengarahkan penisku ke wajah Jinan. Rambut yang menghalangi wajahnya aku sibakkan.

Crot.

Crot.

Crot.


Aku menembakkan spermaku tepat ke wajahnya. Cairan itu mengenai kacamatanya, dahi dan juga beberapa helai rambutnya juga terkena spermaku. Jinan yang masih menikmati sisa orgasmenya itu merubah posisi tidurnya seperti tadi. Sekarang aku biarkan dia benar-benar istirahat dan mengatur nafasnya yang terengah. Rambutnya jatuh dan kembali membuat wajahnya tertutup. Aku merapikan lagi rambutnya, kemudian melepas lakban dan mengeluarkan celana dalam Jinan yang menyumpal mulutnya. Untaian air liur terbentuk disana. Celana dalamnya juga jadi sangat basah dengan ludahnya.

“Hhh... anjing ya lu, Dimh... kotor kacamata guee...”

“Hhh... ya kan tinggal dilap tisu, hehehe...”

“Udah lepasin kaki gue anjingg... pegellhh...” mohonnya padaku sambil menggerak-gerakkan kakinya yang masih terikat lakban itu. Kemudian aku mengambil gunting dan kugunakan untuk memotong lakban itu.

“A-akh! Sakiiit!”

Rintihnya perih saat aku menarik lakban yang merekat cukup erat ke kulitnya, dan itu menyisakan sedikit warna kemerahan di pahanya. Selanjutnya aku memotong lakban di tangannya, dan dia melepas sisa lakban itu sendiri.

Aku menyandarkan punggung ke dinding dengan posisi terduduk. Jinan juga sudah tidak terbaring lagi dilantai, mataku melihat punggung putihnya yang indah, belahan pantatnya juga bisa terlihat dari sini.

“Hhh... Nan.”

Dia menoleh, dan aku melihatnya sedang menjilati spermaku yang tadi menempel di kacamatanya.

“Kenapa?”

“Ah... enggak... makasih ya...”

Jinan tidak menjawab, hanya memberiku senyuman kecil, lalu bangkit berdiri menuju kamar mandi dengan membawa semua pakaiannya.

gWBNI8id_t.jpg
YgtRf3WE_t.jpg


***​

Ini sudah hari ketiga sejak aku hilang kontak dengan Cindy. Hari ini pun dia tidak masuk kuliah, beberapa teman sekelasnya tidak tau dia dimana karena memang dia tidak berkabar. Barusan aku dan Jinan menghampiri kos tempatnya singgah, aku dapat info dari salah satu temannya kalau Cindy sudah pindah kesana sekitar dua minggu yang lalu. Namun dia juga tidak ada disana. Aya dan Pucchi juga tidak banyak membantu.

Ditengah kebingunganku dan Jinan yang saat ini duduk di sampingku, ada panggilan masuk dari Cindy. Aku yang sudah banyak sekali pikiran itu langsung mengangkatnya dengan perasaan gembira.

“H-halo, gembul? Mbul ak-”

“Halo, Dimas?” namun bukan suara Cindy yang ada disana, dari suaranya, sepertinya ini kak Ve.

“H-halo? I-iya ini Dimas.”

Jinan terlihat begitu memperhatikanku. Ingin tau apa yang akan aku bicarakan.

“Dim. Ini Ve. Kamu dimana sekarang?”

“Ini di kontrakan kak, gimana ya?” entah mengapa jantungku berdegub cepat.

“Gini... sekarang kamu bisa keluar enggak? Maksudku keluar Jakarta?”

“Kemana kak?” aku menatap Jinan. Jujur, aku mulai cemas.

“Ke Purwokerto.”

Aku terdiam sejenak. Jantungku semakin berdegub cepat. Hangat tubuhku serasa pergi.

“Halo?”

“H-halo, iya maaf kak... Emm... Ada apa ya?”

“Pokoknya ini soal Cindy. Kamu harus ada.”





To be Continued...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd