Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER 6


Masih dengan senyum, aku mempercepat laju kuda. Begitu pula dengan Daru yang mengikutiku. Gunung dan beberapa bukit telah terlewati, namun kami tetap memacu kuda tanpa henti. Si Black berlari dengan sangat cepat dan lincah, hingga beberapa kali kuda yang ditunggangi Daru jauh tertinggal. Ketika matahari telah berjalan tiga perempatnya, aku pun memperlambat laju Si Black saat akan memasuki sebuah kampung. Bahkan aku berhenti tepat di gerbang kampung. Tak lama, Daru berhenti di sampingku. Tiba-tiba kuda-kuda kami meringkik, keduanya mengais-ngais tanah dan melemparkan kepala mereka, membuat surai hitam mereka berhembus.

“Kami harus hati-hati, Daru ... Bapak mencium bau yang tidak sedap, seperti bau bangkai.” Kataku pada Daru sambil meningkatkan kewaspadaan.

“Benar, pak ... Ini bau bangkai ...” Sahut Daru.

“Apakah kamu sudah bisa membuat perisai sihir?” Tanyaku pada Daru.

“Sudah pak.” Jawab Daru.

“Gunakan perisai sihirmu. Kita akan masuk ke kampung ini.” Kataku.

Tubuh Daru telah diselimuti cahaya merah muda. Kami berdua mulai memasuki kampung yang sepinya luar biasa. Kuda-kuda tetap gelisah seakan memberi tanda akan ada bahaya di depan sana. Perlahan kaki kuda maju setapak demi setapak. Anehnya tak ada satu bangkai pun yang aku temukan, namun baunya semakin kuat dan semakin menyengat. Aku dan Daru semakin dalam memasuki kampung, tiba-tiba aku mendengar suara raungan makhluk kelaparan secara samar-samar. Aku agak mempercepat laju kuda menuju sumber suara.

Mataku terbelalak saat melihat puluhan makhluk berwujud manusia yang kotor dan menjijikan. Makhluk menjijikan itu terlihat seperti zombie di dalam film-film horor yang pernah aku lihat. Para zombie sedang mendobrak pintu besar dari kayu yang kokoh. Aku pikir para zombie itu ingin merangsek masuk ke rumah yang berpagar tinggi itu. Dorongan para zombie pada pintu semakin kuat. Bila dibiarkan lama kelamaan pintu itu akan jebol juga.

“Kamu tahu makhluk apa itu, Daru?” Tanyaku.

“Tidak tahu, pak. Tapi baunya bikin aku ingin muntah.” Jawab Daru.

“Mereka itu mayat hidup.” Kataku sembari turun dari kuda lalu memberikan tali kekang pada Daru setelah Daru melepas perisai sihirnya. Sesaat kemudian Daru memasang lagi perisai sihirnya.

Aku kemudian mengambil pedang dari lemari sihir. Aku berjalan menghampiri kerumunan zombie dengan Tangan kanan membawa pedang yang teraliri petir. Bilah tajamnya yang teraliri listrik berkekuatan tinggi seperti menunjukan keganasanya. Ternyata mereka sadar akan kedatanganku. Serempak para zombie bergerak ke arahku dengan jalan pincangnya. Aku berkelebat menyambut datangnya para zombie itu.

JRASH...! JRASH...! JRASH...!

Satu persatu zombie yang tersabet pedang petirku tumbang. Tubuh mereka hancur dan berubah menjadi debu yang langsung lenyap terbawa angin, dan akhirnya menyatu dengan tanah. Zombie yang masih tersisa mencoba menyerangku. Dan dalam sekejap zombie-zombie itu juga ikut tumbang, bernasib sama dengan zombie yang lain. Setelah menghabisi mereka, aku berkelebat mengitari rumah besar bertembok tinggi ini. Aku menemukan beberapa zombie di sekitarnya yang langsung aku jadikan debu. Aku mengitari beberapa kali lagi untuk memastikan tidak ada lagi zombie yang bergentayangan. Setelah merasa aman, aku pun berdiri di pintu besar yang merupakan pintu gerbang rumah.

“SIAPA DI DALAM?!” Teriakku setelah mengembalikan pedang ke dalam lemari sihirku. Tak ada jawaban atas teriakanku. “SIAPA DI DALAM?! BUKALAH! MAKHLUK MENGERIKAN ITU SUDAH TIDAK ADA!” Aku berteriak sekali lagi.

“Tidak ada orangnya kali pak?” Kata Daru yang sudah berada di sampingku.

“Gak mungkin ... Pasti ada seseorang di dalam sana.” Jawabku merasa yakin kalau ada orang di balik pintu besar ini.

“SI..SIAPA DI SA..SANA?” Tiba-tiba terdengar suara gugup dari dalam sana.

“SAYA SEORANG TAMU!” Jawabku.

“APAKAH ANDA MANUSIA? APAKAH ANDA BUKAN ZOMBIE?” Tanyanya. Aku pun ingin tertawa, ternyata di Azumath pun mayat hidup disebut zombie, suatu kebetulan yang tak biasa.

“SAYA MANUSIA ...! ZOMBIENYA SUDAH GAK ADA ...! LAGI PULA, MANA ADA ZOMBIE BISA BERBICARA ...!” Jawabku.

Pintu besar yang terbuat dari kayu kokoh pun terbuka perlahan dan menyembul keluar sebuah kepala yang didapati kepunyaan seorang pria paruh baya. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan untuk memindai situasi. Setelahnya, pria paruh baya itu menelisikku seperti sedang menerka apa yang sedang terjadi sekarang. Aku yang merasa aneh ditatap seperti itu agak risih juga.

“Zombie-zombie itu sudah saya hancurkan.” Kataku dibuat setenang mungkin.

“Oh ... I..iya ... Silahkan tuan ...” Si pria paruh baya membuka lebar pintunya.

Aku dan Daru masuk ke dalam rumah berpagar tinggi ini. Aku sempat terkejut saat mendapati begitu banyak orang di dalam rumah ini, mungkin lebih dari seratus orang. Hampir semua orang memandang ke arahku dan Daru. Tak lama seorang pria paruh baya dengan pakaian kebangsawanan keluar dari rumah megahnya. Dia berjalan tergesa-gesa mendekatiku.

“Apakah tuan yang menghancurkan zombie-zombie di luar sana?” Tanya pria bagsawan itu setelah berada di depanku.

“Benar.” Jawabku singkat.

“Oh, terima kasih tuan. Silahkan tuan ... Silahkan masuk ke rumah saya ...” Ajak pria bangsawan itu, sang tuan rumah.

“Biar saya di sini saja tuan. Saya hanya lewat saja. Saya akan melanjutkan perjalanan ke kota pelabuhan.” Katanya sopan menolak ajakannya.

“Tidak tuan! Saya mohon! Tuan tinggal dulu di sini! Tolong kami tuan ... Tolong kami ...” Pinta si pria bangsawan hampir menangis.

“Hhhmm ... Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Tanyaku.

“Ada anjing yang menyebabkan orang-orang menjadi zombie. Bila tergigit atau dicakarnya, orang itu menjadi zombie. Celakanya, anjing itu kuat dan kebal. Dia tidak mempan oleh senjata dan sihir.” Jawab pria bangsawan itu panik dan ketakutan.

“Kalau begitu, saya akan mencari anjingnya.” Kataku santai.

“Tolong tuan ... Tolong kami ...” Pintanya lagi.

“Baiklah.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu aku menengok pada Daru. “Kamu bisa kan menghindari anjing?” Tanyaku pada Daru dengan sedikit bercanda.

“Bisa pak ... Tinggal naik ke pohon saja.” Jawab Daru sembari mengacungkan jempol.

“Bagus.” Kataku.

Aku pun berjalan ke pintu besar yang baru saja aku lewati. Aku keluar setelah pintu dibukakan oleh orang yang sama. Aku berdiri sejenak mengedarkan pandangan ke sekitar. Setelahnya, aku melesat mengitari wilayah kampung ini. Aku tidak mau ambil pusing, setiap bertemu seekor anjing langsung saja aku bunuh. Bukan apa-apa, aku takut anjing yang tak berdosa pun bisa jadi akan menjadi sumber wabah. Aku terus berkelebatan mencari anjing yang diceritakan pria bangsawan yang rumahnya menjadi tempat penampungan.

Kuperkirakan aku mengelilingi kampung hampir setengah jam. Matahari pun sudah mulai berada di ujung peraduan. Tiba-tiba melesat dengan kecepatan luar biasa ke arahku. Dia menampakan gigi-giginya dan cakar-cakarnya yang siap menerpa tubuhku. Untungnya gerakanku lebih cepat. Dengan gesit aku memutar pedangku sambil menghindar ke samping.

TRAAANG!!!

Tak disangka, pedangku seperti membentur baju sampai bunyinya pun layaknya benturan besi dan besi. Walaupun makhluk yang berbentuk anjing itu terpelanting, namun dengan cepat makhluk itu kembali menyerangku lebih ganas lagi. Sekarang aku yakin, anjing inilah yang dimaksud oleh si pria bangsawan. Penyebar teror di kampung ini yang wajib aku musnahkan.

Sambil terus menjerit, anjing itu menyerang menggunakan gigi dan cakar-cakarnya setajam pisau cukur. Aku pun menghindar sambil menyerang. Benar-benar makhluk yang kebal, terbukti pedang petirku seperti tidak dirasanya. Akhirnya aku menggunakan teknik pedang petir (Chidorigatana). Dengan kecepatan kilat, aku menebas ratusan kali pedangku ke tubuh si anjing kebal itu. Memang, tak satu pun tebasanku melukainya, namun perlahan tapi pasti, setelah sekitar 10 menitan kemudian, gerakan si anjing semakin melambat dan melambat terus, sampai akhirnya dia tidak bisa bergerak karena syaraf gerak di otaknya telah aku lumpuhkan. Itulah salah satu kelebihan Cidorigatana yang mampu menghentikan gerak lawan karena sistem kelistrikan otaknya terganggu.

“Sekarang ... Terimalah ajalmu!” Kataku sembari mengarahkan telunjukku ke mulutnya yang menganga.

Tak lama muncul bola petir dari ujung telunjukku sebesar bola bekel. Aku ingin puas membunuh anjing penyebar teror ini. Aku sangat yakin kekuatan petirku akan menghancurkannya. Kulepaskan bola petirku hingga masuk ke dalam mulut makhluk mengerikan itu. Seketika itu juga terdengar suara ledakan yang cukup menggema dibarengi dengan hancurnya tubuh si anjing pembawa petaka. Tentu saja aku tersenyum lega. Namun senyumanku sirna ketika kulihat sinar berwarna hitam melesat sangat cepat ke arahku. Aku yang tengah lengah tidak bisa menghindari kecepatan sinar itu.

DESH!!!

Sinar hitam pekat telak menghantam dadaku. Aneh bin ajaib! Aku tidak merasakan sakit, seperti yang sudah-sudah, yang ada tubuhku terasa sangat segar, rasanya seperti baru bangun dari tidur. Dapat kurasakan aliran energi sihir dalam tubuhku melonjak. Apakah yang aku rasakan ini adalah penambahan kapasitas energi sihir sebagaimana yang diceritakan Petteri?

Setelah perasaan aneh ini mereda, aku langsung melesat lagi mengelilingi kampung. Kali ini aku menjadi pemburu anjing-anjing untuk dimusnahkan. Aku sangat dengan terpaksan memusnahkan semua anjing yang ada, karena bisa jadi anjing-anjing itu membawa virus yang ditularkan ‘anjing setan’ yang baru aku hancur leburkan. Pada saat hari mulai gelap, aku kembali ke rumah pria bangsawan itu. Tentu aku disambut oleh ratusan orang dengan perasaan was-was penuh harapan.

“Bagaimana tuan? Apakah anjing pembawa malapetaka itu telah tuan bunuh?” Tanya pria penjaga pintu gerbang.

“Kalau anjingnya satu ... Ya, sudah saya bunuh. Tetapi saya tidak tahu, apakah ada anjing-anjing yang lainnya.” Jawabku.

“Oh, syukurlah ... Kita terbebas ...” Ucap si pria paruh baya sembari meneteskan air mata.

Aku memegang bahu si pria paruh baya, aku tahu kesedihannya. Mungkin salah satu zombie yang aku basmi adalah salah satu sanak saudaranya. Aku lantas berjalan menuju rumah besar. Orang-orang bertanya tentang anjing pembawa teror. Aku jawab dengan kata ‘sudah’ dan kelihatannya mereka sangat puas.

“Silahkan tuan ...” Pria bangsawan menyambutku di serambi rumah. Aku mengikutinya memasuki rumah besar. Di dalam rumahnya pun telah banyak orang yang sepertinya menungguku.

“Kalau tidak salah lihat ... Tuan kan yang berduel dengan Paduka Anggabaya di kota raja ...” Salah satu dari orang yang berkumpul di rumah bersuara dan langsung berdiri.

“Benar ... Tuan adalah Tuan Azka ... Tuan yang mengalahkan Paduka Anggabaya ...” Sahut salah satu dari mereka lagi.

“Saya tidak mengalahkannya tuan-tuan.” Kataku merendah. “Apakah masih ada lagi anjing yang menyebarkan penyakit sehingga orang-orang berubah jadi zombie? Saya baru saja membunuh satu. Saya khawatir masih ada anjing sejenis yang masih berkeliaran.” Kataku kemudian.

“Sepengetahuan saya cuma ada satu, tuan.” Kata si tuan rumah.

“Ya ... Hanya satu tetapi sangat sulit dibunuh. Binatang itu kebal oleh senjata apa pun.” Sambung yang lain.

“Kalau memang hanya ada satu, berarti kampung ini sudah aman. Lebih baik, orang-orang berpatroli untuk memastikan kampung ini sudah aman. Selain itu, harus ada perwakilan yang pergi ke kota raja untuk melaporkan kejadian ini pada Yang Mulia Ratu Treysca.” Kataku lagi.

Akhirnya semua berdiskusi menyusun rencana pemulihan kampung. Sungguh aneh memang apa yang terjadi di kampung ini yang tiba-tiba terjangkit virus zombie. Ya, aku mengatakan virus zombie karena seperti di film-film yang pernah aku tonton, zombie itu berasal dari virus dan sangat menular. Setelah selesai berdiskusi, aku ikut warga berpatroli mengelilingi kampung. Tampak kelegaan sekaligus kesedihan warga dengan adanya musibah ini. Sebagian anggota keluarganya harus menjadi korban dan mati terbunuh.

Malam semakin tua, kini warga sudah berani pulang ke rumah masing-masing. Aku dan Daru disediakan sebuah kamar yang sangat nyaman untuk beristirahat. Selain itu, aku dan Daru dijamu bagaikan seorang tamu kehormatan, makanan dan minuman begitu berlimpah.

“Pak ... Tadi Daru mendengar obrolan orang-orang kalau anjing itu kebal. Daru jadi ingat dengan ular besar di alun-alun dulu yang juga kebal. Kok Daru curiga kalau ada orang yang sengaja membuat binatang-binatang itu menjadi kebal.” Ucap Daru setelah menghabiskan makanannya.

Sungguh aku terhenyak mendengar ucapan Daru yang menurutku ada benarnya, “Hhhmm benar juga apa yang kamu pikirkan. Jangan-jangan ada yang sengaja membuat binatang-binatang itu menjadi kebal dan membuat kekacauan.”

“Apakah bangsa Demon yang melakukannya, pak?” Tanya Daru.

“Entahlah ... Tapi jika melihat dari energi sihirnya yang hitam, dugaan bapak juga begitu. Mungkin merekalah yang membuatnya.” Kataku.

“Mereka memang harus dimusnahkan, pak ... Daru ingin menjadi ksatria sihir yang kuat dan akan memusnahkan bangsa Demon.” Ujar Daru sambil mengepalkan tangannya.

“Kita ini bangsa manusia Daru ... Bagaimana pun bangsa manusia tidak akan melebihi kekuatan sihir bangsa Demon yang sejak lahir sudah mempunyai kekuatan sihir yang kuat. Jika kamu ingin memerangi kejahatan bangsa Demon, kamu harus mempunyai anak buah yang banyak.” Kataku sambil tersenyum.

“Kalau begitu, aku mau jadi raja biar punya banyak anak buah.” Aku semakin melebarkan senyum mendengar mimpi anak angkatku ini.

“Kalau kamu ingin berhasil menjadi raja, kamu harus bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Cita-citamu dapat diraih jika kamu punya keberanian untuk mengejarnya. Sesuatu yang hebat dan besar selalu susah diraih tetapi kamu tidak boleh gampang menyerah dan terus berusaha sekuat tenaga. Percayalah, hasil yang kamu peroleh tidak akan mengkhianati usaha yang telah kamu lakukan.” Itu adalah ucapan kakek yang tidak pernah aku lupakan.

Daru mengangguk-anggukan kepala seolah dia mengerti apa yang baru saja aku ucapkan. Daru terus mengoceh tentang impian-impiannya, sementara aku menanggapinya dengan sesekali memberinya semangat. Daru terbilang satu dari seribu anak yang sangat beruntung karena diberkahi otak yang amat jenius. Meskipun Daru tergolong anak yang cerdas dan mudah menyerap pelajaran, tetapi ia juga masih butuh banyak ilmu lagi. Jika dia terus mengikutiku, aku khawatir bakat alamnya itu tidak akan berkembang secara maksimal.

“Daru ... Bapak berpikir kalau kamu lebih baik belajar di sekolah sihir daripada ikut bapak. Bukankah kamu ingin menjadi ksatria sihir yang hebat? Kalau kamu terus mengikuti bapak, banyak waktu yang terbuang. Jika kamu ada di sekolah, kamu bisa terus belajar dan mengembangkan ilmu sihirmu.” Kataku sambil menatap Daru yang tiba-tiba anak itu memandang wajahku.

“Tapi Daru ingin sama bapak. Bapak kan penyihir yang hebat, Daru bisa belajar sama bapak.” Ucap daru berubah sendu.

“Kamu tahu kan kalau bapak ini selalu berpergian kemana saja yang bapak suka. Waktu siang dibuat untuk jalan, waktu malam dibuat untuk istirahat. Tidak ada waktu lagi untukmu belajar.” Aku coba memberinya pengertian.

“Aku mau dengan bapak.” Ucapnya bergetar lalu berbaring dengan posisi memunggungi.

Aku hanya bisa menghela napas. Mungkin belum saatnya aku memaksakan kehendaku pada Daru. Aku berharap di lain waktu aku bisa menyadarkan Daru untuk sekolah sihir. Akhirnya aku pun ikut berbaring lalu memejamkan mata. Perlahan namun pasti, mataku terasa berat dan tidak butuh waktu lama untukku masuk ke alam mimpi.

.....
.....
.....

Pagi begitu cerah hari ini menghiasi kampung yang bernama Latusin, burung-burung asik bernyanyi menyambut pagi hari yang begitu cerah. Aku kini berkumpul dengan Ketua Kampung Latusin yang bernama Purbajaya dan dua orang kepercayaannya yang bernama Birawa dan Karna. Kami berempat ngobrol tentang peristiwa kemarin yang tentunya banyak memakan korban. Purbajaya pun sudah mengirim utusan ke kota raja guna melaporkan kejadian yang cukup meresahkan ini kepada Ratu Treysca.

“Setelah berakhirnya perang antara kita dan bangsa Elf, kayaknya bangsa Demon gak puas. Mereka rasa-rasanya mulai membuat onar di wilayah kita.” Ujar Purbajaya sangat serius.

“Hhhmm ... Saya sependapat dengan Tuan Purbajaya. Anjing kemarin itu mempunyai energi sihir hitam. Saya berpikir binatang itu dibuat untuk menimbulkan teror. Saya malah khawatir bangsa Demon akan membuat onar di mana-mana.” Kataku.

“Kalau ada kejadian semacam ini lagi, bagaimana kita mengatasinya? Kemarin saja kami tidak bisa menaklukannya?” Tanya Karna dengan raut khawatir.

“Kalau ada lagi makhluk semacam itu lagi, serang mulut dan telinganya. Mereka hanya bisa dilukai di bagian dalam tubuhnya.” Kataku menjelaskan cara melumpuhkan makhluk jadi-jadian tersebut.

“Oh ... Begitu ya ... Pantas tidak mati-mati ...” Lirih Karna sambil manggut-manggut.

“Kalau ada yang terkena goresan, cepat-cepat saja matikan energi sihir kita dan oles lukanya dengan bawang putih. Setelah luka mengering baru kita bisa menggunakan energi sihir kita lagi. Racun dari makhluk berenergi sihir hitam itu bekerja di energi sihir kita.” Jelasku lagi sebagaimana yang diterangkan Petteri dalam buku sihir penyembuhannya.

“Terima kasih Tuan Azka ... Sekarang kami siap jika harus menghadapi kejadian seperti kemarin lagi.” Ucap Purbajaya senang.

“Kalau begitu tuan-tuan ... Saya akan melanjutkan perjalanan saya. Ada yang harus saya selesaikan. Mudah-mudahan kejadian kemarin tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.” Kataku berpamitan.

“Oh ... Tidakkah tuan berkehendak untuk menginap beberapa hari lagi di sini?” Purbajaya berusaha menahanku.

“Maafka saya tuan ... Saya harus segera melanjutkan perjalanan.” Kataku sangat sopan lalu bangkit berdiri.

“Baiklah kalau begitu ... Terima kasih atas pertolongan dan bantuan tuan ... Jika ada kesempatan, datanglah lagi ke tempat ini. Kedatangan tuan sangat kami harapkan.” Kata Purbajaya sambil menjura hormat.

Aku tersenyum sambil membalas juraannya. Kemudian aku berjalan ke serambi dan melihat Daru sudah siap di atas kudanya sambil memegang tali kekang Si Black. Aku berpamitan sekali lagi pada semua tuan rumah yang mengantarkanku. Setelahnya, aku menaiki Si Black yang serta merta kuda hitam kesayanganku melesat sebelum aku menyuruhnya bergerak. Rupa-rupanya Si Black sudah ingin berlari, dia tidak suka berdiam diri dalam waktu yang lama.

Derap kaki kuda yang aku dan Daru tunggangi terus melaju, bagai tak menghiraukan jalan naik turun yang harus dilaluinya. Bukit dan lembah terus ditelusurinya dalam kecepatan tinggi. Kedua ekor kuda tunggangan kami memang merupakan kuda mestika pilihan yang hebat. Kuda yang sangat mahal harganya. Aku dan Daru hanya melakukan istirahat satu kali di siang hari, memberi makan dan minum pada kuda kami, hingga kami sampai juga di kota pelabuhan saat matahari hampir tenggelam.

Di sebuah dermaga, aku menitipkan kuda-kuda di tempat khusus penitipan kuda dengan membayar sewa satu keping koin perak untuk satu kuda selama satu hari. Aku menitipkan dua kuda untuk satu minggu lamanya. Setelah bertransaksi aku dan Daru kemudian mendekati seorang pria yang sedang menambatkan perahunya.

“Maaf mas ... Apakah mas menyewakan perahu untuk mengantar kami ke suatu tempat?” Tanyaku setelah berhadapan dengan pria pemilik perahu.

“Oh betul pak ... Bapak mau pergi kemana?” Tanyanya sangat ramah dan tentu saja sumringah karena akan mendapatkan rejeki dari sewaan perahunya.

“Bisa mas antarkan kami ke Pulau Kobba Klintar?” Tanyaku.

Mendadak wajah pria pemilik perahu menjadi pucat dengan menatapku dengan sorot mata yang kaget bukan kepalang. Dengan bibir bergetar pria tersbut berkata, “Ja..jangan pergi ke sa..sana pak ... Bahaya!”

“Loh ... Kenapa?” Tanyaku pura-pura.

“Pulau kutukan ... Tak ada satu orang pun yang selamat setelah masuk ke pulau itu.” Ujar si pria yang sudah bisa menguasai dirinya.

“Hhhmm ... Tapi saya tetap ingin ke sana.” Kataku bersikukuh.

“Jangan pak! Kataku jangan! Bahaya!” Katanya lagi coba melarangku dengan sungguh-sungguh.

“Mas tahu ... Ada apa di sana?” Tanyaku.

“Saya tidak tahu pak. Tapi yang saya tahu tak satu pun orang bisa keluar hidup-hidup dari pulau itu. Makanya orang-orang banyak yang menyebutnya pulau kutukan.” Jelas si pria yang kutaksir berumur awal 30 tahunan.

“Apakah mas pernah mengantarkan seseorang ke sana?” Tanyaku lagi.

“Pernah pak ... Dia seorang penyihir hebat, namanya harum kemana-mana sebagai penyihir tanpa tanding. Tetapi sejak saya mengantarkan beliau ke pulau itu, tak ada lagi kabar beritanya. Itu terjadi sudah tiga tahun yang lalu.” Jawab si pria sambil tetap memandangku tajam.

“Berapa dia bayar mas saat itu?” Tanyaku lagi dan lagi.

“Seribu keping koin perak ...” Jawabnya. Seribu keping koin perak senilai dengan satu keping koin emas.

“Bagaiman kalau saya bayar empat keping koin emas. Dua keping saat mengantar dan dua keping saat menjemput.” Aku mulai menawarkan harga jasa.

“Ta..tapi ... Saya tidak yakin bapak kembali.” Ujarnya dengan mata membulat sempurna.

“Baiklah ... Saya bayar delapan keping koin emas. Empat saat mengantar dan empat lagi saat menjemput.” Aku menaikan tawaran.

“Ba..bapak...?” Matanya semakin terbelalak. “Apakah bapak yakin dengan keputusan bapak?” Dia bertanya seakan mengetes keyakinanku.

“Aku sangat yakin ... Antarkan kami ke sana ...” Jawabku sambil tersenyum dan memegang bahunya.

“Anak bapak juga?” Si pria kini melirik Daru.

“Ya ... Dia juga ...” Kataku.

“Adek ... Adek dengan kakak saja ya ... Kita antar bapaknya adek dan adek nanti ikut pulang dengan kakak.” Si pria membujuk Daru.

“Tidak mas ... Aku ingin sama bapak ...” Jawab Daru tegas.

Si pria pun menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menyiapkan perahu setelah aku dan Daru naik ke atas perahu. Setelah memberinya empat keping koin emas, layar pun terkembang membawa kami ke tengah lautan. Akhirnya kami pun berlayar yang diperkirakan akan sampai di tujuan saat pagi menjelang. Sepanjang pelayaran si pria yang memperkenalkan dirinya dengan nama Barda menceritakan beberapa pengalamannya mengantar orang-orang ke Pulau Kobba Klintar yang rata-rata mereka semua meyakini ada harta karun di sana. Namun kesemua orang yang diantarnya tidak pernah dia temukan lagi saat Barda menjemput mereka. Barda bahkan berkali-kali pulang pergi untuk memastikan orang yang diantarnya selamat. Tetapi tidak satu pun dari mereka yang bisa ditemuinya kembali.

“Saya berharap bapak selamat di sana dan saya bisa membawa bapak kembali ke darat.” Ucap Barda sembari mempertahankan layarnya yang diterpa angin cukup kuat.

“Percayalah! Saya pasti selamat.” Kataku.

“Tenang saja mas ... Bapak itu penyihir hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkan bapak.” Daru berceloteh.

“Ya ... Kakak percaya ... Tidak ada orang yang berani ke Pulau Kobba Klintar kalau bukan orang sembarangan.” Sahut Barda sambil tersenyum.

Diterangi lampu minyak di tengah laut yang hitam pekat, kami terus berlayar hingga fajar menyingsing. Di kejauhan sana, tampak sebuah pulau yang terlihat kecil di batas garis cakrawala. Perahu terus mendekat, semakin lama semakin jelas gambaran pulau itu. Pulau yang lebat dengan rindangnya pepohonan dan diputari oleh butiran pasir putih di bibir pantai membentah luas. Laut biru yang bergelombang tenang dan pemandangan yang memikat bagi siapa saja yang melihatnya akan menarik untuk menginjakkan kaki ke pulau itu.

“Pak ... Saya hanya berani sampai di sini mengantar bapak. Dan saya akan menjemput lagi di sini seminggu yang akan datang.” Kata Barda sambil menghentikan perahunya di bibir pantai.

“Terima kasih mas ... Saya tunggu seminggu lagi di sini.” Kataku.

“Saya berharap saya akan membawa bapak kembali ke darat.” Ucap Barda sembari membantu Daru turun dari perahu. Tubuh Daru terendan air laut sebatas perut.

Aku lantas turun dari perahu kemudian membawa Daru ke tepi pantai. Aku melihat perahu Barda menjauh. Setelahnya, aku mencari tempat yang agak lengang untuk membuat tenda. Aku dan Daru membuat tenda di pesisir pantai. Ada dua tenda yang kami bawa. Satu per satu kami memasang tenda bersama, akhirnya kedua tenda telah kami bangun. Di belakang tenda kami adalah hutan kelapa yang sangat subur. Daru berinisiatif memanjat pohon kelapa dan menjatuhkan beberapa buah kelapa. Aku pikir, aku dan Daru tak akan kehausan dengan banyaknya buah kelapa di sini.

Kami pun minum air kelapa dan menikmati buahnya kalau kebetulan kelapanya masih muda. Lumayan juga untuk dijadikan menu sarapan. Khasiat buah kelapa memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Nutrisi yang ada di dalamnya membuat buah ini sering direkomendasikan untuk menunjang kesehatan serta mengatasi beberapa masalah kesehatan yang muncul. Satu lagi masalah teratasi, aku dan Daru tidak perlu khawatir kelaparan di pulau ini.

“Pak ... Itu lihat ...!” Tiba-tiba mata Daru melotot mengarah ke belakangku.

Aku menoleh ke belakang, sontak mataku ku pun melotot seperti mata Daru. Seekor kalajengking sebesar kambing sedang merayap mendekati kami. Tak perlu berpikir lagi, segera saja aku mengambil pedangku dari lemari sihir. Aku melesat ke arah si kalajengking. Pedang petirku sukses menghantam tubuh kalajengking hingga tubuh binatang itu hancur menjadi debu. Tiba-tiba aku merasa tubuhku terisi oleh energi sihir, perasaan yang sama saat aku menghancurkan anjing pembawa virus zombie di kampung Latusin.

Sepertinya ini yang dimaksud Petteri.” Gumamku dalam hati sembari kembali ke area tenda.

“Pak ... Ada lagi ...!” Seru Daru sambil menunjuk ke arah belakangku lagi.

Aku pun menoleh ke belakang lagi. Benar saja, kini malah dua kalajengkik sedang merayap ke arahku. Langsung saja aku melesat menyambut kedua binatang aneh itu dan keduanya langsung hancur menjadi debu saat pedang petirku menerpa tubuh keduanya. Tubuhku sekali lagi merasakan siraman energi sihir. Aku pun memindai sekitar. Setelah merasa yakin aman, aku kembali ke tenda. Aku mengambil [Batu Mana] untuk mengukur kapasitas energi sihirku.

Lalu aku mengonsentrasikan energi sihir milikku kemudian memasukan energi sihir milikku ke dalam [Batu Mana] digenggamanku. Perlahan [Batu Mana] itu mengeluarkan cahaya yang semakin lama semakin terang diikuti oleh nominal angka yang terus bergerak dari 1 – 95 – 204 – 635 – 920 – 2250 – 4072 – 5899 – 6238 sebelum akhirnya berhenti bersinar. Ternyata kapasitas energi sihirku bertambah dan sekitar 800 poin lagi aku akan mencapai level [Diamond]. Jadi benar apa yang ditulis Petteri dalam suratnya, kalau membunuh magical beast adalah cara termudah menambah kapasitas energi sihir.

“Coba kamu ukur energi sihirmu. Caranya alirkan energi sihirmu ke batu ini.” Kataku sambil memberikan [Batu Mana] pada Daru.

Tak lama keluar cahaya dari batu kristal yang dipegang Daru yang diikuti oleh nominal angka yang terus bergerak dari 1 – 46 – 172 – 320 – 648 dan akhirnya berhenti. Poin demikian berarti kapasitas energi sihir milik Daru berada di level [Bronze]. Daru pun tersenyum kecut. Dia bilang energi sihirnya sangat jauh dengan energi sihir milikku. Aku mengusap kepala anak itu sambil menghiburnya. Segalanya butuh proses, tidak bisa terjadi begitu saja.

“Pak ... Kalajengkingnya ada lagi.” Kata Daru sambil berdiri. “Sekarang biar aku yang membunuhnya!” Seru Daru sambil berlari menyambut seekor kalajengking yang memang sedang merayap menuju kami.

“Daru! Hentikan!” Teriakku.

Daru pun berhenti lalu mundur kembali ke tempatnya. Aku mengambil pedangku yang tergeletak di pasir. Setelah teraliri petir, aku melesat memburu si kalajengking. Namun kali ini aku tidak membunuhnya, aku hanya melumpuhkannya hingga si kalajengking tidak bisa bergerak.

“Coba kamu hancurkan kalajengking itu.” Kataku pada Daru.

Daru kemudian menciptakan bola api di kedua belah tangannya. Anak itu melemparkan bola api ke tubuh si kalajengkir. Terdengar bunyi ledakan berbarengan dengan hancurnya tubuh sang kalajengking. Aku melihat tubuh Daru seperti mengejang, matanya membulat sempurna. Aku yang sempat kaget tak lama bernapas lega, karena Daru tidak apa-apa. Apa yang dirasakan Daru adalah bertambahnya energi sihir dalam tubuhnya.

“Tadi itu apa ya pak? Kok Daru seperti kesemutan?” Tanya Daru merasa aneh.

“Tadi itu kamu sedang bertambah energi sihirmu. Kalau kamu membunuh kalajengking seperti tadi, energi sihirmu akan bertambah.” Jelasku.

“Betul pak ...?! Kalau begitu kita cari lagi kalajengkingnya!!!” Daru loncat-loncat kegirangan.

“Kamu penuhi dulu energi sihirmu dulu. Baru kita mencarinya.” Kataku.

Dengan semangat, Daru mengambil sikap bersemedi untuk mengembalikan energi sihirnya. Tak lama, aku melihat lagi kalajengking sebesar kambing datang. Aku merasa heran, ada berapa banyak kalajengkin aneh ini, rasanya tidak habis-habis. Seperti yang sudah-sudah, si kalajengking hancur jadi debu. Aku pun penasaran seberapa besar peningkatan energi sihirku dengan membunuh satu kalajengking. Setelah memeriksanya ternyata ada peningkatan sekitar 25 poin. Patteri menyatakan bahwa penambahan kapasitas energi sihir setelah membunuh magical beast hanya sebesar 10% dari energi sihir yang dimiliki magical beast yang dibunuh. Jadi dapat disimpulkan kalajengking sebesar kambing itu hanya memiliki energi sihir sekitar 250 poin saja.

Akhirnya hari itu aku dan Daru menunggu di tenda saja. Kalajengking sebesar kambing terus berdatangan dan terus aku dan Daru hancurkan. Pada saat malam, aku dan Daru bergantian istirahat. Aku menyuruh Daru istirahat duluan sementara aku berjaga-jaga. Saat malam mendekati subuh, barulah aku yang beristirahat, Daru yang berjaga-jaga. Anehnya, kalajengking seperti tidak ada habis-habisnya, silih berganti berdatangan. Untung saja Daru mulai bisa menghancurkan si kalajengking dengan kekuatan pukulannya yang sudah lumayan. Anak itu sudah bisa membunuh lima sampai tujuh kalajengking sebelum energi sihirnya benar-benar habis.

Kini kami memasuki hari kedua di Pulau Kobba Klintar. Daru baru saja memulihkan energi sihirnya setelah menghancurkan satu kalajengking yang ‘melancong’ ke tenda kami. Aku menyuruhnya memeriksa kapasitas energi sihirnya yang ternyata sudah mencapai 1648 poin, berarti energi sihir Daru sudah mencapai leverl [Silver]. Peningkatan yang sangat luar biasa. Pantas saja kalau anak itu sudah bisa membunuh sampai tujuh kalajengking dalam satu siklus energi sihirnya.

Sambil menunggu ‘tamu’ yang datang lagi, aku mulai mengajari Daru teknik bergerak cepat bagi penyihir elemen api sesuai dengan buku yang aku beli. Aku juga sekalian mengajarinya membaca agar bacaan anak itu semakin lancar. Saat tamu kalajengking datang, Daru mempraktekan ilmu bergerak cepatnya sambil menyerang dengan sihir apinya. Luar biasa, selain bisa menghindar dari serangan kalajengking ternyata kekuatan pukulan sihirnya pun semakin kuat. Memang, aku tidak hanya memberi pelajaran bagaimana cara menggunakan ilmu, yang terpenting aku selalu menanamkan konsep sihir yang sedang ia pelajari, maka tidak aneh Daru langsung bisa menguasai teknik dasar sihir ini dengan sempurna sebelum matahari tenggelam lagi, menggantikan hari terang menjadi gelap.

“Pak ...!” Daru berlari-lari sambil membawa ikan besar yang tertusuk kayu.

“Kamu pintar juga berburu ikan.” Kataku kagum.

“Malam ini kita makan ikan Pak.” Katanya sambil cengengesan.

“Ya udah ... Bapak cari kayu bakar dulu di hutan.” Kataku.

“Gak usah pak ... Dibakar begini saja.” Ucap daru sambil mengeluarkan api dari tangannya.

“Gak asik dong ... Asik dibakar pakai kayu.” Kataku.

“Kalau begitu, biar aku yang mencari kayu bakarnya.” Kata Daru sembari memberikan ikan padaku.

Aku pun menerima ikan yang tertancap di ranting kayu. Daru segera berlari ke dalam hutan, sesekali terdengar dentuman pukulan apinya, itu pasti Daru bertemu dengan kalajengking dan menghancurkannya. Beberapa saat kemudian, Daru kembali dengan membawa kayu bakar.

“Pak ... Di dalam hutan banyak sekali kalajengking ...” Kata daru bersemangat.

“Biarkan saja dulu. Lebih baik kita makan dulu. Bapak sudah ingin makan ikan. Dari kemarin makan kelapa saja.” Kataku.

Kami segera membakar ikan dan memakannya. Nikmat sekali makan ikan segar walau setengah matang, minumnya air kelapa yang juga sangat menyegarkan. Hari menjadi benar-benar gelap, sengaja aku nyalakan api unggun sepanjang malam dan ternyata banyak mengundang kalajengking yang tidak pernah habis. Aku biarkan Daru ‘menghabisi’ kalajengking itu sampai energi sihirnya terkuras habis. Setelah itu, baru giliranku menghancur leburkan mereka. Untuk malam ini aku menyuruh Daru untuk istirahat sampai pagi. Aku rasa selama dua hari di Pulau Kobba Klintar ini, aku dan Daru sudah membunuh lebih dari seratus kalajengking sebesar kambing ini, tetapi tampaknya belum juga mau berhenti berdatangan.

Sinar matahari pagi menerpa wajahku dan membuatku mau tak mau harus bangun. Aku keluar tenta namun tak melihat sosok Daru di sekitaran area tenda. Aku berjalan ke belakang tenda dan memasuli hutan kelapa, terus masuk lebih dalam hingga batas hutan kelapa dengan hutan pohon-pohon besar. Tiba-tiba aku mendengar pukulan sinar apinya agak samar-samar. Sontak aku terhenyak, karena itu jarak yang sangat jauh. Aku langsung melesat menuju sumber suara. Tak lama, aku melihat Daru sedang dikerubuti beberapa kalajengking sebesar kerbau. Pukulan apinya tidak bisa mematikan sang kalajengking, tampak Daru keteteran.

Aku keluarkan pedangku dari lemari sihir. Sekilat aku aliri pedangku dengan petir. Sambil terus berkelebat aku babat kalajengking sebesar kerbau itu hingga hancur menjadi debu dan aku sisakan dua kalajengking untuk dihancurkan Daru. Terlihat Daru berkelebatan dengan sihir gerak cepatnya sambil menghantamkan pukulan apinya bertubi-tubi pada dua kalajenking yang sudah tidak bisa bergerak lagi itu.

“Pukul matanya, Daru!” Teriakku.

Daru pun menuruti kata-kataku. Tiga buah bola api menghantam mata si kalajengking dan langsung saja makhluk mengerikan itu hancur berkeping-keping. Daru langsung melesat ke arah kalajengkin satunya, anak itu meluncurkan bola apinya bertubi-tubi ke arah mata kalanjengking. Seketika itu, hancurlah tubuh mahkluk itu berkeping-keping pula. Daru langsung terduduk lelah di atas tanah. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Daru di sana tengah duduk dengan wajah pucat, seperti tak ada darah yang mengalir.

“Bapak tahu kamu ingin menjadi penyihir yang hebat. Tetapi untuk menjadi penyihir yang hebat butuh kesabaran, tidak boleh tergesa-gesa dan jangan membahayakan dirimu sendiri. Kamu perlu ingat bahwa tubuh manusia itu ada batasnya jangan memperlakukan tubuhmu diluar batas kemampuan secara berlebihan, itu akan sangat membahayakan. Camkan ini baik-baik! Kenali batas kemampuanmu, dan cobalah untuk dapat melampauinya setiap hari secara pelan-pelan.” Kataku sambil mengangkatnya supaya berdiri.

“Maafkan Daru pak.” Lirihnya.

“Ya, sudah. Apakah kamu kuat berjalan?” Tanyaku.

“Kuat pak ...” Jawab Daru.

Kami pun kembali ke pantai dan sesampainya di tenda aku suruh Daru untuk memulihkan energi sihirnya yang kurasa sudah terkuras habis. Sementara itu, aku mengupas kelapa sisa kemarin. Kuberikan pada Daru satu buah kelapa dan aku minum sendiri satu buah kelapa yang lain. Di hari ketiga ini, sudah tidak ada lagi kalajengking sebesar kambing yang berkunjung, mungkin sudah habis untuk sekitaran daerah ini, entah jika di daerah lain mungkin masih ada. Saat aku sedang berdiri menatap lautan, aku melihat sebuah perahu mendekat. Semakin lama perahu itu semakin jelas terlihat. Ternyata itu adalah perahu Badar.

Loh ... Kenapa dia sudah ke sini?” Tanyaku dalam hati sambil berjalan ke tepi pantai.

“Pak ... Bapak ...!!!” Teriak Badar penuh suka cita sambil melambai-lambaikan tangannya.

“Kemarilah mas ... Tidak apa-apa, aman kok ... Kemarilah ...!” Teriakku.

“Baik pak ...!” Teriaknya kembali.

Perahu Badar pun tak lama menepi. Aku menolong Badar agar badan perahunya ada di pasir. Badar pun naik kembali ke perahunya. Kulihat Badar membawa tiga buah rantang di tangannya. Pria itu pun turun dari perahu dan menghampiriku.

“Saya bawa makanan buat bapak dengan Dek Daru.” Katanya.

“Oh ... Kenapa harus repot-repot?” Tanyaku.

“Saya hanya ingin mengetahui nasib bapak dan Daru. Kalau masih terlihat berarti makanan ini akan dimakan oleh bapak. Kalau bapak tidak selamat makanan ini akan menjadi makanan ikan. Ternyata bapak masih selamat. Saya sangat senang.” Ucap Badar sumringah.

“Kalau begitu ... Kita makan bersama. Saya juga merindukan makanan orang-orang darat.” Ajakku.

“Baik.” Sahut Badar.

Aku membawa Badar ke tenda. Aku pun membangunkan Daru dalam meditasinya. Tampak Daru sangat senang dengan kedatangan Badar. Daru dengan gaya khasnya yang banyak berceloteh menceritakan pengalamannya selama tiga hari berada di pulau ini. Badar tak henti-hentinya berdecak kagum mendengar sepak terjang Daru yang menurutnya sangat pemberani. Makanan nasi dan lauk pauk yang memang sudah dingin tetapi terasa sangat nikmat di lidah, maklum selama ini perutku hanya terisi oleh buah kelapa muda dan satu kali oleh ikan buruan Daru.

“Saya ingin melihat kalajengking sebesar kerbau itu.” Ucap Badar setengah bercanda.

“Kakak harus masuk ke dalam hutan. Di sana banyak kalajenking sebesar kerbau.” Kata Daru.

“Wow! Kalau bisa membunuhnya, saya pasti akan menjadi penyihir yang kuat. Energi sihir saya pasti akan bertambah banyak.” Ujar Badar sangat bersemangat.

“Cuma bapak yang bisa membunuhnya.” Kata Daru membuat Badar menoleh kepadaku.

“Kamu juga bisa kalau energi sihirmu banyak.” Kataku pada Daru.

“Bapak ... Aku ingin ngecek energi sihirku. Boleh pinjam [Batu Mana] punya bapak?” Kata Daru.

“Kalau belum penuh energi sihir di tubuhmu, percuma saja diukur.” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.

“Umumnya orang-orang seperti saya mempunyai energi sihir sekitar 1500 sampai 2000 poin.” Kata Badar.

“Oh ... Aku sudah punya 1648 poin.” Ucap Daru dengan kepolosannya.

“Wow! Kamu sudah 1648 poin. Itu luar biasa. Anak seusiamu biasanya hanya sekitar 500 sampai 700 poin.” Kata Badar takjub.

“Aku banyak membunuh kalajengking yang kecil, kak. Ada mungkin 50 kalajenking.” Daru cengengesan.

“Pak ... Apakah bapak mengijinkan saya untuk berburu kalajengking?” Tiba-tiba Badar meminta ijin padaku.

“Tapi hanya kalajengking yang kecil. Tidak kalajengking yang besar. Kalau bertemu yang besar lebih baik kamu kabur. Mereka sulit dikalahkan.” Kataku.

“Baik pak ... Terima kasih ... Terima kasih ...” Kata Badar sangat bersemangat sembari menjabat tanganku.

“Ayo Dek ... Antar kakak berburu ...” Ajak Badar pada Daru.

“Ayo kak! Ayo kita berburu kalajengking!” Daru sama bersemangatnya dengan Badar.

“Apakah energi sihirmu sudah pulih Daru?” Tanyaku pada Daru.

“Sudah pak, tinggal sedikit lagi penuh. Masih cukup untuk mengalahkan kalajengking kecil dua puluh ekor lagi.” Sahut Daru.

“Ingat! Jangan coba-coba melawan kalajengking besar. Lari kalau menemuinya!” Aku memperingati mereka sekali lagi.

“Iya pak!” Jawab Daru.

Aku menatap kepergian orang beda usia itu hingga hilang di balik pepohonan. Aku akhirnya mengumpulkan kayu dan ranting-ranting kering di dalam hutan belakang tenda. Aku mengumpulkannya banyak sekali hingga terdapat dua tumpukan besar kayu dan ranting. Setelahnya, aku duduk di depan tenda sambil memegang [Batu Mana] berniat untuk mengukur kapasitas energi sihirku.

Aku mengonsentrasikan energi sihir milikku kemudian memasukan energi sihir milikku ke dalam [Batu Mana] digenggamanku. Perlahan [Batu Mana] itu mengeluarkan cahaya yang semakin lama semakin terang diikuti oleh nominal angka yang terus bergerak dari 1 – 95 – 204 – 635 – 920 – 2250 – 4072 – 5899 – 6238 – 7155 sebelum akhirnya berhenti bersinar. Aku pun tersenyum sekarang aku sudah memiliki energi sihir di level [Diamond]. Menurut Petteri, senergi sihirku sudah bisa untukku mempelajari sihir elemen cahaya.

“Ternyata aku bisa pulang besok. Aku sudah mencapai level [Diamond].” Kataku bermonolog.

Tiba-tiba suara Petteri terdengar jelas di telingaku, “Kau belum bisa kembali sebelum membunuh induk dari kalajengking itu. Kau harus membunuhnya supaya anak-anak kalajengking itu lenyap semua. Kalau kau tidak membunuh induknya tempat ini akan menjadi perburuan para penyihir kuat, terutama dari bangsa Demon. Ingat! Kamu telah membawa jejak di sini. Teman barumu itu bisa saja menyebarkan keberadaan tempat ini.

“Jadi ... Ada induknya kalajengking itu?” Tanyaku pada Petteri setengah terkejut.

Di tengah pulau ini ada sebuah bukit. Di bukit itu ada goa besar tempat induk kalajengking itu tinggal. Saranku, kau jangan terlalu berleha-leha. Bunuh dulu semua anak-anak kalajengking yang jumlahnya ribuan di sekeliling pulau. Energi sihirmu yang sekarang tidak akan mampu membunuh induk kalajengking itu.” Kata Petteri lagi.

“Begitukah?” Kini aku benar-benar terhenyak.

Sekarang habisi dulu anak-anak kalajengking itu. Setelah habis, baru kau datangi induknya!” Kata Petteri lagi.

“Baiklah ... Terima kasih atas informasinya ...” Kataku sambil bangkit.

Gila! Sekarang aku baru tahu kalau kalajengking itu mempunyai induk. Pantas saja banyak sekali bertebaran kalajengking-kalajengking sebesar kambing dan sebesar kerbau. Tak lama, aku melesat ke arah Daru dan Badar. Aku mendengar samar-samar suara dentuman pukulan sihir elemen api. Dengan kecepatan gerakanku, akhirnya aku bisa menyusul keduanya. Mereka tampak sedang asik berburu kalajengking sebesar kambing.

“Daru ... Mas Badar ...!” Teriakku memanggil mereka.

“Bapak!” Keduanya berseru hampir bebarengan.

“Setelah kalian selesai, segeralah kembali ke tenda. Bapak harus segera menuntaskan misi di pulau ini. Bapak harus menghabiskan kalajengking-kalajengking ini semuanya. Untuk yang kecil-kecil akan bapak sisakan untuk kalian. Dan untuk yang besar-besar terpaksa harus bapak segera musnahkan.” Kataku sungguh-sungguh.

“Baik pak ...” Jawab daru.

“Siap pak ...” Kata Badar.

“Hati-hati ...! Jangan sampai kalian terluka ... Racun mereka bisa langsung membunuh kalian.” Tegasku.

“Baik pak ...” Sahut Daru.

Aku segera melesat masuk ke dalam hutam yang lebih dalam. Tubuhku melesat di udara seperti anak panah menapak dahan ke dahan. Saat melihat kalajengking sebesar kerbau, aku menukik dan membabatnya hingga hancur menjadi debu. Aku melesat lagi ke udara, bergerak dari dahan ke dahan lagi. Ketika melihat ‘mangsaku’ lagi, aku babat hingga menjadi debu. Begitu seterusnya, aku terus bergerak berkeliling pulau kecil ini dan terus menghancurkan kalajengking-kalajengking itu. Benar kata Patteri, terdapat ribuan kalajengking karena semakin ke dalam hutan, jumlah kalajengking semakin banyak. Tidak saja yang berukuran kambing, yang berukuran kerbau ternyata lebih mendominasi. Sesuai janjiku, kalajengking sebesar kambing aku tinggalkan, hanya kalajenking sebesar kerbau saja yang aku musnahkan. Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Padahal kalajenking yang harus aku musnahkan masih terlalu banyak.

Tiba-tiba suara Petteri terdengar lagi di telingaku, “Berhentilah dulu. Istirahatkan tubuhmu. Kembali ke tempatmu!

“Pet ... Jika aku berhenti, akan berapa lama lagi aku bisa keluar dari pulau ini?” Tanyaku.

Tidak usah khawatir. Kau masih lama di Azumath. Sekarang kembalilah ke tempatmu dan beristirahatlah dulu.” Kata Petteri yang terdengar seperti perintah.

“Baiklah ... Aku kembali ...” Kataku sambil melesat untuk kembali ke tendaku.

Energi sihirmu sekarang sudah melampau level [Diamond]. Aku mendeteksi energi sihirmu sekarang di poin 25905. Tak ada satu manusia pun yang mencapai kapasitas energi sihir sebesar itu. Paling besar energi sihir yang pernah ada di ras manusia adalah 12.360 itu dipegang oleh Raja Trungguno dua ratus tahun yang lalu. Sekarang energi sihir terbesar dipegang oleh Raja Duvador dengan poin 10155.” Kata Petteri yang tumben mengajakku ngobrol kali ini.

“Aku percaya kalau kau sengaja membuat energi sihirku sebesar ini. Sebenarnya, apa tujuanmu?” Tanyaku.

Kau harus tahu, kalau Raja Demon memiliki kapasitas energi sihir sebesar 200000 poin. Bagaimana bisa kau mengalahkan dia kalau energi sihirmu tidak melebihinya. Belum lagi anak-anak buahnya yang memiliki energi sihir di atas 100000 poin. Ditambah lagi pasukan-pasukannya yang memiliki kapasitas energi sihir yang rata-rata 30000 poin. Jika saja ras demon sama banyaknya dengan ras manusia, sudah sangat dipastikan ras manusia menjadi makanan mereka. Saat ini ras manusia masih bisa bertahan karena jumlahnya yang jauh melebihi ras Demon. Jika diperkirakan 1 berbanding 500. Ras manusia menang jumlah. Jadi masih bisa bertahan.” Jelas Petteri.

“Bagaimana dengan ras Naga?” Tanyaku ingin tahu sambil terus melesat kembali ke tenda.

Ya, untungnya ras Naga masih mau melindungi manusia walau kemarin membiarkan manusia berperang dengan ras Elf yang dibantu ras Demon. Ternyata Naga Suci Khor masih membatasi ras Demon untuk membantu ras Elf. Ras Demon hanya diperkenankan tidak lebih dari satu juta pasukannya.” Jelas Petteri.

“Pet ... Berapa kapasitas energi sihir Naga Suci Khor? Sampai-sampai sangat disegani semua ras termasuk ras Demon.” Tanyaku lagi.

Tidak bisa lagi diukur besarnya energi sihir makhluk itu. Tapi yang jelas, rata-rata ras naga kalangan penduduk biasa memiliki paling sedikit sepuluh juta poin. Kamu tak perlu memikirkan ras Naga karena mereka benar-benar bukan tandinganmu.” Jelas Petteri lagi.

“Terima kasih Pet ... Terima kasih atas informasinya lagi.” Kataku.

Berjuanglah!” Sahut Petteri dan langsung saja lenyap sinyalnya.

Aku akhirnya menjejakan kaki di pasir tepat di depan tenda. Badar dan Daru sedang berada di depan api unggun. Mereka sedang membakar sesuatu seperti lezat juga, bau daging bakarnya harum menggugah selera. Setelah ditanya, ternyata itu adalah daging kalajengking yang mereka bunuh. Badar yang memiliki inisiatif ‘menguliti’ kalajengking yang setengah hancur akibat serangannya. Tanpa ragu, aku ikut membakar daging kalajengking yang telah dipilih dan dibersihkan. Sungguh, luar biasa rasanya. Lezat bukan main dan aman dimakan. Daru dan Badar bercerita kalau mereka masing-masing telah membunuh 40 kalajengking sebesar kambing. Aku tidak tahu kapasitas energi sihir yang dimiliki Badar sekarang. Namun, aku bisa menaksir energi sihir milik Daru. Anak itu pasti memiliki energi sihir tidak kurang dari 3500 poin.

Malam semakin larut dengan bulan yang setia menyinari langit malam. Tetapi tak ada satupun yang pergi untuk tidur. Akhirnya aku memilih untuk tidur duluan, sementara Daru dan Badar terus asik ngobrol dan bercanda. Aku merebahkan diri di dalam tenda dengan perut yang kenyang, dan udara laut yang menyentuh kulit sepoi-sepoi, membuatku dengan cepat terlelap.
Bersambung

Chapter 7 di halaman 51 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd