Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Kak Ve, yang masih membisu, perlahan membelokkan mobilnya ke kiri, menuju sebuah kompleks rumah sakit yang cukup besar. Aku menelan ludah. Kekhawatiranku malah semakin menjadi jika ini adalah tempat pemberhentian kami.

“Mbak, kita bener kesini...?”

Perempuan disampingku ini, lantas mengangguk.

“Hah...? Cindy... Cindy sakit? Dia enggak apa-apa kan, mbak?”

“Hhh... ya... aku enggak bisa bilang dia baik-baik aja...”

***

Dia membimbing kami sampai pada kamar nomor 7. Kaca pintu yang buram dan korden yang menutup jedenla membuatku tidak bisa langsung melihatnya. Namun setelah pintu itu dibuka, dan aku perlahan melangkahkan kaki masuk, sekilas aku memandang seorang wanita memakai kerudung yang aku yakin adalah ibu Cindy dan kak Ve, yang juga langsung menatap kearah kami. Kemudian, kedua mata ini akhirnya bisa melihat Cindy...
 
Kak Ve, yang masih membisu, perlahan membelokkan mobilnya ke kiri, menuju sebuah kompleks rumah sakit yang cukup besar. Aku menelan ludah. Kekhawatiranku malah semakin menjadi jika ini adalah tempat pemberhentian kami.

“Mbak, kita bener kesini...?”

Perempuan disampingku ini, lantas mengangguk.

“Hah...? Cindy... Cindy sakit? Dia enggak apa-apa kan, mbak?”

“Hhh... ya... aku enggak bisa bilang dia baik-baik aja...”

***

Dia membimbing kami sampai pada kamar nomor 7. Kaca pintu yang buram dan korden yang menutup jedenla membuatku tidak bisa langsung melihatnya. Namun setelah pintu itu dibuka, dan aku perlahan melangkahkan kaki masuk, sekilas aku memandang seorang wanita memakai kerudung yang aku yakin adalah ibu Cindy dan kak Ve, yang juga langsung menatap kearah kami. Kemudian, kedua mata ini akhirnya bisa melihat Cindy...
nih dia..yg di tunggu"
 
Kak Ve, yang masih membisu, perlahan membelokkan mobilnya ke kiri, menuju sebuah kompleks rumah sakit yang cukup besar. Aku menelan ludah. Kekhawatiranku malah semakin menjadi jika ini adalah tempat pemberhentian kami.

“Mbak, kita bener kesini...?”

Perempuan disampingku ini, lantas mengangguk.

“Hah...? Cindy... Cindy sakit? Dia enggak apa-apa kan, mbak?”

“Hhh... ya... aku enggak bisa bilang dia baik-baik aja...”

***

Dia membimbing kami sampai pada kamar nomor 7. Kaca pintu yang buram dan korden yang menutup jedenla membuatku tidak bisa langsung melihatnya. Namun setelah pintu itu dibuka, dan aku perlahan melangkahkan kaki masuk, sekilas aku memandang seorang wanita memakai kerudung yang aku yakin adalah ibu Cindy dan kak Ve, yang juga langsung menatap kearah kami. Kemudian, kedua mata ini akhirnya bisa melihat Cindy...
Takooottt mau update part 7 :((
Waduuuhh... Kenapa nih?
Ya udah, mbul sama Brian aja ya..
Brian yang kak Bii tapi,.. Kak Bii baik kok
 
Part 7



Purwokerto, jam 3 sore.



“M-mbak, Cindy... Cindy enggak apa-apa kan?“

Aku kembali menanyakan secara langsung pertanyaan ini padanya. Sejak tadi di bandara hingga masuk kedalam mobil ini, dia tidak menjawab dan seakan menghindari petanyaanku mengenai keadaan Cindy. Sekarang pun sama, kakak Cindy ini hanya diam dan fokus menyetir dengan kecepatan sedang.

Aku menoleh kearah Jinan, dia sama cemasnya denganku. Tidak ada satupun dari kami yang memiliki petunjuk mengenai ini. Kami yang belum pernah ke kota ini sebelumnya tidak tahu juga akan dibawa kemana oleh kak Ve. Yang jelas, katanya ini mengenai Cindy, dan aku harus ada di kota ini untuk mengetahuinya.

Kak Ve, yang masih membisu, perlahan membelokkan mobilnya ke kiri, menuju sebuah kompleks rumah sakit yang cukup besar. Aku menelan ludah. Kekhawatiranku malah semakin menjadi jika ini adalah tempat pemberhentian kami.

“Mbak, kita bener kesini...?”

Perempuan disampingku ini, lantas mengangguk.

“Hah...? Cindy... Cindy sakit? Dia enggak apa-apa kan, mbak?”

“Hhh... ya... aku enggak bisa bilang dia baik-baik aja...”

Aku terdiam sejenak.

“M-mbak. Udah... cukup. Tolong banget, jelasin semuanya. Cindy, kenapa. Kalau kayak gini terus akunya yang kepikiran kemana-mana.”

Kecemasan yang sudah menyelimutiku ini memaksaku untuk segera meredakannya. Jinan menggeser sedikit posisi duduknya di belakang dan mengusap-usap pelan pundakku.

“Hhh... oke, oke. Maaf... aku cuma, bingung mau cerita darimana.”

Mataku terus menatap penuh harap padanya. Jinan masih berusaha membuatku tenang dengan usapan tangannya.

“Jadi... kemarin, Cindy kecelakaan sama tunangannya...”

Jinan menahan nafas dan menarik tangannya dari pundakku, ia gunakan untuk menutupi mulutnya. Sementara aku yang mendengar pembuka cerita itu juga menahan nafas dan membuka sedikit mulutku. Badanku terasa dingin karena malah memikirkan kemungkinan paling buruk saat ini.

“Kecelakaan... dimana...? Terus sekarang... dia-”

“Di dekat villa tunangannya. Mereka berdua selamat, walau banyak luka-luka. Cindy sih yang agak parah. Dia sempet kritis, tapi tadi kondisi terakhir udah membaik...” Perlahan kak Ve memarkirkan mobil ini. Sementara aku masih terdiam karena mendengar kabar pilu ini.

“Nah, terus Dim...” kak Ve masih melanjutkan ceritanya, dan mesin mobil ia matikan. “Hhh... ini juga...emm...”

“A-apa, mbak...?” kataku sedikit berat.

Kak Ve mengusap mukanya, dan terlihat, matanya berkaca-kaca.

“Waktu kecelakaan, Cindy lagi hamil.”

“H-hah...?”

“Karena bagian perut Cindy kebentur, entah kena apa karena sampai ada pendarahan. Kandungannya, yang umurnya baru sekitar dua minggu... enggak bisa selamat.” lanjutnya tanpa memberiku dan Jinan waktu untuk bernafas.

Sontak, dadaku serasa tertusuk. Aku tidak tau lagi harus berkata apa. Tatapanku kosong, tidak bisa berpikir apapun saat ini. Kabar buruk datang bertubi-tubi dan aku terima langsung.

“Mbak... enggak bercanda kan...?” Tanyaku yang masih berkhayal kalau semua ucapannya tadi hanyalah bualan.

“Dim, ini serius...”

Mataku dan kak Ve saling menatap dalam untuk beberapa saat. Kemudian kak Ve yang lebih dulu mengalihkan pandangannya untuk sekali lagi mengusap wajahnya itu dengan telapak tangan. Aku menoleh kearah Jinan yang masih meletakkan telapak tangannya di bahuku, yang sekarang agak ia cengkeram. Sebutir air mata terlihat jatuh melewati pipinya, dan langsung ia usap dengan jari telunjuknya. Giliran aku yang mencoba membuatnya tenang dengan mengusap bahunya dengan tangan kananku.

“Tapi... siapa yang buat dia h-“

“Aku belum bisa jawab, Dim... maaf... belum tau pasti...”

“T-tapi aku... bisa ketemu Cindy kan, mbak...?”

Kak Ve mengangguk. “Harus,” dengan jemari kirinya, kak Ve melepas kunci seat belt miliknya. “...Tapi Dim... ini kita harus ngobrol di dalem dulu.” Lanjutnya sambil membuka pintu. “Hhh... dan aku minta tolong... tahan emosi kamu ya...”

***​

Kami sampai di area kamar-kamar VIP yang berada di lantai 2, suasana cenderung sepi karena sedikit yang sudah menempati kamar-kamar itu. Dingin, bukan hanya karena angin yang berhembus, tapi juga diriku yang sejak tadi terus meratapi kondisi Cindy dari cerita kak Ve. Jinan sejak tadi terus menggenggam tanganku dan sesekali mengusap punggungku. Satu hal yang saat ini benar-benar ingin aku ketahui jawabannya, siapa yang membuat dia hamil.

Kak Ve yang kami ekori, akhirnya memperlambat langkahnya di sebuah tempat tunggu. Disana hanya ada satu orang pria dewasa yang duduk di sebuah kursi panjang dan sekarang menatap kearah kami bertiga. Beberapa rambutnya mulai bewarna putih, kumisnya tidak terlalu tebal dan dagunya bersih. Wajahnya terlihat familiar karena Cindy pernah menunjukkan fotonya padaku. Ya, dia adalah om Anto, ayah Cindy dan kak Ve. Suasana hatinya terpancar dari sendu wajahnya. Wajar karena putrinya mengalami musibah yang berat.

Seiring kami mendekat, om Anto perlahan berdiri, lalu mengulurkan tangannya padaku. Aku yang bersalaman dengannya reflek memeluk pria yang sedikit lebih tinggi dariku ini.

“Turut prihatin, pak...”

“Iya, mas... makasih...”

Setelah aku melepas pelukan, giliran Jinan yang bersalaman dan menempelkan tangan om Anto ke dahinya.

“Saya Jinan, om. Temennya Cindy sama Dimas.”

“Oh, ya ya... Emm... bentar, duduk dulu, ya.”

Om Anto mempersilahkan kami duduk di sebelahnya di kursi panjang berbahan kayu ini. Aku dan Jinan pun langsung melangkah dan memposisikan diri duduk. Sementara kak Ve, mendekati ayahnya itu lalu membisikkan sesuatu padanya sembari menghalangi mulutnya dengan tangan kirinya. Setelah beberapa saat, pria yang juga sudah duduk itu mengangguk sembari mengela nafas. Kak Ve bangkit berdiri lalu melangkah pergi entah kemana. Aku tidak sempat memperhatikannya karena langsung diajak bicara oleh ayahnya.

“Hhh... ya... gini... ehm. Langsung aja ya, mas, mbak...” Sekali lagi, dia mengela nafas singkat. “Ve udah ngasih tau ya gimana Cindy, terus apa-apa aja yang udah kejadian?” lanjutnya dengan suara agak berat.

Aku dan Jinan kompak mengangguk.

“Ini, saya cerita lengkapnya, ya... Saya dapet dari Brian sendiri, tunangannya Cindy.” om Anto menepakkan tangannya di bahu kiriku. “Yang bikin Cindy hamil... Calon menantu saya sendiri... ya si Brian itu...”

Aku membuka mulut. Mataku membulat. Dadaku yang tadinya mulai agak lega sekarang kembali sesak dan panas. Mataku sekarang tidak lagi fokus memandang om Anto, aku secara acak memandang berbagai titik. Jinan langsung mengenggam tangan kananku yang sekarang aku kepalkan karena emosi.

“Soalnya kalau lihat dari usia kandungan... sekitar itu memang Cindy baru keluar sama Brian...” lanjut om Anto.

”Sabar, Dim...” bisiknya halus padaku yang kini menghela nafas singkat.

“Hhh... saya itu... ngerasa gagal jadi orang tua, mas. Cindy itu memang saya yang jodohkan dengan Brian. Dia anaknya temen saya. Sempet saya sama dia itu marah-marahan, dia enggak terima saya jodohkan. Tapi ya... karena saya yang egois, mikir kalo misal kakaknya dia, si Ve, dijodohin hidupnya enak, pasti ini dia juga bakal ngerasain yang sama, soalnya jodohnya sama-sama pengusaha...” om Anto merubah posisi duduknya. “Tapi setelah itu, Cindy malah berubah. Dia jadi tambah tertutup sama keluarganya sendiri. Enggak pernah cerita kalau ada masalah, ada apa-apa, dia itu tiap hari di kamaaar terus... Sampai ya ini... dia kena musibah kayak begini...” sambung cerita om Anto. “Saya merasa udah milih keputusan yang salah buat anak saya, mas...” Ucapnya penuh sesal.

“Hhh... t-tapi, mereka masih tunangan kan, p-”

“Enggak. Begitu tau dia ngelakuin hal semacam itu, saya langsung batalin pertunangannya. Kasihan anak saya kalau terus sama dia nantinya... Saya juga enggak mau punya menantu brengsek kayak dia itu.” Jawabnya tegas.

Aku menggulung bibir, lalu merespon jawabannya dengan anggukan kecil.

“Nah... mas Dimas...”

Kembali om Anto menepuk bahuku, dan itu membuatku menoleh kearahnya.

“Maaf, tapi... saya bisa minta tolong?”

Nggih, pak...?”

“Kata dokter, Cindy sekarang butuh sekali dukungan buat cepet pulih. Kamu salah satunya orang yang pasti Cindy sayang banget. Ve yang bilang ke saya untuk datengin kamu buat Cindy. Dia sempet cerita gimana kalian ketemu terakhir kali... dan Ve juga pernah diceritain Cindy gimana baiknya kamu ke anak saya itu...”

Aku kembali mengangguk dan menghela nafas singkat.

“Soalnya gini, mas Dimas, mbak Jinan... karena kecelakaan kemarin, enggak cuma kandungannya...” Om Anto sedikit memajukan kepalanya.”Tapi untuk antisipasi kemungkinan buruk lainnya, karena memang terlambat penanganannya... Rahim Cindy terpaksa harus diangkat juga...” Katanya pelan dan lirih.

Aku dan Jinan sontak terkesiap. Ini adalah kabar yang benar-benar membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku membenamkan wajah ke kedua telapak tanganku. Tubuhku yang lemas karena mendengar keadaan Cindy yang sebenarnya kini diselimuti kemarahan dan kesedihan. Tidak bisa aku bayangkan betapa remuknya mental Cindy saat ini. Dikhianati, dipojokkan, dan direndahkan...

Cindy... tidak bisa punya anak...

“Cindy... tapi udah tau soal pengangkatan rahimnya, om...?” tanya Jinan lirih. Terdengar isak tangisnya di telingaku.

“Iya... dia udah tau. Masih sering ngeluh nyeri di perut-“

Brakk!

Tanpa sadar, aku meluapkan emosiku dengan menggebrak meja kayu yang ada dihadapanku.

“Dimas!” Jinan yang terkejut itu langsung menahan tanganku agar tidak lagi menghantam meja itu dan membuat kegaduhan. “Sabar, Dim... sabar.”

Tak henti-hentinya Jinan berusaha meredam emosiku dan membuatku rileks dengan usapan tangannya di punggungku. Aku menyeka air mata yang sempat jatuh. Perasaan hatiku memaksa mereka untuk keluar. Sungguh, jika aku bertemu dengan si Brian itu, akan kupastikan wajahnya babak belur. Masa depan Cindy sudah ia hancurkan.

Beberapa saat kami diam tanpa ada satu kata yang terucap. Sedikit demi sedikit, aku kembali menguasai emosiku dan menenangkan diri.

“Pak... saya janji, bakal jaga Cindy setelah ini, enggak akan bikin dia kecewa. Juga... hhh... saya mohon ijin, buat jadi... pacarnya, lagi, pak. Saya terima dia apa adanya.” Ucapku tanpa ragu.

“Hhh... Ya mas... kalau memang kamu udah bilang begitu, laki-laki harus bisa nepati janjinya. Saya titip anak saya, ya... Jangan bikin dia kecewa. Dan kalau memang Cindy milih kamu buat selamanya jadi pendampingnya... Bapak, juga ibu, pasti merestui, mas.”

Nggih, pak... siap... matur nuwun...

Om Anto langsung memelukku erat dan aku balas dengan pelukan yang tak kalah erat. Kepercayaan yang sudah ia berikan ini tidak akan aku ingkari. Bahkan kenyataan kalau Cindy tidak bisa mengandung ini tidak membuatku ragu untuk menjalani hidup dengannya selamanya.

“Pokoknya, buat Cindy seneng ya, mas...”

Nggih, pak...”

Ya... mulai sekarang, sepertinya akan menjadi lembar baru yang akan kami lewati. Mungkin hari-hari selanjutnya akan terasa agak berat karena Cindy sepertinya harus melawan trauma karena kejadian ini, dan aku yakin, akan lebih lama daripada saat pemerkosaan waktu itu...

Setelah beberapa saat menenangkan suasana, om Anto mengajak kami untuk bertemu dengan Cindy. Dia membimbing kami sampai pada kamar nomor 7. Kaca pintu yang buram dan korden yang menutup jendela membuatku tidak bisa langsung melihatnya. Namun setelah pintu itu dibuka, dan aku perlahan melangkahkan kaki masuk ke kamar ber-AC itu, sekilas aku menatap seorang wanita memakai kerudung yang aku yakin adalah ibu Cindy dan kak Ve, yang juga langsung menatap kearah kami. Kemudian, kedua mata ini akhirnya bisa melihat Cindy yang masih terbaring lemas. Kaki kirinya terbalut gips, perban melilit dahinya. Terlihat juga tangan kirinya digips dan tangan kanannya menjadi tempat saluran infus disana. Hatiku menangis, benar kata kak Ve, keadaannya ini jelas jauh dari kata baik-baik saja.

“K-kak...”

Terdengar suaranya parau, matanya membulat dan terlihat berkaca-kaca dan semakin jelas seiring aku melangkah mendekatinya setelah aku bersalaman dengan ibunya. Mulutnya terbuka sedikit. Dia terpaku menatapku tidak percaya.

“Cindy...” Aku agak merendahkan tubuhku, kemudian menggenggam jemari tangan kirinya dengan penuh kehangatan. Mata kami bertemu, luapan kesedihan terpancar jelas dari kedua bola mata bulat itu. Tak lama, Dia merangkul lalu mendorong tubuhku dengan tenaga yang sangat lemah. Aku yang tahu apa yang ia inginkan kemudian mendekatkan lagi tubuhku padanya. Dia mendorong lagi kepalaku hingga pipi kami bertemu.

“Kak Dimaaaassss... Huuaaaa.”

Cindy menangis sejadi-jadinya. Seakan beban berat yang ia rasakan selama ini ia tumpahkan saat itu juga padaku. Telingaku penuh oleh pecah tangis pilunya. Aku juga tidak bisa menahan tangis walau aku sudah berjanji pada diriku sendiri tadi agar tidak menunjukkan air mata pada Cindy.

“Cindy...hiks... kamu kuat...hiks... kita bisa lewatin ini semua... oke...?”

“Kak Dimaaasss...”

“I-iya... hiks... aku disini... tenang ya... hiks... udah udah jangan kenceng-kenceng nangisnya...hiks... Aku jagain kamu kok, ya... tenang ya... Ssstt... udah... udah...” Tak henti-hentinya aku membuatnya tenang, juga tanganku perlahan mengusap-usap pucuk kepalanya. Tangisannya yang berlangsung sekitar 5 menit itu akhirnya mereda, tangan Cindy yang sejak tadi menahan tubuhku seakan tidak mau jauh dari ragaku itu akhirnya menyerah. Kak Ve meletakkan sebuah kursi duduk dibelakangku yang kemudian aku gunakan. Ibu Cindy menyodorkan segelas air putih yang telah diberi sedotan pada Cindy. Dia menyedot hampir setengah gelasnya.

Cindy menoleh kearahku, sementara aku mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka sisa air matanya. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kananku tanpa mau melepaskannya cepat. Aku yang tadi merasakan dingin tangannya kini berangsur menjadi hangat. Perlahan, aku melihat lengkungan senyum lebar dari wajahnya. Senyum yang membuat lesung pipinya itu terlihat, yang selalu bisa membuatku tersenyum juga selama ini.

***​

“Kaak...”

Perlahan mataku terbuka. Suara berat dari Cindy itu membangunkanku yang tertidur di posisi duduk.

“E-eh, iya mbul?” Aku mengucek mata. Selimut yang membungkus tubuhku ini perlahan jatuh ke bangku.

Cindy mendongakkan lalu mendorong sedikit kepalanya, menunjuk ke kantung infusnya yang hampir habis.

“O-oh, iya. Duh, maaf aku malah tidur... hehe,”

Cindy hanya tersenyum.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Aku masih di rumah sakit ini untuk menunggu Cindy hari ini. Om Anto dan istrinya hari ini akan berada di rumah untuk beristirahat dan aku yang menggantikan mereka.

“Kalau ada apa-apa, telepon aja ya, mas. Berkabar juga gimana keadaan Cindy.”

Begitulah kiranya pesan mereka berdua padaku.

Jinan sudah terlebih dulu terbang ke Jakarta bersama kak Ve tadi sekitar pukul 8 karena besok mereka akan mengurus administrasi cuti kuliah Cindy. Kak Ve sudah bilang semua biaya transportasi, keluarga yang akan menanggung, jadi kami tidak perlu khawatir. Sepertinya besok aku akan pulang dulu ke Jakarta karena tidak membawa persiapan apapun. Sementara ini aku diberi pinjaman dari om Anto.

Aku berjalan menuju telepon yang disediakan pihak rumah sakit jika butuh sesuatu untuk pasien, salah satunya, meminta ganti kantung infus yang baru. Segera aku menghubungi nomor yang tertempel di dinding, dan perawat akan segera datang mengganti kantung infus milik Cindy. Setelah aku selesai menghubungi perawat itu, aku duduk disebelah Cindy.

“Masih nyeri?”

Cindy menggeleng.

“Pusing?”

Cindy mengangkat tangannya, menempelkan jempol di ruas pertama jari kelingkingnya. Mulutnya bergerak, dan aku bisa membaca “dikit” dari situ. Cindy memang tidak banyak bicara sejak dia dirawat disini.

“Yaudah... tadi udah minum obat malem, kan? Dibuat istirahat lagi aja, ya.” Ucapku hangat sembari mengelus-elus ubun-ubunnya halus.

Dan tiba-tiba, Cindy menarik pelan daguku. Aku, yang entah mengapa tau maksud darinya ini, menuruti tangannya membawaku. Aku bisa merasakan hangat nafasnya, mataku terpejam, dan sampai akhirnya, bibir kami bertemu. Kecupan hangat tanpa nafsu sedikitpun itu mungkin bisa membuatnya sedikit tenang. Ciuman itu berlangsung sebentar.

“Cepet sembuh ya, sayang...” Ucapku selepas ciuman singkat itu.

Cindy mengangguk sambil tersenyum. Jemarinya mengusap-usap pipi kiriku. Kemudian dia membentuk sebuah bentuk love sign dengan jempol dan jari telunjuknya. Aku tersenyum, kemudian mengecup jarinya itu dan menggenggamnya. Tak lama, seorang perawat datang membawa kantung infus dan kemudian langsung menggantinya.

***​

Beberapa bulan berlalu dan Cindy sudah bisa pulang walau masih harus dibantu dengan kursi roda. Aku juga turut ada saat Cindy keluar dari rumah sakit itu. Dia masih belum bisa bicara banyak namun sudah lebih baik daripada saat aku pertama kali datang ke Purwokerto waktu itu. Dia kini sudah tampak lebih segar alau sepertinya trauma yang dideritanya masih belum hilang.

Bicara soal si Brian itu, om Anto sejak awal sudah mengatakan padaku untuk membawa kasus ini ke jalur hukum setelah dia selesai dirawat. Dan ini memang benar-benar om Anto lakukan, setelah mendapat kabar dari polisi yang menyelidiki peristiwa kecelakaan itu yang ternyata memang sebuah kesengajaan dari Brian. Aku yang kembali diselimuti kemarahan itu bahkan nyaris memukul wajahnya saat bertemu di persidangan. Namun vonis yang diberikan hakim untuknya sedikit membuat amarahku padam karena memang setimpal dengan yang dia perbuat.

***​

Jakarta, beberapa bulan setelahnya.



“Hhh...”

Aku menghela nafas lega setelah menyelesaikan revisi untuk bab 4 skripsiku. Tersisa dua bagian lagi yang harus aku rubah sesuai saran dari dosen pembimbingku dan melengkapi hal-hal kecil yang aku lewatkan disana. Aku merasa beruntung dengan proses pengerjaan skripsi ini. Dosen yang benar-benar membantu untuk mengkritisi penelitianku, serta tidak sulit juga untuk ditemui. Aku rasa sebelum semester 8 ini berakhir, aku sudah bisa menjalani sidang pengujian skripsiku.

Kreekk...

Tiba-tiba saja, pintu kamarku terbuka. Seorang gadis yang terbalut selimut merah muda dengan ornamen Hello Kitty muncul dari baliknya.

“Loh? Belom tidur, Mbul?”

“Enggak bisa tidur... Aku masuk ya...?”

“Ooh, yaudah.”

Ya, gadis itu adalah Cindy. Kami kembali tinggal bersama, namun tidak di kontrakan sebelumnya. Kami pindah kesebuah kontrakan baru yang lokasinya tidak jauh dari kampus kami. Ini semua adalah ide om Anto yang memintaku untuk terus menjaga Cindy sampai-sampai dia mencarikan sebuah kontrakan untuk kami. Baru sekitar sebulan kami menempatinya karena Cindy memang baru pulih dan bisa beraktifitas seperti biasa lagi. Tangan dan kakinya sudah sembuh total, memar-memar yang ada di tubuhnya juga sudah hilang. Dia juga sudah terlihat ceria seperti Cindy yang kukenal.

“Lucky mana, Mbul?”

“Tidur.”

“Ohh.”

Lucky? Dia adalah seekor kucing warna oranye yang aku belikan untuk Cindy. Maksudku agar dia tidak kesepian saat berada di Purwokerto semasa pemulihan. Cindy memberikan nama itu karena dia merasa beruntung mendapatkannya dariku dan bisa jadi temannya saat jauh dariku. Katanya sih begitu. Dan sekarang dia membawa serta Lucky kesini.

“Lagi apa?” tanyanya bagai anak kecil yang penasaran. Cindy sekarang berdiri di belakangku, dia merendahkan tubuhnya hingga dagunya bersandar di bahuku.

“Ngerjain revisi, hehe,” jawabku sambil menggulung layar menuju bab selanjutnya menggunakan bantuan mouse.

“Oohh.”

Tak lama, aku merasakan ada yang sedang menyusuri pahaku. Saat aku menoleh ke bawah, ternyata itu tangan kiri Cindy, yang sekarang sudah sampai di area penisku. Dia lantas meremas-remas pelan bagian itu.

“Eh eh... kok nak-mmphh...“

Belum sempat aku berucap, Cindy lebih dulu melumat bibirku. Lembut dan hangatnya bibir seksinya itu membuatku terpejam dan membalas lumatannya. Seiring nafas kami yang saling memburu, ciuman itu menjadi semakin bernafsu. Bunyi decak tercipta dari situ. Beberapa kali kami merubah posisi kepala kami dan kembali bercumbu. Sementara itu, tangan kiri Cindy masih meremas dan mengusap-usap penisku yang kini mulai menjadi tegang dibalik celana pendek yang aku kenakan.

“Mphah...” Cindy menghentikan cumbuan itu dan menatapku sayu. Tangan kanannya manja mengelus-elus pipiku. “Ehehe...”

“Apa?”

Kemudian Cindy melemparkan selimutnya ke kasurku. Selanjutnya, dia merangkak kebawah mejaku. Iya, dia sekarang berjongkok di kolong meja seperti seekor kucing...

“Heh! Kamu ngapain?!”

“Sssttt...”

Perlahan dia menarik celanaku hingga ke mata kaki, dan meloloskan penisku yang masih belum tegang sepenuhnya itu. “Udah... mas lanjut aja skripsian, hehe...” lanjutnya dibawah sana.

Oh ya. Sekarang dia memanggilku dengan ‘mas’ dan bukan lagi ‘kak’. Aku lupa kapan pastinya dia mulai merubah panggilannya itu padaku. Kalau tidak salah, sekitar 3 minggu setelah ia pulang dari rumah sakit dan aku berkunjung ke rumahnya. Alasannya? Biar lebih mesra, katanya. Sebenarnya terserah sih dia mau memanggilku dengan sebutan apa saja. Babi, buncit, mesum, kampret, senyamannya dia. Hehe.

“E-emphh...”

Aku dibuatnya diam dengan genggaman tangan halusnya di batang penisku. Sensasi menjalar darinya yang sudah lama tidak aku rasakan akhirnya kembali. Kedua mataku merem melek. Jemariku mencengkram erat diatas meja ini saat Cindy mulai mengocok penisku pelan. Aku menoleh kebawah, terlihat wajah Cindy yang mengintip dari sana. Dia memberiku senyum licik.

“Ayo kerjain... kalo enggak ini aku buat sakit lho...” ancamannya padaku itu tidak menakutkan sama sekali...

“I-iyaa...”

Walau begitu, aku tetap menurutinya.

Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman, aku mencari bagian yang harus aku revisi di layar laptopku, sementara Cindy asyik bermain dengan penisku yang kini hampir mencapai ukuran tegang maksimalnya karena rangsangan dari tangan pacarku itu.

10 menit berlalu, dan pengerjaan revisianku tidak seefektif saat sebelum Cindy datang. Kedua tangannya yang masih lihai mengocok batang penis dan meremas-remas testisku secara bergantian membuatku tidak bisa fokus. Bahkan aku kadang kelepasan mengetik ‘ah’ atau ‘ergh’ ketika aku mendesah nikmat.

“O-oohhh...!”

Aku mendesah lepas dan memejamkan mata saat tiba-tiba saja Cindy mengulum penisku. Sensasi hangat dan basahnya mulut Cindy langsung membalut batang kemaluanku, yang aku yakin dia juga merindukan rasa ini. Refleks aku menghentikan kegiatanku pada lembar skripsi yang terpampang dihadapanku, lalu mensyukuri nikmat yang aku rasakan dibawah sana.

Slllrrrpphh pcak pcak

Bunyi decak dari mulut Cindy yang bergerak maju mundur dan sesekali mengecup kepala penisku. Setelah memastikan basah seluruhnya, dengan tangan kirinya, Cindy mengocok lagi batang penisku. Rambut-rambut halus yang tidak terlalu tebal yang ada disekitar area penisku itu terasa geli saat bersentuhan dengan tangannya yang liar. Kemudian, lidahya dengan nakalnya menari di kepala penisku. Sensasi kenikmatanku semakin memuncak saat jemari kanannya mulai meremas-remas testisku, dan sesekali iseng menyentil-nyentilnya hingga ada rasa geli dan ngilu disana.

KALAU KAYAK GINI GIMANA MAU FOKUS NGERJAIN SKRIPSI WOI!

Beberapa menit selanjutnya tidak ada perubahan yang aku buat di lembar skripsi itu. Aku hanya bisa diam dan pasrah dalam kenikmatan rangsangan yang diberikan Cindy bertubi-tubi tanpa memberiku waktu untuk mengatur nafas.

“Haywo... mmph... kerjain...”

“Eerrghh... gimana bisa ngerjain kalau enak banget gini woi! Mbul!” protesku yang kini memejamkan mata karena hampir menyerah untuk menahan spermaku.

Cindy malah tambah semangat menggerakkan tangannya maju mundur di batang penisku yang kuyakin jadi sangat licin disana. Badanku semakin hangat, aku yakin wajahku sudah memerah sekarang. Kaos yang aku kenakan kini basah dengan keringat. Aku langsung melepasnya begitu tubuh ini merasa gerah karenanya. Penisku benar-benar jadi bulan-bulanan Cindy, yang sepertinya sudah sangat ingin bertemu dengan batang kemaluanku itu.

“A-arrghh... Mbul-ah! Ngeennrgh....” aku menahan eranganku sekuat tenaga.

Setelah hampir setengah jam rangsangan demi rangsangan ia berikan, sepertinya inilah babak akhirnya. Cindy mengulum penisku, lalu memaju mundurkan kepalanya. Kemudian tiba saatnya aku menyerah, dia memberikan deep throat padaku untuk beberapa saat.

“Mbul! Aku k-eluarrghh...”

Crot!

Crot!

Crot!


Tiga semburan sperma itu tertampung didalam mulut Cindy. Sesaat aku menikmati puncak orgasme ini. Karena sudah sangat lama tidak merasakannya, dan ini adalah yang pertama kalinya semenjak aku berpisah dengan Cindy waktu itu, kenikmatannya sungguh luar biasa. Nafasku yang terengah kini aku coba untuk kembali normal, sementara aku masih merasakan Cindy membersihkan sisa-sisa sperma yang bisa ia dapatkan di penisku.

“Hadeehhh... hhh...”

“Ehehehe... enak, mas?” dengan raut muka bahagia tanpa rasa bersalah, dia merangkak keluar dari bawah sana.

“Kamu tuh ya... hhh... dasar... hhh.. ehehe...” Aku malah jadi terkekeh sendiri, tidak tega untuk memarahinya karena revisianku tidak berlanjut.

Aku yang masih lemas dan mengatur nafas ini kini memandanginya yang berdiri di hadapanku. Mataku tak bisa lepas dari dua buah gundukan yang tercetak jelas berbentuk bulat dibalik kaos warna pink yang ia kenakan. Terlihat sangat menggoda walau masih terbungkus. Indahnya payudaranya itu tak pernah bosan aku pandangi.

“Kenapa?”

Cindy sepertinya menyadari arah mataku ini.

“Ah, enggak... hehe...”

Perlahan, dia memberikan senyum dan tatapan menggoda. Ia berjalan mendekatiku, lalu dengan cepat meraih tangan kananku. Dia merendahkan tubuhnya, kedua payudaranya terlihat seperti mau jatuh ke lantai.

Kemudian apa yang dia lakukan selanjutnya?

Cindy menempelkan tanganku itu ke dada kirinya, telapak tangaku reflek membuka sesaat sebelum menyentuh buah dadanya yang besar itu. Empuk.

“Kangen ini, kan...?”

Cindy mengedipkan mata kirinya.

Dan aku menelan ludah. Tanganku semakin gatal untuk memulai gerakannya. Perlahan, aku menganggukkan kepala.

“Yaudah, remes...”

Sebenarnya, tanpa disuruh pun, aku akan melakukannya...

“A-ahh... iyaahh... mmphh...” Desahan seksi Cindy itu terdengar halus.

Tangannya yang semula menahan tanganku tadi kini ia lepaskan, dan berganti ia gunakan untuk menopang tubuhnya di bahuku. Tanpa menunggu diperintah lagi, tanganku yang satunya ikut menyerbu. Kini kedua bongkahan bulat nan empuk itu penuh dengan telapak tanganku. Aku tidak ingin langsung bermain agresif. Cindy sudah pasrah, namun rangsangan kecil aku berikan padanya dengan remasan pelan, walau sebenarnya kedua tanganku ini ingin sekali meremas kuat-kuat toket Cindy yang berukuran besar ini.

“Hmmpghh...”

Cindy kembali menyambar bibirku tanpa permisi. Desahannya tertahan saat bibir kami ini saling beradu, sementara kedua tanganku masih asyik memutar-mutar payudaranya bak sebuah analog stik PS. Seperti melanjutkan yang belum sempat kami lakukan di ciuman awal kami tadi, kini lidah kami saling tertaut, dan liur kami dengan bebasnya saling bertukar. Semakin terbakar dengan nafsu, aku mulai meremas kasar payudaranya itu hingga membuat desahan Cindy semakin menjadi.

“Puahh...hhh...” dan lagi, Cindy yang sepertinya kehabisan nafas itu, menghentikan ciuman kami ini. Daguku dan dagunya ikut basah karena air liur yang luber. Dia yang menarik tubuhnya itu membuatku menghentikan remasanku di kedua teteknya, lalu mengusap air liur di daguku.

“Hhh... bentar, mas... enggak adil dong masak mas aja yang telanjang dada... hehe...” Cindy pun membereskan air liur di dagunya.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihatnya tanpa ragu melepas kaosnya itu lalu melemparkannya ke kasurku. Memperlihatkan belahan dari dua gunungnya yang tertahan oleh bra warna putih. Aku menelan ludah. Bahkan belum terlihat seluruhnya saja sudah sangat menggoda. Apa mungkin ini juga karena aku sudah lama tidak melihatnya...?

“Sabar, mas...” Cindy membuka kancing bra itu. Kemudian, dia sengaja memperlambat gerakannya melepas pembungkus payudara itu. Membuatku jadi geregetan sendiri. Ingin rasanya aku berdiri dan langsung melepaskan bra putih itu agar mata ini dapat segera menatap keindahan payudara Cindy tanpa terhalang apapun.

Dan sesaat setelah ia melepaskan bra itu, mataku berbinar. Di hadapanku, dua buah dada besar nan bulat, dengan puting kecoklatannya yang terlihat sudah mengeras dan mencuat, menjadi kenikmatan bagi mataku ini. Aku menelan ludah. Aku tidak bisa berkata-kata dan terpaku menatap gumpalan lezat itu. Sontak, tangan kananku bergerak menutup layar laptop agak keras. Aku tidak ingin konsentrasiku terpecah kali ini.

Tiba-tiba, Cindy meraih belakang kepalaku, kemudian mendorongnya hingga sekarang wajahku menekan payudaranya itu. Dan untuk kesekian kalinya, aku menelan ludah. Hidungku sekarang penuh dengan aroma tubuhnya yang kini aku hirup kuat-kuat. Kepalaku sengaja aku goyang-goyangkan diantara dua buah bola kenyal hangat ini. Cindy terkekeh karena geli. Kulitnya itu bergesekan dengan rambut dan kumisku.

Sesaat setelahnya, tanpa aba-aba, mulutku langsung aku arahkan untuk mengulum puting Cindy. Dia yang tidak menyangka gerakanku itu kembali mendesah nikmat.

“A-aakkkhh...”

Tak tinggal diam, putingnya yang satunya kini dimainkan oleh jari-jariku. Dengan gemasnya mereka memilin, dan mencubit-cubit kecil bagian itu. Sementara mulutku, kini mulai menyedot-nyedot cepat di area putingnya tadi.

“Aahhh... enaaakkkhh... t-terus maaasshh... aakkkhhh...”

Desahannya yang semakin panas terdengar itu juga semakin membakar nafsuku.

Sllrrpp Sllrrppp

Semakin intens aku mengulum puting itu secara bergantian. Aku pastikan air liurku terlumuri di area putingnya itu Tanganku juga tak lupa kembali meremas-remas dadanya untuk menambah rangsangan.

“Ooohh... m-maass Dimaass...nngghh....!!” Kedua tangannya yang ada di bahuku kini mencengkram erat.

Aku menghentikan seluruh rangsanganku, memberikan waktu untuk Cindy menikmati orgasmenya. Terlihat dia menggigit bibir bawahnya, dari wajahnya yang ia dongakkan aku masih bisa melihat matanya yang nyaris semua putih. Padahal aku belum memberi rangsangan di daerah kewanitaannya.

Terlihat daerah selangkangan Cindy jadi sangat basah dari luar celana pendek yang ia kenakan. Aku yang masih di posisi duduk ini merasa gembira bisa membuat Cindy terlihat berantakan namun terpuaskan nafsunya itu.

“Hhh.... e-enak mass... hhh...” Cindy memposisikan dirinya duduk di pinggir kasurku sambil mengatur nafas. Dadanya itu terlihat naik turun.

“Hhaha... dasar... bilang enggak bisa tidur ternyata kangen ginian toh. Hehehe... yaudah, udah puas to? Dah sana tidur.”

“Lha itu. Masih berdiri,” Cindy menunjuk penisku yang masih dalam kondisi mengacung tegang. “Hehehe...”

Tanpa basa-basi, Cindy melepas semua celananya. Mataku kembali membulat. Aku kembali melihat salah satu keindahan tubuh Cindy. Bibir vaginanya yang bersih tanpa rambut sedikitpun disekitarnya itu membuatku terkesima. Kedua pahanya yang lumayan berisi cukup menggoda. Beberapa saat kemudian, aku mendapati bekas-bekas jahitan yang ada di tubuhnya, terutama di bagian perutnya. Ini yang pertama kalinya karena aku belum melihatnya telanjang bulat seperti ini sejak persiapan KKN kala itu. Nafsuku berangsur padam, dan berubah jadi rasa sedih dan pilu mengingat kejadian buruk yang pernah menimpanya.

“Kenapa, mas...?” Tanya Cindy yang sepertinya menyadari perubahan raut wajahku.

“Ah... enggak, enggak apa-apa ko-”

“M-maaf ya, mas... Sekarang badanku... jadi enggak mulus kayak dulu ya...?” Cindy sedikit merundukkan kepalanya.

“H-hei... Mbul...” Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Tangan kiriku mendapatkan dagunya, lalu perlahan menariknya keatas agar mata kami saling menatap. “Enggak usah mikir aneh-aneh ya... kamu itu perempuan pilihanku. Mau kamu luka seperti apapun, kurang apapun itu... Di mataku, kamu itu tetep cantik. Selalu.”

Perlahan aku memposisikan dirinya berbaring di kasur, dan aku pun ikut naik ke kasur dan memposisikan badanku diatasnya.

“Kamu inget kan...? kita pernah bilang, cinta kita itu enggak sebatas fisik, tapi kita saling mencintai karena alasan yang jauh lebih dari itu...” Setelah aku mengucapkan ini, Cindy terlihat tersenyum kecil. “Dan karena itu, cintaku ke kamu, si perempuan hebat ini, enggak akan luntur hanya karena jahitan... Aku terima kamu apa adanya, sayang.”

Wajahnya terlihat memerah. Dengan jari telunjukku, aku merapikan rambutnya. Mata kami kembali saling menatap lekat. Muka telanjangnya ini begitu menawan. Bulir-bulir keringat yang ada disana sekarang membuatku kembali bergairah.

“Lanjut?” Iseng, aku mencolek pucuk hidung mancungnya. Dia tertawa geli.

“Yuk, mas...”

Aku yang sudah mendapat lampu hijau ini mengocok sebentar penisku. Tak perlu waktu lama sampai batang itu tegang maksimal seperti tadi. Perlahan, aku merendahkan tubuhku, hingga sekarang pucuk penisku bertemu dengan bibir vaginanya. Sejenak aku menatap wajahnya, memastikan dia benar-benar siap.

“Pelan-pelan aja ya, mas...”

Aku mengangguk. Kemudian Cindy merentangkan sendiri kedua kakinya lebar-lebar. Dengan ujung penisku, aku membuka bibir vaginanya, lalu sesuai permintaannya, perlahan aku memasukkan batang kemaluanku itu ke liang vaginanya.

“Nnggghhh....”

Lenguhan seksi Cindy bersuara seiring batangku yang makin dalam menancap di vaginanya yang sudah sangat basah itu. Walau tidak sesempit dulu, namun tetap saja, lubang itu selalu bisa memberiku sensasi nikmat dengan kehangatannya. Doronganku berhenti saat seluruh batang penisku ambles disana.

“Nghhh... b-bentar mas... jangan genjot dulu... hhh...”

Cindy menatapku sayu dengan bibir bawah yang ia gigit. Nafasnya terdengar agak sengal. Vaginanya terasa berkedut.

“Kenapa?”

“Hhh... bentar, hehe... gede sih...hhh... udah lama...”

Aku mempersilahkannya untuk menyesuaikan lubang vaginanya itu dengan ukuran penisku. Sembari menunggu, aku merendahkan wajahku, tangan kananku menggenggam erat tangan kirinya yang tergeletak di kasur. Kemudian, aku memberinya ciuman agar Cindy menjadi lebih rileks. Lumatan-lumatan halus yang berlangsung singkat itu sukses membuatnya tambah rileks. Ketegangan di liang vaginanya mulai reda.

“Ahh... yuk genjot aku, mas... ehe...”

Seusai ciuman itu, dia kembali memberiku ijin. Senyum nakal kembali ia pasang.

Akhirnya, yang aku tunggu-tunggu tiba. Masih menuruti permintaannya tadi, aku memompa penisku perlahan-lahan. Hangat, basah, serta sensasi memijit dari lubang kewanitaan Cindy yang membuatku bernostalgia ini ingin benar-benar aku nikmati pelan-pelan. Lenguhan demi lenguhan penuh kenikmatan terus keluar dari mulut Cindy dan mulutku seiring gerakan naik-turun dari pinggangku.

“Nngghhh... enaaakk maasss Dimass.. ngghh...!”

“M-memek kamu juga enak, mbul, errghhh...!”

Beberapa saat aku memberinya genjotan dalam tempo lambat, Cindy akhirnya memohon padaku untuk mempercepat temponya.

“Nngghh! K-kencengin maass...!”

Diberi lampu hijau lagi, aku percepat gerakanku untuk membombardir lubang vaginanya itu. Semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat.

Plok

Plok

Plok


Suara pahaku dan pahanya yang bertemu saat aku menghantamkan penisku ke vaginanya itu mulai masuk ke telingaku.

“Nggahh! J-jangan kenceng-kenceng!”

Plakk

Dia menampar pipi kiriku. Tidak terlalu keras, namun itu cukup untuk membuatku menghentikan genjotanku.

“Eh, hehe... maaf... enak soalnya, hehe...”

“Huufftt... ayo lagiii...”

“Enggak usah disuruh, ehehe...”

“Nngghhh!”

Plok

Plok

Plok


Dari atas sini, aku bisa melihat tubuh Cindy yang sekarang basah dengan keringat. Kulit telanjangnya terlihat mengkilap, payudara besarnya itu berguncang seiring hantaman penisku. Matanya terpejam dengan bibir bawah yang kembali ia gigit bukti kenikmatan yang ia rasakan. Desahan-desahan yang keluar kini terdengar semakin seksi dan bagai alunan melodi indah di telingaku.

“M-mas Dimass!”

Tangannya mencengkram erat sprei dibawahnya. Pinggulnya bergetar hebat. Badannya menggeliat. Vagina Cindy semakin terasa menggigit penisku. Aku yang paham dengannya yang akan segera mencapai puncak kenikmatan itu memperlambat genjotanku. Tak lama setelahnya, Cindy mendorong pinggulnya, lalu mendapatkan orgasme keduanya.

“Nnggaahh....”

Cindy mendongakkan kepalanya, mulutnya terbuka dan masih menghasilkan lenguhan penuh kenikmatan. Cairan cintanya itu muncrat membasahi penisku dan aku rasa juga mengenai spreiku.

Haduhh... sepertinya besok aku harus mengganti sprei...

Setelah aku rasa dia selesai menikmati orgasmenya, aku mencabut penisku.

“Loh...?”

Cindy menatapku heran karena tidak melanjutkan genjotanku.

“Kenapa...? masih kurang...?”

“M-mas Dimas kan... belum keluar lagi...”

“Udah, nanti kamu cap-“

Cindy, yang ternyata masih punya tenaga itu membanting badanku ke kiri, dan langsung menindihnya.

“Dah, sekarang... biar aku yang genjot mas Dimas... hehe...”

Aku menelan ludah.

Ya ampun...

Tanpa aba-aba, dia membenamkan penisku perlahan kedalam bibir vagina yang sudah ia buka sendiri dengan jarinya.

“Eerrgghhh...”

Lenguhku karena kembali merasakan sensasi yang memanjakan penisku itu. Sambil tersenyum nakal, Cindy meletakkan kedua tangannya di pinggulku sebagai penopang tubuhnya, kemudian tanpa menunggu lama, pinggul Cindy mulai bergerak naik turun. Aku memilih untuk rileks dan menikmati permainan yang sekarang ia kuasai. Buah dada besar itu benar-benar terpampang jelas di depan mataku, mereka bergerak naik turun, seirama dengan gerakan badan Cindy. Karena kondisinya yang sudah sangat basah membuatnya dengan mudah untuk memompa penisku. Tanganku yang gatal akhirnya memutuskan untuk bermain dengan putingnya dan meremas-remas lagi payudaranya untuk menambah gairahku.

Menit demi menit berlalu, Cindy sedikit melengkungkan tubuhnya, sehingga dadanya terlihat membusung dan membuat payudara besarnya itu semakin mencuat. Genjotannya semakin kesini juga semakin mantap.

Penisku yang tenggelam dan terbebas dari pijatan lubang vagina Cindy ini benar-benar membuatku merem melek. Namun kenikmatan ini harus aku akhiri karena aliran sperma yang mulai aku rasakan akan menyeruak.

“Mbul! A-aku mau keluar...!”

Aku berusaha mendorong tubuhnya agar terlepas, namun Cindy malah melawan dan tetap membenamkan penisku disana. Hingga akhirnya, karena tidak bisa menahan lagi...

Crot!

Crot!

Crot!


Aku menyemburkan semua spermaku, didalam vaginanya.

“Enak, mas...? hehe.”

Aku tidak menjawabnya, hanya sebuah anggukan dan senyum lebar. Ya, aku tidak bisa bilang ini tidak nikmat. Ini yang pertama kalinya, aku keluar di dalam... dan ini... nikmat... sungguh nikmat...

Setelah merasa semuanya keluar, Cindy mengangkat badannya, melepaskan penisku dari lubang vaginanya, dan langsung berbaring disampingku. Dia tampak bahagia, juga puas. Lesung pipinya itu kembali terbentuk karena senyum lebar yang ia berikan padaku sekarang.

“Makasih ya, mas...”

“Hhh... aku juga makasih, hehe...”

Dia mendekatkan tubuhnya, aku mengalungkan lengan kiriku dari bawah kepalanya. Cindy memiringkan diri, kemudian kami berpelukan. Kulit kami saling bersentuhan sekali lagi. Payudara empuk itu terasa tertekan dadaku. Sekali lagi, aku menghirup kuat aroma tubuh Cindy hingga memenuhi hidungku. Pelukan kami semakin erat, bagaikan tidak mau berpisah.

“Dah, bentar... aku pipis dulu. Pake baju sana. Dingin lho hari ini,” aku melepas pelukan dan memposisikan diri duduk. Kakiku melangkah melompati tubuh Cindy yang masih terbaring.

“Jangan lama-lama ya... mau kelon sama mas...” Ucapnya lembut padaku. Langkahku yang sudah hampir sampai di ambang pintu ini terhenti.

Aku terkekeh, lalu mengangguk padanya yang kini memberiku tatapan manja.

.

.

.

.

Terimakasih, Aurora...

Engkau sudah memilihku,

Sebagai langit yang kau beri cahaya terang...

Sampai saat ini, dan semoga...

Untuk selamanya...

.

.

.

.




The End
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd