Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
Terima kasih suhu-suhu atas doa dan dukungannya. Berkat doa suhu-suhu dan obat-obatan meriang saya mendadak hilang. Sampai-sampai saya bisa nulis seharian ini dapet 9 K ... Sekali lagi terima kasih dan lupakan saja kejadian yang sudah-sudah, jangan diteruskan lagi. Saya sudah memaafkan, mudah-mudahan beliau juga memaafkan saya. Lebih baik kita ngopi bareng lagi sambil ...

UPDATE
 
CHAPTER 9


Jangkar diturunkan tetapi tidak sampai jauh ke bawah, karena air di situ dangkal sekali, cuma semeter lebih dan air lautnya sangat tenang. Putri Padmasari langsung saja melesat ke tepi pantai dengan sihir airnya. Bukan tanpa alasan wanita cantik itu mendahului, karena di pantai terlihat beberapa ular lumayan besar yang diyakini sumber peningkatan kapasitas energi sihir. Yanto menurunkan rakit. Lalu aku, Daru dan Yanto menaiki rakit tersebut. Tidak lebih 10 menit, kami bertiga sampai di tepi pantai lalu menambatkan rakit di pohon kelapa.

Kini terlihat Daru dan Putri Padmasari sedang asik berburu ular. Kedua bergerak melesat ke sana ke mari mencari magical beast yang bisa mereka bunuh. Tiba-tiba Yanto naik ke atas pohon kelapa dan metik beberapa buah kelapa. Aku dan Yanto akhirnya hanya menikmati air kelapa muda sembari menyaksikan hamparan laut yang luas di hadapan kami.

“Kenapa kamu tidak ikut berburu?” Tanyaku pada Yanto.

“Saya tidak bisa sihir, tuan. Saya punya kecatatan di tubuh saya.” Jawab Yanto sambil tersenyum.

“Kecacatan? Aku tidak melihatmu cacat.” Kataku sambil menelisik tubuh Yanto yang normal.

“Sicara fisik memang saya tidak cacat, tetapi saya tidak mempunyai energi sihir dalam tubuh saya. Tuan Petteri sudah memeriksa saya dan dia bilang kecatatan saya ini bawaan dari lahir. Saya ditakdirkan untuk tidak mempunyai energi sihir selama hidup.” Jelas Yanto sungguh menyedihkan.

“Maafkan saya sudah nanya yang nggak-nggak.” Kataku.

“Tidak perlu meminta maaf, tuan. Saya malah senang tidak bisa sihir, karena saya memang tidak menyukai sihir sama sekali. Menurutku sihir itu merusak.” Jawab Yanto masih dengan senyumnya.

Aku enggan melanjutkan obrolan dengan tema itu, lalu mengajak Yanto ngobrol masalah yang lain. Setelah hampir satu jam berlalu, aku mendengar dentuman-dentuman pukulan sihir Daru dan Putri Padmasari yang menggelegar silih berganti. Aku berdiri dengan felling yang tidak enak. Aku suruh Yanto kembali ke kapal layar, karena kalau sendirian di pulau ini akan membahayakan dirinya. Kupastikan Yanto selamat menaiki rakitnya di laut. Setelah itu, aku melesat ke arah sumber suara dentuman serangan sihir.

Aku berkelebat dan dalam satu kedipan berhasil menemukan Daru dan Putri Padmasari sedang mengerubuti seekor ular kobra yang sangat besar. Lebar lehernya si kobra ketika terbuka saja bisa kutaksir sekitar dua meteran dan tinggi si kobra saat tegak dan melakukan penyerangan sekitar lima meteran. Tetapi aku melihat kalau monster kobra itu sudah terluka banyak, tinggal menunggu waktu saja dia mati. Benar saja, torpedo air Putri Padmasari berhasil mengenai kepala sang monster dan meledak. Sebuah sinar keluar dari bangkai kobra dan melesat masuk ke dalam tubuh Putri Padmasari. Tampak Putri Padmasari merentangkan kedua tangan sedang meresapi kenaikan kapasitas energi sihirnya.

“Kalian! Beristirahat lah dulu. Pulihkan energi sihir kalian!” Teriakku pada keduanya.

Daru dan Putri Padmasari menghampiriku dengan wajah lumayan berkeringat. Mereka lantas beradu argumen tentang perburuan monster kobra tadi. Entahlah apa yang mereka perdebatkan, namun aku segera menyuruh keduanya untuk memulihkan energi sihir dan tenaga fisik mereka. Tidak lebih setengah jam, Daru dan Putri Padmasari sudah pulih. Daru memanjat pohon kelapa dan menjatuhkan tiga buah. Sambil menikmati air kelapa muda, kami bertiga pun merencanakan tindakan selanjutnya.

“Hari ini kita harus bergerak cepat. Kalian harus berburu secepat mungkin dan sebanyak mungkin. Buru saja magical beast yang bisa kalian pukul dengan satu serangan untuk menghemat tenaga.” Kataku memberi instruksi.

“Baik.” Keduanya menjawab hampir serempak.

Maka dimulailah perburuan kami dengan membuat jalur melingkari pulau. Aku berkelebat duluan di ring pertama dan tidak lagi menemukan monster kobra seperti yang baru saja Putri Padmasari binasakan. Ternyata pulau ini tidaklah begitu besar, jauh lebih kecil dari pada Pulau Kobba Klintar. Tetapi Pulau Diomede lebih banyak penghuninya. Aku masuk lebih dalam ke ring dua. Di sini aku menemukan banyak monster kobra. Tentu saja kumusnahkan seluruhnya. Hanya kobra-kobra kecil yang aku sisakan untuk diburu Daru dan Putri Padmasari.

Tanpa lelah aku terus masuk ke ring tiga dan ring empat. Pulau kecil ini sudah aku kelilingi semuanya dengan tidak memakan waktu sehari. Mungkin karena aku memakai sihir elemen cahaya sehingga penjelajahan di Pulau Diomeda terasa begitu singkat. Entahlah, sudah berapa ratus monster kobra aku jadikan debu. Setelah aku mengelilingi Pulau Diomede sekali lagi, aku dapat pastikan sudah tidak ada lagi monster kobra yang hidup. Tersisa kobra-kobra sebesar lengan orang dewasa yang oleh Daru dan Putri Padmasari bisa dibinasakan hanya dengan satu serangan saja.

Aku kini sedang menyaksikan Daru dan Putri Padmasari berburu dari atas pohon besar. Aku rasa kini Daru dan Putri Padmasari sudah memiliki kapasitas mana lebih dari 9000 point. Kapasitas energi sihir yang sudah melebihi jauh dari kapasitas energi sihir orang-orang pada umumnya. Hal ini berarti juga kalau Daru dan Putri Padmasari sudah bisa dikatakan sebagai ksatria sihir yang kuat.

Waktu terus menipis, makin tipis menggerus waktu. Sore menjelang malam, kami bertiga memutuskan untuk menghentikan perburuan. Kami pun kembali ke kapal layar. Samar kulihat langit, tampak memudar cahaya matahari. Cakrawala menampakan warna jingga lembut dengan arak-arakkan awan yang bergerak lambat dengan kesan sendu yang sedikit menemani. Bintang-bintang pun sudah mengintip tatkala malam mulai datang. Kami naik ke atas kapal layar setelah Yanto menjemput di sisi pantai.

Setelah membersihkan badan dari keringat, semuanya makan masakan Yanto. Makanan ala kadarnya yang penting kenyang. Sambil menyantap makanan, kami membicarakan pengalaman-pengalaman seharian tadi. Seperti biasa Daru lah yang paling bersemangat. Aku pikir Daru sudah sangat terlatih bertempur. Anak itu mampu menggunakan kekuatan sihirnya dengan sangat baik. Sementara itu, Putri Padmasari pun sudah mahir menggunakan sihir elemen air miliknya. Wanita itu piawai memadukan sihir pertahanan dengan sihir serangnya. Putri Padmasari bisa menyerang dan bertahan pada waktu yang hampir bersamaan.

“Besok adalah hari terakhir berburu magical beast. Waktu kalian hanya sampai tengah hari, karena waktu itulah induk magical beast akan bapak hancurkan.” Kataku pada Daru dan Putri Padmasari.

“Iya bapak. Daru akan sebanyak-banyaknya memburu ular sampai besok siang.” Ujar Daru bersemangat.

“Selain di tempat ini, ada lagi tempat berburu magical beast?” Tanya Putri Padmasari.

“Mungkin ada. Tapi aku tidak tahu dimana.” Jawabku jujur karena Petteri hanya memberikan dua tempat saja.

“Kalau ada, aku sangat ingin meningkatkan energi sihirku.” Lirih Putri Padmasari yang aku respon dengan senyum.

Hanya setengah jam kami melanjutkan obrolan, setelah itu kami beristirahat di kabin kapal layaknya bermalam di resort bersama keluarga. Jadi lah malam itu aku tidur lumayan nyenyak, meskipun kapal sedikit bergoyang karena ombak. Entah kenapa malam itu aku bermimpi bertemu dengan Puspa, gadis kecil yang sempat bercokol di hatiku. Aku bermain dan berlari-larian dengan gadis kecil itu. Rasanya aku sangat senang bisa menjumpainya lagi.

.....
.....
.....


Matahari sudah mulai meninggi. Hangatnya matahari kian lama terasa panas. Aku terus memperhatikan Daru dan Putri Padmasari berburu ular-ular kobra dengan begitu bersemangat. Keduanya seakan berlomba-lomba membunuh kobra sebanyak-banyaknya. Memang di pulau ini anak dari magical beast begitu banyak, mungkin ribuan banyaknya. Tentu saja, energi sihir Daru dan Putri Padmasari terus meningkat sangat tajam. Ya, mereka telah menjelma menjadi ksatria sihir yang kuat dan tangguh.

Tak terasa matahari sudah berada di atas dunia. Namun awan mendung menyembunyikannya. Tidak seperti pagi tadi. Sepertinya siang ini akan hujan. Aku pun bangkit dari duduk, dan segera melompat ke atas pohon, lalu berlari melesat dari dahan ke dahan. Tujuanku adalah puncak bukit tempat bersemayamnya sepasang ular berkepala tiga. Hanya beberapa tarikan napas, kini aku sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat. Di hadapanku terdapat pintu goa yang besar dan menganga, jaraknya sekitar sepuluh meteran dari posisiku berdiri. Aku yakin sekali jika goa itu adalah tempat bersemayamnya magical beast buruanku.

Pedang cahaya pun sudah tercipta di tangan kananku. Baru saja aku akan melangkah, tiba-tiba keluar dua ular yang sangat besar dari dalam goa. Benar saja, masing-masing ular mempunyai tiga kepala. Keduanya makhluk aneh yang sulit untuk kujelaskan. Di hamparan lapang yang berbatu cadas ini terlihat kedua makhluk aneh itu mulai menegakan tubuh mereka. Wow! Tinggi dan besar. Aku harus menengadah hanya untuk melihat kepala mereka.

“Selamat datang ksatria yang memiliki cahaya.” Tiba-tiba salah satu makhluk aneh tersebut bersuara. Tentu saja aku terperanjat dibuatnya.

“Hei! Kalian bisa bicara?” Aku yang masih terkejut dibuat semakin terkejut.

“Ya, kami bisa bicara seperti kalian bangsa manusia.” Jawab sang ular berkepala tiga. Dari nada suaranya aku bisa merasakan kefrustasiannya.

“Maaf ... Aku datang ke sini akan membunuh kalian.” Kataku dengan sikap waspada.

“Kami tahu kalau tuan akan membunuh kami, dan kami sudah siap untuk mati.” Katanya.

“Siap? Apa maksudmu?” Aku lagi-lagi terhenyak dengan kepasrahan yang ditunjukkan magical beast di depanku ini.

“Kematian kami di tangan tuan sudah digariskan semesta. Jadi, kami tidak akan menghalangi dan melawan tuan untuk membunuh kami. Dan kami sudah siap menyambut kematian kami.” Katanya penuh dengan kepasrahan.

Sial! Tiba-tiba saja aku merasa iba. Awalnya aku merasa membunuh magical beast itu seperti menyembelih ayam lalu memasak dan memakannya. Ternyata aku salah. Magical beast di hadapanku terlihat sangat sedih yang berarti mereka sama sepertiku, mereka mempunyai perasaan. Lepas dari itu, mereka pun layak hidup dan memiliki hak yang sama denganku sebagai makhluk hidup berperasaan. Hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Keraguan tentunya menghampiri setelah melihatnya, aku tak bisa semena-mena membunuh mereka.

“Paling tidak kalian melawan dulu. Jangan pasrah seperti ini.” Kataku.

“Kami bukanlah tandinganmu ksatria yang mempunyai cahaya. Kami tahu siapa dirimu.” Jawabnya.

"Apapun yang terjadi hari ini, tetaplah berharap dengan baik dan jangan putus asa. Tentang semua yang telah ditakdirkan, jangan pernah berputus asa untuk mengusahakan.” Kataku sambil menghilangkan pedang cahayaku.

“Apakah tuan akan mengampuni kami?” Tanya sang ular berkepala tiga.

“Aku bukan mengampuni kalian, tetapi aku merasa tidak bisa membunuh kalian hanya karena aku memerlukan energi sihir kalian. Kalian berhak hidup dan aku tidak boleh mengambil hak hidup kalian. Tetapi aku meminta pada kalian, anak-anak kalian telah membunuh orang-orang tidak bersalah. Kalian harus menempatkan anak-anak kalian di tempat yang khusus dan jangan sampai berkeliaran bebas di dunia manusia.” Kataku.

“Oh tuan yang memiliki cahaya ... Apakah tuan benar-benar akan melepaskan kami?” Tanya monster ular berkepala tiga itu dengan nada bahagianya.

“Ya, aku membebaskan kalian.” Kataku sangat yakin dengan keputusanku.

“Oh ... Tuan yang mempunyai cahaya ... Terima kasih ... Terima kasih telah membiarkan kami hidup. Kami sangat senang masih bisa hidup.” Ujar monster ular berkepala tiga dengan suka cita.

“Ya, tidak usah berterima kasih seperti itu. Aku yang meminta maaf telah mengganggu kalian. Sekarang aku pamit.” Kataku sambil membalikkan badan.

“Tunggu tuan yang memiliki cahaya!” Seru sang monster membuatku membalikan badan lagi.

“Ada apa?” Tanyaku heran.

“Kami akan memberikan sesuatu kepada tuan yang tuan butuhkan.” Jawab monster ular berkepala tiga.

“Kalian akan memberikan apa kepadaku?” Tanyaku lagi menjadi penasaran.

“Ini terimalah!” Kata monster ular berkepala tiga. Tiba-tiba melayang dua buah benda ke hadapanku. Kedua benda itu berbentuk cincin emas dengan bias cahaya terang. Aku mengambil kedua cincin di hadapanku lalu memasangkannya di jari tengah dan jari manis tangan kiriku. Tak lama monster ular berkelapa tiga berkata, “Benda itu disebut kaksi krittinen, benda sakti yang bisa melipat-gandakan energi sihir.”

“Wow! Ini hebat! Terima kasih ...” Pekikku senang sambil memandang wajah monster ular berkepala tiga di depanku.

“Kami berikan kepada tuan sebagai tanda terima kasih kami karena tuan tidak membunuh kami.” Katanya.

“Ha ha ha ... Aku bilang kalau aku tidak bisa membunuh kalian karena kalian juga mempunyai hak untuk hidup. Tapi, aku ucapkan terima kasih sekali lagi atas pemberianmu ini.” Kataku sambil menjura.

“Sama-sama tuan ...” Jawabnya dengan mengangguk-anggungan kepalanya.

“Kalau begitu aku pamit. Semoga kita bisa bertemu lagi.” Kataku masih dengan sikap menjura.

“Silahkan tuan.” Jawab sang monster.

Aku melesat meninggalkan puncak bukit. Aku bergerak cepat dari dahan ke dahan dengan wajah cerah. Tidak perlu menggunakan kekerasan untuk mendapatkan sesuatu. Hingga tak lama aku sampai di tempat Daru dan Putri Padmasari masih memburu ular. Aku melihat semangat mereka yang begitu menyala-nyala, tak jenuh, tetap bertahan meski kami tahu jalanan selalu ada tikungan dan tanjakan, juga begitu dengan hidup selalu naik turunnya. Tapi, proses adalah proses dan kami memulyakan itu.

Aku tidak menyangka kalau kau bisa mendapatkan kaksi krittinen tanpa harus membunuh.” Tiba-tiba terdengar suara Petteri.

“Oh ... Petteri ...” Kataku pelan lumayan terkejut. “Aku tidak bisa membunuh makhluk yang mempunyai pikiran dan perasaan. Mereka sama seperti kita. Mereka juga ingin hidup.” Jelasku pada Petteri.

Aku semakin kagum padamu, Azka ... Memang maksudku untuk berburu di pulau ini adalah untuk kau mendapat benda sakti itu. Sekarang kau mendapatkannya tanpa harus membunuh pemegang benda sakti itu. Kebaikanmu membawa keberuntungan.“ Kata Petteri.

Aku tidak menjawab karena aku tahu Petteri sudah memutuskan komunikasinya. Aku lantas menyuruh Daru dan Putri Padmasari untuk berhenti lalu kembali ke kapal layar. Setelahnya, Yanto membawa kami pulang ke daratan. Perjalanan pulang sangat lancar tidak ada hambatan sama sekali dan kami sampai di rumah Ragnala sekitar jam setengah tujuh malam. Usai makan malam, aku memeriksa kapasitas energi sihir Daru dan Putri Padmasari di laboratorium Ragnala. Luar biasa! Kapasitas energi sihir Daru sebesar 13775 poin dan kapasitas energi sihir Putri Padmasari sebesar 13549 poin. Suatu kapasitas energi sihir di atas rata-rata ras manusia. Aku pun memeriksa kapasitas energi sihirku sendiri yang mencapai 629553 poin. Ragnala pun mengucapkan selamat atas pencapaianku, karena dengan energi sihir sebesar itu aku akan mudah mengalahkan Raja Demon dan anak buahnya.

.....
.....
.....


Rasakan semangat pagi di hari yang cerah dan ceria ini. Rasakan hidup penuh dengan cerita-kisah, peristiwa, drama, perjuangan, pengorbanan. Walau aku tahu hidup selalu terus dituntut untuk berjuang, membangkitkan semangat pengorbanan terutama dengan orang-orang yang aku kasihi. Untuk tetap menjadi pilihan hidup tanpa kecuali. Sebab kehidupan cemerlang bukanlah hadiah. Tidak diberikan begitu saja. Hidup sukses adalah piala, setiap piala harus direbut penuh perjuangan, ada air mata yang menetes, ada pengorbanan yang menggetarkan jiwa. Belum lagi mencapai tujuannya, perjuangan telah memberikan kenikmatan hidup bagi para prajurit kehidupan.

Menyambut kehidupan dengan jiwa setegar karang, segagah gunung, sehebat amukan badai. Kehidupan ini kadang kala getir, nikmati kegetiran itu sepenuh jiwa hingga akhirnya kegetiran itu berubah menjadi kemanisan. Jika hidup adalah perjuangan, kita tidak layak jadi pengecut. Jadilah prajurit gagah berani, turunlah ke medan pertempuran. Katakan pada jiwa kita, “BERJUANGLAH!” Dalam kehidupan ini jangan takut terluka. Jangan bersembunyi di sudut-sudut kehidupan. Kemarilah! mari kita ukir kisah dan sejarah.

Pelataran sejarah mencatat para pemberani dan para pejuang hebat. Dan di dalam perjuangan tersebut ada pedihnya luka, maka pedihnya luka itu masih bisa ditanggung oleh kita. Kalaupun harus terluka, terlukalah. Gagal dan sukses laksana siang dan malam datang silih berganti. Betapa jauhnya kesuksesan dari para pengeluh. Seandainya keluhan bisa merubah hidup menjadi lebih baik, kita pasti akan melihat semua orang hidup sukses. Perjuangan adalah harga dari sebuah impian. Tidak ada sebuah perjuangan tanpa pengorbanan, pengorbanan adalah ciri utamanya.

Hampir dua tahun aku berada di Azumath. Terkadang suka dan duka datang tanpa permisi. Ya, itulah kehidupan dunia yang tiada kekal abadi. Kehidupan itu bagaikan roda yang terus berputar. Aku tidak bisa memberhentikan apalagi menawar. Selama aku memiliki tujuan besar untuk dicapai, tidak pantas patah semangat di tengah jalan. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, namun takan sesekali mundur, karena aku tidak akan menyerah.

Aku, Daru dan Putri Padmasari terus berkuda tanpa lelah menuju kota raja. Aku tidak menyangka, sepanjang perjalanan kami dielu-elukan, disambut hangat warga masyarakat, penuh cinta, dan penuh bangga. Aku merasa masyarakat mendambakan pemimpin yang bersahaja, pemimpin yang bisa melindungi dan mengayomi masyarakat. Tampak masyarakat sangat kecewa dengan raja yang sedang berkuasa. Masyarakat kecewa dengan sang raja karena ternyata di negeri ini banyak kesewenangan yang menindas nasib mereka.

Dukungan pun tidak melulu berasal dari masyarakat. Para prajurit yang aku temui di sepanjang perjalanan pun menyatakan tekad mereka untuk mendukung Putri Padmasari dan berkeinginan untuk menggulingkan kekuasaan raja yang sekarang. Ternyata, di bawah kepemimpinan Raja Jalada, Kerajaan Qaarsut tidak menjadi lebih baik, tidak menjadi lebih aman, tidak menjadi lebih tentram, tidak menjadi lebih makmur, tidak menjadi lebih maju. Yang terjadi sebaliknya, kesengsaraan dan kemiskinan makin menjadi-jadi, ksewenang-wenangan terjadi di mana-mana, keamanan makin rapuh, tertib hukum tidak ada lagi, banyak orang bertindak semaunya sendiri.

Setelah melakukan perjalanan empat hari sejak keberangkatan kami dari Kota Lochalsh, di belakang kami sudah ada ratusan prajurit yang setia pada Putri Padmasari. Ketika kami berada di gerbang kota raja pun, para prajurit penjaga langsung bergabung dengan kami. Ini semua membuktikan bahwa rakyat Kerajaan Qaarsut tidak menyukai rajanya. Keadaan semakin heboh ketika warga kota raja menyambut kami dengan gegap gempita. Fakta yang terjadi, Putri Padmasari memang telah dinanti untuk memimpin kerajaannya kembali. Bahkan, sebelum masuk ke gerbang istana, kami disambut Panglima kedua dan menyatakan kalau dirinya beserta pasukannya setia pada Putri Padmasari.

“Kami sudah lama menunggu kedatangan Yang Mulia Putri Padmasari.” Ujar Panglima kedua sembari bersimpuh hormat di depan kuda Putri Padmasari.

“Aku terima salam hormatmu Panglima Pranaja. Sekarang aku perintahkan agar Raja Jalada menemuiku di Colosseum. Bilang padanya aku ingin berduel dengannya.” Ucap Putri Padmasari tegas dan berwibawa.

“Padaku ... Yang Mulia Tuan Putri.” Jawab Panglima kedua yang bernama Pranaja. Lalu menyembah hormat dan pergi ke dalam istana.

“Tuan Putri ... Apakah tuan putri serius mengajak Raja Jalada berduel?” Tanyaku tidak percaya dengan keputusan Putri Padmasari.

“Ya ... Biar warga tahu, kalau aku layak menjadi ratu mereka.” Jawabnya penuh keyakinan.

“Berhati-hatilah tuan putri. Dalam setiap pertempuran kita harus tetap waspada. Tutup semua kelemahan kita dengan harus tetap berhati-hati. Kita tetap harus berikhtiar, waspada, tidak perlu terlalu panik, dan sebaliknya jangan terlalu percaya diri, takabur apalagi sampai lengah.” Aku coba memperingati Putri Padmasari.

“Ya, aku mengerti.” Jawab Putri Padmasari sambil tersenyum.

Tak lama berselang, dari arah istana terdengar suara terompet dan genderang perang dibunyikan. Pertanda pertarungan akbar akan segera dilaksanakan di Colosseum. Dan itu artinya pula bahwa Raja Jalada menerima tantangan duel dari Putri Padmasari. Aku lihat semua orang berlarian ke arah timur, seakan tidak ingin kehabisan tiket. Mereka berlomba-lomba menuju Colosseum tempat akan dilakukannya duel antara Putri Padmasari dengan Raja Jalada. Tidak hanya prajurit juga rakyat biasa berlomba-lomba mendatangi tempat yang akan menjadi saksi sejarah Kerajaan Qaarsut.

“Biar aku saja yang menghadapi raja sialan itu.” Kataku sambil menghalangi kuda Putri Padmasari yang hendak bergerak ke Colosseum.

“Tidak mas ... Ini adalah pertaruhan diriku. Aku harus mengambil tahta itu dengan tanganku sendiri.” Jawab Putri Padmasari dengan penuh percaya diri.

“Baiklah ... Tapi ingat! Hal yang paling penting adalah jangan menganggap enteng lawan. Jika perasaan jumawa itu dipelihara, itu bisa jadi ganjalan bagi tuan putri dan bahkan akan memutar-balikkan keadaan.” Aku coba memperingatinya lagi.

“Ya, aku akan selalu ingat nasehat Mas Azka.” Sahut Putri Padmasari lalu menjalankan lagi kudanya.

Aku dan Daru mengikuti Putri Padmasari di belakang. Tentu saja banyak orang yang berharap Putri Padmasari sebagai pemenangnya. Beberapa menit berselang, aku terpisah dengan Putri Padmasari. Aku dan Daru segera naik ke tribun. Suara gemuruh pendukung Putri Padmasari di Colosseum menyambutnya bak pahlawan paling berjasa. Aku dan Daru menyaksikan Putri Padmasari di tribun barat bersama dengan penonton lainnya. Kini tampak Putri Padmasari telah berhadap-hadapan dengan Raja Jalada. Perisai sihir berbentuk kubah besar pun terbentuk untuk melindungi para penonton dari pertempuran kedua orang yang berduel di arena pertempuran.

“KEBETULAN! KAU DATANG UNTUK MENGATAR NYAWA!” Suara menggelegar Raja Jalada membuat suara gemuruh penonton terhenti seketika. Aku rasa semua penonton ingin mendengarkan percakapan keduanya sebelum dimulai pertarungan.

“AKU DATANG BUKAN UNTUK MENGANTAR NYAWA. TETAPI AKU DATANG AKAN MENGAMBIL TAHTAKU.” Jawab Putri Padmasari lantang. Sontak gemuruh penonton meledak menggetarkan colosseum. Semuanya mendukung Putri Padmasari. Tak lama, suasana sepi kembali.

“SEBENARNYA AKU SUDAH BERBAIK HATI TIDAK MEMBURUMU. AKU BERHARAP KAU PERGI DENGAN DAMAI DARI KERJAAN INI. TETAPI SEKARANG KAU KEMBALI DENGAN HAYALANMU TINGKAT TINGGI. BERSIAPLAH! TERIMALAH HUKUMANMU KARENA KAU TELAH MEMBANGKANG TERHADAP RAJAMU!” Suara menggelegar Raja Jalada disambut suara 'paduan suara' ejekan.

“BERSIAPLAH!” Teriak Putri Padmasari.

Putri Padmasari dan Raja Jalada pun akhirnya meloncat secara bersamaan. Loncatan Raja Jalada sangat cepat dan daya jelajahnya melebihi apa yang diperkirakan olehku, sontak aku terkejut, khawatir Putri Padmasari tidak siap menerima serangan Raja Jalada. Namun apa yang aku lihat sungguh luar biasa. Putri Padmasari berhasil menangkis pukulan Raja Jalda namun besarnya kekuatan Raja Jalada membuat Putri Padmasari terhempas dari loncatannya.

Raja Jalada juga tidak diam begitu saja, ia mulai beraksi dengan mengeluarkan sihir apinya untuk menyerang Putri Padmasari yang masih terhempas karena pukulannya yang sangat keras. Raja Jalada pun membuat lingkaran sihir di tangannya dan mengeluarkan sihir peluru apinya. Peluru api yang banyak dengan diameter kurang lebih 10 centi mengarah ke Putri Padmasari dengan cepat dan akurat. Putri Padmasari pun masih terhempas dan tidak menyadari serangan dari Raja Jalada, dan saat Putri Padmasari masih terhempas di udara ia melihat peluru-peluru api berdatangan dan menuju ke arahnya, dengan reflect-nya Putri Padmasari berusaha menghindari peluru api itu satu persatu dia berhasil menghindari peluru api tersebut dan mengakhirinya dengan serangan tidak terduga sebelum ia mendarat di tanah arena pertarungan.

Putri Padmasari menyerang Raja Jalada dengan torpedo airnya. Seketika semburan panjang berbentuk kepala naga melesat ke arah Raja Jalada. Sang raja pun membuat torpedo sihir elemen apinya, serangan tersebut pun mengarah ke torpedo air milik Putri Padmasari. Di waktu yang bersamaan kedua serangan tersebut bertabrakan dan menimbulkan ledakan yang luar biasa keras.

BLAAARRR ....!!!

Kedua serangan tersebut sama kuatnya… Dan waktu berlalu untuk beberapa menit...

“PANTAS SAJA KAU BERANI MENGAJAKKU BERDUEL. TERNYATA KAU SUDAH MEMPUNYAI SEDIKIT ILMU. HA HA HA ...!” Ujar Raja Jalada dengan kesombongannya. “TAPI JANGAN BANGGA DULU! KARENA AKU AKAN MENGHANCURKANMU DALAM 5 MENIT!” Ucapan Raja Jalada sungguh meremehkan. Dan kulihat Putri Padmasari hanya menanggapinya dengan tersenyum.

Tanpa ada peringatan Raja Jalada langsung menembakkan peluru api ke arah Putri Padmasari yang dengan mudah dapat dihindari olehnya. Raja Jalada kembali menyerang Putri Padmasari dari belakang menggunakan sihir api miliknya yang membentuk sebuah burung phoenix. Putri Padmasari dengan cepat memunculkan sebuah sihir penyimpanan di samping tubuhnya yang mengeluarkan sebuah sebilah pedang dari dalam lingkaran sihir tersebut. Setelah mencabut pedang miliknya, Putri Padmasari langsung menebas burung phoenix tersebut menjadi dua bagian tanpa melihat dari mana datangnya sihir tersebut.

Semua orang yang berada di colosseum terkejut ketika Putri Padmasari membelah phoenix api tersebut tanpa melihat ke belakang. Raja Jalada mengeram marah karena sihir miliknya dapat dihancurkan begitu saja dengan mudah. Setelah menghancurkan phoenix api milik Raja Jalada, Putri Padmasari langsung melesat ke arah Raja Jalada dengan kecepatan yang dia miliki. Setelah sampai di depan Raja Jalada, Putri Padmasari langsung menebaskan pedang miliknya ke arah Raja Jalada, dengan sigap Raja Jalada dapat menghindari tebasan yang mengarah kepada dirinya.

"KAU INGIN BERMAIN PEDANG? BAIKLAH! AKAN KULAYANI PERMAINAN PEDANGMU!" Teriak Raja Jalada sambil mengeluarkan sebuah pedang besar dari lingkaran sihir penyimpanan miliknya. “MARI KITA LIHAT LEBIH HEBAT MANA PEDANG MILIKMU ATAU PEDANG MILIKKU INI!” Lanjut Raja Jalada masih dengan nada meremehkan.

‘SET! TRINK!’ Kedua pedang tersebut saling berbenturan hingga menciptakan percikan api.

“Heh, kau kira kau dapat menang dengan pedang aneh seperti itu?” Ucap Raja Jalada yang mencoba memancing emosi Putri Padmasari.

Mendengar ucapan Raja Jalada yang terdengar meremehkan seperti itu membuat Putri Padmasari menyeringai. Tentu aku merasa lega karena Putri Padmasari tidak terpancing dan terlihat sangat tenang, bahkan sangat menikmati pertarungannya. Ketenangan merupakan syarat terpenting pada saat berlaga di medan pertempuran. Karena bagaimana pun, ketenangan adalah sebagian dari kemenangan.

“Oh, ini belum seberapa Jalada, karena pertandingan yang sesungguhnya baru akan dimulai." Ucap Putri Padmasari yang masih menunjukan seringaiannya.

SRING! WUSH! BRAK!

Tampak sekali Raja Jalada sangat terkejut saat dirinya terpental ke belakang karena terdorong oleh kekuatan sihir elemen air yang muncul dari pedang yang dipegang oleh Putri Padmasari ketika dirinya menggesekkan bilah pedang miliknya. Bukan hanya Raja Jalada, tetapi semua penonton yang melihat pertarungan ini terkejut karena Putri Padmasari mampu mengeluarkan asap tebal lewat pedang yang digunakannya. Mereka dapat melihat bilah pedang yang dipegang oleh Putri Padmasari mengeluarkan asap es yang sangat pekat.

“ADA APA JALADA? BUKANKAH KAU BERKATA AKAN MENYELESAIKAN PERTANDINGAN INI DALAM WAKTU 5 MENIT?” Ucap Putri Padmasari dengan nada mengejek.

“SIALAN KAU PECUNDANG!” Terdengar teriak marah Raja Jalada.

BLAAARRR!!!

Tiba-tiba dentuman keras terdengar ke seantero coloseum, dan hanya sekedipan mata tercipta ruang dimensi yang sangat besar di mana raung dimensi itu terisi oleh air. Aku melihat Ratu Padmasari melayang-layang tenang di dalam ruang dimensi itu, sementara Raja Jalada tampak berenang-renang dengan gaya tak terdefinisikan. Pria itu berenang ke sana ke mari seperti orang tenggelam meminta bantuan.

"SELAMAT DATANG DI SALAH SATU DIMENSI MILIKKU!" Ucap Putri Padmasari yang menggema di seluruh arena colosseum. Dan penonton langsung bergemuruh senang.

“Bunuh ...!”

“Bunuh raja keparat itu!”

“Habisi dia! Dia tak layak hidup!”

“Pateni! Pateni! Pateni!”


Dan yang pasti, aku menikmati bergejolaknya adrenalin karena gemuruh suara dukungan para penonton yang mengelu-elukan atau bahkan mengumpat sang raja yang telah tak berdaya. Aku melihat Raja Jalada coba menyerang. Namun sihir apinya padam dan gerakannya pun sangat lambat dibanding dengan gerakan kilat Putri Padmasari. Raja Jalada bisa diibaratkan seperti mainan bagi Putri Padmasari.

JRASSSSH! ARRRRRGGHH!

Terdengar teriakan memilukan yang menggema keluar dari dalam dimensi air yang Putri Padmasari ciptakan. Tak lama, air dalam dimensi itu tercemar oleh darah. Darah menyebar di sekitar air. Suara gemuruh penonton berubah menjadi kesenyapan. Dan akhirnya dimensi air pun menghilang. Tampak Putri Padmasari berdiri anggun dengan kaki menginjak kepala Raja Jalada yang sudah terpisah dari badannya.

“HIDUP PUTRI PADMASARI ...”

“HIDUP PUTRI PADMASARI ...”

“HIDUP PUTRI PADMASARI ...”

Teriakan penonton begitu menggema menyambut kemenangan Putri Padmasari. Sorak-sorai penonton menjadi lagu pengiring kemenangan Putri Padmasari. Aku berdiri dan bertepuk tangan sementara Daru lncat-loncat gembira. Intinya semua menyambut kembalinya Putri Padmasari ke istana. Zaman kegelapan nan dingin telah berganti dengan musim semi yang cerah. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan setelah Putri Padmasari melambai-lambaikan tangan kepada semua orang di colosseum. Putri Padmasari mengedarkan pandangannya disertai dengan senyuman termanisnya ke setiap penjuru colosseum seperti memberitahukan kepada semua orang bahwa ia amat sangat berterimakasih atas dukungan yang mereka berikan.

.....
.....
.....


Putri Padmasari melambai-lambaikan tangan kepada warganya dari atas balkon istana. Air mukanya begitu bahagia. Aku belum pernah melihat Putri Padmasari sebahagia itu sejak pertama kali berjumpa. Putri Padmasari yang telah memakai Mahkota Berlian dan pakaian kerajaan yang apik, membuatnya terlihat sangat berwibawa. Kecantikannya menjadi berlipat-lipat. Rias dan hias yang membaluri wajahnya sedang menyapa hangat, dan bahkan suasananya telah berubah. Percaya diri, terbuka, elegan dan tidak terjangkau. Itu kesan baruku tentang Putri Padmasari.

Setelah berorasi kepada rakyatnya, Putri Padmasari kembali masuk ke dalam istana. Aku dan Daru yang sejak tadi mengekor mulai merasa bosan. Diam-diam aku dan Daru pergi ke dapur istana untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Aku menemukan beberapa roti isi di sana. Tanpa ampun, kami lahap roti isi daging itu sampai tak bersisa. Tiba-tiba beberapa koki memasuki dapur dan berteriak-teriak ‘maling’. Aku dan Daru hanya tertawa dan berusaha menenangkan para koki yang belum mengenal kami. Tapi keadaan semakin rumit. Kami dipukuli dengan sapu dan alat-alat masak oleh para koki istana. Namun, aku dan Daru tidak melawan.

“Ampun ... Ibu koki ... Saya kelaparan ...” Kataku sambil menutup kepala dengan kedua tangan.

“Kalian harus mendapat hukuman! Kalian telah mencuri makanan buat ratu kami!” Ujar salah satu koki dan masih menghantamkan sapunya padaku.

“HENTIKAN!” Tiba-tiba terdengar suara pria yang sukses menghentikan aksi para koki.

“Ada pencuru, Penjaga ... Tangkap mereka ...!” Ujar salah satu koki beringas.

Aku dan Daru pun berdiri dari posisi jongkok kami. Sang penjaga terbelalak saat melihatku dan Daru. Lekas-lekas dia memburuku lalu menjura hormat berkali-kali, “Maafkan Tuan Azka ... Maafkan koki-koki ini ... Mereka tidak tahu tentang tuan ...”

“He he he ... Tidak apa-apa. Kami memang yang salah, mencuri makanan Putri Ratu Padmasari.” Kataku sambil cengengesan.

“HAI! APA YANG KALIAN LAKUKAN! INI ADALAH TUAN AZKA! BELIAU YANG MENOLONG RATU KITA!” Teriak marah prajurit penjaga kepada para koki yang sedang melongo tak percaya. “MINTA MAAF KALIAN SEMUA!” Perintah prajurit penjaga.

“Ma..maafkan kami Tuan ... Ka..kami tidak tahu tuan ...” Seorang koki tertua mewakili yang lain. Semua koki berlutut hormat di hadapanku dengan kepala menunduk dalam.

“Kalian tidak perlu begitu ... Bangkitlah semua! Anggap saja ini perkenalan kita, karena saya dan anak saya akan sering berkunjung ke tempat ini.” Kataku setengah bercanda.

“Benar, bu ... Saya paling suka di tempat banyak makanan ...” Sahut Daru sambil mengangkat badan salah satu koki hingga berdiri. Satu persatu Daru menyuruh berdiri para koki yang berjumlah enam.

“Kami benar-benar tidak tahu kalau tuan adalah penolong Yang Mulia Ratu ...” Ujar koki tertua mengulangi ucapannya.

“Tidak apa-apa ... Sekarang saya ingin minum ... Apa di sini ada kopi?” Tanyaku.

“Ada tuan ... Saya buatkan sekarang ...” Kata koki paling belakang dan langsung ia bergerak membuatkan kopi untukku.

Aku dan Daru lantas kopi dan makan cemilan bersama para koki di dapur. Awalnya para koki sangat kaku karena menganggap aku dan Daru sebagai pembesar istana. Namun aku tekankan bahwa aku adalah manusia biasa seperti mereka. Aku tidak ingin diperlakukan sebagai pembesar istana oleh mereka. Tidak peduli siapapun dia, setiap orang harus belajar untuk saling menghormati sesama manusia. Saling menghormati adalah dasar semua hubungan. Saling menghormati adalah sesuatu yang sangat penting dalam menjaga hubungan yang sehat.

“Maaf Tuan Azka ... Tuan dipanggil Yang Mulia Tuan Ratu ...” Tiba-tiba seorang prajurit datang menemuiku.

“Oh ... Baiklah ...” Kataku sembari bangkit lalu berjalan mengikuti sang prajurit.

“Bapak ... Aku mau main di taman ...!” Seru Daru.

“Tidak Tuan Daru ... Tuan juga diperintahkan menghadap Yang Mulia Tuan Ratu.” Kata sang prajurit yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik badan menatap Daru.

“Oh ...” Lirih Daru melongo tapi tak lama. Anak itu pun turun dari tempat duduk dan berjalan di sampingku mengikuti sang prajurit.

“Pak ... Aku dipanggil tuan ...” Kata Daru pelan dengan nada tak percaya.

Aku hanya tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. Tak lama, kami sampai di sebuah ruangan yang lumayan luas. Dalam ruangan ini banyak sekali pakaian kebangsawanan. Rupa-rupanya aku disuruh memilih pakaian yang cocok untuk aku kenakan. Memang pakaian yang terpampang sangat berlainan dengan pakaian yang aku kenakan sehari-hari yang sudah barang tentu berlainan kualitas dari bahan dan modelnya.

Setelah memilih pakaian yang aku rasa cocok, aku segera membersihkan diri dan berpakaian dan juga berdandan agak berlebihan karena aku disediakan juru hias. Aku hanya bisa tersenyum dengan protokeler ini. Walau begitu aku mengikutinya hingga selesai. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum sendiri saat mematut di depan cermin besar. Aku sama sekali tidak menyangka kalau saja aku sebersih ini ternyata aku tampan juga. Ketampananku memang mutlak, buktinya Putri Padmasari saja mau aku gauli.

Aku pun keluar dari ruangan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Dengan mengenakan pakaian kebangsawanan seperti ini aku semakin percaya diri. Tiba-tiba seorang prajurit menyapa dan memintaku untuk ikut dengannya atas perintah Putri Padmasari. Mau tidak mau aku harus mengikuti perintah wanita itu karena bagaimana pun dia seorang penguasa saat ini. Sebuah pintu besar kini di hadapanku dengan dijaga dua prajurit. Pintu pun terbuka dan aku melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Rupanya aku memasuki sebuah ruangan pertemuan yang terdapat sebuah meja berbentuk bundar lonjong seperti elips. Di sana telah duduk orang-orang yang tidak aku kenal, kecuali Putri Padmasari dan Daru. Hei! Daru ada di ruangan ini? Sungguh mengejutkan!

“Silahkan bergabung Panglima Tertinggi.” Terdengar suara Putri Padmasari yang membuatku terkejut bukan main. Ratu Kerajaan Qaarsut itu kini memanggilku dengan sebutan ‘Panglima Tertinggi’. Semua yang hadir pun langsung berdiri seperti sedang menyambut kedatanganku.

“Aku bukan panglima.” Kataku santai sambil berjalan menghampiri audience.

“Sekarang pangkatmu adalah Panglima Tertinggi Kerajaan Qaarsut.” Ucap Putri Padmasari seolah memaksakan kehendaknya.

Aku melihat hanya satu kursi yang kosong. Itu berada di sisi kursi kebesaran Putri Padmasari. Mau tidak mau aku mendekati kursi itu, “Saya sangat terkejut karena dengan tiba-tiba saya dipanggil Panglima Tertinggi. Apa yang sedang terjadi di sini?”

“Aku telah mengangkatmu sebagai panglima tertinggi dan telah disetujui oleh pejabat-pejabat istana di sini. Tidak ada satu pun keberatan atas pengangkatanmu sebagai panglima tertinggi, termasuk panglima kelima, Daru.” Ungkap Putri Padmasari yang sukses membuatku heran sekaligus ingin tertawa.

“Daru? Anak itu panglima? Ayolah Yang Mulia Putri Padmasari. Lelucon apa yang sedang tuan putri lakukan?” Kataku sambil menatap Daru yang sedang cengengesan dengan gayanya yang kekanak-kanakan.

“Daru akan dibimbing oleh panglima-panglima seniornya termasuk dirimu. Aku tidak ingin lagi ada bantahan. Sekarang kita mulai pertemuan ini untuk membicarakan negeri ini.” Ujar Putri Padmasari sambil menyuruh duduk semua orang yang hadir.

Untuk saat ini aku tidak ingin mendebat Putri Padmasari. Aku ikuti diskusi yang menurutku cukup menarik. Semua yang hadir kecuali Aku dan Daru saling menyatakan pendapat serta argumen. Peserta pertemuan ini tampak antusias dan memberikan masukan dan pendapat terhadap permasalahan yang dibahas. Mereka semua adalah lima panglima dan para menteri. Terkadang aku sangat ingin ketawa dengan celotehan Daru yang tiada guna di tengah perdebatan para menteri. Namun celotehan Daru membuat suasana menjadi hangat dan pembicaraan pun berjalan dengan lancar dan sukses.

“Baiklah ... Kita sudah mendapat solusi untuk memajukan dan memakmurkan negeri ini. Silahkan bekerja sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Bulan depan kita bertemu lagi di tempat ini untuk membicarakan perkembangan dan jalannya pembangunan. Sekarang boleh bubar dan ke tempat masing-masing.” Putri Padmasari menutup pertemuan para pejabat istana dengan anggun dan elegan.

Semuanya berdiri dan menjura hormat pada sang ratu lalu semuanya keluar termasuk Daru yang kini sudah mempunyai ‘teman’ sesama panglima. Lagi-lagi aku masih ingin tertawa melihat Daru di kumpulan orang-orang dewasa yang bukan orang sembarangan. Ya, mungkin aku akan membiarkan Daru belajar sejak kecil untuk menjadi pejabat istana. Aku yakin itulah nasib yang telah digariskan semesta padanya.

“Mas ...” Kini Putri Padmasari bersuara informal seperti biasanya. “Aku ingin Mas Azka selamanya ada di sini. Oleh karena itulah, aku mengangkat Mas Azka menjadi Panglima Tertinggi, menggantikan Panglima Bajradaka yang berkhianat padaku.” Lanjut Putri Padmasari penuh pengharapan dan permintaan yang tulus.

“Tapi tuan putri tahu kalau aku mempunyai misi yang sangat berat. Itu menuntutku harus pergi melanglang buana.” Kataku berharap Putri Padmasari mengerti akan keadaanku.

“Ya, aku mengerti. Tapi, semua itu bisa mas lakukan dari sini. Maksudku, Mas Azka bisa pergi kemana saja yang mas mau, tetapi Mas Azka harus kembali ke sini. Di sinilah Mas Azka tinggal. Di sini lah rumah Mas Azka yang sesungguhnya.” Ungkap Putri Padmasari bersungguh-sungguh.

“Aku akan mempertimbangkannya. Aku masih punya waktu satu tahun di sini. Mudah-mudahan saja, aku berubah pikiran untuk pergi berkelana.” Kataku sambil tersenyum.

“Aku sangat berharap Mas Azka tinggal selamanya di sini.” Ucap Putri Padmasari yang tiba-tiba menarik tanganku.

Aku dibawa Putri Padmasari keluar dari ruangan pertemuan namun bukan dari pintu utama. Di sebelah selatan ruangan terdapat pintu keluar lain. Sebuah koridor yang memiliki aspek estetika visual melalui tampilan bangunan yang berarsitektur sangat indah. Aku tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti langkah sang putri. Tak lama, aku berada di sebuah taman yang berbentuk persegi di tengahnya terdapat kolam yang berbentuk lingkaran dengan dikelilingi jalan setapak. Aku terus melewati taman tersebut dan akhirnya sampai di sebuah bangunan yang isinya hanya tempat tidur yang sangat besar, yang aku perkiran setiap sisinya berukuran 5 meter. Ruangan luas itu selebihnya kosong beralaskan permadani yang sangat indah.

“Tempat ini adalah tempat hiburan para raja.” Ujar Putri Padmasari dan tentu saja membuatku heran. Sebuah tempat yang berisi tempat tidur besar disebut sebagai tempat hiburan raja.

“Aneh ...” Gumamku.

“Sudah turun temurun para raja menggunakan sebagai tempat ini sebagai tempat hiburan mereka. Sekarang Mas Azka lah yang memiliki tempat ini.” Sambung Putri Padmasari yang sama sekali belum aku mengerti.

Tiba-tiba Putri Padmasari bertepuk tangan. Terdengarlah musik yang baru kali ini aku dengar, namun samar-samar aku bisa merasakan seperti musik tradisional Dayak di bumi. Aku menikmati alunan musik yang begitu merdu untuk didengarkan. Lalu, Putri Padmasari menarikku ke atas tempat tidur besar. Aku langsung memeluknya namun Putri Padmasari menahanku dan menyuruhku melihat ke arah yang ia tunjuk.

Aku melihat tiga orang wanita cantik berpakaian sangat minim dan transparan. Mereka keluar dari pintu sambil menari dengan anggunnya dengan masing-masing tangan lembut mereka memegang kipas berbeda warna. Rambut mereka digelung berbalut gaun indah yang sangat seksi. Pakaian yang mereka kenakan itu menampakkan bentuk lekuk tubuh mereka yang sempurna, terutama bagian dada dan pinggul mereka. Langkah kaki mereka seirama dengan alunan musik yang begitu merdu, tubuh mereka berputar dengan merentang kedua tangannya berlawanan arah.

“Wow!” Aku bergumam takjub. Sisi kelelakianku mulai terusik. Saraf adrenalinku mulai bekerja, rasanya tubuhku menghangat seketika, banyak pikiran-pikiran mesum yang terlintas dalam benakku.

“Mereka adalah mainan raja. Raja bebas memperlakukan mereka. Dan Percayalah! Mereka sangat menyukainya.” Kata Ratu Padmasari sembari mengusap-usap selangkanganku.

“Benarkah?” Tanyaku denga air liur yang kutelan sendiri.

“Benar. Bahkan hanya mereka saja bertiga. Di bangunan keputrian masih ada belasan yang lain. Mereka gadis-gadis pilihan semua.” Jawab Putri Padmasari yang semakin keras mengusap-usap selangkanganku.

“Apakah sebagai permaisuri ... Tidak merasa marah atau cemburu?” Tanyaku dengan mata masih menatap ketiga penari yang nyaris bugil di depanku. Mereka tersenyum manis seakan memanggilku untuk menjamah mereka.

“Para pemaisuri berpikiran untuk membiarkan para raja memiliki mainan daripada mempunyai selir. Para permaisuri tidak menyukai rajanya mempunyai selir.” Jawab Putri Padmasari.

“Hhhmm ... Aku mengerti mengapa tempat hiburan ini tuan putri berikan kepadaku.” Kataku langsung disambat Putri Padmasari.

“Benar ... Supaya Mas Azka kerasan tinggal di istana ini.” Putri Padmasari mengulum senyumnya.

“Usaha yang baik. Tapi apakah ini akan berhasil?” Kataku sambil tersenyum.

“Mudah-mudahan berhasil. Hi hi hi ...” Ujar Putri Padmasari sambil beranjak dari tempatnya.

“Hei! Mau kemana?” Tanyaku sambil menahan tangan sang putri.

“Aku mau ke singgasana mas ... Pasti banyak tamu menungguku di sana. Lagi pula aku sedang berhalangan.” Jawab Putri Padmasari sembari mencubit hidungku.

“Oh ...” Kataku lalu melepaskan genggaman tanganku.

“Hei! Jangan sampai mereka hamil!” Putri Padmasari memperingatiku dengan mata melotot dan aku jawab dengan senyuman. Aku sangat mengerti maksud peringatan Putri Padmasari tersebut.

Putri Padmasari pun segera keluar ruangan ini. Selanjutnya, aku alihkan perhatianku pada ketiga penari erotis di depanku. Sungguh, aku sangat terpukau oleh tarian mereka. Bukan! Aku terpukau dengan keseksian mereka. Lekukan-lekukan tubuh ketiganya tampak begitu indah, buah dada mereka begitu bulat dan padat, pinggul langsing, daerah “V” yang terlarang itu juga samar-samar terekspos.

“Kalian ... Berhentilah menari. Kemarilah!” Perintahku dengan darah yang mengalir deras ke wilayah selangkangan.

Ketiganya cekikikan genit sambil berjalan menghampiriku kemudian naik ke atas tempat tidur. Sikap ketiganya benar-benar membuatku harus menahan diri mati-matian untuk tidak langsung ‘memakan’ mereka. Dengan gaya super genit, mereka mulai membelai-belai tubuhku, dada, perut dan selangkangan. Adegan ini membuat kejantananku meronta-ronta di balik celana panjangku.

“Aku ingin mengenal kalian. Coba perkenalkan dulu diri kalian. Ya, kamu dulu.” Kataku sambil menyentuh dagu gadis cantik yang memiliki bulu mata lentik. Gadis yang menurutku tercantik dari ketiganya.

“Nama hamba Kemala, tuan panglima.” Sahutnya sambil tersenyum manis.

“Hhhmm ... Nama yang cantik, seperti orangnya.” Kataku sambil mengelus pipinya yang sangat halus. Kemudian aku beralih kepada gadis di depanku, “Kalau kamu?” Tanyaku kemudian.

“Nama hamba Lanita, tuan panglima.” Jawabnya yang juga dengan senyum manisnya. Tangan gadis itu tak pernah lepas dari selangkanganku. Jika aku perhatikan Lanita memiliki payudara yang lebih besar dari dua gadis yang lain.

“Terakhir ... Siapa namamu?” Tanyaku pada gadis yang memiliki lesung pipi. Wajahnya seperti anak-anak. Menurutku sangat menarik karena Baby Face banget.

“Nama hamba Indriati panggil saja Indri, tuan panglima.” Jawabnya sambil merebahkan tubuhnya di tubuhku manja.

“Kalian bertiga ... Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya ... Apakah kalian tidak merasa terpaksa melakukan pekerjaan kalian ini. Apakah kalian merasa diancam sehingga tidak bisa menolak melakukan pekerjaan ini?” Tanyaku tegas namun dengan suara lembut.

“Tidak ada yang memaksa tuan panglima ...” Jawab Indriati.

“Ya, tuan panglima ... Malah kami bangga bisa melayani tuan. Banyak wanita yang ingin dengan raja atau pembesar istana. Kami adalah wanita-wanita yang beruntung.” Sambung Kemala.

“Jutaan wanita yang ingin tinggal di istana tuan ... Dan kami orang yang sangat beruntung.” Sahut Lanita.

“Begitu ya? Kedengarannya aneh.” Kataku sambil menatap ketiganya bergantian.

“Kok aneh sih, tuan panglima? Kan itu sudah lumrah terjadi di mana-mana?!” Pekik manja Lanita sembari memeluk lengan kiriku.

“Lumrah? Jadi menurut kalian menjadi pelayan raja atau pembesar istana adalah lumrah?” Tanyaku terheran-heran sambil mengambil wajah Lanita supaya menghadap wajahku.

“Ihk! Tuan panglima yang aneh.” Ujar Lanita.

“Hi hi hi ...” Semua gadis cantik penggoda iman ini tertawa hampir serempak.

Aku pun mengajak ngobrol ketiganya sambil bercanda-canda. Ternyata setelah sekian lama ngobrol, aku baru tahu motivasi para gadis berlomba-lomba menjadi ‘pelacur’ istana adalah tiada lain status mereka dan keluarganya yang meningkat di masyarakat. Masalah fee atau penghasilan, mereka tempatkan di nomor urut yang kesekian. Bagi keluarga yang mempunyai anak gadis yang terpilih menjadi pelayan para petinggi istana mendapat penghargaan kebangsawanan dan kehidupannya dijamin sepenuhnya oleh kerajaan. Kemewahan dan kekuasaan diberikan kerajaan di daerah masing-masing.

Kami pun semakin akrab setelah hampir satu jam bercanda bersama dan saling menceritakan tentang diri masing-masing. Aku sengaja membangun keakraban dengan mereka agar tidak ada kecanggungan di antara kami. Aku ingin mereka menyukaiku sebagai Azka, bukan sebagai panglima tertinggi kerajaan. Dengan begitu, mereka akan tulus menyukaiku, bukan karena seorang panglima.

“Bila diantara kalian bertiga yang tidak berminat padaku. Kalian boleh pergi. Jangan khawatir takut dimarahi atau dihukum. Kalian bebas sebebas-bebasnya.” Kataku sambil tersenyum pada ketiganya.

“Baru sekarang, saya merasa dihargai oleh pejabat istana. Tuan panglima adalah orang yang baik. Saya tidak sepatutnya merasa terpaksa. Saya bahkan sangat menginginkan tuan.” Ungkap Lanita sedikit terharu.

“Benar tuan ... Tuan panglima berbeda dengan yang lain. Tuan panglima sangat menghormati kami.” Kata Kemala.

“Kamu?” Tanyaku pada Indriati.

“Saya bahkan sudah basah, tuan ... Sudah kepingin dari tadi ... Hi hi hi ...” Ucap Indriati vulgar dan frontal.

“Hi hi hi ... Sama tuan ... Tuan panglima ... Dibuka ya bajunya ...” Genit Kemala yang terlihat pipinya sudah merona merah. Aku pikir gadis ini sudah terbakar oleh nafsunya sendiri.

“Ya ...” Jawabku singkat.

Pakaianku pun dilucuti oleh ketiga gadis cantik itu. Jelas, aku pun tak mau kalah. Aku lucuti juga pakaian mereka yang selapis-selapis itu. Kini kami berempat sudah tak lagi tertutupi sehelai benang pun. Aku langsung menciumi Lanita dengan nafsu yang sudah memuncak. Lanita pun tak mau kalah sama seranganku, dia membalas dengan liar. Aku dan Lanita berciuman dalam dan intens, suara berdecap keluar dari bibir kami. Sedangkan Indriati sibuk menciumi dan menjilati dadaku. Tangan kiriku kulingkarkan pada Indriati dan mulai meremas buah dadanya, sedangkan tangan kananku kulingkarkan di tubuh Lanita dan juga meremas buah dadanya. Tiba-tiba aku merasakan kehangatan, kelebutan dan basah di penisku yang membuatku perasaanku tidak karuan. Aku melihat dari sudut mataku, ternyata Kemala sedang mengulum penisku.

Kini aku beralih ciumanku pada Indriati. Dalam waktu singkat ciuman kami langsung panas. Dahsyat! Penisku sekarang dikerjai oleh dua mulut panas milik Kemala dan Lanita. Kedua gadis cantik itu silih bergantu mengulum dan mengurut kejantananku yang semakin tegang dan sensitif. Kemala mengulum penisku ke dalam mulutnya, mengocok di mulutnya yang membuat sensasi yang tidak bisa aku ungkapkan tanpa sadar aku pun mendesah. Sedangkan Lanita menghisap buah zakarku dengan lembutnya membuat aku semakin melayang-layang kenikmatan.

Aku pun mulai mempermainkan vagina Indriati dan vagina Lanita karena terjangkau oleh kedua tanganku dengan lembut dan perlahan-lahan biar mereka bisa merasakan permainan yang aku buat. Indriati dan Lanita pun mengerang sambil berdesis bertanda mereka menikmati permainanku itu. Aku sudahi ciuman dengan Indiati dan sekarang aku menyusu di buah dadanya. Sementara itu jari-jari tanganku masih asyik memanjakan lubang kehangatan mereka, menggesek dengan keras bagian yang menonjol dari vagina kedua gadis cantik ini. Gerakan tanganku semakin cepat disertai desahan Lanita dan Indiati yang kian mengeras.

“Oshh... Aaakh... Aaaakhhh... AAAAKKKHHHHH!” Indriati yang pertama mencapai orgasme. Gelombang kenimatan itu berlomba-lomba keluar dari vaginanya yang memerah. Cairan bening merembes keluar semakin membuat liangnya banjir. Sebagian cairannya masih tertampung di dalam akibat jalan keluarnya terhalang oleh dua jariku yang masih tertanam di lubangnya.

Aku mengalihkan seranganku pada Lanita. Mulutku langsung nyosor ke buah dadanya. Jilatan demi jilatan dan gigitan kecil pada putingnya yang sudah membengkak terus aku lancarkan. Jari tanganku pun tak henti menjamah vaginanya. Tanganku semakin liar keluar masuk di liangnya, menggaruk-garuk bagian dalam lubang nikmatnya. Bunyi kecipak dapat kudengar, membuat gadis cantik itu tambah bernafsu. Mulutnya meracau mendesah-desah tak karuan.

"Ohh... AAAAAAAAAHHHHH...oh..oh..mmmhhh... Sssshhh...akh... Enak sekali..." Erangnya. Aku merasakan gelombang orgasme Lanita mendesak dari dalam, mendorong kuat meminta keluar. Mengalirlah dengan deras cairan cintanya itu, tentu saja itu yang telah kutunggu-tunggu.

Setelah itu, aku menyuruh Kemala berhenti mengerjai kejantananku. Aku tarik tubuh Kemala lalu menjatuhkannya hingga terlentang. Kemala seakan mengerti maksudku, gadis itu langsung melebarkan pahanya memberikan akses padaku untuk memasukinya. Segera saja aku tindih tubuh moleknya dengan kedua siku sebagai tumpuanku. Setelah itu, aku pun langsung memasukkan penisku ke dalam vagina Kemala. Perlahan-lahan aku masukkan penisku dan sekali hentakan langsung masuk semua ke dalam vaginanya yang ternyata sudah basah juga. Aku pun langsung menggenjotnya dengan sangat perlahan-lahan sambil menikmati sodokan demi sodokan yang aku lakukan dan Kemala pun mulai mendesah nggak karuan.

"Aaahh... Enak tuan... Terus tuan, enak tuan... Lebih dalam tuan... Aaaahh... Sssstt..." Racau Kemala keenakan yang membuatku bertambah nafsu. Goyanganku pun semakin aku percepat dan dia mulai berkicau lagi.

"Aaahh enak tuan... Kejantanan tuan enak banget... Aaaahh..." Racaunya lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kemala akhirnya harus mengakui keperkasaanku. Begitu penisku dengan gagah menembus-nembus liang senggamanya yang begitu hebat, terus tanpa henti, hingga menjebol habis kemaluannya yang teduh itu. Setelah beberapa lama aku mengocok, Kemala mulai mengejang. Aku pun semakin mempercepat kocokanku. Dan tak beberapa lama aku mengocoknya, keluarlah cairan hangat dengan sangat derasnya dan terasa sekali mengalir di sekitar penisku. Aku segera mencabut penisku yang masih tegang itu. Lanita segera mengulum penisku yang masih banyak mengalir cairan Kemala yang menempel pada penisku, sedangkan Indriati menghisap vaginanya Kemala dengan penuh nafsu yang cairan cinta Kemala masih keluar dalam vaginanya.

Tiba-tiba Lanita mendorongku hingga tubuhku terlentang. Lanita pun mulai mengambil posisi, dia di atas sedangkan aku di bawah. Dituntunnya penisku untuk memasuki vaginanya dan serentak langsung masuk. Terasa sekali kehangatan di dalam vaginanya Lanita. Dia pun mulai menaik turunkan pantatnya dan disaat seperti itulah dia mulai mempercepat goyangannya yang membuat aku semakin nggak karuan menahan sensasi yang diberikan oleh Lanita. Dalam kepasrahan yang nikmat ini, aku tersenyum saat melihat Kemala mulai menghisap payudara Lanita penuh gairah, sedangkan Indriati mencium bibir Lanita dengan garangnya. Lanita mempercepat goyangannya yang membuat dia mendesah-desah.

“Aaaahh tuan ... Aaaahhh ... Aaakkkuhhh ...” Lanita mengoyang tubuhnya semakin cepat. Seketika itu juga tubuh gadis itu mulai menegang dan terasa sekali vaginanya berdenyut dan selang beberapa lama keluarlah cairan yang sangat banyak sekali.

"Aaahh enak Nita... Aaahh ... Sssstt ..." Erangku yang tak kuasa menahan nikmat. Dan selang beberapa menit aku merasakan penisku mulai berdenyut, “Nita... Aku... Ingiin keeluuaarr..." Kataku kemudian.

Lanita segera mencabut pertautan kelamin kami. Kemala dan Indriati langsung berebutan menjilati dan mengocok penisku. Aku melihat Kemala dan Indriati seperti kelaparan yang sedang berebutan makanan, setelah selang beberapa lama aku pun meledak. Seketika itu juga muncratlah air maniku di dalam mulut Kemala, entah berapa kali muncratnya, aku tidak tahu karena terlalu nikmatnya. Namun, aku terbelalak karena spermaku ditelan habis oleh Kemala.

“Ooohh ... Nikmat sekali ...” Gumamku sambil menarik tubuh Indriati dan memeluknya. Aku memeluk tubuh gadis itu sebagai pelampiasan sisa-sisa orgasmeku. Aku pun kemudian menindih tubuh Indriati dan mencium bibirnya. Tak lama, ciumanku turun ke lehernya yang jenjang.

"Ooohh... Geelli... Tuan..." Desah Indriati. Serangan bibirku semakin menjadi-jadi di lehernya, sehingga Indriati hanya bisa merem melek mengikuti jilatan lidahku.

Dari sudut mataku, aku melihat Kemala dan Lanita sedang asyik berciuman dan saling menjilat payudara mereka. Sepertinya kedua gadis itu sedang menaikkan kembali gairah mereka masing-masing. Sementara itu, setelah aku puas di leher Indriati, aku menurunkan ciuman sehingga bibirku sekarang berhadapan dengan dua buah bukit kembarnya yang masih ketat dan kencang. Aku pun mulai menjilati dan sekali-kali menggigit puntingnya dengan gigitan kecil yang membuat Indriati tambah terangsang lagi dan dia medesah.

"Aaahh enak sekali tuan... Aaaahh sssstt..." Erang Indriati.

Setelah puas di payudaranya, aku langsung ke arah lubang vaginanya yang memerah dan dikelilingi rambut-rambut yang begitu lebat. Aroma wangi dari lubang kewanitaannya, membuat tubuhku berdesis hebat. Kejantananku tegak kembali dan siap bertempur lagi. Tanpa menunggu lama, lidahku langsung aku julurkan ke permukaan bibir vagina. Tanganku bereaksi untuk menyibak rambut yang tumbuh di sekitar selangkangannya untuk memudahkan aksiku menjilati vaginanya.

"Ssstt... Tuaaann... Enak sekali... Ughh..." Rintih Indriati.

Tubuh Indriati menggelinjang, sesekali diangkat menghindari jilatan lidahku di ujung klitorisnya. Gerak tubuh Indriati yang terkadang berputar-putar dan naik turun, membuat lidahku semakin menghujam lebih dalam ke lubang vaginanya. Gadis itu mendesah-desah hebat. Pahanya dibuka lebar sekali sehingga memudahkan lidahku untuk menjilatnya. Indriati menggigit bibir bawahnya sambil mengerang-erang seakan menahan rasa nikmat yang bergejola di tubuhnya.

“Tuan ... Saya nggak tahan ... Aaahh ... Masukin punya tuan ... Aaahh ...” Rintihnya memelas.

Perlahan aku bangkit dan mengangkat kaki kanan Indriati. Batang kemaluanku sudah siap di lubang kewanitaannya dan sekali hentak. ‘Bleesss...!’ Penisku langsung tenggelam dalam vaginanya. Indriati pun merintih. Gerakan maju mundur pinggulku membuat tubuh Indriati mengelinjang hebat dan sesekali memutar pinggulnya sehingga menimbulkan kenikmatan yang luar biasa di batang kemaluanku.

"Tuan... Jangan berhenti sayang... Oogghh..." Pinta Indriati.

Indriati terus menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seirama dengan penisku yang menghujam dalam pada lubang kewanitaannya. Sesekali Indriati membantu pinggulnya untuk berputar-putar. Penisku dengan perkasanya mengorek liang vagina Indriati yang semakin banjir oleh cairan cintanya. Batang penisku terasa seperti dipelintir dan dipijit-pijit di dalam lubang kenikmatan itu. Terasa sangat hangat dan nikmat.

"Tuan... Memang... Jagoo... Ooohh..." Kepalan Indriati bergerak ke kiri dan ke kanan seperti orang triping.

Beberapa saat kemudian Indriati seperti orang kesurupan dan ingin memacu birahinya sekencang mungkin. Aku berusaha mempermainkan birahinya. Di saat Indriati semakin liar. Tempo yang semula tinggi dengan spontan aku kurangi sampai seperti gerakan lambat, sehingga centi demi centi batang kemaluanku terasa sekali mengoyang dinding vagina milik Indriati.

"Tuan... Terus... Sayang... Jangan berhenti..." Indriati meminta.

Permainanku benar-benar memancing birahi Indriati untuk mencapai kepuasan birahinya. Sesaat kemudian, Indriati benar-benar tidak bisa mengontrol birahinya. Tubuhnya mengejang hebat kali ini, tidak lagi ada upaya untuk menghindariku.

"Tuan... Saayyaa... Kelluuaarr... Aaakkhh..." Rintih Indriati. Gerakan penisku kubuat patah-patah, sehingga membuat birahi Indriati semakin tak terkendali. "Tuaaan ... Ooohh... Aaammpuunn..." Rintihnya panjang.

Bersamaan dengan rintihan tersebut, aku menekan penisku dengan dalam hingga mentok di langit-langit vagina Indriati. Aku merasakan semburan cairan membasahi seluruh penisku. Indriati yang sudah mendapat kedua orgasmenya, sedangkan aku masih berusaha untuk mencari kepuasan birahiku. Posisi Indriati, sekarang menungging. Penisku yang masih tertancap pada lubang vaginanya langsung aku hujamkan kembali ke lubang vaginanya Indriati.

"Ooohh... Tuan... Tuan panglima... Memang... Ahli..." Katanya sambil merintih. Kedua tanganku mencengkeram pinggul Indriati dan menekan tubuhnya supaya penisku bisa lebih menusuk ke dalam lubang vaginanya.

"Indri... Punyamu memang enak banget." Pujiku.

Indriati hanya tersenyum dan kembali memejamkan matanya menikmati tusukan penisku yang tiada hentinya. Batang kemaluanku terasa dipijiti oleh vagina Indriati dan hal tersebut menimbulkan kenikmatan yang luar biasa. Permainan cintaku diterima Indriati karena ternyata wanita tersebut bisa mengimbangi permainan aku. Sampai akhirnya aku tidak bisa menahan kenikmatan yang mulai tadi sudah mengoyak birahiku.

"Indri... Aku mau... Keluar..." Kataku mendesah.

"Saya juga tuan... Ooohh... Nikmat terus... Terus..." Indriati merintih.

Gerekan maju mundur di belakang tubuh Indriati semakin kencang, semakin cepat dan semakin liar. Kami berdua berusaha mencapai puncak bersama-sama.

"Tuaaann ... Saayyaa... Ngaak kkuuaatt... Aaaaakhh...!" Rintih Indriati.

"Aku juga sudah... Ooogh... Dahh..." Aku balas merintih.

Aku cabut penisku dari vaginanya, tiba-tiba Lanita menyambar penisku. Lanita lalu menghisap penisku sambil mengocoknya. Tak lama, crott.. crott.. crott.. crott.. Air maniku keluar di dalam mulut Lanita banyak sekali. Aku tekan penisku lebih dalam ke dalam mulut Lanita. Lanita dengan senang menelan air maniku sambil terus mengocok penisku. Lalu dia menjilati penisku untuk membersihkan sisa air mani di penisku.

Sesaat setelah Lanita selesai dengan pekerjaannya di penisku, aku pun tidur terlentang merasakan kelelahan namun penuh dengan kenikmatan. Ketiga gadis cantik itu langsung mengerubuti diriku dan aku pasrah saja dengan kelakuan mereka yang sepertinya belum puas dengan apa yang mereka rasakan. Dengan terpaksa yang menyenangkan, aku meladeni ketiganya hingga mereka benar-benar menyerah. Benar apa yang dikatakan Ragnala, kalau aku sekarang memiliki stamina yang kuat dan air mani yang tak akan pernah kering.

Akhirnya aku berpakaian dan meninggalkan ketiga gadis yang lemas dan kepayahan itu. Mereka bertiga tersenyum dan melambaikan tangan saat aku keluar dari tempat hiburanku. Tubuhku terasa sangat segar. Jiwaku terasa sangat sehat. Hatiku terasa baru. Tadi itu benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman baru yang seru dan menggairahkan. Sepertinya aku akan kecanduan dan ingin mengulanginya lagi dengan gadis yang lain.

Aku berjalan melewati koridor istana dan tak seberapa lama sampai juga di ruangan khusus untuk para panglima. Sepertinya aku telat mengikuti acara kelima panglima yang sedang berdiskusi. Aku lantas duduk di kursi paling mentereng di antara kursi-kursi yang ada. Semua panglima menatapku, termasuk Daru yang sepertinya menunggu perintah dariku. Jelas, aku kebingungan dengan cara mereka memandangku seperti itu.

“Ada apa?” Tanyaku benar-benar bingung.

“Aih ... Bapak ini gimana sih! Kita ini diperintahkan Ratu untuk mengejar bekas panglima kerajaan yang bernama Bajradaka dan istri mendiang Raja Jalada.” Ujar Daru langsung sewot.

“Benar Panglima Tertinggi ... Kita diperintahkan untuk menangkap Bajradaka dan Nindita.” Ungkap Panglima Pertama.

“Apakah ada informasi keberadaan mereka?” Tanyaku mulai serius.

“Mereka belum ditemukan. Tetapi kita perkirakan mereka sedang pergi ke Pulau Ellydaest.” Jawab Panglima Pertama.

Aku tiba-tiba merasa menjadi orang terbodoh di dunia. Tentu saja aku tidak tahu di mana letak Pulau Ellydaest itu, dan aku pun berkata, “Sejujurnya, aku harus banyak belajar peta dunia Azumath ini, karena aku tidak tahu di mana Pulau Ellydaest berada dan kenapa kalian tidak mengejar mereka kalau kalian sudah bisa memperkirakan kemana mereka pergi.”

“Kami sudah mengejarnya Tuan Panglima Tertinggi, tetapi dua puluh pasukan sihir yang kita kirim mati saat menghadang mereka.” Ungkap Panglima Pertama dengan nada sedih.

“Kok bisa? Dua puluh penyihir kerajaan kalah oleh dua orang saja?” Aku terheran-heran mendengar penjelasan Panglima Pertama.

“Mereka tidak berdua Tuan ... Tapi bertiga ... Orang ketiga itu lah yang memiliki kekuatan mematikan. Kami tidak berani mengambil resiko lagi mengorbankan prajurit sihir untuk mengejar mereka.” Ujar Panglima Pertama dengan nada kecewa.

“Siapa orang ketiga yang panglima pertama maksudkan?” Tanyaku jadi penasaran.

“Dia dari bangsa Demon, bernama Akseli.” Jawab Panglima Pertama lalu menghela nafas resah.

“Bangsa Demon memasuki wilayah manusia. Bukankah itu pelanggaran?” Tanyaku.

“Benar.” Jawab Panglima Kedua. “Tetapi tidak ada tindakan dari penjaga perdamaian. Jadi, dia bebas berkeliaran di dunia manusia.” Lanjutnya.

“Maksud panglima, tindakan dari bangsa Naga?” Tanyaku lagi.

“Benar Panglima Tertinggi. Bangsa Naga seperti sudah tidak peduli dengan pelanggaran yang dilakukan bangsa Demon.” Jelas Panglima Kedua.

“Kalau begitu ... Siapkan pasukan sihir. Aku yang akan memburunya.” Kataku tegas dan penuh keyakinan.

“Tapi, Panglima Tertinggi ... Itu sangat membahayakan tuan panglima ...” Sahut Panglima keempat.

“Bapak tidak akan kalah ... Bapak pasti menang ...” Celoteh Daru yang membuat semua panglima menengok ke arahnya. Daru pun langsung mengkerut sambil tersenyum.

“Aku dan Panglima Kelima akan pergi memburu mereka. Siapkan saja pasukan penyihir untuk menemaniku.” Kataku sambil bangkit dan berjalan keluar ruangan.

“Bapak ...!” Panggil Daru sambil berlari. Panglima cilik itu lalu berjalan di sampingku.

“Kita harus membasmi Demon itu, Daru ...” Kataku.

“Aku siap membantu, pak ...” Jawabnya.

Kami pun berpamitan pada Ratu Padmasari. Setelah mendapat restunya, aku dan rombongan sebanyak dua puluh prajurit penyihir langsung melajukan kuda-kuda kami. Pulau Ellydaest adalah pulau yang terletak di bagian selatan benua. Pulau itu di bawah kekuasaan Kerajaan Alvar, sebuah kerajaan kecil yang konon kabarnya kurang bersahabat dengan Kerajaan Qaarsut. Sepertinya aku akan mendapat sedikit kendala untuk bisa mencapai Pulau Ellydaest. Namun, aku tumbuh dari masalah dan tantangan. Aku tidak akan pernah menyerah begitu saja pada keadaan hanya karena situasinya tidak ideal. Memang, tidak semua yang dihadapi bisa diubah, tetapi tidak ada yang bisa diubah sebelum dihadapi.
Bersambung

Chapter 10 di halaman 83 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd